A. Konsepsi Demokrasi - Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

A. Konsepsi Demokrasi

  Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,

  

one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara

  kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip prinsip umum yangmencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak

  41

  seluruh warga negaranya Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional

  (constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam

  42 pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society) .

  Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi konstitusional sebagai berikut:

  1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga Negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

  2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah 3.

  Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana dan menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah

  4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan

  43

  berkumpul Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalah 41 ―an institutionalized system of effective,

  Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia , Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 184-185.

  Setelah Perubahan UUD NRI 1945) 42 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,hlm. 58.

  

regularized restraints upon governmental action. Persoalan yang dianggap

  terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini

  44

  melalui konstitusi Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power) dan

  45

  adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat. Perihal cara yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan. dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias

  Politica ), yaitu:

  a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);

  b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);

  c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang) Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat. bahwa terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme. yaitu :

  1. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara; 2. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan; 3. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur

  46

  ketatanegaraan tersebut Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam 44 45 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm.93

  I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD NRI 1945) , Setara Press, Malang, 2012, hlm. 18-19. penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional. yaitu : 1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum serta perihal pembatasan kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances). 2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat. serta perwujudan dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi. 3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan nomokrasi guna menegakkan supremasi konstitusi melalui

  47

  pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

  Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hakhaknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang- undang dasar merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang demokratis.

B. Sistem Pemerintahan 1.

  Sistem Parlementer Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggungjawaban para Menteri terhadap Parlemen. Maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh

  48 meyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. 47 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, hlm. 13-14. Bertolak dari sejarah ketatanegaraan. sistem parlemen ini merupakan kelanjutan dari bentuk negara Monarki konstitusionil, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi. Karena dalam sistem parlementer, Presiden, raja dan ratu kedudukannya sebagai kepala negara. Sedangkan yang disebut eksekutif dalam sistem parlementer adalah kabinet yang terdiri dari perdana menteri dan menteri- menteri yang bertanggung jawab sendiri atau bersama-sama kepada parlemen. Karena itu Inggris mengenal istilah “The King can do no wrong”. Pertanggungjawaban menteri kepada parlemen tersebut dapat berakibat kabinet meletakkan jabatan dan mengembalikan mandat kepada kepala Negara, manakala

  

49

  parlemen tidak lagi mempercayai kabinet 1). Sistem Parlementer dengan Dua Partai Sistem Parlementer dua partai, ketua partai politik yang memenangkan pemilu sekaligus ditunjuk sebagai formatur kabinet dan langsung sebagai perdana menteri. Seluruh menteri dalam kabinet adalah mereka yang terpilih sebagai anggota parlemen, dengan konsekuensi setelah diangkat menjadi menteri harus non aktif dalam perlemen (kabinet parlementer). Karena partai politik yang menguasai kabinet adalah sama dengan partai politik yang memegang mayoritas di House of Commons maka kedudukan kabinet sangat kuat, sehingga jarang dijatuhkan oleh parlemen sebelum dilaksanakan pemilu berikutnya. Misalnya,

  50 sistem parlementer di Inggris.

  2). Sistem Parlementer dengan Multi Partai Sistem Parlementer multi partai, parlemen tidak satupun dari partai politik yang mampu menguasai kursi secara mayoritas, maka pembentukan kabinet disini sering tidak lancar. Kepala negara akan menunjuk tokoh politik tertentu untuk bertindak sebagai pembentuk kabinet/formatur. Dalam hal ini formatur harus mengingat perimbangan kekuatan di parlemen, sehingga setiap kabinet dibentuk merupakan bentuk kabinet koalisi (gabungan dari beberapa partai politik). Karena koalisi didasarkan pada kompromi, kadang - kadang terjadi setelah kabinet berjalan, dukungan yang diberikan oleh salah satu partai politik ditarik kembali 49 Ibid., hlm. 99. dengan cara menarik menterinya (kabinet mengembalikan mandatnya kepada kepala negara). Sehingga dalam sistem parlemen dengan multi partai sering terjadi ketidakstabilan pemerintahan (sering penggantian kabinet). Misalnya, Republik

  51 Indonesia tahun 1950-1959, dimana terjadi 7 kali pergantian kabinet.

  Sistem ini mengisyaratkan bahwa lembaga legislatif dan eksekutif hampir tidak pernah terlibat konflik serius, mungkin pada akhirnya eksekutif tidak hanya mewakili kehendak lembaga legislatif yang permanen, tetapi juga pemikiran dan keinginannya yang tidak tetap, juga pemikiran dan keinginan para pemiliknya,

  52

  sehingga eksekutif ini bahkan dapat dikatakan labil

  53 Adapun ciri-ciri umum dari sistem pemerintahan parlementer yaitu : a.

  Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan atau kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen; b.

  Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau Para anggota kabinet mungkin seluruh anggota parlemen, atau tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen; c. Kabinet dengan ketuanya (eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen

  (legislatif). Apabila kabinet atau seseorang atau beberapa anggotanya mendapat mosi tidak percaya kepada parlemen, maka kabinet atau seseorang atau beberapa orang dari padanya harus mengundurkan diri; d. Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet, maka Kepala Negara

  (Presiden; raja atau ratu) dengan saran atau nasehat Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen.

  e.

  Kekuasaan Kehakiman secara prinsipil tidak digantungkan kepada lembaga eksekutif dan legislative, hal ini untuk mencegah intimidasi dan intervensi lembaga lain.

  2. Pemerintahan Sistem Presidensial Pemerintahan sistem Presidensial adalah suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen. Dalam sistem ini Presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet 51 52 Ibid.

  C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern : Kajian Tentang Sejarah Dan

Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Diterjemahkan Dari Modern Political Constitution : An

Introduce To The Comparative Study Of Their History And Existing Form , Nuansa Dengan

Nusamedia, Bandung, 2004,hlm. 381.

  54

  (dewan menteri) Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme, maka diperlukan checks and balances, antara lembaga tinggi negara inilah yang disebut

  55 checking power with power

  Menurut Rod Hague. pemerintahan Presidensial terdiri dari tiga unsur

  56

  yaitu: 1)

  Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.

2) Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap.

  tidak bisa saling menjatuhkan. 3)

  Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Dalam sistem Presidensial, Presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol Presiden. Jika Presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap Negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi Presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang Wakil Presiden akan menggantikan posisinya. Presiden bertanggungjawab kepada pemilihnya

  . Sehingga seorang Presiden diberhentikan atas tuduhan House of

  (kiescollege)

Representattives setelah diputuskan oleh senat. Misalnya, sistem pemerintahan

57 Presidensial di USA

  Pertama, sebagai kekuasaan tertinggi, tindakan eksekutif dalam sistem

  pemerintahan Presidensial seringkali menuntut adanya kekuasaan tak terbatas, demi kebaikan Negara, setidak-tidaknya selama periode tertentu; kedua, orang yang berada diposisi ini menjadi suatu keseluruhan yang tak lebih baik dari anggotanya yang paling rendah dan semua menjadi buruk daripada anggota terendahnya. 54 55 Titik Triwulan Tutik,Op.Cit, hlm. 146 Inu Kencana Syafiie, Azhari,, Op.Cit, hlm. 14.

  diakses tanggal 15 April 2015, Pukul 15.00 WIB Adapun ciri-ciri dari sistem Presidensial adalah: 1)

  Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semuanya diangkat olehnya dan bertanggungjawab kepadanya. Ia sekaligus sebagai kepala negara (lambang negara) dengan masa jabatan yang telah ditentukan dengan pasti oleh UUD;

  2) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer;

  3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif. Sebagai imbangannya, Presiden tidak

  58

  dapat membubarkan badan legislatif 3.

  Sistem Campuran Sistem Pemerintahan Campuran pada hakekatnya merupakan bentuk variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan

  Presidensial. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semuanya. Sistem campuran juga disebut sebagai sistem Quasi. Apabila dilihat dari kedua sistem pemerintahan diatas, sistem pemerintahan quasi bukan merupakan bentuk sebenarnya.

  Dalam sistem ini dikenal bentuk quasi parlementer dan quasi Presidensial. Pada pemerintahan sistem quasi Presidensial, Presiden merupakan kepala pemerintahan dengan dibantu oleh kabinet (ciri Presidensial). Tetapi dia bertanggung jawab kepada lembaga dimana dia bertanggung jawab, sehingga lembaga ini (legislatif) dapat menjatuhkan Presiden/eksekutif (ciri sistem parlementer). Misalnya, sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pada sistem pemerintahan quasi parlementer. Presiden, raja dan ratu adalah kepala negara yang tidak lebih hanya sebagai simbol saja. Kekuasaan eksekutif adalah kabinet yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri yang bertanggungjawab secara sendiri-sendiri atau bersama kepada parlemen (ciri parlementer) sedangkan lembaga legislatifnya dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (ciri Presidensial). Misalnya, sistem pemerintahan Philipina. Sistem pemerintahan yang dipraktekkan di Perancis yang biasa dikenal oleh para sarjana dengan sebutan hybrid system. Kedudukan sebagai kepala Negara dipegang oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, tetapi juga ada kepala pemerintahan yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang didukung oleh parlemen seperti

  59

  sistem pemerintahan parlementer yang biasa Pada sistem quasi ini penulis tidak menspesifikasikan ciri-cirinya karena tergantung dari quasi apa yang digunakan dalam suatu Negara ditambah lagi bahwa tidak ada suatu negara yang menganut sistem pemerintahan yang sama persis karena akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik suatu negara.

  Misalnya, jika yang digunakan adalah sistem quasi Presidensial maka menggunakan ciri-ciri sistem Presidensial yang kemudian dimasukkan sebagian ciri sistem pemerintahan parlementer yang sesuai dengan kondisi sosial politik negara tersebut. Begitu juga sebaliknya jika yang digunakan adalah sistem pemerintahan quasi parlementer.

C. Sistem Pemilihan Umum

  Dalam sistem pemerintahan demokratis, kehadiran pemilu yang bebas dan adil merupakan suatu keniscayaan. Banyak ilmuwan politik yang menggunakan pemilih sebagai parameter pelaksanaan demokratisasi suatu negara. Muhammad

60 Asfar , memberikan beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting bagi

  kehidupan demokrasi. Pertama, melalui pemilu memungkinkan suatu komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai. Kedua, melalui pemilu akan tercipta pelembagaan konflik. Secara konseptual, terdapat 2 (dua) mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil. yaitu: a.

  Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil (electoral system).

  b.

  Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi (electoral process)

61 Sementara itu Austin Ranney , menyebutkan bahwa ciri-ciri suatu pemilu

  yang benar-benar bebas, meliputi: 59 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 60. 60 Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku Pemilih 1955-2004. Jakarta : Pustaka Eureka, 2006, Hal 137 diakses pada tanggal 15 a.

  Diselenggarakan secara regular.

  b.

  Pilihan yang benar-benar berarti.

  c.

  Kebebasan menempatkan calon.

  d.

  Kebebasan mengetahui dan mendiskusikan pilihan-pilihan.

  e.

  Hak pilih orang dewasa yang universal.

  f.

  Perlakuan yang sama dalam pemberian suara.

  g.

  Pendaftaran pemilih yang bebas.

  62 h.

  Penghitungan dan pelaporan hasil yang tepat.

  Berbagai sistem pemilihan dengan variasi masing-masing menunjukkan indikasi keunggulan dan kelemahan.

  a.

  Sistem Pemilihan Mekanis Secara substansial sistem pemilihan mekanis memiliki ciri-ciri antara lain:

  1) Partai-partai yang mengorganisasi pemilihan-pemilihan dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party atau Multy party (liberalism. sosialisme) atau Uni Party (komunisme).

  2) Badan Perwakilan Rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya.

3) Badan Perwakilan yang dihasilkan disebut parlemen.

  63

  4) Wakil-wakil yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat langsung dipilih

  b. Sistem Organis Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu- individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan: geneologis (rumah tangga. keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai satu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu, sebagai persekutuan-persekutuan hidup tersebut di atas. Berdasarkan pandangan ini persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau dengan kata lain pengendali hak untuk mengurus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat. Pemilihan organis secara substansial memiliki ciri-ciri: 62 Ibid, hlm. 337

  1) Organis, Partai-partai politik itu tidak perlu dikembangkan. karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri.

  2) Badan perwakilan bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup itu.

  3) Pemilihan organis menghasilkan dewan korporatif.

  64

  4) Wakil-wakil dalam badan perwakilan berdasarkan pengangkatan.

D. Partai Politik dan Sistem Kepartaian 1.

  Sistem Kepartaian Sistem kepartaian (party sistem) pertama kali dibentangkan oleh Maurice

  Duverger dalam bukunya political parties. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tiga kategori. yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem

  65 multi-partai.

  a.

  Sistem Partai-Tunggal Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai- tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradicitio in terminis) sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa

  66

  partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi

  b. Sistem Dwi-Partai Dalam keputusan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilu secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duvuger malahan dikatatakan bahwa sistem ini adalah khas Anglo saxon. 64 Moh.Kusnardi Dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar

  Bakti, Jakarta, 1983, hlm. 336 65 Miriam Budiardjo, Op.Cit, hlm 415

  Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai Yang berkuasa (karena menang dalam pemilu) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilu). Dengan demikian jelaslah di mana letak tanggung jawab mengenai pelaksaan kebijakan umum. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition) terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan.

  Dalam persaingan memenangkan pemilu kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih di tengah (median vote).

  c. Sistem Multi-Partai Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangasa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai.

  Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28. Sedangkan di Federasi Rusia

  67

  sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43. Sistem multi- partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlamenter. mempunyai kecendrungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif. sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.

2. Sistem Kepartaian Indonesia

  Pasca reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia. Hal ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak 48 partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu yaitu Golongan Karya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

  Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme electoral threshold (ET). Dalam pemilu Tahun 1999. partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2% di Parlemen tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu kemudian berlanjut dengan peningkatan 3% jumlah kursi di parlemen untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun

  68

  2003 tentang Pemilu Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu yang menghasilkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan

  Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan Parlementary Threshold. Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti pemilu tahun 2009, secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai politik. Namun, dalam aturan peralihannya di Pasal 316 huruf (d) terdapat ketentuan bahwa partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3% ET dapat mengikuti pemilu tahun 2009 asal mempunyai satu kursi di DPR.

  Ketentuan tersebut berarti bahwa partai politik yang hanya mempunyai 1 (satu) kursi di DPR pun bisa langsung ikut pemilu tahun 2009. Pasal 316 (d) inilah yang bisa dianggap tidak menunjukkan suatu konsistensi sikap atas kebijakan penyederhanan partai politik peserta pemilu melalui ET. Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan posisi penting partai politik yakni “peserta