Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan adalah masalah manusia dan gejala sosial karena dapat terjadi dimana dan kapan saja dalam pergaualan hidup. Sedangkan naik turunnya angka kejahatan tersebut tergantung pada keadaan masyarakat, keadaan politik ekonomi, budaya dan sebagainya. Salah satu kejahatan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua. Hal ini bukan saja menarik perhatian penegak hukum tetapi juga mengusik rasa aman masyarakat. Kendaraan bermotor roda dua merupakan sarana transporasi yang mempunyai mobilitas tinggi, maka pelaku kejahatan ini merupakan kejahatan yang memiliki mobilitas tinggi juga dampak negatifnya terhadap masyarakat.

Kejahatan pencurian kendaraan bermotor merupakan kejahatan terhadap harta benda yang tidak lajim terjadi di negara-negara berkembang……. selanjutnya dikatakan bahwa kejahatan pencurian kendaraan bermotor beserta isi-isinya merupakan sifat kejahatan yang menyertai pembangunan.1

Fenomena pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan atau dikenal

dengan istilah “begal” adalah salah satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata begal berarti penyamun dan jika ditambahkan dengan membegal berarti “merampas di jalan”2

Maraknya pemberitaan aksi begal di berbagai daerah sebagaimana yang telah kita baca, dengar, bahkan menyaksikan secara langsung, sungguh kejam dan mengiriskan sekali. Dikatakan demikian karena dalam melakukan aksinya para begal motor ini selalu menggunakan senjata tajam atau senjata api sehingga apabila korbannya melawan mereka

1 Soerjono Soekanto, Hartono Widodo dan Chalimah Sutanto, Penanggulangan Pencurian Kendaraan Bermotor Suatu Tinjauan Kriminologi, Aksara, Jakarta, 1988, hal.20.

2

http://kbbi.web.id/begal, diakses tgl. 16 Nopember 2015.


(2)

tidak segan-segan untuk melukai dan membunuhnya bahkan dibarengi dengan tindakan pemerkosaan karena kebanyakan para korbannya adalah kaum wanita.

Aksi begal motor yang dilakukan oleh sekelompok orang atau terorganisir pada hakekatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu harus diberi tindakan hukum. Hal ini telah diatur dalam KUHP Pasal 365 ayat (1), (2) dan (3) yaitu dengan pidana hukuman selama-lamanya sembilan tahun, dua belas tahun, bahkan seumur hidup.

Oleh karena itu, adanya aksi begal motor menuntut kita semua, khususnya penegak hukum untuk menjalankan tugas dengan baik-baiknya. Kepada aparat Kepolisian diharapkan melakukan tindakan dengan cepat baik secara represif maupun preventif. Sementara bagi aparat Jaksa dan Hakim agar melakukan penuntutan dan penetapan vosis dengan seadil-adilnya berdasarkan fakta-fakta hukum.

Tindak pidana pencurian kenderaan roda dua dengan kekerasan akhir-akhir ini juga semakin marak terjadi di wilayah hukum Polresta Medan umumnya dan Polsek Delitua khususnya. Satu hal yang justru menarik perhatian dan mengusik pikiran penulis adalah bahwa di daerah ini tindak pidana pencurian kenderaan bermotor dengan kekerasan juga telah melibatkan pelajar sebagai pelakunya.

Betapa sangat disayangkan, bagaimana mungkin seorang pelajar di usia remaja yang dididik sedemikian rupa di sekolah ternyata tega dan terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Tindakannya ini selain merusak mental dan masa depan pelajar itu sendiri, juga telah membuat malu keluarga, sekolah, masyarakat dan bangsa.


(3)

Kita menyadari dan menyepakati bahwa tindak pidana pencurian bukanlah tindakan yang manusiawi karena tidak didasari oleh akal sehat. Akal yang merupakan karunia pemberian Tuhan Yang Maha Esa digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Karena tindak pidana pencurian merupakan tindakan yang menyimpang baik dari segi hukum, agama, dan norma-norma adat maka perbuatan ini bukanlah perbuatan yang baik.

Dalam keadaan demikian maka kehadiran kriminologi sebagai salah satu ilmu bantu hukum pidana sangat diperlukan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan, bertujuan memahami gejala-gejala kejahatan di tengah pergaulan hidup manusia, menggali sebab-musabab kejahatan, dan mencari atau menyusun konsep-konsep penanggulangan kejahatan seperti upaya mencegah atau mengurangi kejahatan yang mungkin akan terjadi.

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian

Kendaraan Bermotor Roda Dua Dengan Kekerasan (Begal) Yang Dilakukan Oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)”

B. Perumusan Masalah

Dari uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang mendasari skripsi ini adalah :

1. Apakah faktor-faktor penyebab pelajar melakukan pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) di wilayah hukum Polsek Delitua?

2. Bagaimana upaya aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar ?


(4)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab pelajar melakukan pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) di wilayah hukum Polsek Delitua?

2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar.

Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan mendatangkan manfaat yang berupa : 1. Manfaat Secara Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat memberikan masukan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal yang berhubungan dengan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar. Selain itu dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia.

2. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberi pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana yang terjadi dewasa ini dan bagaimana upaya penanggulangan sehingga kasus-kasus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar bisa dikurangi. Selain itu juga sebagai pedoman dan masukan baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam memberantas tindak pidana pencurian.

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam menanggulangi pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar.


(5)

D. Keaslian Penulisan

Dengan melihat skripsi ini, maka akan diperoleh suatu gambaran mengenai tindak pidana pencurian kendaraan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar. Sepanjang yang diketahui, khususnya setelah mengadakan intervensi judul skripsi ini di perpustakaan Fakultas Hukum USU maka skripsi yang berjudul “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua Dengan Kekerasan (Begal) Yang Dilakukan Oleh Pelajar ((Studi di Polsek Delitua)” belum pernah diangkat sebelumnya. Penyusunan skripsi ini berdasarkan referensi buku-buku hasil pemikiran, bacaan-bacaan dari media internet, dan juga bantuan dari berbagai pihak. Semua

ini merupakan implikasi pengetahuan dalam bentuk tulisan yang dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara alamiah. Dengan demikian skripsi ini masih asli.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi

Asal mula perkembangan kriminologi tidak dapat disangkal berasal dari penyelidikan C. Lomborso (1876). Bahkan lomborso menurut Pompe dipandang sebagai salah satu tokoh revolusi dalam sejarah hukum pidana, disamping Cesare Baccaria.Namun ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan justru bukan dari Lomborso melainkan dari Adolhe Quetelet, seorang Belgia yang memiliki keahlian dibidang Matematika. Bahkan, dari dialah berasal “statistic kriminil” yang kini dipergunakan terutama oleh pihak kepolisian di semua negara dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan kejahatan di negaranya. 3

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi ditemukan oleh P. Topinard (1983-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara

3


(6)

harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang

berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. 4

W.A. Bonger menyatakan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. 5

Definisi kriminologi menurut Edwin H.Sutherland adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Menurutnya kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum.6

Sedangkan Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat7

Menurut Ediwarman, kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan (baik yang dilakukan oleh individu, kelompok atau masyarakat) dan sebab musabab timbnya kejahatan serta upaya-upaya penanggulangannya sehingga orang tidak berbuat kejahatan lagi.8

Moeljatno berpendapat bahwa kriminologi adalah untuk mengerti apa sebab-sebab sehingga seseorang berbuat jahat. Apakah memang karena bakatnya adalah jahat ataukah didorong oleh keadaan masyarakat disekitarnya (milieu) baik keadaan sosiologis maupun ekonomis. Ataukah ada sebab-sebab lain lagi. Jika sebab-sebab itu diketahui, maka disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat, agar orang tadi tidak

4

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.9 5

W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, Terjemahan oleh R.A.Koesnoen, PT.Pembangunan, Cetakan Ketujuh, 1995, hal.19

6

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.cit, hal.9 7 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.cit, hal.12 8

Ediwarman, dkk, Monograf Krimonologi, Edisi Ketiga, Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012, hal.6


(7)

lagi berbuat demikian, atau agar orang-orang lain tidak akan melakukannya. Karena itulah terutama dinegeri-negeri angelsaks, Kriminologi dibagi menjadi tiga bagian9, yaitu :

1. Criminal biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab

dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohani.

2. Criminal sociology, yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan

masyarakat dimana penjahat itu berbeda (dalam milieunya).

3. Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang disekitarnya harus dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.

Menurut A.S. Alam, ruang lingkup pembahasan kriminologi meliputi tiga hal pokok10, yaitu :

1. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws). Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making laws) meliputi :

a. Definisi kejahatan b. Unsur-unsur kejahatan

c. Relativitas pengertian kejahatan d. Penggolongan kejahatan

e. Statistik kejahatan

2. Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). Sedangkan yang dibahas dalam etiologi kriminal (breaking of laws) meliputi :

a. Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi b. Teori-teori kriminologi

c. Berbagai perspektif kriminologi

3. Reaksi terhadap pelanggaran hukum, (reacting toward the breaking of laws).

9

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.14 10


(8)

Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal prevention). Selanjutnya yang dibahas dalam bagian ketiga adalah perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (Reacting Toward the Breaking laws) meliputi :

a. Teori-teori penghukuman

b. Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik berupa tindakan pre-emtif, preventif, represif, dan rehabilitatif.

Dari berbagai pengertian yang dikemukakan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari mengenai kejahatan, untuk memahami sebab-musabab terjadinya kejahatan, serta mempelajari tentang pelakunya, yaitu orang yang melakukan kejahatan, atau sering disebut penjahat. Dan juga untuk mengetahui reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku . Hal ini bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala-gejala yang timbul dimasyarakat yang dipandang sebagai perbuatan yang merugikan atau membahayakan masyarakat luas.

2. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana a. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. 11Menurut Moeljatno istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. 12

Andi Hamzah membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa

11

Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493 12


(9)

Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang diper-gunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.13

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.14 Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.15

b. Pengertian Tindak Pidana

R. Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran.16

Menurut Moeljatno, pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 17 Berkaitan dari pendapat di atas, menurut Simons tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan, dapat

13

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Bandung, 2009, hal. 1 14

J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta,Bandung, 1987. hal.17.

15 J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana 1, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta,Bandung, 1987. hal.17.

16 R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.17517.

17


(10)

diisyaratkan kepada pelaku. 18

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana dapat dipahami sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menimbulkan akibat dilakukannya tindakan hukuman atau pemberian sanksi terhadap perbuatan tersebut.

3. Pengertian Pencurian

Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggitingginya enam

puluh rupiah”.

Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui, bahwa kejahatan pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan

hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan “mengambil”.

Menerjemahkan perkataan “zich toeeigenen” dengan “menguasai”, oleh karena

didalam pembahasan selanjutnya pembaca akan dapat memahami, bahwa “zich toeeigenen”

itu mempunyai pengertian yang sangat berbeda dari pengertian “memiliki”, yang ternyata

sampai sekarang banyak dipakai di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meskipun benar bahwa perbuatan “memiliki” itu

sendiri termasuk di dalam pengertian “zich toeeigenen” seperti yang dimaksudkan di dalam

Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut di atas. 19

a. Unsur-Unsur Pidana Pencurian

Pengertian unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu pengertian unsur tindak pidana dalam arti sempit dan pengertian unsur-unsur dalam arti luas. Misalnya unsur-unsur tindak pidana dalam arti sempit terdapat pada tindak pidana pencurian biasa,

18

C.S.T. Kansil, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT.Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.106. 19


(11)

yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dalam arti luas terdapat pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan, yaitu unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 365 KUHP. Apabila kita perhatikan rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP dapat dibedakan antara unsur obyektif dan unsur-unsur subyektif. 20

1) Yang disebut unsur obyektif ialah : a) Perbuatan manusia

Pada umumnya tindak pidana yang diatur di dalam perundang-undangan unsur-unsurnya terdiri dari unsur lahir atau unsur objektif. Namun demikian adakalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak saja pada unsur objektif tetapi juga pada unsur subjektif yang terletak pada batin pelaku. Bentuk suatu tindak pidana dengan unsur objektif antara lain terdapat pada tindak pidana yang berbentuk kelakuan. Maka akibat yang terjadi dari perbuatan tidak penting artinya. Dari rentetan akibat yang timbul dari kelakuan tidak ada yang menjadi inti tindak pidana, kecuali yang telah dirumuskan dalam istilah yang telah dipakai untuk merumuskan kelakuan tersebut. Misalnya

kelakuan dalam tindak pidana “pencurian” yang diatur dalam Pasal 362 KUHP, dirumuskan dengan istilah “mengambil barang” yang merupakan inti dari delik

tersebut. Adapun akibat dari kelakuan; yang kecurian menjadi miskin atau yang kecurian uang tidak dapat belanja, hal itu tidak termasuk dalam rumusan tindak pidana pencurian.

b) Delik materiil

Delik materiil dimana dalam perumusannya tindak pidana hanya disebutkan akibat tertentu sebagai akibat yang dilarang. Apabila kita jumpai delik yang hanya dirumuskan akibatnya yang dilarang dan tidak dijelaskan bagaimana kelakuan yang

20


(12)

menimbulkan akibat itu, kita harus menggunakan ajaran “hubungan kausal”, untuk

manggambarkan bagaimana bentuk kelakuan yang menurut logika dapat menimbulkan akibat yang dilarang itu. Dengan begitu baru dapat diketahui perbuatan materiil dari tindak pidana yang menyebabkan timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa diketahui siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itu, tidak dapat ditentukan siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan dengan akibat yang dilarang tersebut. c) Delik formiil

Delik formil ialah delik yang dianggap telah terlaksana apabila telah dilakukan suatu perbuatan yang dilarang. Dalam delik formil hubungan kausal mungkin diperlukan pula tetapi berbeda dengan yang diperlukan dalam delik materiil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa delik materiil tidak dirumuskan perbuatan yang dilarang sedang akibatnya yang dirumuskan secara jelas, berbeda dengan delik formil yang dilarang dengan tegas adalah perbuatannya.

2) Yang disebut unsur subyektif ialah :

a) Dilakukan dengan kesalahan Delik yang mengandung unsur memberatkan pidana, apabila pelaku pencurian itu dengan keadaan yang memberatkan seperti yang tertera pada Pasal 365 ayat, 2, 3 dan 4 KUHP. Maka pelaku pencurian ini dapat dikenakan pencabutan hak seperti yang tertera dalam Pasal 336 KUHP yang berbunyi :

“Dalam pemidanaan karena salah satu perbuatan yanmg diterangkan dalam Pasal 362,

363, dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam Pasal 345 no 1-4”. b) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab tentang adanya unsur-unsur pada tindak

pidana apabila: Perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan, dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Pengertian kemampuan bertanggung jawab, banyak yang telah mengemukakan pendapat antara lain: Simons berpendapat bahwa : “Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya


(13)

suatu pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”. Selain itu, Simons juga mengatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila : (1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum, (2) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

KUHP tidak memuat perumusan kapan seseorang mampu bertanggung jawab. Di dalam buku I bab III Pasal 44 berbunyi :

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan

kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu jiwanya karena

penyakit tidak dapat dipidana”

Dari Pasal 44 KUHP tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa ada 2 hal yang menjadi penentuan keadaan jiwa si pembuat yaitu :

(1) Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat. Pemeriksaan keadaan pribadi si pembuat yang berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, yang dilakukan oleh seorang dokter penyakit jiwa. (2) Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si pembuat dengan

perbuatannya. Adapun yang menetapkan adanya hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian itu dengan perbuatan tersangka adalah Hakim.

Kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa sistem yang dipakai dalam KUHP dalam menentukan tidak dapat dipertanggung jawabkannya si pembuat adalah deskriptif normatif. Deskriptif karena keadaan jiwa digambarkan apa adanya oleh psikiater, dan normatif karena hakimlah yang menilai, bardasarkan hasil pemeriksaan, sehingga dapat menyimpulkan mampu dan tidak mampunyai tersangka untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

Maka kesimpulannya meskipun orang telah melakukan tindak pidana, tetapi menurut bunyi buku ke II KUHP tersebut masih harus ditentukan


(14)

bahwa perbuatan itu dapat dipidana atau tidak dapat dipidana. Suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum dapat dipidana apabila sudah dinyatakan salah. Dapat diartikan salah apabila tindak pidana tersebut dalam hal apa dilakukan ternyata perbuatan itu dipengaruhi oleh ikhwal pada diri pelaku, artinya meskipun ia sudah melanggar larangan suatu aturan hukum pengenaan pidana dapat dihapuskan apabila perbuatan itu diatur dalam pasal; Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49 ayat 1 dan 2, Pasal 50, Pasal 51 KUHP.

Rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam buku II adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk perbuatan tindak pidana apa yang dilarang. Untuk menentukan rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat yang terdapat dalam rumusan tindak pidana itu, misalnya: Tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP. Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 362 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak

enam puluh rupiah”

Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri 4 unsur seperti tersebut diatas, tanpa menitik beratkan pada satu unsur. Tiap-tiap unsur mengandung arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu perbuatan.

(1) Barang siapa; yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” subjek hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum;

(2) Mengambil barang sesuatu; dengan sengaja mengambil untuk memiliki atau diperjual belikan;

(3) Barang kepunyaan orang lain; mengambil barang yang telah menjadi hak orang lain;


(15)

atau tanpa izin pemilik hak barang tersebut.

Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Untuk itu dalam menentukan tindak pidana yang digunakan, selain unsur-unsur tindak pidana yang dilarang juga ditentuka kualifikasi hakikat dari tindak pidana tersebut. Misalnya seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung. Rumusan tersebut memenuhi unsur penadahan seperti yang diatur dalam Pasal 480 KUHP namun karena kualifikasi kejahatan sebagai pencuri maka ia tetap malanggar Pasal 362 KUHP bukan sebagai penadah.

Pompe, dengan tegas berpendapat; “Seorang pencuri yang tidak segera menjual hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan penadah, sebab perbuatan itu tidak dapat dimasukkan

kualifikasi penadah”. Sehingga didalam pemberian pidana yang diperbuat pidananya

haruslah dengan melihat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan penjatuhan pidananya yang mana dimulai dari pembuktian, sistem pembuktian, jenis pidana dan tujuan pemidanaan serta kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat.

Kesemuannya yang diuraikan di atas saling terkait dan merupakan suatu sistem dalam proses untuk tercapainya rasa keadilan dan kepastian hukum, di dalam wilayah Hukum Negara Indonesia. Dapat diterapkannya pemberatan pidana sebagaimana yang telah ditentukan di dalam KUHP, maka diperlukan hal-hal tersebut di atas guna menentukan pasal-pasal mana yang seharusnya diterapkan.


(16)

Jenis – jenis tindak pidana pencurian terbagi menjadi lima yaitu :

1) Tindak Pidana Pencurian Dalam Bentuk Pokok

Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur di dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, maka ia dihukum karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggitingginya enam

puluh rupiah”.

Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui, bahwa kejahatan pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang diartikan

“mengambil”.

2) Tindak Pidana Pencurian dengan Unsur–Unsur yang Memberatkan

Tindak pidana pencurian dengan unsur–unsur yang memberatkan ataupun yang ada di dalam doktrin juga sering disebut gequalificeerde distal atau pencurian dengan kualifikasi oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 363 KUHPidana yang berbunyi :

a) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun: (1) pencurian ternak

(2) pencurian yang dilakukan pada waktu terjadi kebakaran, ledakan, bahaya banjir, gempa bumi atau gempa laut, letusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, pemberontakan, huru-hara atau bahaya perang.

(3) pencurian pada malam hari dalam suatu tempat kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutupyang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, yang dilakukan olehseseorang yang berada di sanatanpa sepengetahuan atau bertentangan dengan keinginan orang berhak.

(4) pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. (5) pencurian dimana orang yang bersalah dalam mengusahakan jalan masuk ke

tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya telah melakukan pembongkaran, perusakan atau pemanjatan atau memakai kunci-palsu, suatu perintah palsu atau seragam palsu.

(6) Tindak Pidana Pencurian Dalam Bentuk Pokok


(17)

seperti yang dimaksudkan dalam angka 4 dan angka 5, dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Kata pencurian di dalam rumusan tindak pidana pencurian dengan kualifikasi seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP di atas mempunyai arti sama dengan kata pencurian sebagai pencurian dalam bentuk pokok dan dengan demikian juga mempunyai unsur-unsur yang sama.

3) Tindak Pidana Pencurian Ringan

Yang oleh undang-undang telah diberikan kualifikasi sebagai pencurian ringan atau lichte diefstal, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 364 KUHPidana yang berbunyi:

“Tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 angka 4, demikian halnhya yang dirumuskan dalam Pasal 363 angka 5, jika tidak dilakukan di dalam tempat kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, jika nilai dari benda yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, sebagai pencurian ringan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus

rupiah.”

Tentang nilai benda yang dicuri itu semula ditetapkan tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, tetapi kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 16 tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana telah diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah.

4) Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 365 KUHPidana yang berbunyi sebagai berikut:

a) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan terhadap orang-orang, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian tersebut, atau untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta dalam kejahatan dapat melarikan diri jika diketahui pada waktu itu juga, ataupun untuk menjamin penguasaan atas benda yang telah dicuri. b) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun:


(18)

kediaman atau di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya terdapat sebuah tempat kediaman, atau di atas jalan umum, atau di atas kereta api atau trem yang bergerak.

(2) jika tindak pidana itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

(3) jika untuk mendapat jalan masuk ke tempat kejahatan, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran atau pemanjatan atau telah memakai kunci-kunci palsu, suatu perintah palsu atau suatu seragam palsu.

(4) jika tindak pidana itu telah mengakibatkan luka berat pada tubuh.

c) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika tindak pidana itu telah mengakibatkan matinya orang.

d) Dijatuhkan pidana atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, jika tindak pidana itu mengakibatkan luka berat pada tubuh atau matinya orang, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama dan disertai dengan salah satu keadaan yang disebutkan dalam angka 1 dan angka 3.

Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana juga merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan.

Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, ataupun bukan merupakan suatu samenloop dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.

5) Tindak Pidana Pencurian dalam Keluarga

Tindak pidana pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367 KUHPidana yang berbunyi:

(1) Jika pelaku atau orang yang membantu melakukan salah satu kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Bab ini ialah seseorang suami atau istri yang tidak bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta kekayaan dengan orang, terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap pelaku atau orang yang melakukan kejahatan tersebut,

(2) Jika mereka itu merupakan suami atau istri yang bercerai meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta kekayaan, atau merupakan saudara sedarah atau karena perkawinan baik dalam garis lurus maupun dalam garis menyamping sampai derajat kedua dari orang, terhadap siapa kejahatan itu telah dilakukan, maka


(19)

penuntutan terhadap mereka hanya dapat dilakukan, jika ada pengaduan terhadap mereka dari orang, terhadap siapa telah dilakukan kejahatan.

(3) Jika berdasarkan lembaga-lembaga keibuan, kekuasaan bapak itu dilakukan oleh orang lain daripada seorang ayah, maka ketentuan dalam ayat yang terdahulu itu juga berlaku bagi orang lain tersebut.

Lembaga-lembaga scheiding van tafel en bed atau bercerai meja makan da tempat tidur dan scheiding van geoderen atau bercerai harta kekayaan merupakan lembaga-lembaga yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek, dan dengan sendirinya juga hanya berlaku bagi mereka yang menundukkan diri pada Burgerlijk Wetboek tersebut. Bagi mayoritas warga negara Indonesia yang menganut Agama Islam dan menikah menurut Hukum Islam hanya dikenal lembaga talak, sehingga untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 KUHPidana bagi mereka, kata-kata bercerai meja makan dan tempat tidur dan bercerai harta kekayaan itu harus dibaca sebagai bercerai dalam pengertian talak tanpa perlu memperhatikan apakah talak tersebut merupakan talak pertama, talak kedua, atau talak ketiga.

Bagi sebagian lagi penduduk Indonesia yang biasa melangsungkan perkawinan mereka menurut adat mereka, yang disebut perkawinan itu menurut hukum yang berlaku hanya merupakan lembaga hidup bersama tanpa nikah, sehingga ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 KUHPidana tidak berlaku bagi mereka, yakni karena lembaga hidup bersama tanpa nikah itu tidak dikenal lembaga cerai melainkan hanya berpisah.

c. Pemidanaan Pada Tindak Pidana Pencurian

Secara garis besar pemberian wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim terhadap dakwaan yang diberikan meliputi :

1) Putusan hakim (pemidanaan, pembebasan dan pelepasan); 2) Penindakan;


(20)

Selain dakwaan yang diberikan juga meliputi unsur-unsur yang ada pada pasal-pasal KUHP, hakim juga harus memiliki pemenuhan pada Pasal 183, 184 KUHAP dan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,. Menurut keputusan seminar hukum nasional ke-1 tahun 1983, yang dimaksud dengan hukum acara pidana adalah norma hukum yang berwujud wewenang yang diberikan kepada negera untuk bertindak apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.21 Atas dasar hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi hukum acara pidana mempunyai tiga tugas pokok, yaitu :

1) Mencari dan mendapat kebenaran material; 2) Memberikan suatu putusan hakim;

3) Melaksanakan putusan hakim.

Tekanan dalam tiga tugas pokok tersebut harus diletakkan pada fungsi mencari kebenaran material sebab kebenaran yang harus menjadi dasar dari pada keputusan hakim pidana.

Menurut KUHP, peristiwa pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu “misdrijf“ (kejahatan) dan “overtrading” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan sedang semua yang terdapat dalam buku III adalah pelanggaran. Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran, selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran.

Pencurian pada umumnya merupakan tindakan yang pada KUHP terdapat pada buku II (kejahatan), namun pencurian juga dapat dikatergorikan pada delik materil apabila pencurian tersebut disertai pembunuhan, penganiayaan atau hal-hal yang menitik beratkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Hukum pidana

21


(21)

adalah peraturan hukum mengenai pidana, dan kata pidana itu sendiri berarti hal

“dipidanakan” yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang terdakwa sebagai hal yang tidak enak dirasakannya. 22

4. Pengertian Kenderaan Bermotor

Pengertian kendaraan bermotor Indonesia, menurut Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ) adalah :

“Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan

mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel.”

Dari pengertian kendaraan bermotor di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang mempergunakan tenaga mesin sebagai intinya untuk bergerak atau berjalan, kendaraan ini biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang dan barang atau sebagai alat transportasi akan tetapi kendaraan tersebut bukan yang berjalan di atas rel seperti kereta api.

Mengingat pentingnya kendaraan bermotor dalam kehidupan sehari-hari, maka pabrik kendaraan bermotor semakin berkembang pesat khususnya setelah perang dunia kedua.Hal ini ditandai dengan tahap motorisasi di segala bidang.Kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi atau sebagai alat pengangkutan memegang peranan penting dalam menentukan kemajuan perekonomian suatu bangsa.Kendaraan bermotor di Indonesia merupakan lambang status sosial di masyarakat.

Sebagai wujud nyata dari keberhasilan pembangunan, masyarakat di Indonesia semakin hari semakin banyak yang memiliki kendaraan bermotor, akan tetapi di lain pihak pula ada sebagian besar golongan masyarakat yang tidak mampu untuk menikmati hasil kemajuan teknologi ini. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat, perbedaan semacam ini dapat mengakibatkan terjadinya berbagai macam

22


(22)

kejahatan diantaranya kejahatan pencurian kendaraan bermotor.Kejahatan ini adalah termasuk kejahatan terhadap harta benda (crime against property) yang menimbulkan kerugian.

5. Teori-Teori Sebab Terjadinya Kejahatan

Teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan telah dikemukakan oleh para kriminolog. Dalam perkembangannya tentang kejahatan atau kriminologi terus menimbulkan berbagai pendapat dari berbagai pakar kriminolog dan pakar ilmu hukum. Berikut ini teori penyebab kejahatan23 :

a. Perspektif Sosiologis

Pada teori kejahatan dari perspektif sosiologis berusaha mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu : strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control. Perspektif strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatianya pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya pada teori kontrol sosial mempuyai pendekatan berbeda.

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi untuk melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Selain itu teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif. Teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu

23


(23)

nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional. Sudah umum diterima bahwa objek kriminologi adalah norma-norma kelakuan (tingkah laku) yang tidak disukai oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi kejahatan (crime) sebagai salah satu dari padanya masih merupakan bagian yang terpenting.

Dari sudut pandang sosiologi maka dapatlah dikatakan bahwa kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya Disorganisasi sosial,karena penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis, ketamakan dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan, kesejahteraan ataupun barang milik orang lain.

Pelaku kejahatan yang lebih besar lagi dan lebih berkuasa umumnya bersatu dan bergabung dengan pegawai-pegawai pemerintah yang korup dan dengan demikian mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan melalui saluran pemerintahan.

Sosiologi modern sangat menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya masyarakat sekarang ini. Bila dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, Undang-Undang, Ketertiban dan Kesejahteraan sosial. dan oleh karena itulah kejahatan merupakan salah satu bagian dari disorganisasi sosial yang perlu diperhatikan. Dalam culture conflict


(24)

theory Thomas Sellin menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki conduct morm-nya sediri dan dari conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mugkin saja dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelokpoknya itu bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa masig-masing menganut conduct norms yang berbeda. Sebaliknya dalam teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.

b. Perspektif Biologis

Cesare Lombrosso seorang berkebangsaan Italia yang sering dianggap sebagai “the father of modern criminology” ia menjelaskan kejahatan dari mashab klasik menuju mashab

positif. Perbedaan signifikan antara mashab klasik dan mashab positif adalah bahwa yang terakhir tadi mencari fakta empiris untuk mengkonfirmasi gagasan bahwa kejahatan itu ditentukan oleh berbagai faktor, dimana para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai dimasa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu dll. Sementara dari tokoh biologis mengukuti tradisi Charles Goring dalam upaya menelusuri tentang tingkah laku kriminal.

Berdasarkan penelitiannya ini, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat kedalam 4 golongan, yaitu :

1) Born criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme tersebut di atas.

2) Insane criminal, yaitu orang menjadi penjahat sebagai hasil dari beberapa


(25)

membedakan antara benar dan salah. Contohnya adalah kelompok idiot, embisil, atau paranoid.

3) Occasional criminal atau Criminaloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan

pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya. Contohnya penjahat kambuhan (habitual criminals).

4) Criminal of passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena

marah, cinta, atau karena kehormatan.

c. Perspektif Psikologis

Teori psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku

criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat sehingga

menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontroldorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.

Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa

kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan

bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka berada.

Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip dasarnya menarik kalangan psikologis yang mempelajari kejahatan yaitu :

1) Tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa kanak-kanak mereka.

2) Tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin-menjalin, dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan.

3) Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis.


(26)

1) Teori Labeling

Para penganut labeling theory memandang para kriminal bukan sebagai orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan bersifat salah terhadap mereka adalah individu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun secara luas.

Dipandang dari perspektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya signifikan, justru reaksi sosial atasnyalah yang signifikan. Jadi, penyimpangan dan kontrol atasnya terlibat dalam suatu proses definisi sosial dimana tanggapan dari pihak lain terhadap tingkah laku seorang individu merupakan pengaruh kunci terhadap tingkah laku berikutnya dan juga pandangan individu pada diri mereka sendiri.

Tokoh-tokoh yang menganut teori labeling antara lain :

a) Becker, melihat kejahatan itu sering kali bergantung pada mata si pengamat karena anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang berbeda memiliki perbedaan konsep tentang apa yang disebut baik dan layak dalam situasi tertentu.

b) Howard, berpendapat bahwa teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu : (1) persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label; (2) efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.

(3) Scharg menyimpulkan asumsi dasar teori labeling sebagai berikut :

(1)tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal

(2)rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan

(3)seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang melainkan karena ia ditetapkan oleh penguasa

(4)sehubungan dengan kenyataan bahwa setiap orang dapat berbuat baik dan tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok


(27)

kriminal dan non kriminal

(5)tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.

(6)penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fingsi dari pelaku sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya

(7)usia, tingkat sosial-ekonomi, dan ras merupakan karakteristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana (8)sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang

memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat

(9)labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan menghasilkan rejection of the rejector

(4) Frank Tannenbaum memandang proses kriminalisasi sebagai proses memberikan label, menentukan, mengenal, memencilkan, menguraikan, menekankan / menitikberatkan, membuat sadar atau sadar sendiri. Kemudian menjadi cara untuk menetapkan ciri-ciri khas sebagai penjahat

2) Teori Konflik

Teori konflik lebih mempertanyakan proses perbuatan hukum. Untuk memahami pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat model tradisional yang memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat (communal consensus).

Menurut model konsensus, anggota masyarakat pada umumnya sepakat tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan bahwa intisari dari hukum merupakan kodifikasi nilai-nilai sosial yang disepakati tersebut. Model konsensus ini melihat masyarakat sebagai suatu

kesatuan yang stabil dimana hukum diciptakan “for the general good” (untuk kebaikan


(28)

kepentingan-kepentingan yang oleh kebanyakan anggota masyarakat dihargai, dengan pengorbanan yang sedikit mungkin.

Sedangkan model konflik, mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana seseorang menjadi kriminal, tetapi jugatentang siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan (power) untuk membuat dan menegakkan hukum. Para penganut teori konflik menentang pandangan konsensus tentang asal lahirnya hukum pidana dan penegakannya.

3) Teori Konflik

Teori Radikal Dalam buku The New Criminology, para kriminolog Marxis dari Inggris yaitu Ian Taylor, Paul Walton dan Jack Young menyatakan bahwa adalah kelas bawah kekuatan buruh dari masyarakat industri dikontrol melalui hukum pidana para

penegaknya, sementara “pemilik buruh itu sendiri” hanya terikat oleh hukum perdata yang mengatur persaingan antar mereka. Institusi ekonomi kemudian merupakan sumber dari konflik; pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumber daya dan kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.

Teori konflik lebih mempertanyakan proses perbuatan hukum. Untuk memahami pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat model tradisional yang memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat (communal consensus).

6. Teori-teori upaya penanggulangan kejahatan

Teori-teori tentang upaya penanggulangan kejahatan telah dikemukakan oleh para kriminolog. A.S. Alam, membagi teori-teori penanggulangan kejahatan terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu :

a. Pre-Emtif


(29)

pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara Pre-Emtif adalah menanamkan nilai-nial, norma-norma yang baik sehingga norma-norma-norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha Pre-Emtif faktor niat akan menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

b. Preventif

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindakan lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Contoh ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor yang ada ditempatkan di tempat penitipan motor, dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi dalam upaya preventif kesempatan dihilangkan.

c. Represif

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukuman24.

F. Metode Penelitian

Bobot keilmuan yang terdapat dalam karya tulis termasuk skripsi ini dipengaruhi oleh keakuratan data yang diperoleh untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini, maka diadakan penelitian dalam rangka pengumpulan data. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tipe Penelitian

Pada penelitian ini, penulis memilih penelitian murni karena penelitian ini

24


(30)

bertujuan untuk membangun pengetahuan. Biasanya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan hal baru. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis serta pendekatan normatif yaitu penelitian untuk mengkaji kaedah dan asas hukum. Pendekatan normatif dimaksudkan untuk mengkaji mengenai arti dan maksud berbagai kaidah hukum yang berlaku mengenai tindak pidana pencurian dalam sistem pemidanaan di Indonesia berdasarkan Kitab undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta peraturan lainnya yang memiliki keterkaitan.

2. Jenis Data

Data yang terkumpul dipilih dan dikelompokan berdasarkan permasalahan. Adapun data yang dikumpulkan dibagi atas dua, yaitu data primer dan data sekunder

a. Data primer : adalah data yang diperoleh secara langsung dari penegak hukum dalam hal ini aparat Polsek Delitua dan oknum pelajar sebagai pelaku tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal).

b. Data sekunder : adalah data yang diambil sebagai penunjang atau bahan banding guna memahami data primer. Data sekunder ditemukan dari berbagai sumber seperti : jurnal, skripsi, buku-buku, dokumen, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Wawancara dilakukan menggali informasi dari aparat Polsek Delitua dan oknum pelajar sebagai pelaku begal motor. Sedangkan studi pustaka dilakukan melalui penelusuran pustaka atau dokumen terkait lainnya.

4. Analisa Data

Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yaitu memaparkan data yang telah diperoleh kemudian menyimpulkannya. Analisis data ini terfokus pada KUHP pasal 362 s/d 365 menyangkut tindak pidana pencurian atau hukum materiil dan


(31)

formil lainnya. Dalam hal ini penulis membandingkan antara das sollen dengan das sein

untuk mengetahui mengetahui penyebab terjadinya pencurian kendaraan bermotor (begal) yang dilakukan oleh oknum pelajar, penanganan serta penegakan hukumnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, dan masing-masing bab ini saling berkaitan antara satu dengan yang lain, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan hal-hal yang umum sebagai langkah awal dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : GAMBARAN UMUM KEPOLISIAN SEKTOR DELITUA

Bab ini memaparkan tentang profil wilayah hukum Polsek Delitua, data statistik pencurian kenderaan bermotor roda dua serta modus operandi pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar.

BAB III : ANALISA KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAJAR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DENGAN KEKERASAN

Bab ini menjelaskan tentang alur kriminologis pelajar melakukan tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan, faktor-faktor penyebab pelajar melakukan tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan, dan upaya aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan


(32)

kekerasan yang dilakukan pelajar. BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yaitu intisari dari hasil penelitian dan beberapa saran yang ingin disampai kepada pihak-pihak terkait.


(1)

kriminal dan non kriminal

(5)tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.

(6)penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fingsi dari pelaku sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya

(7)usia, tingkat sosial-ekonomi, dan ras merupakan karakteristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana (8)sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang

memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat

(9)labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan menghasilkan rejection of the rejector

(4) Frank Tannenbaum memandang proses kriminalisasi sebagai proses memberikan label, menentukan, mengenal, memencilkan, menguraikan, menekankan / menitikberatkan, membuat sadar atau sadar sendiri. Kemudian menjadi cara untuk menetapkan ciri-ciri khas sebagai penjahat

2) Teori Konflik

Teori konflik lebih mempertanyakan proses perbuatan hukum. Untuk memahami pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat model tradisional yang memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat (communal consensus).

Menurut model konsensus, anggota masyarakat pada umumnya sepakat tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan bahwa intisari dari hukum merupakan kodifikasi nilai-nilai sosial yang disepakati tersebut. Model konsensus ini melihat masyarakat sebagai suatu

kesatuan yang stabil dimana hukum diciptakan “for the general good” (untuk kebaikan


(2)

kepentingan-kepentingan yang oleh kebanyakan anggota masyarakat dihargai, dengan pengorbanan yang sedikit mungkin.

Sedangkan model konflik, mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana seseorang menjadi kriminal, tetapi jugatentang siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan (power) untuk membuat dan menegakkan hukum. Para penganut teori konflik menentang pandangan konsensus tentang asal lahirnya hukum pidana dan penegakannya.

3) Teori Konflik

Teori Radikal Dalam buku The New Criminology, para kriminolog Marxis dari Inggris yaitu Ian Taylor, Paul Walton dan Jack Young menyatakan bahwa adalah kelas bawah kekuatan buruh dari masyarakat industri dikontrol melalui hukum pidana para

penegaknya, sementara “pemilik buruh itu sendiri” hanya terikat oleh hukum perdata yang mengatur persaingan antar mereka. Institusi ekonomi kemudian merupakan sumber dari konflik; pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumber daya dan kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.

Teori konflik lebih mempertanyakan proses perbuatan hukum. Untuk memahami pendekatan atau teori konflik ini, kita perlu secara singkat melihat model tradisional yang memandang kejahatan dan peradilan pidana sebagai lahir dari konsensus masyarakat (communal consensus).

6. Teori-teori upaya penanggulangan kejahatan

Teori-teori tentang upaya penanggulangan kejahatan telah dikemukakan oleh para kriminolog. A.S. Alam, membagi teori-teori penanggulangan kejahatan terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu :

a. Pre-Emtif


(3)

pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara Pre-Emtif adalah menanamkan nilai-nial, norma-norma yang baik sehingga norma-norma-norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha Pre-Emtif faktor niat akan menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

b. Preventif

Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindakan lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif ini yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk melakukan kejahatan. Contoh ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor yang ada ditempatkan di tempat penitipan motor, dengan demikian kesempatan menjadi hilang dan tidak terjadi kejahatan. Jadi dalam upaya preventif kesempatan dihilangkan.

c. Represif

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukuman24.

F. Metode Penelitian

Bobot keilmuan yang terdapat dalam karya tulis termasuk skripsi ini dipengaruhi oleh keakuratan data yang diperoleh untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini, maka diadakan penelitian dalam rangka pengumpulan data. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tipe Penelitian

Pada penelitian ini, penulis memilih penelitian murni karena penelitian ini


(4)

bertujuan untuk membangun pengetahuan. Biasanya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan hal baru. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis serta pendekatan normatif yaitu penelitian untuk mengkaji kaedah dan asas hukum. Pendekatan normatif dimaksudkan untuk mengkaji mengenai arti dan maksud berbagai kaidah hukum yang berlaku mengenai tindak pidana pencurian dalam sistem pemidanaan di Indonesia berdasarkan Kitab undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta peraturan lainnya yang memiliki keterkaitan.

2. Jenis Data

Data yang terkumpul dipilih dan dikelompokan berdasarkan permasalahan. Adapun data yang dikumpulkan dibagi atas dua, yaitu data primer dan data sekunder

a. Data primer : adalah data yang diperoleh secara langsung dari penegak hukum dalam hal ini aparat Polsek Delitua dan oknum pelajar sebagai pelaku tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal).

b. Data sekunder : adalah data yang diambil sebagai penunjang atau bahan banding guna memahami data primer. Data sekunder ditemukan dari berbagai sumber seperti : jurnal, skripsi, buku-buku, dokumen, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Wawancara dilakukan menggali informasi dari aparat Polsek Delitua dan oknum pelajar sebagai pelaku begal motor. Sedangkan studi pustaka dilakukan melalui penelusuran pustaka atau dokumen terkait lainnya.

4. Analisa Data

Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yaitu memaparkan data yang telah diperoleh kemudian menyimpulkannya. Analisis data ini terfokus pada KUHP pasal 362 s/d 365 menyangkut tindak pidana pencurian atau hukum materiil dan


(5)

formil lainnya. Dalam hal ini penulis membandingkan antara das sollen dengan das sein untuk mengetahui mengetahui penyebab terjadinya pencurian kendaraan bermotor (begal) yang dilakukan oleh oknum pelajar, penanganan serta penegakan hukumnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, dan masing-masing bab ini saling berkaitan antara satu dengan yang lain, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan hal-hal yang umum sebagai langkah awal dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : GAMBARAN UMUM KEPOLISIAN SEKTOR DELITUA

Bab ini memaparkan tentang profil wilayah hukum Polsek Delitua, data statistik pencurian kenderaan bermotor roda dua serta modus operandi pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan (begal) yang dilakukan oleh pelajar.

BAB III : ANALISA KRIMINOLOGIS TERHADAP PELAJAR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DENGAN KEKERASAN

Bab ini menjelaskan tentang alur kriminologis pelajar melakukan tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan, faktor-faktor penyebab pelajar melakukan tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan kekerasan, dan upaya aparat penegak hukum Polsek Delitua dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kenderaan bermotor roda dua dengan


(6)

kekerasan yang dilakukan pelajar. BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yaitu intisari dari hasil penelitian dan beberapa saran yang ingin disampai kepada pihak-pihak terkait.


Dokumen yang terkait

ANALISIS PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus di POLRESTA Bandar Lampung)

0 13 54

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH REMAJA

2 15 58

ANALISIS KRIMINOLOGIS PENYEBAB TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH

1 35 48

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA (Studi Kasus di Wilayah Hukum Polsek Way Jepara Kabupaten Lampung Timur)

2 58 75

Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Yang Dilakukan Oleh Anak

3 51 57

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

5 45 60

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 7

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 1 1

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 4

Tinjauan Kriminologis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor Roda Dua dengan Kekerasan (Begal) yang Dilakukan oleh Pelajar (Studi Kasus Polsek Delitua)

0 0 2