Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren al (2)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. oleh Malaikat Jibril melalui metode hafalan. Di mana dalam
prosesnya, Malaikat Jibril membacakan ayat demi ayat kemudian Nabi menirukan
dan mengulang-ulangnya. Dengan menggunakan metode hafalan ini juga, Nabi
menjaga keaslian dan menyampaikan wahyu Allah pada umatnya. Hingga saat ini,
menghafal al Qur’an bahkan telah menjadi budaya di kalangan umat Islam.
Pentingnya menghafal al Qur’an selain untuk menjaga keaslian al Qur’an
juga mempunyai banyak faedah. Di antaranya adalah surga dan syafaat al Qur’an
yang telah Allah janjikan. Oleh karena itu, banyak dari umat Islam baik laki-laki
maupun perempuan berlomba-lomba untuk mendapatkan keistimewaan tersebut.
Dewasa ini, untuk menampung dan memenuhi kebutuhan masyarakat
tentang budaya menghafal al Qur’an, banyak lembaga pendidikan Islam baik
formal maupun non formal yang menyelenggarakan program tahfidzul qur’an.
Khususnya pondok pesantren al Qur’an yang secara distingsi menyediakan dan
menyelenggrakan program tahfidzul qur’an juga mulai tersebar seantero
nusantara. Salah satu pondok pesantren al Quran tersebut seperti Pesantren
Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon yang terletak di Kecamatan Buring,
Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pendidikan PTIQ al Furqon merupakan miniatur pesantren yang
memfokuskan santri untuk menghafal al Quran dengan konsep yang sedikit
berbeda dengan kebanyakan pesantren al Quran.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
singkat tentang manajemen pendidikan pada PTIQ al Furqon Malang. Sehingga
secara keseluruhan masalah yang akan di bahas dalam penulisan makalah ini
adalah mengenai manajemen atau pengelolaan yang diterapkan dalam PTIQ al
Furqon, Malang.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat di ambil dari latar belakang di atas
sebagai berikut:
1. Bagaimana profil singkat PTIQ al Furqon Malang?
2. Bagaimana manajemen kepemimpinan dan kelembagaan PTIQ al Furqon
Malang?
3. Bagaimana manajemen kesiswaan/kesantrian dan kurikulum PTIQ al
Furqon Malang?
4. Bagaimana manajemen pembelajaran dan pembiayaan PTIQ al Furqon
Malang?
5. Bagaimana manajemen informasi dan komunikasi PTIQ al Furqon

Malang?
C. Tujuan Penulisan
Melihat rumusan masalah di atas, dapat diketahui bahwa tujuan penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui profil singkat PTIQ al Furqon Malang.
2. Untuk memahami dan mendeskripiskan manajemen kepemimpinan dan
kelembagaan PTIQ al Furqon Malang.
3. Untuk memahami dan mendeskripsikan manajemen kesiswaan/kesantrian
dan kurikulum PTIQ al Furqon Malang.
4. Untuk memahami dan mendeskripsikan manajemen pembelajaran dan
pembiayaan PTIQ al Furqon Malang.
5. Untuk memahami dan mendeskripsikan manajemen informasi dan
komunikasi PTIQ al Furqon Malang.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil PTIQ al Furqon
Banyak dan menjamurnya Pondok Pesantren al Qur’an yang ada di
Indonesia memberikan gambaran positif akan tingginya kesadaran masyarakat
untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai al Qur’an. Salah satunya

adalah Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon yang bertempat di Jl.
Mayjen Sungkono VI Kecamatan Buring Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon merupakan lembaga
pendidikan non formal yang menitikberatkan pada pembelajaran serta penanaman
nilai-nilai qur’ani dan pengajaran membaca serta menghafal Al-Qur’an yang
berorientasi pada pembentukkan akhlak dan kepribadian Islamiyah. Pesantren al
Qur’an yang menampung santri putera dan puteri tersebut menerapkan pendidikan
yang agaknya berbeda dengan pendidikan di luar.
Berangkat dari keinginan masyarakat pada umumnya yang menginginkan
anak setelah keluar dari sebuah lembaga atau pondok pesantren al Qur’an adalah
bisa membaca, menghafal, dan menerapkan nilai-nilai al Qur’an dalam kehidupan
sehari-harinya. PTIQ al Furqon berniat untuk bisa mewujudkan dan bahkan
menjaga kesucian al Qur’an dari segala bentuk campur tangan. Oleh karena itu,
pesantren al Qur’an yang pada tahun 2017 menampung 105 santri ini, melarang
semua santrinya mengikuti pendidikan formal yang ada di luar pondok. Hal
tersebut merupakan syarat utama yang harus dipenuhi wali santri dan santri yang
akan menimba ilmu dalam PTIQ al Furqon. Tujuannya adalah supaya dalam
proses menghafal al Qur’an, santri bisa lebih fokus.
Ketentuan yang berlaku dalam PTIQ al Furqon tersebut berlandaskan
ajaran Nabi Muhammad saw. Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir sebagai pengasuh

PTIQ al Furqon menjelaskan bahwa akal merupakan nur Muhammad saw. yang
diciptakan oleh Allah sebagai makhluk paling sempurna. Di mana pada saat itu,
akal belum mempunyai wadah yang jelas, hingga kemudian Allah menciptakan
Nabi Adam as. sebagai wadah dari akal dan sampai akhirnya jasad Nabi

Muhammad lahir, nur Muhammad ditempatkan ke dalamnya yang kemudian
terbentuknya insan kamil.
“Akal yang diciptakan Allah kemudian digunakan dan dipraktekkan Nabi
Muhammad, akal itu bersiap-siap untuk menerima wahyu dan iman
kepada wahyu. Sehingga Nabi Muhammad pergi ke Gua Hiro dan lainlain. Pendidikan yang diterima Nabi pertama kali oleh Allah adalah al
Qur’an dan Nabi mendidik umatnya dengan al Qur’an pula. Selama al
Qur’an belum selesai, Nabi melarang adanya penulisan hadits. Buktinya
dengan Nabi berkata: man kataba anni syaian ghoiro al quran fal
yamkuhu: barang siapa yang menuliskan dari saya selain al Qur’an maka
hendaklah dihapus. Supaya al Qur’an tidak tercampur dengan hadits. Oleh
karena itu, sesungguhnya cara mendidik anak sebelum dimasuki apa-apa,
ini harus dimasuki al Qur’an terlebih dulu. Jangan sampai dimasuki hadits
apalagi ilmu umum. Ini yang menjadi awal pendidikan PTIQ al Furqon.
Bukan manajemen buatan manusia sekarang ini. Sedangkan, pendidikan
pada umumnya sangat terbalik. Di mana anak dididik ilmu umum terlebih

dulu seperti ditempatkan dalam SD, SMP, kalau sudah nakal baru
ditempatkan di pondok.”1
Selain itu, pengasuh PTIQ al Furqon juga menjadikan surat al Baqoroh ayat 151
sebagai landasan:

‫ب ةوٱل كححك كةمةة‬
‫ك ةةما أ ةكرةسل كةنا حفيك مكم ةرمسوللا حلمنك مكم يةتكملواا ة‬
‫عل ةيكك مكم ةءايتةحتةنا ةويمةزحلكيك مكم ةويمةعلح لممك ممم ٱل كحكتتة ة‬
‫كومنواا تةكعل ةمموةن‬
‫كم لةما ل ةكم تة م‬
‫ةويمةعلح لمم م‬
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)
Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayatayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al
Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu
ketahui. (Q.S. al Baqoroh: 151). Setelah Nabi mengajarkan kitab yaitu al Quran,
kemudian Nabi mengajarkan hikmah atau hadits baru setelah itu Nabi
mengajarkan apa saja yang belum kamu ketahui yakni ilmu umum.
Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir juga menambahkan bahwa pentingnya
pesantren al Qur’an ini didirikan adalah untuk membedakan makhluk sempurna
Allah dengan makhluk lainnya. Akal yang diberikan Allah kepada manusia, baik

laki-laki maupun perempuan hendaknya disirami dengan al Qur’an. Karena
dengan itulah nur Muhammad akan tercermin.
1 Wawancara penulis dengan Pengasuh PTIQ al Furqon Malang Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir di
kediaman tanggal 16 April 2017 Pukul 15.48 WIB.

“Harganya manusia bertempat pada akalnya. Misal, saya punya anak yang
tidak punya akal atau dicabut kenikmatan akalnya, kemudian saya
kasihkan kepada orang lain. Meskipun cuma-cuma jelas dia tidak mau.
Tapi kalau saya punya kambing, saya kasihkan kambing itu pada orang
lain, pasti mau-mau saja. Jika akal ini diisi dengan al Qur’an, otomatis
akan barokah seperti al Quran, saya analogikan seperti satu kertas yang
ditulisi ayat al Quran. Apabila kertas ini ditaruh disembarang tempat,
maka yang meletakkan berdosa, kertasnya diinjak, maka yang menginjak
dosa, sekalipun kertasnya tidak protes. Tapi, bandingkan jika kertas ini
diberi tulisan umum. Koran misalnya. Diletakkan di mana saja, diinjakinjak, tidak masalah. Koran yang baru, terbitan hari ini, masih ada
harganya. Tapi kalau sudah besok, atau koran seminggu lalu misalnya,
sudah tidak ada harganya. Buat bungkus kacang, lombok, dll. Tidak ada
harganya lagi. Beda dengan al Qur’an. Sampai kapanpun ila yaumil
kiyamah, al Quran tetap sebagai kitab suci. Hal tersebut sama dengan
anak. Jadi, anak kalau diisi dengan al Qur’an, maka anak ini akan sangat

berharga”.2
B. Kepemimpinan dan Kelembagaan
Sudah menjadi pandangan umum bahwa pesantren lekat dengan
figur kyai sebagai figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan
perubahan.

Pertama,

kepemimpinan

yang

tersentralisasi

pada

individu

yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik.
Kebanyakan pesantren menganut pola serba mono, yaitu mono-manajemen

dan mono-administrasi, sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit
kerja yang ada dalam organisasi. Kedua, kepemilikan pesantren bersifat
individual atau keluarga, bukan komunal. Otoritas individu kyai sebagai
pendiri sekaligus pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa diganggu
gugat.3
Hal tersebut juga berlaku pada PTIQ al Furqon yang menganut model
kepemimpinan sentral. Di mana semua kebijakan dan pengelolaan dalam
pesantren berada sepenuhnya di tangan kyai sebagai pemimpin tunggal. Struktural
kelembagaan dan peraturan yang pada umumnya diberlakukan dalam setiap
organisasi atau lembaga pendidikan nyatanya tidak berlaku dalam pesantren al
Qur’an tersebut.
2Ibid.
3Endang Turmudi, Perselingkuhan kiai dan kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2004), 35.

Bagi kyai, terdapat kewajiban moral dalam mengasuh pesantren al Qur’an,
seperti halnya mensosialisasikan dan mengondisikan kegiatan-kegiatan pesantren
yang mengarah pada penguasaan dan pendalaman al Qur’an. 4 Abul Aliyyah
Shilahul Hawa Amir berpendapat bahwa kegiatan pokok dan kewajiban yang
paling urgent bagi kyai tersebut tidak akan berjalan dengan baik apabila hanya
disibukkan dengan permasalahan pengurus dan hukuman-hukuman bagi

pelanggar peraturan pesantren. Oleh karena itu, dihapuskannya struktur pengurus
dan peraturan tertulis dalam PTIQ al Furqon dianggap sebagai jalan yang
mendukung peran kyai sebagai orang tua kedua santri. Pada dasarnya, kyai
tetaplah seorang yang diberi amanah untuk mendidik santri-santrinya.
“Struktur lembaga? pernah menggunakan struktur secara resmi. Ada
pengurus dan lain-lain. Akhirnya, hanya sibuk ngurusi kepengurusan. Jadi
pengasuh hanya disibukkan dengan pengurus dan tidak ngajar-ngajar.
Jadi, saya hanya istiqomah ngajar al Qur’an. Saya kan ibarat petani yang
dititipi wali santri sawah. Mereka meminta tolong kepada saya agar
sawahnya ditanami padi. Berati, saya harus menanam padi dan juga harus
memberikan hasil beras yang terbaik. Oleh karena itu, cara merawatnya
harus benar dan maksimal”.5
Tidak adanya aturan tertulis yang diterapkan dalam PTIQ al Furqon
awalnya dianggap sebagai hal yang mustahil. Pasalnya, peraturan dibuat dengan
tujuan menertibkan dan mengorganisir supaya organisasi atau lembaga yang
dijalankan bisa sesuai dengan jalur yang digariskan. Faktanya, dalam kegiatan
sehari-hari yang dilakukan oleh santri putera/puteri PTIQ al Furqon tetap berjalan
dengan baik. Bahkan, adanya kesadaran yang tinggi pada masing-masing santri
untuk tidak melakukan hal-hal negatif yang dapat merusak hafalan al Qur’an
mereka, merupakan gambaran bahwa penghapusan peraturan tertulis yang

dilakukan pengasuh sudah tepat. Karena yang terpenting adalah melahirkan
kesadaran diri yang tinggi, bukan hanya melahirkan peraturan tingkat tinggi.
Kepercayaan pengasuh PTIQ al Furqon terhadap barokah al Qur’an menjadi dasar
dihapusnya peraturan tertulis dalam pesantren.
4Mujamil Qomar, Dimensi Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Emir, 2015), 170.
5Wawancara penulis dengan Pengasuh PTIQ al Furqon Malang, Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir di
kediaman tanggal 16 April 2017 Pukul 15.48 WIB.

“Di pondok ini tidak ada peraturan yang mendesak. Karena saya percaya
dengan barokah al Qur’an. Jadi, al Qur’an kalau dibaca dengan benar
maka akan membarokahi yang membaca. Tapi jika dibaca dengan salah,
maka akan melaknati pembaca. Jadi, penyebab anak menjadi rusak
moralnya, bisa karena baca al Qur’annya tidak benar sehingga mendapat
laknat al Qur’an. Jadi, sebelum membaca al Quran harus dibenahi dulu
bacaannya”.6
Pada umumnya, pesantren al Qur’an didirikan oleh para kyai hufadz (penghafal al
Qur’an) yang dahulu juga menjadi santri dalam mempelajari dan mendalami al
Qur’an. Pengalaman dan pelajaran yang telah diterima dari pesantren dahulu
tersebut rupanya berusaha dilestarikan dan diterapkan kepada santri-santrinya
sekarang dengan mendirikan pesantren al Qur’an. 7 Meskipun tidak sepenuhnya

menerapkan sistem pendidikan yang diajarkan pada pesantren sebelumnya,
pengasuh PTIQ al Furqon nyatanya juga mengadopsi dan menerapkan beberapa
hal yang dianggap cocok untuk diterapkan dalam pesantren yang diasuhnya
sekarang. Seperti halnya beberapa metode dan kaidah yang diterapkan di Ponpes
Roudhotul Qur’an Singosari, Malang, juga dipakai dalam sistem pembelajaran
PTIQ al Furqon.
C. Manajemen Kesiswaan/Kesantrian dan Kurikulum
Terkait dengan problem pendidikan pesantren dalam interaksinya
dengan perubahan sosial akibat modernisasi ataupun globalisasi, biasanya
kalangan internal pesantren sendiri sudah banyak melakukan pembenahan,
mendirikan

model

pendidikan

formal

unggulan, seperti SD

unggulan,

SLTP atau SMU Plus, MAPK dan lain sebagainya yang dikembangkan
pesantren secara kompetitif dalam menarik minat masyarakat. Di sana,
terdapat semacam waranty atau jaminan keunggulan output (lulusan) yang
siap bersaing dalam berbagai sektor kehidupan sosial. Pengembangan
model pendidikan formal semacam ini telah menjadi trend di berbagai
pesantren.8
6Ibid.
7Mujamil Qomar, Dimensi Manajemen..............170.
8Maksum, Pola pembelajaran di pesantren (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 64.

Untuk dapat memainkan peran edukatif dalam penyediaan
sumber
daya manusia yang berkualitas tersebut, pesantren seharusnya
terus
meningkatkan

mutu

(quality

improvement)

sekaligus

memperbaharui
pendidikannya.

model
Sebab,

model

pendidikan

pesantren

mendasarkan

yang
diri

pada sistem konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup
membentuk
dalam

penyediaan

sumber

daya

manusia

yang

memiliki

kompetensi
integratif

baik

dalam

penguasaan

pengetahuan

agama,

pengetahuan
umum, dan kecakapan teknologis. Padahal, ketiga elemen ini
merupakan
pra syarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks perubahan
sosial

akibat

modernisasi.9
Tipe ideal model pendidikan pondok pesantren yang
banyak
dikembangkan saat ini adalah tipe integral antara sistem
pendidikan klasik dan sistem pendidikan modern. Pengembangan
tipe

ideal

ini

tidak

akan merubah total wajah dan keunikan sistem pendidikan
pesantren
menjadi

sebuah

model

pendidikn

umum

yang

cenderung

reduksionistik
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan
9Durrah Yatimah, “Manajemen Pendidikan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Mutu Santri”, Jurnal elHikmah Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang. h. 62.

pondok
pesantren.10
Apabila kebanyakan pesantren dengan bermacam-macam background
berbondong-bondong mengubah model pendidikan agar sesuai dengan perubahan
zaman, hal tersebut tidak untuk PTIQ al Furqon. Seperti halnya penerapan syarat
penerimaan santri baru dalam pesantren tersebut adalah, calon santri bersedia
untuk tidak mengikuti pendidikan formal yang ada di luar pesantren. Selain
karena beberapa alasan yang telah dikemukakan di awal, banyaknya waktu dan
konsentrasi santri yang seharusnya tidak terpecah karena harus fokus pada al
Qur’an juga menjadi pertimbangan terbesar. Selain syarat tersebut, tidak ada
syarat khusus seperti tes masuk, batas umur, dan kemampuan calon santri yang
boleh mendaftar dalam pesantren.
Setelah terdaftar dalam pesantren, pengasuh akan menyimak bacaan al
Qur’an dari masing-masing santri agar lebih mudah mengelompokkan ke dalam
kelas/tingkatan. Adapun kegiatan santri PTIQ al Furqon pada umumnya adalah
sebagai berikut:
1. Tahajud berjama’ah
2. Sholat subuh berjama’ah
3. Ngaji dhuha dan kuba bertempat di kelas masing-masing dengan
mempelajari qiro’ah sab’ah bin nadhor
4. Kemudian setoran hafalan al Quran
5. Siap-siap belajar kitab kuning (nasikh mansukh, dll.) berlangsung hingga
pukul 10.00 WIB.
6. Kegiatannya bebas. Tanam padi, membuat batako, kembala kambing, dll.
(pekerjaan dilaksanakan 1-3 jam)
7. Dhuhur berjama’ah
8. Setelah itu belajar Bahasa Arab (mempelajari isinya al Qur’an)
9. Lalaran untuk persiapan setoran hafalan
10. Ashar berjama’ah
11. Pembelajaran kitab-kitab kaidah ‘Utsmani
10Sulthon Masyhud, dkk., Manajemen pondok pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 14.

12. Maghrib berjama’ah
13. Nderes/ngaji al Qur’an (halaqoh/simaan)
14. Berjama’ah Isya
15. Kemudian setoran hafalan sampai selesai.
Dalam pelaksaan kegiatan tersebut, pengasuh PTIQ al Furqon mengatakan bahwa
“Tidak ada istilah istirahat. Jika kamu selesai ibadah wajib maka kerjakan ibadah
sunnah. Jika kamu selesai ibadah sunnah kerjakan urusan dunia”. 11 Oleh karena
itu, pada kegiatan bebas yang dilakukan santri seperti tanam padi, membuat
batako, kembala kambing, mencari rumput, dan lain sebagainya merupakan
kegiatan yang tidak bersifat memaksa. Santri diberi kebebasan untuk melakukan
kegiatan sesuai yang diingkan dengan alokasi waktu 1-3 jam. Adapun semua
lahan dan objek yang dikerjakan, hasil dan manfaat sepenuhnya kembali pada diri
santri masing-masing.
Pendataan kualitas dan kuantitas hafalan santri dilakukan pada jam simaan
yang diadakan setiap hari oleh teman santri lain yang kemudian dilaporkan dan
divalidkan oleh pengasuh.
Kurikulum PTIQ al Furqon dibuat secara mandiri dan
independen yakni langsung dari kyai. Pelaksanaan kurikulum
dituangkan dalam proses pembelajaran santri pemula dan
lanjutan. Bagi santri pemula, kitab yang menjadi acuan berjudul
adzarii’atu ilaa kalaamillaahi ta’ala. Sedangkan bagi santri
lanjutan menggunakan beberapa kitab seperti al Bayan riwayat
Hafesh Thoriq Syathiby, Tarikh Mushohaf al ‘Utsmaniyah, Tarikh
al Mushaf al Imam (kaidah rosem ‘utsmani) dan kitab tafsir, serta
kitab Bahasa Arab lain untuk menunjang keilmuan santri. PTIQ al
Furqon lebih menekankan bacaan al Qur’an dengan memakai
kaidah ‘utsmani. Oleh karena itu, banyak dari kitab dan
rujukan/risalah

yang

dipakai

menggunakan

rose

‘Utsmani.

Sedangkan, santri lanjutan yang sudah bagus dalam bacaan al
11Wawancara penulis dengan Pengasuh PTIQ al Furqon Malang, Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir di
kediaman tanggal 16 April 2017 Pukul 15.48 WIB.

Qur’annya,

kemudian

disetorkan

pada

memulai

pengasuh

menghafal

dan

dianggap

juz

30.

Setelah

mampu

untuk

menghafal lebih banyak lagi, baru dilanjutkan pada surat al
Baqoroh dan seterusnya hingga hatam 30 juz.
D. Manajemen Pembelajaran dan Pembiayaan
Dalam menghafalkan Al-Qur`an sebanyak 30 juz bukan merupakan suatu
pekerjaan yang mudah. Semua pekerjaan atau program akan berjalan lancar dan
berhasil dalam mencapai target yang telah ditetapkan, bergantung kepada
pemilihan dan penerapan suatu metode.12 Setiap penghafal Al-Qur’an, tentunya
menginginkan waktu yang cepat dan singkat, serta hafalannya menancap kuat di
memori, hal tersebut dapat terlaksana apabila penghafal menggunakan metode
yang tepat, rajin, dan istiqamah dalam menjalani prosesnya, walaupun cepatnya
menghafal seseorang tidak terlepas dari otak atau IQ yang dimiliki.13
Mengingat hal tersebut, pengasuh PTIQ al Furqon juga tidak menetapkan
waktu minimal atau maksimal bagi santrinya untuk menghafal al Qur’an.
Berapapun waktu yang diperlukan untuk menghafal al Qur’an, baik dalam waktu
singkat ataupun lama, kualitas penghafal itu sendiri yang menjadi patokan dalam
menyelesaikan studi dalam pesantren.
Sistem pembelajaran yang dilakukan di PTIQ al Furqon yaitu dengan
adanya halaqoh pengajian yang digunakan para santri untuk belajar al Qur’an,
muroja’ah, ziadah, dan lain sebagainya. Pengasuh yang dibantu oleh beberapa
ustadz terpercaya selain mengajarkan al Qur’an juga mengajarkan beberapa kitab
yang berkenaan dengan al Qur’an seperti tafsir dan ilmu Bahasa Arab dengan
menggunakan

metode

sorogan/wetonan.

Pengajaran

kitab-kitab

tersebut

digunakan untuk menunjang khazanah keilmuan santri penghafal al Qur’an. Pada
prakteknya, pengajaran kitab-kitab penunjang dilakukan dalam kelas-kelas sesuai
dengan angkatan masuk dalam pesantren. Namun, tidak adanya evaluasi khusus
12Ibid., 225.
13Nasokah, Alh dan Ahmad Khoiri, “Pembelajaran Tahfidzul Qur’an Pondok Pesantren Ulumul Qur’an
Kalibeber
Wonosobo”,
Jurnal
Al-Qalam
Vol.XIII,
h.
237.
Dap
httpabcd.unsiq.ac.idsourceLP3MPBJurnalAl%20QalamDesember%20201415.pdf.

at

diunduh

di

dalam kitab kuning menjadi salah satu kekurangan yang dirasakan pengasuh PTIQ
al Furqon.
Pada tingkatan pemula, langkah yang dilakukan dalam mendalami al
Qur’an adalah sebagai berikut:14
1. Anak dikenalkan huruf hijaiyah (ejaan) sampai mereka hafal, sekalian
mengenalkan macam-macam harokat.
2. Anak dikenalkan makhorijul huruf kemudian dilatih untuk mengeluarkan
dan mengucapkan huruf-huruf tersebut dengan benar dan tepat secara
berulang-ulang. Biasanya pada tahap kedua ini, membutuhkan waktu yang
relatif lama. Cara mengeluarkan huruf hijaiyah dianggap paling urgent
dalam menentukan kualitas bacaan al Qur’an.
3. Anak dikenalkan sifat-sifat huruf yang lazimah seperti hames, jaher,
syiddah, rikhwah, dan lain-lain. Kemudian dilatih untuk mempraktekkan
huruf demi huruf dengan suara yang agak keras, dan dapat membedakan
antara sifat satu dengan yang lain.
4. Anak dikenalkan sifat-sifat huruf yang ‘aridhoh seperti qoshor, mad,
tafkhim, idzhar, dan lain-lain. Kemudian dilatih dengan baik untuk
mengucapkan sifat-sifat tersebut, maksudnya kalimat demi kalimat dan
ayat demi ayat.
5. Anak dituntun membaca surat pendek seperti al fatihah, an nas, al falaq, al
ikhlas, dan lain-lain. Dengan cara, pengajar membaca satu ayat, dua ayat,
kemudian anak membacanya berulang-ulang sampai mereka hafal. Pada
hari berikutnya, anak-anak mengadakan ‘urdhoh (menampilakn bacaan
yang telah dihafal) di muka pengajar.
6. Anak mulai silkah (nglalar) dari surat al Baqoroh hingga akhir/khatam
dengan ‘urdhoh ¼ juz atau ½ juz, bergantung persiapan dan kecerdasan
anak.
Beberapa metode yang digunakan dalam PTIQ al Furqon adalah pertama,
metode tahfidz yakni cara menghafal ayat baru yang belum pernah dihafal. Di
mana santri diperbolehkan menghafal sesuai dengan kemampuan dan ketajaman
14Abul Aliyah Shilahul Hawa, Pengantar Membaca al Qur’an dengan Tepat dan Benar (Malang: PTIQ,
2015), 11-12.

hafalan masing-masing santri. Jika diambil rata-rata, baik santri putera atau puteri
yang menghafal bisa menambah hafalan baru sebanyak 1 halaman hingga 6
halaman (3 lembar) per-harinya.
Kedua, metode takrir. Metode ini merupakan suatu metode untuk
mengulang-ulang hafalan yang sudah diperdengarkan kepada instruktur. Metode
takrir ini sangat penting diterapkan, karena menjaga hafalan merupakan suatu
kegiatan yang sulit dan kadangkala terjadi kebosanan. Sangat dimungkinkan
sekali suatu hafalan yang sudah baik dan lancar menjadi tidak lancar atau bahkan
menjadi hilang sama sekali.15 Dalam pelaksaannya, PTIQ al Furqon juga
menerapkan metode takrir yang dikemas dalam kegiatan simaan harian. Adanya
simaan yang dilakukan setiap hari juga menjadi salah satu kegiatan wajib santri
untuk memperbaiki kualitas hafalan.
Kegiatan simaan ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari 3 orang santri (2 santri junior dan 1 santri senior). Setiap
harinya, kelompok-kelompok kecil ini melakukan simaan di mana salah satu
melakukan hafalan dan yang lain menyimak serta mencatat jumlah kesalahan
selama proses takrir. Untuk lebih mudahnya, pembagian jadwal juz dalam simaan
dibagi menjadi tiga ranah. Ranah 1 (juz 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10), ranah 2 (juz
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20), ranah 3 (juz 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30). Misalnya, hari pertama juz yang dijadikan bahan takrir adalah ranah 1
yakni juz 1,2, dan 3 maka hari ke dua loncat pada ranah 2 yakni juz 11, 12, dan
13. Hari ke tiga masuk pada ranah 3 yaitu juz 21, 22, dan 23. Hari ke empat
kembali pada ranah 1 namun diteruskan pada juz 4, 5, 6, dan begitu seterusnya
sampai habis 30 juz.
Ketiga, yakni metode kitabah. Di mana santri dianjurkan untuk bisa
menulis ayat-ayat yang telah dihafalkannya dengan benar. Pada metode ini, PTIQ
al Furqon menerapkan dengan kondisional. Pengasuh bisa sewaktu-waktu
menerapkan metode ini pada santri. Caranya yakni, ketika santri menyetorkan
hafalan baru pada kyai, santri harus siap apabila sewaktu-waktu diperintahkan
untuk menulis hafalannya dalam kertas.
15Ahmad Khoiri, “Pembelajaran Tahfidzul.......226.

Pada proses evaluasi, ini dilakukan setiap hari pada kegiatan simaan. Tolok
ukurnya adalah banyaknya kesalahan bacaan atau hafalan yang dilakukan.
Semakin banyak kesalahan yang dilakukan, menunjukkan bahwa kualitas hafalan
santri tersebut kurang bagus dan harus dilakukan perbaikan-perbaikan kembali.
Begitupun sebaliknya, apabila kesalahan hafalan yang dilakukan sedikit bahkan
tidak ada sama sekali, mengindikasi bahwa kualitas hafalan santri sudah bagus.
Pada tahap evaluasi akhir, kyai sendiri yang akan menilai hafalan santri-santrinya
mulai dari juz 1-30.
Demikianlah manajemen pembelajaran yang diterapkan di PTIQ al
Furqon. Adapun pembiayan atau manajemen keuangan yang dapat diketahui
adalah bersumber dari kontribusi santri dalam bentuk pembayaran syahriyah
(bulanan) santri sebesar Rp 300.000 yang dialokasikan untuk uang makan dan
kebutuhan sehari-hari santri. Uang administrasi dan jariyah bangunan yang
biasanya dijadikan persyaratan masuk dalam pesantren tidak ditentukan nominal
dan jumlahnya. Pengasuh hanya memberikan instruksi ‘seikhlasnya’ bagi
siapapun yang ingin menyuntikkan dana pada PTIQ al Furqon.
Selain pembayaran syahriyah, sumber dana lain bisa berasal dari hasil
sawah, penjualan batako, dan kegiatan bebas lainnya yang dilakukan oleh santri.
E. Manajemen Informasi dan Komunikasi
Pengembangan pesantren dalam hal memanfaatka teknologi informasi dan
komunikasi seharusnya menjadi hal yang mendapat perhatian khusus. Berbagai
fasilitas yang ada pada zaman modern ini juga bisa dijadikan sebagai bahan dan
sumber penyebar maupun pencari informasi yang dibutuhkan.
Melihat track record PTIQ al Furqon yang tidak mengizinkan santrinya
mengikuti pendidikan formal di luar pesantren dengan tujuan selama proses
menghafal santri bisa lebih fokus, maka penggunaan komputer dan benda-benda
elektronik lainnya jelas tidak berlaku dalam pesantren ini. Benda-benda yang
dianggap dapat mengganggu konsentrasi santri tentu dijauhkan dan dihindari.
Oleh karena itu, fasilitas internet tidak dapat dinikmati secara bebas oleh santri.

Penyebaran informasi terkait pesantren kepada masyarakat umum juga
tidak dilakukan dengan menggunakan website atau brosur seperti halnya pesantren
pada umumnya. PTIQ al Furqon hanya mengandalkan getok tular dalam istilah
jawa dengan alasan bahwa semakin banyak santri yang datang menimba ilmu,
maka semakin berat pula amanah yang pengasuh emban. Karena bagaimanapun,
santri yang berdomisili di sana adalah tanggungjawab pengasuh yang nantinya
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt.16
Adapun penerapan lainnya seperti penyimpanan data santri dan
penyusunan buku ajar dilakukan di kediaman pengasuh melalui satu komputer
milik pribadi. Selain itu, fasilitas telpon rumah juga disediakan khusus untuk alat
komunikasi antara wali santri dan santri yang bersangkutan.

16Wawancara penulis dengan Pengasuh PTIQ al Furqon Malang, Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir di
kediaman tanggal 16 April 2017 Pukul 15.48 WIB.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Di bawah ini merupakan simpulan yang dapat diambil dalam penulisan
makalah adalah:
1. Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon yang bertempat di Jl.
Mayjen Sungkono VI Kecamatan Buring Kabupaten Malang, Jawa Timur
merupakan lembaga pendidikan non formal yang menitikberatkan pada
pembelajaran serta penanaman nilai-nilai qur’ani dan pengajaran membaca
serta menghafal Al-Qur’an yang berorientasi pada pembentukkan akhlak
dan kepribadian Islamiyah.
2. Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon dalam manajemen
kepemimpinan dan kelembagaan menganut sistem otoritatif dan sentral
serta tidak diberlakukannya struktur kelembagaan dalam mengatur
pesantren tersebut.
3. Manajemen

kesantrian

dalam

pesantren

tersebut

adalah

tidak

diperbolehkannya mengikuti pendidikan formal dan menetapkan agenda
kegiatan sehari-hari santri berupa pengajian kitab dan pendalaman al
Qur’an saja.

4. Manajemen pembelajaran dilakukan oleh pengasuh dan beberapa ustadz
terpercaya yang membimbing santri melalui beberapa metode seperti
tahfidz, takrir, dan kitabah. Sedangkan pembiayaan dalam PTIQ al Furqon
didapat dari pembayaran syahriyah santri serta hasil dari kegiatan bebas
santri.
5. Manajemen informasi dan komunikasi tidak sepenuhnya berbasis IT.
Namun, lebih mengedapankan pada kepercayaan dan presepsi masyarakat
sekitar dalam penyebaran informasi terkait pesantren.

B. Implikasi
Penerapan manajemen pendidikan pada masing-masing pesantren al
Qur’an berbeda-beda. PTIQ al Furqon memang tidak menerapkan peraturan
sebagaimana pesantren pada umumnya, namun hal tersebut sekali lagi bergantung
pada lingkungan dan kultur pada masing-masing pesantren.Semuanya bergantung
pada pengasuh dengan cara dan jalan seperti apa yang ditempuh untuk mencetak
santri penghafal al Qur’an yang benar-benar berkualitas. Selain itu, bukan hanya
peran kyai saja yang dapat menentukan keberhasilan santri, melainkan pada santri
itu sendiri. Bagaimana dirinya bisa sadar bahwa al Qur’an merupakan kitab suci
yang tidak bisa dianggap remeh. Oleh karena itu, keseriusan yang tinggi dalam
menghafal dan mengkaji al Qur’an sangat dibutuhkan santri yang berada dalam
pesantren al Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Alh, Nasokah, dan Ahmad Khoiri. “Pembelajaran Tahfidzul Qur’an Pondok
Pesantren Ulumul Qur’an Kalibeber Wonosobo”, Jurnal Al-Qalam
Vol.XIII.
Hawa, Abul Aliyah Shilahul. Pengantar Membaca al Qur’an dengan Tepat dan
Benar, Malang: PTIQ, 2015.
httpabcd.unsiq.ac.idsourceLP3MPBJurnalAl%20QalamDesember%20201415.pdf
Maksum. Pola pembelajaran di pesantren, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.
Masyhud, Sulthon. dkk. Manajemen pondok pesantren, Jakarta: Diva Pustaka,
2003.
Qomar, Mujamil. Dimensi Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Emir, 2015.
Turmudi, Endang. Perselingkuhan
Yogyakarta: LkiS, 2004.

Kiai

dan

Kekuasaan,

Yatimah, Durrah. “Manajemen Pendidikan Pesantren dalam Upaya Peningkatan
Mutu Santri”, Jurnal el-Hikmah Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang.