b. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

  

BAB II

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI JIKA DIKAITKAN

DENGAN KEWENANGAN KEJAKSAAN

A.

Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan

dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia

  Membahas sistem ketatanegaran berarti membicarakan pula mengenai pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara. Sistem ketatanegaran dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan yang dilakukan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga negara seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, dan sebagainya, di mana dengan kekuasannya masing-masing lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional

  87 dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.

  Berdasarkan rumusan di atas, sistem ketatanegaraan dapat ditinjau dari segi pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antar lembaga negara. Pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas :

  didasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang melaksanakan fungsi tersebut; dan Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian b. kekuasaan di antara beberapa tingkatan pemerintah yang akan melahirkan garis hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

  88 daerah atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.

  Sejalan dengan bangkitnya paham mengenai demokrasi, teori-teori mengenai pemisahan kekuasaan pun berkembang. Teori ini mempunyai tujuan untuk memisahkan secara tegas kekuasaan negara atas beberapa kekuasaan yang masing-masing dipegang oleh lembaga-lembaga tertentu guna mencegah timbulnya monopoli seluruh kekuasaan negara di tangan satu orang yaitu raja

  89 seperti terjadi di dalam sistem pemerintahan monarki absolut.

  Montesquieu. Berdasarkan teori Montesquieu, terdapat tiga kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias politica. Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masing- masing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan

  88 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 138 89 M. Suradijaya Natasondjana, “Pengisian Jabatan Wakil Presiden dalam Teori dan

Praktik ,” (skripsi program sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1992),h

  14. 90 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1978), h.6,

John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang

membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan legislatif (kekuasaan membentuk undang-

undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan

federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri) satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang

  91 mutlak.

  Konsep klasik di banyak Negara mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yaitu eksekutif,

  92

  legislatif, yudikatif tidak mampu menaggung beban Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk berbagai jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Jimly Asshidiqie disebut sebagai “Lembaga Nagara Bantu” dalam bentuk dewan (council), komisi (commissian), komite (committee), badan (board)

  93 ataupun otorita (authority) .

  94 Beberapa ahli tetap mengelompokkan beberapa Lembaga negara bantu

  dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatakan tersendiri sabagai cabang keempat kekuasaan pemeritahan. Kehadiran lembaga negara bantu di Indonesia menjamur paska perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Berbagai lembaga negara tersebut tidak dibentuk dengan dasar

  92 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali pers, 2012)

  h. 281 93 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca , (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), h.vi-viii.

  Reformasi 94 Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia : Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga

Negara Bantu , Skripsi (Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), h.127, Lembaga

negara bantu adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak memposisikan diri sebagai

salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias politica, banyak istilah untuk menyebut jenis

lembaga baru ini, antara lain state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang berarti hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden.

  Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 adalah muncul nya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga negara” akibat kekurang jelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara bantu (state auxiliary organ).

  Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI lebih dahulu harus dilakukan pemilihan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pasca perubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara kedalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted

  Dan ketiga, lembaga negara yang dibetuk berdasarkan perintah keputusan power).

  95 presiden. 95 Refly Harun, dkk, Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah , (Jakarta: Konstitusi Pers, 2010), h. 60-61, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa

  Konstitusi

kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah konsekuensi

logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip

  Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah Kementrian Negara, Pemerintahan Daerah, Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesai (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Dewan Pertimbangan Presiden. Salah satu yang perlu ditegaskan adalah kedelapan lembaga yang sumber kewengannya berasal langsung dari konstitusi tersebut merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan berada dalam suasana yang setara,

  96 seimbang, serta independen satu sama lain.

  Berikut, berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorium

  97 Reformasi Hukum Nasional (KRHN) , paling tidak terdapat sepuluh lembaga

  negara yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komis Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

  

kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi kekuasaan negara dan

reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal berupa fenomena

gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional. 96 Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga

  

Negara , (Jakarta: Konsorsium Reformasi HukumNasional (KRHN), 2005), h.88, UUD Negara RI

Tahun 1945 menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan sama/sederajat, yang

secara langsung menerima kewenangan konstitusional, yaitu MPR, Presiden dan Wakil Presiden,

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Lihat

  (KKR), Komisi Nasioanal Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional. Komisi Kejaksaan, Dewan Pres, Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tiak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan negara. Misalnya, KPK dibentuk karena dorongan kanyataan bahwa fungsil lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan efektif oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka keberadaan KPK dapat di tinjau kembali.

  Sementara itu, lembaga negara pada kelompok terahkir atau yang dibentuk berdasarkan perintah dan kewengannya deberikan oleh Keputusan Presiden antara lain adalah Komisi Ombusdman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Dewan Maritim Nasioanal (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Dewan Pengembangan Usaha Nasioanal (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Pembina Industri Srategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN), serta lembaga-lembaga negara dalam kelompok yang terahkir ini pun bersifat sementara bergantung pada kebutuhan negara.

  Lembaga-lembaga negara dalam kelompok kedua dan ketiga inilah yang

  

98

  disebut sebagai lembaga negara bantu. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidak percayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka

  99 seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.

  Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda

  100

  terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia . Walaupun

  101

  bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun , KPK tetap bargantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitannya dalam masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi.

  Namun demikian, dalam perjalanannya yang belum menginjak tahun keempat sejak pendiriannya, keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan menyerupai sebuah superbody. Sebagai organ kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945, KPK dianggap oleh sebagian 99 100 Rizky Argama, op.cit.,h.129 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti

  Korupsi Indoneisa, 2004), h.33 pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Beberapa orang sebagai pemohon

  102

  mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi dengan mempersoalkan eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal

  20 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang negara hukum. Mereka berpendapat bahwa ketiga pasal Undang-undang KPK tersebut bertentangan dengan kosep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD 1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan KY.

  Ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal eksistensi KPK. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme lex, yang berarti keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi. Jika keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah terancam kerana keadaan yang luar biasa maka tindakan apapun yang sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan untuk menyelamatkan. Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sabagai keadaan

  103

  darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa. Kedua, di dalam hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan bersifat

  104

  khusus (lex spescialis). Dalam hukum dikenal asas lex specialis derogate legi , yang artinya udang-undang istimewa/khusus didahulukan berlakunya

  generali 102 Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h.33 Para pemohon pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah, Nazaruddin

Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga ekstrakonstitusional

karena telah mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD Negara RI Tahun

1945 yang sebetulnya telah terbagi habis dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 103 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (RI.Jakarta: Sektretaris

  

105

  daripada undang-undang yang umum. Keumuman dan kekhususan itu dapat ditentukan oleh pembuat Undang-Undang sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya itu.

  Sulit menerima argumen bahwa keberadaan KPK yang diluar kekuasaan kehakiman dianggap mengacaukan sistem ketatanegaraan, mengingat selama ini Kejaksaan dan Kepolisian pun berada di luar kekuasaan kehakiman, oleh karena Undang-undang telah mengatur hak yang tak dilarang atau disuruh tersebut maka keberadaan KPK sama sekali tak menimbulkan persoalan dalam sistem

  106

  ketatanegaraan. Tentang persoalan menimbulkan abuse of power , justru hal itu tidak relevan jika dikaitkan dengan keberadaan KPK, sebab abuse of power itu bisa terjadi di mana saja. KPK justru dihadirkan utnuk melawan abuse of power

  107 yang terlanjur kronis.

  Mengenai fungsi Kejaksaan dan Kepolisian di bidang peradilan, adalah Undang-Undang yang memberikan fungsi kepada lembaga-lembaga itu yang bisa di pangkas atau ditambah oleh pembuat Undang-undang itu sendiri. Jadi, ketentuan ini tak dapat dipersoalkan malalui judicial review, sebab pembuat

  105 Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: PT Intermesa,Cetakan Pertama, 1977), h.63. 106 Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to

  

The Indonesian Administrative Law cetakan ke-10, 2008), h.277, Asas suatu wewenang tidak

boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan yang di dalam hukum Belanda

tidak banyak diketemukan bagaimana contoh aturan ini yang menyebabkan pembatalan. “Pada

umumnya penyalahgunaan suatu wewenang juga akan bertentangan dengan suatu peraturan

  Undang-Undang itu sudah mengaturnya menjadi seperti itu seharusnya delakukan

  108 melalui legislative review, bukan melalui judicial review.

  KPK sabagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis didalam sistem yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan dari pembuat undang-udang sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan, kekuasaan kehakiman.

  Bahwa keberadaan KPK itu konstitusional, hal itu dapat didasarkan juga konstitusi tertulis yang menurut teori mencakup UUD (sebagai dokumen tersebar) mengenai pengorganisasian negara. Dari cakupan pengertian ini, maka kehadiran KPK adalah Konstitusional karena bersumber dari salah satu dokumen tersebar sebagai bagian dari konstitusi yang sama sekali tidak bertentangan dengan

  109 dokumen khususnya.

  KPK dibentuk sebagai lembaga negara bantu kerena adanya isi insidentil menyangkut korupsi di Indonesia pasca era Orde Baru. KPK merupakan aplikasi bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan

  110 legislatif sebagai pembuat Undang-undang.

  108 Ibid , h.105

  Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaran dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia melalu beberapa fase.

  Pada masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1954, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai Kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Secara yuridis formal

  111 Kejakaan Republik Indonesia diproklamasikan.

  Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan Negara Republik Indonesia adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yudisial yang sudah berakar sejak zaman kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta zaman

  112 penjajahan.

  Isilah kejaksaan dipergunakan secara resmi oleh Undang-undang Balantentara Penduduk Jepang No.1 Tahun 1942, yang kemudian diganti oleh

Osamu Seirei No.3 Tahun 1942, No.2 Tahun 1944 dan No.49 Tahun 1944.

  Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam Negara Republik Indonesia Proklamasi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperkuat oleh

  

113

Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1945.

  Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No.2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan oleh Osamu Seirei No.3 Tahun 1942 menegaskan 111

  R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di berbagai negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 1966), h.3 bahwa Jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di

  

114

Negara Republik Indonesia Proklamasi.

  115 a.

Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) (1949-1950)

  Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 , sejak bulan Januari 1950, Jaksa Agung RID setelah aktif menjalankan tugasnya walaupun perihal Jaksa Agung baru diatur kemudian dalam KRIS dan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Sususan dan Kekuasaan serta Jalannya Peradilan Mahkamah Agung Indonesia Undang-undang Mahkamah Agung (UUMA). Sesuai dengan susunan kenegaraan RIS sebagai negara federal yang komponennya terdiri dari alat-alat perlengkapan negara tingkat Pusat (Federal) dan tingkat Daerah Bagian, maka struktur organisasi Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Tingkat Daerah-daerah Bagian. Pada tingkat Pusat (Federal) hanya ada satu instansi Kejaksaan yaitu Kejaksaan Agung RIS, yang merupakan Kejaksaan tingkat tertinggi di RIS.

  Sedangkan, daerah tidak mempunyai instansi Kejaksaan. Dalam usianya yang hanya 7 bulan 20 hari, RIS belum sempat mangangkat Jaksa Agung Muda dan tidak terdapat keterangan mengenai hubungan fungsional antara Jaksa Agung RIS dan para Jaksa Agung Muda.

  116 b.

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) 114

  R.M Surachman dan Andi Hamza, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan

Kedudukanya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996, )Harmuth Horstkotte, seorang Hakim Tinggi Federasi

Jerman, memberikan julukan kepada jaksa sebagai bosnya perkara (master of the procedure), Pada masa Republik Indonesia (17 Agustus 1950- 5 Juli 1959), kedudukan Kejaksaan sama seperti pada masa RIS, yaitu masuk kedalam Departemen Kehakiman. Sesuai dengan statusnya dalam Negara Kesatuan, Wewenang Jaksa Agung, yang antara lain tertera dalam Pasal 156 ayat 2, 157 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 3 KRIS serta Pasal 22 ayat 2 dan Pasal 31 ayat 1 UUMA, tidak berlaku bagi Jaksa Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan berdirinya Negara Kesatuan RI, Kejaksaan Agung dari bekas Negara Bagian Republik Indonesia semestinya bubar dan tidak berfungsi lagi. Namun tidak demikian kenyataannya. Kejaksaan Agung di bekas negara Bagian Republik Indonesia tidak jelas kapan dibubarkan, namun menurut Jaksa Agung Tanggal 28 Februari 1951 dapat diketahui bahwa Kejaksaan Agung tersebut masih ada kendatipun pekerjaan yang diperbolehkan untuk ditangani hanya kasus-kasus lama yang belum terselesaikan dan bukan pekerjaan baru.

  117 c.

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

  Pada masa setelah dekrit Presiden (5 Juli 1959- 11 Maret 1966) terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen dibawah Departmen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Putusan Kabinet Kerja I Tanggal 22 Juli 1960, yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960. Peristiwa ini didahului dengan berubahnya kedudukan Jaksa Agung dari pegawai tinggi Departemen Kehakiman

  118

  menjadi menteri ex Officio dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam Kabinet Kerja II, III, dan IV, Kabinet Dwikorsa dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yang merupakan Jaksas Agung pertama yang menyandang status Menteri, walaupun hanya Menteri ex Officio. Pimpinan dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan surat No: 5263/DPR GR/1961 Tanggal 30 Juni 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI, selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk disahkan. Ahkirnya Pemerintahan cq.Presiden tanggal 30 Juni 1961 mensahkan Undang- undang No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam pasal 1 ditegaskan Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang betugas sebagai Penuntut Umum, dan pasal 5 mengatur bahwa penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dalam Keputusan Presiden. Untuk mengatur dan menetapkan kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan menempatkan Kejaksaan dalam struktur organisasi Departemen disahkan Undang-udang No. 16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejakaan Tinggi. Pada masa ini terjadi 5 (lima) kali penggantian Jaksa Agung yang terdiri atas R.Soeprapto, Gatot Taroenamihardja, R. Goenawan, Kadaroesman, dan A. Soetardhio. Dari kelima Jaksa Agung ini Gatoto Taroenamihardja menjabat paling singkat, yaitu kurang lebih 5 (lima) bulan, dan

  118 Andi Hamzah, Kamus Hukum, cetakan pertama (Jakarta: Ghalia Indnesia, 1986), h.187.

  

Pengertian hak officio berasal dari Bahasa Latin yang berarti karena jabatan tanpa diperlukan lagi

pengangkatan. Seperti dalam kalimat kepala kejari ex officio anggota Muspida daerah tingkat satu.

Selanjutnya menurut subekti pengertian hak ex officio berasal dari Bahasa Latin, ambtshalve

Bahasa Belanda yang berarti karena jabatan, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, pada periode ini pertama kali Jaksa Agung diangkat dari kalangan militer, yaitu Jaksa Agung Brigjen A.Soetardhio.

  119 d.

Masa Orde Baru (1966-1998)

  Pada masa orde Baru, Kejaksaan selain mengalami beberapa perubahan dalam kekuasaannyajuga mengalami beberapa kali perubahan pimpinan, organisasi, dan tata kerjanya. Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya Menteri/Jaksa Agung Sutardhio oleh Brigjen. Sugih Arto, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat sehari sebelum dibubarkannya Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan diganti dengan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan lagi. Ketika itu, organisasi Kejaksaan dibawah koordinasi Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Ltiga orang etjen. Soeharto. Setelah perubahan pimpinan berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.:KEP/A/16/1966 Tanggal 20 Mei 1966, dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai Pokok-pokok Organisasi Kementrian Kejaksaan, yang intinya sabagai berikut : 1.

  Menteri /Jaksa Agung memimpin langsung Kementrian Kejaksaan dengan dibantu oleh Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing dalam bidang-bidang Intelijen/Operasi Khusus dan Pembinaan, dan seorang Pengawas Umum (Inspektur Jenderal);

  2. Ketiga Deputi dan Pengawas Umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung;

  3. Dibawah para Deputi ada Direktorat-direktora, Bagian, Biro, dan Seksi, sedangkan di bawah Pengawasan Umum hanya ada Inspektorat- inspektorat. Menyusul setelah perubahan organisasi adalah perubahan dalam susunan para pembantu Menteri/Jaksa Agung berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Mentri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.:KEP/E/40/1966 Tanggal 16 Juni 1966. Pada tanggal 25 Juli 1966 Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi dibubarkan dan dibentuklah Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak dicantumkan sebagai Menteri. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang- undang Dasar 1945 status Kejaksaan sebagai Departemen ditiadakan dan Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa Agung tidak diberi kedudukan Menteri. Hal tersebut ditegaskan dalam Keputusan Presidium kabinet Ampera No. 26/U.Kep/9/66 Tanggal 6 September 1966 tentang Penegasan Status Kejaksaan Agung. Kemudian Kejaksaan Agung mengalami perubahan dalam bidang organisasi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dalam Surat Keputusan Sementara Jaksa Agung No.:KEP-086/D.A/7/1968 Tanggal 6 Juli 1968. Setelah memperhatikan hasil-hasil Musyawarah Kerja Kejaksaan seluruh Indonesia Tahun 1967, keluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1969 tanggal 22 Maret 1969 tentang Pokok-pokok Organisasi Kejasaan yang mencabut Keputusan Wakil Perdan Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEP- A/16/1966 Tanggal 20 Mei 1969 dan oleh Keppres No.29 Tahun 1969 Bidang Operasi/Intelijen dijadikan Bidang Intelijen saja. Menyusul pelaksanaan Keppres

  061/D.A/7/1969 tentang Tugas dan Organisasi Kejaksaan dan Kejaksaan Daerah. Dalam Musyawarah Kerja Kejaksaan tahun 1971 dikeluarkan Keppres No.29 Tahun 1971 yang dalam pelasanaannya dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung No.: KEP-022/D.A/5/71 dalam tanggal 15 Mei 1971 tentanh Kelengkapan Susunan Organisasi Tata Kerja dan Perincian Tugas Kejaksaan Agung No.:KEP- 061/.A/7/1969 Tanggal 4 Juli 1969. Pada masa Kabinet Pembangunan IV, kedudukan Jaksa Agung setingkat dengan Menteri Negara yang tercantum dalam Keppres No.48/M Tahun 1983 Tanggal 16 Maret 1983. Dalam pemberian kedudukan tersebut Kejaksaan tidak berubah menjadi Departemen. Dalam Ketetapan MPRS No.: II/MPRS/1960 Lampiran A.III No. 47 ditetapkan dengan tegas Jaksa Agung sebagai Pembantu Presiden. Selaku pembantu langsung Presiden maka kepada Jaksa Agung dapat diberikan predikat dan kedudukan apa pun, baik sebagai Menteri/Menteri Negara/Menteri ex Officio, maupun setingkat Menteri, dan sebagainyaatau tanpa predikat sama sekali, sebagaimana yang terjadi sejak Kabinet Ampera hingga Kabinet Pembangunan III.

  Selain itu susunan organisasi dan tata kerja institusi kejakasaan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar dengan Keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 20 November 1982 susunan organisasi Kejaksaan terdiri dari:

  Jaksa Agung Muda Pembinaan 3. Jaksa Agung Muda Pembinaan

  Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus 7. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan,

  Pusat Penyuluhan Hukum, Pudat Operasi Intelijen, dan 8. Instansi Vertikal: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.

  Sedangkan dalam Keputusan Presiden No.55 Tahun 1991 terdiri dari : 1.

  Jaksa Agung 2. Wakil Jaksa Agung 3. Jaksa Agung Muda Pembinaan 4. Jaksa Agung Muda Intelijen 5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus 7. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 8. Jaksa Agung Muda Pengawas 9. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pudat Pendidikan dan Latihan,

  Pusat Penyuluhan Hukum dan; 10.

Kejaksaan di daerah: Kejaksaan Tingi dan dan Kejaksaan Negeri

  Pada periode ini, terjadi 7 (tujuh) klai pergantian Jaksa Agung RI dan dari 7 (tujuh) kali pergantian, 5 (lima) orang diantaranya militer, yaitu Sugih Arto, Ali said, Imail Saleh, Hari Suharto, dan Sukarton Marmo Sudjono. Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan ketatanegaran Indonesia, kedudukan Kejaksaan perubahan adalah dalam upaya mendudukkan dan memfungsikan Kejaksaan secara optimal.

  120 e.

Masa Orde Reformasi (1998- sekarang)

  Pada orde reformasi, selain terjadi 6 (enam) kali pergantian Jaksa Agung dalam periode dan juga penambahan fungsi yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang, Jaksa Agung diberi legi keweangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutaan terhadap pelanggaran HAM dengan keluarnya Undang-udang No.26 Tahun 1999 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Disamping itu pengurangan tugas dan kewenangan penyidikan dan penuntuttan berkaitan dengan tindakan pidana korupsi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada tanggal 29 Desember 2003 berdasarkan Keppres No.266/M/2003 yang merupakan tindak lanjut dari Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari keenam Jaksa Agung tersebut A. Soedjono Atmonegoro hanya menjabat selama 3 (tiga) bulan, sedangkan Marsilam Simanjuntak belum sempat menduduki ruang kerjanya karena terjadi pergeseran kursi kepresidenan dari Abdurrahman Wahid kepada

  121 Megawati Soekarno Putri di mana ia langsung digantikan oleh M.A. Rachman.

  Pencopotan A.Soedjono Atmonegoro oleh Presiden B.J.Habibie adalah karena dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ia tidak sejalan denga Presiden mengingat keinginan Kejaksaan RI pada saat itu untuk melakukan penyidikan terhadap mantan presiden Soeharto yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

  Meskipun dalam masa jabatan Jaksa Agung Marzuki Darusman tetap dilakukan 120

  Ibid, h.72 penyelidikan terhadap mantan presiden Soeharto atas dugaan melakukan tidak pidana korupsi sama jabatannya namun hingga sekarang perkaranya tetap tidak pernah digulirkan kepangadilan karena alasan kesehatan. Dalam periode era reformasi, perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi dan perkara lainnya disinyalir oleh masyarakat bernuansa politis belum serius ditangani oleh Kejaksaan. Contonya dalam perkara kasus Ginanjar Kartasasmita (mantan Mentri Pertambangan dan Energi / Ketua Bappenas), perkara Syahril Sabirin (Gubernur Bank Indonesia), perkara Akbar Tanjung (Ketua DPR RI), Djakfar Umar Sidik (Panglima Komando Jihad) dalam kasus penghinaan kepada diri Kepala Negara, dan perkara KH.Abubakar Baasyir dalam kasus terror bom dan makar. Selain itu, perkara pelanggaran HAM Timor Timur dan Tanjung Priok juga belum diselesaikan secara tuntas. Dengan demikian, situasi dan kondisi dihadapi Kejaksaan RI periode Orde Reformasi tidak jauh dari periode Orde Baru. Namun, satu hal yang menggembirakan adalah digantinya Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI dengan Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam masa periode Reformasi setelah Marzuki Darusman, berturut-turut terjadi penggantian Jaksa Agung. Pergantian dari Marsilam Simanjuntak ke Baharuddin Lopa. Lopa hanya sempat menjabat Jaksa Agung selama 1 (satu) bulan karena setelah itu meninggal dunia, kemudian digantikan oleh H.M.A. Rachman. Adapun susunan organisasi dan tata kerja

  Keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2010 yang

  122

  terdapat dalam pasal 5, susunan organisasi Kejaksaan , terdiri dari:

  Gambar 1. Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia B.

  

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan

dalam penuntutan tindak pidana korupsi

  Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan mengenai Kejaksaan

  123 sebagaimana hendak dijelaskan dibawah ini.

  Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang berkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo.Pasal

  41 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi 122 yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominuslitis, pengendali 123 Ibid.

  Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I., Studi tetang Implementasi Kekuasaan Penuntutan proses perakara yang menetukan dapat tidaknya seorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksaan penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.

  2. Pasal 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.

  124 3.

  Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sitem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakam kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

  4. Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap

  125

  , melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat

  126

  , putusan 124

  Ibid ., h.126, Dalam penjelasan pasal 30 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun

2004, dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan.

  

Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah

menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyidik, mempelajari atau meneliti

kelengkapan berkas perkara hasil penyidik yang diterima dari penyidik serta memberikan

petunjukguna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 125 Penjelasan Pasal 30 Ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan

bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan

nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa

mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan

termasuk juga tugas dan wewenang untuk mengedalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. 126 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf c bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 pidana pengawasan dan keputusan pidana bersyarat, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang, dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasi dengan penyidik 5.

  Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan

  127 negara atau instansi lainnya.

  Tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk malakukan penuntutan terhadap tindak pidan korupsi muncul setelah dikeluarkannya Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

  128

  tindak pidana korupsi . Pasal 26 Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak

  127 Penjelasan Pasal 33 menyatakan: adalah menjadi kewajiban bagi setiap abdan negara

terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja

sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana

keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan

melalui kordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap

menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama anatara Kejaksaan dan

instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum

sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. 128 Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonessia, (Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia), h.5, Loebby

Loqman mengemukakan bahwa sejak dirancangnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi disadari bahwa undang-dang tersebut merupakan undang-undang pidana khusus, pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali

  

129

ditentukan lain oleh Undang-undang ini.

  Secara gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia secara umum. Hal tersebut berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus dilakukan penuntutan menurut pasal 137 sampai 144 KUHAP oleh

  130

  penuntut umum yaitu jaksa . Bahwa selanjutnya terjadi tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan disebabkan karena beberapa faktor yaitu: 1.

  Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP 129 menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan

  Evi Harianti, op.cit., h.71-72, Kalimat “kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang

ini” di dalam Pasal 26 , dasar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di

sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah: (a) Ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan,

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana

korupsi. (b) Jika dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tidak terdapat ketentuan-ketentuan

yang mengatur seuatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di

dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penunututan dan

pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi. (c) JIka di dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan

penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara

tindak pidana korupsi, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam

KUHAP atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sesuai dengan kompetensi absolutnya.

  

Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, telah

dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana. 130 Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana

Korupsi Dalam Presspektif Sistem Peradilan Pidana,

  Kejaksaan dan sub-sistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.

  Undang-undangNo.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen.

  3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No.266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal 6 huruf c yaitu KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Rumusan pasal ini jelas bahwa KPK mempunyai kewenangan melakukan tindakan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

  Namun, Undang-undang KPK tersebut memberikan kualifikasi terhadap tindak pidana korupsi mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam melaksanakan tugasnya , KPK berwewenang untuk melakukan penuntutan

  1. Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;

  131 3.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Kota Sibolga (Studi pada Polres Sibolga)

0 0 23

BAB II TINJAUAN MUSIK GITAR TUNGGAL 2.1 Sejarah Instrumen Gitar Dan Perkembangannya - Analisis Musikal Lagu Etnik Pada Gitar Tunggal: Studi Kasus Pada Karya-Karya Jubing Kristianto

0 1 86

BAB II SEJARAH KOMISI PEMILIHAN UMUM 2.1 Sejarah Terbentuknya KPU di Indonesia - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 1 17

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 3 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida - Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah

0 0 8

BAB II PT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL 1 MEDAN A. Sejarah Singkat PT. Pegadaian (Persero) - Sistem Pengendalian Intern Atas Penyaluran Kredit Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil 1 Medan

2 4 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebisingan - Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

0 0 10

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 - Pembuatan Komposit Biodegradabel dari α-Selulosa Ampas Tebu Bz 132 (Saccharum officinarum) dan Polipropilena dengan Menggunakan Polipropilena Tergrafting Maleat Anhidrida dan Divinil Benzena Sebagai Agen Pengikat Silang

0 0 6

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13