KESANTUNAN DENGAN DAYA SEMIOTIKA BAHASA BERKAMPANYE CALON LEGISLATIF PARTAI GOLONGAN KARYA DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA Awaluddin Sitorus awaluddinsitorusyahoo.com Nurlela, Masdiana Lubis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Kesant

  Kajian Linguistik, Februari 2015, 15-34 Tahun ke-12, No 1 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

  

KESANTUNAN DENGAN DAYA SEMIOTIKA BAHASA BERKAMPANYE

CALON LEGISLATIF PARTAI GOLONGAN KARYA

DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA

Awaluddin Sitorus

  

  

Nurlela, Masdiana Lubis

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

  

Abstrak

  Penelitian ini berjudul Kesantunan dengan Daya Semiotika Bahasa Caleg Partai Golongan Karya di Labuhanbatu Utara. Penelitian ini berupa kajian sebagai bentuk interdisipliner yang mempalajari kesantunan bahasa dan daya semiotika bahasa dalam fungsi ujar dengan menggunakan pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik. Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisa kesantunan bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Labuhanbatu Utara dan 2) menganalisa realisasi daya semiotika bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Labuhanbatu Utara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) teori kesantunan bahasa yang dikemukakan Leech (1983) didasarkan pada maksim yaitu kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kesetujuan, dan kesimpatian dan 2) teori semiotika bahasa dalam fungsi ujar yang dikemukakan Halliday (2004) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, dokumentasi, dan trianggulasi. Hasil analisis temuan data penelitian yang direalisasikan ke dalam maksim 62 klausa yaitu maksim kebijaksanaan 40.32%, maksim penerimaan 14.51%, maksim kemurahan 8.06%, maksim kerendahan hati 12.90%, maksim kesetujuan 16.12%, dan maksim kesimpatian 8.06% dan semiotika bahasa yang direalisasikan fungsi ujar sebanyak 103 klausa yaitu pernyataan 37.87%, pertanyaan 19.41%, perintah 28.15%, dan tawaran 14.57%. Hubungan kesantunan bahasa dengan semitotika bahasa terlihat bahwa semua maksim dominan direalisasikan dalam modus deklaratif dan imperatif. Kemudian modus interogatif hanya sebagaian kecil yang dapat merealisasikan maksim.

  Realisasi daya semiotika bahasa dalam bahwa informasi tidak langsung lebih santun daripada informasi langsung yang dilakukan caleg Partai Golkar kepada masyarakat Labura baik itu bentuk ujaran maupun dalam bentuk semiotika bahasa jargon.

  Kata kunci: kesantunan bahasa dan fungsi ujar PENDAHULUAN

  Bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bahasa Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan dan berbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, teknologi, olahraga, sosial budaya, maritime, dan kesehatan. Hal ini menjadi sorotan dan menarik pada bidang politik khususnya terkait dengan kampanye yang dilakukan partai politik.

  Awaluddin Sitorus

  Kampanye pemilihan umum (pemilu) bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. Kampanye politik dalam pemilu dilaksanakan di Indonesia sekali lima tahun yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Pemilu merupakan pesta demokrasi untuk menyuarakan isi hati nurani secara langsung, bebas, dan rahasia. Kampanye berdasarkan definisinya merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 498).

  Partai politik sebagai peserta pemilu tahun 2014 sebanyak duabelas partai secara nasional yaitu (1) Partai Nasdem, (2) Parti Kebangkitan Bangsa , (3) Partai Keadilan Sejahtera, (4) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (5) Partai Golongan Karya, (6) Partai Gerakan Indonesia Raya, (7) Partai Demokrat, (8) Partai Amanat Nasional, (9) Partai Persatuan Pembangunan, (10) Partai Hati Nurani Rakyat, (11) Partai Bulan Bintang, dan (12) Partai Keadilan Persatuan Indonesia. Dari keduabelas partai di atas, maka Partai Golkar sebagai fokus dalam penelitian. Partai Golkar berdasarkan sejarahnya bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar dengan berlambangkan pohon beringin didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 oleh golongan militer perwira Angkatan Darat dengan menghimpun organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan. Kemudian Sekber Golkar berubah menjadi partai politik Golkar di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

  Caleg Partai Golkar dalam berkampanye kepada masyarakat menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dan bahasa nasional bangsa Indonesia. Para caleg Partai Golkar dalam berkampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain yang ditetapkan dalam UU Pemilu No.8 Tahun 2012. Materi kampanye dapat disampaikan melalui tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.

  Para caleg Partai Golkar berkampanye dalam pemasangan alat peraga kampanye dilaksanakan dengan pertimbangan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu dan Paraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 Tahun 2013 tentang Kampanye Partai Politik). Para caleg Partai Golkar dalam berkampanye harus mematuhi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.15 Tahun 2013 dan UU Pemilu No. 8 Tahun 2012 karena ada sebagian caleg Partai Golkar dalam berkampanye kurang menonjolkan visi dan misi Partai Golkar kepada masyarakat, baik itu kampanye ujuran juru kampanye (jurkam) maupun berkampanye secara tulis (semiotika bahasa jargon).

  Penelitian ini dilakukan dengan alasan yaitu (a) pemilu dilaksanakan di Indonesia sekali lima tahun untuk memilih wakil-wakil rakyat, (b) pesta demokrasi yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilih, (c) semua jurkam dan caleg Partai Golkar memainkan peranan fungsi bahasa dalam berkampanye baik bentuk lisan maupun tulisan, (d) para caleg saat pemilu „perang bahasa‟ dan „perang semiotika‟ untuk menjadi anggota legislatif masa bakti tahun 2014- 2019, dan (e) sejauh pengetahuan peneliti bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan di Kabupaten Labura.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Penelitian ini membahas kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg Partai Golkar dalam bentuk maksim yang dikemukakan leech (1983) yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim kesimpatian. Keenam maksim tersebut berkaitan dengan norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Keterkaitan maksim dengan norma sosial dan budaya direalisasikan caleg Partai Golkar dalam berkampanye bagi masyarakat Labura.

  Selanjutnya semiotika bahasa dalam fungsi ujar dikemukakan Halliday (2004) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan pada modus deklaratif, modus imperatif, dan modus interogatif. Realisasi itu bahwa konteks situasi merupakan hubungan antara orang yang berinteraksi disebut pelibat (tenor) berkaitan dengan aktifitas sosial disebut dengan medan (field) berkaitan dengan peran dan fungsi bahasa disebut sarana (mode). Dalam konteks situasi bahwa bahasa merupakan bagian dari sistem semiotika sosial dan hidup dalam konteks sehingga sistem semiotika bahasa bersosialisasi dengan sistem-sistem semiotika lain dan sekaligus juga meminjamkan sistem-sistem antara lain sistem semiotika konteks.

  Hubungan bahasa dengan konteks situasi merupakan hubungan realisasi bahasa sebagai sebuah sistem semiotika sosial. Dengan kata lain, bahasa wujud dalam konteks dan tiada bahasa tanpa sistem konteks sosial. Sistem konteks sosial berada pada tingkat unsur atau strata yaitu petanda dan penanda atau signified dan signifier secara umum.

Dalam penelitian ini, istilah semiotika bahasa yaitu, „arti‟ yang setara dengan petanda berhubungan dengan makna teks pemaknaan semantics, bentuk berhubungan

  dengan tatabahasa pengataan lexicogrammar, dan ekspresi yang setara dengan penanda berhubungan dengan bunyi, tulisan, dan isyarat. Konteks-konteks tersebut dihubungkan pada kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg Partai Golkar karena daya semiotika bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam budaya berkampanye sehingga konteks situasi, budaya, dan ideologi difungsikan oleh caleg Partai Golkar berkampanye kepada masyarakat Labura.

  Penelitian ini dilakukan dengan alasan yaitu (a) pemilu dilaksanakan di Indonesia sekali lima tahun untuk memilih wakil-wakil rakyat, (b) pesta demokrasi yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilih, (c) semua jurkam dan caleg Partai Golkar memainkan peranan fungsi bahasa dalam berkampanye baik bentuk lisan maupun tulisan, (d) para caleg saat pemilu „perang bahasa‟ dan „perang semiotika‟ untuk menjadi anggota legislatif masa bakti tahun 2014- 2019, dan (e) sejauh pengetahuan peneliti bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan di Kabupaten Labura.

  Rumusan penelitian ini yaitu 1) bagaimanakah kesantunan bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Kabupaten Labuhanbatu Utara? dan 2) bagaimanakah realisasi daya semiotika bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Kabupaten Labuhanbatu Utara? Selanjutnya penelitian ini bertujuan yaitu 1) menganalisa kesantunan bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Kabupaten Labuhanbatu Utara dan 2) menganalisa realisasi daya semiotika bahasa berkampanye calon legislatif Partai Golkar di Kabupaten Labuhanbatu Utara.

  Awaluddin Sitorus KAJIAN PUSTAKA Teori Kesantunan

  Lakoff (1973: 64) mengatakan bahwa ada tiga ketentuan untuk dipenuhi dalam kesantunan bahasa bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah (a) skala formalitas (formality

  

scale ) artinya jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof), (b) skala ketidaktegasan

  (hesitency scale) artinya membuat lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan pilihan (option), dan (c) skala kesekawanan (equality scale) artinya melakukan tindakan yang seolah-olah lawan tutur menjadi sama dengan penutur atau dengan kata lain serta lawan tutur merasa senang.

  Ketiga bentuk kesantunan bahasa bertutur yang dikemukakan oleh Lakoff dapat disimpulkan sebagai berikut. (a) Tuturan terdengar tidak memaksa atau angkuh. (b) Tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur. (c) Lawan tutur itu menjadi senang. Hal ini dimanfaatkan oleh jurkam dan caleg Partai Golkar dalam berkampanye untuk menyapaikan visi dan misi.

  Fraser (1978: 137) mengatakan bahwa kesantunan bahasa merupakan kesantunan bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi. Kesantunan bahasa berdasarkan strategi yang dikemukakan Fraser sebagai berikut. (a)

  Kesantunan tuturan merupakan pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan, mungkin saja sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun begitu pula sebaliknya. (b)

Kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta pertuturan artinya, apakah sebuah tuturan terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan: si penutur

  tidak melampaui haknya terhadap lawan tuturnya dan si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan tutur.

  Artinya, jurkam caleg memainkan peranan dan fungsi bahasa santun dalam berkampanye berdasarkan kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk bersedia memilih caleg-celeg Partai Golkar.

  Brown dan Levinson (1978: 60-63) mengatakan bahwa kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka atau wajah (face), yakni citra diri yang bersifat umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Nosi muka yang dimaksud merupakan muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu, sedangkan muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, dan patut dihargai.

  Kesantunan bahasa muka positif dan muka negatif dapat dilakukan penutur untuk menghindari ancaman nosi muka. Penutur harus memperhitungkan derajat keterancaman sebuah tindak tutur dengan mempertimbangkan di dalam situasi yang biasa sebagai berikut. (1) Faktor jarak sosial di antara penutur dan lawan tutur. (2) Faktor besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya. (3) Faktor status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan.

  Artinya, kesantunan bahasa yang dikemukakan Brown dan Levinson dimanfaatkan oleh penutur dalam berinteraksi untuk menjaga jarak sosial berkomunikasi dengan masyarakat untuk menghindari ancaman nosi muka, sehingga tujuan penutur menyampaikan pesan atau informasi.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Leech (1983: 161) dalam Chaer (2010: 56) mengatakan “kesantunan berdasarkan prinsip (politeness principle) yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan, ajaran).

  Maksim dalam kesantunan bahasa terdiri atas enam jenis yaitu (1) kebijaksanaan (tact); (2) penerimaan (generocity); (3) kemurahan (approbation); (4) kerendahan hati

  (modesty ); (5) kesetujuan (agreement); dan (6) kesimpatian (sympathy)

  .” Leech menjabarkan kesantunan berbahasa berdasarkan maksim kemudian Leech (1983:209-218) juga membagi lima skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim impersonalnya. Kelima skala itu, sebagai berikut: (a)

  Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) Skala kerugian dan keuntungan merujuk pada besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Kalau tuturan itu semakin merugikan penutur, maka dianggap semakin santunlah tuturan itu. Namun, kalau dilihat dari pihak lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun. Sebaliknya, kalau tuturan itu semakin merugikan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap santun. Skala ini digunakan untuk “menghitung biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan (seperti yang ditunjukan oleh daya ilokusi tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan lawan tutur”. Skala ini menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif (intonasinya sama). Misalnya (1) bersihkan baleho saya! dan (2) mari kita dukung saudara kita! (b)

Skala pilihan (optionality scale)

  Skala pilihan mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada lawan tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin banyak pilihan dan keleluasaan dalam petuturan itu, maka dianggap semakin santunlah penuturan itu. Sebaliknya kalau tuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan bagi si penutur dan lawan tutur, maka tuturan itu tidak santun. Misalnya (1) pindahkan kotak ini, (2) kalau tidak lelah pindahkan kotak ini, dan (3) kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau dan tidak keberatan. (c)

  Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) Skala ketidaklangsungan merujuk kepada peringkat langsung atau tidak langsugnya “maksud” sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Misalnya (1) jelaskan persoalannya, (2) saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya, dan (3) berkerberatankah Saudara lebih menjelaskan persoalannya.

  (d) Skala keotoritasan (anthority scale)

  Skala keotoritasan merujuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam suatu pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan lawan tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, maka semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam pertuturan itu.

  (e)

Skala jarak sosial (social distance)

  Skala jarak sosial merujuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat hubungan sosial antara keduanya (penutur dan lawan tutur maka kurang santun), sebaliknya semakin jauh jarak peringkat sosial di antara penutur dengan lawan tutur, maka semakin santunlah tuturan yang digunakan dalam penutur itu. Dengan kata lain,

  Awaluddin Sitorus

  tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.

  a.

  Maksim kebijaksanaan Maksim kebijaksanaan adalah meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kebijaksanaan didasarkan pada penanda: (a) skala kerugian dan keuntungan diri sendiri yang sebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan, (b) dalam ilokusi

  komisif

  ditandai dengan verba „berjanji‟, „bersumpah‟, dan „mengancam‟, (c) memakai modus imperatif, dan (d) ilokusi impositif ditandai dengan verba „dapatkah‟. Misalnya: (1) Dapatkah Anda datang ke TPS tanggal 9 April 2014! Dan (2) Kalau tidak keberatan dapatkah datang ke TPS tanggal 9 April 2014! Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa kalimat kedua lebih santun daripada kalimat kesatu. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat disimpulkan: (a) semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya, (b) tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung, dan (c) memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).

  b.

  Maksim penerimaan Maksim penerimaan adalah menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

  Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim penerimaan didasarkan pada penanda: (a) skala memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri, (b) memakai modus imperatif, dan (c) dalam ilokusi komisif ditandai dengan verba „berjanji‟, „bersumpah‟, dan „mengancam‟. Misalnya: (1) Saya pinjami dana kampanye untuk Anda! dan (2) Saya bersedia akan meminjami Anda dana kampanye. Kalimat (1) dan (2) merupakan penutur berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri.

  c.

  Maksim kemurahan Maksim kemurahan adalah setiap peserta penutur untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

  Pengukuran kesantunan berbahasa pada maksim kemurahan didasarkan pada penanda: (a) bertutur selalu memberi penghargaan kepada orang lain, (b) dalam ilokusi asertif ditandai dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, „menyebutkan‟ dan, (c) dalam ilokusi

  

ekspresif ditandai dengan verba „memuji‟, „mengucapkan terima kasih‟, „mengritik‟, dan

„menyelak‟.

  Misalnya: Caleg

  A: “Pak, aku tadi sudah memulai kampanye perdana untuk Kecamatan Kualuh Hulu”. Caleg B: “Oya, tadi aku mendengar materi kampanyemu menarik dan jelas sekali dari sini

  ”. Contoh kalimat di atas merupakan pemberitahuan yang disampaikan caleg A terhadap rekannya caleg B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh caleg B. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu caleg B berperilaku santun terhadap caleg A.

  d.

Maksim kerendahan hati

  Maksim kerendahan hati adalah setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Misalnya: A: Caleg itu sangat dermawan pada masyarakat.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  B: Yah, memang sangat dermawan bukan? Contoh kalimat di atas merupakan kalimat mematuhi prinsip kesantunan karena penutur (A) memuji kebaikan pihak lain atau kalimat ilokusi ekspresif dan ilokusi asertif karena mengatakan respon kepada lawan tutur (B) juga memuji orang yang dibicarakan.

  e.

Maksim kesetujuan (agreement maxim)

  Maksim kesetujuan adalah setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Misalnya: A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan.

  B: Ya, memang! Contoh kalimat di atas santun dengan memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A, namun, bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pertanyaan lawan tuturnya.

  f.

Maksim kesimpatian

  Maksim kesimpatian adalah semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagian, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Misalnya: A: Anak guru berjuang untuk rakyat.

  B: Selamat ya, Anda memang orang hebat. Contoh kalimat di atas merupakan kalimat cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati pada lawan tuturnya yang mendapat kebahagiaan.

  Sehubungan dengan kesantunan bahasa dalam berkampanye, penulis mengutip pengertian kesantunan bahasa yang dikemukakan oleh beberapa pakar linguistik seperti, Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), Pranowo (2009), Austin (1962), dan Gries (1975).

  Teori Semiotika Bahasa

  Halliday (2004: 230) mengatakan “semiotika bahasa merupakan semiotika sosial. Semiotika bahasa terdiri atas tiga unsur, yakni (a) „arti‟, setara dengan petanda (signified), (b) bentuk, dan (c) ekspresi, setara dengan penanda (signifier )”.

  (a) ‟arti‟

  „arti‟ dalam semiotika merujuk pada teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) merupakan fungsi ujaran. Fungsi ujaran itu merupakan ujaran dasar (disebut juga

  protoaksi

  dalam saragih 2006). Fungsi ujaran itu merupakaan „arti‟ dalam sistem semiotika yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan oleh bentuk atau tatabahasa, yang seterusnya dieksperesikan oleh bunyi, tulisan, atau isyarat. (b)

Bentuk

  Bentuk atau tatabahasa atau modus terjadi dari empat kelompok, yaitu modus deklaratif, interogatif, imperatif, dan tawaran. Secara rinci masing-masing fungsi ujaran direalisasikan oleh modus sebagai berikut: (1) fungsi ujaran pernyataan lazimnya direalisasikan oleh modus deklaratif, (2) fungsi ujaran pertanyaan lazimnya direalisaiskan oleh modus interogatif, (3) fungsi ujaran perintah lazimnya direalisaiskan oleh modus imperatif, dan (4) fungsi ujaran tawaran dapat direalisasikan oleh deklaratif, interogatif,

  Awaluddin Sitorus

  dan imperatif. Dalam bahasa Indonesia modus ditandai secara prosodi dengan intonasi datar untuk modus deklaratif, naik untuk interogatif, dan turun untuk imperatif.

  Di samping itu dalam bahasa Indonesia tulisan, tanda titik (.) merupakan penanda pernyataan, tanda tanya (?) merupakan penanda pertanyaan, dan tanda seru (!) merupakan penanda perintah. Di samping penanda prosidi, modus secara structural ditandai dua unsur fungsi antarpesona, yaitu subject dan finite. Unsur tatabahasa yang digunakan untuk merealisasikan fungsi antarpesona adalah subject, finite, predicator, complement, dan

  

andjuct . Subject dan finite membangun mood atau modus sedangkan predicator,

complement, dan andjuct membentuk residue yang tidak berperan dalam pembentukan

  modus. (c)

  Klausa atau ekspresi

Klausa atau ekspresi berada pada posisi bebas secara gramatikal; merupakan unit yang tertinggi; klausa secara langsung merealisasikan unit „arti‟ atau semantik. Satu unit

  pengalaman disebut klausa yang terdiri atas tiga unsur atau konfigurasi, yaitu (1) proses, yakni kegiatan, peristiwa, atau kejadian, (2) partisipan, yakni orang atau benda yang terlibat dalam proses, dan (3) sirkumstan, yakni lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan pertisipan itu. Kesatuan ketiga unsur itu dalam satu unit pengalaman disebut klausa dan secara teknis realisasi penggambaran pengalaman itu dalam semiotika bahasa disebut transitif. Misalnya, pemburu itu mengejar harimau itu kemarin (pemburu itu adalah pertisipan, mengejar adalah proses, harimau itu adalah partisipan, dan kemarin adalah sirkumstan).

  Selanjutnya, selain semiotika bahasa yang dikemukan Halliday (2004), peneliti juga mengutik semiotika umum seperti yang dikemukakan Peirce (1839-1914), de Saussure (1857-1913), Sobur (2003: 15), Bertens (1993: 180), Eco (1979: 7) dan Chandler (2008: 1), Fawcett (1984:xiii), Lamb (1984: 87), van Leeuwen (2005: 285), dan Saragih ( 2012:23).

  Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

  LFS merupakan satu pradigma dalam kajian fungsional bahasa yang pendekatan, kajian, dan aplikasinya berdasarkan prinsip semiotika. Bahasa dikatakan sebagai semiotika sosial (Halliday, 2004: 214). Dengan kata lain, tatabahasa fungsional sistemik adalah tatabahasa yang teori atau prinsip semiotika menjadi dasar utama dalam pengkajian penelitian ini. Realisasi makna atau fungsi antarpersona terjadi pada tingkat, strata, atau level semantik. Sebagai realisasi aksi pada strata tatabahasa, modus terdiri atas modus deklaratif, interogatif, dan imperatif.

  Aksi „pernyataan‟, „pertanyaan‟, dan „perintah‟ masing-masing direalisasikan oleh modus deklaratif, interogatif, dan imperatif, sedangkan „tawaran‟ tidak memiliki modus yang lazim (unmarked) sebagai realisasinya. Dengan demikian, „tawaran‟ dalam konteks sosial tentu dapat direalisasikan oleh satu dari ketiga modus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Realisasi aksi pada strata semantik dan tatabahasa bukanlah hubungan „satu ke satu‟ (biunique relation); artinya secara semantik „pernyataan‟ tidak selamanya direalisas ikan oleh hanya modus deklaratif „pernyataan‟ oleh hanya interogatif , dan „perintah‟ oleh hanya imperatif.

  Hubungan aksi dalam kedua strata itu bersifat probabilitas yang memberikan dua pengertian, yaitu pertama, satu aksi ditingkat semantik dapat direalisasikan oleh dari satu modus dan kedua, satu modus dapat merupakan realisasi lebih dari satu aksi. Pengertian fungsional ketiga berkaitan dengan fungsi unit bahasa dalam unit yang lebih besar. Dalam LFS dikatakan bahwa setiap unit bahasa bersifat fungsional terhadap unit yang lebih besar, yang di dalam unit itu menjadi unsur. Ada empat unit bahasa dalam LFS, yakni klausa, grup atau frase, grup atau frase fungsional dalam klausa dan klausa menjadi unsur

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  fungsional dalam klausa kompleks. Hubungan antarperingkat tatabahasa ini adalah hubungan konstituen dengan pengertian bahwa unit tatabahasa yang lebih tinggi peringkatnya dibangun dari unit yang berada di bawahnya.

  LFS sebagai bagian dari pendekatan linguistik fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial hanya dapat dipahami dalam konteks social. Dalam LFS, kajian difokuskan pada teks. Dengan kata lain, unit kajian tertumpu pada teks. Teks adalah unit arti atau wujud sebagai hasil intraksi dalam konteks sosial.

  Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura). Kabupaten Labura dengan Ibukota Aek Kanopan terdiri dari 8 kecamatan, 8 kelurahan, dan 88 desa dengan waktu penelitian dilakukan peneliti sejak dimulai caleg Partai Golkar berkampanye bulan Januari tahun 2014 di Labura sampai dengan pemilu calon anggota legislatif tahun 2014 sampai dengan tahun 2019. Penelitian ini berdasarkan pendekatan metode deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode observasi, sadap, dan dokumentasi dengan menggunakan data berupa kata, kalimat, frasa, dan klausa baik data lisan maupun data tulisan. Data penelitian ini mengacu pada ekspresi kesantunan dengan daya semiotika bahasa caleg berkampanye. Semua data direkam, dicatat, dan dikumpulkan dengan baik dalam suatu korpus. Hal itu bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk membahas data yang sudah dipersiapkan dalam korpus.

  Korpus penelitian itu berbentuk teks tulis dan transkripsi dari bahasa lisan yang mempunyai fungsi memberi informasi tentang ujaran-ujaran jurkam dan jargon politik caleg dalam berkampanye.

  Data penelitian ini terdiri dari data lisan dan tulis. Data lisan merupakan kata, frasa, klausa, dan kalimat yang bersumber dari tuturan verbal jurkam caleg Partai Golkar dan data tulis berupa bahasa jargon yang terdapat pada baleho yang bersumber dari caleg Partai Golkar kemudian analisis data dalam penelitian ini, dilakukan peneliti yaitu reduksi data (data reduction), display data (data display), dan kesimpulan/verifikasi

  

(conclusion/verification) . Analisis data dilakukan untuk menemukan ciri-ciri realisasi

  kesantunan dengan daya semiotika bahasa berkampanye caleg yaitu, ujaran jurkam caleg dan jargon politik caleg. Mengikuti model analisis Miles dan Huberman untuk menganalisis data penelitian ini dijelaskan sebagai berikut. (a) Masalah satu, data yang terkumpul baik lisan dan tulis direduksi dengan cara memilih data yang berkaitan dengan masalah ujaran yang menunjukkan kesantunan bahasa yang dipilah ke dalam maksim- maksim. Data ujaran yang berasal dari para jurkam Partai Golkar menggunakan teori kesantunan bahasa yang dikemukakan Lecch (1983). (b) Masalah dua, data yang terkumpul baik lisan dan tulis direduksi dengan cara memilih data yang berkaitan dengan fungsi ujar yakni pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran yang direalisasikan dalam modus deklaratif, interogatif, dan imperatif dalam daya semiotika bahasa caleg Partai Golkar dalam berkampanye.

  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a.

Kesantunan Bahasa Berkampanye Caleg Partai Golkar di Labura

  Berdasarkan temuan dalam penelitian bahwa ada enam maksim yang mempengaruhi kesantunan bahasa dalam berkampanye, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan,

  Awaluddin Sitorus

  dan maksim kesimpatian. Data keenam maksim tersebut sebanyak 62 klausa bersumber dari data primer dan data sekunder direalisasikan dalam tabel sebagai berikut.

  Tabel Persentase penggunaan Maksim dalam Berkampanye No. Maksim Jumlah Klausa (%)

  1. Kebijaksanaan

  25

  40.32

  2. Penerimaan

  9

  14.51

  3. Kemurahan

  5

  8.06

  4. Kerendahan hati

  8

  12.90

  5. Kesetujuan

  10

  16.12

  6. Kesimpatian

  5

  8.06 Jumlah 62 100% Dari tabel di atas maksim kebijaksanaan lebih banyak digunakan para caleg dalam berkampaye sebanyak 25 klausa atau 40.32% dari 62 klausa, maksim penerimaan 9 klausa atau 14.51% dari 62 klausa, maksim kemurahan 5 klausa atau 8.06% dari 62 klausa, maksim kerendahan hati 8 klausa atau 12.90% dari 62 klausa, maksim kesetujuan 10 klausa atau 16.12% dari 62 klausa, dan maksim kesimpatian 5 klausa atau 8.06% dari 62 klausa.

  Selanjutnya penanda verba dalam penggunaan maksim kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kesetujuan, dan kesimpatian dalam kesantunan bahasa berkampanye caleg Partai Golkar sebagai berikut.

  Tabel Verba Setiap Maksim Kesantunan Bahasa dalam Berkampanye No. Maksim Verba

  1. Kebijaksanaan persilakan, silakan, mari, berikan, panggilkan, ingat, jangan, melakukan, angkat, dan memilih

  2. Penerimaan menyampaikan, sampaikan, bekerja, berjanji, mencurahkan, dan mengabdi

  3. Kemurahan hormati, sayangi, dan banggakan

  4. Kerendahan hati memohon dan meminta

  5. Kesetujuan berharap, mari, usahakan, dan berjuanglah

  6. Kesimpatian meraih, rasakan, dibungkam, membela, dan bangkit

  Maksim Kebijaksanaan (tact maxim)

  Kesantunan bahasa berkampanye caleg Partai Golkar dalam maksim kebijaksanaan direalisasikan dengan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain dan maksim ini juga menggunakan modus imperatif. Contoh: Mari kita berikan aplus kepada caleg kita yang kandidat Golkar dengan penuh keyakinan! Klausa ini dikodekan modus imperatif ajakan dengan verba „mari‟ dengan demikian Jurkam Partai Golkar memaksimalkan keuntungan bagi para caleg Partai Golkar karena mengajak para simpatisan Partai Golkar dan masyarakat Labura untuk bersama-sama memberikan penghargaan aplaus kepada mereka.

  Maksim Penerimaan (Generocity Maxim)

  Kesantunan bahasa berkampanye yang direalisasikan maksim penerimaan dengan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri atau meminimalkan keuntungan diri sendiri. Maksim penerimaan juga ditandai dalam ilokusi komisif dengan verba „berjanji‟, „bersumpah‟, dan „mengancam‟. Contoh: Siap mengabdi bagi masyarakat! Contoh klausa tersebut merupakan maksim penerimaan yang dikodekan dengan verba „mengabdi‟.

  Caleg Partai Golkar siap mengabdi bagi masyarakat dalam berbagai bentuk pengabdian.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 Maksim Kemurahan (Approbation Maxim)

  Maksim kemurahan merupakan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain atau meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Maksim kemurahan juga ditandai dalam ilokusi asertif dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟ dan dalam ilokusi ekspresif ditandai verba „memuji‟, „mengucapkan terima kasih‟, „mengritik‟, dan „menyelak‟. Contoh: Fungsionaris DPP yang saya hormati, Pak Rambe dengan Ibu Anita Lubis. Contoh klausa tersebut merupakan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain yaitu caleg Partai Golkar ditandai dengan verba „hormati‟.

  Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

  Maksim kerendahan hati merupakan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri atau meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati juga ditandai dalam ilokusi ekspresif dengan verba „memuji‟, „mengucapkan terima kasih‟, „mengritik‟, dan „menyelak‟, dan dalam ilokusi asertif ditandai dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟. Contoh: Do‟akan kami, para caleg yang dari daerah dapil satu dan dapil lima untuk berjuang. Contoh klausa tersebut bermodus imperatif ditandai dengan verba „do‟akan‟ yang dikodekan dengan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri jurkam sendiri.

  Maksim Kesetujuan (Agreement Maxim)

  Maksim kesetujuan merupakan memaksimalkan kesetujuan di antara mereka atau meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka. Maksim kesetujuan juga ditandai dalam ilokusi asertif dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟. Contoh: Suara Golkar suara rakyat. Contoh klausa tersebut kesetujuan ditandai dengan verba implisit bermakna „mengatakan‟ dalam modus deklaratif yang dikodekan dengan memaksimalkan kesetujuan antara caleg Partai Golkar dengan masyarakat.

  Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

  Kesantunan bahasa berkampanye yang direalisasikan maksim kesimpatian dengan memaksimalkan rasa simpati atau meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Maksim kesimpatian dapat ditandai dalam ilokusi asertif dengan verba „mengatakan‟, „melaporkan‟, dan „menyebutkan‟. Contoh: Bangkit dan bergerak berkarya bersama rakyat. Contoh klausa tersebut memaksimalkan rasa simpati masyarakat terhadap para caleg Partai Golkar dalam ilokusi asertif.

  b.

Daya Semiotika Bahasa Berkampanye Caleg Partai Golkar di Labuhanbatu

  Utara Melalui Fungsi Ujar

  Data dalam penelitian ini ditemukan makna dalam daya semiotika bahasa berkampanye yang direalisasikan pada fungsi ujar, yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Keempat fungsi ujar yang ditemukan dalam data primer dan data sekunder sebanyak 103 klausa yang direalisasikan dalam tabel sebagai berikut.

  Tabel Persentase Fungsi Ujar dalam Berkampanye No Fungsi Ujar Jumlah Klausa (%)

  1. Pernyataan

  39

  37.87

  2. Pertanyaan

  20

  19.41

  3. Perintah

  29

  28.15

  4. Tawaran

  15

  14.57 Jumlah 103 100%

  Awaluddin Sitorus

  Pada tabel di atas, fungsi ujar pernyataan dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 37.87 %, fungsi ujar pertanyaan dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 19.41%, fungsi ujar perintah dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 28.15%, dan fungsi ujar tawaran dalam bahasa berkampanye caleg sebesar 14.57%.  Pernyataan

  Makna pernyataan direalisasikan ke dalam modus deklaratif yang dikodekan dengan intonasi suara datar, pengungkapan kejadian atau peristiwa, dan parnyataan diakhiri oleh tanda titik (.). Contoh: Saudara-saudara karena Golkar berfokus untuk meningkatkan pertanian dan pendidikan. Contoh klausa tersebut direalisasikan dalam modus deklaratif yang bertujuan menyampaikan informasi atau pemberitaan kepada masyarakat bahwa Golkar bekerja terfokus pada pertanian dan pendidikan dengan prosidi suara datar. Selain itu, tatabahasa klausa tersebut yaitu Golkar sebagai subjek bertanggung jawab untuk argumen dan verba berfokus menunjukkan predikator.

   Pertanyaan Makna pertanyaan ditemukan dalam data ujaran jurkam dan semiotika bahasa jargon caleg Partai Golkar dalam berkampanye yang direalisasikan ke dalam modus interogatif. Makna pertanyaan dikodekan dengan intonasi atau prosidi suara sedikit naik atau dengan intonasi tanya, sering mempergunakan kata tanya di awal klausa, pada akhir klausa diakhiri oleh tanda tanya (?), dan mempergunakan partikel tanya -kah. Contoh: Mana dari daerah Kualuh Hulu dapil 1? Contoh klausa tersebut direalisasikan dalam modus interogatif dengan dikodekan prosidi suara sedikit naik dengan intonasi tanya, mempergunakan kata tanya di awal klausa, dan klausa diakhiri oleh tanda tanya dengan bertujuan menanyakan keberadaan para caleg dapil 1 Kualuh Hulu untuk diperkenalkannya kepada masyarakat. Selain itu, tatabahasa klausa tersebut yaitu pelesapan subjek yang bertanggung jawab untuk argumen.

   Perintah Makna perintah ditemukan dalam ujaran jurkam dan semiotika bahasa jargon caleg

  Partai Golkar dalam berkampanye yang direalisasikan ke dalam modus imperatif. Makna perintah dikodekan dengan intonasi atau prosidi suara dengan tinggi atau keras, kata kerja yang mendukung isi perintah itu biasanya merupakan kata dasar, mempergunakan partikel pengeras

  • –lah, dan penggunaan tanda seru (!) di akhir klausa. Contoh: Dari daerah pemilihan 1, kami panggilkan Saudara Salmon Sijabat, kami persilakan! Coba ambil tempatnya ya! Contoh klausa tersebut direalisasikan dalam modus imperatif dengan prosidi suara agak naik sedikit di akhir klausa dengan bertujuan memanggil para caleg dari dapil 1 hadir ke depan podium untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Selain itu, tatabahasa klausa tersebut yaitu kami sebagai subjek yang bertanggung jawab pada argumen dan verba panggilkan menunjukkan predikator.  Tawaran Makna tawaran dapat direalisasikan satu dari ciri bunyi atau tulisan yang dibicarakan. Makna tawaran juga dikodekan dengan prosidi suara datar direalisasikan dalam modus deklaratif, prosidi suara sedikit naik direalisasikan dalam modus imperatif, dan prosidi suara menurun direalisasikan dalam modus interogatif. Contoh: Saya berharap, partai-partai Bintang Reformasi di Labuhanbatu Utara ini, supaya bergabung kepada Partai Golkar. Kenapa? Karena dulu tiga PBR, lima Golkar berarti delapan Golkar yang harus dicari ada dua lagi. Contoh klausa tersebut merupakan tawaran dikodekan dengan verba berharap dengan bertujuan agar kader-kader Partai Bintang Reformasi bergabung dengan Partai Golkar yang direalisasikan dalam modus deklaratif dengan prosidi suara datar diakhir klausa.

  Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

  Hasil temuan penelitian hubungan antara teori kesantunan bahasa dalam maksim menurut Leech dengan teori semiotika bahasa dalam fungsi ujar menurut Halliday sebagai berikut.

  Tabel Hubungan Kesantunan Bahasa Antara Maksim dengan Modus No Maksim Modus

  Deklaratif Interogatif Imperatif

  1. Kebijaksanaan √ √ √

  • 2. Penerimaan √ √
  • 3. Kemurahan √ √

  4. Kerendahan Hati √ √

  • 5. Kesetujuan √ √ √

  6. Kesimpatian √ √ -

Keterangan: √ = dilakukan; - = tdk dilakukan

  Kemudian realisasi daya semiotika bahasa caleg Partai Golkar berkampanye berdasarkan temuan penelitian bahwa salah satu representasi bahasa dari kelangsungan dan ketidaklangsungan ujaran semiotika bahasa dalam fungsi ujar. Temuan penelitian caleg berkampanye menunjukkan bahwa penggunaan modus dalam semiotika bahasa memberikan informasi dalam maksim dan memberikan informasi dalam bahasa jargon bahasa dapat diformulasikan sebagai berikut.

  Tabel Penggunaan Modus sebagai Realisasi Daya Semiotika Bahasa No Modus Memberikan informasi Alasan Memberikan Alasan dalam maksim informasi dalam bahasa jargon

  Perilaku Perilaku Perilaku Perilaku santun normatif santun normatif

  1. Deklaratif - - L TL √

  √ 2. - Interogatif √ L TL - -

  3. Imperatif √ L √ TL - - Keterangan: L = langsung; TL = tidak langsung; √ = ada; - = tidak ada Salah satu bentuk realisasi daya semiotika bahasa dari upaya mencapai kesantunan tersebut adalah memanfaatkan modus yang mengakomodasikan penggunaan ujaran tidak langsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesantunan bahasa caleg Partai Golkar dalam berkampanye merupakan salah satu yang dicapai dengan menggunakan modus yang memfasilitasi ketidaklangsungan ujaran.

  Realisasi Kesantunan dengan Daya Semiotika Fungsi Ujar

  Hasil temuan penelitian ini adalah kesantunan bahasa dalam maksim (Leech) yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, dan maksim kesimpatian yang direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar (Halliday) yaitu pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Realisasi maksim dengan daya semiotika fungsi ujar dijababarkan sebagai berikut.

  Maksim kebijaksanaan sangat dominan digunakan jurkam Partai Golkar dalam berkampanye direalisasikan dengan daya semiotika fungsi ujar. Fungsi ujar tersebut adalah pernyataan dan perintah. Maksim kebijaksanaan digunakan jurkam Partai Golkar dalam berkampanye lazimnya direalisasikan dengan daya semiotika pernyataan. Dalam hal ini, penggunaan maksim kebijaksanaan dengan daya semiotika fungsi ujar pernyataan dalam berkampanye dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

  Awaluddin Sitorus

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Corporate social responsibility dalam Hubungan corporate governance dan Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE DAN NILAI PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG LISTING DI BURSA EFEK INDONESIA TESIS

0 1 17

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN KUALITAS HIDUP PASIEN KANKER PAYUDARA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

0 0 29

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lingkar Kepala pada Anak Usia Dini (6-8 Tahun) pada Deutro Melayu

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Dini - Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Lingkar Kepala pada Anak Usia Dini (6-8 Tahun) pada Deutro Melayu

0 0 21

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN LINGKAR KEPALA PADA ANAK USIA DINI (6-8 TAHUN) PADA DEUTRO MELAYU

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antropometri - Studi Indeks Sefalik Vertikal, Transversal, Dan Horizontal Usia 7-18 Tahun Pada Deutro-Melayu

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Rancang Bangun Kotak Pendingin Yang Menggunakan Elemen Pendingin Termoelektrik Dengan Sumber Energi Surya

1 2 23

RANCANG BANGUN KOTAK PENDINGIN YANG MENGGUNAKAN ELEMEN PENDINGIN TERMOELEKTRIK DENGAN SUMBER ENERGI SURYA

0 2 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Literatur 2.1.1 Teori Agency - Pengaruh Manajemen Modal Kerja, Likuiditas, Leverage, dan Corporate Governance Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 17