Analisis Perubahan Tutupan Lahan Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Antara Tahun 2002 dan 2016

TINJAUAN PUSTAKA

Pesisir dan Pantai
Kawasan pesisir memiliki potensi alam sangat besar karena kaya akan
sumber daya hayati dan non hayati sehingga kawasan pesisir potensial untuk
dijadikan kawasan perekonomian masyarakat. Perencanaan pembangunan dan
pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai harus ditunjang oleh
keberadaan data pendukung dan data unggulan untuk mempertahankan dan
melestarikan potensi sumber daya laut sehingga dapat memperkecil kerugian yang
terjadi akibat salah perencanaan. Salah satu perubahan lingkungan akibat suatu
pembangunan di kawasan pesisir adalah masalah abrasi dan sedimentasi
(Departemen Energi dan Mineral, 2006).
Pantai adalah suatu daerah dimana daratan dan proses dilaut saling
mempengaruhi sehingga menyebabkan dimaka Geomorfologi yang menetukan
kondisi ekologis. Daerah ini merupakan suatu jalur daratan yang dibatasi oleh laut
dan terbentang sampai pengaruh laut tidak dirasakan lagi (Novrizal, 2004).
Purwoko (2009) menyatakan lahan dikawaan pesisir yang awalnya berupa
hutan mangrove primer terjadi peralih fungsian lahan karena adanya bentuk
pemamfaatan atau eksploitasi yang selain ilegal bahkan secara teknis dilakukan
secara tidak lestari. Bentuk konversi yang sermg terjadi di areal pesisir diantaranya
: (1). Belukar Rawa, (2). Hutan manggrove, (3) Kebun Campuran, (4). Pemukiman,

(5). Perkebunan, (6). Pertanian Lahan Kering, (7). Sawah, (8). Tambak, (9). Tubuh
Air.

Universitas Sumatera Utara

5

Faktor Penyebab Terjadinya Perubahan Lahan
Menurut Darmawan (2002), salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan
dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar kawasan. Tingginya
tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk
membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan
budidaya. Tingginya kepadatan penduduk akan meningkatkan tekanan terhadap
hutan. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan
kegiatanusaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut.
Menurut Wijaya (2004), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan

penutupan


lahan

di

suatu

wilayah

diantaranya

adalah

pertumbuhanpenduduk, mata pencaharian, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung
kehidupan serta kebijakan pemerintah. Tingginya tingkat kepadatanpenduduk di
suatu wilayah telah mendorong penduduk untuk membuka lahanbaru untuk
digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan-lahan budidaya. Tingginya
kepadatan penduduk akan meningkatkan tekanan terhadap hutan. Mata pencaharian
penduduk di suatu wilayah berkaitan erat dengan kegiatan usaha yang dilakukan
penduduk di wilayah tersebut. Perubahan penduduk yang bekerja di bidang

pertanian ini memungkinkan terjadinya perubahan penutupan lahankhususnya
lahan budidaya. Semakin banyak penduduk yang bekerja dibidang pertanian, maka
kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong penduduk untuk
melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan.

Universitas Sumatera Utara

6

Penginderaan Jarak Jauh
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan
suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1990). Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah
mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan
Informasi remote sensing yang dihasilkan dari citra satelit (satellite image)
untuk analisis lebih lanjutnya menggunakan SIG. Secara umum data dari
pengginderaan jauh agar dapat digunakan di SIG harus diinterpretasi dan dikoreksi
geometrik terlebih dahulu (Jaya, 2010). Analisis citra Landsat secara digital dapat
dikelompokkan atas (Lillesand dan Kiefer, 1990):

1. Pemulihan citra
Merupakan kegiatan yang bertujuan memperbaiki citra ke dalam bentuk
yang lebih mirip dengan pandangan aslinya. Perbaikan ini meliputi koreksi
radiometrik dan geometrik yang ada pada citra asli. Penajaman citra (image
enhancement). Kegiatan ini dilakukan sebelum data citra digunakan dalam analisis
visual, dimana teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan tampak
kontras diantara penampakan dalam adegan. Pada berbagai langkah ini banyak
meningkatkan jumlah informasi yang dapat secara visual dari data citra.
2. Penajaman citra
Teknik ini digunakan dalam memperjelas suatu bentuk kontras diantara
kenampakan bentuk yang lainnya, langkah ini bertujuan untuk meningkatnya
bentuk gambaran yang dinterpretasikan secara visual dari data citra. Baik

Universitas Sumatera Utara

7

pemulihaan maupun penajaman citra keduanya termasuk didalam tahap
pengandaraan pengelolaan awal sebelum dilakukan interpretasi data secara aktual.
3. Klasifikasi citra (image classification)

Terdapat dua pendekatan dasar dalam melakukan klasifikasi citra yaitu
supervised classification (klasifikasi terbimbing) dan unsupervised classification
(klasifikasi tidak terbimbing). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas
citra untuk aplikasi kehutanan tropis, yaitu: tutupan awan. Terutama untuk sensor
pasif, awan bisa menutupi bentuk bentuk yang berada di bawah atau di dekatnya,
sehingga interpretasi tidak dimungkinkan. Bayangan topografi adalah metode
pengkoreksian yang ada untuk menghilangka pengaruh topografi pada radiometrik
belum terlalu maju perkembangannya. Pengaruh atmosferik. Pengaruh atmosferik,
terutama ozon, uap air dan aerosol sangat mengganggu pada band/kanal tampak
dan infrared/inframerah. Penelitian akademis untuk mengatasi hal ini masih aktif
dilakukan. Derajat kedetailan dari peta tutupan lahan yang ingin dihasilkan.
Semakin detail peta yang ingin dihasilkan, semakin rendah akurasi dari klasifikasi.
Hal ini adalah satunya bisa diperbaiki dengan adanya resolusi spektral dan spasial
dari citra komersial yang tersedia.

Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan
Menurut Lo (1995) satu faktor penting untuk menentukan kesuksesan
pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada pemilihan skema
klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu. Pendekatan fungsional
atau pendekatan berorientasi kegiatan akan lebih sesuai digunakan untuk citra

satelit ruang angkasa, sebagai skema klasifikasi tujuan umum. Pendekatan ini
merupakan system klasifikasi lahan yang umum digunakan di Amerika Serikat

Universitas Sumatera Utara

8

yang diperkenalkan oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat (United State
Geological Survey) atau disingkat USGS. Sistem klasifikasi yang diperkenalkan
oleh USGS seperti tertera pada tabel sistem klasifikasi penggunaan lahan dan
penutupan lahan untuk digunakan dengan data penginderaan jauh.
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan untuk Digunakan
dengan Data Penginderaan Jauh (Lillesand dan Kiefer,1990).
No
Tingkat I
Tingkat II
1.
Perkotaan atau
Pemukiman
Lahan Perkotaan

Perdagangan dan Jasa
Industri
Transportasi
Kompleks Industri dan Perdagangan
Kekotaan Campurandan Lahan Bangunan
Kekotaanatau Lahan Bangunan Lainnya
2.

Lahan Pertanian

Tanaman Semusim dan Padang Rumput
Daerah Buah-buahan, Jeruk, Anggurdan
TanamanHias
Lahan Tanaman Obat
Lahan Pertanian Lainnya

3.

Lahan Peternakan


Lahan Pengembalaan Terkurung
Lahan Peternakan Semak dan Belukar
Lahan Peternakan Campuran

4.

Lahan Hutan

Lahan Hutan Gugur Daun Semusim
Lahan Hutan yang Selalu Hijau
Lahan Hutan Campuran

5.

Air

Sungai dan Kanal
Danau
Waduk
Teluk dan Muara


6.

Lahan Basah

Lahan Hutan Basah
Lahan Basah Bukan Hutan

7.

Lahan Gundul

Dataran Garam Kering Gisik
Daerah Berpasir Selain Gisik
Tambang Terbuka, Pertambangan dan
Tambang Kerikil

Sistem klasifikasi di atas disusun berdasarkan kriteria berikut (USGS dalam
Lillesand dan Kiefer, 1990): (1) tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan
menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen, (2) ketelitian

interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat

Universitas Sumatera Utara

9

diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat
penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk
daerah yang luas, (5) kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir
dari penutupan lahannya, (6) sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data
penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus
dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra
skala besar atau survey lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat
dilakukan, (9) harus memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data
penggunaan lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan datang, dan (10) lahan
multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.
Menurut Jaya (2010) klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks
multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke
dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan.
Kelas-kelas ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas dapat

berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang telah dikenali di lapangan atau
berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh computer. Berdasarkan teknik
pendekatannya, klasifikasi kuantitatif dibedakan atas klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification).
Klasifikasi Tidak Terbimbing adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelaskelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer. Kelas-kelas atau klaster yang
terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung pada data itu sendiri. Dalam
prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan
atau kemiripan spektralnya. Klasifikasi Terbimbing (Supervised classification)
dilakukan

dengan

menggunakan

arahan

analisis

(supervised).

Kriteria

Universitas Sumatera Utara

10

pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh dari
pembuatan training area. Metode yang digunakan dalam klasifikasi termbimbing
adalah metode peluang maksimum (Maximum Likelihood Classifier). Metode ini
mempertimbangkan peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan ke dalam kelas atau
kategori tertentu. Dapat dihitung dengan menghitung persentase tutupan pada citra
yang akan diklasifikasi.
Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan dan penutupan lahan adalah
faktor-faktor yang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor-faktor
lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun
pengolahan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi kondisi
iklim, sumber daya air dan perairan, bentuk lahan dan topografi, serta karakteristik
tanah yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan pada sebidang lahan (Gandasasmita, 2001).

Sistem Satelit Landsat
Satelit Landsat merupakan salah satu satelit sumberdaya bumi yang
dikembangkan NASA dan Departemen dalam Negeri Amerika Serikat. Satelit ini
terbagi dalam dua generasi yakni generasi pertama dan generasi kedua. Generasi
pertama adalah satelit Landsat 1 sampai 3. Satelit generasi kedua adalah satelit
membawa dua jenis sensor yaitu sensor MMS dan sensor Thematic Mapper (TM).
Kelebihan sensor TM adalah menggunakan tujuh saluran, enam saluran
terutama dititikberatkan untuk studi vegetasi dan satu saluran untuk studi geologi,
sedangkan Landsat TM mempunyai 7 band. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
uraian pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

11

Tabel 2. Saluran Citra Landsat TM (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Saluran
Kisaran
Kegunaan Utama
Gelombang
(μm)
1
0,45 – 0,52
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan
vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.
2
0,52 – 0,60
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau
yang terletak diantara dua saluran penyerapan.
Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis
vegetasi dan untuk membedak an tanaman sehat terhadap
tanaman yang tidak sehat
3
0,63 – 0,69
Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi.
Saluranini terletak pada alah satu daerah penyerapan
klorofil
4
0,76 – 0,90
Saluran yang pekat erhadap biomasa vegetasi. Juga untuk
identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembeda an
tanah dan tanaman serta lahan dan air.
5
1,55 – 1,75
Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman,
kandungan air pada tanaman, kondisi kelembapan tanah.
6
2,08 – 2,35
Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan
hidrotermal.
7
10,40 – 12,50
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi.
Pembedaan kelembapan tanah, dan keperluan lain yang
berhubungan dengan gejala termal.
8
Pankromatik
Studi kota, penajaman batas linier, analisis tata ruang

Sebenarnya landsat 8 lebih cocok sebagai satelit dengan misi melanjutkan
landsat 7 dari pada disebut sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru pula.
Ini terlihat dari karakteristiknya yang mirip dengan landsat 7, baik resolusinya
(spasial, temporal, spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun
karakteristik sensor yang dibawa. Hanya saja ada beberapa tambahan yang menjadi
titik penyempurnaan dari landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum
gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit
(rentang nilai digital number) dari tiap piksel citra.
Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (Oli)
dan Thermel Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah.
Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada Oli dan 2 lainnya
(band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip
dengan landsat 7. Jenis kanal, panjang gelombang dan resolusi spasial setiap band

Universitas Sumatera Utara

12

pada landsat 8 dibandingkan dengan landsat 7. Laju degradasi/deforestasi dapat
diketahui dengan membandingkan penutupan lahan hutan pada tahun tertentu
dengan tahun-tahun sebelumnya (mencakup pula karakteristik indeks vegetasinya)
untuk keperluan tersebut, citra landsat masih menjadi andalan bagi peneliti dan
praktisi bidang kehutanan (Campell, 2013).

Sistem Informasi Geografis
SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang
dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis diatas peta dapat disajikan
dalam dua model data spasial yaitu model data raster da model data vektor. Model
data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, poligon) dalam struktur format
vektor. Strukur data vektor adalah suatu cara untuk membandingkan informasi garis
dan areal kedalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyabesaran, arah dan
keterkaitan (Burrough,1986 dalam Dahuri et. al., 1996).
SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang dirancang khusus, yang
mempunyai kemampuan untuk mengelola data : pengumpulan, penyimpanan,
pengolahan, analisis, pemodelan, dan penyajian data spasial (keruangan) dan non
spasial (tabular/tekstual), yang mengacu pada lokasi di permukaan bumi (data
bergeoreferensi). Pada dasarnya, sistem informasi geografis adalah suatu “sistem”
terdiri dari komponen-komponen yang saling berkait (berhubungan) dalam
mencapai suatu sasaran, berdasarkan “informasi” (data, fakta, kondisi, fenomena)
berbasis “geografis” (daerah, spasial, keruangan) yang dapat dicek posisinya di
permukaan bumi (bergeoreferensi). Kedua jenis data, baik spasial maupun
tabular/tekstual disimpan dalam suatu sistem yang dikenal dengan basis data SIG.
Sistem basis data ini merupakan komponen utama yang harus tersedia dalam SIG,

Universitas Sumatera Utara

13

disamping komponen lain seperti sistem komputer, sumber daya manusia dan
organisasi atau wadah pengelolaan yang mengendali penggunaan Sistem informasi
geografis (Soenarmo, 2003).
Keuntungan mengunakan SIG pada perencanaan dan pengelolaan
sumberdaya alam antara lain adalah : (1) Mampu mengintegrasikan data dari
berbagai format data (grafik, teks, digital dan analog) dari berbagai sumber, (2).
Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data diantara berbagai macam
disiplin ilmu dan lembaga terkait, (3). Mampu memproses dan menganalisis data
lebih efisien dan efektif daripada pekerjaan manual, (4). Mampu melakukan
pemodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum
dilakukan aplikasi dilapangan, (5). Memiliki kemampuan pembaharuan data yang
efisien terutama grafik, (6). Mampu menampung data dalam volume yang besar.
(Kam et al, 1992 dalam Widodo dan Heri, 1997).
Penutupan Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahannya
Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas
terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan
komersial maupun industri (Munibah, 2008). Dephut (2008) juga menyatakan
penutupan lahan pada kawasan hutan, terutama yang terkait dengan tutupan hutan
sangat dinamis dan berubah dengan cepat dimana kondisi hutan semakin menurun
dan berkurang luasnya. Berdasarkan data yang ada, luas hutan selama periode 19851997 untuk tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) telah berkurang
seluas ± 1,6 juta ha/tahun. Untuk periode 1997-2000 laju pengurangan hutan di
dalam kawasan hutan mencapai angka ± 2,84 juta ha/tahun atau 8,5 juta ha selama
3 tahun.

Universitas Sumatera Utara

14

Kenampakan tutupan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan
kenampakan tutupan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu.
Perubahan tutupan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik.
Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni
tipe perubahan tutupan lahan pada kondisi yang sama. Kecendrungan perubahan ini
dapat ditunjukan dengan peta multi waktu. Fenomena yang ada dapat dipetakan
berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan tutupan lahan dapat diketahui.
Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan lahan yang mungkin
bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada umumnya tidak linear
karena kenampakanya berubah-ubah, baik penutupan lahan maupun lokasinya
(Murcharke, 1990).
Kebutuhan

manusia

akan

kelangsungan

produktivitas

hidupnya

menyebabkan manusia sebagai aktor utama dalam terjadinya perubahan penutupan
lahan. Perubahan penutupan lahan merupakan suatu kombinasi dari hasil interaksi
faktor sosial ekonomi, politik dan budaya. Penutupan lahan merupakan istilah yang
berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand dan
Kiefer, 1990).

Universitas Sumatera Utara