Daya Predasi Semut Myopopone castaneae (Hymenoptera : Formicidae) Terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

  

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi O. rhinoceros L.

  Klasifikasi kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insekta Ordo : Coleoptera Family : Scarabaidae Genus : Oryctes Spesies : O. rhinoceros L.

  Kumbang tanduk O. rhinoceros L. termasuk ke dalam ordo Coleoptera dengan family Dynastidae. Kumbang tanduk bertelur pada bahan-bahan organik.

  Siklus hidup kumbang ini antara 4-9 bulan, namun pada umumnya 4-7 bulan. Telur O. rhinoceros berbentuk lonjong (Gambar 1).

  Gambar 1. Telur O. rhinoceros L.

  Sumber : Foto langsung

  Imago betina menghasilkan telur 30-70 butir dan menetas setelah ± 12 hari. Telur berwarna putih dengan garis tengah ± 3 mm, sebelum menetas membengkak berwarna keabuan (Vandaveer, 2004).

  Larva memiliki tiga pasang tungkai. Larva akan segera memakan bagian tanaman yang masih ada serta bahan sampah atau kotoran yang ada di dekatnya. Larva terdiri dari tiga instar (Gambar 2).

  Gambar 2. Larva O. rhinoceros L.

  Sumber : Foto langsung

  Masa larva instar pertama 12-21 hari, instar kedua 21-60 hari dan instar ketiga 60-165 hari. Warna larva keputih-putihan dengan kepala yang berwarna kehitaman. Larva sering tampak melengkung membentuk setengah lingkaran (Kartasapoetra, 1993).

  Pupa berada di dalam tanah, berwarna coklat kekuningan berada dalam kokon yang dibuat dari bahan-bahan organik disekitar tempat hidupnya (Gambar 3).

  Gambar 3: Pupa O. rhinoceros L.

  Sumber : Foto langsung

  Pupa jantan berukuran sekitar 3 - 5 cm, yang betina agak pendek. Masa prapupa 8 – 13 hari. Masa pupa berlangsung 18 - 23 hari. Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal di tempatnya antara 5 - 20 hari, kemudian terbang keluar (Prawirosukarto et al, 2003).

  Kumbang berwarna hitam, ukuran badan panjang 40 mm lebar 20 mm. Kumbang jantan mempunyai cula lebih panjang dari yang betina (Gambar 4).

  Gambar 4 (a)Imago jantan O. rhinoceros, (b). Imago betina O. rhinoceros Sumber : http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 18 Juni 2013

  Kumbang yang baru keluar terbang menuju pohon kelapa memakan dan sambil mencari pasangan kemudian terjadi perkawinan, dan setelah itu kumbang-kumbang betina terbang menuju sampah-sampah/tumpukan limbah untuk bertelur. Telur yang dihasilkan dapat mencapai 35- 70 butir/ekor kumbang betina. Kumbang aktif pada sore hari sekitar jam 6 - 7 malam dan tertarik pada cahaya. Umur kumbang 4 – 4.5 bulan (Siswanto, 2003).

  Gejala Serangan

  Pada tanaman berumur kurang 1 tahun terdapat lubang gerekan pada pangkal batang dekat permukaan tanah. Di depan lubang gerekan terdapat serpihan batang yang digerek. Serangan berat kumbang tanduk pada tanaman kelapa sawit terutama masa tanaman belum menghasilkan menyebabkan kerusakan pelepah dan titik tumbuh, tanaman tidak homogen dan pertumbuhan terhambat serta produksi optimal pada masa tanaman menghasilkan muda tidak tercapai (± 40% lebih rendah dari produksi optimal) (BPKKS, 2004).

  Serangan dari O. rhinoceros ini dapat dilihat bekas gerekan yang dibuatnya. Pada tanaman muda serangan hama ini dapat menyebabkan kematian.

  Pada waktu hama ini mengebor pucuk tanaman biasanya juga merusak bagian daun yang muda yang belum terbuka hingga waktu daun terbuka akan terlihat bekas potongan yang simetris berbantuk segitiga atau seperti huruf V (Gambar 5).

  Gambar 5. Gejala Serangan (a) tanaman muda, (b) tanaman tua

Sumber : http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 18 Juni 2013

  Akibatnya, mahkota daun tampak compang camping tidak teratur sehingga bentuknya tidak bagus lagi (Firmansyah, 2008).

  Hama ini biasanya berkembangbiak pada tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan. Kumbang dewasa akan menggerek pucuk kelapa sawit. Gerekan tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan jika sampai merusak titik tumbuh akan dapat mematikan tanaman. Pada areal peremajaan kelapa sawit, serangan kumbang tanduk dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa sawit sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Akhir-akhir ini, serangan kumbang tanduk juga dilaporkan terjadi pada tanaman kelapa sawit tua sebagai akibat aplikasi mulsa tandan kosong sawit (TKS) yang tidak tepat. Serangan hama tersebut menyebabkan tanaman kelapa sawit tua, menurun produksinya dan dapat mengalami kematian (Winarto, 2005).

  Pengendalian

  Teknik pengendalian O. rhinoceros yang umum dilaksanakan adalah dengan pengelolaan tanaman penutup tanah (leguminose cover crop), sistem pembakaran, sistem pencacahan batang, pengutipan kumbang dan larva, secara kimiawi dan hayati. Semua metode pengendalian diaplikasikan baik secara tunggal maupun terpadu menunjukkan kerterbatasan dalam skala yang besar.

  Paket yang dilaksanakan dalam pengendalian kumbang O. rhinoceros, biasanya terdiri dari mekanis, biologi dan kimiawi Metode mekanis terdiri dari pengutipan larva dan kumbang dari sisa tanaman, secara kimiawi meliputi penggunaan pestisida, dan secara biologi dengan menggunakan Metarhizium anisopliae,

  Beauveria bassiana dan Baculovirus oryctes (Chandrika, 2005).

  Pengendalian terhadap hama O. rhinoceros dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: a. Pengumpulan O. rhinoceros secara langsung dari lubang gerekan pada kelapa sawit dengan menggunakan alat kait berupa kawat. Tindakan dilakukan setiap tiga bulan bila populasi 3-5 ekor/ ha, tiap dua minggu jika populasi 5-10 ekor, dan tiap minggu pada populasi O. rhinoceros lebih dari 10 ekor.

  b. Penghancuran tempat peletakan telur dan dilanjutkan dengan pengumpulan larva untuk dibunuh.

  c. Larva O. rhinoceros pada mulsa tandan kosong kelapa sawit di areal tanaman menghasilkan dapat dikendalikan dengan jamur Metarhizium anisopliae

  2 sebanyak 20 g/ m .

  d. Penggunaan perangkap berupa feromon sintetik (Etil-4 metil oktanoate) yang digantung pada ember plastik kapasitas 12 liter.

  e. Secara kimiawi, menaburkan insektisida Karbosulfan sebanyak 0,05 - 0,10 g bahan aktif/ pohon setiap 1-2 minggu. (Prawirosukarto et al, 2003).

  Biologi Semut My. castaneae

  Menurut Marheni (2012), klasifikasi semut My. castaneae adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Hymenoptera Family : Formicidae Genus : Myopopone Spesies : My. castaneae Koloni semut My. castaneae terbatas dalam ukuran (puluhan atau ratusan).

  Larva semut My. castaneae terdiri dari lima instar yang sederhana dan berada di bawah tanah (Gambar 6).

  Gambar 6. Larva Semut M. castaneae

Sumber : http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 18 Juni 2013

  Pengamatan koloni di laboratorium mengindikasikan larva instar pertama dan instar kedua yang bersifat kanibal menyebabkan pengurangan jumlah telur. Instar pertama dan kedua mampu memakan 66-75 % telur di sarang dimana setiap larva memakan 2-3 telur sebelum pergantian ke instar ketiga. Larva memiliki segmen- segmen dan berwarna keputihan (Masuko, 2003).

  Dalam beberapa kasus, kepompong ditempatkan pada ruangan yang tersembunyi. Kepompong hanya ditemani oleh beberapa pekerja dewasa atau adakalanya beberapa serangga betina yang steril. Sarangnya yang bercabang kemudian dikenal sebagai ruangan kokon. Ruang kokon biasanya digali dalam sarang dengan kedalaman yang hampir sama dengan sarang utama, namun dikhususkan untuk meng-rearing di musim panas (Gambar 7).

  Gambar 7. Kepompong dan imago semut M. castaneae

Sumber : http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 18 Juni 2013

  Biasanya pupa berada di dalam tanah dan siap untuk bermetamorfosis menjadi imago dewasa. Kepompong semut My. castaneae cendrung berwarna oranye (Masuko, 2003).

  Imago semut My. castaneae panjangnya mencapai 5 mm. Kasta pekerja merupakan predator di dalam tanah dan sampah daun. Semut My. castaneae jarang terlihat mencari makanan di permukaan tanah. Kasta pekerja berwarna pucat sampai coklat gelap (Gambar 8) (Shattuck dan Barnett, 1999).

  Gambar 8. Kasta pekerja semut M. castaneae Sumber : Foto langsung Ukuran tubuh ratu semut My. castaneae tergolong besar. Kasta pekerja menunjukkan variasi ukuran tubuh yaitu dengan lebar kepala 1,48- 2,18 mm dan jumlah ovariole antara 6 hingga 22 sedangkan ukuran lebar kepala ratu 3,0 mm dengan ovariole berjumlah 24 hingga 32 (Ito, 2010).

  Daya Predasi Semut My. castaneae Setiap koloni semut, tanpa kecuali, tunduk pada sistem kasta secara ketat.

  Sistem kasta ini terdiri atas tiga bagian besar dalam koloni. Anggota kasta pertama adalah ratu dan semut-semut jantan, yang memungkinkan koloni berkembang biak. Dalam satu koloni bisa terdapat lebih dari satu ratu. Ratu mengemban tugas reproduksi untuk meningkatkan jumlah individu yang membentuk koloni.

  Tubuhnya lebih besar daripada tubuh semut lain. Sedang tugas semut jantan hanyalah membuahi sang ratu. Malah, hampir semua semut jantan ini mati setelah kawin (Yahya, 2004).

  Anggota kasta kedua adalah prajurit. Kasta prajurit mengemban tugas seperti membangun koloni, menemukan lingkungan baru untuk hidup, dan berburu (Yahya, 2004). Semut prajurit merupakan satuan pengaman atau "Satpam" bagi kelompoknya. Setiap saat mereka akan memberikan peringatan kepada semut lainnya apabila ada pengacau memasuki daerah kekuasaannya.

  Ketika mereka menemukan mangsa, semut prajurit menyebarkan bau dan menyentuh semut lainnya dengan cara-cara tertentu untuk menunjukkan dimana mereka menemukan mangsa dan seberapa besar mangsa yang ditemukan. Beberapa semut 'mengeksekusi' mangsa tersebut dengan cara menjepitnya (Suhara, 2009).

  Kasta ketiga terdiri atas semut pekerja. Semua pekerja ini adalah semut betina yang steril. Semut pekerja merawat semut induk dan bayi-bayinya, membersihkan dan memberi makan. Selain semua ini, pekerjaan lain dalam koloni juga merupakan tanggung jawab kasta pekerja. Semut pekerja membangun koridor dan serambi baru untuk sarang mereka. Semut mencari makanan dan terus- menerus membersihkan sarang (Yahya, 2004).

  Seluruh anggota dari suku My. castaneae. sejauh ini diketahui sebagai predator obligat terhadap arthropoda. Hampir semua spesies mencari makanan di tanah, sampah daun atau kayu yang membusuk. Hasil observasi terhadap

  My. castaneae menunjukkan bahwa kasta pekerja umumnya menyerang mangsa

  yang hidup (dalam bentuk chilopoda, larva kumbang atau arthropoda lainnya) dengan menggunakan rahang yang keras dan menyengatnya dalam waktu yang lama hingga mati (William dan Brown, 1960).

  Semut menggunakan rahang untuk mengangkat makanan. Rahang juga digunakan untuk memproses makanan dan memotong-motong mangsa mereka.

  Semut predator juga menggunakan rahang untuk merobek, menusuk dan menggiling makanan mereka. Rahang penting bagi keberhasilan berburu semut predator (Schmidt, 2004).

  Saat merasakan kehadiran mangsanya, semut My. castaneae cenderung menghadapinya tanpa ragu, dengan menggunakan rahangnya, mangsa langsung disengat. Perilaku ini berlaku sama berapapun jumlah semut yang menyerang mangsanya. Semut My. castaneae dapat merasakan apakah mangsanya telah lumpuh atau belum. Semut My. castaneae akan mengamati isyarat dari mangsanya apakah mangsa tersebut sudah dapat dikonsumsi (Masuko, 2003).

  Di Laboratorium, kasta pekerja My. castaneae sering meninggalkan sarang sendirian. Ketika semut My. castaneae menemukan mangsanya, mangsa langsung disengat dan mangsa yang telah lumpuh dibawa ke sarang. Jika mangsa dalam ukuran besar diberikan, semut My. castaneae akan menyerangnya sendiri sendiri.

  Kasta pekerja yang ada di dekatnya kemudian akan membantu menyerang. Salah satu pekerja akan kembali ke sarang dan menggetarkan tubuhnya untuk mendapatkan perhatian dari pekerja lainnya. Setelah itu satu atau dua pekerja meninggalkan sarang dan menemui mangsanya untuk mencari makan. Kasta pekerja tersebut kemudian bekerja sama membawa mangsanya tersebut. Mereka menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk pengambilan mangsa (Ito, 2010).

  Dalam 14 jam pengamatan dari sebuah koloni dengan 25 kasta pekerja, perilaku memakan cairan larva (larval hemolymph feeding) (LHF) dapat dilakukan sebanyak 38 kali. 12 dari 25 kasta pekerja memakan cairan larva. Satu kasta pekerja memonopoli lebih dari 50% LHF (21 kali) dan yang lainnya hanya mengkonsumsi cairan larva satu sampai tiga kali. Perilaku agresif antar kasta pekerja tidak pernah diamati (Ito, 2010).

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 21

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

0 1 27

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cacing Usus - Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan P

0 0 8

Hubungan Infeksi Ascaris lumbricoides Terhadap Hasil Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test) dengan Alergen dari Cacing Ascaris pada Anak Sekolah Dasar Negeri 047/XI Koto Baru yang Memiliki Riwayat Atopi di Kecamatan Pesisir Bukit Kota Sungai Penuh Provinsi Jam

0 0 21

BAB II PENGATURAN LEMBAGA DANA PENSIUN DI INDONESIA A. Pengertian, Dasar Hukum, dan Jenis-Jenis Lembaga Dana Pensiun 1. Pengertian Lembaga Dana Pensiun - Pengawasan Terhadap Lembaga Dana Pensiun Setelah Berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Ot

0 0 58

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengawasan Terhadap Lembaga Dana Pensiun Setelah Berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 10