BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

  4 Hal ini ditegaskan dalam Pasal “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

  1 ayat 3 UUD NRI 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi diseluruh aspek kehidupan.

  Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan berbangsa dan

  5

  bernegara. Hukum sebagai sistem dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaanya dilengkapi dengan kewenangan-

  6 kewenangan dalam bidang penegakan hukum.

  Penegakan hukum menempati posisi yang strategis dalam pembangunan hukum, lebih-lebih di dalam suatu negara hukum. Menurut Jeremy Bentham, penegakan hukum adalah sentral bagi perlindungan hak azasi manusia. Dalam 4 O. Notohamidjo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen,1999), h.27,

  

mengemukakan bahwa “ciri-ciri negara hukum dalam arti materiil adalah (a) Adanya pembagian

kekuasaan dalam negara; (b) Diakuinya hak asasi manusia dan dituangkannya dalam konstitusi

dan peraturan perundang-undangan; (c) Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan (asas

legalitas); (d) Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak; (e) Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan i tu dengan tidak ada kecualinya”. 5 Wishu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), h.7. Buku

ini merupakan terjamahan dari buku Lawrence M.Friedman yaitu American Law on Introduction,

  

Second Edition . Dalam bukunya tersebut Friedman menyebutkan bahwa sistem hukum itu terdiri

dari Struktur, substansi dan budaya hukum. Struktur dari budaya hukum terdiri dari unsur dan

jumlah dan ukuran pengadilan dan yurisdiksinya dengan kata lain struktur ini berkaitan dengan

bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi Dagang Federal,

apa yang boleh dilakukan oleh presiden, prosedur yang diikuti oleh departemen kepolisian dan

sebagainya. Yang dimaksud dengan substansi adalah norma dan pola perilaku nyata manusia yang

berada dalam sistem itu. Sementara budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,pikiran,serta harapan. 6 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjuan Sosiologis,(Jakarta : BPHN,

1983), h.55. Penegakan hukum adalah proses untuk menguwujudkan keinginan-keinginan hukum

menjadi kenyataaan, yang dumaksud dengan keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan penegakan hukum dibutuhkan instrumen penggeraknya yang meliputi unsur Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK), dan Badan Peradilan, di samping penasehat hukum

  7 (Advokat atau Pengacara).

  Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal sampai sekarang adalah tindak pidana korupsi. Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum antara lain adalah mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Menyikapi fenomena ini, pemerintah yang silih berganti selalu menjadikan kalimat pemberantasan korupsi sebagai agenda utama kegiatannya.

  Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di

  8

  letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai extraordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu negara dan bangsa. 7 Chaerudin.dkk, Tindak Pidana Korupsi; Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), h.87. 8 Elwi Daniel, Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Depok: PT

Rajagrafido Persada,2012), h.61. Korupsi tetap merupakan Extra Ordinary Crime. Dasarnya

  

adalah konsideran menimbang dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menyatakan bahwa tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan

keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat

secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang

peberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Yang perlu digarisbawahi dalam konsideren

menimbang tersebut adalah Korupsi merupakan keajahatan yang pemberantasannya harus

dilakukan secara luar biasa, sehingga sangat wajar dalam undang-undang pemberantasan korupsi

juga dimungkinkan seorang koruptor dihukum mati (pasal 2 ayat 2 Undang-undang Tipikor). Hal

mana hukuman mati juga bisa diterapkan untuk kejahatan Extra Ordinary Crime yang lain

misalnya genosida. Selanjutnya Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar bahwa

  Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana

  9

  10

  korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara atau pejabat negara . Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dimana penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Namun dalam hal salah satu pihaknya negara atau pejabat negara, penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya, sehingga kondisi

  

11

  demikian asas Equality Before the Law akan dibuktikan kebohongannya, dan 9 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara

  

yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pengertian Penyelenggara Negara

adalah Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain

yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian di dalam pasal 2 Undang-undang yang

sama penyelenggara negara yaitu; pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur,

hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dan kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 10 Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pejabat negara adalah pimpinan

dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar

1945 dan Pejabat negara lainnya ditentukan oleh Undang-undang, sedangkan dalam pasal 11 ayat

1 dijelaskan lebih lanjut yang termasuk kedalam pejabat negara adalah Presiden dan wakil

presiden, Ketua/Wakil ketua dan amggota Majalis Permusyawaratan Rakyat, Ketua/Wakil ketua

dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua/Wakil Ketua dan Hakim Agung serta Ketua/Wakil

ketuadan Hakim pada semua Badan Peradilan, Ketua/Wakil ketua dan Anggota Badan

Pemeriksaan Keuangan, Menteri dan jabatan setingkat menteri, Kepala Perwakilan Republik

Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh,

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota dan Pejabat

Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. 11 P.A.F. Lamintang,KUHP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi

dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana . (Bandung,:Sinar Baru, 1984) h.31, mengemukakan bahwa

: “Perlakuan yang sama terhadap setiap orang di depan hukum atau gelijkeheid van ieder voor de

wet . Ini berarti bahwa hukum acara pidana tidak mengenal ap a yang disebut “forum

privilegiatum ”atau perlakuan khusus bagi pelaku-pelaku tertentu daru suatu tindak pidana, karena

harus dipandang sebagai mempunyai sifat-sifat yang lain dari sifat-sifat yang dimiliki oleh rakyat

  hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindaklanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan lembaga negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja

  12 pemerintah.

  Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah negara, pejabat negara ataupun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Harkristuti Harkrisnowo menyatakan baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut sama- sama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut yaitu dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya, Sedangkan pelaku tindak pidana 12 Romli Atmasasmita. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial

  dan Keadilan Sosial . (Jakarta: Komisi Yudisial.,2008), h. 116 jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memiliki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata dan bukan individu melainkan negara, sehingga publik kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi, demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk

  13 diubah karena kasat matanya tindak pidana jalanan.

  Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika dikaitkan dengan reformasi. Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa yang berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah: a)

  Amandemen UUD 1945;

  b) Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI;

  c) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM);

  d) Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);

  e) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi);

  f) Mewujudkan kebebasan pers; dan

13 Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia,(Yogyakarta:

  14

g) Mewujudkan kehidupan demokrasi.

  Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu agenda yang harus direalisasikan oleh pemegang kekuasaan pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum maupun pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan kehidupan bangsa dan negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agenda- agenda yang lain.

  Barda Nawawi Arief ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada

  15 hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.

  Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan. Sebagaimana dikatakan olehnya, sistem peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses menegakkan hukum. J adi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman” karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan 14 Sekretariat Jenderal MPR. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar

  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .(Jakarta: MPR RI, 2003) 15 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

  “kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa “Sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan

  16 “Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).

  Kejaksaan RI merupakan lembaga penegak hukum yang memiliki kedudukan sentral dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan

  17 merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana di Indonesia.

  Tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Dalam perkara pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik dan melakukan penuntutan terhadap perkara tersebut.

  Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Disamping itu kejaksaan juga merupakan satu-satunya

  18 institusi pelaksana putusan pidana.

  Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

  16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, salah satu poinnya 16 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), h.20. 17 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana; Perbandingan Komponen dan Proses Sistem

  

Peradilan Pidana di beberapa Negara (Yogyakarta: Pusaka Yustisia, 2013),h.147, Dalam

prespektif sistem peradilan pidana, proses kekuasaan penegakan hukum dibidang hukum pidana

mencakup seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana yang dilakukan

melalui kekuasaan penyidikan oleh kepolisian, kekuasaan penuntutan oleh kejaksaan kekuasaan

mengadili oleh pengadilan dan kekuasaan pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan 18 Yeswil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, dan

  

Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia , (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), h.64,

kejaksaan memiliki tugas pokok menyaring kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mengatur bahwa di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang. Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 284 ayat (2), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu salah satunya adalah undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Agar adanya kesatuan pendapat maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP pada Pasal 17 disebutkan bahwa penyidik menurut ketentuan khusus sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  Oleh karena kelambanan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi penegak hukum yang telah ada dalam pemberantasan korupsi, maka eksekutif dan legislatif membentuk

  19 Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK . KPK adalah salah

  20

  satu lembaga negara baru yang dibentuk dengan semangat reformasi hukum dalam penegakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dibentuk melalui 19 20 Surachmin, Strategi dan Teknik Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.136 Sutikno Martokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Mandar Maju, 2000), h.189,

  

Reformasi secara gramatikal diartikan sebagai membentuk, menyusun, dan mempersatukan

kembali, secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun

aturan main (rule of the games) kearah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula

dimensi dinamika berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatan lama yang

korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) dan penatan suatu tatanan baru yang lebih

  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK, merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

  Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak Pidana Korupsi. KPK berwenang menindak siapapun yang dipersangkakan melakukan tindak Pidana Korupsi. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa , KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang berwenang untuk melakukan penanganan kasus-kasus korupsi tertentu seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor

  30 Tahun 2002 Tentang KPK, yaitu: (a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. (b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat (c) Menyangkut kerugian

  21 Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). KPK sebagai

  lembaga baru yang notabene aparaturnya mengambil dari instansi penegak hukum

  21

  22

  yang telah ada, tentu akan mengalami ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya, dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika lembaga tersebut melakukan pembenahan didasari dari pengalamannya. Dengan kata lain segala kelemahan lembaga tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di dalam pelaksanaan tugasnya.

  Disisi lain dengan aparaturnya yang terbatas dan pertimbangan biaya yang sangat besar, keberadaan KPK tidak sampai ke daerah-daerah. Hal ini jelas dapat menghambat tugas pemberantasan korupsi secara menyeluruh yang akan dilakukan oleh KPK. KPK dalam pelaksanaan tugasnya tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan baik yang sudah terjadi atau baru

  23

  diprediksikan akan terjadi. Kendala tersebut antara lain, KUHAP mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan akan tetapi hal ini diatur juga di dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan, adanya Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu

22 Johan Budi, KPK Butuh 80 Penyidik Independen (m.hukumomline.com/berita/baca/

  

lf505c32fa1e25a/kpk-butuh-80-penyidik-independen, diakses pada 11 Maret 2015, Pukul 15.30

WIB), Menjelaskan, bahwa pada Pasal 45 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK

disebutkan bahwa, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh

KPK. Ia tidak menampik jika KUHAP terdapat klausula khusus mengeanai penyidik, yakin yang

terdapat pada Pasal 1 KUHAP yang meyebutkan bahwa, penyidik adalah pejabat polisi negara RI

atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh Undang-undang

untuk melakukan penyidikan. 23 KPK Krisis Tenaga Penyidik, 14 Oktober 2014 diakses pada Tanggal 13 Maret Pukul 12.00), KPK hanya memiliki 60

  24

  mempunyai hubungan koordinasi , baik dalam penanganan perkara korupsi, tetapi dengan adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

  Kendala lainnya terlihat dengan adanya perlawanan balik oleh pelaku korupsi mengharuskan pemerintah maupun legislatif untuk lebih berhati-hati dalam membentuk undang-undang pemberantasan korupsi karena ketidakpastian hukum yang timbul dari undang-undang yang dibentuk akan menjadikan celah untuk pelaku korupsi dalam melawan balik upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi, hal ini terlihat ketika adanya pengajuan beberapa judicial

  

review oleh pelaku korupsi. Judicial review mengenai Pasal 6 huruf c Undang-

  Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai pemberian kewenangan

  25

  kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang ditafsirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan

  26

  menuntut

  Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Kepastian hukum ketegasan berlakunya suatu aturan hukum yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuannya”, sebab kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah sudah merupakan tugas kejaksaan sebagai 24 Hendra Nugraha Pelaksanaan Tugas Supervisi Oleh KPK terhadap Instansi yang

  

Berwenang Melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Skripsi, Bandung, 2009, h.4,

Berkaitan dengan kordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan instansi yang

berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, maka KPK diberikan tugas

supervise yakni berwenang melakukan pengawasan, penelitian, dan penelahan terhadap instansi

yang berwenang sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf b dan pasal 8 angka 1 Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. 25 Binziad Kadafi, Prospektif Hukum ala Mahkamah Konstitusi: Catatan terhadap putusan

  

MK Nomor 069/PUU-II tentang Yudicila Review UU KPK , Jurnal Hukum JANTERA edisi Juni 2005-Korupsi, h.5. 26 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Djambatan, 2001), h.70, Kepastian

hukum adalah asas dalam negara hukum yang mangutamakan landasan peraturan perundang-

undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang bagian dari sistem peradilan pidana tetapi dengan adanya KPK menimbulkan dualisme kewenangan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

  Persoalan yang timbul dan menjadi pertanyaan yang sangat mendasar pada suatu penyusunan draft Rancangan Undang-Undang KPK adalah apakah masih relevan untuk membentuk KPK, karena lembaga penegakan hukum untuk tujuan yang sama sudah ada sejak lama, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Apalagi

  27

  pengambilalihan wewenang oleh KPK terhadap kewengan yang dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan merupakan hal yang baru dalan sistem peradilan di Indonesia. Mekanisme kewenangan KPK yang dianut oleh Indonesia sangat berbeda apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Hongkong, Malaysia, Singapura. KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangkan di negara tetangga hal tersebut hanya dilakukan sebatas kewenangan untuk melakukan penyelidikan, karena tugas dan

  28 wewenang penuntutan tetap dimiliki oleh pihak Kejaksaan.

  Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul:

  

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

27 Ihza Mahendra, Mencari Keadilan (Yogyakarta: Pusaka Belajar, 2002), h.22,

Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah mengambil alih wewenang penyidikan dan

penuntutan dari pihak kepolisian atau kejaksaan dengan prinsip trigger mechanisme dan take over

mechanism sebagaimana diatur dalam pasal 8 dan 10 Undang-undang KPK. Pengambilalihan

wewenang ini dapat juga dilakukan jika terdapat indikasi unwillingness dari institusi terkait dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya. Indikasi unwillingness tersebut berdasarkan pasa pasal 9

Undang-undang KPK, yaitu: (i) adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang

tidak ditindaklanjuti, (ii) adanya unsur nepotisme yang melindungi pelaku nepotisme, (iii) proses

penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut, (iv) adanya campur tangan pihak eksekutif,

legislatif, dan yudikatif, (v) alasan-alasan lain yang meyebabkan penanganan tindak pidana

korupsi sulit dilaksanakan. 28 Romli Atmasasmita.Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia,

  

(KAJIAN TENTANG KEWENANGAN PENUNTUTAN YANG DI MILIKI

KPK DAN KEJAKSAAN ).

  2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

  1. Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelesaian Tindak Pidana Korupsi jika dikaitkan dengan kewenangan Kejaksaan?

  2. Bagaimana perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di beberapa negara di dunia?

  3. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain:

  1. Untuk mengetahui eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelesaian tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan.

  2. Untuk mengetahui perbandingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di beberapa Negara di dunia.

  4. Manfaat Penulisan

  1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai penegakan tindak pidana korupsi dalam kajian tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai Penegakan tindak pidana korupsi, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas.

  2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi, jika dikaitkan dengan kewenangan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan, dan membandingankannya dengan beberapa negara di dunia serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, dalam hal pembentukan dan penerapan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi agar lebih baik di kemudian hari.

  5. Keaslian Penulisan

  Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul Eksistensi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Dalam

  

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Kajian Tentang

  

Kewenangan Penuntutan yang dimiliki KPK dan Kejaksaan ), penulis terlebih

  dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

29 Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 12 Januari 2015 (terlampir) menyatakan tidak ada judul yang sama.

  Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

6. Tinjauan Kepustakaan

  1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

30 Istilah korupsi

  berasal dari Bahasa Latin “corupptio”,”corrupption” (Ing gris) dan “coruuptie”(Belanda), arti harfiahnya menunjuk pada perbuatan 29 Dalam penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan,

perpustakaan merupakan lembaga yang paling banyak berperan dalam proses penelitian tersebut.

  

diakses pada 11 maret 2015, pada pukul 20.00

WIB), Perpustakaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1 tempat, gedung, ruang

yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; 2 koleksi buku, maajalah,

dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan. 30 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictioanary, (Six Edition, St.Paul Minesota : West

Group, 1990) Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

  31

  yang rusak, busuk, dan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai berikut :

  Corupption exist individual illicity puts personal interest above those of the people and ideals he or she is pledged to serve. It comes in many forms and can renge from trivial to monumental. Corupptio can involve the misuse of policy instruments, tariffs, and credit, irrigation system and housing policie, the enforecement of laws and rules regarding public safety, the observance of contracts, and the repayment of loans or of simple procedures. It can occur in the private sector or public one of the often occurs in both simultaneously. It can be rare or widespread; in some developing countries, corruption has became systemic. Corupption can involve promises, threats, or both; can be initiated by a public servant or an interested client; can entail acts of omission or commission; can involeve illicit or licit services; can be inside or outside the public organization. The boundaries of corruption are hard to define and depend on local lwas customs. The first task of policy analysis is to disagggregat the type of corrupt and illicit behaviours in the situation at hand and look at concrete examples. (Korupsi

  ada apabila seorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari hal yag kecil sampai monumental. Korupsi dapat melibatkan penyalahgunan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, penegakan hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum, pelaksanaan kontrak dan pelunasan pinjaman atau melibatkan prosedur yang sederhana. Hal itu dapat terjadi pada sektor swasta atau sektor public dan sering terjadi dalam kedua sektor tersebut secara simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya; pada sejumlah negara yang sedang berkembang, korupsi telah menajdi sistemik. Korupsi dapar melibatkan janji; ancaman atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegaawai negeri atau masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak melakukan atau melakukan; dapat melibatkan pekerjaan yang sah maupun yang tidak sah; dapat di dalam atau diluar organisasi publik. Batasan-batasan korupsi yang sulit didefenisikan dan tergantung pada hukum lokal dan adat kebiasaan. Tugas pertama dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan tipe-tipe kebiasaan korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-

  32 contoh yang konkrit) .

jabatannya atau karakternya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang

lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. 31 Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976) h.11 32 Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan, (Jakarta:

  Dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, yaitu berawal dari keluarnya Peraturan No. PRT/PM 06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan PRT/PERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda dari Kepada Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan 4 (empat) kali, yaitu :

  1. Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi yang menjadi Undang-undang berdasarkan Undag-undang Nomor 24 Tahun 1961.

  2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999.

33 Dalam pengertian yuridis, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

  Pemberatasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokkannya kedalam beberapa

33 Indrianto Seno Adji, Tindak Pidana Suap: Kearah Hukum Pidana yang Ekstensif, dalam

  

Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional-Vol II (Jakarta: Departemen rumusan delik

  34

  . Jika dilihat dari kedua Undang-undang diatas, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2,3, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999).

  2. Kelompok delik penyupan, baik aktif (yang menyuap) ataupun pasif (yang menerima suap) (Pasal 5,11,12,12B Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001)

  3. Kelompok delik penggelapan (Pasal 8, 10 Undang-undang Nomo 20 Tahun 2001).

  4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12e dan f Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).

  5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).

  35

  2. Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan.

  

36

Sebagai badan yang berwenang dalam

  penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya 34 Soejono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Penaggulangan Korupsi

  

Di Indonesia , (Bandung: Sinar Baru,2001), h.23 Dengan pengelompokan diatas penting artinya

bagi apparat penegak hukum, dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum

dalam rangka pemberantasan korupsi kan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif)

maupun tindakan (represif), pembetantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera (deterrence effect ) bagi pelaku, tetapi juga berfingsi sebagai daya tangkal (prevency effect) 35 Chaerudin.dkk, op.cit.,h.4 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 19 dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang

  37 tidak dapat dipisahkan.

  Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan

  

38

  kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan

  39 pengaruh kekuasaan lainnya.

  Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah 37 38 Ibid. Pasal 18 Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, (Jakarta: LP3S, 1999), h.37, Penuntutan dalam artu

  

luas merupakan penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus supaya

diserahkan kepada sidang pengadilan (ferwijzing naar de terechtizitting) 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, op.cit.,

  suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

  Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan

  40 pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

  Kejaksaan dalam kurun waktu sebelum berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu :

  1. Kejaksaan di zaman sebelum penjajahan Diawali pada zaman kerajaan Hindu-Jawa khususnya pada zaman kerajaan

  Majapahit yang menunjukkan ada beberapa jabatan di negara tersebut yang dinamakan Dhyaksa (Hakim Pengadilan), Adhyaksa (Hakim Tertinggi), dan

41 DarmaDhyaksa mempunyai tiga arti : a. Pengawas tertinggi dari kerajaan suci.

  b. Pengawasan tertinggi dalam hal urusan kepercayaan

  c. Ketua pengadilan

  2. Kejaksaan di zaman penjajahan

  a. Kejaksaan di zaman VOC 40

  b. Zaman pemerintahan Daendels 41 Ibid. Pasal 30 ayat (2) Kusumadi Poedjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara, c. Zaman Rafless

  d. Zaman Hindia Belanda

  e. Zaman pemerintahan bala tentara pendudukan Jepang

  3. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia merdeka Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang di perjelas oleh

  Peraturan Pemerintah (PP) No.2/1945 sejak berdirinya Kejaksaan RI secara Yuridis-Formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI ialah tanggal 17 Agustus 1945.Dengan demikian, maka perihal penempatan Kejaksaan dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang diputuskan dalam rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 cukup memiliki dasar.

  Istilah Kejaksaan secara resmi digunakan oleh UU pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Sejak tahun 1946 hingga tahun 1968 kantor Kejaksaan Agung tercatat lebih dari 6 kali berpindah tempat, terakhir pada tanggal 22 Juli 1968 dari Jalan Imam Bonjol 66 Jakarta ke gedungnya yang permanen di Jalan Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

  Pada gedung yang baru ini peletakan batu pertamanya pada tanggal 10 November 1961 dilakukan oleh Jaksa Agung ke VI adalah Mr. Goenawan yang diresmikan pada tanggal 22 Juli 1968 oleh Jaksa Agung ke IX adalah Soegih Arto.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN MUSIK GITAR TUNGGAL 2.1 Sejarah Instrumen Gitar Dan Perkembangannya - Analisis Musikal Lagu Etnik Pada Gitar Tunggal: Studi Kasus Pada Karya-Karya Jubing Kristianto

0 1 86

BAB II SEJARAH KOMISI PEMILIHAN UMUM 2.1 Sejarah Terbentuknya KPU di Indonesia - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 1 17

Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Proses Verifikasi Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014(Studi Kasus : KPU Sumatera Utara)

0 3 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida - Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah

0 0 8

BAB II PT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL 1 MEDAN A. Sejarah Singkat PT. Pegadaian (Persero) - Sistem Pengendalian Intern Atas Penyaluran Kredit Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil 1 Medan

2 4 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebisingan - Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

0 0 10

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 - Pembuatan Komposit Biodegradabel dari α-Selulosa Ampas Tebu Bz 132 (Saccharum officinarum) dan Polipropilena dengan Menggunakan Polipropilena Tergrafting Maleat Anhidrida dan Divinil Benzena Sebagai Agen Pengikat Silang

0 0 6

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

b. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 55