BAB II KAJIAN PUSTAKA - Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

  Konstruktivisme berada di titik temu dua aluran besar dalam sejarah sosiolog: sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains (sociology of science) (Kulka, 2003: 13).

  Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in

  

the Sociological of Knowladge” pada tahun 1966. Ia menggambarkan proses

  sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008: 189).

  Asal mula konstruksi sosial dari paradigma konstruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila ditelusuri, sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).

  Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural, konstruksi juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif (Eriyanto, 2002: 16).

  Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Komunikasi nonverbal pada lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial. Oleh karena itu, perlu diteliti karena setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda, status pendidikan yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda yang bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika berhadapan dengan suatu objek. Terlebih, komunikasi nonverbal sendiri memiliki tingkat ambiguitas yang tinggi karena penafsirannya tidak memiliki ketentuan yang berlaku secara universal. Lagi, pernafsirannya juga dipengaruhi oleh latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan lain-lain dari setiap individu yang memberikan penafsiran.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Komunikasi Antarmanusia

  Komunikasi antarmanusia (human communications) merupakan ciri pokok kehidupan manusia sebagai makhluk sosial pada tingkat kehidupan sederhana maupun pada tingkat kehidupan modern yang lebih kompleks seperti sekarang ini. Melalui komunikasi, manusia dapat mengalami kontak dan interaksi sosial, baik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku maupun antarbangsa.

  Secara umum komunikasi antarmanusia dipahami sebagai komunikasi antar individu-individu dengan latar belakang kepentingan berdasarkan latar pribadi. Menurut DeVito (2011: 23) komunikasi antarmanusia adalah komunikasi yang terjadi di antara dua orang yang memiliki hubungan mapan; orang-orang yang dengan berbagai cara hubungan.

  Definisi ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa komunikasi antarmanusia melibatkan paling sedikit dua orang (dyadic) dalam sebuah relasi (relation). Walaupun ketika seseorang berada pada sebuah kondisi triads (kelompok yang terdiri atas tiga orang), dyads (relasi dua orang) tetap menjadi hal yang utama; selalu menjadi pusat dari relasi antarmanusia. Misal, komunikasi

  dyads

  antarmanusia dapat meliputi suatu proses pertukaran pesan di antara seorang anak dan ayahnya, seorang atasan dan karyawannya, dua orang bersaudara, seorang guru dan seorang muridnya, dua orang sahabat, dan sebagainya.

  Dalam buku Komunikasi Antarmanusia, DeVito (2011) menggambarkan komunikasi antarmanusia mengandung elemen-elemen yang ada di dalam setiap tindakan komunikasi, terlepas dari apakah itu bersifat intrapribadi, antarpribadi, kelompok kecil, organisasi, publik (terbuka), komunikasi antarbudaya, atau komunikasi massa. Dalam komunikasi intrapribadi, DeVito mendefinisikannya sebagai komunikasi dengan diri sendiri di mana memiliki tujuan untuk berpikir, melakukan penalaran, menganalisis, maupun merenung. Sedangkan komunikasi antarpribadi diartikan sebagai komunikasi antara dua orang yang dilakukan untuk mengenal, berhubungan, mempengaruhi, bermain, maupun membantu. Kemudian, pada komunikasi kelompok kecil didefinisikan sebagai komunikasi dalam sekelompok kecil orang untuk berbagi informasi, mengembangkan gagasan, memecahkan masalah, maupun membantu. Selanjutnya, komunikasi organisasi adalah komunikasi dalam suatu organisasi formal demi meningkatkan produktivitas, membangkitkan semangat kerja, maupun memberikan informasi yang meyakinkan.

  Selain itu, komunikasi publik diartikan DeVito sebagai komunikasi dari pembicaraan khalayak yang mana untuk memberi informasi, meyakinkan, maupun menghibur. Setelah itu, komunikasi antarbudaya yang arti singkatnya adalah komunikasi antara orang dari budaya yang berbeda untuk mengenal, berhubungan, mempengaruhi, bermain, maupun membantu. Terakhir, DeVito mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang diarahkan kepada khalayak yang sangat luas, disalurkan melalui sarana audio dan atau visual. Komunikasi massa dikakukan untuk menghibur, meyakinkan, memberi informasi, mengukuhkan status, membius, maupun menciptakan rasa persatuan.

  Dari pemaparan sebelumnya, diketahui bahwa komunikasi antarmanusia memiliki cakupan luas yang senantiasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Saat berdiri dihadapan kaca, Anda mungkin akan menatap diri Anda dan bergumam sendiri. Kemudian, ketika menjumpai ibu yang sedang memasak, mungkin Anda akan menanyakan “masak apa?”. Setelah itu, Anda berangkat ke sekolah dengan teman Anda dan kemudian terjadi pembicaraan di antara kalian berdua. Setelah tiba di kelas, Anda dihadapkan dengan teman sekelas dan lagi, terjadi pembicaraan yang mungkin melibatkan sebagian atau seluruh orang di dalam kelas.

  Dalam konteks komunikasi, komunikasi yang terjadi antara manusia, setidak-tidaknya, memiliki tiga dimensi.: fisik, sosial-psikologis dan temporal. Konteks (lingkungan) fisik disini memiliki makna sebagai lingkungan nyata atau berwujud. Lingkungan fisik ini pastilah memiliki pengaruh terhadap komunikasi yang terjadi, baik pengaruh dalam pesan, maupun dalam bentuk pesannya. Misal, pesan yang Anda sampaikan di dalam kelas akan berbeda dengan pesan yang Anda sampaikan di kantin. Perbedaan ini dapat berhubungan dengan tata bahasa.

  Dimensi sosial-psikologis meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran dan permainan yang dijalankan orang, serta aturan budaya, masyarakat di mana mereka berkomunikasi (DeVito, 2011: 25).

  Dimensi temporal mencakup waktu dalam sehari maupun waktu didalam hitungan sejarah di mana komunikasi berlangsung. Hal yang paling penting adalah bagaimana suatu pesan tertentu disesuaikan dengan rangkaian peristiwa komunikasi.

  Selain dimensi, hal lain yang terlibat saat terjadinya komunikasi adalah sumber-penerima. Sumber dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan pesan komunikasi atau yang lebih dikenal sebagai komunikator. Sedangkan penerima adalah orang yang menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Penerima dapat disebut sebagai komunikan. Dalam proses menyampaikan dan menerima pesan, terdapat istilah encoding dan decoding. Encoding adalah proses penyampaian pesan yang menggunakan lambang atau kode tertentu. Sedangkan

  

decoding memiliki arti sebagai proses penerimaan pesan dengan menguraikan

lambang atau kode tersebut.

  Lebih lanjut, guna menciptakan komunikasi yang efektif, dibutuhkannya kompetensi komunikasi bagi seseorang yang hendak berkomunikasi. Menurut DeVito (2011: 27) kompetensi komunikasi mengacu pada kemampuan Anda untuk berkomunikasi secara efektif.

  Pesan dan saluran merupakan hal yang terlibat saat komunikasi sedang berlangsung. Pesan berupa informasi baik berupa verbal (lisan atau tertulis) maupun nonverbal (tanpa kata). Sedangkan saluran komunikasi adalah media yang digunakan dalam menyampaikan pesan.

  Umpan balik dan gangguan juga merupakan hal yang bisa saja terjadi saat komunikasi dilakukan antara manusia. Umpan balik berarti informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya. Misal, ketika Anda mengikuti acara seminar, setelah acara selesai Anda mengacungkan jari untuk memberikan tanggapan kepada pemateri. Sedangkan gangguan dalam konteks komunikasi dapat berupa gangguan fisik, psikologis, atau semantik.

  Gangguan fisik dapat digambarkan melalui contoh ketika Anda berbicara dengan teman Anda, namun suara orang lain mengganggu pendengaran teman Anda dan bisa saja pesannya tidak sampai. Sedangkan gangguan psikologis datang dari si komunikator atau komunikan. Misal, prasangka yang telah terbentuk sejak awal. Setelah itu, gangguan semantik di mana komunikator dengan komunikan tidak memiliki kesamaan arti dalam memaknai pesan.

2.2.2 Komunikasi Nonverbal

  Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditemukan pada zaman Aristoteles sekitar 400 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Namun, studi ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, baru dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno. Karya Cicero, Pronuntiatio atau cara berpidato, mungkin yang pertama kali memperlakukan komunikasi nonverbal secara sistematis.

  Bagaimanapun juga, karyanya telah dibatasi untuk menggunakan suara dan gerakan-gerakan ragawi dalam konteks public speaking. Dari hasil karya Cicero ini, kemudian orang lain mengkaji pengaruh bahasa nonverbal terhadap komunikasi dalam hampir keseluruhan situasi public speaking (Sendjaja, 2002: 6.22)

  Dalam tahun 1775, Joshua Steele memusatkan kajiannya mengenai komunikasi nonverbal pada suara sebagai satu instrumen atau pada suatu konsep yang disebut prosody. Konsep dari Steele ini menjelaskan bahwa bahasa dalam drama atau puisi dapat “dibaca” hampir setiap notasi musik. Kemudian, pada tahun 1806, dijelaskan Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi (2010) bahwa Gilbert Austin mengkonsentrasikan kajiannya pada gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa. Pendekatan ini menghasilkan sebuah sistem yang disebut dengan elocutionary system di mana isyarat- isyarat yang “pantas” dipelajari dan digunakan dalam pertunjukan drama. Elocutionary system adalah seni deklamasi atau keahlian membaca/mengucapkan kalimat dengan logat dan lagu yang baik di muka umum. Setelah itu, kajian yang lebih kompleks tentang komunikasi nonverbal dikembangkan oleh Francois Delsarte. Delsarte menggabungkan suara dan gerakan-gerakan badan sekaligus. Dalam kajiannya tersebut, Delsarte berusaha meyakinkan bahwa pesan-pesan atau komunikasi secara nonverbal merupakan “agents of heart”.

  Dari penjelasan Joshua Steele, Gilbert Austin, maupun Francois Delsarte terkait dengan kajiannya masing-masing, dapat dijabarkan bahwa perkembangan komunikasi nonverbal mengalami kemajuan. Di mana prosody menyampaikan pesan-pesan nonverbal melalui suara dan Elocutionary system menyampaikan pesan-pesan nonverbal melalui gerakan tubuh. Dalam hal ini, Elocutionary system hampir sama dengan impression management. Sedangkan Delsarte menggabungkan keduanya antara suara dan gerakan tubuh.

  Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal secara bersama- sama. Keduanya, bahasa verbal dan nonverbal, memiliki sifat holistik, bahwa masing-masing tidak dapat saling dipisahkan. Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa nonverbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Namun, lambang-lambang nonverbal juga dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal. Ketika kita menyatakan terima kasih (bahasa verbal), kita melengkapinya dengan tersenyum (bahasa nonverbal); kita setuju terhadap pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala (bahasa nonverbal). Dua peristiwa komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan nonverbal bekerja secara bersama- sama dalam menciptakan makna suatu perilaku komunikasi.

  Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan ( Budayatna & Ganiem, 2011: 110).

  Lebih lanjut, banyak ahli yang mendefinisikan komunikasi nonverbal dari berbagai sudut pandang, sebagai berikut :

  1. Frank EX Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content ).

  meaning

  2. Edward Sapir: Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all ).

  3. Malandro dan Barker memberikan batasan-batasannya sebagai berikut: a. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

  b. Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara.

  c. Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain.

  d. Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain (Sendjaja, 2002: 6.23) Komunikasi nonverbal merupakan kata yang sedang popular saat ini. Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan volume bicara, bahkan juga keheninga n. Kita ingin belajar bagaimana “membaca seseorang seperti sebuah buku”,

  Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset nonverbal mengidentifikasi enam fungsi utama ( DeVito, 2011: 177), yaitu :

  1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.

  Misal, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tangan Anda ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu.

  2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan komunikasi nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin tersenyum ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan kepala ketika menceritakan ketidak-jujuran seseorang.

  3. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan nonverbal.

  Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan adalah tidak benar.

  4. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan verbal.

  Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda mungkin juga mengangkat tangan Anda atau menyuarakan jenak (pause) Anda (misal

  , dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan bahwa Anda belum selesai berbicara.

  5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi atau merumuskan- ulang makna dari pesan verbal. Misal, Anda dapat menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda, atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi.”

  6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal. Anda dapat, misal , mengatakan “oke” dengan tangan Anda tanpa berkata apa-apa. Anda dapat menganggukkan kepala untuk mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatakan “tidak”. Selain memiliki fungsinya, komunikasi nonverbal juga memiliki hambatan. Adapun hambatan yaitu :

  1. Hambatan Konsepsi Atau Pemahaman Dalam berkomunikasi bisa menjadi kesalahpahaman antara orang- orang yang berkomunikasi. Kesalahpahaman ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu : a. Komunikasi nonverbal bersifat insting dan tidak dipelajari.

  b. Adanya keyakinan bahwa fenomena nonverbal seperti ekspresi wajah dan postur tubuh merefleksikan ciri biologis dan kematangan yang bersifat herediter dari komunikator. c. Banyaknya gerak isyarat yang digunakan dalam berkomunikasi membuatnya sulit untuk dipelajari secara praktis dan sistematis dalam hubungannya dengan perilaku manusia.

  2. Hambatan Sejarah Pada awalnya cara pergerakan dalam pengucapan bahasa dianggap perlu dilakukan untuk menarik perhatian audience, bukan sebagai pelengkap dan penguat pesan yang ingin disampaikan.

  3. Hambatan metodologi Diperlukan peralatan yang mahal untuk mempelajari komunikasi nonverbal.

   Secara umum, DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) membagi jenis komunikasi nonverbal menjadi tiga, yaitu : 1. komunikasi tubuh. 2. ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan. 3. parabahasa dan waktu. Jalan pertama di antara semua jalan komunikasi nonverbal adalah tubuh. Kita mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita seringkali dan secara akurat melalui gerakan-gerakan tubuh, gerakan wajah, dan gerakan mata (DeVito, 2011: 187). Gerakan tubuh tebagi terbagi atas lima, yaitu emblim, ilustrator, affect display, regulator, dan adaptor.

  a.

   Emblim

  adalah perilaku nonverbal yang secara langsung

  Emblim

  menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, misal, isyarat untuk “oke”, “jangan ribut”, “kemarilah”, dan “saya ingin menumpang” (DeVito, 2011: 187). Akan tetapi, Emblim meninggalkan ambiguitas karena mereka mempunyai kebebasan makna, sehingga setiap orang dapat memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap isyarat yang sama. Sebab, faktor suku bangsa juga mempengaruhi pemaknaan. Jika isyarat menggelengkan kepala bermakna tidak di

  Indonesia, maka lain halnya di India. Mereka menggunakan isyarat menggelengkan kepala untuk menyetujui atau membenarkan suatu hal.

  b.

   Ilustrator

  Ilustrator adalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah “mengilustrasikan” pesan verbal. Dalam mengatakan “ayo bangun” misal, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan Anda ke arah menaik (DeVito, 2011: 188). Ilustrator merupakan komunikasi nonverbal yang lebih universal daripada emblim. Selain itu, Ilustrator memiliki fungsi untuk menyertai pesan verbal. Sedangkan emblim memiliki fungsi sebagai pengganti pesan nonverbal.

  c.

   Affect display Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung

  makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan.ekspresi wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha untuk menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata, “Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?”. Tetapi, kita dapat secara sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memainkan peran tertentu (DeVito, 2011: 189). Berbeda dengan ilustrator, affect

  display kurang bergantung pada pesan verbal. Kita bisa saja

  mengkomunikasikan pesan nonverbal yang berkontradiksi dengan pesan verbal. Misalnya, saat orang menanyakan apakah Anda marah, Anda menjawab “tidak” namun, dengan nada tinggi dan ekspresi wajah merah, serta mata terbelalak.

  d.

   Regulator

  Lebih lanjut, gerakan tubuh berikutnya adalah regulator. DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) mendefinisikan

  regulator sebagai perilaku nonverbal yang “mengatur”, memantau,

  memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Regulator merupakan perilaku nonverbal yang dilakukan komunikan saat berkomunikasi dengan komunikator. Isyarat yang digunakan komunikan dalam merespon pesan komunikator dapat mengendalikan pembicaraan. Misal, komunikan mengernyitkan dahi di tengah pembicaraan. Melalui isyarat tersebut, komunikator dapat mengerti bahwa komunikan kurang memahami pesannya sehingga komunikator mengulangi pesannya atau bahkan memberikan penjelasan secara detail.

  e.

   Adaptor

  Gerakan tubuh yang terakhir adalah adaptor yang merupakan perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara pribadi atau di muka umum tetapi tidak terlihat. Misal, saat sendiri, Anda menggaruk kepala ketika kepala Anda gatal sampai rasa gatalnya hilang. Namun, bila di depan umum, Anda mungkin melakukan perilaku nonverbal ini hanya sebagian. Mungkin saja Anda hanya menggunakan jari telunjuk dan menggaruk dengan pelan. Setelah gerakan tubuh, jenis komunikasi tubuh berikutnya adalah gerakan wajah. Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi menjelaskan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi wajah kita akan selalu berubah tanpa melihat apakah kita sedang berbicara atau mendengarkan. Paul Ekman dan Wallace Friesen telah mengidentifikasikan enam emosi dasar bahwa ekspresi wajah mencerminkan keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, dan kebencian atau kejijikan. Sedangkan menurut DeVito (2011), gerakan wajah dapat mengkomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi” berikut : kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan memuakkan atau penghinaan.

  Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa dan apa yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita merupakan saluran komunikasi nonverbal yang tak kalah penting. Tidak hanya selama berinteraksi, tetapi juga sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Dengan memelihara kontak mata dan tersenyum, orang-orang yang terlibat mengindikasikan bahwa mereka tertarik dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.

  Gerakan mata mengkomunikasikan pesan-pesan yang bergantung pada durasi, arah, dan kualitas dari perilaku mata. Misal , saat Anda berkata “saya s angat kagum dengan Anda” namun, mata Anda tidak memandang ke arahnya, melainkan ke arah yang lain. Menurut DeVito (2011: 191) terdapat enam fungsi utama komunikasi mata, yaitu sebagai berikut :

  1. Mencari Umpan Balik. Kita seringkali menggunakan mata kita untuk mencari umpan balik dari orang lain. Dalam berbicara dengan seseorang, kita memandangnya dengan sungguh-sungguh, seakan-akan mengatakan, “Nah, bagaimana pendapat Anda?’. Seperti mungkin yang Anda duga, pendengar memandang pembicara lebih banyak ketimbang pembicara memandang pendengar. Riset mengungkapkan bahwa presentasi waktu interaksi yang digunakan untuk memandang sambil mendengarkan adalah antara 62 dan 75 persen. Sedangkan presentase waktu yang digunakan untuk memandang sambil berbicara adalah antara 38 persen dan 41 persen.

  2. Menginformasikan Pihak Lain untuk Berbicara. Fungsi kedua adalah menginformasikan pihak lain bahwa saluran komunikasi telah terbuka dan bahwa ia sekarang dapat berbicara. kita melihat ini dengan jelas di ruang kuliah, ketika dosen mengajukan pertanyaan dan kemudian menatap salah seorang mahasiswa. Tanpa mengatakan apa-apa, dosen ini jelas mengharapkan mahasiswa tersebut untuk menjawab pertanyaannya.

  3. Mengisyaratkan Sifat Hubungan. Fungsi ketiga adalah mengisyaratkan sifat hubungan antara dua orang. Misal, hubungan positif yang ditandai dengan pandangan terfokus yang penuh perhatian. Hubungan negatif yang ditandai dengan penghindaran kontak mata. Kita juga dapat mengisyaratkan tata hubungan status dengan mata kita. Ini khususnya menarik karena gerakan mata yang sama mungkin mengisyaratkan subordinasi atau superioritas. Sebagai contoh, seorang atasan mungkin menatap bawahannya atau tidak mau melihatnya langsung saat berkomunikasi. Demikian pula, bawahan mungkin menatap langsung atasannya atau barangkali hanya menatap lantai.

  4. Mengkompensasi Bertambahnya Jarak Fisik. Akhirnya gerakan mata dapat mengkompensasi bertambah jauhnya jarak fisik. Dengan melakukan kontak mata, kita secara psikologis mengatasi jarak fisik yang memisahkan kita. Bila kita menangkap pandangan mata seseorang dalam sebuah pesta sebagai contoh, secara psikologis kita menjadi dekat meskipun secara fisik jarak di antara kita jauh.

  5. Fungsi Penghindaran Kontak Mata. Penghindaran kontak mata dapat mengisyaratkan ketiadaan minat terhadap seseorang, pembicaraan, atau rangsangan visual tertentu. Ada kalanya, seperti burung unta, kita menyembunyikan mata kita untuk menghindari rangsangan yang tidak menyenangkan.

  6. Pembesaran Pupil Mata. Selain terhadap gerakan mata, banyak pula riset yang telah dilakukan menyangkut pembesaran pupil mata (pupil

  dilation ), atau pupilometri, sebagian besar sebagi akibat dorongan dari

  ahli psikologi Ekhard Hess (1975). Pada abad kelimabelas dan keenambelas di Italia, kaum perempuan bisa meneteskan belladonna (secara harfiah berarti “perempuan cantik”) ke mata mereka untuk membesarkan pupil mata sehingga mereka kelihatan lebih cantik. Pupil mata juga menunjukkan minat dan tingkat kebangkitan emosi kita. Pupil mata kita membesar bila kita tertarik pada sesuatu atau bila secara emosional kita terangsang. Barangkali kita menganggap pupil mata yang membesar sebagai hal yang menarik karena kita menganggap pupil mata yang membesar dari seseorang menunjukkan bahwa yang bersangkutan tertarik pada kita. Menurut Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi, bentuk lain dari

  

kinesics yang dimaksud DeVito adalah komunikasi tubuh adalah gerakan tangan,

  kaki, dan kepala. Orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi sering menggerakkan kepala dan tangannya selama berinteraksi. Beberapa dari gerakan kepala dan tangan tersebut dilakukan secara sadar dan beberapa lainnya dilaksanakan secara tidak sengaja.

  Gerakan-gerakan yang dilakukan saat melakukan tindak komunikasi pastilah memiliki makna. Gerakan tangan cenderung digunakan paling banyak oleh orang yang sedang berbicara. Misal, ketika mahasiswa membawakan materi saat presentasi di depan kelas atau ketika pembicara memaparkan materi saat mengisi acara seminar.

  Berbeda dengan pembicara, pendengar cenderung menggunakan gerakan kepala. Gerakan kepala yang paling umum digunakan oleh orang-orang yang sedang mendengar adalah anggukkan dan gelengan kepala. Gerakan kepala yang lain adalah dengan mengernyitkan atau mengerutkan dahi. Gerakan ini bermakna bahwa orang yang sedang mendengarkan memberikan umpan balik (feedback) kepada pembicara (Sendjaja, 2002: 6.19)

  Gerakan tangan menyajikan banyak fungsi pesan bagi pembicara selama interaksi berlangsung, yaitu menegaskan atau menjelaskan apa yang dikatakan, memberi penekanan pada pembicaraan dan mengilustrasikan apa yang sedang dikatakan. Tujuan dari gerakan tangan ini adalah untuk menunjukkan intensitas pesan. Misal, berjabat tangan dengan cepat untuk mengekspresikan kegembiraan.

  Selain komunikasi tubuh, komunikasi nonverbal selanjutnya adalah ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan. Dalam konteks ini, ruang yang dimaksud adalah jarak yang memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Komunikasi ruang sering disebut dengan proxemics. DeVito (2011) menjelaskan bahwa pemusatan perhatian dalam pembahasan terkait komunikasi ruang adalah jarak ruang (spasial). Terdapat empat jarak spasial yaitu :

  1. Jarak Intim. Dalam jarak intim, mulai dari fase dekat (bersentuhan) sampe ke fase jauh sekitar 15 sampai 45 cm, kehadiran seseorang sangat jelas. Masing-masing pihak dapat mendengar, mencium, dan merasakan napas yang lain.

  2. Jarak pribadi. Kita semua memiliki daerah yang kita sebut dengan jarak pribadi. daerah ini melindungi kita dari sentuhan orang lain.

  Dalam fase dekat jarak pribadi ini (antara 45 sampai 75 cm), kita masih dapat saling menyentuh atau memegang tetapi hanya dengan mengulurkan tangan kita.

  3. Jarak Sosial. Dalam jarak sosial kita kehilangan detil visual yang kita peroleh dalam jarak pribadi. Fase dekat (dari 12 sampai 210cm) adalah jarak jarak yang kita gunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan interaksi-interaksi dalam pertemuan sosial.

  4. Jarak Publik. Pada fase dekat dari jarak publik (360 sampai 450 cm) orang terlindung oleh jarak. Pada jarak ini seseorang dapat mengambil tindakan defensive bila terancam. Dalam Modul Teori Komunikasi, Antropolog Edward T. Hall mendefiniskan empat jarak yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, Ia menjelaskan bahwa kita memilih satu jarak khusus bergantung pada bagaimana kita merasakan terhadap orang lain pada suatu situasi tertentu, konteks percakapan dan tujuan-tujuan pribadi kita. Namun, empat jarak ini hanya menggambarkan perilaku orang-orang Amerika Utara dan sangat mungkin berbeda dengan orang- orang yang berasal dari budaya lain.

  Lebih lanjut, jenis komunikasi nonverbal berikutnya adalah kewilayahan. Kewilayahan disini memiliki hubungan dengan kekuasaan. Ketika suatu wilayah dikuasai oleh seekor harimau jantan, maka harimau jantan itu akan memperbolehkan calon pasangannya untuk memasuki wilayahnya. Dalam konteks kehidupan manusia, kekuasaan bisa berupa jabatan. Misal, dalam sebuah perusahaan, seorang direktur utama memiliki kekuasaan untuk memasuki tiap ruangan di perusahaan tersebut.

  Tak hanya berhubungan dengan kekuasaan, kewilayahan juga dapat memberikan pesan nonverbal yang dapat merepresentasikan pemilik wilayahnya. Misal, rumah yang dapat merefleksikan makna tertentu yang berkaitan dengan empunya. Ketika kita memasuki rumahnya, dengan segera kita dapat memperoleh kesan mengenai kepribadian empunya. Demikian pula dengan kesan yang diberikan oleh barang-barang yang dimilikinya. Hal ini terjadi karena orang cenderung memilih benda atau lingkungan tempat tinggal yang dapat merefleksikan citra diri dan kepribadiannya.

  Komunikasi sentuhan atau disebut juga dengan haptics. Dari segi perkembangan, sentuhan barangkali merupakan sense yang pertama kali kita gunakan. Menurut DeVito (2011: 203) terdapat lima makna utama sentuhan, yaitu:

  1. Afeksi Positif. Sentuhan dapat mengkomunikasikan emosi positif. Ini utamanya terjadi antara pasangan intim atau semacamnya yang memiliki hubungan yang relatif dekat.

  2. Bercanda. Sentuhan dapat mengkomunikasikan keinginan kita bercanda, dengan perasaan kasih sayang ataupun secara agresif.

  3. Mengarahkan/Mengendalikan. Sentuhan mungkin juga mengarahkan perilaku, sikap, atau perasaan orang lain. Pengarahan demikian dapat mengkomunikasikan sejumlah pesan dalam bentuk perintah sebagai contoh, kita menyentuh orang lain untuk mengkomunikasikan “pindahlah”.

  4. Ritual. Sentuhan ritualistic terpusat pada salam dan perpisahan.

  Menjabat tangan untuk mengatakan “halo” atau “sampai jumpa” merupakan contoh jelas dari sentuahan ritualistic.

  5. Ketertarikan dengan Tugas. Sentuhan yang berkaitan dengan tugas dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan fungsi tertentu. Ini dapat bermacam-macam mulai dari menghilangkan debu dari kerah baju seseorang sampai membantu seseorang keluar dari mobilnya.

  Haptics atau sentuhan atau kontak tubuh dikatakan oleh Emmert dan

  Donaghy sebagai cara terbaik untuk mengkomunikasikan sikap pribadi, baik yang positif maupun negatif. Frekuensi dan durasi sentuhan dapat menjadi indikator tentang persahabatan dan rasa suka di antara orang yang melakukannya. Sentuhan dapat pula menjadi indikator yang paling ekstrim dari rasa tidak suka atau kemarahan, seperti menampar, menyepak, memukul, dan sebagainya (Sendjaja, 2002: 6.21).

  Cara-cara atau jenis sentuhan dapat pula menunjukkan posisi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, khususnya dalam pengertian dominan dan submisif (seperti mengelus kepala, mencium tangan, dan sebagainya).

  Terakhir, parabahasa dan waktu. Parabahasa dan waktu adalah jenis komunikasi nonverbal terakhir. DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) mengatakan bahwa parabahasa meliputi tekanan atau tinggi rendahnya pengucapan kata, kecepatan, volume, dan irama. Parabahasa juga mencakup vokalisasi yang kita lakukan ketika menangis, berbisik, mengerang, bersendawa, menguap, dan berteriak. Kemudian, waktu (chronemics). Dalam konteks ini, waktu dibagi menjadi dua, yaitu :

  1. Waktu Kultural. Waktu kultural terbagi atas tiga. Pertama, waktu ilmiah yang menggunakan milidetik dan tahun atomik. Biasanya hanya digunakan di ruang laboratorium. Kedua, waktu formal yang menggunakan hitungan normal biasanya seperti detik, menit, jam, hari, minggu, dsb. Ketiga, waktu informal yang menggunakan kata-kata sepeti selamanya, segera, secepat mungkin, dsb.

  2. Waktu Psikologis. Waktu psikologis mengacu pada tingkat kepentingan kita letakkan pada masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Pada orientasi masa lalu, kita menghargai masa lampau. Sedangkan dalam orientasi masa kini, kita hidup untuk saat ini, bukan untuk esok. Berbeda halnya dengan orientasi masa kini, kita memandang ke depan dan hidup untuk hari esok.

2.2.3 Orientasi Seksual

  Dalam buku Sexuality Now : Embracing Diversity, orientasi seksual merujuk pada seseorang yang tertarik secara emosional, fisik, seksual, dan romantis. Heteroseksual adalah seseorang yang tertarik dengan lawan jenisnya, sedangkan homoseksual tertarik dengan jenis kelamin yang sama; dan biseksual tertarik dengan keduanya, pria dan perempuan (kata gay sering digunakan untuk homoseksual laki-laki, sedangkan kata lesbian sering digunakan untuk homoseksual perempuan).

  “Sexual orientation refers to the genders that a person is attracted to emotionally, physically, sexually, and romantically. Heterosexuals are predominantly attracted to members of the other sex; homosexuals to members of the same sex; and bisexual are attracted to both men and women (the word gay is often used to refer to a male homosexual, while the word lesbian is often used to refer to a female homosexual)

  (Carroll, 2010: 314).

  Sebelum tahun 1980-an sebagian besar penelitian yang dipublikasikan tentang homoseksualitas difokuskan pada penyebab atau gangguan mental (karena homoseksualitas diklasifikasikan seperti itu sampai 1973), dan pada 1990-an, HIV dan AIDS mendominasi studi penelitian, sehingga penelitian tentang homoseksualitas kurang popular.

  Spencer dalam bukunya Sejarah homoseksualitas dari Zaman Kuno

  

Hingga sekarang (2004) menjelaskan bahwa sejak jaman prasejarah homoseksual

  sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman di kepulauan Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya untuk mendapatkan penetrasi pada anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritual heteroseksual, tetapi kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada anak-anaknya, sehingga turut menyebabkan terjadinya jalinan homoseksual, yakni antara sesama laki-laki.

  Lebih lanjut, menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin. Misal, antara Zeus dan Ganymede, Herakles dan Iolaus (Hylas), Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), sang penakluk dari Macedonia. Berbeda dengan masyarakat Yunani Kuno, Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan moralitas yang mengharamkan perbuatan homoseks dan bahkan mengatur pengharaman itu melalui berbagai undang-undang (Oetomo, 2001: 53). Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada kehidupan homosekseksual di Roma. Oetomo mencatat bahwa terdapat maharaja (kaisar) Roma yang menyukai perbuatan homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon pernah bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi seperti Virgil, Horatius, Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung mereka.

  Sejalan dengan Oetomo, Morton Hunt, seorang pakar yang pada tahun 1979 menulis sebuah buku berjudul Gay : What You Should Know About

  

Homosexuality menyatakan bahwa 2400 tahun yang lalu di Athena, Yunani,

  homoseksualitas merupakan tradisi yang lazim dilakukan oleh orang-orang dari kalangan terhormat. Bahkan bangsa Sparta di Barat daya Yunani, yang terkenal gagah dan ahli perang, juga merupakan orang-orang yang melakukan praktik homoseksual. Demikian pula di kalangan suku bangsa Chukchi di Timur Laut Siberia yang kebudayaannya mirip dengan orang-orang Eskimo, pada kira-kira 150 tahun masih mengenal apa yang dinamakan berdache. Berdache adalah remaja-remaja pria yang merasa dirinya tidak kuat melakukan pekerjaan- pekerjaan berat (berburu dan berperang) dan karena itu mereka mengubah diri menjadi perempuan, berpakaian dan bertingkah laku sebagai perempuan dan kemudian bahkan dinikahi oleh pria. Kaum berdache ini dianggap menjadi demikian karena kekuatan gaib, karena itu mereka tidak dianggap abnormal, bahkan dianggap mempunyai kemampuan gaib untuk menyembuhkan penyakit (Sarwono, 2011: 229

  • – 230) Selain gay, lesbian juga merupakan jenis relasi homoseksual. Dalam Kartono (2009: 249), lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para perempuan. Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan diikuti kata

    Lesbia , namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian.

    Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian.

  I stilah “lesbian” bermula dari kisah dewi dan penyair dari mitologi Yunani, Sappho. Kata “lesbian” diambil dari kata Lesbos, tempat kelahiran penyair Sappho. Sappho adalah penyair Yunani Kuno yang terlahir di kota Eressos di Pulau Lesbos. Di tanah kelahirannya itulah kebudayaan terpusat selama abad ketujuh sebelum Masehi. Dia digambarkan sebagai seorang perempuan berperawakan mungil, berkulit gelap, dan berwajah buruk. Banyak puisi cinta Sappho yang ditujukan bagi perempuan. Kata lesbian sendiri diambil dari nama pulau (Lesbos) kelahiran penyair itu. Nama Sappho pun merupakan kata awal bagi jenis puisi yang jarang ditemui, yakni ”sapphic”. Ia banyak menulis syair- syair cinta terhadap sesama perempuan pada abad ketujuh sebelum Masehi. Kata- katanya yang penuh luapan emosi dinyanyikan, dengan iringan kecapi. Sajak ekspresi cinta terhadap kawan-kawan perempuannya di Pulau Lesbos (Yunani) itu mengejutkan, sekaligus disukai, oleh para pembaca dari beberapa generasi sejak puisi tersebut dituliskan.

  ”Dari puisi ini, sangat jelas terasa Sappho punya hubungan spesial dengan perempuan-perempuan dalam hidupnya. Sangat mungkin itu hubungan seksual,” kata Martin West, penerjemah puisi asal Universitas Oxford. ”Para perempuan itu bergabung dalam sebuah komunitas yang sering berinteraksi antarsesama, dan tidak melibatkan kaum adam. Secara jelas mereka juga menikmati kebahagiaan mereka katanya

  ,” (https://mesappho.wordpress.com/2014/03/18/sejarah-lesbian/). Penelitian berfokus pada kehidupan lesbian dan komunitas lesbian khususnya, memang masih tertinggal jauh dari penelitian pada gay terdahulu. Menurut Carroll (2010), secara keseluruhan, penelitian tentang lesbianisme menunjukkan identitas seksual perempuan kurang tegas daripada laki-laki. Perempuan tidak digolongkan ke dalam kategori homoseksual-heteroseksual. Mungkin ini adalah karena fakta bahwa masyarakat kurang terancam oleh seksualitas lesbian dari sekitar seksualitas gay. Temuan menarik lainnya tentang lesbian termasuk fakta bahwa lesbian juga bergantung pada penerimaan dari orang tua mereka. Lesbian yang merasa bahwa ibu mereka telah menerima orientasi seksual mereka, maka mereka memiliki harga diri yang lebih tinggi dan lebih nyaman dengan lesbianisme mereka.

  “Again, much of this hinges on the amount of acceptance from their parents. Lesbians who feel that their mothers are accepting about their sexual orientation have been found to have higher self-esteem and report

being more comfortable with their lesbianism (Carroll, 2010: 340).

  Menurut dr. Lukas, sering kali orang tua memiliki konsep hidup yang ideal tentang memiliki anak, menikahkan, dan akhirnya mempunyai cucu. Ketika anaknya coming out sebagai homoseksual, tentu mengagetkan. Sedikitnya ada tiga tipe respon orang tua ketika anaknya coming out. Pertama, respon yang ekstrem. Orang tua cenderung keras dan bahkan bahkan bisa menyiksa hingga membunuh anaknya karena homoseks. Kedua, respon yang normatif. Pada awalnya orang tua bingung dan kurang menerima, kemudian bisa menjadi toleran. Ketiga, respon yang toleran (Manaf, 2011: 13).

  Perempuan mungkin menyadari identitas lesbian mereka melalui hubungan dekat dengan perempuan lain, sedangkan pria mungkin menemukan homoseksualitas mereka melalui kontak sosial/seksual kasual. Setelah orang- orang mulai menerima identitas lesbian mereka sendiri, mereka biasanya memasuki masa eksplorasi, mencoba untuk menentukan apa artinya baik secara sosial maupun seksual. Akan tetapi, jika identitas lesbian mereka masih ditutupi, hal itu bukan tanpa alasan.

  Manaf dalam Kami Tidak Bisu (2011) mengatakan bahwa ketertutupan lesbian selama ini bukan tanpa alasan. Membuka jalan hidup sebagai lesbian yang minoritas dan terpinggirkan memang dapat mengancam keamanan mereka sendiri. Apalagi adanya fakta lesbian yang trauma akibat penolakan dari orang tua, teman dekat, dan lingkungan kerja. Ditambah lagi pemberitaan tentang perlakuan masyarakat yang homofobia terhadap lesbian, membuat teman-teman tidak percaya diri menghadapi situasi tersebut dan berusaha menutupinya.

Dokumen yang terkait

I. IDENTITAS RESPONDEN No. Identitas Keterangan - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengorganisasian 2.1.1 Definisi Pengorganisasian - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara

0 1 10

Pengaruh Perubahan Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

Pertumbuhan Bibit Bud Chips Tebu(Saccharum officinarum L.) Pada Berbagai Umur Bahan Tanaman dengan Pemberian BAP.

0 0 35

PENDAHULUAN Latar Belakang - Pertumbuhan Bibit Bud Chips Tebu(Saccharum officinarum L.) Pada Berbagai Umur Bahan Tanaman dengan Pemberian BAP.

0 2 10

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing Pada Pt Kartika Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware)

0 0 10

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing Pada Pt Kartika Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware)

0 0 31

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing Pada Pt Kartika Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware)

0 0 16

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Multi Level Marketing Pada Pt Kartika Swarna Dwipa (Kantor Distributor Tupperware)

0 0 12