Hubungan Iklim (Suhu, Curah Hujan,Kelembaban dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Penyakit ISPA Bukan Pneumonia di Kota Gunung Sitoli Tahun 2012-2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ISPA
2.1.1 Definisi ISPA
Menurut Depkes RI (2007) Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat
dengan ISPA, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute
Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,
saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian
bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit
yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari.
Jadi, ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14
hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung
sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang

telinga tengah dan selaput paru (Rasmaliah, 2004).
ISPA bukan pneumonia adalah infeksi yang menyerang bagaian saluran
pernafasan atas (mulai dari hidung sampai bagian faring). ISPA bukan pneumonia

7
Universitas Sumatera Utara

mencakup kelompok balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkn adanya tarikan dinding dada
bagian bawah arah dalam. Contoh dari ISPA bukan pneumonia adalah batuk pilek
biasa (common cold), pharingitis, tonsilitis dan otitis ( Kunoli F, 2013).
2.1.2 Epidemiologi ISPA
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk pilek
pada balita di Indonesia diperkirakan tiga sampai enam kali per tahun (rata-rata
lima kali pertahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk
pilek sebanyak tiga sampai enam kali setahun. Dari hasil pengamatan
epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih
besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat
tinggal dan pencemaran lingkungan di kota lebih tinggi daripada di desa
(Widoyono, 2008).

Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang
kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Dari hasil
survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa morbiditas
pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,2% dan pada balita sebesar 40,6%,
sedangkan angka mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24% dan pada
balita sebesar 36%.
Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada bayi
akibat penyakit ISPA menduduki urutan pertama (36%) dan angka mortalitas pada
balita menduduki urutan kedua (13%). Di Jawa Tengah pada tahun 1999 penyakit
ISPA selalu menduduki rangking 1 pada 10 besar penyakit pasien rawat jalan di
puskesmas (Widoyono,2008)

8
Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain
golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,

Herpesvirus. Jamur penyebabnya antara lain : Aspergillus sp, Candida albicans,
Histoplasma ( Widoyono, 2008 ).
2.1.4 Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA menurut Firdaus J. Kunoli (2013) terdiri dari :
a. Bukan Pneumonia : mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang
tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah arah dalam. Contohnya adalah
common cold, faringitis, tonsilitis, dan otitis.
b. Pneumonia : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas.
Diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat pada anak
berusia dua bulan sampai < 1 tahun adalah 50 kali per menit dan untuk anak
usia 1 sampai < 5 tahun adalah 40 kali per menit.
c. Pneumonia Berat : didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah
dalam (chest indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai < 5 tahun. Untuk
anak berusia < 2 bulan, diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya
napas cepat yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih,
atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam
(severe chest indrawing).


9
Universitas Sumatera Utara

2.1.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Umur
Klasifikasi penyakit ISPA berdasarkan umur menurut WHO (2003) terdiri
dari :
a) Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
1. Pneumonia berat : apabila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti : berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernafasan
cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis
sentral (pada lidah), serangan apnoe, distensi abdomen dan abdomen tegang.
2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
b) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
1. Pneumonia sangat berat : batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.
2. Pneumonia berat : batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,

tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
3. Pneumonia : batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada. Pernafasan seharusnya kurang
dari 50 kali per menit pada anak usia 2 bulan hingga 12 bulan, kurang dari 40
kali per menit pada anak usia 12 bulan hingga 5 tahun.

10
Universitas Sumatera Utara

5. Pneumonia persisten : anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10 - 14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
2.1.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
Menurut Depkes (2004) penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi
anatominya, yaitu:
a) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis

media, faringitis (merupakan ISPA bukan pneumonia).
b) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas seperti : epiglotitis,
laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
2.1.5 Cara Penularan Penyakit ISPA
Salah satu penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah
tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan oleh karena itu
penyakit ISPA ini termasuk golongan air borne disease. Adanya bibit penyakit di
udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang melayang di udara,
seluruhnya dapat berupa bibit penyakit atau hanya sebagian daripadanya. Adapun
bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada 2, yakni droplet nuclei (sisa
dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan
melayang di udara) dan dust (campuran antara bibit penyakit yang melayang di

11
Universitas Sumatera Utara

udara). Penularan melalui udara adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak
dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi (Ditjen PP & PL, 2004).

2.1.6 Diagnosa ISPA
Menurut Depkes (2002) dalam Mairusnita (2007) diagnosis etiologi
pneumonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar
diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil
yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia,
hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen
darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi
pneumonia.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan
jenis bakteri penyebab pneumonia pada balita, namun disisi lain dianggap
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata
untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri
penyebab pneumonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian
asing (melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus dan Hemophylus influenzae
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara
berkembang. Di negara maju pneumonia pada balita disebabkan oleh virus.
Diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :

1. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih.

12
Universitas Sumatera Utara

2. Pada anak usia 2 bulan - < 1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
3. Pada anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.
2.1.7 Tanda dan Gejala ISPA
Depkes (2004) membagi tanda dan gejala ISPA menjadi tiga yaitu ISPA
ringan, ISPA sedang dan ISPA berat.
a. Gejala ISPA ringan
1. Batuk
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada waktu
berbicara atau menangis)
3. Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
4. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.


b. Gejala ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
1. Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih untuk umur
2 - < 12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - < 5 tahun.
2. Suhu tubuh lebih dari 39°C
3. Tenggorokan berwarna merah
4. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak

13
Universitas Sumatera Utara

5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
6. Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
c. Gejala ISPA Berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejalagejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :
1. Bibir atau kulit membiru
2. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun


3. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
4. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas
5. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
6. Tenggorokan berwarna merah

2.1.8 Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
Menurut teori Gordon dalam Soemirat (2010), mengemukakan bahwa
timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit
(agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini
disebut segitiga epidemiologi (epidemiologi triangle). Hubungan ketiga faktor
tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab
penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan
sebagai penumpunya.
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan
seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat. Perubahan keseimbangan

14
Universitas Sumatera Utara


akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan
menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang
menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas
sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat.
Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam
keadaan sehat (Soemirat, 2010).
Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan
agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit. Pada prakteknya seseorang
menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
2.1.8.1 Agent
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada apabila penyakit
timbul. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat timbul
atau manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi (Soemirat, 2010).
2.1.8.2 Host (Pejamu)
1. Umur
Hasil SDKI 1991 menunjukkan prevalensi pneumonia paling tinggi yaitu
kelompok umur 12 - 23 bulan sedangkan hasil SDKI 1994 dan 1997 prevalensi

15
Universitas Sumatera Utara

paling tinggi pada kelompok umur 6 - 11 bulan. Berdasarkan hasil penelitian
Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita
penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun
sebesar 82,1% sementara kelompok umur kurang dari dua bulan sebesar 17,9%.
2. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Menurut WHO (2002), bayi yang berat lahirnya 2500 gram atau kurang
(tanpa melihat masa kehamilan) digolongkan sebagai bayi dengan BBLR dan
perlu perawatan ekstra. Bayi yang berat lahirnya kurang dari 2000 gram
merupakan bayi yang beresiko tinggi. Mereka sangat rentan dan tidak matang
secara anatomis maupun fungsional. Selain itu ketahanan tubuhnya terhadap
infeksi juga rendah sehingga mudah untuk terjangkit berbagai penyakit infeksi.
3. Status Gizi
Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya
tahan dan respons imunologis terhadap berbagai penyakit dan keracunan. Hasil
penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai cross sectional,
berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA dengan status gizi anak
balita menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit ISPA didapatkan
2,19 kali mempunyai status gizi tidak baik dibandingkan dengan anak balita yang
tidak menderita penyakit ISPA (p = 0.038)
4. Asi Eksklusif
Prevalensi ASI eksklusif di Indonesia menurut Riskesdas 2010 sebesar
15,3%. Pemberian ASI yang tidak eksklusif dan pemberian makanan tambahan
dibawah usia 6 bulan dapat mengakibatkan bayi mudah terserang penyakit infeksi.
Berdasarkan hasil penelitian Liris Nurfi’ah (2015) di Bogor menunjukkan bahwa

16
Universitas Sumatera Utara

bayi dua tahun yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan mendapatkan pola asuh
makan kurang, cenderung lebih banyak yang mengalami ISPA dan diare dalam
satu bulan terakhir.
5. Jenis Kelamin
Berdasarkan pada Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional
Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 – 2009, anak laki-laki memiliki
resiko lebih tinggi dari pada anak perempuan untuk terkena ISPA. Berdasarkan
hasil penelitian Mairusnita (2007) bahwa balita laki – laki lebih rentan untuk
menderita penyakit ISPA dibandingkan dengan balita perempuan.

2.1.8.3 Lingkungan (Environment)
1. Lingkungan dan Iklim Global
Pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang
sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan
terutama penyakit ISPA. Menurut Rifai (2004) yang mengutip pendapat
Pudjiastuti et.al menyatakan bahwa sumber dan jenis pencemaran dari dalam
ruang dibagi dua bagian yaitu:
a. Pencemaran yang dilepas dari bangunan dan isinya, seperti asbeston,
formaldehida, senyawa organik mudah menguap dan ozon.
b. Pencemaran akibat aktivas manusia, seperti yang berasal dari asap tembakau,
kegiatan memasak di dapur, obat nyamuk dan pembersihan ruang.
Demikian pula perubahan iklim global terutama suhu, kelembaban, dan
curah hujan, merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA. ISPA
dan Pneumonia sangat rentan terjadi pada bayi dan balita. Daya tahan tubuh dan

17
Universitas Sumatera Utara

juga polusi menjadi faktor pendukung terjadinya ISPA, seperti contohnya ISPA
bagian atas seperti batuk dan pilek yang umunya terjadi karena ketahanan tubuh
kurang.
2. Kepadatan hunian
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
standar akan menimbulkan ruangan penuh sesak sehingga oksigen berkurang dan
karbon dioksida meningkat dalam ruangan tersebut. Kepadatan hunian dapat
mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah dimana semakin banyak jumlah
penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah mengalami
pencemaran. Menurut Soekidjo (1995) dalam Indra Cahaya dkk (2005), luas
bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni tidaklah sehat karena
dapat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan
penyakit infeksi.
3. Luas Ventilasi
Salah satu upaya mencegah terjadinya ISPA adalah pemasangan genteng
kaca dan perbaikan ventilasi yaitu dengan membuat jendela yang dapat di buka
agar terjadi pertukaran udara dalam ruangan. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI (Kepmenkes RI No 829/MENKES/SK/VII/1999) luas minimal
ventilasi adalah 10% dari luas lantai. Pengaturan letak ventilasi sedapat mungkin
dijauhkan dari sumber pencemar, pengaturan waktu masuk udara segar misalnya
pada pagi hari diupayakan di buka agar terjadi pertukaran udara dalam ruangan.
Berdasarkan hasil penelitian Istiana Nurhidayati (2009) menunjukkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi yang memenuhi syarat
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko

18
Universitas Sumatera Utara

Kabupaten Klaten (p value = 0,000, OR = 5,125) artinya bahwa balita yang
tinggal di rumah dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki resiko
terkena penyakit ISPA 5,125 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal
di rumah dengan luas ventilasi memenuhi syarat.
2.1.9 Pencegahan dan Penatalaksanaan Penyakit ISPA
2.1.9.1 Pencegahan Penyakit ISPA
Bagian yang terpenting dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit
menular adalah dengan memutus rantai penularan. Pemutusan rantai penularan
dapat dilakukan dengan menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan
penjamu. Pelaksanaan pengendalian ISPA memerlukan komitmen pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dukungan dari lintas program, lintas sektor serta peran
serta masyarakat termasuk dunia usaha (Kemenkes Ditjen PP & PL, 2011).
Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyakit ISPA sebagai berikut :
1. Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Promosi kesehatan dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat
dilakukan berbagai cara diantaranya :
a. memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan
cara-cara pemberantasan serta manfaat menegakkan diagnosis dini dari
penyakit ISPA
b. pendidikan kesehatan kepada masyarakat
2. Perlindungan Khusus
Sasaran pada perlindungan khusus yang utama adalah ditujukan kepada
pejamu (host) dan penyebab untuk meningkatkan daya tahan tubuh maupun untuk

19
Universitas Sumatera Utara

mengurangi resiko terhadap penyakit ISPA. Perlindungan khusus dalam
mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan berbagai cara diantaranya :
a. Memberikan imunisasi lengkap kepada bayi
b. Pemberian ASI eksklusif kepada bayi yang baru lahir selama 6 bulan
3. Perbaikan Lingkungan
Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki khususnya lingkungan
perumahan, antara lain:
a. Rumah harus berjendela agar cukup aliran dan pertukaran udara cukup baik
b. Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam rumah. Orang dewasa
tidak boleh merokok dekat anak atau bayi.
c. Rumah harus kering, tidak boleh lembab
d. Sinar matahari pagi harus diusahakan agar dapat masuk ke rumah.
e. Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni
f. Kebersihan di dalam dan di luar rumah harus dijaga, rumah harus mempunyai
jamban sehat dan sumber air bersih.
g. Air buangan dan pembuangan harus diatur dengan baik, agar nyamuk, lalat dan
tikus tidak berkeliaran di dalam dan disekitar rumah
4. Diagnosis dini dan pengobatan segera
Diagnosis dini dan pengobatan segera dalam mencegah terjadinya penyakit
ISPA dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya :
a. Mencari kasus sedini mungkin,
b. Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan,
c. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita untuk diawasi
agar bila penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan,

20
Universitas Sumatera Utara

d. Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita.
2.1.9.1 Penatalaksanaan (Widoyono, 2008)
1. Bukan Pneumonia dan Pneumonia Berat umur < 2 bulan
a. Bukan Pneumonia  perawatan di rumah
Tindakan yang dilakukan :
1. beri nasihat cara perawatan di rumah
- jaga agar bayi tidak kedinginan
- teruskan pemberian ASI dan berikan ASI lebih sering
- bersihkan hidung bila tersumbat
2. anjurkan ibu untuk kembali kontrol, bila :
- keadaan bayi memburuk
- napas menjadi cepat
- bayi sulit bernapas
- bayi sulit untuk minum
b. Pneumonia Berat  di rujuk ke rumah sakit
1. kirim segera ke sarana rujukan
2. beri antibioti satu dosis
2. Bukan Pneumonia, Pneumonia dan Pneumonia Berat umur 2 bulan
sampai < 5 Tahun
a. Bukan Pneumonia  perawatan di rumah
Tindakan yang dilakukan :
1. Jika batuk berlangsung selama 30 hari, rujuk untuk pemeriksaan lanjutan
2. Obati penyakit lain bila ada
3. Nasihati ibu untuk melakukan perawatan di rumah

21
Universitas Sumatera Utara

4. Obati bila demam
5. Obati bila ada wheezing
b. Pneumonia  diobati + diberi nasihat tentang perawatan di rumah
Tindakan yang dilakukan :
1. Nasihati ibu untuk melakukan perawatan di rumah
2. Beri antibiotik selama 5 hari
3. Anjurkan ibu untuk kontrol setelah 2 hari atau lebih cepat bila keadaan anak
memburuk
4. Obati bila demam
5. Obati bila ada wheezing
c. Pneumonia Berat  di rujuk ke rumah sakit
Tindakan yang dilakukan :
1. Rujuk segera ke sarana kesehatan
2. Beri antibiotik satu dosis bila jarak sarana kesehatan jauh
3. Obati bila demam
4. Obati bila ada wheezing
2.2 IKLIM
2.2.1 Defenisi Iklim
Klimatologi adalah ilmu yang membahas dan menerangkan tentang iklim,
bagaimana iklim itu dapat berbeda pada suatu tempat dengan tempat lainnya. Hal
yang sangat erat hubungannya dengan ilmu ini adalah ilmu cuaca, dimana cuaca
dan iklim merupakan salah satu komponen ekosistem alam sehingga kehidupan
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan tidak terlepas dari pengaruh atmosfer
dengan segala prosesnya (Kartasapoetra, 2004 ).

22
Universitas Sumatera Utara

Menurut National Research Council US (2001) dalam Achmadi (2014),
Iklim adalah rata - rata cuaca pada suatu wilayah tertentu. Rata - rata cuaca
meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah
hujan yang terjadi di permukaan bumi. Cuaca lebih menggambarkan variasi
beberapa kondisi variabel secara harian seperti cuaca cerah, mendung, panas dan
lain-lain. Sedangkan musim merupakan kondisi harian dalam kurun waktu
tertentu misalnya musim kemarau, musim hujan, musim peralihan dan semuanya
ini disebut iklim. Dalam pengertian iklim juga dikenal iklim secara spasial,
misalnya ikim pegunungan, iklim daerah pantai.
Iklim berbeda dengan cuaca, menurut Lakitan (2002) cuaca adalah kondisi
atmosfer yang dinamis berubah - ubah dalam waktu singkat sedangkan iklim
adalah karakteristik cuaca pada suatu wilayah yang didasarkan atas data yang
terkumpul selama kurun waktu yang lama (sekitar 30 tahun). Iklim merupakan
kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan beberapa unsur yaitu radiasi
matahari/lama

penyinaran,

temperatur/suhu

udara,

kelembaban,

awan,

presipitasi/hujan, evaporasi/penguapan, tekanan udara dan angin (Kartasapoetra,
2004).
Beberapa faktor berperan menentukan perbedaan iklim antara wilayah yang
satu dengan wilayah lainnya di muka bumi. Faktor-fakor yang dominan perannya
adalah (Lakitan, 2002) :
1. posisi relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang)
2. keberadaan lautan atau permukaan air lainnya
3. pola arah angin
4. rupa permukaan dataran bumi, dan

23
Universitas Sumatera Utara

5. kerapatan dan jenis vegetasi
Menurut Kartasapoetra (2004 ) perbedaan iklim disebabkan karena adanya
faktor iklim atau disebut juga dengan pengendali iklim yaitu :
1. ketinggian tempat
2. latitude atau garis lintang
3. daerah tekanan
4. arus laut
5. permukaan tanah
2.2.2 Unsur – Unsur Iklim
2.2.2.1 Suhu Udara atau Temperatur
Suhu merupakan ukuran relatif dari kondisi termal yang dimiliki oleh suatu
benda. Jika dua benda bersinggungan dan tidak terjadi perpindahan panas antara
kedua benda tersebut maka kedua benda ini disebut berada pada kondisi setara
termal (Lakitan, 2002). Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur
berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang
biasa digunakan adalah derajat celcius (ºC), sedangkan di Inggris dan beberapa
negara lainnya dinyatakan dalam derajat fahrenheit (ºF) (Kartasapoetra, 2004).
Faktor- faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi, antara lain :
1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari dan per musim
2. Pengaruh daratan dan lautan
3. Pengaruh ketinggian tempat. Tentang hal ini Braak memberikan rumusan
sebagai berikut semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhu
akan semakin rendah

24
Universitas Sumatera Utara

4. Pengaruh angin secara tidak langsung misalnya angin yang membawa panas
dari sumbernya secara horizontal
5. Pengaruh panas laten yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer
6. Penutup tanah yaitu tanah yang ditutup vegetasi yang mempunyai temperatur
yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi
7. Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi
8. Pengaruh sudut datang sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat
suhu lebih panas daripada yang datangnya miring.
Data suhu berasal dari suhu rata-rata harian, bulanan, musiman dan tahunan
(Kartasapoetra, 2004).
1. Suhu rata - rata harian yaitu
a) dengan menjumlahkan suhu maksimum dan minimum hari tersebut,
selanjutnya dibagi dua dan
b) dengan mencatat suhu setiap jam pada hari tersebut selanjutnya dibagi 24
2. Suhu rata - rata bulanan yaitu dengan menjumlahkan rata - rata suhu harian
selanjutnya dibagi 30
3. Suhu rata - rata tahunan yaitu dengan menjumlahkan suhu rata - rata bulanan
yang selanjutnya dibagi 12
4. Suhu normal adalah angka rata - rata suhu yang diambil dalam waktu 30 tahun
2.2.2.2 Curah Hujan
Menurut Kartasapoetra (2004) hujan merupakan salah satu bentuk
presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat diatmosfer. Bentuk
presipitasi lainnya adalah salju dan es. Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan
titik-titik kondensasi, amoniak, debu, dan asam belerang. Titik – titik kondensasi

25
Universitas Sumatera Utara

ini mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara. Berdasarkan terjadinya
proses presipitasi atau hujan dapat dibagi menjadi :
1. Hujan konveksi, yaitu suatu proses hujan yang berdasarkan atas pengembangan
udara yang dipanaskan jadi akan terus naik. Pada waktu naik temperatur akan
turun sampai suatu saat terjadi kondensasi maka timbullah hujan.
2. Hujan orografis, yaitu suatu proses hujan dimana udara terpaksa naik karena
adanya peghalang, misalnya gunung. Pada lereng gunung yang menghadap
angin datang akan mempunyai hujan yang tinggi sedangkan pada lereng
sebelahnya di mana udara turun akan terjadi panas yang sifatnya kering.
3. Hujan frontal, banyak terjadi pada daerah lintang pertengahan di mana
temperatur massa udara tidak sama akibatnya apabila massa udara yang panas
naik sampai kemassa udara yang dingin akan terjadi kondensasi dan timbullah
hujan.
Awan yang terbentuk sebagai hasil dari kondensasi uap air akan terbawa
oleh angin, sehingga berpeluang untuk tersebar ke seluruh permukaan bumi. Jika
butiran air atau kristal es mencapai ukuran yang cukup besar, maka butiran air
atau kristal es tersebut akan jatuh kepermukaan bumi. Proses jatuhnya butiran air
atau kristal es ini disebut presipitasi atau curah hujan (Lakitan, 2002). Satuan
curah hujan diukur dalam mm / inci. Curah hujan 1 mm artinya air hujan yang
jatuh setelah 1 mm tidak mengalir, tidak meresap dan tidak menguap. Hari hujan
artinya suatu hari dimana curah hujan kurang dari 0,5 mm per hari. Intensifikasi
hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Apabila
dikatakan intensitas besar berarti hujan lebat dan ini kurang baik bagi manusia,

26
Universitas Sumatera Utara

tanaman dan

peternakan, karena dapat menimbulkan erosi dan banjir

(Kartasapoetra, 2004).
2.2.2.3 Kelembaban
Menurut Kartasapoetra (2004) Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air
yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah yaitu :
1. Kelembaban mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara
yang dinyatakan dalam gram/m³.
2. Kelembaban spesifik merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan
satuan massa udara yang dinyatakan dalam gram/kilogram.
3. Kelembaban relatif merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan
jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu
yang dinyatakan dalam %. Angka kelembaban relatif dari 0-100%, dimana 0%
artinya udara kering sedangkan 100% artinya udara jenuh dengan uap air
dimana akan terjadi titik-titik air.
Data klimatologi untuk kelembaban udara yang umum dilaporkan adalah
kelembaban relatif (relative humidity, disingkat RH) (Lakitan, 2002). Keadaan
kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya kelembaban
yang tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan yang terendah pada lintang 40º.
Daerah rendah ini disebut horse latitude, curah hujannya kecil. Besarnya
kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat menstimulasi curah hujan.
Di Indonesia kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah
pada musim kemarau. Besarnya kelembaban di suatu tempat pada suatu musim
erat

hubungannya

dengan

perkembangan

organisme

terutama

jamur

(Kartasapoetra,2004).

27
Universitas Sumatera Utara

2.2.2.4 Kecepatan Angin
Angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari suatu tempat
ke tempat lain secara horizontal (Kartasapoetra, 2004). Massa udara adalah udara
dalam ukuran yang sangat besar yang mempunyai sifat fisik (temperatur dan
kelembaban) yang seragam dalam arah horizontal. Sifat massa udara ditentukan
oleh :
a. Daerah di mana massa udara terjadi. Jika berasal dari daerah yang banyak air
maka massa udara bersifat lembab, bila berasal dari daerah kering bersifat
kering.
b. Jalan yang dilalui massa udara. Bila melalui daerah yang basah akan besifat
semakin lembab dikarenakan menghisap air dari daerah yang dilaluinya.
c. Umur dari massa udara, artinya waktu yang diperlukan mulai dari terbentuk
sampai berubah menjadi bentuk lain. Semakin panjang umur massa udara maka
semakin banyak perubahan yang dialami.
Menurut Lakitan (2002) kecepatan angin dalam data klimatologi adalah
kecepatan angin horizontal pada ketinggian 2 meter dari permukaan tanah yang
ditanami dengan rumput. Kecepatan angin pada dasarnya ditentukan oleh
perbedaan tekanan udara antara tempat asal dan tujuan angin (sebagai faktor
prndorong) dan resistensi medan yang dilaluinya.
Pola arah angin di Indonesia dipengaruhi oleh keberadaan dua benua, yakni
Asia dan Australia dan dua samudera yakni Pasifik dan Hindia, yang mengapit
wilayah kepualauan Indonesia. Pada musim hujan (sekitar bulan januari) pada
wilayah di garis equator angin bertiup dari arah timur atau timur laut (dari arah

28
Universitas Sumatera Utara

samudera Pasifik) sedangkan pada wilayah di selatan garis ekuator, angin bertiup
dari arah barat atau barat daya (dari arah samudera Hindia).
Kecepatan angin di wilayah Indonesia umumnya rendah, terutama untuk
wilayah dekat garis ekuator. Kecepatan angin yang diukur di Jakarta menunjukkan
perbedaan antara musim hujan dengan musim kemarau. Pada musim hujan
kecepatan angin sekitar 2,5 m/detik (9,0 km/jam) dan pada saat musim kemarau
kecepatan angin sekitar 3,5 m/ detik (12,6 km/jam) (Lakitan, 2002).
2.2.3 Perubahan Iklim Global
Dunia sedang mengalami perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena
aktivitas manusia, khususnya dalam pemilihan dan penggunaan energi yang
cenderung tidak terbarui dan mengeluarkan gas - gas atau bahan - bahan beracun
yang berpengaruh terhadap perubahan iklim tersebut. Diperkirakan terjadi
kenaikan suhu bumi antara 1,4 sampai 5,8°C pada akhir abad ke-21. Para ahli
sedang melakukan upaya - upaya rediktif terhadap perkembangan penyakit yang
diakibatkan oleh kenaikan suhu global (Achmadi, 2014).
Menurut EPA (Environmental Protection Agency) (2000) perubahan iklim
adalah perubahan suhu yang drastis, curah hujan, pola angin dan sebagainya.
Perubahan komposisi gas atmosfer, misalnya peningkatan konsentrasi karbon
dioksida, belerang dioksida dan penipisan lapisan ozon pada stratosfer,
dikhawatirkan akan mengubah iklim global ke arah yang kurang menguntungkan
bagi makhluk hidup.
Berdasarkan hasil pengukuran diberbagai lokasi di muka bumi konsentrasi
karbon dioksida secara konsisten meningkat tetapi pengaruhnya terhadap
peningkatan suhu bumi masih belum terukur secara konsisten. Walaupun sumber

29
Universitas Sumatera Utara

perubahan komposisi gas atmosfer tersebut tersebar secara sporadik diberbagai
tempat di bumi, yakni kawasan industri dan kota besar tetapi dampaknya akan
terasa pada keseluruhan lapisan atmosfer

bumi, karena udara selalu aktif

bergerak sehingga perubahan - perubahan tersebut akan terdistribusi secara
merata. Iklim panas di daerah tropis bersifat cukup lembab sehingga memudahkan
tanaman dan hewan berkembang cepat untuk menjadi pangan manusia, tetapi
bersama itu aneka penyakit juga banyak (Lakitan, 2002).
2.2.4 Iklim dan Penyakit
Menurut Soemirat (2010) iklim berpengaruh terhadap agent hidup di
lingkungan dalam terlaksananya siklus reproduksinya. Misalnya mikroorganisme
mempunyai syarat bagi kehidupan yang optimum baik temperatur, kelembaban,
zat hara dan lain-lain. Agen tidak hidup juga dipengaruhi oleh temperatur,
keberadaan cairan dan zat lain disekitarnya yang menentukan ia berada dalam
bentuk senyawa seperti apa dalam valensi berapa. Iklim juga berpengaruh
terhadap media transmisi penyakit misalnya vektor akan berkembang biak dengan
optimum apabila suhu, kelembaban, zat hara semua tersedia dalam jumlah yang
optimum untuk kehidupannya.
Menurut Achmadi (2014) iklim dapat mempengaruhi ekosistem habitat
binatang penular penyakit bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara
alamiah. Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung iklim dapat
mempengaruhi timbulnya suatu penyakit. Efek langsung pemanasan global pada
kesehatan manusia misalnya stress akibat kepanasan (heat stress).
Iklim dan kondisi cuaca juga berpengaruh pada keberhasilan sistem
reproduksi (perkembangbiakan) vektor penyebab penyakit dan terjadi perubahan

30
Universitas Sumatera Utara

pada masa inkubasi di dalam tubuh nyamuk. Dengan kata lain, iklim dan kejadian
penyakit memiliki hubungan yang erat, terutama terjadinya penyakit menular.
Iklim dapat dijadikan predictor kejadian berbagai penyakit menular yang
seyogianya dapat dijadikan petunjuk untuk melakukan manajemen kesehatan
(Achmadi, 2014).
2.2.4.1 Hubungan Suhu Terhadap Kejadian ISPA
Suhu yang tinggi atau panas dapat mengakibatkan kelelahan terhadap
manusia karena hawa panas menyebabkan banyaknya keringat yang dikeluarkan,
sehingga mengalami dehidrasi. Begitu juga dengan anak-anak dan balita dapat
terkena penyakit flu, batuk, pilek, demam, gangguan saluran pernapasan, masuk
angin, gangguan pencernaan, alergi, dan yang paling berbahaya adalah Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Selain itu kenaikan temperatur lingkungan juga
akan mempengaruhi dampak polusi udara terutama di daerah perkotaan dan
berpengaruh terhadap individu dengan penyakit kronik seperti penyakit jantung,
asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya (Achmadi, 2014).
Menurut Soemirat (2010) temperatur udara akan menentukan kualitas udara
dan daya tahan hidupnya mikroba. Menurut Syahrurachman, dkk (1993) dalam
Ahmad M (2010) mikroorganisme akan melakukan interaksi atau hubungan
dengan

lingkungannya

untuk

mempertahankan

hidup.

Masing-masing

mikroorganisme mempunyai suhu optimum, minimum dan maksimum untuk
pertumbuhannya. Jenis bakteri Stafilococcus di laboratorium tumbuh dengan baik
pada suhu 37°C. Batas suhu untuk pertumbuhannya adalah 15°C dan 40°C,
sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 35°C. Jenis Bakteri Streptococus

31
Universitas Sumatera Utara

pneumoniaea tumbuh dengan suhu optimum 37,5°C dengan batas suhu
pertumbuhan 25°C - 41°C.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Luiz Gustavo Gardinassi, et.al (2012),
menyatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan virus penyakit pernafasan
terhadap anak-anak di bagian tenggara Brasil. Hasil penelitian menunjukkan
ketika suhu udara menurun, virus infeksi saluran pernafasan cenderung
meningkat.
2.2.2.4 Hubungan Curah hujan Terhadap Kejadian ISPA
Meningkatnya curah hujan akan berpengaruh terhadap perubahan suhu dan
kelembaban udara. Menurut JG Ayres, et.al (2009) dalam jurnalnya mengatakan
bahwa peningkatan kasus penyakit infeksi pernafasan kemungkinan dipengaruhi
oleh curah hujan ekstrim yang menyebabkan suatu wilayah menjadi dingin.
Musim dingin di negara-negara tropis diikuti oleh peningkatan kasus infeksi
pernafasan. Ayres, et.al (2009) juga mengatakan bahwa curah hujan yang
berlebihan akan membuat rumah menjadi lembab.
Berdasarkan hasil penelitian Mahmud R (2004) di Kota Palembang
menyebutkan bahwa curah hujan berkorelasi positif atas peningkatan prevalensi
ISPA non peumonia balita di Kota Palembang pada tahun 1999 – 2003. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara curah hujan dengan
penyakit ISPA non pneumonia balita (r = 0,49).
2.2.3.1 Hubungan Kelembaban Terhadap Kejadian ISPA
Sebagai negara tropis dengan kelembaban 60% - 80%, Indonesia adalah
surga bagi pertumbuhan berbagai jenis jamur. Secara alamiah mikroorganisme
tidak ada di udara, karena udara bukan habitat atau organisme hidup yang hidup

32
Universitas Sumatera Utara

atau terdapat dalam udara. Kelembaban udara adalah presentase jumlah
kandungan air dalam udara (Depkes RI, 2002).
Menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban dianggap
baik jika memenuhi 40 - 70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari
70%. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang
tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah
sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban
udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya
memiliki peran besar dalam pathogenesis penyakit pernafasan.
Menurut Brussels (2010) dalam jurnalnya menyatakan bahwa salah satu
faktor terjadinya penyakit ISPA adalah kelembaban. Kelembaban udara yang
terjadi diakibatkan oleh adanya musim hujan, sehingga menyebabkan bakteri akan
bertahan lebih lama dan dalam kondisi rumah yang tidak dilengkapi ventilasi yang
baik, maka akan mempercepat proses penularan penyakit.
2.2.3.2 Hubungan Kecepatan Angin Terhadap Kejadian ISPA
Distribusi penyakit infeksi yang disebabkan oleh vektor, jamur dan
mikroorganisme lainnya dipengaruhi oleh faktor fisik yaitu angin. Arah kecepatan
angin akan menentukan kemana zat pencemar didistribusikan. Hal ini dapat
meningkatkan kejadian penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) karena
penularan tidak langsung yang ditularkan melalui air borne disease (udara
tercemar) (Soemirat, 2010).

33
Universitas Sumatera Utara

2.3 KERANGKA KONSEP

Variabel Independen

Variabel Dependen

Temperatur / suhu

Curah hujan
Kejadian ISPA bukan
pneumonia

Kelembaban

Kecepatan angin

34
Universitas Sumatera Utara