Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit bagi Pasien BPJS terhadap Tindakan Medis yang Dilakukan oleh Dokter Mmuda (Studi pada RSUP Dr. M. Djamil Padang)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.”13
Hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari Bahasa Belanda,
yaitu istilah verbintennis dan overeenkomst diatur dalam Buku III
KUHPerdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam pasal 1313
KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih. Dalam membuat perjanjian, kedudukan
antara para pihak yang mengadakan perjanjian sama dan sederajat (pasal
1313 KUHPerdata). Selain itu, dalam menerjemahkan istilah verbintennis dan
overeenkomst dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga
menimbulkan perbedaan dan beragam pendapat dari para sarjana hukum.
Untuk memahami dan istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat
beberapa pendapat para sarjana tersebut adalah :
a) R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain,

dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut,
kemudian menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

13

R.Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 2000, hal 1.

15
Universitas Sumatera Utara

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.14
b) Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu
dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atas keadaan. Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang
hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini
disebut perikatan dalam arti luas.15
c) “R. M, Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum.”16
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak,
dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat
hukum tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku Ketiga Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata adalah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut “kreditur” atau si
berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut
“debitur” atau si berutang. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
dengan “prestasi”, yang menurut undang – undang dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang
2. Melakukan suatu perbuatan
3. Tidak melakukan suatu perbuatan
14

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermassa, Jakarta, 1985, hal 1.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 1982, hal 6.

16
RM. Sudikno MertoKusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988,
hal 97.
15

16
Universitas Sumatera Utara

Pengertian perjanjian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum
sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu perjanjian dibuat. Hanya
menyebutkan tentang pihak yang itu, suatu perjanjian akan lebih tegas artinya,
jika pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang
harta kekayaan.
Dalam membuat suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak
dan menganut sistem terbuka. Maksud asas tersebut, setiap orang pada dasarnya
boleh membuat perjanjian mengenai apa saja. Peraturan mengenai hukum
perjanjian pada umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap, dimana pihak
– pihak dalam membuat perjanjian, bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang
ada. Kebebasan itu, menurut undang – undang dibatasi, sepanjang tidak

bertentangan dengan undang – undang kesusilaan dan ketertiban umum.
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat
dibuat secara lisan atau tertulis. Andaikata dibuat secara tertulis, perjanjian tertulis
dimaksud bersifat sebagai pembuktian apabila terjadi perselisihan. Walaupun
untuk beberapa perjanjian tertentu, apabila bentuk tertulis itu tidak dilakukan,
perjanjian tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis itu tidak semata – mata
hanya merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan pula syarat untuk
sahnya perjanjian. Misalnya perjanjian kerja waktu tertentu wajib dibuat tertulis.
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu :


Pihak – pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak
sebagai subjek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum.

17
Universitas Sumatera Utara

Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap
untuk melakukan hubungan hukum.



Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau
dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk
mengadakan tawar – menawar diantara mereka.



Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun
oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai
tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak
boleh bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.



Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya
saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi
suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, begitu juga
sebaliknya.




Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat
sesuai dengan ketentuan yang ada.



Syarat – syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat –
syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang
– undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat
dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah
memenuhi syarat – syarat tertentu.

18
Universitas Sumatera Utara

Pengertian perjanjian terdapat batasannya diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata yang berbunyi :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
“Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya
berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang
lengkapdan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan –
kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :”17
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja
Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”
merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu
mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya
dimana setidak – tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan
diri”. Jadi jelas nampak adanya konsensus/kesepakatan antara kedua belah
pihak yang membuat perjanjian.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan. Dalam
pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :
a. Melaksanakan tugas tanpa kuasa
b. Perbuatan melawan hukum.


17

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal 78.

19
Universitas Sumatera Utara

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/perbuatan yang
tidak mengandung adanya konsensus. Pengertian perbuatan itu sendiri juga
sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan
tersebut adalah hukum.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Untuk pengertian perjanjian disini dapat diartikan juga pengertian
perjanjian

yang

mencakup


melangsungkan

perkawinan.

Padahal

perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang
menyangkut hubungan lahir batin. Sedangkan perjanjian yang dimaksud
dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan antara debitur dan
kreditur. Dimana hubungan antara kreditur dan debitur terletak dalam
lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud
perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.
4. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk
mengadakan perjanjian sehingga pihak – pihak mengikatkan dirinya itu
tidaklah jelas maksudnya untuk apa.
B. Subjek dan Objek Perjanjian
Subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terdapat dalam perjanjian.
Dalam hal ini terdapat dua macam subjek, yakni seseorang manusia atau
suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau mendapat hak atas

pelaksanaan kewajiban itu. Subjek yang berupa seorang manusia haruslah

20
Universitas Sumatera Utara

memenuhi syarat sah untuk melakukan tindakan hukum yaitu sudah dewasa
dan tidak berada dibawah pengampuan.
Subjek perjanjian dengan sendirinya sama dengan subjek perikatan yaitu
kreditur dan debitur yang merupakan subjek aktif dan subjek pasif. Adapun
kreditur maupun debitur tersebeut dapat orang – perseorangan maupun dalam
bentuk badan hukum. KUHPerdata membedakan dalam tiga golongan untuk
berlakunya perjanjian :
1. Perjanjian berlaku bagi pihak yang membuat perjanjian
2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang
mendapat hak
3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga
Sedangkan objek dalam perjanjian adalah berupa prestasi, yang berwujud
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk
memberi sesuatu ialah kewajiban seseorang untuk memberi atau menyerahkan
sesuatu, baik secara yuridis maupun penyerahan secara nyata. Perikatan untuk

berbuat sesuatu yaitu prestasi dapat berwujud berbuat sesuatu atau melakukan
perbuatan tertentu yang positif. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Dalam hal
ini terdapat tiga macam objek, yakni :
1. Barang – barang yang dapat diperdagangkan
2. Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan
3. Barang – barang tersebut sudah ada atau akan ada
dikemudian hari

21
Universitas Sumatera Utara

Mengenai objek perjanjian, diperlukan beberapa syarat untuk menentukan
sahnya suatu perikatan, yaitu :
a. Objeknya harus tertentu. Syarat ini hanya diperlukan bagi perikatan yang
timbul dari perjanjian.
b. Obyeknya harusnya diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan
c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang. Hal ini dikarenakan suatu hubungan
hukum yang ditimbulkan dari adanya perikatan berada dalam lapangan
hukum harta kekayaan.
d. Obyeknya harus mungkin. Orang tidak dapat mengikatkan diri kalau
obyek tidak mungkin diberikan.

C. Syarat sahnya perjanjian
Untuk syarat sahmya suatu perjanjian didalam pasal 1320 KUH Perdata
diperlukan empat syarat :
1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek tertentu
4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan
perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu secara
timbale balik. Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah
pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu
pihak saja, ataupun tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya
cacat bagi perwujudan kehendak.

22
Universitas Sumatera Utara

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian
kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak kesatu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa
dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara
(formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain
sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu,
maka salahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau
berlakulah ia sebagai undang-undang. 18
Kecakapan para pihak pembuat perjanjian
Subjek untuk melakukan perjanjian harus cakap merupakan syarat umum
untuk melakuakan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,
sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peratutan perundang-undangan
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Subjek hukum terbagi dua yaitu, manusia dan badan hukum. Menurut
pasal 329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan,
jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Jadi menurut ketentuan
pasal ini, semuaq orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri
dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang
untuk melakukan perbuatan hukum yang dinyatakan oleh undang-undang.
Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barag yang menjadi objek suatu
perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian
yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk
memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

18

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal.4

23
Universitas Sumatera Utara

Menurut pasal 1333 KUH Perdata “Barang yang menjadi objek suatu
perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat
dihitung dan ditentukan.”
Sebelumnya dalam pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok
persetujuan. Dengan demikian barang-barang diluar perdagangkan tidak dapat
menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk
keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedunggedung umum dan udara.
Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya
tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau
jenis objek merupakan syarat yang mengikat perjanjian.
Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal ini tidak lain adalah isi dari perjanjian . jadi dalam hal ini
harus dihilangkan salah sangka bahwa maksud sebab itu disini adalah suatu
sebab yang menyebabkakan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan
hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab yang halal.
Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenakan oleh undang-undang
menurut pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan
dengan undang-undang ketertiban umum, dan kesusilaan. Perrjanjian itu
dianggap tidak pernah ada. dengan kibat hukum terhadap perjanjian bercausa
tidak halal, perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap
24
Universitas Sumatera Utara

tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untk memnuntut
pemenuhan perjanjian di muka hakim.
D. Jenis-jenis Perjanjian
Mengenai jenis-jenis perjanjian ini diatur dalam buku III KUH Perdata,
peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut
juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti
bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian yang ada. Oleh karena itu
disini dimungkinkan para pihak itu untuk mengadakan perjanjian-perjanjian
yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu :
1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata. Yang termasuk kedalam perjanjian ini, misalnya jualbeli, tukar-menukar, sewa menyewa dan lain-lain.
2. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur
dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan
sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para
pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.19
Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 macam, yaitu:
1. Perikatan untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang
Ketentuan ini diatur dalam KUH Perdata pasal 1235 sampai dengan pasal
1238 KUH Perdata. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli,
tukar menukar, penghibanhan, sewa menyewa, pinjam-pinjaman, dan lainlain.
2. Perikatan untuk berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi
dan bunga.”

19

R.M.Suryidiningrat, perikatan-perikatan Bersumer Perjanjian, Tarsito, bandung, 1978, hal.10.

25
Universitas Sumatera Utara

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian
ini adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian
untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis dan lain-lain.
Menurut Mariam Darus jenis-jenis perjanjian:
a. Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak.
b. Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang memberikan keuntungan
bagi salah satu pihak.
c. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama
adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah
perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang
diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan
perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur didalam
KUH Perdata, akan tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah dari
perjanjian ini tidak terbatas dan lahirnya berdasarkan asas kebebasan
berkontrak.
d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan
adalah perjanjian yang mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu
kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian oleh pihakpihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak
lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)
e. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsesual adalah
perjanjian diantara kedua belah pihak yang telah mencapai persesuian
26
Universitas Sumatera Utara

kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata ini sudah
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata). Selain itu, ada pula perjanjian
yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan uang, mislanya
perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUH Perdata). Perjanjian terakhir
ini dinamakan perjanjian riil.
f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Jenis perjanjian istimewa
adalah :
1. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian oleh para pihak yang
membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya
perjanjian pembebasan uang;
2. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian para pihak yang
menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
3. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, pasal
1774 KUH Perdata;
4. Perjanjian sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum
public, misalnya perjanjian pemborong.
Selanjutnya, berhubungan dengan pembedaan perjanjian timbale balik dengan
perjanjian Cuma-Cuma dan pernjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus
Badrulzaman, perjanjian dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran
perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian, misalnya pemilik hotel
yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual
beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada
berbagai faham, yaitu :

27
Universitas Sumatera Utara

a. Faham pertama : mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari
peejanjian khusus tetap ada (contractus sui generic)
b. Faham kedua : mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai
adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (Teori
absorsi)
c. Faham ketiga : mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang
yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adlah ketentuan undangundang yang berlaku untuk itu (Teori combinate).
Terlepas dari pembagian jenis perjanian yang dikemukakan para sarjana
diatas yang terpenting adalah mengetahui pengertian dari jenis perjanjian itu
sendiri, sehingga tidak terdapat penafsiran yang berlainan.
E. Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Dapat
dikatakan wanprestasi, apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang
dijanjikan. “Ia alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar
perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya.”20
Dengan demikian, wanprestasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh
pihak debitur atas perjanjian yang ia buat bersama-sama dengan pihak
kreditur. Ada 4 macam wanprestasi yaitu :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
20

R.M.Suryidiningrat, perikatan-perikatan Bersumer Perjanjian, Tarsito, bandung, 1978, hal.45

28
Universitas Sumatera Utara

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya..
Akibat dari perbuatan wanprestasi atau kelalaian dilakukan, dapat
mengakibatkan

kerugian

bagi

pihak

yang

dengan

sungguh-sungguh

melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Bagi pihak yang
dirugikan, dapat melakukan upaya hukum dengan sungguh-sungguh
melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Bagi pihak yang
dirugikan , dapat melakukan upaya hukum dengan tuntutan ganti kerugian,
dengan terlebih dahulu memberikan teguran secara tertulis. Dengan teguran
terulis tersebut, maka dapat dijadikan alat bukti bahwa pihak yang lain telah
melakukan wanprestasi atas perjanjian yang ia buat bersamanya.
Didalam suatu perikatan apabila si berutamg karena kesalahannya tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan bahwa siberutang itu
wanprestasi atau lalai/ingkar. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia
melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Didalam kenyataannya adalah sukar untuk menetukan kapan seseorang
berhutang itu dikatakan melakukan wanprestasi, karena sering kali ketika
mengadakan

perjanjian

pihak-pihak

tidak

menetukan

waktu

untuk

melaksanakan perjanjian itu. Karena wanprestasi mempunyai akibat yang
begitu penting maka harus ditetapkan dahulu apakah si berhutang melakukan

29
Universitas Sumatera Utara

wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di
depan hakim.
“Terhadap kelalaian atau kealpaan si berhutang (di berhutang atau debitur
sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi
atau hukuman. Hak-hak kreditur kalau terjadi ingkar janji adalah sebagai
berikut” : 21
1. Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan (nakomen) ;
2. Hak untuk menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu
bersifat timbale balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding)
3. Hak untuk menuntut ganti rugi (Schade vergoeding)
4. Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan disertai dengan ganti rugi
5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang dimaksud
adalah kerugian yang nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat
perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Jumlahnya
ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan kekayaan sesudah
terjadinya ingkar janji dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi
ingkar janji.
Pada dasarnya asas ganti rugi yang laxim dipergunakan adalah uang,
oleh karena menurut ahli-ahli Hukum Perdata maupun yurisprudensi uang
merupakan alat yang merupakan alat yang paling praktis, yang paling
sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain
21

R.M.Suryidiningrat, perikatan-perikatan Bersumer Perjanjian, Tarsito, bandung, 1978, hal 21.

30
Universitas Sumatera Utara

uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebgai bentuk ganti
rugi, yaitu pemulihan keadaan semula ( in natura ) dan larangan untuk
mengulangi. Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan
uang paksa tetapi uang paksa bukan merupakan bentuk atau wujud ganti
rugi.
Akibat yang sangat penting dari tidak terpenuhinya perikatan adalah
kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang
dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur harus terlebih
dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Jadi maksud “berada dalam
keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat
selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi.
Kerugian yang dimaksud adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau
diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan yang timbul sebagai akibat
dari ingkar jani. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara
keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan keadaan kenyataan
seandainya tidak terjadi ingkar janji.
Tetapi tidak semua kerugian dapat dimintakan pengtapkan, gantian
Undang-undang

dalam

hal

ini

mengadakan

pembatasan

dengsn

menetapkan, hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada
waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap
sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat
dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa
uang tunai, maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian adalah

31
Universitas Sumatera Utara

bunga uang menurut penetapan undang-undang yang berjumlah 6%
setahun. Oleh karena bunga adalah merupakan apa yang harus dibayar si
berutang karena kelalaiannya, maka bunga itu dinamakan bunga moratoir.
Kerugian yang jumlahnya melampaui batas yang dapt diduga tidak boleh
ditimpakan kepada debitur.
F. Pembelaan debitur yang dianggap lalai
Seorang debitur yang dituduh lalai dapat membela diri dengan mengajukan
beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman itu.
Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu :
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force
majeur);
2. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai
(exceptio non adimpleti contractus);
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (pelepasan hak : bahasa Belanda ; rechtsverwerking).
1. Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).
Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa
tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama
sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata mengatur pembebasan debitur dari
kewajiban mengganti kerugian,karena suatu kejadian yang dinamakan keadaan
memaksa. Dua pasal tersebut merupakan doublure, yaitu dua pasal yang
mengatur satu hal yang sama. Jadi keadaan memaksa adalah suatu kejadian

32
Universitas Sumatera Utara

yang tak terduga, tak disengaja dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada
debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak menepati janjinya.
Ada keadaan tertentu di mana terjadi suatu peristiwa yang tak terduga di
luar kesalahan pihak debitur, tetapi segala akibat peristiwa itu harus dipikulkan
kepadanya karena ia telah menyanggupinya atau karena penanggungan segala
akibat itu termaktub dalam sifatnya perjanjian.
2. Exceptio non adimpleti contractus
Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar
ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak
menetapi janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu
asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya.
Prinsip „menyeberang bersama-sama‟ dalam jual beli ditegaskan dalam
pasal 1478 KUHPer :
“Si pejual tidak diwajibkan memyerahkan barang-barangnya, jika si
pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak
mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.”
Prinsip exceptio non adimpleti contractus ini tidak disebutkan dalam pasal
UU, melainkan merupakan hukum yurisprudensi, yaitu suatu peraturan hukum
yang telah diciptakan oleh para hakim.
3. Pelepasan hak (“rechtsverwerking”)
Merupakan suatu sikap pihak kreditur dari mana pihak debitur boleh
menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.
Misalnya, si pembeli, meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi
kualitas, tidak menegur si penjual atau mengembalikan barangnya, tetapi

33
Universitas Sumatera Utara

barang itu dipakainya. Atau ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap tersebut
dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika ia
kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu
sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.

G.Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian juga memiliki sinonimlain, seperti berakhirnya
kontrak dan hapusnya perikatan (KUH Perdata pasal 1381). Secara umum,
berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya suatu perjanjian yang
dibuat diantara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur, tentang sesuatu
hal. Pihak kreditur dipahami sebagai pihak atau orang yang berhak atas suatu
prestasi sesuai dengan isi perjanjian. Pihak debitur adalah pihak yang wajib
untuk memenuhi suatu prestasi sesuai dengan saksama maka pemenuhan itu
adalah tanda pengakhiran suatu perjanjian secara otomatis.
1. Dasar Hukum Berakhirnya Perjanjian\
Sampai sat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai landasan
berakhirnya perjanjian masih merujuk pada pasal 1381 KUH Perdata, yang
dalan beberapa hal relah ketinggalan zaman. Menurut pasal 1381 KUH
Perdata,
“ Perikatan-perikatan dapat hapus:


Karena pembayaran;



Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan;



Karena pembaruan utang;

34
Universitas Sumatera Utara



Kerena perjumpaan utang atau kompensasi;



Karena percampuran utang;



Karena pembebasan utangnya;



Karena musnahnya barang yang terutang;



Karena kebatalan atau pembatalan;



Karena berlakunya suatu syarat batal;



Karena lewartnya waktu.”

Namun sebagai pedoman umum, pasal-pasal KUH Perdata tentang
berakhirnya perjanjian (perikatan) relative luas, yang singkatnya dituangkan
dalam ketentuan.
2. Berakhir karena undang-undang dan perjanjian
Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUH Perdata tidak menjelaskan
apakah karena perjanjian atau undang-undang. Namun, secara tersirat KUH
Perdata telah mengatakan atau memuat hal itu secara insklusif. Dari praktik,
dapat diamati perjanjian yang berakhir karena undang-undang adalah :
a. Konsinyasi;
b. Musnahnya barang terutang, dan;
c. Daluwarsa.
Adapun perjanjian yang berkhirnya karena perjanjian adalah :
a. Pembayaran;
b. Novasi (pembaruan utang);
c. Kompensasi;
d. Percampuran utang;
e. Pembebasan utang;
f. Kebatalan atau pembatalan; dan
g. Berlakunya syarat batal.

35
Universitas Sumatera Utara

Dalam praktik, ditentukan juga fakta cara berakhirnya perjanjian yang disebabkan
oleh :


Jangka waktunya berakhirnya;



Dilaksanakannya objek perjanian;



Kesepakatan kedua belah pihak;



Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak,



Adanya keputusan pengadilan.

Demikian garis besar bagaimana dan kapan berakhirnya suatu perjanjian
dengan segala konsekuensi hukumnya.

36
Universitas Sumatera Utara