BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

  PENDAHULUAN A. Latar Belakang

  Sejak tahun 1970-an di Indonesia telah berkembang pemikiran bahwa peranan hukum dalam masyarakat tidak hanya mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, akan tetapi bahwa hukum dapat juga berperan sebagai sarana

  1

  pembangunan masyarakat kearah yang kita kehendaki. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa hukum harus diarahkan untuk menampung kebutuhan hukum negara dan rakyat kearah kemajuan pembangunan sehingga tercapai tingkat ketertiban dan kepastian hukum secara seimbang yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

  Indonesia menerapkan pendekatan baru dalam upaya mencegah dan memberantas kejahatan, melengkapi pendekatan konvensional yang telah lama dilakukan. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan Anti Pencucian uang atau pendekatan follow the money yang berusaha untuk mencegah dan memberantas kejahatan dengan menelusuri harta kekayaan hasil kejahatan khususnya yang terdapat pada industri keuangan.

  Dalam dunia modern, transaksi keuangan berkembang sangat pesat seiring dengan perubahan perdagangan dunia yang semakin mengglobal.

  Perkembangan transaksi keuangan tersebut terjadi, baik pada transaksi keuangan tunai maupun non tunai. Transaksi pada masa yang akan datang memerlukan kecepatan dan keakuratan tinggi, karena transaksi tidak saja dilakukan dalam 1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengembangan Filsafat Hukum bisnis tradisional secara tunai akan semakin ditinggalkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih akan memudahkan transaksi non tunai melalui sarana elektronik atau perbankan. Pada prinsipnya, terjadinya transaksi non tunai bertujuan untuk meminimalisasi resiko, mempermudah komunikasi atau melanggengkan hubungan bisnis antar para

  2 pihak yang telah terjalin cukup baik dan berlangsung lama.

  Harus diakui bahwa bagi masyarakat pada umumnya, transaksi dengan uang tunai memiliki beberapa kelebihan dan sampai sekarang dianggap lebih menarik untuk digunakan dibandingkan dengan melakukan transaksi secara non tunai (electronic money). Beberapa kelebihan tersebut antara lain: kepastian diterima (certainty of acceptance); penyelesaian segera (immediate settlement); tidak memerlukan infrastruktur (no infrastructure requirement); kemudahan penggunaan (ease of use); kemudahan pemantauan (ease of monitoring);

  3 anonimitas (anonymity); dan dijamin negara (state-underpinning).

  Berbeda dengan penelitian PRIDE Indonesia dan Majalah Info bank terdapat tiga alasan utama masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas dalam memilih lembaga perbankan untuk transaksi keuangannya, yaitu faktor lokasi atau dekat dengan tempat tinggal/kantor (23,5%), transaksi lebih mudah karena jaringan automated teller machine (ATM) dan kantor cabangnya banyak (22,9%), dan lebih aman karena bank pemerintah (20,5%). Alasan lain yang melatarbelakangi keputusan memilih lembaga perbankan adalah citra baik dan 2 Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Kajian Pembatasan Transaksi Tunai, September 2012, Hlm. 3. 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai/ http:www.bphn.go.id//, diakses pada 27 November 2014.

  (3,2%), dan alasan-alasan lain, seperti rekomendasi keluarga, fasilitas bagus, dan

  4 banyak yang menggunakan (9,6%).

  Sejalan dengan itu, laporan PPATK yang menemukan bahwa terdapat laporan transaksi tunai yang mencurigakan sebanyak 54% yang dilakukan pada kisaran nilai di bawah Rp. 4 miliar per sekali transaksi dan 46% sisanya dilakukan di atas Rp. 4 miliar per sekali transaksi. Jika dilihat dari kategori pekerjaannya,

  5 ditemukan pula bahwa sekitar 50% terlapor berprofesi sebagai PNS.

  Hasil analisis Transaksi Keuangan mencurigakan yang dilakukan PPATK mengindikasikan bahwa sumber dari transaksi mencurigakan itu terutama berasal dari transaksi Korupsi. Selain merupakan porsi paling besar, jumlahnya pun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari 4.050 jumlah kumulatif kasus tindak pidana berdasarkan Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (LTKM), 1.771 kasus di antaranya diindikasikan sebagai kasus korupsi, dengan jumlah yang meningkat pesat dari 144 kasus di tahun 2008 menjadi 493 kasus di tahun 2011. Selain jumlah transaksi yang meningkat jumlah pembawaan uang tunai yang keluar ataupun masuk ke Indonesia ternyata meningkat pula dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan ke PPATK, pembawaan uang tunai melebihi jumlah Rp 100.000.000,- (seratus juta

  6 rupiah) atau setara, paling banyak terjadi di Jakarta yang diikuti dengan Batam.

4 Agus Herta Sumarto, Kenapa Orang Kaya Lebih Memilih Bank dalam Bertransaksi,

  diakses, 5 desember 2014 5

  ”Batasi Suap,PPATK Usul Transaksi di Atas Rp.100 Juta Lewat

Transfer”http://www.Infobanknews.com/2011/06/batasi-suap-ppatk-usul-transaksi-di-atas rp100- juta-lewat-transfer/,diakses 1 Desember 2014. 6 uang dan transaksi tunai inilah yang kemudian menjadi salah satu modus kegiatan korupsi dan pencucian uang. Penggunaan uang tunai dalam transaksi tindak pidana korupsi dan pencucian uang kerap dilakukan karena aliran dana tunai tersebut sulit untuk dilacak darimana uang tersebut berasal dan kemana alirannya, karena tidak tercatat secara resmi melalui sistem keuangan.

  Transaksi tunai adalah sebab dari segala persoalan yang kita hadapi termasuk korupsi yang masih sangat sistemik dan merajalela. Namun tidak semua transaksi tunai itu pertanda korupsi. Karena masih banyak masyarakat Indonesia seperti, para petani yang baru panen sering mempunyai uang tunai dalam jumlah yang tidak sedikit dan menyimpan uangnya sendiri dirumah. Hal ini disebabkan mereka tidak memiliki rekening bank, maka semua transaksi dilakukan dengan cara tunai. Disini kita dihadapkan kepada kesadaran dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai lembaga perbankan yang seharusnya menjadi lembaga tempat transaksi dan penyimpanan uang. Para petani, nelayan, atau buruh adalah warga Negara yang harus menjadi sasaran perbaikan ekonomi agar kelak bisa mengerti dengan hukum, politik dan ekonomi. Mereka harus di naikkan kualitas

  7

  kehidupannya,pendidikan,kesehatan dan sebagainya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai institusi yang mempunyai tugas menganalisis transaksi keuangan mengusulkan transaksi tunai dibatasi sampai jumlah tertentu. Pembatasan ini diperlukan agar upaya penyuapan yang mengarah pada tindak pidana khususnya korupsi dapat dicegah lebih dini, dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam 7 Andri Gunawan dkk, Membatasi Transaksi Tunai Peluang Dan Tantangan memberikan manfaat untuk Pemerintah, antara lain menghemat jumlah uang yang harus dicetak, menghemat bahan baku uang, menghemat biaya penyimpanan (fisik) uang di Bank Indonesia, mengurangi peredaran uang palsu, mendidik dan

  8 mendorong masyarakat untuk menggunakan jasa perbankan dalam bertransaksi. .

  Pembatasan transaksi tunai akan mendorong penggunaan transaksi non- tunai. Penggunaan transaksi non-tunai menciptakan efisiensi berupa penurunan biaya transaksi bagi konsumen dan produsen serta meningkatnya kepuasan masyarakat karena terpenuhinya kebutuhan akan alat pembayaran yang lebih praktis. Pembatasan transaksi tunai juga akan mendorong masyarakat untuk beralih dari transaksi tradisional dengan barter atau tunai, kearah transaksi melalui sistem pembayaran yang lebih cepat, efisien, akurat dan modern melalui perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.

  Berkaca pada hal demikian, pada tahun 2011, pemerintah Indonesia dalam Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Instrusksi tersebut mencakup; strategi bidang pencegahan; strategi bidang penindakan; strategi bidang harmonisasi peraturan perundang-undangan; strategi bidang penyelamatan asset korupsi; strategi bidang kerja sama internasional; dan strategi bidang mekanisme pelaporan. Dalam bagian strategi harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan nomor 93 Inpres tersebut, diamanatkan sebuah aksi dalam implementasi UU Transfer Dana ( UU No. 3 Tahun 2011 ). Adapun keluaran (out 8 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi perihal pembatasan transaksi tunai oleh BI dan Kementerian Keuangan pada

  9 bulan Desember 2012.

  Pembatasan pembawaan uang tunai di Indonesia bukanlah hal baru karena Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikeluarkan telah jauh menetapkan suatu ketentuan mengenai kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan pembawaan uang tunai rupiah sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau lebih, atau dalam mata uang asing yang nilainya setara Rp.

  100.000.000,- (seratus juta rupiah)untuk melaporkannya kepada Ditjen Bea dan

10 Cukai berikut dengan sanksinya. Dari keseluruhan pengaturan pembawaan uang

  tunai, ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana pencucian uang secara tegas diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, mengatur

  “bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri , mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.

  ” Secara yuridis pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai pernah diberlakukan di Indonesia melalui UU No.18 tahun 1946 tentang kewajiban

  Menyimpan Uang Dalam Bank. Ketentuan tersebut memang secara tidak 9 10 Andri Gunawan dkk, Op Cit,hlm 5.

Pasal 34 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

  batasan uang yang boleh digunakan dalam transaksi tunai. Di samping itu Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan (ad interim) Mohammad Hatta pada 30 Oktober 1948 menetapkan UU No 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank.

  Dengan adanya pembatasan transaksi tunai, dimana setiap transaksi dalam jumlah besar harus melalui lembaga keuangan, diharapkan semua transaksi akan tercatat dalam pembukuan. Pembatasan ini termasuk juga didalamnya transaksi yang menggunakan e-money, baik berupa kartu debit maupun kredit. Selain memberikan dampak atau pengaruh pada pemberantasan praktik korupsi dan pencucian uang dengan signifikan,adanya pembatasan transaksi tunai juga diarahkan untuk mewujudkan cita-cita menuju masyarakat non-tunai atau less-

  

cash society dan juga efisiensi sistem pembayaran. Hal ini diharapkan dapat

  mengurangi budaya menggunakan uang tunai dalam kegiatan ekonomi di masa

  11 mendatang.

  Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencu cian uang, sehingga penulis mengangkat judul “Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.” B.

   Perumusan masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah : 11 Apa yang menjadi urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia ? 2. Bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang ?

C. Tujuan penulisan

  Adapun tujuan utama penulisan ini adalah untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana hukum. Namun berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan lain yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui urgensi pembatasan transaksi tunai di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui bagaimana pembatasan transaksi keuangan tunai dan relevansinya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat penulisan

  Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1.

   Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu hukum.

2. Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

  bagi pembaca dan penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul “Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang” belum pernah pertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian transaksi tunai.

  Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ialah Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas

  12 dan/atau uang logam.

  Transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan tunai merupakan transaksi keuangan secara tunai yang dilakukan oleh nasabah atau pengguna jasa keuangan dengan Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, lembaga penyimpanan dan penyelesaian,

  13 pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.

  Transaksi keuangan tunai yang wajib dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan kepada PPATK adalah transaksi yang memenuhi kriteria sebagai

  14

  berikut: 1.

  Merupakan penarikan/penerimaan atau penyetoran/pembayaran dengan menggunakan uang tunai (uang kertas dan atau uang logam);

  2. Dalam jumlah kumulatif Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau dalam mata uang asing nilainya setara dan:

3. Dilakukan dalam satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari

  12 kerja pada satu atau beberapa kantor dari satu Penyedia Jasa Keuangan.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

13 Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan, Pedoman Laporan Transaksi Keuangan Tunai dan Tata Cara Pelaporanya Bagi Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta:PPATK,2004)hlm.3.

  14 dilaporkan oleh Penyedia Jasa Keuangan, adalah sebagai berikut : a.

  Seorang nasabah pemegang rekening dalam 1(satu) hari kerja melakukan satu atau beberapa kali transaksi penarikan tunai dari rekeningnya dengan nilai kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih pada satu kantor Penyedia Jasa Keuangan yang sama atau di beberapa kantor dari Penyedia Jasa Keuangan yang sama.

  b.

  Seorang nasabah pemegang rekening dalam 1(satu) hari kerja melakukan satu atau beberapa kali transaksi penyetoran tunai dengan nilai kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih pada satu kantor Penyedia Jasa Keuangan yang sama atau di beberapa kantor dari Penyedia Jasa Keuangan yang sama ke rekeningnya atau kerekening orang lain.

  c.

  Seorang walk-in customer menggunakan/memanfaatkan jasa Penyedia Jasa Keuangan dengan melakukan transaksi yang menggunakan uang tunai sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 hari kerja.

  d.

  Seorang walk-in customer melakukan pengiriman uang (remittance) kepada penerima dengan melakukan penyetoran tunai sebesar Rp.

  500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 hari kerja.

  e.

  Seorang walk-in customer menerima transfer dana atau kiriman uang dari pihak lain dan menariknya secara tunai sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 hari kerja.

   Pengertian Pembatasan Transaksi Tunai.

  Pembatasan Transaksi Tunai adalah suatu mekanisme atau sistem untuk membatasi transaksi dengan uang tunai, dimana semua transaksi diatas batas yang ditentukan harus dilakukan melalui sistem perbankan. Misalnya transaksi tunai dibatasi Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) atau Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) hari, dimana transaksi diatas batas tersebut, harus dilakukan melalui sistem perbankan. Sebenarnya makin kecil pembatasan transaksi tunai itu semakin baik, namun karena mempertimbangkan kesiapan masyarakat dan perbankan, maka pembatasan transaksi tunai maksimal Rp. 100.000.000,- dan dapat diperkecil secara bertahap sesuai dengan kesiapan

  

15

masyarakat dan perbankan di Indonesia.

  Peraturan mengenai batas transaksi keuangan tunai yang dapat dilakukan dalam satu kali transaksi, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdapat didalam pasal 23 UU Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan , Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.00,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara,yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi,dan transaksi keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK.

  Transaksi yang perlu dilakukan pembatasan adalah yang berkaitan dengan transaksi: Transfer dana yang sumbernya dari setoran tunai, setoran tunai untuk 15

  “Pembatasan Transaksi Tunai Solusi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang

  Lainnya”

  16 transfer debet (cek).

  Pada dasarnya transaksi keuangan mencurigakan diawali dari transaksi

  17

  antara lain: 1.

  Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas.

  2. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran.

  3. Aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.

  Menurut Yunus Husein, faktor yang mendasari perlunya pembatasan transaksi tunai yaitu : a.

  Pergeseran kebiasaan transaksi perbankan oleh sebagian masyarakat menjadi transaksi tunai berupa setor tunai dan tarik tunai.

  b.

  Trend transaksi tunai semakin meningkat yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk meyulitkan upaya pentrasiran/pelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).

  c.

  Peningkatan trend ini diduga dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana pencucian uang.

  d.

  Transaksi secara tunai mempersulit penegak hukum dalam melakukan penelusuran harta kekayaan hasil kejahatan.

  e.

  Tidak sejalan dengan tujuan “less cash society” karena dilakukan dalam jumlah besar (biasanya diatas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), 16 17 Ibid.

  Penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang

  “non bank channel”.

  f.

  Pengaturan pembatasan transaksi tunai mendorong masyarakat mengoptimalkan penggunaan jasa perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya.

  g.

  Selain untuk kebutuhan penegakan hukum, pengaturan mengenai pembatasan transaksi tunai sejalan dengan pengaturan dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran.

  Dengan penerapan pembatasan transaksi tunai (restrictions on cash

  

transactions/limitations on cash transactions ) atau pembatasan pembayaran tunai

  (restrictions on cash payments/limitations on cash payments) akan mendorong

  

less cash society (minimalisasi penggunaan uang tunai) atau transaksi non tunai

  (non cash transaction). Dimana dengan penerapan pembatasan transaksi tunai tersebut, seluruh bank dan lembaga keuangan lainnya ikut berperan aktif dalam pencegahan korupsi dan money laundering (pencucian uang) lainnya, disamping

  

18

menjalankan fungsi dan tugas utamanya.

3. Pengertian tindak pidana korupsi .

  Pengertian atau asal kata korupsi menurut Focke Andreae dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus (

  

Webster Student Dictionary ; 1960 ), yang selanjutnya disebutkan bahwa

corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa

  latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti 18

  “Pembatasan Transaksi Tunai Solusi Pemberantasan Korupsi dan Pencucian Uang

Lainnya”

di akses pada 3 Desember

  

corruptie ( Korruptie ), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa

  19 Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.

  Ensiklopedi Indonesia mengartikan korupsi sebagai gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Secara harfiah, korupsi

  20

  memiliki arti yang sangat luas, antara lain sebagai berikut:

  a) Korupsi adalah penyelewengan atau pengelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

  b) Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasannya untuk kepentingan pribadi).

  Pengertian tindak pidana korupsi harus merujuk pada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau digolongkan dalam tindak pidana korupsi itu karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu.

  Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan. Jika tidak ada defenisi yang tegas dalam undang-undang tersebut maka harus melihat rumusannya dari unsur- unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak

  21 pidana.

19 Andi Hamzah, ,Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: (PT. Rajagrafindo Persada 2006), hlm 4-6.

  20 21 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika,2005),hlm. 8 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi : “Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan aras Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”

  Berdasarkan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  22 1.

  Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara.

  2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap,yaitu menyuap pegawai negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya; pegawai negeri menerima suap; pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya; menyuap hakim; menyuap advokat; hakim dan advokat yang menerima suap; hakim yang menerima suap; advokat yang menerima suap.

  3. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri 22 R. Dyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti; pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.

  4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain.

  5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNI/POLRI berbuat curang; pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; penerima barang TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain.

  6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya.

  7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi.

  Selain tujuh kelompok jenis tindak pidana korupsi tersebut maka masih ada 7 (tujuh) tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; saksi membuka identitas pelapor. Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ialah berdasarkan

  Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”, yaitu orang perseorangan ataupun korporasi.

  Pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor

  31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 lebih diperluas dibanding dengan pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang mana pengertian mengenai pelaku tindak pidana korupsi itu adalah siapa saja atau orang

  23 perorangan saja.

  Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan “korporasi” adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yan terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Bentuk dari badan-badan hukum di Indonesia terdiri dari; Perseroan Terbatas (PT).

  Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian Negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa(ordinary-crimes) melainkan telah menjadi 23 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,(Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,2002), hlm. 16. pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara- cara yang luar biasa. (extra-ordinary enforcement).

  Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes, menurut Romli Atmasasmita

  24

  dikarenakan : 1.

  Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkt dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan.

  Centre For International Crime Prevention (CICP) salah satu organ

  Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di Wina telah secara luas mendefenisikan korupsi ”misuse of (public) power for private gain”. Berbagai wajah korupsi oleh CICP sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery); penggelapan (embezzlement); penipuan (freu); pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (extortion); penyalahgunaan wewenang (abuse of

  discretion ); pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk

  kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict interest,

  insider trading ); nepotisme (nepotism); komisi yang diterima pejabat publik

  dalam kaitan bisnis (illegal commission); dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. 24 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.

  3. Kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30% telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian terbesar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan Negara Republik Indonesia.

  4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa.

5. Korupsi di Indonesia bukan lagi Commission of Anti Corruption (ICAC), di

  Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian tersebut pemberantasan korupsi jenis ini merupakan yang tersulit dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik. Kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta. Perkembangan kelima cocok dengan perkembangan di tanah air, karena kebijakan pemerintah dalam pembentukan BUMN/ BUMD atau penyertaan modal pemerintah kepada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di Indonesia jauh lebih sulit dari Hongkong, Australia dan negara-negara lain.

  Kemudian penyebab korupsi di Indonesia menurut penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, berdasarkan kajian dan

  25

  yakni : 1.

  Sistem Penyelenggaraan Negara yang keliru.

  Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Tetapi, selama puluhan tahun, mulai dari orde lama,orde baru sampai orde reformasi ini, pembangunan di fokuskan di bidang ekonomi. Padahal setiap negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen dan teknologi konsekuensinya, semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua.

  2. Kompensasi PNS yang rendah.

  Wajar saja negara yang baru merdeka tidak memiliki uang cukup untuk membayar kompensasi yang tinggu kepada pegawainya. Tetapi disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi sehingga secara fisik dan cultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90% PNS melakukan KKN.

  Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungutan liar maupun mark

  up kecil-kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga.

  3. Pejabat yang serakah Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahirlah sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenag dan jabatannya, melakukan mark up proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan 25 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian

  seorang share holder dari perusahaan tersebut.

  4. Law Enforcement tidak berjalan.

  Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan plesetan kata-kaat seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), dan sebagainya.

  5. Hukuman yang ringan terhadap Koruptor Disebabkan law enforcement tidak berjalan dimana aparat penegakan hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.

  6. Pengawasan yang tidak efektif.

  Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang disebut

  internal control yang bersifat in build dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil

  apapun penyimpangan akan terdekteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control disetiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Konon, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan internal audit.

  Malangnya, system besar yang disebutkan di butir 1 di atas tidak mengalami menyuburkan KKN.

  7. Tidak ada keteladanan pemimpin.

  Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun , pemimpin di Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relatif singkat, Thailand telah mengalami recovery ekonominya. Di Indonesia, tidak ada pemimpin yang bisa dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran.

  8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN.

  Dalam negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistik. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari. Mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain. Karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang tidak salah.

  Berdasarkan hal di atas, dibentuklah Institusi yang berwenang memberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi yang berwenang memberantas

  26

  tindak pidana korupsi, diatur dalam beberapa hukum positif,yaitu :

26 Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Bandung,CV.Mandar

  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

  VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi, dan nepotisme.

  Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu: ”Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pida na Korupsi.”

  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Pasal 43 ayat (1) “Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

  3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Pasal 2 “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”.

  Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan undang-undang.

4. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang.

  Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Problematika pencucian uang yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama

  “money laundering” sekarang mulai

  meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan impikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut, terutama dunia kejahatan yang dinamakan

  “organized crime”,

  ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalu lintas

  27 pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan.

  Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian di ubah menjadi harta kekayaan

  28

  yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 1 angka 1, Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

  Menurut Sarah N. Welling, money laundering dimulai dengan adanya ”uang haram” atau “uang kotor” (dirty money). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui penggelapan pajak (tax evasion), yang dimaksud 27 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang,(Bandung:PT. Citra Aditya

  Bakti,2008), hlm 1 28 yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang sebenarnya diperoleh, kedua, memperoleh uang melalui

  29 cara-cara yang melanggar hukum.

  Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefenisikan pencucian uang atau

  30 money laundering sebagai:

  “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.”

  Dari beberapa definisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yatu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan (financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu,

  31 maka keuangan itu telah berubah menjadi uang yang sah.

  Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan 29 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,Likuiditas dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.22. 30 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta:Pustaka Utama, Grafiti, 2007),hlm.5. 31

  kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang legal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal daari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.

  32 Setidak-tidaknya terdapat tiga alasan mengapa money laundering perlu

  diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu :

  33 1.

  Karena pengaruh money laundering pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering, maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Di samping itu, dana-dana yang relatif besar itu kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan melakukan

  “sterile investment” dalam bentuk properti atau

  perhiasan yang mahal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dimungkinkan aman untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah.

  2. Dengan ditetapkannya money laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparatur penegak hukum untuk menyita hasil pencucian uang yang kadangkala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau yang sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara 32 Ibid 33 Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering Di Indonesia,(Bandung: Books

  pencucian uang dapat dicegah. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah berali h orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah menyita

  ”hasil tindak pidana”. Dibanyak negara dengan menyatakan money

  laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum

  untuk mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.

  3. Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati hasil-hasil tindak pidana tersebut.

  Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi disektor perbankan, dewasa ini banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahatan bergerak dari suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang sangat ketat.

Dokumen yang terkait

BAB II PT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL 1 MEDAN A. Sejarah Singkat PT. Pegadaian (Persero) - Sistem Pengendalian Intern Atas Penyaluran Kredit Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil 1 Medan

2 4 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebisingan - Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

0 0 10

Pembuatan Komposit Biodegradabel dari α-Selulosa Ampas Tebu Bz 132 (Saccharum officinarum) dan Polipropilena dengan Menggunakan Polipropilena Tergrafting Maleat Anhidrida dan Divinil Benzena Sebagai Agen Pengikat Silang

0 1 28

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 - Pembuatan Komposit Biodegradabel dari α-Selulosa Ampas Tebu Bz 132 (Saccharum officinarum) dan Polipropilena dengan Menggunakan Polipropilena Tergrafting Maleat Anhidrida dan Divinil Benzena Sebagai Agen Pengikat Silang

0 0 6

Pembuatan Komposit Biodegradabel dari α-Selulosa Ampas Tebu Bz 132 (Saccharum officinarum) dan Polipropilena dengan Menggunakan Polipropilena Tergrafting Maleat Anhidrida dan Divinil Benzena Sebagai Agen Pengikat Silang

0 0 21

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

b. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 55

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12

BAB II URGENSI PEMBATASAN TRANSAKSI TUNAI DI INDONESIA A. Latar Belakang Lahirnya Pembatasan Transaksi Tunai di Indonesia. - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

0 0 17