BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

  panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan perjuangan Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Ir.

  Djoeanda yang mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda dan menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State). Deklarasi Djuanda

  1 selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.

  Pada tahun e-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of

  

The Sea/UNCLOS 1982 ). Kemudian dipertegas kembali dengan UU Nomor 17

  Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

  Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dua Landasan hukum tersebut, khususnya PP No.38 tahun 2002, telah memagari wilayah perairan Indonesia. UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting, yaitu sebagai

  iakses 18 April 2015

  1 bentuk pengakuan Internasional terhadap konsep Wawasan Nusantara yang telah

  2 digagas sejak tahun 1957.

  Sampai dengan terciptanya Konvensi Hukum Laut Internasional, pengertian mengenai negara kepulauan menjadi suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau

  3 secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.

  Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan

4 Sembilan berbanding satu.

  Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, wilayah pengaturan perairan Indonesia terbagi menjadi : a. Perairan Kepulauan 2 Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada

  

iakses pada 25 Mei

3 2015 4 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 46 Ibid.,

Pasal 47 ayat (1)

  sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Karena Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya.

  b. Perairan Pedalaman Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut

  5

  teritorial . Bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain, sehingga perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan. Pada dasarnya tida ada hak lintas damai di wilayah perairan ini kecuali kawasan perairan pedalamannya terbentuk karena

  6 penarikan garis lurus.

  c. Laut teritorial Setiap Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis

  7

  pangkal dimana batas terluarnya adalah garis yang jarak setiap titiknya dari

  8

  titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. Untuk 5 negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis

Pasal 8 ayat (1)

  6 Ibid., 7 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 213 8 United Nation Convention on the Law of the Sea Pasal 3 Ibid.,

  9 pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut.

  Laut territorial termasuk dalam kedaulatan negara pantai yang secara otomatis menjadi miliknya. Terdapat sejumlah teori yang berkaitan dengan karakter hukum dari territorial negara pantai, mulai dari perlakuan laut territorial sebagai bagian dari res communis, namun tunduk kepada hak tertentu yang bisa dilaksanakan oleh negara pesisir, hingga mengenai laut territorial sebagai bagian dari territorial negara pantai namun tunduk pada hak lintas damai (The Right of Innocent Passage) kapal asing. Sebuah negara pantai diperbolehkan membentuk sabuk maritimnya dan control yurisdiksinya yang luas sesuai dengan ketentuan hukum Internasional. Pembatasan negara pantai adalah hak atas negara lain tentang hak lintas damai melalui laut territorial. Hal inilah yang membedakan antara wilayah laut territorial dari perairan internal

  10 negara, yang sepenuhnya berada dalam yurisdiksi tanpa batas negara pantai.

  Kapal-kapal dari semua negara, baik pesisir maupun daratan yang

  11

  terkurung, memilik hak lintas damai melalui laut territorial. Maka, negara pantai tidak boleh menghalangi kegiatan lintas damai dan harus mempublikasikan bahaya apapun bagi navigasi laut territorial yang diketahuinya.

  d. Laut Tambahan Zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal

  9 10 Ibid.,

Pasal 6 Berger, Artur Asa. Aspek-Aspek Hukum Laut Pendekatan Tanya Jawab (Harvarindo, 2014),

  11 hlm. 65 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 17

  12

  dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. Zona tambahan ini bersambungan dengan laut teritorial negara pantai dan dapat melaksanakan

  13

  pengawasannya yang dibutuhkan untuk:

  a. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasiandan kesehatan atau saniter.

  b. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang- undangannya tersebut di atas.

  e. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus hak-hak dan

  14 yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain.

  Berdasarkan Piagam PBB tentang Konvensi Hukum Laut 1982, dalam wilayah ZEEnya Indonesia mempunyai hak kedaulatan (Sovereign rights) atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya untuk: a. Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.

  b. Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan.

  c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

  f. Landas Kontinen Landas kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di 12 bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut 13 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 33 ayat 2 14 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 33 ayat (1) United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 55 teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi

  15

  kontinen tidak mencapai jarak tersebut hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2.500 meter. Batas itu dapat diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen

16 PBB. Maka, Indonesia yang termasuk sebagai negara pantai berhak

  17 mempunyai landas kontinen di luar laut wilayahnya.

  Namun untuk saat ini Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas kontinennya dengan negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam, Australia, Philipina dan Malaysia di Kalimantan Timur.

  g. Laut Lepas Laut lepas dapat digunakan baik oleh Negara pantai atau Negara tidak berpantai dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan Negara

  18

  lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas itu untuk melakukan : a. kebebasan berlayar.

  b. kebebasan penerbangan.

  c. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut.

  d. kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang 15 diperbolehkan berdasarkan hukum internasional. 16 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 76 ayat (1) 17 Ibid.,

Pasal 76 ayat (9)

  18 UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 9 ayat (1) United Nation Convention on the Law of the Sea 1982., Pasal 87 e. kebebasan menangkap ikan.

  f. kebebasan riset ilmiah.

  Salah satu kewajiban Indonesia di laut lepas adalah memberantas kejahatan Internasional, dimana perompakan termasuk dalam pembajakan Internasional, dan melakukan pengejaran seketika apabila dirasa mengganggu

  19

  keamanan nasional. Pemberantasan kejahatan internasional di laut lepas dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain berdasarkan ketentuan

  20 peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

  Indonesia sebagai negara yang memiliki kondisi geografis wilayah daratan yang berbentuk gugusan gugusan pulau memiliki potensi sekaligus kelemahan.

  Potensi terbesarnya adalah sumber daya yang ada di dalamnya, sedangkan kelemahannya adalah masalah perhubungan antar pulau pulau serta masalah

  21 keamanan dan kedaulatan.

  Indonesia yang tergolong sebagai bangsa pelaut yang ulung yang telah mengarungi lautan yang luas. Para pelaut ini berlayar antar pulau dengan tujuan ekonomis-perdagangan maupun social budaya. Mereka bertemu dan berinterkasi di tengah laut dengan penuh kerukunan dan kedamaian. Nenek moyang bangsa Indonesia tidak memandang laut sebagai pemisah, justru sebagai pemersatu seluruh kepulauan Nusantara termasuk daratan dan tanah di bawahnya dari pulau-

  22 19 pulau ataupun ruang udara di atas laut serta daratan tersebut. 20 UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 11 ayat (2) Ibid.,

  Pasal 11 ayat (3) 22 iakses 18 April 2015

Parthiana, I Wayan. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia (Bandung, Penerbit Yrama Widya, 2014), hlm. 263-264 Namun, berapa batas luar bagian laut tanah air tidak ditegaskan oleh setiap etnis yang mendiami nusantara karena dianggap sudah aman dan nyaman memanfaatkan laut di sekitar, di tengah-tengah ataupun di antara pulau pulaunya sehingga tidak perlu menetapkan batas luarnya yang bukan merupakan sebuah

  23 kebutuhan pada saat itu.

  Khusus mengenai Timor

  • – Timur, telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan RDTL Provisional Agrreement on the Land Boundary yang ditandatangani 8 April 2005 oleh Menteri Luar Negeri kedua negara. Sedangkan batas laut RI-RDTL yang meliputi laut wilayah, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen belum mulai dirundingkan karena masih menunggu penyelesaian batas darat terlebih dahulu.

  Sebagai Negara Kepulauan, kondisi georafis Indonesia juga memunculkan permasalahan keamanan maritime yang telah meluas tidak hanya konsep pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk pertahanan terhadap ancaman non militer, antara lain perlindungan terhadap kelestarian alam, jalur perdagangan, pemberatasan aksi ilegal di laut, pembajakan dan lain-lain. Pembajakan yang sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan dilaut yang perlu mendapatkan penangan yang serius. Asia Tenggara, khususnya Indonesia, telah menjadi daerah paling rawan serangan bajak laut di dunia, setelaembuat aksi bajak laut di Somalia berkurang, demikian

  24 dinyatakan PBB. 23 Pembajakan di laut tidak dapat dibenarkan dari segi pertimbangan apapun, Ibid. akses 25 Mei 2015

  baik dilakukan karena alasan ekonomis ataupun alasan politik. Kejahatan ini telah berlangsung sejak laut menjadi jalur transportasi bagi masyarakat dunia. Kegiatan ini telah meningkat dalam lingkup, intensitas dan kompleksitasnya sehingga mengancam kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara dan kawasan sekitar.

  Hukum Laut Internasional memang kemudian membagi kewenangan untuk menumpasnya dengan melihat dimana pembajakan laut itu terjadi. Jika di laut bebas maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara manapun yang ingin menumpasnya, bahkan Negara-negara diwajibkan untuk bekerjasama menumpas pembajakan tersebut, akan tetapi jika di wilayah satu Negara khususnya laut

  25 teritorial maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara pantainya.

  Melihat semua dampak yang telah diakibatkan oleh sekelompok perompak yang anggotanya terdiri dari sekelompok pengangguran, jelas kasus ini harus segara ditindaklanjuti. Tidak hanya melibatkan Negara Indonesia sebagai suatu negara yang memiliki wilayah jurisdiksi lebih luas namun juga dunia Internasional.

  Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai kewenangan hukum Indonesia terhadap bajak laut dengan mengangkat judul : KEWENANGAN MENANGKAP DAN MENGADILI BAJAK LAUT

  DI WILAYAH JURISDIKSI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.

  25

https://farahfitriani.wordpress.com/2011/10/30/kasus-pembajak-somalia/ diakses 25 Mei 2015

  B. Rumusan Masalah

  Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimanakan pengaturan hukum Internasional mengenai bajak laut?

  2. Bagaimanakah kewengangan Indonesia untuk menangkap dan mengadili bajak laut berdasarkan hukum Internasional?

  3. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban Indonesia menghadapi kejahatan bajak laut di wilayah jurisdiksinya?

  C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan penulisan

  Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui pengaturan hukum Internasional mengenai bajak laut.

  2. Untuk mengetahui kewengangan Indonesia untuk menangkap dan mengadili bajak laut berdasarkan hukum Internasional.

  3. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Indonesia menghadapi kejahatan bajak laut di wilayah jurisdiksinya.

  2. Manfaat Penelitian

  Seperti pada umumnya dalam setiap penulisan skripsi pasti ada manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan dalam penulisannya. Manfaat secara umum yang dapat diambil dalam penulisan skripsi ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis.

  a. Manfaat Teoritis

  Manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam mempelajari Hukum Internasional khususnya hukum Laut Internasional serta dapat bermanfaat untuk memperluas wawasan mengenai penegakan atas kejahatan bajak laut di wilayah teritorial suatu negara berdasarkan Hukum Internasional.

  b. Manfaat praktis

  Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah menjadi acuan dalam kerangka berpikir bagi upaya dan solusi penyelesaian permasalahan bajak laut di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

  Judul skripsi ini ialah “Kewenangan Menangkap dan Mengadili Bajak Laut di Wilauah Yurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

  ”. Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan, serta pemikiran Penulis yang diperoleh dari berbagai sumber refernsi, bukan dari hasil penggandaan karya tulis orang lain dan oleh karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan dan kutipan, hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

E. Tinjauan Pustaka

  1. Pengertian Kewenangan untuk Menangkap dan Mengadili Pembajakan di laut lepas dapat dikategorikan ke dalam kejahatan lintas

batas negara. Pelaku pembajakan dapat melibatkan orang-orang dengan

kewarganegaraan berbeda yang terorganisir, rapi dan dikendalikan dari negara

mana saja, karena itu serangan terhadap kapal dapat terjadi dimana saja dan

pelaku penyerangan bisa melarikan diri kemana saja.

  Untuk memberantas bajak laut, setiap negara pantai diperbolehkan menggunakan kapal perangnya untuk memberantas bajak laut intternasional.

  Wewenangnya sangat luas kapal-kapal perang dapat menangkap dan menahan kapal bajak laut. Selanjutnya negara bendera kapal perang tersebutlah yang dapat mengadili dan menghukum pembajak-pembajak yang ditangkap.

  Setiap negara harus mengambil tindakan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana dan juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran seperti yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam pelaksanaan yurisdiksi sebagaimana yang dimaksud di atas, negara -negara yang berhasil menangkap para pelaku pembajakan boleh saja mengirimkan para pelaku tersebut ke negara lain yang memiliki peraturan hukum tentang hal

  26 itu untuk diadili di negara tersebut.

  2. Pengertian Wilayah Perairan

  Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, 26 wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, peraiaran kepulauan, dan laut

  Konvensi Roma 1988 Pasal 3 territorial. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar Laut dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

  Bagi negara kepulauan, laut teritorial yang terdapat dalam wilayah perairan meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut territorial. Pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan

  27 United Nations Convention on the Law of the Sea).

  Istilah laut teritorial dan perairan teritorial kadang-kala digunakan pula secara informal untuk menggambarkan dimana negara memiliki yurisdiksi, termasuk perairan internal, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen berpotensi.

  3. Pengertian Wilayah Yurisdiksi Yurisdiksi adalah kewenangan untuk melaksanakan ketentuan hukum

nasional suatu negara yang berdaulat dan ini merupakan implementasi

kedaulatan negara sebagai yurisdiksi negara dalam batas-batas wilayahnya

yang akan tetap melekat pada negara berdaulat. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2)

UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyatakan bahwa wilayah

  27 United Nation Convention on the Law of the Sea : TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE

  

yurisdiksi meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas

kontinen.

  Yurisdiksi territorial baik subyektif maupun obyektif (teritorial yang

diperluas), menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku atas orang, perbuatan,

dan benda yang ada di wilayahnya maupun di luar wilayahnya atau di luar

negeri. Menyadari makna kedaulatan (sovereignty) dalam hubungannya

dengan hukum internasional, yang didalamnya ada batasan, namun demikian

hanya bagi negara yang mempunyai yurisdiksi menurut hukum internasional.

  Dalam hal ini pada prinsipnya yurisdiksi suatu negara, terkait tidak saja

dengan ketentuan hukum nasional masing-masing negara, tetapi juga dengan

hu kum internasional yang berlaku.

  Yurisdiksi Teritorial sebagai kewenangan suatu Negara untuk mengatur, menerapkan dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang ada/terjadi dalam batas-batas teritorialnya, tidak mutlak tapi dibatasi oleh hukum internasional sehingga pengecualiannya antara lain:

  

a. Terhadap kepentingan Negara asing yang sedang berada dalam suatu

Negara.

  b. Perwakilan diplomatik dan konsuler .

  c. Kapal pemerintah dan kapal dagang pemerintah asing.

  d. Angkatan bersenjata Negara asing.

  e. Organisasi internasional baik terhadap pimpinannya maupun stafnya.

F. Metode Penelitian

  1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang melakukkan analisa hukum atas peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim dalam penulisan ini pendekatan yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma -norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang kedaulatan suatu negara di wilayah laut dan upaya penyelesaian sebagaimana yang terdapat dalam perangkat hukum internasional maupun perjanjian internasional.

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu metode penelitian yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan selanjutnya mencoba memberikan pemecahan masalahnya.

  2. Sumber Data

  Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan huku yang mengikat yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adaah Piagam PBB 1945, Konvensi Hukum Laut 1982.

  b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang dan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal ilmiah dan pendapat para ahli hukum internasional. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukumyang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer dan badan hukum sekunder, berupa kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Hal ini dilakukan yakni untuk mendapatkan landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya maupun tidak langsung (internet) yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

  4. Analisis Data Data yang terdapat dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.

  Analisis data kulitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan, dan mensitensiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukkan pola, hubungan- hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskriptif naratif, bagan, flow chart, matriks maupun gambar-gambar yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain.

G. Sistematika Penulisan

  Untuk memudahkan pemahaman untuk mendapatkan jawaban atas rumusan permasalahan, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menguraikannya lebih lanjut mengenai inti permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari lima bab yang terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap bab. Sistematikannya adalah sebagai berikut :

  BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab I ini dibahas mengenai latar belakang yang menjelaskan alasan pemilihan judul penelitian yang kemudian akan dilanjutkan dengan perumusan masalah dan diikuti dengan tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian. Bab ini juga membahas mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan serta metodelogi penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

  BAB II : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT Dalam Bab ini berisi tentang Sejarah Bajak Laut dan bagaimana pengaturan mengenai bajak laut menurut konvensi dan sumber hukum lainnya sesuai dengan pengaturan dalam Hukum Internasional.

  BAB III : KEWENANGAN INDONESIA UNTUK MENANGKAP DAN MENGADILI BAJAK LAUT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL. Dalam Bab ini berisi mengenai kewenangan Indonesia terhadap bajak laut di wilayah teritorialnya dan bagaimana penanganan terhadap bajak laut tersebut.

  BAB IV : CARA INDONESIA MENGHADAPI KEJAHATAN BAJAK LAUT DI WILAYAH YURISDIKSINYA. Dalam Bab ini berisi tentang bagaimana Indonesia mengahadapi bajak laut di wilayah yurisdiksinya dan pengaturan mengenai Hukum Alur Kepulauan Indonesia (ALKI).

  BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan Bab penutup dari keseluruhan rangkaian bab-bab sebelumnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini dan dilengkapi dengan saran-saran.

Dokumen yang terkait

3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai

0 3 11

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pengeringan - Rancang Bangun Kompresor Dan Pipa Kapiler Untuk Mesin Pengering Pakaian Sistem Pompa Kalor Dengan Daya 1PK

0 1 30

LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Ikhtisar Data Laporan Keuangan Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009 – 2012 yang menjadi Sampel Penelitian

0 19 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Rasio Keuangan - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Pengaruh Inventory TurnoverRatio Dan Debtors’ TurnoverRatio Terhadap Gross ProfitMargin: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan dan Perilaku - Pengetahuan Dan Perilaku Dokter Gigi Terhadap Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Kecamatan Medan Selayang Periode Januari-Februari 2014

0 0 23

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia - Kewenagan Menangkap dan Mengadil Bajak Laut di Wilayah Jurisdiksi Indonesia Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 26