PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI Dairi Sapta Rindu Simanjuntak dairisaptajuntakyahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstract - Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa

Kajian Linguistik, Februari 2015, 35-53
Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

Tahun ke-12, No 1

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA
BAHASA PAKPAK DAIRI
Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
dairisaptajuntak@yahoo.com
Dwi Widayati, Nurlela
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Abstract
The purposes of this research are to describe the flora lexicon in Pakpak
Dairi Language at Desa Urug Gedang, to know the understanding of people
about the flora lexicon and semantic relation that is formed from the flora
lexicon in Pakpak Dairi language. The collecting data is done through
written document, observation,and interview. The approaches and the
methods of this research are qualitative and quantitative. The numbers of
data are 200 flora lexicon. The result is that flora lexicon is reduce in every
group of age. Especially in teenagers group. The understanding of
responden about kayus at ≥ 60 years old is 82,4 %, 25-59 years old is 64,4

%, and 12-24 years old is 12%. The understanding of responden about
rambah at ≥ 60 years old is 94,5 %, 25-59 years old is 66,4 %, and 12-24
years old is 15,2%. The understanding of responden about suan-suanen at ≥
60 years old is 100 %, 25-59 years old is 97,5 %, and 12-24 years old is
69%. The understanding of responden about buah at ≥ 60 years old is 99,8
%, 25-59 years old is 96,1 %, and 12-24 years old is 82,6%. The
understanding of responden about rorohen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59
years old is 79,6 %, and 12-24 years old is 44,2%. The lowest understanding
is wood and rambah lexicon. It is caused by the changing of flora function
around the people, parents did not introduce to the children, the using of
culture language is low, and social function of Desa Urug Gedang is
multiethnics that is influence the understanding is low, semantic relation is
formed by lexicon data in Pakpak Dairi Lamguage, they are antonymy,
homonymy, homography, hyponymy, and meronymy.
Key Words: ecolinguistic, socioecology, flora lexicon

PENAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat yang terjadi dewasa ini, baik perkembangan waktu dan
dinamika spasial sosioekologis yang menjadi ruang hidup bahasa itu membawa

perubahan kehidupan sosial dalam tata hidup masyarakat pemakai bahasa (masyarakat
tutur), dan faktor ini menjadi penentu pula terhadap perubahan, pergeseran, dan
“peminggiran” bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD). Istilah dalam BPD
yang mulai mengalami pergeseran itu berhubungan dengan sosioekologisnya. Hal itu
terjadi karena munculnya istilah-istilah dari luar BPD yang dalam hal ini adalah bahasa
Indonesia (BI) dan Bahasa Batak Toba (BBT). Jika lingkungan hidup berubah, bahasa

35

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

yang hidup dalam masyarakat penutur pun berubah seiring dengan perjalanan waktu
(Lindo dan Bundsgaard 2000: 10-11).
Fenomena yang dapat diamati menjadi sebab tergerusnya istilah-istilah/leksikon
tentang lingkungan adalah perkembangan teknologi yang pesat, tercemarnya lingkungan
(pencemaran tanah akibat penggunaan pestisida), pembakaran dan penebangan hutan, dan
alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman warga secara besar-besaran, membawa
dampak buruk terhadap kebertahanan flora. Jika hal ini terus dibiarkan akan berdampak
pada perubahan bahasa, baik pergeseran maupun penyusutan, dan pada akhirnya akan
mengakibatkan hilangnya leksikon dari pemahaman komunitas penuturnya.

Hal ini didapat dari penelitian awal yang dilakukan.Salah satu masalah tersebut
misalnya semakin langkanya konteks penggunaan bahasa-bahasa etnik dalam ranah
kehidupan tradisional karena digusur oleh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing
dalam kegiatan sosial, budaya, dan teknologi tentu akan menyebabkan rendahnya
frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta
hilangnya penggunaan bahasa etnik sebagai bahasa ibu. Semakin banyaknya leksikon
pasif (leksikon-leksikon tidak digunakan lagi dalam konteks kalimat dan wacana) berarti
juga tidak dipakai dalam konteks sosial dalam wujud wacana.
Sebagai bahasa daerah, kedudukan BPD dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu
sebagai bahasa komunikasi bagi para penutur dari kelompok etnik yang sama, bahasa
daerah berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat
penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sebagai sarana pendukung
kebudayaan daerah, dan sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah. Kedudukan bahasa
daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia berfungsi sebagai pendukung bahasa
nasional, sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah, sebagai sumber
kebahasaan untuk memperkaya bahasa nasional, dan sebagai pelengkap bahasa Indonesia
di dalam penyelengaraan pemerintah daerah (lihat Alwi, 2001).
Sebagai etnis awal yang mendiami wilayah Kabupaten Dairi, etnis Pakpak Dairi
menghadapi kenyataan hadirnya etnis pendatang yang membawa pengaruh sosial dan
budaya. Kebudayaan lain ini tentu memiliki bahasa sendiri pula. Konsekuensi yang

dihadapi masyarakat Pakpak Dairi (MPD) adalah munculnya fenomena multikultural dan
multibahasa. Dalam lingkungan masyarakat multikultural dan multibahasawan seperti di
Dairi, MPD diduga mengalami benturan-benturan sosio-budaya yang berimbas pada
aspek pemakaian bahasa. Warisan budaya yang tidak dijaga mengalami kepunahan dan
mengakibatkan hilangnya berbagai ikon leksikal (lihat Adisaputra, 2011).
Dalam kegiatan komunikasi antaretnis, masyarakatnya menggunakan BI dan BBT,
sedangkan untuk berkomunikasi interetnis mereka menggunakan BPD. Karena komposisi
penduduknya yang heterogen, fungsi dan kedudukan BPD menunjukkan gejala yang
menurun (lihat Tumanggor, 2011).
Sukses tidaknya penggunaan bahasa bergantung pada sikap pemakai bahasa
terhadap perkembangan segala aspek kehidupan dan juga sikap terhadap kehadiran
sebuah kebudayaan lain. Sikap MPD yang kurang menghargai bahasanya menjadi
masalah utama. Masyarakat Pakpak kurang bangga dan merasa rendah diri menggunakan
bahasa daerahnya, sehingga dalam pergaulannya, mereka lebih banyak menggunakan BI
atau BBT (lihat Tumanggor, 2011: 4).
Tataran kebahasaan yang paling cepat mengalami perubahan adalah tataran
leksikon. Ada tiga dimensi yang memengaruhi perubahan ini, yaitu dimensi ideologis,
kemasyarakatan atau sosiologis, dan biologis (lihat Widayati, 2012: 1). Fenomena
perubahan bahasa ini terjadi pada semua bahasa. Salah satu bahasa yang mengalami
perubahan akibat perkembangan masyarakat tuturnya adalah BPD.

36

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Bahasa sebagai fungsi sosial akan mudah mangalami perubahan akibat
perkembangan teknologi, masuknya unsur asing, bergantinya bahasa yang digunakan
masyarakat penuturnya. Bahasa sebagai fungsi sosial dapat diamati pada lingkungan
sebagai tempat hidupnya bahasa itu. Salah satu lingkungan yang diamati misalnya
lingkungan flora. Pada MPD lingkungan flora mulai menampakkan fungsinya dalam
masyarakat penuturnya. Perubahan-perubahan ini dapat diamati dari, pertama; kondisi
sosioekologis MPD yang berubah berupa perubahan budaya tradisional ke budaya
modern atau perubahan ekosistem, kedua; adanya kesenjangan dan ketimpangan
pengetahuan, pemahaman, dan penggunaan bahasa etnik antara orang tua kepada anak
atau kepada generasi muda. Hal tersebut berkaitan seperti yang diungkapkan Mbete
(2013: 2) bahwa semakin langkanya register dan konteks penggunaan bahasa Pakpak
Dairi dalam ranah kehidupan tradisional karena digusur oleh kegiatan budaya dan
teknologi modern yang lebih kerap berbahasa Indonesia dan bahasa asing, menyebabkan
rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan
serta hilangnya register bahasa etnik sebagai bahasa ibu.
Penelitian awal yang diakukan untuk memperoleh data sebagai bukti terjadinya

perubahan, pergeseran, penyusutan BPD, beberapa kata yang dulu sudah umum dipakai
tetapi sekarang sudah jarang digunakan. Misalnya, endet (pohon yang daunnya
dimanfaatkan sebagai obat gula), panggaben (sejenis pohon yang buahnya untuk bumbu
masakan; biasa juga digunakan anak-anak sebagai peluru meriam-meriam kecil), sangkal
sempilit (tumbuhan yang biasa ditanam di kuburan), cipurpuren leto (rumput berdaun
halus dan biasa dibuat jadi sapu), sapilpil (paku), gomet (sejenis pohon yang daun sebelah
bawahnya putih) dan banyak lagi leksikon lain yang sudah sangat jarang digunakan
dalam kehidupan penutur masyarakat BPD. Kondisi ini tentu akan mengancam
keberadaan leksikon tersebut di tengah-tangah kehidupan MPD. Dengan demikian,
eksistensi leksikon-leksikon tersebut akan semakin tergerus oleh kurangnya penggunaan
leksikon-leksikon flora dalam komunikasi sehari-hari yang bisa berakibat lebih fatal yaitu
menuju ke arah kepunahan karena leksikon tersebut tidak berhubungan lagi dengan
aktivitas masyarakat tuturnya. Tidak dikenalnya referen dari suatu leksikon akan
berdampak pada hilangnya konsep leksikal tumbuhan itu dari pemahaman penuturnya.
Pergeseran dan penyusutan sejumlah kosakata BPD terbukti dari tidak dikenal dan
tidak digunakannya lagi sejumlah leksikon/kosakata oleh sejumlah penutur. Kondisi ini
dapat diamati pada komunitas MPD dengan berbagai latar belakang kelompok usia, yaitu
kelompok usia remaja, kelompok usia produktif, dan kelompok usia tua. Inilah yang
menjadi alasan utama pemilihan topik ini, bagaimana tingkat pemahaman leksikon flora
pada komunitas MPD dari berbagai kelompok usia tersebut. Dapat diasumsikan bahwa

perubahan lingkungan sosioekologis akan akan berdampak pada perubahan pemahaman
mereka tentang leksikon flora. Hal itu terjadi karena hilangnya referen yang mengacu
pada pemahaman leksikon tersebut. Masalah ini akan berdampak pada hilangnya
sejumlah kosa kata dari bahasa mereka.
Alasan kedua adalah wilayah desa Uruk Gedang (selanjutnya disingkat DUG) yang
dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang suku yang berbeda (multikultural) sehingga
dapat diasumsikan bahwa keberagaman suku tersebut akan memengaruhi penggunaan
bahasa, yaitu BI dan BBT. Sebagai contoh, leksikon flora „pinus‟ tidak ada dalam BPD,
namun ada dalam BI. Contoh lain leksikon flora „andaliman‟ juga tidak ada dalam BPD.
Leksikon tersebut hanya ada dalam BBT. Leksikon „pinus‟ dan „andaliman‟ yang
digunakan oleh sebagian penutur merupakan akibat dari situasi lingkungan yang dihuni
oleh masyarakat dari budaya dan bahasa yang berbeda. Dampaknya, leksikon tersebut
lebih dikenal oleh guyub tutur BPD.
37

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

BPD sebagai salah satu bahasa daerah yang menjadi aset budaya masyarakat
penuturnya layak dikaji untuk merekam seberapa besar perubahan dan pergeseran BPD
akibat perubahan ruang hidup bahasa tersebut. Fokus lingkungan sekitar lereng hutan

menjadi pengamatan karena masyarakat penutur BPD di DUG Kabupaten Dairi berada di
daerah pegunungan dan perbukitan.
2.
1)
2)
3)

Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan jenis leksikon flora BPD di DUG.
Mendeskripsikan relasi semantis yang terbentuk pada LFBPD di DUG
Mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat DUG terhadap LFBPD

TINJAUAN PUSTAKA
1. Ekolinguistik
Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi
merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi
memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Konservasi bahasa
dalam lingkup ekolinguistik berawal dari pemikiran Haugen bahwa upaya penyelamatan
bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa
(Fill, 2001: 44).

Ekolinguistik menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter ekologi. Einer
Haugen seorang tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang telah
mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah ilmu
yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif manusia dan dalam
komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik
yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan ekologi yang telah didirikan dengan
cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan, dan metode yang berbeda pula.
Haugen (1970) dalam Mbete (2009: 11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik
memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

linguistik historis komparatif,

linguistik demografi,
sosiolinguistik,
dialinguistik,
dialektologi,
filologi,
linguistik preskriptif,
glotopolitik,
etnolinguistik, linguistik antropologi, ataupun
linguistics), dan
(10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

linguistik

kultural

(cultural

Jauh sebelum kemunculan Haugen, ekologi sebenarnya telah diperkenalkan pada
tahun (1834-1914) oleh Ernest Haeckel. Secara etimologis, kata ekologi berasal dari
bahasa Yunani oikos yang berarti house, man‟s immediate suroundings. Ricklefs (1976:

1) mendefinisikan ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai
individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam kaitannya
dengan lingkungan-fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka.
Menurut Haugen (1972: 325) dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) (2000: 9)
Language ecology may be defined as the study of interactions between any given
language and its environment. „Bahasa ekologi dapat didefinisikan sebagai studi tentang
interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya‟.
38

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Ekolinguistik merupakan sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang
merupakan payung untuk semua penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai
pemakai bahasa dan alam sekitarnya (lingkungan). Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Fill (1993: 126, dalam Lindo & Bundsgaard, eds, 2000: 40) yang
mendefinisikan ekolinguistik sebagai: Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all
approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with
ecology‟. „Ekolinguistik merupakan istilah payung untuk „[…] semua pendekatan studi
bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi‟.
Hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional merupakan pokok
pembicaraan utama dalam studi ekologi. Setidaknya ada dua parameter yang
dihubungkan, yaitu bahasa dan ekologi (lingkungan). Kombinasi dari kedua parameter
tersebut menghasilkan studi yang disebut ekolinguistik. Fill dan Mühlhäusler (2001: 2)
dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University menyebutkan:
“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish
to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose
perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology.
Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the
support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors
that have affected the habitat of many languages in recent times” (p.2).
Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa,
ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan
pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan
mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang
direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa
dan ekologi dari perspektif yang lebih luas.
Sudut pandang mereka adalah bahwa teori ekologi dan bahasa saling berhubungan.
Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar
pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi.
Konsepsi/pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang
tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang
potensial.
Secara tradisional ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu ecocritical discourse analysis dan linguistic ecology (Fill dalam Lindo dan Bundsgaard,
2000: 9). Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedang yang kedua, linguistik
ekologi, yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Analisis wacana eko-kritis
tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan
dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan
ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula
penganalisisan pelbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem. Fokus kajian
pada penelusuran gambaran ideologi yang dapat mendukung kelangsungan ekologis.
Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau
menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun lingkungan
alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di
lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia
dengan alam di lingkungan itu.
Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan
leksikon flora masyarakat Pakpak Dairi. Masyarakat Pakpak Dairi sebagai penutur asli
memahami makna leksikon yang digunakan pada kegiatan berkomunikasi antar penutur
39

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

dengan menggunakan leksikon yang berasal tumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama
binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di
lingkungan. Hal ini seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya
tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang
berkaitan dengan kehidupan di lingkungan. Dengan demikian, telah terjadi pula
penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan
tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan nyaris tidak dikenali lagi oleh
genarasi muda.
Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (eds) (2001: 14) menyebutkan tiga bentuk
lingkungan:
1) Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah
negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca
dan jumlah curah hujan).
2) Lingkungan ekonomis „kebutuhan dasar manusia‟ yang terdiri atas flora dan fauna
dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.
3) Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat
yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang
paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk
organisasi politik dan seni.
Lebih lanjut Sapir menjelaskan bahwa secara lahiriah bahasa itu dipengaruhi
lingkungan yang melatari pengguna atau pemakai suatu bahasa. Lingkungan fisik ragawi
tersebut tergambar dalam bahasa-bahasa yang telah dipengaruhi faktor-faktor sosial.
Namun, perubahan lingkungan fisik akan lebih terlihat jelas dari kosa kata bahasa
tersebut.
Pembahasan utama dalam studi ekolinguistik adalah hubungan antara lingkungan
dan bahasa pada ranah leksikon bukan pada ranah bunyi bahasa (fonologi) dan ranah
bentuk kata (morfologi). Hubungannya ini dijelaskan lebih rinci oleh Sapir dalam Fill dan
Mühlhäusler (2001: 2), yaitu “This interrelation exists merely of the level of the
vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology”. Keterkaitan ini
ada hanya pada tingkat kosa kata dan bukan, pada fonologi atau morfologi. Lebih lanjut
Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 14) menjelaskan hubungannya, yaitu lingkungan
fisik dan sosial masyarakat penutur sebuah bahasa akan tercermin dari penggunaan kosa
kata bahasa mereka. Kosa kata lengkap sebuah bahasa dipandang sebagai inventaris
kompleks dari semua ide, minat yang menyita perhatian masyarakat, misalnya kamus
lengkap sebuah suku menyimpulkan karakteristik budaya masyarakatnya yang
memanfaatkan itu sehingga tidaklah sulit menemukan contoh-contoh kosakata sebuah
bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur tempat mereka berada.
Perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan
Bundsgaard, 2000: 11) yaitu “ideo-logical dimension, socio-logical dimension, and biological dimension”. Pertama, dimensi ideologis berkaitan dengan adanya ideologi
masyarakat. Misalnya ideologi kapitalisame dan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan
aktivitas terhadap sumber daya lingkungan untuk tetap mempertahankan,
mengambangkan, dan membudidayakan flora yang bernilai ekonomi tinggi untuk
memperoleh keuntungan secara ekonomi; kedua, dimensi sosiologis yaitu berkaitan
dengan adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi
tersebut. Dalam dimensi sosiologis ini, bahasa merupakan wujud praktis sosial yang
bermakna; ketiga, dimensi biologis berkaitan dengan adanya keanekaragaman biota
secara berimbang dalam ekosistem. Dimensi biologis secara verbal terekam secara
leksikon dalam perbendaharaan kata setiap bahasa.

40

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

2. Semantik Struktural
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan para ahli. Ferdinan de Suassure
untuk pertama kali memberikan pandangan ini dengan teori tanda linguistiknya. Menurut
de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa rentetan bunyi, dan
komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep
(yang dimiliki oleh signifian) (Ferdinan de Saussure dalam Chaer, 2007: 286). Lebih
lanjut, Richard dan Ogdent (1923) dalam Chaer (2007: 286) menjelaskan hubungan
antara lambang, konsep, dan acuan yang disebut dengan segitiga makna. Dalam bagan
tersebut, hubungan antara lambang dan konsep bersifat langsung karena lambang dan
konsep adalah masalah di dalam bahasa, sedangkan hubungan antara lambang dan referen
bersifat tidak langsung karena lambang adalah masalah dalam bahasa sementara referen
merupakan masalah di luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Karena bersifat
arbitrer, maka kita tidak dapat menjelaskan hubungan kata-kata itu dengan makna yang
dimilikinya.
Dalam kajian linguistik, persoalan yang menjadikan makna sebagai bidang
kajiannya adalah Semantik. Semantik menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan
objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut (Edward dalam
Tarigan, 1985: 3). Semantik struktural merupakan pendekatan strukturalis yang dibawa
pada ranah semantik leksikal Geeraerts (2010: 48). Secara teori dan deskripsi semantik
struktural muncul dengan rangkaian hubungan konsep makna strukturalis. Dalam
semantik struktural, ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu ranah leksikal, analisis
komponen, dan relasi semantis. Dalam hal ini, relasi semantis akan digunakan sebagai
kajian teoretis. Relasi semantis mengembangkan ide dari gambaran relasi struktural
dalam kata-kata yang berhubungan (Geeraerts, 2010: 52)
Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam konteks
kalimat. Menurut semantik leksikal, makna suatu kata sesuai dengan referennya, sesuai
dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita (Pateda, 2001: 74). Sebagai contoh kata daun referennya „bagian tanaman
yang tumbuh berhelai-helai pada ranting‟, dalam bahasa Pakpak Dairi komil referennya
„jenis tumbuhan semak dengan kontur daun yang lembut biasa untuk makanan kerbau‟.
Pendekatan semantik leksikal yang digunakan pada kajian ini adalah pada ranah
relasi semantis. Teori yang digunakan untuk menjelaskan relasi semantis leksikon flora
bahasa Pakpak Dairi adalah teori Saeed (2000: 63). Teori relasi semantis menurut Saeed
adalah:
a. Homonim
Homonimi adalah bentuk kata secara fonologi sama tetapi maknanya tidak
berhubungan (lihat Saeed, 2000: 63). Selain homonim, ada juga istilah homograf dan
homofon. Homograf merupakan kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda.
Homofon adalah istilah untuk kata yang pengucapannya sama tetapi maknanya berbeda.
Namun, Saeed juga menyebut kedua istilah itu homonim karena perbedaan kedua istilah
tersebut bergantung pada perilaku sintaksis dan pengucapannya. Namun beberapa penulis
membedakan homograf dengan homofon, misalnya:
a. kata yang tulisan dan pelafalannya sama tetapi maknanya berbeda (homonim),
misalnya genting I „gawat‟ dan genting II „atap‟.
b. kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda (homograf),
misalnya apel I„buah‟ apel II „upacara‟.
41

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

c. kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda
(homofon), misalnya [bank] I „lembaga penyimpan uang‟ dan [bang] II „kakak].
b. Polisemi
Secara leksikologi, homonim dan polisemi memiliki perbedaan (lihat Saeed 2000:
64. Meskipun keduanya memiliki pengertian yang sama, dalam polisemi ada relasi makna
yang erat antara kata yang bentuknya dan ucapannya sama. Polisemi diartikan sebagai
suatu kata yang memiliki banyak makna. Misalnya kata kepala. Kata kepala dapat
bermakna bagian benda sebelah atas, dapat bermakna pimpinan atau ketua, dapat juga
bermakna sebagai kiasan atau ungkapan.
c. Sinonim
Menurut Saeed (2000: 65) sinonim adalah kata yang berbeda secara fonologi, tetapi
memiliki makna yang sama atau hampir sama. Contohnya adalah kata buruk dan jelek
merupakan kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata bersifat dua arah.
Jadi dari contoh dan definisi di atas dapat dikatakan bahwa maknanya kurang lebih sama.
Kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih atau tidak bersifat mutlak.
d. Antonim
Antonim merupakan relasi leksikal yang menggambarkan makna yang
bertentangan. Maksudnya adalah suatu ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan
dari makna ungkapan lain. Misalnya, kata besar dan kecil. Sama halnya dengan sinonim,
hubungan makna antara dua buah kata bersifat dua arah dan maknanya tidak bersifat
mutlak.
e. Hiponim
Saeed (2000: 68-69) mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan inklusi.
Hiponimi mengacu pada hubungan vertikal dari taksonomi. Hiponim kata yang ruang
lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata khusus. Untuk kata yang ruang
lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim atau kata umum. Namun Saeed
menyamakan kedua istilah ini. Contohnya anggrek, melati, anyelir, dan mawar
merupakan hiponim dari hipernim kata bunga.
f. Meronim
Meronim adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian
atau keseluruhan hubungan leksikal (lihat Saeed, 2000: 70). Misalnya cover dan page
adalah meronim dari book. Contoh lain adalah batang, daun, cabang, ranting, dan akar
merupakan meronim dari pohon.
pohon

batang

daun

cabang

ranting

Gambar 2.1 Meronim ‘pohon’

42

akar

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

3. Sosioekologis
Sosioekologis memadukan dua sudut pandang yang berbeda namun saling
berhubungan. Kedua sudut pandang tersebut adalah „sosio atau sosial‟ dan „ekologi‟.
Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan
nonindividualis. Pengertian sosial ini merujuk pada hubungan manusia dalam
kemasyarakatan, hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan kelompok, serta
hubungan antara manusia dengan organisasi.
Pengertian sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, karena memang
diarahkan pada seluk beluk kehidupan manusia bersama kelompok di sekitarnya.
Pengertian ini juga dapat diabstraksikan ke dalam perkembangan-perkembangan
kehidupan manusia, lengkap dengan dinamika serta masalah-masalah sosial yang terjadi
di sekitarnya.
Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk
hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dengan dan lingkungannya. Dalam
ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan
lingkungannya (Ernest Heackel, 1834-1914).
Ekologi merupakan studi yang menyelidiki interaksi organisme dengan
lingkungannya. Hal ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam hubungan timbal balik tersebut. Dalam studi ekologi digunakan metode
pendekatan secara menyeluruh pada komponen-komponen yang berkaitan dalam suatu
sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosioekologis merupakan suatu kajian
yang membahas hubungan antara lingkungan dengan masyarakat, mempelajari makhluk
hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya dan masyarakat serta
masalah-masalah sosial yang ada di dalamnya.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah perpaduan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kaulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang temuannya tidak diperoleh melali
prosedur statistik atau bentuk hitungan.
Metode deskriptif kualitatif sangat tepat digunakan dalam kajian ini karena metode
kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak; selanjutnya metode
kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden;
dan lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama pola-pola nilai yang dihadapi (lihat Moleong, 2007: 9). Dengan demikian,
metode kualitatif sangat tepat digunakan untuk menemukan data, menganalisis, serta
melihat fenomena yang terjadi di lingkungan DUG. Sementara itu, pendekatan kuantitatif
digunakan untuk menguji pemahaman leksikon flora MPD yang dibagi dalam tiga
kelompok usia dengan tujuan untuk memperoleh persentasi penyusutan atau pergeseran
leksikon flora BPD.

43

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi Desa Uruk Gedang
Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah leksikon flora. Untuk
memeroleh daftar leksikon tersebut dilakukan wawancara kepada beberapa orang
informan, dan membaca sumber tertulis. Setelah hal itu dilakukan, didapat leksikon flora
BPD berjumlah 200 leksikon.
Untuk mempermudah penyajian dan pengujian data leksikon tersebut, maka
seluruh leksikon dikelompokkan berdasarkan kategorinya. Setelah dibagi, leksikon flora
tersebut terbagi atas lima kelompok leksikon, yaitu (1) leksikon kayu „kayu‟, (2) leksikon
rambah „semak‟, (3) leksikon suan-suanen „tanaman‟, (4) leksikon buah „buah‟, dan (5)
leksikon rorohen „sayuran.
a. Leksikon Kayu
Leksikon flora kelompok kayu BPD di DUG terdiri atas 63 leksikon. Berikut ini
dilampirkan beberapa data leksikon kayu BPD.
abang-abang
sejenis pohon berdaun kecil dan
bulat, baik untuk kayu bakar
apiapi
sejenis pohon yang kayunya
merah dan dapat dipakai untuk
membuat papan
aru
sejenis pohon yang sangat
rindang, dan keras, biasa
dimanfaatkan menjadi bahan
bangunan
baronggang
pohon berongga
bintatar
sejenis pohon yang kayunya
dapat digunakan sebagai alat
bangunan
celmeng
sejenis pohon besar yang keras
dan berkualitas baik untuk
bahan bangunan
cik-cik
sejenis pohon getah gatal di
kepala
cingkem
kayu air
dalung-dalung
pohon yang kayunya berwarna
kuning dan baik untuk dijadikan
bahan bangunan
doko-doko
sejenis pohon serupa nangka,
biasa digunakan sebagai kayu
bakar
Endet
pohon yang daunnya
dimanfaatkan sebagai obat gula
b. Leksikon Rambah
Leksikon flora kelompok rambah BPD di DUG terdiri atas 53 leksikon. Berikut ini
dilampirkan beberapa data leksikon rambah BPD
alah-alah
sejenis rumput yang berdaun
lebar, yang dipakai sebagai
makanan ternak dan dapat
menimbulkan rasa gatal dan
raum pada kulit manusia
44

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

sejenis rumput untuk makanan
ternak, juga dipakai melawan
gatal-gatal pada kulit
pakis berukuran kecil
sejenis kiki yang tumbuhnya di
darat
sejenis rumput pimping yang
batangnya berongga pendek
semak yang berukuran panjang
dan batangnya beruas-ruas
sejenis rumput yang batang dan
daunnya menyerupai bambu
putri malu
sejenis rumput yang bijinya
melekat pada kain
sejenis semak tinggi yang
buahnya berbiji-biji dan dapat
dimakan

alum-alum

arsam
bangkuang
berhu
biski
buluh-buluh
cikerput
cilekket
cingkerru

c. Leksikon Suan-suanen
Leksikon flora kelompok suan-suanen BPD di DUG terdiri atas 36 leksikon.
Berikut ini dilampirkan beberapa data leksikon suan-suanen BPD.
acem
asam
bahing
jahe
cikala
kincau
cina
cabe
gadong
singkong
gambir
gambir
gatap
sirih
genderra
bawang rambu
isap
tembakau
jagong
jagung
jerango
jerangau
kacang
Kacang
keceur
kencur
Keras
kemiri
koning
kunyit
d. Leksikon Buah
Leksikon flora kelompok buah BPD di DUG terdiri atas 23 leksikon. Berikut ini
dilampirkan beberapa data leksikon suan-suanen BPD.
bettik
semangka
cibukbuken
sejenis rambutan liar yang
ukurannya lebih kecil dari
rambutan dan memiliki daging
buah yang agak kering
galuh
pisang
gerrat
sejenis pohon berbuah mirip
mangga namun berwarna kuning
pucat dan rasa yang asam
45

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

sekalipun sudah cukup matang
jengkol
nenas
duku
mangga
manggis
pepaya
nangka

jerring
kennas
langsat
mangga
manggis
mbertik
nangka
e. Leksikon Rorohen

Leksikon flora kelompok suan-suanen BPD di DUG terdiri atas 25 leksikon.
Berikut ini dilampirkan beberapa data leksikon suan-suanen BPD.
arum
bayam
bulung gadong kayu
daun singkong
Buncis
buncis
bungke
sayuran yang mirip seperti
kemangi, namun buahnya yang
digunakan untuk membekukan
susu
Cemun
mentimun
cemun
jipang
genjer
genjer
kalondang
gambas berukuran lebih besar
dan lebih pahit
kentang
kentang
Kol
kubis
Rincian jumlah leksikon berdasarkan kelompoknya adalah leksikon kayu berjumlah
63 leksikon atau 31,5 % dari seluruh data. Leksikon rambah berjumlah 53 leksikon atau
25,5 % dari jumlah data. Leksikon suansuanen berjumlah 36 leksikon atau 18 % dari 200
leksikon. Leksikon buah berjumlah 23 leksikon atau 11,5 % dari 200 leksikon. Leksikon
rorohen berjumlah 25 leksikon atau 12,5 % dari 200 leksikon.
2. Relasi Semantis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi
Leksikon adalah komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam
suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya.
Pengertian tersebut berkaitan dengan masalah penelitian yang ketiga. Setelah seluruh
data leksikon yang berjumlah 200 leksikon flora, dianalisis (lihat BAB V), beberapa
leksikon memiliki hubungan secara semantis (sinonim, antonim, homonim, homofon,
homograf, hiponim, dan meronim).
Ada 10 relasi semantis yang terbentuk dari data leksikon flora BPD, antara lain:
1) antonim (tabunggala X mbecih)
Kedua leksikon tersebut memiliki pertentangan makna. Leksikon tabunggala dan
mbecih mengacu pada satu benda yang sama yaitu „labu‟. Pertentangan makna dari
kedua leksikon tersebut adalah pada ukuran. Leksikon tabunggala digunakan untuk
menamai „labu‟ yang memiliki ukuran besar, sedangkan mbecih digunakan untuk
menamai „labu‟ yang memiliki ukuran kecil.
2) homonim merupakan sebutan untuk benda yang memilikibentuk dan pelafalannya
sama dengan ungkapan lain, tetapi memiliki makna yang berbeda. Dari data LFBPD
ditemukan beberapa leksikon yang memiliki kesamaan bentuk dan pelafalan, yaitu:

46

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

a) tuyung I dan tuyung II. Leksikon tuyung I digunakan untuk menyebut nama buah
„terong belanda‟ atau „tiung‟, sedangkan tuyung II digunakan untuk menyebut
sayur „terong‟
b) rias I dan rias II. Leksikon rias I merupakan nama sayuran yaitu „kacang panjang‟,
sedangkan leksikon rias II merupakan sebutan untuk tumbuhan yang batangnya
digunakan sebagai penambah rasa asam pada masakan
c) cemun I dan cemun II. Leksikon cemun I merupakan sebutan untuk „mentimun‟,
sedangkan leksikon cemun II merupakan nama jenis sayur merambat atau sering
disebut „labu siam‟
3) homograf memiliki persamaan dari segi tulisan, namun memiliki makna dan cara
pengucapan yang berbeda.
Dari data ditemukan dua leksikon yang menjadi contoh homograf, yaitu tuba I dan
tuba II. Leksikon tuba I yang digunakan untuk menyebut jenis „pohon‟ diucapkan
[tuba], sedangkan leksikon tuba II yang bermakna „andaliman‟ diucapkan [tu;ba].
4) hiponim kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata
khusus. Untuk kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim
atau kata umum.
Dari data LFBPD, ditemukan sepuluh kelompok hiponim, yaitu mpiangi „meranti‟,
kayu bangunen „kayu bangunen‟, paku „paku‟, tambar „obat‟, anyamen „anyaman‟,
nakan pinakan „pakan ternak‟, pola„nira‟, gelaga „gelagah‟, parasit „parasit‟, dan
gambas „gambas‟.
5) Meronim merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian
atau keseluruhan hubungan leksikal.
Ditemukan tiga contoh meronim berdasarkan data LFBPD, yaitu (pola „nira‟, pote
„petai‟, dan galuh „pisang‟.
Sementara itu, dari seluruh data LFBPD tidak ditemukan relasi semantis
antarleksikon untuk ranah sinonim, homofon dan polisemi.
3. Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap LFBPD
Temuan yang diperoleh mengenai gambaran pemahaman leksikon flora BPD di
DUG menunjukkan adanya perubahan pemahaman baik pergeseran atau penyusutan.
Penyusutan pemahaman ketiga kelompok usia terhadap 200 leksikon yang diperoleh akan
terlihat jelas pada tabel.
Tabel 4.1
Pemahaman Masyarakat DUG terhadap LFBPD Berdasarkan Kategori
KATEGORI

KATEGORI 1
KATEGORI 2
KATEGORI 3

≥ 60 Tahun
JP
%
3719
93
206
5,1
75
1,9

KELOMPOK USIA
25-59 Tahun
JP
%
3046
76,2
333
8,3
621
15,5

12-24 Tahun
JP
%
1396
34,9
740
18,5
1864
46,6

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, terlihat bagaimana persentase pemahaman MDUG
terhadap 200 LF yang diujikan untuk tiga kategori pilihan jawaban yang ditawarkan. Pada
Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan),
jumlah pemahaman tiga kelompok usia mengalami penurunan atau penyusutan.
Pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun terhadap 200 LF yang terdiri dari 5 kelompok
leksikon cukup signifikan dengan rata-rata 93 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun
47

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

mengalami penyusutan mencapai 16,8 %. Pada kelompok usia yang lebih muda yaitu 1224 tahun, persentase penyusutannya mencapai 58,1 % dari persentase pemahaman
kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 41,3 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59
tahun.
Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak
pernah digunakan), pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun terhadap semua leksikon ini
hanya 5,1 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman responden yang
ada pada kategori ini menjadi 8,3 % (persentase penyusutannya bertambah 3,2 %) dari
kelompok usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 12-24 tahun, pemahaman responden
mencapai 18,5 % (penyusutan mencapai 13,4 %%) dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan
10,2 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun sangat rendah, yaitu 1,9
%. Pada kelompok usia 25-59 tahun, angka persentase pemahaman responden menjadi
15,5 % (menyusut 13,6 %) dari persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun. Pada
kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman responden mencapai 46,6 % (angka
penyusutan mencapai 44,7 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 31,1 % dari kelompok
usai 25-59 tahun).
Persentase pemahaman tiga kelompok usia terhadap seluruh leksikon flora yang
diujikan akan diuraikan berdasarkan kelompok leksikon. 200 jumlah leksikon yang
diujikan terbagi dalam 5 kelompok leksikon (kelompok leksikon kayu, leksikon rambah,
leksikon suansuanen, leksikon buah, dan leksikon rorohen. Berikut diuraikan bagaimana
persentase pemahaman tiga kelompok usia yang dimaksud berdasarkan kelompok
leksikonnya.
Tabel 4.2
Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Kayu BPD Berdasarkan Kategori
KATEGORI

KATEGORI 1
KATEGORI 2
KATEGORI 3

KELOMPOK USIA
≥ 60 Tahun
25-59 Tahun
JP
%
JP
%
1038
82,4
811
64,4
170
13,5
146
11,8
52
4,1
303
23,8

12-24 Tahun
JP
%
150
12
214
17
896
71

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh responden
terhadap leksikon kayu pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah
mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60
mencapai 82,4 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 64,4 %
(mengalami penyusutan pemahaman 18 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun).
Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 12 % (penyusutan
mencapai 70,4 % dari kelompok usia ≥ 60, dan 52,4 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), persentase pemahaman terhadap kelompok leksikon ini adalah
13,5 % pada usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 25-59 tahun menjadi 11,8 %
(peningkatan mencapai 1,7 %). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman
mencapai 17 % (menyusut 3,5 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 5,2 % dari
kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun mencapai 4,1
%. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 23,8 % (menyusut
48

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

19,7 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok
usia 12-24 tahun adalah 71 % (mengalami penyusutan 66,9 % dari pemahaman kelompok
usia ≥ 60 tahun, dan 42,7 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).
Tabel 4.3
Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Leksikon Rambah BPD Berdasarkan Kategori
KATEGORI

KATEGORI 1
KATEGORI 2
KATEGORI 3

KELOMPOK USIA
≥ 60 Tahun
25-59 Tahun
JP
%
JP
%
1002
94,5
704
66,4
35
33
110
10,6
23
2,2
245
23

12-24 Tahun
JP
%
159
15,2
266
24,9
635
59,9

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh
responden terhadap leksikon rambah pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat,
pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60
mencapai 94,5 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 64,4 %
(mengalami penyusutan pemahaman 30,1 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60
tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 15,2 %
(penyusutan mencapai 79,3 % dari kelompok usia ≥ 60, dan 51,2% dari kelompok usai
25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), persentase pemahaman terhadap kelompok leksikon ini adalah
33 % pada usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 25-59 tahun menjadi 10,6%
(pengingkatan mencapai 22,4 %). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase
pemahaman mencapai 24,9 % (meningkat 8,1 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan
menyusut14,3 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun mencapai 2,2
%. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 23 % (menyusut 20,8
% dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia
12-24 tahun adalah 59,9 % (mengalami penyusutan 57,7 % dari pemahaman kelompok
usia ≥ 60 tahun, dan 36,9 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).
Tabel 4.4
Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Suan-suanen BPD Berdasarkan
Kategori
KATEGORI

KATEGORI 1
KATEGORI 2
KATEGORI 3

≥ 60 Tahun
JP
%
720
100
0
0
0
0

KELOMPOK USIA
25-59 Tahun
JP
%
689
95,7
6
0,8
26
3,5

12-24 Tahun
JP
%
486
69
93
13,8
141
17,2

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh
responden terhadap leksikon suansuanen pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah
melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok
49

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

usia ≥ 60 tahun mencapai 100 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya
mencapai 95,7 % (mengalami penyusutan pemahaman 4,3 % dari persentase pemahaman
usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 69
% (penyusutan mencapai 31 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 26,7 % dari kelompok
usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), tidak ada satu pun responden kelompok usia ini masuk dalam
kategori jawaban ini. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentase pemahaman responden
0,8 % (penyusutan pemahaman0,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok
usia 12-24 tahun, persentase pemahaman mencapai 13,8 % (penyusutan pemahaman13,8
% dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan menyusut 13 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), tidak ada kelompok usia ≥ 60 tahun pada kategori ini. Pada
kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 3,5 % (menyusut 3,5 % dari
kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24
tahun adalah 17,2 % (mengalami penyusutan 17,2 % dari pemahaman kelompok usia ≥
60 tahun, dan 13,7 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).
Tabel 4.5
Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Buah BPD Berdasarkan Kategori
KATEGORI

KATEGORI 1
KATEGORI 2
KATEGORI 3

KELOMPOK USIA
≥ 60 Tahun
25-59 Tahun
JP
%
JP
%
459
99,8
442
96,1
1
0,2
0
0
0
0
18
3,9

12-24 Tahun
JP
%
380
82,6
48
10,4
32
7

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh
responden terhadap leksikon buah pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat,
pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60
mencapai 99,8 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 96,1 %
(mengalami penyusutan pemahaman 3,7 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun).
Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 82,6 % (penyusutan
mencapai 17,2 % dari kelompok usia ≥ 60, dan 13,5 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), persentase pemahaman terhadap kelompok leksikon ini adalah
0,2 % pada usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 25-59 tahun tidak ada responden yang
masuk dalam kategori ini. Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman
mencapai 10,4 % (menyusut 10,2 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 10,4 % dari
kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan), tidak ada kelompok usia ≥ 60 tahun pada kategori ini. Pada
kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 3,9 % (menyusut 3,9 % dari
kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24
tahun adalah 7 % (mengalami penyusutan 7 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60
tahun, dan 3,1 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).

50

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Tabel 4.6
Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Leksikon Rorohen BPD Berdasarkan Kategori
KATEGORI

KATEGORI 1
KATEGORI 2
KATEGORI 3

KELOMPOK USIA
≥ 60 Tahun
25-59 Tahun
JP
%
JP
%
500
100
400
79,6
0
0
71
14,6
0
0
29
5,8

12-24 Tahun
JP
%
221
44,2
119
23,8
160
32

Berdasarkan tabel 4.6tersebut, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh
responden terhadap leksikon rorohenpada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat,
pernah mendengar, dan pernah digunakan), semua responden kelompok persentase usia ≥
60 ada pada kategori ini, yaitu 100 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya
mencapai 79,6 % (mengalami penyusutan pemahaman 20,4 % dari persentase
pemahaman usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase
pemahamannya adalah 44,2 % (penyusutan mencapai 55,8 % dari kelompok usia ≥ 60
tahun , dan 35,4 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan) hanya ada dua kelompok usia yang berada pada kategori ini,
karena kelompok usia ≥ 60 tahun seluruhnya ada pada Kategori 1. Pada kelompok usia
25-59 tahun persentase pemahamannya adalah 14,6 % (penyusutan 14,6 % dari
pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase
pemahaman mencapai 23,8% (peyusutan 23,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan
menyusut 9,2 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan
tidak pernah digunakan) juga hanya dua kelompok usia yang berada pada kategori ini,
karena kelompok usia ≥ 60 tahun seluruhnya ada pada Kategori 1. Pada kelompok usia
25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 5,8 % (menyusut 5,8 % dari kelompok usia ≥
60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24 tahun adalah 32 %
(mengalami penyusutan 32 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 26,2 %
dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).
Dari angka-angka persentase pemahaman oleh tiga kelompok usia pada yang telah
diuraikan di atas menunjukkan penurunan pemahaman antargenerasi. Kondisi ini cukup
memperihatinkan karena akan berdampak pada punahnya leksikon itu pada masa-massa
yang akan datang dan mungkin juga akan berdampak pada punahnya benda yang diacu
oleh leksikon tersebut.

SIMPULAN
Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Leksikon flora bahasa Pakpak Dairi di Desa Uruk Gedang berjumlah 200 leksikon.
Leksikon tersebut terbagi atas 5 kelompok leksikon. Rincian kelompok leksikon
tersebut adalah 1) kelompok leksikon kayusebanyak 63 leksikon; 2) kelompok
leksikon dukut/rambah sebanyak 53 leksikon; 3) kelompok leksikon suansuanen
sebanyak 36 leksikon; 4) kelompok leksikon buahsebanyak 23 leksikon; dan 5)
kelompok leksikon rorohen sebanyak 25 leksikon.

51

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

2.

3.

Relasi semantis yang terbentuk dari leksikon flora bahasa Pakpak Dairi terdiri dari
antonim, homonim, homograf, hiponim,

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN - Faktor- Faktor Perilaku Kunjungan Ibu Bayi dan Balita di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor Kelurahan Pangkalan Masyhur

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Corporate Governance - Pengaruh Corporate social responsibility dalam Hubungan corporate governance dan Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Corporate social responsibility dalam Hubungan corporate governance dan Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lingkar Kepala pada Anak Usia Dini (6-8 Tahun) pada Deutro Melayu

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Dini - Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lingkar Kepala pada Anak Usia Dini (6-8 Tahun) pada Deutro Melayu

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antropometri - Studi Indeks Sefalik Vertikal, Transversal, Dan Horizontal Usia 7-18 Tahun Pada Deutro-Melayu

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Rancang Bangun Kotak Pendingin Yang Menggunakan Elemen Pendingin Termoelektrik Dengan Sumber Energi Surya

1 2 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Literatur 2.1.1 Teori Agency - Pengaruh Manajemen Modal Kerja, Likuiditas, Leverage, dan Corporate Governance Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 17

KESANTUNAN DENGAN DAYA SEMIOTIKA BAHASA BERKAMPANYE CALON LEGISLATIF PARTAI GOLONGAN KARYA DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA Awaluddin Sitorus awaluddinsitorusyahoo.com Nurlela, Masdiana Lubis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Kesant

0 0 20

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Graf - Implementasi Algoritma Ant Colony Dalam Pencarian Lokasi Rumah Sakit Berbasis Mobile Gis Pada Platform Android

0 0 26