Gerakan Sosial Budha Tzu Chi di Kota Medan Chapter III VIII

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.

Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologi agama dengan

metode penelitian kualitatif. Pendekatan sosiologi agama meneliti tentang aspek
sosial agama. Objek penelitian agama dengan pendekatan sosiologi menurut
Robert memfokuskan pada; Pertama, kelompok-kelompok atau lembaga
keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya,
pemeliharaannya, dan pembubarannya). kedua,

perilaku individu dalam

kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan
perilaku ritual), ketiga, konflik antar kelompok (Robert, 1984:3).
Penelitian kualitatif untuk memperoleh keterangan yang deskriptif analisis
di lapangan yakni dengan penggambaran atau representasi objektif terhadap
fenomena yang ada (Hadi, 1995:9). Metode penelitian kualitatif merupakan suatu
metode berganda dalam fokus yang melibatkan suatu pendekatan yang

interpretatif dan wajar dalam setiap pokok permasalahan (Salim, 2002:5).
Penelitian kualitiatif ini melibatkan pengguna dan pengumpulan berbagai bahan
seperti studi kasus, pengalaman pribadi, riwayat hidup, dokumentasi, wawancara,
pengamatan, teks sejarah, interaksinisme dan ritual yang menggambarkan momen
rutin dan problematik serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif.
(Salim, 2002:6)
Metode penelitian kualitatif dapat menggali dan mendeskripsikan sistem
sosial-keagamaan dalam kehidupan masyarakat yang lebih bersifat understanding

lvii
Universitas Sumatera Utara

(memahami) terhadap fenomena atau gejala-gejala sosial, karena itu bersifat to
learn about the people (masyarakat sebagai subjek) atau native‟s point of view
(fenomena dalam masyarakat dijelaskan dengan sudut pandang masyarakat itu
sendiri.
3.2.

Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu


sebagai berikut :
3.2.1. Teknik Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang paling alamiah dan
paling banyak digunakan tidak hanya dalam dunia keilmuan namun juga dalam
berbagai aktivitas kehidupan. Secara umum observasi berarti pengamatan,
penglihatan. Sedangkan secara khusus, dalam dunia penelitian observasi adalah
mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari
bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian, keadaan, benda
dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi
fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena
tersebut guna penemuan data analisis
Observasi yang peneliti lakukan ialah observasi partisipasi yakni peneliti
ikut terlibat langsung dilapangan. Proses pengamatan dilakukan dengan cara
mengamati ruang dan tempat, siapa saja pelaku yang terlibat, instrumen yang
digunakan, hasil nyata program kerja, pola perilaku interaksi sesama anggota
organisasi dan masyarakat serta aktivitas kegiatan sosial kemasyarakatan yang

lviii
Universitas Sumatera Utara


dilakukan oleh pengurus dan relawan organisasi yayasan Budha Tzu Chi Kota
Medan.
Dalam kegiatan observasi, peneliti juga akan ikut serta dalam melakukan
aktivitas yaitu kegiatan-kegiatan penting dari organisasi yayasan Budha Tzu Chi
Kota Medan itu sendiri yang tujuannya untuk melakukan observasi partisipatif
agar lebih mendekatkan diri lebih dalam pada objek penelitian sehingga data-data
yang diperoleh lebih detail.
3.2.2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang yaitu
pewancara (interviewer) yang memberikan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan pertanyaan tersebut. (Moleong, 1991:135).
Wawancara merupakan metode penggalian data yang paling banyak dilakukan,
baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah, terutama untuk penelitian sosial yang
bersifat kualitatif. Adapun yang menjadi tujuan wawancara secara umum adalah
untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari perilaku subjek yang
diteliti
Wawancara dalam melakukan penelitian ini adalah wawancara mendalam,
yaitu peneliti dan informan berinteraksi satu sama lain dengan waktu yang relatif
lama sehingga peneliti dapat membangun rapport dengan informan. Peneliti

membagi informan menjadi dua jenis yaitu : informan kunci dan informan biasa.
Adapun Informan kunci dalam penelitian ini ialah orang-orang yang
menduduki jabatan strategis dan fungsional dalam kepengurusan yayasan
organisasi Budha Tzu Chi, seperti ketua yayasan Budha Tzu Chi Kota Medan,
Kepala Sekretariat Tzu Chi, Kepala Hubungan Masyarakat, Ketua Tzu Chi
lix
Universitas Sumatera Utara

International Medical Associations (TIMA) dan para pengurus struktural lainnya.
Sedangkan informan biasa meliputi relawan yang umumnya terlibat dalam
kegiatan-kegiatan organisasi Budha Tzu Chi seperti bakti sosial, program
kesehatan, program sadar lingkungan dan donatur. Total secara keseluruhan ada
15 informan yang 6 diantaranya merupakan informan kunci.
Wawancara dilakukan dengan waktu dan tempat yang disepakati oleh
peneliti dengan informan. Untuk menjaga agar wawancara tetap pada fokus
penelitian, peneliti akan menggunakan interview guide sehingga pertanayaanpertanyaan yang akan diajukan tetap terarah dan tidak lari dari fokus penelitian.
Selain menggunakan interview guide, peneliti juga akan menggunakan recorder
untuk merekam proses wawancara informan untuk memperkuat akurasi data.
Penelitian ini juga akan menyiapkan dokumentasi, seperti bahan-bahan dari data
yang berkaitan serta foto-foto momen yang mendukung penelitian.

3.2.3. Analisis Data
Analisa data disebut juga pengolahan data atau penafsiran data. Analisis
data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokkan, sistematisasi dan
verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti
memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data
yang sudah dianalisis.
Analisa data dalam penelitian merupakan suatu pandangan mengenai
penulis untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh di lapangan.
Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan tersebut akan

lx
Universitas Sumatera Utara

diteliti kembali dan diperbaharui kembali. Pada akhirnya kegiatan ini betujuan
untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.
Analisa data merupakan proses lanjutan dari bentuk catatan lapangan
sebagaimana ditulis oleh Emerson (1995:4-5) yakni :
“Fieldnotes are accounts describing experiences and observations the
researcher has made while participating in a intense and involved

manner“ (Catatan lapangan yang menggambarkan kumpulan
pengalaman dan pengamatan penelitian yang dicatat saat turut
berpartisipasi secara intens dan terlibat)
Langkah selanjutnya, data-data ini dianalisis secara kualitatif melalui
teknik observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan
pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Langkah selanjutnya yang paling penting yakni menarik
kesimpulan dan verifikasi.

3.3.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Kota Medan Propinsi Sumatera Utara,

sebuah kantor sekretariat yayasan Budha Tzuchi perwakilan Medan di Komplek
Cemara Asri Jalan Boulevard Blok G/1 No 1-3 dan di Komplek Jati Junction blok
P No 1, Jalan Perintis Kemerdekaan. Lokasi penelitian juga dilakukan di luar
kantor tersebut untuk mendukung tujuan penelitian.

lxi

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
AGAMA BUDHA DAN ALIRANNYA
4.1.

Sejarah Agama Budha
Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 SM. Agama ini

memperoleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pendirinya yaitu
Siddharta Gautama yang memiliki sebutan Budha. Siddharta Gautama mendapat
sebutan Budha, setelah menjalani sikap hidup penuh kesucian, bertapa,
berkhalwat, mengembara untuk mencari kebenaran selama hampir tujuh tahun
lamanya, dan di bawah sebuah pohon yang besar di kota Goya memperoleh
hikmat dan cahaya hingga sampai kini pohon tersebut disebut pohon hikmat.
(Sou‟yb, 1983:72)
Nama asli pendiri agama ini adalah Siddharta, sedangkan Gautama adalah
nama keluarga (marga). Siddharta di lahirkan dari golongaan kasta Ksatria pada
abad ke- 6 SM, atau tepatnya pada tahun 563 SM. (Arifin, 1996:71). Di daerah
tersebut yang sekarang di sebut Nepal. Ayahnya bernama Suddhadana beliau

seorang raja dari kerajaan Sakya yang beribu kota di Kapilavastu. Sedangkan
ibunya bernama Maya. Siddharta dilahirkan pada bulan purnama pada hari
Vaisakh (April-Mei). Di bawah sebuah pohon sala yang sedang berbunga di
taman lumbini. Ketika Maya dalam perjalanan dari Kapilavastu mengunjungi
orang tuanya di Dewdaha.
Beberapa orang suci mengatakan banyak mukjizat yang terjadi atas
kelahiran Budha ke dunia ini. Pada saat maya mengandung, dia bermimpi dibawa
ke Himalaya oleh para malaikat, dimandikan dengan air suci, dan ditempatkan

lxii
Universitas Sumatera Utara

pada dipan yang terbuat dari emas. Kemudian datanglah seekor gajah putih
membawa bunga lotus (padma) masuk kedalam tubuh melalui sisi kanannya,
(Arifin, 1996:72).

Pada hari kelahirannya cahaya yang tak terhingga menyinari alam semesta,
orang buta dapat melihat, orang tuli dapat medengar, orang bisu dapat berbicara,
bunga-bunga bejatuhan diri langit, musik dan wangi-wangian bertebaran di manamana. Anak lelaki itu berjalan tujuh langkah di atas bunga-bunga lotus beberapa
saat setelah kelahirannya. Lima hari setelah kelahirannya, anak laki-laki itu

dibawa ke orang suci dan para ahli peramal, mereka melihat di tubuh Siddharta
terdapat tanda-tanda sebagai orang besar ditafsirkan bahwa dia akan menjadi
seorang pemimpin dunia atau menjadi Budha.
Semasa muda hidup Siddharta dalam gemilang kemewahan. Mengingat
kata-kata ahli peramal, Suddhadana menetapkan bahwa putranya harus menjadi
pemimpin dunia bukan seorang Budha. Guru-guru terbaikpun diundang untuk
mendidiknya yang mengajarkan tidak hanya hikmah tetapi juga berbagai macam
seni. Dikatakan bahwa guru-gurunya kagum akan kecepatan Siddharta menguasai
setiap ilmu yang diajarkan kepadanya. Sekalipun demikian sebagai seorang anak
ia sering nampak duduk termenung, berfikir sangat serius.
Suddhadana melakukan apa saja yang dapat mencegah anaknya dari halhal yang dapat membuat anaknya merasakan penderitaan hidup. Istana
dibangunkannya untuk berbagai musim, dilengkapi dengan parabotan serba
mewah. Dia dikelilingi oleh berbagai keindahan dan kesenangan. Upanya
pencegahan terus menerus dilakukan dari pandangannya kepada orang sakit, tua

lxiii
Universitas Sumatera Utara

dan lemah. Tidak seorangpun diperbolehkan bercerita tentang penyakt atau
kematian, penderitaan dan ketidakbahagiaan.

Ketika Siddharta berusia 16 tahun, semua gadis cantik diundang agar
dapat memilih seorang istri dari salah satu di antara mereka. Semua gadis tersebut
lewat di hadapannya dan menerima hadiah darinya. Gadis yang terakhir adalah
Yasodhara. Namun hadiah sudah habis. Maka kalung permata di lehernya di lepas
dan diikatkan di pinggangnya sambil berkata “ buat yang terjujur dari semuanya”
maka Yasodhara putri Suppabuddha inilah yang menjadi pilihannya. (Arifin,
1996:73). Pernikahan mereka sangat menyenangkan. Akan tetapi kehidupan
mereka terbatas dalam lingkungan istana. Suatu saat Siddharta meminta izin
ayahnya untuk keluar dari istana, maka Suddadana menolaknya.
Dia mengutus seseorang untuk memberitahukan tentang kunjungan
putranya dan meminta mereka agar semua yang dilihatnya tampak baik dan indah
dan semua yang jelek supaya di sembunyikannya. Akan tetapi takdir tidak bisa
ditolak pada beberapa perjalanannya ia ditemani oleh seorang kusirnya Channa, ia
melihat sesuatu yang membuat ia berfikir mendalam dan sedih: orang tua dimakan
usia, orang sakit diliputi luka, dan orang mati dikuburkan. Ia lalu bercerita kepada
Channa bahwa semua itu adalah keadaan yang melekat dengan kehidupan dan tak
seorangpun dapat terhindar darinya. Dalam setiap keadaan ia berusaha
menyenangkan hatinya, namun semakin ia tahu sesuatu, justru ia menjadi semakin
sedih.
Persoalan hidup sekitar penderitaan manusia yang telah ia lihat itu, selain

dipikirkan dan direnungkannya, dicarilah jawabannya di dalam pelajaran Weda
yang telah diterimanya dari para brahmana, tetapi belum ditemukan jawaban yang

lxiv
Universitas Sumatera Utara

memuaskan. Selain itu terpikir juga nasib sebagian rakyat yang miskin dan
sengsara dari kalangan Kasta Sudra. Apa sebabnya sang Brahma, pencipta yang
maha tunggal mambagi-bagi manusia dalam bentuk Kasta. Apakah benar yang
demikian itu aturan sang Brahma. Semakin direnungkan semakin dalam sedih dan
dukanya. Makanan yang enak, pemandangan yang indah, nyanyian dan musik
yang merdu tak dapat menghiburnya, bahkan kesenangan itu dianggapnya
fatamorgana, kesenangan yang hanya sekejap saja.
Setelah pergi jauh dari istana, Siddharta mencukur rambut dan jenggotnya
sehingga tampangnya sebagai seorang bangsawan telah berubah menjadi mirip
seorang bhiksu dan melanjutkan perjalanannya menjadi seorang pendeta atau
bhiksu, untuk mencari rahasia dan hikmat hidup. Dalam perjalanannya ini ia
bertekad tidak akan kembali ke Kota Kapilawastu sebelum mendapatkan apa yang
dicarinya, yaitu hakikat hidup, obat penderitaan segenap manusia. Ditengah
perjalanan bertukar pakaian dengan seorang pemburu yang berpakaian kumal.
Dengan pakaian tersebut ia menyamar sehingga tidak akan ada seorangpun
yang mengenali bahwa ia seorang bangsawan putra mahkota suatu kerajaan
terkenal pada masa itu. Dalam penggembaraanya itu, Siddarta mengunjungi
beberapa biara dan asrama Brahmana, seperti biara Ranthalama, biara
Alodrakama, dan lain-lain perguruan Brahmana yang terkenal. Semua jawaban
yang ia peroleh terhadap hakekat dan rahasia hidup adalah hendaknya
mempelajari kitab Weda.
Dengan jawaban para pendeta tersebut Siddharta merasa tidak puas. Ia
pergi meninggalkan mereka lalu bertemu dengan lima orang Bhiksu yang sedang
sama-sama mencari hikmat dari rahasia hidup. Kelima Bhiksu itu mengajarkan

lxv
Universitas Sumatera Utara

bahwa untuk medapatkan hikmat dan kesempurnaan hidup harus mensucikan roh
dan jiwa dengan jalan menyiksa diri dengan kelaparan dan dahaga. (Arifin,
1996:76). Ia menjalani cara ini bersama lima bhiksu tadi masuk kedalam hutan
melakukan pertapaan dengan tidak makan sama sekali, menanggung lapar dan
dahaga siang malam duduk merenung, hujan dan panas, angin malam dan embun
tiada diperhatikannya hingga badannya kurus kerontang tinggal kulit pembalut
tulang.
Siddharta meneruskan perjalanannya, mengembara. Meminta-minta
sekedar untuk kelangsungan hidupnya, merenungi hakikat hidup dan kebenaran.
(Hakim, 1978:157). Akhirnya pada suatu sore di bulan purnama (waktu itu ia

berumur 30 tahun) pada bulan Vaisakh (April-Mei) dan duduk di bawah pohon
Bodhi atau Bodh Gaya dengan bermaksud tidak akan meninggalkan pohon itu
sebelum ia mendapatkan pencerahan. Ketika Mara (iblis) mengetahui bahwa
Siddharta sekarang bermaksud untuk berusaha dengan sekuatnya mendapatkan
pencerahan yang sempurna, menggerakan seluruh roh-roh jahat untuk
menghalangi Siddharta. Berbagai macam cara yang di lakukan Mara, akan tetapi
usahanya tetap sia-sia. Demikian malam itu dilalui dengan peperangan melawan
mara dan bala tentaranya. Tetapi Siddhartalah yang menang, dan malam ini pula
ia mendapatkan pencerahan, cahaya (boddhi). Seluruh kemenangan Siddharta
sebenarnya dicapai melalui tiga tahap, yaitu:
1. Tahap yang pertama ia mendapatkan pengetahuan tantang kehidupannya
yang terdahulu.
2. Tahap kedua ia menjadi maha tahu yang sudah terjadi.

lxvi
Universitas Sumatera Utara

3. Tahap ketiga ia dapat pengertian tentang pangkal yang bergantungan, yang
menjadi awal segala kejahatan (Afirin, 1996:77).
Demikian pada waktu matahari terbit Siddharta sudah mendapatkan
pencerahan yang sempurna. Banyak mu‟jizat yang terjadi pada waktu yang mulia
itu. Gempa bumi hingga enam kali, seluruh alam diterangi dengan sinar yang
terang benderang. Kejahatan meninggalkan seluruh hati manusia. Segala
kekurangan disempurnakan, yang sakit menjadi sembuh, seluruh makhluk
memperoleh kedamaian, dewa-dewa menyebarkan bunga-bunga dan Siddharta
disebut Tathagata (Hadiwijono, 1977:52).
Mula-mula dia ragu untuk menyebarkan pengetahuannya kepada manusia.
Setelah menghadap dewa Brahman kemudian menyebarkan pengetahuannya yang
sungguh menyinari dunia ini. Sejak itulah Siddharta menjadi Budha. Artinya yang
disinari. Menyiarkan kenyakinanya ke negara suci Budha selama 45 tahun. dia
melihat penganut-penganutnya semakin bertambah, bahkan raja-raja dan
rakyatnya berduyun-duyun meminta petunjuk hidup kepada Budha (Rifai,
1984:94).
Akhirnya ketika Buddha berusia 80 tahun, ia wafat atau masuk ke
Pernirvana (Nirwana), di Kusinara. Tubuhnya dikremasi dengan upacara besar.
Kemudian abunya digunakan sebagai jimat yang dibagi menjadi 8 bagian dan
dibagikan kepada seluruh pemimpin. bangsa yang mendirikan stup dagona dan
pagoda

di negara-negara yang menganut Budha menuntut agar setidaknya

memiliki satu bagian abu jimat dari Budha.

lxvii
Universitas Sumatera Utara

4.2.

Inti Ajaran Budha
Inti dari ajaran Siddharta (Budha) tri ratna atau tiga mustika, tri ratna

adalah sebagai berikut:
4.2.1. Budha
Budha berarti seorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan
sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Budha”
adalah seorang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan
karya-karya kebijakan dan memperoleh kebijaksanaan kebenaraan mengenai
nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan
kepada dunia semesta sebelum parinirvana. Hyang Budha yang berdasarkan
sejarah bernama Shakyamuni pendiri agama Budha. Hyang Budha yang
berdasarkan waktu kosmik ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Budha
(Sudharma, 2007:72).
4.2.2. Dharma
Hukum Kebenaran, agama, hal-hal apa saja yang berhubungan dengan
ajaran agama Budha sebagai agama yang sempurna. Dharma mengandung 4
(empat) makna utama:
1. Doktrin
2. Hak, keadilan, kebenaran
3. Kondisi
4. Barang yang kelihatan atau phenomena.
Budha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan
berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan

lxviii
Universitas Sumatera Utara

atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasa (Sudharma,
2007:72).
Budha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi,
falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya. Tripitaka
Mahayana termasuk dalam Budha Dharma.
4.2.3. Sangha
Persaudaraan para bhiksu, bhiksuni (pada waktu permulaan terbentuk).
Kemudian, ketika agama Budha Mahayana berkembang para anggotanya selain
para bhiksu, bhiksuni, dan juga para umat awam yang telah upasaka dan upasika
dengan bertekad pada kenyataan tidak-tanduknya untuk menjadi seorang
Bodhisattva,

menerima

dan

mempraktekkan

pancasila

Budhis

ataukah

Bodhisattva Sila (Sudharma, 2007:75).
4.3. Aliran-Aliran dalam Budha
Dalam ajaran Budha terdapat dua aliran besar yakni ialah Hinayana dan
Mahayana. Di dalam Hinayana terdapat dua macam pokok yaitu: Theravada dan
Sarwastivada. Sedangkan di Mahayana pecah mejadi banyak aliran. Tiap-tiap
aliran menekankan salah satu dari banyak jalan untuk mendapatkan kelepasan.
Pada kira-kira tahun 150 M didirikan aliran Madhyamika oleh Nagarjuna, yang
mengajarkan bahwa kelepasan dapat dicapai dengan melaksanakan hikmat, dalam
arti merenungkan sunyata (kekosongan). Sedangkan Aliran Yogacara yang
didirikan oleh Asanga, yang dipengaruhi oleh falsafah Samkhya. Sesudah tahun
500 M. Agama Budha di pengaruhi oleh aliran Tantra, yang berkembang di
Napal, Tibet, Jepang, Jawa dan Sumatra (Hidiwijono, 1977:68).

lxix
Universitas Sumatera Utara

Hinayana dikenal sebagai kendaraan kecil, merupakan golongan yang
mempertahankan ajaran asli Budha Gautama. Walaupun terbukti telah
menyimpang juga dari ajaran asli itu sendiri. Sedangkan Mahayana dikenal
sebagai kendaraan besar yakni golongan pembaharu agama Budha yang lebih
banyak menyimpang dari aslinya. Selain itu mempunyai penganut yang lebih
banyak di banding aliran Hinayana.
4.3.1. Aliran Hinayana
Perpecahan antara Hinayana dan Mahanyana berkisar pada dua hal, yaitu
mengenai pribadi Budha dan ajaran tentang Dharma dan Nirwana. Aliran
Hinayana mempunyai kepercayaan bahwa dunia kita ini telah beberapa kali
didatangi Budha sebagai pengajara kepada manusia supaya terhindar dari
penderitaan dan dapat mencapai Nirwana. Jarak waktu kedatangan sang Budha
terjadi pada masa yang lama sekali. Untuk periode sekarang ini sang Budha ialah
Siddharta Gautama. Di masa yang akan datang akan ada lagi Budha yang lain
yang sekarang masih bersemanyam di surga. Calon Budha itu di sebut
Boddhisatwa. Ajaran aliran Hinayana mengenai Dharma dan Nirwana adalah
sebagai berikut:
a. Segala sesuatu bersifat fana dan hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang
berbeda untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karena itu tidak ada
sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada
adalah perasaan, demikian seterusnya.
b. Dharma-dharma adalah kenyataan atau relitas yang kecil dan pendek.
Berkelompok sebagai sebab dan akibat karena pengaliran dharma yang

lxx
Universitas Sumatera Utara

terus-menerus maka timbul kesadaran diri yang palsu atau ada perorangan
yang palsu.
c. Tujuan Hidup ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan.
Sebab segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain
adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal berada di dalam
Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
d. Cita-cita yang tertinggi ialah menjadai arhat, yaitu orang yang sudah
berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh
karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali. (Hadiwijono,
1977:68)
Sementara untuk kitab sucinya berisikan tentang Vinaya Pitaka,
(peraturan-peraturan golongan para Bhiksu) berbicara mengenai Sangha. Terdiri
dari 3 buah tulisan yang yang membicarakan peraturan peraturan tata-tertib bagi
para bhiksu. Selanjutnya Sutta Pitaka, (keranjang pengajaran) memuat 4 buah
kumpulan yang besar dari pelajaran Budha. Terdiri dari bermacam-macam
ceramah yang diberikan oleh Budha dan yang terakhir Abhimdhamma Pitaka,
berisi analisis ajaran Budha. Terdiri dari 7 buah naskah, yang merupakan uraianuraian ilmiah yanmg kering tentang dogmatika.
4.3.2. Aliran Mahayana
Ada dua kata kunci di dalam ajaran Mahayana yang selalu ada di setiap
tulisan-tulisan Mahayana dan dua kata kunci itu adalah Boddhisatwa dan Sunyata.
Pada aliran Mahayana mengajarkan bahwa disamping Budha-budha dunia pada

lxxi
Universitas Sumatera Utara

hakikatnya hanyalah merupakan bayangan Budha-budha surga. Asal segala
sesuatu yang ada ini disebut Adhi Budha. (Hadiwijono, 1977:69)
Ajaran Sang Budha Mahayana, yang dilahirkan di India utara, digunakan
atas tiga pengertian utama:
a. Sebagai tradisi yang masih berbeda, Mahayana merupakan kumpulan
terbesar dari dua tradisi agama Budha yang ada sekarang ini, yang lainnya
adalah Theravada pembagian ini sering kali diperdebatkan oleh berbagai
kelompok.
b. Munurut cara pembagian klasifikasi filosofi agama Budha berdasarkan
aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkatan motifasi spiritual
yang

juga

dikenal

dengan

sebutan

Bodhisattvayana

berdasarkan

pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau
Sharavakayana. Hal ini juga di kenal dalam ajaran Theravada, tetapi tidak
dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.
c. Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua
lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam
agama Budha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran agama Budha
Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada Budha
Gautama, para sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada
abad ke 1, atau abad ke 1 SM. Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan
utama dalam Agama Budha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut naskahnaskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India. Sebelum abad ke
11 (ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih berada

lxxii
Universitas Sumatera Utara

dalam proses perbaikan. Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama
mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan
dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur.
Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang,
Korea dan Vietnam dan penganut Agama Budha Tibet (etnis Himalaya yang
diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet).
Aliran agama Budha Mahayana sekarang ini adalah “Pure Land”, Zen,
Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran
baik Mahayana maupun Vajrayana.
4.3.3. Perbedaan Aliran Hinayana dan Mahayana, yaitu:
1. Jika aliran Budhisme Hinayana pada dasarnya memandang manusia
sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung kepada
penyelamatan orang lain,

aliran Mahayana berpendirian sebaliknya.

Oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang berkaitan dengan nasib
manusia seluruhnya. Mereka berpendapat bahwa hal ini terkandung
dalam ajaran pokok sang Budha tentang anatta yang seperti telah kita
ketahui berarti bahwa semua makhluk dan semua hal tidak mempunyai
kemandirian.
2. Aliran Hinayana berpendapat bahwa nasib manusia di alam semesta ini
terletak di tangannya sendiri. Tidak ada dewa-dewa ataupun kekuatan
yang melebihi manusia untuk membantunya mengatasi kesulitan hidup
ini. Bagi Aliran Mahayana, adanya rahmat bagi semua orang merupakan

lxxiii
Universitas Sumatera Utara

suatu kenyataan. Kedamaian yang ada di dalam hati semua manusia di
sebabkan karena adanya suatu kekuatan tanpa batas, yang berakar dalam
nirwana, yang tanpa kecuali memperhatikan setiap jiwa dan berada
dalam setiap jiwa itu, dan pada saatnya yang tepat akan menarik setiap
jiwa itu ke tujuan itu.
3. Dalam Aliran Hinayana, kebajikan utama adalah bodhi, kearifan, yang
lebih mengutamakan perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri
dari pada perbuatan aktif mencari kebenaran. Aliran Mahayana
menempatkan istilah lain sebagai pusat perhatiannya, yaitu karuma, kasih
sayang.
4. Aliran baharan Budhisme Hinayana berpusat pada rahib. Biara-biara
adalah pusat kehidupan rohani negeri-negeri dimana aliran ini dianut oleh
banyak orang yang mengingatkan semua orang akan adanya kebenaran
agung yang pada akhirnya memberi makna kepada kehidupan ini
merupakan pembenaran terakhir bagi dunia. Sebaliknya, aliran Budha
Mahayana merupakan agama bagi orang awam. Bahkan para rahibnya
diharapkan merupanyai perhatian utama melayani perhatian utama untuk
melayani orang awam
Sehubungan dengan keyakinan tentang Budha, aliran-aliran Mahayana juga
mengajarkan bahwa disamping Budha-budha dunia pada hakikatnya hanyalah
merupakan banyangan Budha-budha surga. Yang dimana asal segala sesuatu yang
ada ini disebut Adhi Budha. Adhi Budha ini mula-mula melahirkan dirinya
menjadi lima Dhyani Budha (Budha surga) yang masing-masing mewakilkan
anak rohani mereka menjadi lima orang juga untuk memerintah dunia. Lima anak
lxxiv
Universitas Sumatera Utara

rohani dari Dhyani Budha ini disebut Dhyani Bodhisatwa yang jumlahnya ada
lima.
Mereka inilah masing-masing periode atas nama bapak rohani mereka
memerintah dunia, membimbing segala makhluk terutama manusia agar terhindar
dari penderitaan, serta menuntun manusia ketempat kebahagiaan, yakni surga.
Lima Dhyani Budha tersebut di samping melahirkan lima Dyani Bodhisatwa, juga
melahirkan lima Manusia Budha, yakni Budha yang benar-benar hidup sebagai
manusia Budha dalam periode yang berbeda.
Adapun periode dunia yang ditinggali ini adalah periode yang keempat.
Manusia yang mati dalam periode dunia sekarang ini akan masuk surga yang
keempat pula, yaitu surga Siddharta Gautama. Dia dibimbing oleh Dhyani
Bodhisatwa yang keempat pula. Dyani Boddhisatwa keempat itulah yang di Jawa
disebut Lokeswara yang berasal dari kata Awalokiteswara.
Dalam ajaran Mahayana nama-nama lima Dhyani Buddha itu ialah:
Wairocana,

Aksobhya,

Ratnasambhawa,

Amithaba,

dan

Amoghasiddhi.

Sedangkan lima Dhyani Boddhisatwa yang dilahirkan lima Dyani Budha ialah:
Samantabhadra, Wajrapani, Ratnapani, Awalokiteswara (Padmapani), dan
Wispapani. Adapun lima manusia Budha sebagai refleksi lima Dhyani
Boddhisatwa sebagai manusia nyata ialah: Krakucandra, Kanakamuni, Kasyapa,
Sakyamuni (Siddharta Gautama), dan Maitreya. Budha ke lima yang akan datang
(Hadiwijono, 1977:80).

lxxv
Universitas Sumatera Utara

4.4. Masuknya Ajaran Budha ke Indonesia
Agama Budha tidak pernah bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah
bangsa Indonesia. Agama ini pernah berkembang pesat dan menjadi bagian
kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada masa kejayaan Sriwijaya.
Pemikiran-pemikiran dalam agama Budha banyak berpengaruh pada banyak hal
dalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti seni patung, sastra, filsafat, dan
kerohanian. Termasuk peninggalan-peninggalan arsitektural yang masih dapat
dilihat sebagai bukti masa keemasan agama Buddha yaitu candi, seperti candi
Borobudur, candi Mendut, candi Pawon, dan lain-lain. Perkembangan agama
Budha di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh dua “kiblat” agama Budha
yaitu agama Budha “awal” yang masuk pada masa kerajaan dan “chinese
budhisme” sebagai gelombang akhir, yang dibawa oleh imigran dari Cina masuk
ke Indonesia (Sudharma, 2007:95).
Aliran awal ini masuk ke Indonesia pada masa kerajaan kurang lebih pada
abad VII. Kemungkinan pada masa ini, pangeran-pangeran yang berkuasa di
kerajaan- kerajaan kecil di indonesia dipengaruhi oleh para pendeta dan brahmana
dari India. Pendeta-pendeta ini bertanggung jawab atas pengenalan suatu agama
yang memungkinkan raja mengidentifikasi dirinya dengan dewa atau bodhisatva
sehingga memperkuat kekuasaannya. Secara awam dapat dikatakan bahwa agama
Budha yang pertama kali masuk ke Indonesia ini adalah ajaran yang lebih „murni‟
sebab tidak ada proses pencampuran faham apapun dalam ajaran, dari peninggalan
Budha terus dipertahankan oleh para Bhikkhu, hingga masuk ke Indonesia.
Kebudayaan masa ini meninggalkan karya-karya yaitu berupa seni pahat, seni
patung dan candi. Pada jaman kerajaan Sriwijaya agama Budha berkembang

lxxvi
Universitas Sumatera Utara

pusat. Kerajaan ini merupakan pusat ilmu dan kebudayaan agama Budha
khususnya di kawasan Asia Tenggara. Banyak vihara di sana bahkan terdapat juga
perguruan agama Budha. Kebudayaan ini terus bertahan sampai akhirnya tergeser
oleh masuknya agama Islam pasca runtuhnya Majapahit kurang lebih pada tahun
1478.
Sementara Chinese Budhisme masuk Indonesia melalui para imigran yang
berasal dari negeri Cina. Sebenarnya awal dari Chinese Budhisme ini juga berasal
dari India. Kemudian setelah masuk ke Cina agama ini berasimilasi dengan
budaya setempat serta agama yang ada sebelumnya yaitu agama Tao dan
Konghucu. Akibatnya adanya hubungan dan rasa toleransi antara agama-agama
tersebut kemudian terjadi peleburan antara ketiganya. Hal ini dapat dilihat dari
landasan ritual ataupun tata cara upacaranya.
Di dalam sebuah kelenteng walaupun tata upacaranya secara confucianistis
juga umumnya disediakan pula ruangan-ruangan penghormatan kepada para suci
Budhis dan Taoist. Hal ini berlangsung secara terus menerus hingga diwariskan
turun temurun sehingga fungsi tempat peribadatan yang demikian bahkan hingga
kepercayaan tersebut terbawa ke Indonesia. Dan setelah masuk ke Indonesia
bangunan ini lebih dikenal dengan tempat peribadatan “Tri Dharma” yang
maknanya secara murni tidak terlepas dari hakekat tempat untuk menghormati
para nabi dan para suci tiga agama Pada perkembangannya khususnya tahun 1965,
akibat perkembangan kebijakan politik, banyak kelenteng yang “berganti baju”
sebagai vihara. Akibat kedepannya adalah semakin kaburnya batas fungsi antara
kelenteng dan vihara (Hadiwijono, 1977:95).

lxxvii
Universitas Sumatera Utara

4.5. Tzu Chi Non Aliran dan Sekterian
Dengan beragamnya aliran dan sekte dalam Budha itu sendiri, maka yang
menjadi pertanyaan, Budha Tzu Chi yang didirikan oleh master Chen Yen masuk
dalam aliran yang manakah?. Kepala Sekretariat Tzu Chi Medan, Stevan (24
Tahun) mengatakan, Tzu Chi sebenarnya tidak masuk dalam aliran mahayana
maupun Hinayana. Karena ajaran Master Chen Yen merupakan ajaran Budha
yang sesungguhnya, bahkan ajaran Tzu Chi ini juga bukanlah suatu aliran baru
dalam ajaran Budha itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Stevan (24 tahun):
“ Tzu Chi sebenarnya tidak masuk dalam aliran mana pun, dan tidak
membuat aliran sendiri, guru kita (Master Chen Yen) mengataka Tzu
Chi itu Ekayana, ajaran Budha yang satu dana sama, tidak membawa
semangat budha aliran tertentu”
Pada dasarnya inti sari ajaran Budha sama saja baik itu pada aliran
Hinayana maupun Mahayana, namun caranya saja yang berbeda beda dalam
menerapkan ajaran Budha itu sendiri. Ajarannya sama namun penerapannya yang
berbeda-beda, jika dicontohkan bagaimana cara orang timur dan barat berpakaian,
tujuannya semua tetap sama. Tzu Chi juga bukan membuat agama baru, karena
Master Chen Yen juga berpesan agama itu mengajarkan kebaikan, tidak ada yang
mengajarkan keburukan, kalau pun ada lebih ke oknumnya saja. Dalam arus
ajaran Budha, Master Cheng Yen ini digategorikan sebagai ajaran yang datang
nya dari Taiwan. Sedangkan ajaran Budha yang umumnya diketahui dibawa oleh
dua arus utama, yakni Tibet dan Tiongkok.
Jika dilhat dari aktivitasnya, banyak bagi pengikut aliran-aliran Budha
mengidentifikasikan bahwa Tzu Chi masuk dalam aliran Mahayana, namun selalu
disampaikan bahwa Tzu Chi merupakan Ekayana, yakni tidak membawa aliran
tertentu. Sejauh ini juga hubungan Tzu Chi dengan aliran-aliran Budha yang ada
lxxviii
Universitas Sumatera Utara

juga baik, karena pada dasarnya inti ajaran Budha sama dengan yang lainnya. Para
pengikut Tzu Chi juga diperbolehkan untuk datang ke vihara Budha mana saja
untuk melakukan praktik ibadah, meskipun Tzu Chi sendiri tidak memiliki vihara,
yang ada hanyalah Griya Jing Si yakni berada langsung di Taiwan tepatnya di
kediaman Master Chen Yen sendiri. Tzu Chi sendiri dalam meningkatkan
pemahaman ajaran-ajaran Budha dengan melakukan kebaktian pada tanggal 1 dan
15 pada kelender lunar (Chines) dengan membaca Paritta (Sutra) di setiap kantor
yayasan Budha Tzu Chi di Indonesia.
Selain itu dengan tidak adanya vihara Tzu Chi di Indonesia, juga sejalan
dengan tidak adanya Biksu dan Biksuni Tzu Chi di Indonesia, seperti para biksu
yang umumnya berada di Vihara Budha aliran Mahayana maupun Hinayana.
Biksu Tzu Chi hanya berada di Taiwan. Menurut Stevan (24 Tahun) yang sudah
beberapa kali ke Taiwan melihat tempat lahir dan mulai berkembangnya Tzu Chi,
biksu Tzu Chi tidak menerima imbalan baik itu bentuk uang maupun barang dari
umat Budha yang berdoa di vihara, karena umumnya para biksu menerima
imbalan bagi umat yang berdoa di viharanya meskipun tidak ada kewajiban untuk
memberi.
Sementara biksu dan biksuni Tzu Chi menolak untuk mendapatkan
imbalan baik uang maupun barang untuk kepentingan hidupnya, sehingga untuk
memenuhi hidupnya mereka bercocok tanam menggarap lahan pertanian. Tzu Chi
hanya menerima donasi yang keperluannya ditujukan untuk misi kemanusiaan
untuk masyarakat yang berhak mendapatkannya.

lxxix
Universitas Sumatera Utara

BAB V
PROFIL TZU CHI
5.1.

Sejarah Berdirinya Budha Tzuchi
Pendiri Tzu Chi, Master Cheng Yen yang memiliki nama asli Wang Chin-

Yun dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1937 di Chingsui, Taiwan bagian tengah.
Wafatnya sang ayah di tahun 1960 menjadikan beliau memahami bahwa hidup ini
hanyalah sementara dan selalu berubah. Sejak saat itu beliau mulai mempelajari
agama Budha secara lebih serius sebelum akhirnya menjalani hidup sebagai
bhiksuni pada tahun 1964. Cheng Yen ditujukan sebagai "Master" (上人) oleh
semua pengikutnya dan menghormatinya secara penuh sebagai tokoh agama serta
pemimpin organisasi. Pengalaman hidupnya menginspirasinya untuk mencari
bentuk Budhisme baru.

Gambar 5.1 : Master Chen Yen, pendiri Tzu Chi yang saat ini menetap di
Hualien, Taiwan (Sumber : Dokumentasi Budha Tzu Chi Medan, 2016)

lxxx
Universitas Sumatera Utara

Suatu hari di tahun 1966, Master Cheng Yen bersama beberapa
pengikutnya datang ke suatu balai pengobatan di Fenglin untuk mengunjungi
salah seorang umat yang menjalani operasi akibat pendarahan lambung. Ketika
keluar dari kamar pasien, beliau melihat bercak darah di atas lantai tetapi tidak
tampak adanya pasien. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa darah
tersebut milik seorang wanita penduduk asli asal Gunung Fengbin yang
mengalami keguguran. Karena tidak mampu membayar NT$ 8.000 (sekitar Rp 2,4
juta), wanita tersebut tidak bisa berobat dan terpaksa harus dibawa pulang.
Mendengar hal ini, perasaan Master Cheng Yen sangat terguncang. Seketika itu
beliau memutuskan hendak berusaha mengumpulkan dana amal untuk menolong
orang dan menyumbangkan semua kemampuan yang ada pada dirinya untuk
menolong orang yang menderita sakit dan kemiskinan di Taiwan bagian timur.
(Tzu Chi, 2013:5)
Ketua yayasan Budha Tzu Chi, Mujianto (60 Tahun ) menyebut peristiwa
sejarah itu karena ada jalinan jodoh, di saat itu kebetulan sekali ada tiga orang
suster Katolik dari Sekolah Menengah Hualien datang berkunjung untuk menemui
Master Cheng Yen. Kemudian salah seorang suster katolik itu bertanya kepada
master, "agama Katolik kami telah membangun rumah sakit, mendirikan sekolah,
dan mengelola panti jompo untuk membagi kasih sayang kepada semua umat
manusia, walaupun Budha juga menyebut menolong dunia dengan welas asih,
tetapi mohon tanya, agama Budha mempersembahkan apa untuk masyarakat?"
Kata-kata ini sangat menyentuh hati Master Cheng Yen.
Pada saat itu umat Budha juga menjalankan kebajikan dan beramal, namun
tanpa mementingkan namanya. Dari situ membuktikan bahwa semua umat Budha

lxxxi
Universitas Sumatera Utara

memiliki rasa cinta kasih yang dalam, hanya saja terpencar dan kurang koordinasi
serta kurang terkelola. Master Cheng Yen bertekad untuk menghimpun potensi ini
dengan diawali dari mengulurkan tangan mendahulukan bantuan kemanusiaan.
Dia membayangkan sebuah dunia yang penuh dengan kebaikan, belas kasih,
sukacita dan kesetaraan yang ia berusaha untuk dicapai melalui tujuan dan misi
dari Tzu Chi itu sendiri.
Master Cheng Yen memahami bahwa kesengsaraan di dunia ini bukan
semata-mata karena kemiskinan, tetapi kurangnya tujuan yang berarti dalam
hidup. Dengan demikian, kehidupan yang paling bermakna adalah salah satunya
memberikan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Dalam rangka
mencapai kehidupan yang memuaskan, Cheng Yen mengajarkan bahwa
Budhisme harus terlibat secara aktif dalam membantu orang. Master bersumpah
untuk, memurnikan pikiran, menyelaraskan masyarakat dan membebaskan dunia
dari bencana.
Gerakan kemanusiaan Master Cheng Yen melalui Tzu Chi mendapatkan
perhatian dari dunia internasional yakni dianugerahi Eisenhower Medallion
karena kontribusi untuk perdamaian dunia pada tahun 1996 dengan dedikasinya
tanpa pamrih untuk membawa persoalan dunia damam visi kasih sayang dalam
segala tindakannya. Selain itu majalah Business Week pada edisi Juli 2000
menyebut

Cheng Yen sebagai salah satu dari lima puluh "Stars of Asia"

pemimpin di garis depan perubahan.

lxxxii
Universitas Sumatera Utara

5.2.

Cikal Bakal Tzu Chi Dimulai dari Celengan Bambu
Kegiatan kemanusiaan Tzu Chi untuk kaum fakir miskin diawali dari 6 ibu

rumah tangga yang setiap hari, masing-masing individu, merajut sepasang sepatu
bayi. Di samping itu, setiap anggota diberi sebuah celengan bambu oleh Master
Cheng Yen, agar para ibu rumah tangga setiap pagi sebelum pergi berbelanja ke
pasar, menghemat dan menabung 50 sen ke dalam celengan bambu. Dari 30
anggota bisa terkumpul 450 dolar setiap bulan, ditambah hasil pembuatan sepatu
bayi 720 dolar, maka setiap bulan bisa terkumpul sebanyak 1.170 dolar sebagai
dana bantuan untuk kaum fakir miskin.

Gambar 5.2 : Celengan Bambu yang lebih modern digunakan oleh Tzu Chi di Medan,
celengan bambu ini dipriotitasnya untuk diisi setiap hari baik untuk uang koin maupun
uang kertas. Sumber : dokumentasi pribadi, 2016

Kabar ini dengan cepat tersebar luas ke berbagai tempat di Hualien, dan
orang yang ingin turut bergabung semakin banyak. Pada tanggal 14 Mei 1966,
Yayasan Kemanusiaan Budha Tzu Chi secara resmi terbentuk. Pada awal masa
pembentukan Yayasan Budha Tzu Chi, Master Cheng Yen bersama para pengikut
mengambil tempat sempit yang tidak lebih dari 20 m2 di Vihara Pu Ming, sambil

lxxxiii
Universitas Sumatera Utara

berupaya menghasilkan produk untuk mendukung kehidupan, sambil mengurus
jalannya organisasi. Pada musim gugur tahun 1967, ibunda Master Cheng Yen
membelikannya sebidang tanah yang sekarang dimanfaatkan untuk bangunan
Griya Perenungan.
Walaupun demikian, Master Cheng Yen beserta para pengikut masih tetap
mempertahankan prinsip hidup mandiri. Biaya perluasan seluruh proyek Griya
Perenungan, selain mengandalkan pinjaman uang dari bank atas dasar hipotik hak
kepemilikan tanah tersebut, juga dari hasil usaha kerajinan tangan. Sampai kini
pun, Master Cheng Yen dan para pengikutnya tetap hidup mandiri dengan
bercocok tanam ataupun menjalankan industri rumah tangga. Mereka tidak mau
menerima sumbangan. (Tzu Chi Indonesia, 2013:8)
5.3.

Fase Perjalan Tzu Chi
Dalam sejarah perjalanan Tzu Chi dapat dibagi dalam tiga kategori yang

diantaranya pada fase pertama yakni Ideologisasi pada tahun 1966-1978, fase
kedua yakni Budhisme sebagai jalan hidup pada tahun 1979- 1986 dan terakhir
pada fase memperluas misi kemanusiaan 1987- sekarang (Tan, 2008:52)
5.3.1. Fase Ideologisasi Tzu Chi (1966-1978)
Fase awal ini dapat dikatakan sebagai fase “menanamkan ideologi” bagi
Master Chen Yen dan pengikutnya. Hal ini dilihat dari pengikut pada awal
berdirinya Tzu Chi yang terdiri dari kelompok masyarakat bawah yang berprofesi
sebagai suster, biara wati dan ibu rumah tangga dan mereka semuanya perempuan.
Aktivitas mereka yakni merajut sepatu bayi yang kemudian dijual untuk
mengumpulkan uang demi biaya kesehatan untuk orang miskin. Partisipasi para
ibu rumah tangga ini semakin banyak dan membuat celengan bambu yang pada

lxxxiv
Universitas Sumatera Utara

akhirnya mengumpulkan donasi dari 30 anggota bisa terkumpul 450 dolar setiap
bulan, ditambah hasil pembuatan sepatu bayi 720 dolar, maka setiap bulan bisa
terkumpul sebanyak 1.170 dolar sebagai dana bantuan untuk kaum fakir miskin.
Para biarawati juga terlibat di berbagai jenis pekerjaan, terutama membuat
lilin dan bubuk kacang, mereka tidak bergantung pada setiap sumbangan publik.
Misi kemanusiaan ini secara bertahap diperluas untuk mencakup pengiriman
barang bantuan bencana korban, kunjungan rumah (Home visit) untuk distribusi
barang amal mereka. Cheng Yen disebut sebagai "Huiyuan" 会员, karena mereka
bekerja sebagai misionaris sukarela. Gerakan sukarela Tzu Chi kian kuat dan
terkait dengan ajaran Buddha, dimulai dari mengumpulkan pahala hingga
mendapatkan karma baik.
5.3.2. Fase Budhisme Sebagai Jalan Hidup (1979-1986)
Fase ini Tzu Chi mulai memiliki orientasi untuk mempromosikan
“Budhisme sebagai jalan hidup”. Para anggota Tzu Chi didorong untuk
memahami lebih dalam tentang ajaran Budha, bertindak sebagai seorang
bodhisatva. Para anggota juga diajak untuk memperluas nilai-nilai Budhisme dan
peran mereka ke seluruh masyarakat. Dengan demikian, mereka akan selalu
berada dalam siklus kebaikan untuk menjangkau mereka yang yang membutuhkan
pertolongan. Doktrin agama yang baku membuat para pengikutnya memutuskan
untuk loyal dengan Tzu Chi karena sesuai dengan situasi kehidupan masyarakat
saat itu dan begitu relevan dalam kehidupan sehari-hari.

lxxxv
Universitas Sumatera Utara

Tahun 1979, pertumbuhan Tzu Chi kian meningkat yakni membangun
sebuah rumah sakit di Hualien Taiwan. Sebab Master Cheng Yen menganggap
penyakit sebagai penyebab utama dari penderitaan dan kemiskinan.
5.3.3. Fase Memperluas Misi Kemanusiaan (1987- sekarang )
Fase ini ditandai dengan pertumbuhan organisiasi yang cepat, memiliki
lembaga khsusus dan mulai memperlebar sayap Tzu Chi ke luar Taiwan. Tzu Chi
melakukan program perekrutan anggota baru, meningkatkan upaya penggalangan
dana amal. Misi Tzu Chi juga diperluas yakni misi pendidikan, kedokteran dan
kemanusiaan. Rumah sakit Tzu Chi menjadi rumah sakit terbesar, di timur
Taiwan. Pada tahun tahun 1994 mendirikan universitas. Selain itu juga
mendirikan stasuin televisi, siaran radio dan media cetak yang berbasis di Taipei,
publikasi (Tzu Chi majalah), audio (video dan kaset) yang berisi ajaran-ajaran
Master Cheng Yen dan literatur Budhis.
Saat ini di Taiwan, Tzu Chi menjalankan sebuah rumah sakit, sebuah
sekolah dasar, sekolah tinggi, dan universitas yang bekerja sama dengan
pemerintah Taiwan. Yayasan Budha Tzu Chi saat ini telah terdaftar di
Persyarikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan sudah berdiri di 52 negara termasuk di
Indonesia.
5.4. Visi Tzu Chi
Tzu Chi secara harfiah artinya memberi dengan cinta kasih. Adapun yang
menjadi visi Tzuchi yakni, dengan hati penuh welas asih dan kemurahan hati,
menjalankan

misi

untuk

menolong

sesama

makhluk

yang

menderita,

mengembangkan kebahagiaan, melenyapkan penderitaan, menciptakan dunia Tzu

lxxxvi
Universitas Sumatera Utara

Chi yang bersih dan suci, dengan kebijaksanaan menunaikan tugas yang
sempurna, mengajak kaum dermawan di seluruh dunia, bersama-sama menanam
jasa kebajikan dilahan kebajikan yang subur, dengan tekun menanam ribuan
kuntum teratai dalam hati, menciptakan bersama masyarakat yang penuh dengan
cinta kasih. Sedangkan yang menjadi misinya dibagi atas 4 misi utama antara lain,
5.5. Misi Tzu Chi
Dalam menjalankan misi amal Tzu Chi, dibagi dalam beberapa misi yakni
misi amal, misi kesehatan, misi pendidikan, misi budaya humanis, bantuan
bencana internasional, donor sumsum tulang, pelestarian lingkungan, dan relawan
komunitas. Adapun misi-misi tersebut dijelaskan dalam beberapa sub bab berikut
5.5.1. Misi Amal
A. Bakti Sosial
Dalam misi amal ini Tzu Chi menjalankan bakti sosial. Para relawan
berpedoman pada ajaran dan niat luhur Budha yaitu, “Welas asih kepada sesama
tanpa harus sedarah serta sependeritaan dan sepenanggungan”, dan menjunjung
tinggi komitmen “demi ajaran Budha, demi semua makhluk” yang diamanatkan
oleh Master Yin Shun, guru dari Master Cheng Yen.
Koordinator komite kesehatan dan pengobatan, Alice 64 tahun menyebut
bahwa Master Cheng Yen menyadari bahwa niat baik harus diwujudkan dengan
berbuat baik pada sesama. Rasa empatinya pada orang-orang miskin dan
menderita, membuatnya bertekad untuk berbuat sesuatu demi membantu mereka.
“Jenis bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat, misalnya bantuan keuangan dan sembako untuk keluarga
berpenghasilan rendah, bantuan biaya pengobatan, pendampingan saat
pengobatan, bantuan bencana, dan lain lain” kata Alice

lxxxvii
Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia, perjalanan Tzu Chi juga diawali lewat misi amal sejak tahun
1993. Dimulai dari memberikan bantuan ke beberapa panti jompo dan panti
asuhan di Jakarta dan Bekasi, hingga kini bantuan pun semakin berkembang,
mulai dari bantuan darurat, pasien dengan penanganan khusus, anak asuh, bantuan
hidup jangka panjang, hingga pembangunan perumahan dan sekolah yang terkena
bencana. Pemberian bantuan juga didasarkan pertimbangan bahwa bantuan Tzu
Chi harus langsung, tepat sasaran, dan memiliki manfaat yang nyata.
Sebelum memutuskan untuk memberikan bantuan pada Gan En Hu
(penerima bantuan), pertama-tama relawan Tzu Chi melakukan survey ke rumah
untuk memahami kondisi kehidupan mereka dan mempelajari bantuan yang
sungguh-sungguh dibutuhkan. Sepanjang memberikan bantuan, secara rutin
relawan juga melakukan kunjungan kasih ke rumah Gan En Hu. Interaksi secara
langsung ini menyentuh hati para Gan En Hu sekaligus memberi pelajaran
kehidupan bagi para relawan untuk senantiasa bersyukur akan berkah yang
dimiliki. Pada tahun 2015, Tzu Chi Medan melakukan 8 kali bakti sosial yang
tersebar di Kota Medan dan luar Kota Medan, serta 11 kali melakukan aksi donor
darah, dan 4 kali pembagian beras kepada masyarakat tidak mampu.
Tabel 5.1. Data Jumlah Bakti Sosial Tahun 2015
No

Jenis Bantuan

Jumlah

1

Bantuan Beras Rutin

1.203 Kepala keluarga (14.410 Kg)

2

Santunan hidup

418 keluarga

Sumber : Data Tzu Chi Medan, 2015

B. Tanggap Darurat Bencana

lxxxviii
Universitas Sumatera Utara

Sejak awal dimulai, Tzu Chi Indonesia berusaha untuk mengirimkan
bantuan bagi wilayah yang tertimpa bencana di berbagai pelosok di Indonesia.
Kepala Hubungan Masyarakat (Humas), Sopyan Tjiawi (38 tahun) mengatakan,
saat memberikan bantuan, insan Tzu Chi berpedoman “Datang paling awal,
pulang paling akhir”, tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga berusaha
memberikan solusi dan pendampingan. Semua itu dilakukan untuk menampilkan
kembali senyuman di wajah para korban yang tertimpa bencana.
Dalam setiap pemberian bantuan bencana, Tzu Chi memegang prinsip
“langsung, prioritas, sesuai kebutuhan, menghargai dan cepat”. Prinsip
“Langsung” mengkondisikan relawan untuk berinteraksi langsung dengan
penerima bantuan. Prinsip “Prioritas” menjadi pegangan relawan saat harus
menentukan pihak yang dibantu. Sedangkan prinsip “Menghargai” menunjukkan
bahwa Tzu Chi memandang penerima bantuan dengan penuh penghormatan
sebagai sesama manusia.
Tahun-tahun setelah terjadinya bencana Tsunami tahun 2004 diwarnai
dengan banyak bencana yang melanda Indonesia. Saat itu dibutuhkan lebih
banyak relawan yang siap dan mampu turun ke lokasi bencana segera setelah
bencana melanda. Atas dasar itulah sebuah tim tanggap darurat Tzu Chi di bentuk.
Dibidani oleh sejumlah relawan yang berpengalaman dalam bantuan bencana,
Tim Tanggap Darurat Tzu Chi dibentuk pada tahun 2007 dan dipimpin oleh Adi
Prasetio. Dengan dibentuknya tim ini, Tzu Chi berupaya untuk hadir secepat
mungkin membantu meringankan derita para korban bencana.
Stevan, (24 Tahun) mengatakan untuk tanggap darurat bencana Tzu Chi
berupaya secepatnya memberikan