Sejarah dan Problematika Industri Buku d (1)

Sejarah dan Problematika Industri Buku di Indonesia
Oleh: Maulin Ni’am, S.I.P.

A.

Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia

Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada 1440 M di Jerman merupakan tonggak bagi sejarah
perbukuan. Mulanya mesin itu digunakan untuk keperluan penggandaan dan penyebaran Injil. Tapi
kemudian berkembang tidak hanya buku keagamaan tetapi juga buku-buku pengetahuan, sastra, dan lain
sebagainya. Di Indonesia sendiri buku mulai beredar seiring dengan datangnya orang asing, terutama
Belanda, ke Indonesia.
1. Masa Sebelum Penjajahan
Berbicara tentang penerbitan buku di Indonesia tentu tak bisa dilepaskan dari budaya tulis
nusantara. Bangsa kita telah mengenal buku setidaknya sejak abad 14 M. Pada masa itu khazanah
perbukuan masih berupa naskah-naskah yang ditemukan dalam bentuk buku maupun kumpulan
lembaran daun lontar yang ditulis tangan. Materi yang ditulis pun beragam mulai dari naskah resmi
kerajaan (perjanjian, keputusan raja), karya sastra, babad (sejarah), hingga ayat-ayat suci. Beberapa buku
tersebut antara lain kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dan Nagarakertagama karya Mpu Prapanca pada
abad 14. Kemudian pada abad 16 mulai muncul penulisan kitab-kitab agama Islam di bidang fikih,
tasawuf, teologi, dan etika untuk digunakan sebagai bahan ajar di pesantren yang tersebar di nusantara,

terutama di Jawa dan Sumatra.
2. Masa Penjajahan
a. Penjajahan Belanda
Pada abad 17 VOC mendatangkan mesin cetak ke Hindia Belanda. Ini menjadi awal bagi dunia
percetakan di tanah air. Dengan mesin cetak tersebut VOC mencetak berbagai macam publikasi mulai
dari pamphlet, brosur, Koran dan majalah. Pada tahun 1744 VOC menerbitkan surat kabar Bataviaasche
Nouvelles di Batavia. kemudian pada tahun 1778 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bataviaash
Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, perpustakaan yang berisi koleksi naskah dan karya tulis di
bidang budaya dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada waktu itu budaya membaca hanya dimiliki oleh
kaum penjajah, bangsawan, pemuka agama, dan sedikit kaum terpelajar.
Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (dalam hal ini surat kabar)
dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi di negeri Belanda.
Pada saat yang sama percetakan buku juga dikelola oleh swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori
oleh Cijveer & Company. Tiga tahun berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer &
Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno & Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan
dalam pemasaran produknya. Baru pada masa Bruyning Wijt, perusahaan percetakan buku ini
mengalami kemajuan, karena produk buku-buku mereka mulai dipublikasikan pula melalui iklan-iklan di
surat kabar (www.p3i-pusat.com.

1


Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending (surat pekabaran Injil)
Protestan dilaporkan pertama kali datang ke Indonesia tahun 1831, dan mendirikan sekolah di Tomohon,
Minahasa, pada tahun 1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar.
Pada akhir abad 19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa
peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya
sebelum kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu Tionghoa atau
Melayu pasar. Mereka juga menerbitkan koran yang tumbuh subur. Salah satu penerbitan milik orang
Tiong Hoa yang tercatat adalah milik Tan Khoen Swie dengan nama sama dengan pemiliknya di Kediri
(indonesiabuku.com). Sebagaimana dilaporkan majalah Tempo, penerbit Tan Khoen Swie ini pernah
menerbitkan buku Gatolotjo dan Dharmagandoel yang pernah dilarang beredar pada masa Orde Baru
karena dianggap melecehkan ajaran agama tertentu. Sementara percetakan milik Indo-Eropa sebagian
besar menerbitkan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.
Penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu telah dimulai kira-kira pada
seperempat terakhir abad ke-19. Menurut Doris Jedamski, The Count of Monte Cristo karya Alexandre
Dumas telah beredar luas dalam bahasa Melayu pada tahun 1894 sampai 1899. Penerjemahan ini
mendapat sukses besar di kalayak pembaca bumiputra (Arsya, 2012).
Beberapa dekade sebelum itu, novel-novel Eropa lainnya seperti Robinson Crusoe dan Sherlock
Holmes juga telah diterjemahkan dan diterbitkan terjemahannya oleh penerbit-penerbit swasta.
Robinson Crusoe diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Hikajat Robinson Crusoe yang terbit

pada tahun 1875 oleh seorang Belanda bernama Adolf von de Wall.
Perkembangan karya-karya terjemahan terus membaik. Masih menurut Doris Jedamski, pada
seperempat pertama abad ke-20, pembaca-pembaca Indonesia sudah bisa membaca The Three
Musketeers, Scralet Pimpernel, Ivanhoe, Tarzan, Sinbad, dan Gulliver, serta pahlawan-pahlawan Karl May
dan Baron Munchhausen dalam bahasa Melayu. Segera saja karya-karya terjemahan ini dapat ditemukan
hampir di seluruh kepulauan. Penerjemahan dan penerbitan karya-karya terjemahan pada awal abad ke20 ini, berbeda dengan masa sebelumnya, dilakukan oleh orang-orang indo China dan orang-orang
bumiputra sendiri di luar afiliasi pemerintah kolonial.
Sastra Melayu Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun
1918. Golongan Tionghoa yang hidup lebih makmur dibandingkan golongan bumiputra, mampu membeli
buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur. Pada zaman Jepang pers MelayuTionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini kemudian tumbuh
sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco Katrodikromo,
yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo.
Tahun 1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan. Sebelumnya, setiap
penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa sebelum dicetak. Peraturan baru
menerapkan sensor represif, yakni menindak dan membatasi barang cetakan setelah diedarkan. Ini
menimbulkan akibat positif berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah.
b. Pembentukan Balai Pustaka

2


Meskipun dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang, tonggak penerbitan buku
secara masal baru terjadi tahun 1908 dengan pembentukan Commissie Voor de Inlandsche Chool en
Voklslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) melalui keputusan pemerintah No 12 tanggal 14 Sepetember 1908.
Kemunculan Komisi Bacaan Rakyat tersebut salah satunya karena pemerintah kolonial
menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan Indo-China dan bumiputra rendah mutunya, karya
populer picisan yang bisa merusakkan mental bumiputra.
Pada tahun 1917 komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka dan mulai mencetak ratusan
karya, mulai dari buku dalam berbagai bahasa. Puluhan karya sastra pribumi berbahasa Melayu terbit,
seperti Siti Noerbaja karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Salah Asuhan-Abdul
Muis, Lajar Terkembang - Sutan Takdir Alisjahbana, Atheis - Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak
yang lainnya. Setelah empat tahun pendiriannya, Balai Pustaka memiliki mesin cetak sendiri untuk
keperluan seluruh terbitannya.
Namun, setelah maraknya penerjemahan karya asing pada perempat pertama abad ke-20 itu,
Balai Pustaka mulai melakukan penerjemahan-penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa
Melayu. Karya-karya yang diterjemahkan Balai Pustaka berbeda dengan karya terjemahan penerbitpenerbit di luar kanon yang lebih banyak menerbitkan cerita-cerita detektif, kisah-kisah kepahlawanan,
dan roman-roman populer lainnya.
Penerjemahan novel-novel asing ini berimbas kepada perkembangan kesastraan di tanah Hindia
sendiri. Pada dekade tahun 1930-1940, muncul dengan semarak roman-roman picisan di berbagai
kantong-kantong kesastraan di daerah. Menurut Soedarmoko, di Padang, Medan, Bukittingi, Gorontalo,
Solo, muncul terbitan-terbitan berkala yang memuat roman-roman picisan. Roman-roman ini dianggap

berada di luar kanon kesastraan Hindia Belanda (Arsya, 2012).
Roman-roman ini pada umumnya memiliki kesamaan tema garapan dan plot atau alur narasi
dengan kebanyakan novel-novel terjemahan di atas. Cerita-cerita kepahlawanan dan detektif adalah
warna umum dari roman-roman picisan ini yang nampaknya diadopsi oleh karya-karya terjemahan. Hal
tersebut tidak terjadi tanpa sebab. Pada masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan aturan yang
ketat terhadap seluruh buku dan barang cetakan yang beredar di masyarakat. Sebagai lembaga buatan
Hinda Belanda, tidaklah mengherankan jika buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak ada yang memuat
masalah politik apalagi kritik terhadap pemerintah Hindia Belanda. Dominasi Balai Pustaka berdampak
pada tersingkirnya karya-karya sastra dari penulis pribumi, peranakan Tionghoa, dan Indo-Eropa yang
sudah beredar jauh sebelum Balai Pustaka beredar.
Selain Balai Pustaka milik pemerintah kolonial, ada juga penerbitan milik kaum bumiputra dengan
berdirinya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan
R.M. Tirto Adhi Soerjo. Selain itu ada juga percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang
menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan
Tram) yang menerbitkan Koran Si Tetap (Yusuf et.al. 2010:44).Penerbit-penerbit milik kaum bumiputra
tersebut memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputra. Sehingga dalam kurun waktu
1920-1926 mulai menjamur ‘bacaan liar’ di kalangan bumiputra yang menumbuhkan semangat
pergerakan.
3


c. Penjajahan Jepang
Sementara pada masa pendudukan Jepang, menurut sejarawan Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto (1993), penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada digunakan oleh tentara Jepang
untuk kepentingan propaganda. Sehingga seluruh karya yang dihasilkan pada saat itu harus sesuai
dengan kepentingan propanda Jepang. Pada masa itu surat kabar berbahasa Belanda, Cina, dan
Indonesia dilarang terbit oleh pemerintah militer Jepang. Surat kabar Tjahaya Timoer yang mencoba
kritis pada pemerintah Jepang langsung dibredel. Selanjutnya diganti oleh Jepang dengan menerbitkan
surat kabar Asia Raja. Pada 8 Desember 1942 Jawa Shinbun sebagai surat kabar berbahasa Jepang terbit
untuk pertama kalinya. Dua surat kabar itulah yang menjadi rujukan berita bagi surat kabar-surat kabar
di Jawa.
3. Era Kemerdekaan
Hingga 1950 industri penerbitan buku Indonesia didominasi oleh Balai Pustaka disamping mulai
munculnya penerbit buku nasional seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat),
Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di Jakarta, Ganaco di Bandung dan lain-lain. Balai
Pustaka pasca kemerdekaan hingga tahun 1950 berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul
buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis
seperti Idrus dengan Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma; Tambera karya Utuy Tatang Sontani;
Pramudya Ananta Toer dengan Dia Jang Menjerah dan Bukan Pasar Malam; Mochtar Lubis dengan Si
Djamal. Selain karya anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor
Dostojevsky, John Steinbeck, Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit Balai Pustaka ratarata memprroduksi buku sebanyak 320 judul pertahun, dengan porsi terbesar buku yang cetak ulang dari

tahun sebelumnya.
a. Orde Lama
Tahun 1950-an adalah periode kemunculan penerbit swasta nasional. Sebagian besar berada di
pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka
tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di
tahun 1950 masih diijinkan beroperasi di Indonesia.
Pemerintah orde lama waktu itu mendirikan Yayasan Lektur. Yayasan tersebut memiliki dua fungsi
utama yaitu untuk mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku.
Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat
dengan pesat. Perkembangan industri penerbitan buku, telah mendorong pendirian Ikatan Penerbit
Indonesia (IKAPI) pada 17 Mei 1950 yang pada waktu itu hanya beranggota 13 penerbit.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua
perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan
perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas
bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya dengan harga
4

murah. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula
berjumlah 13 melonjak naik menjadi 600-an lebih. Lagi-lagi sebagian besar penerbit terkonsentrasi di
Jawa.

b. Era Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari peralihan dari
orde lama ke orde baru adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan
moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit
yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian
menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terusmenerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu,
diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan di pasaran bebas. Para
penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim
penilai.
Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang
harus melalui sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta
Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka
dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai,
kemudian Era Baru, Pemimpin Baru tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama
mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966.
Sebenarnya pemerintah saat itu sudah menyadari pentingnya mengatur masalah perbukuan
nasional. Pemerintah melihat kompleksnya masalah industri buku apalagi hal itu menyangkut berbagai
dan lintas sektor seperti pendidikan, perindustrian, perdagangan, dan keuangan. Oleh karena itu melalui
Keppres No 5 Tahun 1978, Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku

Nasional (BPPBN) yang bertugas melakukan berbagai kajian dan merumuskan konsep-konsep kebijakan
di bidang perbukuan nasional. Badan ini pulalah yang melakukan kajian perbukuan secara nasional dan
mengidentifikasi perlunya Undang-Undang untuk mengatur perbukuan secara nasional. Tahun 1997,
BPPBN menyusun draf awal UU tentang perbukuan nasional tetapi tidak ditindak lanjuti sampai Badan ini
dibubarkan. BPPBN dirasakan kurang fungsional dalam mengatasi berbagai masalah serta lebih berfokus
pada kajian-kajian dan rekomendasi kebijakan serta tidak melakukan kegiatan operasional. Pada tahun
1999 sesuai dengan salah satu rekomendasi hasil Kongres Perbukuan Nasional tahun 1995, dibentuk
Dewan Buku Nasional (DBN) yang diketuai oleh Presiden RI dengan sejumlah Menteri dan wakil
masyarakat perbukuan sebagai anggotanya. Namun dewan ini juga tidak berfungsi dengan optimal
karena masing-masing anggotanya sudah memiliki tugas dan kewajiban lain yang lebih pokok. Pada
akhirnya dewan tersebut dibubarkan pada November 2011 oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur
Negara.
Sebelumnya, pada tahun 1987 pemerintah melalui Keppres No. 4 Tahun 1987 dibentuk Pusat
Perbukuan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fungsi dari Pusat Perbukuan ini
adalah untuk mengembangkan buku-buku pendidikan, mendorong industri perbukuan dan melanjutkan
5

upaya membuat Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan. Namun sebelum UU tersebut berhasil
disusun, Pusat Perbukuan tersebut disatukan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan dengan lingkup
kerja yang semakin sempit. Pusat tersebut sekarang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku

pendidikan yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan sekolah.
4. Masa Reformasi dan Setelahnya
Era reformasi tahun 1999 dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di segala bidang
mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, tanpa kecuali politik perbukuan. Pada tahun itu pula pemerintah
mencabut peraturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Aturan tersebut sebenarnya dikhususkan bagi
perusahaan penerbitan pers. Namun secara tidak langsung pencabutan aturan tersebut mendorong
semakin banyak orang maupun lembaga mengekspresikan pendapatnya, yang salah satunya dengan cara
menerbitkan buku.
Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement on Tariff and
Trade pada tahun 1994, dan ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995, membawa konsekuensi
pengurangan peran pemerintah dalam bisnis penyediaan barang dan jasa, termasuk pengadaan buku
pelajaran.
Pada masa Orde Baru, pengadaan buku pelajaran dilakukan oleh pemerintah melalui penerbit
Balai Pustaka yang berstatus BUMN. Buku pelajaran mulai dari sekolah dasar hingga SLTA wajib
menggunakan buku terbitan Balai Pustaka. Sedangkan buku pelajaran dari penerbit swasta hanya
sebagai buku pelengkap saja.
Sebagai akibat dari penandatanganan perjanjian perdagangan bebas, pemerintah mencabut
peraturan tersebut dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Sejak saat itu jumlah penerbit baru terus
bertambah dan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Pada saat itu pula mulai muncul berbagai
masalah dalam bisnis perbukuan. Misalnya tentang distribusi buku pelajaran, para penerbit

menghubungi langsung para guru pengampu pelajaran agar menyuruh siswanya membeli buku
tersebuat. Selanjutnya para guru tersebut mendapatkan imbalan tertentu dari penerbit.
Praktik tersebut membuat persaingan antarpenerbit semakin sengit. Mereka berlomba-lomba
menurunkan harga buku atau menaikkan komisi untuk tenaga pendidik di sekolah agar buku mereka
yang digunakan. Praktik tersebut merusak harga pasaran buku pelajaran dan menurunkan kualitas isi
buku pelajaran.
Mengatasi persoalan buku pelajaran yang mahal, pemerintah mengeluarkan kebijakan mendanai
penerbitan buku-buku pelajaran tertentu dengan menggunakan dana Bantuan Operasi Sekolah.
Kebijakan ini di satu sisi menguntungkan bagi sekolah-sekolah swasta atau sekolah negeri dengan
kemampuan finansial rendah. Namun dari segi bisnis, kebijakan tersebut dianggap sebagai dominasi
pemerintah terhadap pasar dan penerbit.
Selain buku pelajaran, ada beberapa fenomena menarik dalam pasang surut bisnis perbukuan di
Indonesia paska reformasi. Pertama, buku motivasi. Sekitar dekade 90-an di Indonesia, khususnya Jawa,
sedang marak fenomena Multi Level Marketing atau biasa dikenal dengan sebutan MLM. Orang-orang
tergiur dengan janji keuntungan yang besar dalam waktu yang cepat. Kelompok-kelompok MLM biasanya
6

memiliki jadwal pertemuan antarsesama anggota. Salah satu kegiatan pertemuan tersebut adalah
pemberian motivasi dari leader atau anggota yang sudah mencapai level tinggi. Sekali sang leader
mengatakan bahwa suatu produk atau buku tertentu itu bagus, maka para downline akan segera mencari
dan membacanya. Itu sebabnya buku-buku motivasi dan MLM seperti Rich Dad Poor Dad, Cashflow
Quadrant, Skill with People, Berpikir dan Berjiwa Besar, Financial Revolution marak diburu.
Kedua, tren fiksi Islami. Ditandai dengan kemunculan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman
El-syirazi. Novel ini melejit salah satunya karena ekspos media massa. Pada saat itu novel yang berlatar
Negara Mesir tersebut dianggap menawarkan nuansa dan kisah cinta yang tak biasa di Indonesia. Bahkan
novel tersebut akhirnya dibuat versi film layar lebar. Akibatnya, muncul karya-karya fiksi dengan tema
serupa, desain muka yang mirip, bahkan cara penulisan nama pengarangnya.
Ketiga, tren fiksi petualangan. Pada tahun 2005 ada satu novel sangat laris yaitu Laskar Pelangi.
Novel tersebut mengisahkan tentang perjalanan seorang anak kampung yang berhasil mewujudkan
impiannya untuk kuliah di luar negeri. Novel tersebut juga diproduksi dalam versi film layar lebarnya
pada tahun 2008, dan sukses. Kesuksesan Laskar Pelangi tidak berhenti sampai di situ. Laskar Pelangi
kemudian dibuat versi serial, pentas musikal, dan diterjemahkan serta dipasarkan ke 20 negara di dunia.
Sebenarnya fiksi yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan tokohnya sudah pernah
booming di era 90-an, yang paling terkenal misalnya Balada Si Roy. Namun yang membedakannya adalah
Laskar Pelangi memberi inspirasi pembacanya tentang kondisi pendidikan di Indonesia dan petualangan
di luar negeri. Sejak saat itu juga banyak muncul karya-karya fiksi yang menggambarkan suka duka hidup
di negeri orang. Ada yang ditulis keroyokan ada juga yang perorangan. Selain itu juga marak buku-buku
saku berisi tips bepergian ke luar negeri lengkap dengan rincian biaya yang diperlukan.
Terakhir, munculnya buku elektronik. Perkembangan teknologi selalu membawa inovasi dan cara
baru bagi manusia menikmati hal-hal tertentu, termasuk membaca buku. Harga laptop atau netbook
yang semakin terjangkau dan meningkatkan kesadaran masyarakat atas kelestarian lingkungan
memunculkan kebiasaan baru masyarakat yaitu membaca buku elektronik. Meskipun mungkin kebiasaan
ini baru diadopsi oleh kalangan ekonomi menengah ke atas dan berpendidikan.

B. Lima Pilar Industri Perbukuan di Indonesia
Berdasarkan kenyataan di lapangan, industri perbukuan di Indonesia setidaknya melibatkan 5
pihak yaitu penerbit, percetakan, distributor, toko buku, dan konsumen pembaca. Masing-masing
memiliki dinamika tersendiri yang secara ringkas akan dibahas berikut ini. Sayangnya untuk menyusun
analisis yang komprehensif mengenai industri buku di Indonesia tidaklah mudah karena minimnya data
baik kuantitatif maupun kualitatif yang terdokumentasi.
a. Penerbit
Tidak ada data yang pasti tentang berapa jumlah penerbit yang masih beroperasi. Namun
berdasarkan data dari IKAPI setidaknya terdapat 793 penerbit di seluruh Indonesia. IKAPI merupakan
asosiasi penerbit buku terbesar di Indonesia. Namun dari sekian jumlah itu, 90% penerbit berlokasi di

7

Jawa. Sementara 10% sisanya tersebar di berbagai pulau. Hal ini menunjukkan bahwa industri perbukuan
masih sangat tidak merata.
Jumlah penerbit yang cukup besar itu ternyata tidak menjamin tingginya produksi judul buku baru
yang diterbitkan. Menurut IKAPI (2010) jumlah judul buku baru yang diterbitkan rata-rata 12.000 judul
per tahun termasuk terjemahan dan cetak ulang. Jumlah ini masih jauh di bawah Malaysia yang rata-rata
menerbitkan 13.000 judul per tahun. Apalagi jika dibandingkan dengan India yang mencapai 25.000 judul
per tahun (kompas.com). Begitu pula jumlah cetak per judulnya relatif masih rendah yaitu 2000-3000
eksemplar per judul buku.
Selain penerbit yang tergabung dalam IKAPI, ada juga penerbit yang tidak/belum bergabung.
Biasanya mereka ini adalah penerbit-penerbit skala kecil dengan pegawai yang sedikit. Bahkan ada
penerbit yang hanya dijalankan oleh dua orang saja. Hal ini terjadi karena memang usaha penerbitan
tidak membutuhkan investasi yang mahal dan sangat mudah pengurusannya.
Dilihat dari konten buku yang diterbitkan, IKAPI mengelompokkan 5 jenis penerbitan yaitu
penerbitan jenis buku agama, buku umum, buku pelajaran, buku perguruan tinggi (PERTI) dan buku
anak-anak/remaja dengan komposisi 17,95% buku agama (319 perusahaan), 13,96% buku perguruan
tinggi (248 perusahaan), 10,35% buku anak-anak/remaja (184 perusahaan), buku umum 8,67% ( 154
perusahaan) dan buku pelajaran 4,45% (79 perusahaan).
b. Percetakan
Industri penerbitan baik fiksi maupun nonfiksi tidak bisa dilepaskan dari bisnis percetakan. Dalam
kondisi ideal sebuah industri buku, antara bisnis penerbitan dan percetakan seyogyanya terpisah. Namun
jikalau pada kenyataannya kedua bisnis tersebut bergabung menjadi satu juga tidak menjadi masalah.
Lazimnya hanya lembaga penerbitan yang sudah mapan saja yang memiliki percetakan sendiri dengan
alasan lebih ekonomis. Sementara bisnis percetakan yang masih baru biasanya memulai usahanya
dengan melayani jasa berbagai macam percetakan.
Dilihat dari struktur industrinya, bisnis penerbitan dan percetakan tidak jauh beda. Aturan
perijinan untuk usaha percetakan dan penerbitan juga bisa dikatakan mirip. Maka tak heran jika para
pelaku usaha percetakan juga menjalankan usaha penerbitan.
c. Distributor
Secara ekonomi, pihak distributor merupakan unit bisnis yang seharusnya mendapatkan
keuntungan paling besar dari rantai industri buku. Pasalnya distributor tidak memerlukan modal awal
yang tinggi dibanding pelaku penerbitan, percetakan, maupun toko buku sekalipun. Distributor bisa
mendapatkan 20-40% dari harga jual buku tanpa perlu mengeluarkan modal sebanyak penerbit.
Sehingga banyak orang yang tertarik untuk berbisnis sebagai distributor buku.
Secara umum ada 3 jenis distributor yang beroperasi di Indonesia. Pertama distributor yang
dijalankan oleh perusahaan penerbitan itu sendiri. Kedua, distributor yang mengambil buku dari
penerbit-penerbit ke toko buku dan pembaca. Terakhir, toko buku yang menjual ke konsumen.
Kenyataan bahwa banyak penerbit yang mendistribusikan bukunya sendiri membuat persaingan
bisnis di level ini menjadi tidak sehat. Rupanya penerbit tidak mau kehilangan potensi keuntungan dari
8

jalur distribusi ini. Oleh karena itu dalam peraturan pemerintah yang baru mengatur persoalan distribusi
buku yaitu bahwa toko merupakan jalur terakhir distribusi buku dari penerbit. Artinya bahwa penerbit
tidak diperbolehkan menjual langsung kepada pembaca. Sebenarnya tujuan dari peraturan pemerintah
tersebut adalah membatasi agar mata-rantai industri buku tidak dimonopoli oleh penerbit. Sehingga
peluang usaha untuk para penyalur buku tetap terbuka.
Namun kenyataannya di lapangan, penerbit banyak yang berkelit dengan berbagai cara untuk
memaksimalkan keuntungan. Masih banyak penerbit yang langsung mendatangi calon pembeli (misalnya
buku pelajaran). tak sedikit perusahaan penerbit besar mendirikan toko-toko buku untuk mengakali
peraturan pemerintah yang mengharuskan penjualan buku melalui toko buku.
d. Toko Buku
Memperhatikan perkembangan toko buku dalam industri buku Indonesia, situasi saat ini sangat
tidak kondusif bagi perkembangannya. Saat ini jumlah toko buku terus menyusut meskipun dalam skema
yang diinginkan Pemerintah berada dalam posisi yang strategis dan menentukan.
Tidak sesuainya praktek dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah merupakan biang keladi
hancurnya toko buku. Keterangan Gabungan Toko Buku Indonesia (GATBI), sebagaimana dilaporkan
KPPU, menyatakan bahwa sebelumnya jumlah toko buku berada di atas 2000. Tetapi saat ini jumlah
tersebut menyusut menjadi hanya sekitar 700-800 saja.
Penyusutan lebih banyak diakibatkan oleh tidak adanya penegakan hukum terhadap penerbit yang
secara langsung memasarkan buku ke konsumen. Kasus ini banyak terjadi untuk buku pelajaran di
sekolah (yang sesungguhnya dilarang berdasarkan kebijakan). Padahal buku teks pelajaran sekolah
merupakan bagian terbesar dari pasar buku di Indonesia saat ini.
Jadi yang terjadi saat ini, persaingan antar toko buku mungkin justru melemah. Tetapi persaingan
dengan jaringan distribusi penerbit justru banyak terjadi. Dipastikan toko buku akan kalah bersaing,
mengingat buku-buku teks pelajaran hanya dimiliki oleh penerbit dengan jumlah terbatas, serta mampu
melakukan pendekatan terhadap level penentu buku yang akan digunakan di sekolah.
e. Konsumen/Pembaca
Kemajuan industri buku bisa dijadikan salah satu indikator peningkatan kemampuan literasi
masyarakat. Jika melihat banyaknya penerbit buku yang ada di Indonesia, kita boleh sedikit bangga.
Namun apakah itu berarti menunjukkan minat baca masyarakat yang juga semakin meningkat? Kita perlu
cari tahu.
Berdasarkan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNESCO), dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca tinggi.
Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara dengan minat baca terendah dari 52 negara di Asia Timur.
Di samping rendahnya minat baca, problem yang lain adalah tidak meratanya persebaran buku
bacaan di Indonesia. Data IKAPI terbaru tahun 2011 menunjukkan bahwa 70 persen distribusi buku fiksi
maupun nonfiksi terserap di pulau Jawa dan Bali. Di samping karena sebagian besar penerbit

9

berproduksi di pulau Jawa, hal ini juga disebabkan tingginya biaya pengiriman buku ke luar Jawa
(indonesiabuku.com).

C. Tantangan dan Solusi
Bisnis perbukuan semakin berkembang seiring dengan meningkatkan minat baca dan kemampuan
ekonomi masyarakat. Bagi penerbit, industri buku, terutama buku pelajaran, masih memiliki prospek
yang cerah. Karena pasar buku pelajaran akan selamanya ada sebagai prasyarat pendidikan yang
berkualitas. Sedangkan dari sisi civil society, masyarakat memiliki kepentingan atas tersedianya bukubuku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Dengan begitu bisnis perbukuan turut serta dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun untuk mewujudkan cita-cita tersebut bukanlah hal yang mudah. Ada sejumlah tantangan
yang menuntut kesadaran bersama dan kemauan untuk bersinergi dari pelaku usaha perbukuan,
pemerintah, dan masyarakat untuk mengatasinya. Beberapa tantangan dalam industri perbukuan antara
lain.
a. Harga Buku
Harga buku memang menjadi salah satu elemen utama dalam proses persaingan di pasar buku.
Tetapi sayangnya proses-proses efisiensi yang berhasil dilakukan penerbit tidak dapat ditransformasikan
kepada konsumen, tetapi biasanya kepada jalur akhir distribusi baik melalui jalur toko buku ataupun non
toko buku.
Penetapan harga buku sepenuhnya merupakan kewenangan penerbit berdasarkan biaya yang
dikeluarkan selama proses penerbitan. Komponen biaya penerbitan buku secara sederhana terdiri dari
biaya royalti/honor penulis, bahan baku kertas, biaya cetak, editor, desainer/layouter, biaya rabat/diskon
untuk distributor. Secara umum komponen penyusun harga jual buku adalah sebagai berikut. Biaya
produksi 20%, 10% royalti penulis (kecuali menggunakan sistem beli putus), 50% rabat untuk distributor,
sedangkan 20% sisanya adalah keuntungan bagi penerbit.
Dari keseluruhan biaya produksi, komponen bahan baku kertas merupakan yang tertinggi. Hal ini
dirasakan oleh semua penerbit. Karena untuk jenis kertas yang dipakai untuk buku, sebagian besar masih
harus impor. Selanjutnya yaitu tingginya rabat/diskon untuk toko buku. Selama ini yang lazim berlaku,
rabat untuk toko buku, agency, atau penyalur adalah sebesar 30-40%. Ada juga penerbit yang berani
memberikan hingga 50% dari harga jual. Data ini menunjukkan bahwa bisnis perbukuan belum berpihak
pada konsumen pembaca, melainkan lebih banyak menguntungkan toko buku atau distributor. Jika
memang industri perbukuan ingin semakin maju, maka minat baca masyarakat harus didorong. Untuk
mendorong minat baca masyarakat diperlukan buku-buku yang berkualitas dengan harga yang semakin
terjangkau.
10

b. Keberpihakan Pemerintah
Peran pemerintah dalam industri perbukuan nasional sangatlah penting. Dari sisi pemerintah
seharusnya ada perubahan cara pandang terhadap industri buku nasional. Bahwa industri buku tidak
hanya tentang bisnis biasa tetapi juga tentang ideologi dan pembangunan kualitas manusia Indonesia.
Selama ini pemerintah dianggap kurang berpihak pada industri buku. Ini, antara lain, tercermin
dari tidak adanya pengendalian harga kertas sehingga harga kertas sangat tinggi, buku berkali-kali kena
pajak, penulis buku kena pajak tinggi, dan biaya distribusi buku tidak ada perkecualian, sama dengan
barang lainnya.
c. Kebijakan Perbukuan yang bersifat parsial
Sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam dalam masalah perbukuan nasional. Peran Pemerintah
dalam industri buku, saat ini terpusat pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Alokasi anggaran
Negara untuk sektor perbukuan dilimpahkan kepada departemen tersebut. Padahal dalam
implementasinya terdapat beberapa aspek yang sebenarnya lebih tepat menjadi kewenangan pihak
lainnya, terutama menyangkut aspek niaga buku dalam hal ini distribusi.
Sebagai contoh saja, instansi yang berwenang mengeluarkan izin usaha buku adalah Departemen
Perdagangan. Tetapi selanjutnya setelah Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP) dikeluarkan, Departemen
perdagangan tidak memiliki kewenangan monitoring atas perusahaan penerbitan buku. Sehingga dalam
pelaksanaannya diindikasikan terdapat persaingan usaha yang tidak sehat antarpenerbit, juga terkait
dengan usaha jasa distribusi buku.
Sebagai instansi yang ditunjuk mengurusi perbukuan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
membentuk satuan kerja Pusat Buku dan Panitia Nasional Penilai Buku Pelajaran. sejak 2003 keduanya
bekerja sama melakukan penilaian terhadap buku pelajaran yang beredar. Hal tersebut merupakan bukti
kinerja pemerintah dalam menjaga kualitas buku. Namun sayangnya, peran pemerintah dalam industri
perbukuan masih berfokus pada penerbitan buku ajar. Padahal dinamika penerbitan buku umum juga tak
kalah rumitnya.

11

Daftar Pustaka
“70 Persen Buku Terserap di Jawa-Bali.” Indonesia Buku edisi 10 Februari 2011. Terarsip dalam
http://indonesiabuku.com/?p=8315 diakses pada 18 Juli 2012.
Arsya, Deddy. 2012. “Penerjamahan Karya Asing pada Zaman Belanda”. Inioke.com edisi 15 Mei 2012.
tersimpan dalam http://www.inioke.com/Rubrikasi/1315-Penerjamahan-Karya-Asing-padaZaman-Belanda-.html diakses pada 18 Juli 2012.
“Awal Periklanan Indonesia (bag.I)” Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Sebagaimana tersimpan
dalam http://www.p3i-pusat.com/tentang-p3i/kilas-balik/51-bab-i-awal-periklanan-indonesiabag1
“Industri Buku Nasional Masih Terbelakang.” Kompas.com, edisi 20 April 2010. Terarsip dalam
http://nasional.kompas.com/read/2010/04/20/18071110/function.simplexml-load-file diakses
pada 7 Agustus 2012.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Position Paper KPPU terhadap Kebijakan Perbukuan Nasional.
Terarsip dalam http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/buku.pdf diakses pada 6 agustus
2012.
Poesponegoro, M.J. dan Nugroho S. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Suyono S.J. et.al. 2006. “Jejak Boekhandel Tan Khoen Swi”. Majalah Tempo 7 Agustus 2006. Tersimpan
dalam http://indonesiabuku.com/?p=12754 diakses pada 18 Juli 2012.
Yusuf, Iwan A. et.al. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan
Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media dan FES Indonesia.

12

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65