TUGAS MAKALAH LIBRARY RESEARCH TENTANG A

TUGAS MAKALAH LIBRARY RESEARCH
JUDUL MAKALAH:
“ASEAN HUMAN RIGHTS COMMISSSION (AHRC) DALAM PENYELESAIAN
KASUS HAK ASASI MANUSIA Di ASIA TENGGARA”

Disusun Oleh:
Nama :
1. Frieda Pratiwi Wijanarko
8111416246
2. Riska Anandya Putri Pratiwi
8111416298
Rombel: 02
Mata kuliah:
HUKUM DAN HAM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

KATA PENGANTAR
1


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayanh,
Kami Panjantkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah

dan

inayah-Nya

kepada

kami

semua,

sehingga

kam

menyelesaikan makalah kami tenttang AHRC DALAM PENYELESAIAN


dapat
KASUS

HAK ASASI MANUSIA Di ASIA TENGGARA. Makalah ini kami susundengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari banyak pihak sehingga dapat
memperlancar

pembuatan

makalah

ini.

Untuk

itu

kami


mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah

ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangaan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata semoga makalah kami dapat memberikan isnpirasi dan manfaat
kepada pembaca.
Semarang, Oktober 2017
Penyusun

2

DAFTAR ISI
Sampul………………………………………………………………………………………………

1
Kata
Pengantar……………………………………………………………………………………..2
Daftar
Isi…………………………………………………………………………………………….3
Bab I Pendahuluan
Latar
Belakang……………………………………………………………………………………...4
Rumusan
Masalah………………………………………………………………………………….7
Metode
Penulisan…………………………………………………………………………………..8
Bab II Pembahasan
Pembahasan Subjudul
1…………………………………………………………………………….9
Pembahasan Subjudul
2…………………………………………………………………………...12
Pembahasan Subjudul
3…………………………………………………………………………...14
Bab III Penutup

Kesimpulan…………………………………………………………………………………………
18
Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………………….19
3

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
The Association of the Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah sebuah
organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara. Ia telah memenuhi
kriteria hukum sebagai sebuah organisasi internasional regional ketika Piagam
ASEAN diratifikasi oleh semua anggota sehingga berlaku

pada tanggal 15

Desember

ASEAN


20

Agustus

1973.1Penandatanganan

Piagam

tersebut

disandarkan pada 2 (dua) dasar pemikiran, yaitu: (1). Adanya kepentingan
bersama; dan (2). Adanya kenyataan salingketergantungan diantara rakyat dan
Negara-Negara anggota ASEAN dalam kesatuan visi, identitas dan komunitas
(one vision, one identity, and one community) yang saling peduli dan berbagi
bagi terciptanya kemakmuran bersama. Dari dua dasar pemikiran inilah,
ASEAN menjadi sebuah organisasi internasional regional yang menjadi institusi
pembentuk hukum (law making institution) pertama kali terhadap regionalisasi
hukum di kawasan Asia Tenggara, khususnya di bidang hak asasi manusia

1Scot Davidson, Hak Asasi Manusia, Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 1994, hal. 145

4

(HAM) seturut dengan ketentuan hukum internasional. 2 Secarah historis
rumusan konseptual HAM telah muncul dari beberapa doktrin hukum alam,
khususnya ajaran Thomas Aquinas, Hugo de Groot. Ajaran-ajaran mereka itu,
kemudian disusul oleh lahirnya Magna Charta, petisi hak asasi manusia dan
undang-undang HAM Inggris. Sejak ditandatanganinya Magna Charta di Inggris,
perkembangan perjuangan hak asasi manusia selanjutnya dilakukan melalui
berbagai petisi, deklarasi lainnya. PBB membentuk Komisi Hak-Hak Asasi
Manusia. Komisi tersebut berhasil merumuskan naskah pengakuan hak-hak
asasi manusia yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights). Melalui sidangnya, naskah ini diterima
dan disetujui oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Oleh karena itu, setiap
tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari hak asasi manusia. Indonesia
sudah lama menjadi anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau
ASEAN (Association of South East Asian Nations). Lebih dari 40 tahun
keberadaannya,

ASEAN


telah

menandatangani

banyak

deklarasi

dan

pernyataan yang menyatukan tujuan-tujuan dan kesepakatan-kesepakatan
perhimpunan ini. Namun ASEAN mendapat kritik tajam karena kemajuannya
lambat dan kegagalannya menangani isu-isu kontroversial seperti hak asasi
manusia

(HAM).

Cara-cara

menghadapi


masalah

seperti

ini

membuat

perhimpunan negara-negara Asia Tenggara tersebut mendapat julukan “Cara
ASEAN” (Asean Way), atau diplomasi berdasar konsultasi dan konsensus tanpa
campur tangan.3Mudahnya, rule of law dalam Piagam ASEAN memiliki fungsi
yang kompleks dan menentukan dalam penguatan dan perlindungan HAM,
yaitu:
(1). Sebagai salah satu elemen dasar perlindungan HAM yang menjadi
landasan filosofis adopsi nilai-nilai universal HAM dan partikularisme nilai-nilai
bersama Asia Tenggara dalam norma dan mekanismenya;
(2). Sebagai justifikasi pembenar atas dasar pembentukan hukum HAM dalam
konteks norma dan prosedurnya; dan


2 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1997, hlm. 52-54
3Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Rajawali
Pers, Jakarta 2008, hlm, 31-32.

5

(3). Pengembangan dan penguatan kelembagaan ASEAN dalam perlindungan
HAM di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan Konvensi-konvensi dasar HAM
internasional yang diratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN.
Asian Human Rights Commission (AHRC)

menyampaikan apresiasi

mendalam kepada enam negara-negara Pasifik yang telah mengangkat dugaan
pelanggaran HAM di Papua serta pengormatan terhadap hak penentuan nasib
sendiri bagi rakyat Papua.AHRC mengakui bahwa pelanggaran HAM sudah
terjadi puluhan tahun di Papua, dan tidak ada upaya serius oleh pemerintah
Indonesia


untuk

menanganinya4.AHRC

bahkan

mencatat,

sejak

Papua

diintegrasikan ke wilayah Indonesia, banyak pelanggaran HAM sudah terjadi.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tetap tak terjawab karena pemerintah
tidak pernah sungguh-sungguh mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM.AHRC
mengakui bahwa ada beberapa inisiatif yang dilakukan pemerintah terkait
Papua, seperti Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat (UP4B) di masa Presiden SBY, pembentukan tim KOMNAS HAM
untuk persoalan HAM di Papua, kebijakan Presiden Joko Widodo terkait
pembebasan beberapa tahanan politik.Namun upaya-upaya tersebut tidak
menunjukkan hasil bagi Papua. Sebaliknya, pelanggaran HAM terus terjadi,
pembunuh Theys jadi kepala KaBAIS, dan secara umum tidak ada keadilan dan
pemulihan terhadap korban. AHRC menyerukan kepada pemerintah Indonesia
untuk dengan serius menerima semua poin dan rekomendasi yang diberikan
oleh enak negara Pasifik tersebut; pemerintah juga harus membuka akses bagi
badan independen untuk memonitor perlindungan HAM di Papua.Pemerintah
Indonesia juga diminta untuk membuka ruang dialog dengan rakyat Papua
difasilitasi oleh pihak ketiga yang independen dan kredibel dibawah dukungan
PBB.
Contoh kasus yang ada di Papua contohnya sebgai berikut:
Peristiwa Abepura, yang terjadi pada awal pekan bulan Desember tahun
2000 itu, adalah satu-satunya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua
yang diakui oleh negara. Meski memakan waktu yang cukup panjang, akhirnya
Kejaksaan Agung menyelesaikan penyidikannya hingga mengeluarkan dua
tersangka pada akhir November 2002. Prestasi itu bukanlah hal yang
4 Ani W. Soetjipto, Ham dan Politik Internasional : Sebuah Pengantar, yayasan pustaka obor
Indonesia, Jakarta 2015, hlm 110-111

6

memuaskan, karena sebagaimana biasa, pelanggaran hak asasi manusia selalu
saja hanya menyentuh pelaku-pelaku lokal tanpa mengusik ketenangan para
petinggi di Jakarta, yang justru merupakan pemberi perintah dan pengambil
kebijakan.Sebagaimana pemicu peristiwa Abepura, kasus-kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi di Papua, sesungguhnya berakar pada usaha
menuntut keadilan. Keadilan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang menjadi
hak dasar (human rights) masyarakat Papua, yang

hingga kini tak pernah

dipenuhi oleh negara, yang mengaku menjadi daulat rakyat masyarakat Papua.
Kewajiban dasar (generic obligation) dalam memenuhi setiap hak asasi warga
adalah dalil kehadiran (raison de ‘etre) hadirnya sebuah negara. Karena itu, jika
negara tidak mampu menjalankan kewajibannya maka negara telah kehilangan
eksistensinya, dan secara serempak rakyat pun, sebagai pemilik sah negeri itu
dihalalkan untuk protes. Respon pemerintah atas protes ketidakadilan itulah
yang menjadikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi.
Kasus Abepura 7 Desember 2000 meski diakui oleh negara sebagai
akibat dari peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa tempat di
Papua, sesungguhnya berawal dari protes atas ketidakadilan dan tuntutan
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Karena
bingkai penyelesaian gejolak Papua adalah pendekatan militeristik dan
stigmatisasi gerakan sparatis, dengan mudah aspirasi memprotes ketidakdilan
itu ditafsirkan dengan sparatisme. Argumen ini juga terlihat pada peristiwa
Abepura. Kepolisian Daerah Irian Jaya menjelang Desember 2000 menyatakan
Propinsi Papua berada dalam Siaga I. Kebijakan itu diambil berdasarkan
dinamika politik dengan semakin banyaknya aksi demontrasi dan aksi
pengibaran bendera Bintang Kejora. Penetapan Siaga I dan berbagai kebijakan
keamanan lainnya bertolak dari asumsi dan apriori terhadap dinamika politik
Papua, yakni mengkategorikan seluruh gerakan rakyat Papua sebagai gerakan
sparatis. Asumsi inilah yang kemudian dijadikan dasar identifikasi kelompokkelompok

masyarakat

beranggapan

bahwa,

Papua.Atas
peristiwa

dasar

pemikiran

penyerangan

seperti

Mapolsek

itu,

Abepura

Koalisi
oleh

sekelompok orang, pada 7 Desember 2000 itu, tidak bisa semata-mata
dijadikan alasan pengejaran dan penyekatan warga secara membabi buta,
yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Pengejaran itu merupakan bagian dari
paket operasi yang sudah menjadi kebijakan pemerintah dalam menangani
7

berbagai gejolak di Papua. Demikian disampaikan oleh Asian Human Rights
Commision

(AHRC),

baru-baru

ini.Laporan

tersebut

bertujuan

mencatat

kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di
sekitar

daerah

Wamena

dalam

rangka

menyikapi

usaha

mencapai

kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.Dalam proses
penyusunan laporan itu, AHRC melakukan kunjungan lapangan, mewawancarai
sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah.Laporan ini juga mengandung
gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup
para

pendukung

gerakan

kemerdekaan.

ini

menyerukan

dibentuknya

pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional
meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana upaya pemenuhan rasa keadilan orang Papua?
2. Bagaimana proses menuju ke Pengadilan HAM?
3. Bagaimana Kelemahan Fundamental Pengadilan HAM ?
C. METODE PENULISAN
Dalam penelitian dan penulisan ini menggunakan pendekatan normatif
yuridis menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan
hukum primer yang dimaksudkan terdiri dari : Konvensikonvensi Internasional
tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia, Piagam ASEAN, sedangkan bahan
hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti : buku-buku, artikel-artikel, hasil seminar, karya ilmiah
maupun hasil penelitian yang memiliki kaitannya dengan obyek penelitian dan
penulisan ini.
Metode penulisan ini pada kajian aplikasi dan relevansi dari teori-teori
dalam studi Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Teori adalah hubungan
antar fakta dan dipahami sebgai sebuah bangunan atau system yang
terstruktur dari sekumpulan ide, gagasan, atau pemikiran yang berfungsi untuk
menerangkan terjadinya sesuatu atau mengapa sesuatu itu ada yang
dikemukakan seorang atau beberapa ahli dibidangnya. Dalam studi hukum
8

HAM, teori adalah sekumpulan ide ataugagasan atau pemikiran mengenai apa
itu HAM dan mengapa HAM itu ada dan perlu dipertahankan oleh masyarakat.
Ia didasari oleh suatu pernyataan- pertanyaan umum tentang suatu kebenarankebenaran tertentu (konsep) dalam hubungan antara subyek hukum HAM dari
berbagai sudut pandang pemahaman baik realistis, naturalis, positivis, maupun
sosiologis.

Dalam

kaitanya

dengan

perlindungan

HAM,

fungsi

aturan

perlindungan HAM dapat dipahami kontekstualnya melalui pengertian dalam
Teori Fungsi Sosial HAM yang dikemukakan oleh Phillip Allot (Social Function Of
International Human Rights Law Theory). Teori ini memandang bawa hukum
HAM

internasional

adalah sebuah system hukum yang terbentuk

dan

berkembang dari kedan untuk masyarakat internasional suatu masyarakat
internasional yang terbentuk dari masyarakat nasional tanpa memandang
agam suku dan ras untuk mewujudkan kepentingan Bersama umat manusia
yang berdasarkan prinsip-prinsip HAM internasional. Sebagai anggota ASEAN
fungsi perlindungan HAM di Indonesia menurut teori ini akan berkorelasi
ditemukannya pola untuk permasalahannya tantangan sekaligus kesempatan
dalam perlindungan HAM kedepan. Disamping teori tersebut diatas teori
kedaulatan negara menjadi kerangka pemahaman yang dapat digunakan
sebagai alasan-alasan hukum mengapa negara adalah pihak utama yang
memiliki kewajiban perlindungan HAM dan supremasi negara terhadap
kemajuan terhadap pelindungan HAM masyarakatnya.5 Teori ini menyatakan
kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang merdeka dari suatu
pengaruh

kekuasaan

yang

lain

,

yang

dimiliki

oleh

negara

untuk

mengakui,mengajukan, melindungi dan melaksanakan ketentuan Norma HAM
di wilayah negara dan yurisdiksinya. Pertama, pandangan induktif yang
menghubungkan antara teori dan riset. Dalam hal ini teori dihasilkan dari riset
atau dengan kata lain riset yang dimulai dari penelitian kualitatif berasal dari
data-data spesifik kemudian dapat membuat teori baru. Teori dapat dikatakan
kuat jika peneliti telah membangun dasar riset yang komprehensif. Kedua,
posisi epistimologis yang digambarkan sebagai interpretivis. Ketiga, posisi
ontologis yang digambarkan sebagai konstruksionis. Sifat sosial merupakan
hasil dari interaksi antara individu daripada fenomena “di luar” dan terpisah
5 Muhammad Ali Zaidan, “ Kebijakan Kriminal Kejahatan Terhadap Ideologi Negara DiTengah
Putusan Globalisasi” Pandecta: Research Law Journal, Vol 11, No. 2, 2 Desember 2015. Hlm 315

9

dari yang terlibat dalam konstruksinya.Dalam metode penelitian kualitatif
penulis menjadi instrumen utama dalam pengumpulan dan pengolahan data.
Pendekatan kualitatif dikenal sebagai metode penelitian dengan tujuan untuk
menyelidiki

suatu

proses

fenomena

sosial

dengan

tiga

tahapan

yaitu

pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan laporan penelitian. Pada
tahap pengumpulan data, penulis mengandalkan studi literatur dari data
primermaupun sekunder. Seperti halnya penelitian kualitatif pada umumnya,
proses pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan laporan penelitian
dilakukan secara bersamaan sehingga memungkinkan adanya perubahan
sampai penulis mampu menjawab pertanyaan penelitian.

BAB II
A. PEMBAHASAN
1. Upaya Pemenuhan Rasa Keadilan Orang Papua
a. Acuan Hukum Nasional Dasar perlindungan hak asasi manusia banyak
sekali ditemukan dalam perundang – undangan Indonesia.

Meski

demikian, pelanggaran terhadap hak-hak itu masih nyata menjadi bagian
dari praktek politik pemerintah Indonesia. Konstitusi Negara, UUD 1945
hasil Amandemen, telah melahirkan satu bab tersendiri tentang hak asasi
manusia. Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal yang
memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia.
Proses Penyelesaian Pengadilan HAM Abepura yang dapat memenuhi
rasa keadilan para korban merupakan salah satu

mandat UU Otonomi

Khusus No. 21/200,1 berdasarkan pertimbangan bahwa pemerintah pusat
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum
sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua, khususnya Masyarakat Papua. Mandat ini juga didasarkan
pada telah lahirnya kesadaran baru di kalangan Masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secaradamai dan konstitusional pengakuan terhadap hakhak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan
dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli
Papua.

10

Undang-undang Otonomi Khusus No. 21/2001 juga memberikan mandat
pada Bab XII tentang Hak Asasi Manusia pasal 45 bahwa: 1. Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan Penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan,
memajukan, melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi
Papua. 2. Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Semua produk perundang-undangan itu, tidak hanya cacat secara politik,
tapi juga gagal menangkap aspirasi populis masyarakat Papua. Karena pada
tingkat implementasi sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
otonomi tetap dikendalikan pusat. Yang paling mencolok adalah reduksi
pasal tentang mandat otonomi khusus di atas, yang sebenarnya adalah
masalah hak asasi manusia merupakan urusan pemerintahan otonomi,
tetapi dipangkas menjadi tetap urusan pemerintah pusat.
b. Hak-hak Korban Sebagaimana diulas pada bagian pengantar, bahwa
Koalisi sangat concern dengan pemenuhan hak korban. Karena itu,
berikut ini adalah hak hukum korban yang harus dipenuhi oleh negara.
1) Rights to know (hak untuk tahu) Dalam disiplin hukum pidana, hak
untuk tahu tidak semata menjadi hak korban. Tapi juga hak publik.
Karakter

pidana

yang

merugikan

publik

secara

umum

memutlakkan adanya transparansi informasi berkaitan dengan
peristiwa dan proses-proses peradilan yang dilalui. Dalam kasus
Abepura, nyata-nyata hak publik untuk tahu harus dipenuhi oleh
negara,

melalui

tersebut.Sebagai

taransparansi
korban,

jelas

informasi
hak

untuk

atas
tahu

peristiwa
mutlak

dipenuhi.Karena kejujuran pengungkapan kebenaran peristiwa
akan sangat memberikan keadilan bagi korban Abepura. Koalisi ini
menghendaki proses pengadilan dapat digelar di Jayapura, dengan
pertimbangan akses informasi untuk masyarakat akan mudah
dipenuhi. Kegagalan pengungkapan kebenaran atas peristiwa
pelanggaran HAM telah terjadi pada pengadilan pelanggaran HAM
Timor Timor. Pengungkapan kebenaran tidak dilakukan secara
maksimal, baik oleh jaksa penuntut umum, maupun oleh hakim di
11

persidangan melalui eksplorasi peristiwa. Koalisi, mendesak agar
JPU

dan

majelis

hakim

dapat

memaksimalkan

peranan

konstitusionalnya dalam pemenuhan hak untuk tahu korban dan
publik. Kegagalan pemenuhan hak ini juga telah menjadi catatan
dunia

internasional,

bahwa

Pengadilan

HAM

Timtim

tidak

imparsial.
2) Rights to Justice (hak atas keadilan) Keadilan bagi korban
merupakan hak yang mutlak dipenuhi. Rasa keadilan adalan
produk sebuah proses peradilan. Karena itu untuk menjamin hak
keadilan ini Koalisi akan melakukan pemantauan dan monitoring
agar sidang di pengadilan nanti. Hak atas fair trial (peradilan yang
adil dan tidak memihak) adalah sebuah norma dalam hukum HAM
internasional yang didesain untuk melindungi individu-individu dari
pembatasan

yang

tidak

sah

dan

sewenang-wenang

atau

perampasan atas hak-hak dasar dan kebebasan lainnya. Pasal 14
Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menjamin
setiap orang berhak atas sebuah peradilan yang adil dan terbuka
untuk umum, yangdilaksanakan oleh pengadilan yang kompeten,
mandiri, dan tidak memihak serta ditetapkan berdasarkan hukum
internasional tentang hak sipil dan politik.
Standar yang digunakan untuk menakar apakah suatu
persidangan itu adil banyak jumlahnya, kompleks, dan terus
berubah. Standar tersebut bisa merupakan kewajiban-kewajiban
yang mengikat, yang terdapat dalam traktat-traktat HAM, di mana
suatu negara telah menjadi pihak yang meratifikasi. Standar itu
juga bisa ditemukan dalam dokumen-dokumen yang walaupun
secara formal tidak mengikat, tetapi bisa dijadikan sarana untuk
menunjukkan arah ke mana hukum itu berubah. Guna menghindari
penolakan terhadap sifat hukum dari standar yang dipergunakan
dalam monitoring proses peradilan, Koalisi ini merujuk normanorma yang telah disepakati: hukum positif dalam sebuah negara
di mana persidangan berlangsung, traktat-traktat yang telah
diratifikasi, dan norma-norma hukum kebiasaan internasional.
Kondisi yang demikian, potensial menimbulkan proses peradilan
berjalan tidak independen. Apalagi dalam proses peradilan HAM.
12

“work with refugees underscored for me the importance of
understanding why people were fleeing these conflicts and what
could and should be done to address the root causes. That period
exposed me for the first time to grass roots opposition to injustice
framed in the language and practice of human rights. Both these
experiences underscored for me the central role of human rights,
both in discourse and practice, to advancing the interests of
communities and peoples subjected to repression and abuse. It
was not at all clear then—as it is now—that human rights would
consolidate its position as the principal language of liberation from
oppression and repression. So it was fascinating for me to have
those experiences at a time when I was deciding what I should do
with my life. And, yes, those experiences cemented for me that
what I wanted to do was human rights and social justice work, full
stop.”6
3) Rights to reparation (hak atas pemulihan)

Right to reparation

adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik
material maupun non material bagi pra korban pelanggaran HAM.
Esensi utama dari reparasi adalah memperbaiki masa lalu dan
menetapkan norma-norma dan praksis yang lebih baik di masa
yang akan datang. Reparation, terdiri dari pertama, kompensasi,
kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau
diberikan dalam berbagai bentuk, perawatan kesehatan mental,
fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah.
Kedua, restitusi, merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau
pembayaran

atas

kerusakan,

atau

kerugian

yang

diderita,

penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban
atau penyedia jasa oleh pelakunyan sendiri. Dan ketiga, rehabilitasi,
yakni kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial.
Prof. Theo Van Boven memasukkan pula aspek kepuasan (satisfaction)
dan jaminan tak terulangnya kembali pelanggaran HAM (guarantees
of non repetition), sebagai salah satu hak yang harus dipenuhi oleh
negara dalam bagi korban. Hak atas reparasi merupakan suatu yang
6James Cavallaro“ An Interview With James Callvaro” London: International Law Journal, Vol 52,
No. 21, 2011 March. Page 15-37

13

harus ada dalam putusan pengadilan kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia. Hak inilah yang gagal dipenuhi dalam pengadilan HAM
Ad Hoc Timor Timur. Koalisi jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa,
Jaksa Penuntut Umum harus memasukkan unsur reparasi ini dalam
dakwaan dan tuntutan. Bersamaan dengan digelarnya Pengadilan
HAM

Timor

Timur,

Pemerintah

telah

mengeluarkan

Peraturan

Pemerintah No. 3 Tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi

terhadap

Korban

Pelanggaran

HAM

Berat.

Meski

demikian, kehadiran PP tersebut seolah hanya untuk memenuhi
mandat UU 26/2000 Pasal 35 saja, tanpa implementasi yang serius.
Karena itu koalisi melalui position paper ini mengingatkan agar
masalah pemenuhan hak korban dijadikan perhatian bersama.

2. Proses Menuju Pengadilan HAM
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Papua untuk
kasus pelanggaran HAM di Abepura, Papua, yang dibentuk atas mandat
KOMNAS HAM tanggal 5 Februari 2001 Nomor 020/Komnas HAM/II/2001, telah
berhasil mengumpulkan fakta dan bukti-bukti yang menunjukkan indikasi kuat
terjadinya pelanggaran HAM berat, yang dilakukan secara sistematis pada
peristiwa Abepura, 7 Desember 2000.

KPPHAM Papua yang bekerja sejak

tangal 5 Februari – Mei 2001 dan beberapa kali telah diperpanjang, lantaran
permintaan perbaikan berkas dari Kejaksaan Agung telah menyelesaikan
tugasnya dan menyusun suatu laporan, yang dihimpun dari 51 saksi korban
dan menyerahkannya kepada Kejaksaan Agung.

Pelanggaran hak asasi

manusia yang berat dan sistematis itu mewujud dalam bentuk penyiksaan,
pembunuhan kilat, penganiayaan, dan perampasan kebebasan fisik secara
sewenang-wenang. Selain itu, dari hasil penyelidikan, ditemukan pula adanya
bentuk

perbuatan

dan

pola

kejahatan

terhadap

hak

manusia

berupa

penganiayaan berbasis gender, ras, dan agama.
Proses kasus Abepura menuju ke pengadilan HAM, dalam perjalannya
mengalami banyak kecacatan dan inkonsistensi.

Setelah mengembalikan
14

beberapa kali hasil kerja Komnas HAM, baru pada tanggal 28 Maret 2002,
berkas

perkara

dinyatakan

lengkap

oleh

Kejaksaan

AgungMenurut

UU

Pengadilan HAM No. 26/2000, setelah mengalami perpanjangan waktu,
Kejaksaan Agung harus sudah menyerahkan berkas perkara itu ke pengadilan.
Tapi hingga batas waktu tersebut, Kejaksaan tidak juga menyelesaikan tugas
penyidikannya. Strategi buying time dalam penanganan kasus ini nampak
sekali dengan dihabiskannya semua peluang dalam UU 26/2000 tentang
perpanjangan waktu penyidikan. Di samping itu juga muncul berbagai alasan
teknis yang tidak substansi tentang sulitnya menembus birokrasi kepolisian,
anggaran penyidikan, dan lain sebagainya, yang membuat proses penyidikan
itu terhambat. Setelah memanfaatkan perpanjangan waktu penyidikan tahap
ketiga, tepat pada Rabu, 13 November 2002, dalam Rapat Kerja Jaksa Agung
dengan Komisi II DPR, diinformasikan bahwa Kejakgung hanya menetapkan dua
pelaku kejahatan kemanusiaan itu, yakni Johny Wainal Usman dan Daud
Sihombing. Kesimpulan penyidikan yang dilakukan Kejakgung ini telah nyatanyata memangkas temuan jumlah pelaku yang dilaporkan oleh KPP HAM.
Pemangkasan seperti ini, hampir terjadi dalam setiap kasus pelanggaran HAM.
Kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, merupakan contoh nyata yang
mendahului kasus Abepura. Di mana para jenderal-jenderal pemegang kendali
sama sekali tidak tersentuh oleh hukum dan kerja Kejaksaan Agung.

Ini

menandakan, sekali lagi, bahwa pemerintah masih belum memiliki political will
bagi penegakan HAM. Dan praktek pemangkasan ini, jelas merupakan bentuk
impunity yang didesain oleh aparat hukum untuk melindungi para penjahat
kemanusiaan. Hal lain yang menghambat proses peradilan kasus Abepura
menuju ke Pengadilan HAM adalah masalah koordinasi antara kejaksaan Agung
dengan Pengadilan HAM Makassarr dan keterlambatan Kejaksaan Agung
menyusun dakwaan untuk dua orang tersangka. Pada 4 November 2003,
Kejaksaan

Agung

melalui

Keputusan

bernomor

Kep.

393/A/JA/10/2003

mengangkat dan mengumumkan enam Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan
melakukan penuntutan terhadap dua tersangka pelaku pelanggaran HAM berat.
Melihat komposisi JPU yang ditetapkan, secara substansi, optimisme proses
pengadilan akan berjalan fair, layak diragukan. Munculnya dua oditur militer
dalam barisan JPU, merupakan petanda bahwa intervensi militer masih
dominan dalam proses peradilan ini. Proses peradilan ini menyerupai model
15

pengadilan koneksitas, yang sebenarnya

merupakan lip

servis

praktek

penegakan hukum di Indonesia. Produk yang biasa dihasilkan dari model
pengadilan ini adalah terbebasnya terdakwa dari segala tuntutan. Hal inilah
yang juga menjadi keprihatinan koalisi. Pengadilan yang akan digelar di
Pengadilan HAM Makassarr juga, menjadi sorotan kemungkinan sulitnya akses
informasi bagi korban dan masyarakat Papua. Terlebih lagi banyaknya saksi
dan saksi korban yang akan memberikan kesaksian di pengadilan itu. Hal ini
merupakan masalah tersendiri, mengingat jaminan perlindungan bagi korban
dan saksi tidak sepenuhnya dijalankan oleh aparat hukum.

Keberadaan

Peraturan Pemerintah (PP) No. 02/ 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat,
tidak cukup applicabel dan menjamin.

Apalagi secara eksplisit tidak

disebutkan dalam PP tersebut tentang perlindungan fisik. Ketertundaan
Pengadilan HAM, terakhir disebabkan kegagalan Jaksa Penuntut Umum
melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan HAM di Makassar.

Alasan yang

dikemukakan adalah kesulitan tersangka untuk ikut dalam pelimpahan berkas
tersebut, dengan alasan tugas negara.Seharusnya, JPU segera melakukan
penahanan terhadap para tersangka yang hingga kini masih berkeliaran bebas.
Karena bagaimanapun, pembiaran tersangka untuk tidak ditahan adalah
praktek penguatan psikopolitik para tersangka, untuk kemudian dianggap tidak
terbukti melakukan kejahatan. Jika saja Negara Indonesia berhasil membuat
kerangka pemerintahan (framework of governance) yang lebih beradab dan
demokratis, Indonesia termasuk dalam jajaran negara yang tidak berhasil
merumuskan kerangka pemerintahannya. Masyarakat Inuit (Kanada), Sami
(ujung utara Norwegia-Swedia), dan pemerintahan lokal (home rule) di
Greenland,

Denmark,

adalah

contoh-contoh

terbaik

dari

keberhasilan

memadukan antara pembangunan dan perlindungan terhadap masyarakat
adat.

Berlawanan dengan pola beradab dan demokratis, Negara Indonesia

sepertinya tidak atau belum menemukan pola yang lebih humanis dalam
membangun kehidupan di Papua. Kasus Abepura adalah “ujung gunung es”
dari pola sistematis aparat keamanan dalam memojokkan dan memecah belah
masyarakat Papua.

3. Kelemahan Fundamental Pengadilan HAM
16

Bahwa keberadaan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
merupakan reaksi terhadap dunia internasional yang ingin mengadili
mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di
Timor Timur pasca jejak pendapat jelas tak dapat dipungkiri oleh
siapapun. Sementara secara positif harus dikatakan bahwa keberadaan
UU tersebut patut diapresiaasi sebagai bukti bahwa Bangsa Indonesia
berkehendak baik (goog will) untuk menyelesaikan sendiri dugaan
pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM nasional. Secara substansial,
UU Pengadilan HAM merupakan adaptasi parsial atas substansi Statuta
Roma.7 Sebagaimana mafhum, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
sesuai Statuta Roma meliputi empat kejahatan extraordinary, yaitu
genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan
kejahatan agresi. Pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi dari
Pengadilan HAM hanya meliputi dua jenis kejahatan. Pertama, kejahatan
Genosida. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,kelompok agama,
dengan cara:

a) membunuh anggota kelompok, b) mengakibatkan

penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota
kelompok, c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya,
d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok, dan e) memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain. Secara umum pengertian dan
penjelasan mengenai kejahatan
genosida dalam UU no. 26 Tahun 2000 tidak berbeda dengan pengertian
kejahatan genosida menurut statuta Roma tahun 1998.
Kedua,
kejahatan
terhadap
kemanusiaan.
Kejahatan

terhadap

kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil, berupa: a) pembunuhan, b) pemusnahan, c) perbudakan, d)
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, e) perampasan
7Herry Bertus Jakatriyana, “ASEAN Dan Penguatan Rule Of Law Hukum Hak Asasi Manusia di
Kawasan Asia Tenggara”, Jakarta: Journal Opinion Juris, Vol. 15. No. 2, Januari-April 2014. Hlm
45-103

17

kemerdekaan

atau

perampasan

kebebasan

fisik

lain

secara

sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional,
pelacuran

f)

secara

penyiksaan,
paksa,

g)

perkosaan,

perbudakan

pemaksaan kehamilan,

seksual,

pemanduan

atau

sterilisasi secara paksa atau bentuk bentuk kekerasan seksual lain yang
setara,

h) penganiayaan

terhadap

suatu

kelompok

tertentu

atau

perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,
i) penghilangan orang secara paksa; atau j) x. kejahatan apartheid.
Ketentuan kejahatan terhadap kemanusiaan, undang-undang no. 26
tahun 2000 mengacu “hampir sepenuhnya”

pasal 7 Statuta Roma

melalui penerjemahan.Selain itu, kelemahan lain dari UU Pengadilan HAM
adalah pada aspek hukum acaranya. Secara garis besar, hukum acara
Pengadilan HAM meliputi empat kewenangan utama, yakni penyelidikan,
penyidikan (di dalamnya termasuk penangkapan dan penahanan untuk
kepentingan penyidikan), penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
8

Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas

HAM dengan cara membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisioner
Komnas HAM dan unsure masyarakat (Pasal 18 UU No. 26 tahun 2000).
Kewenangan
yang diberikan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan meliputi: a)
melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut
diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, b) menerima
laporan atau pengaduan dan seseorang ataukelompok orang tentang
teradinya pelanggaran HAM berat, serta mencari keterangan dan
barangbukti, c) memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang
diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, d) memanggil
saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, e) meminjam dan
mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap

perlu,

f)

memanggil

pihak

terkait

untuk

memberikan

keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan
8 Muhammad Hafiz, ” Humanitas Jurnal Dan Pendidikan HAM”, Medan: Jurnal kajian Dan
Pendidikan HAM, Vol. IV, No. 2, Desember 2013. Hlm. 45-112

18

sesuai dengan aslinya, dan g) melakukan tindakan pemeriksaan surat,
penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau
dimiliki pihak tertentu, dan mendatangkan ahli dalam hubungan dengan
penyelidikan. Namun, poin terakhir tersebut harus atas perintah dari
penyidik. Kewenangan tersebut hanyalah proses awal yang merupakan
kewenangan Komnas HAM dari seluruh proses panjang mengadili pelaku
pelanggaran HAM berat. Bila Komnas HAM menemukan dugaan dan bukti
awal terjadinya pelanggaran HAM berat sebagaimana menjadi yurisdiksi
Pengadilan HAM, maka Komnas HAM melaporkannya untuk dilanjutkan ke
tahapan acara selanjutnya, yaitu penyidikan. Tahapan acara pengadilan
HAM berupa penyidikan dan penuntutan berada di tangan Jaksa Agung.
Dua kewenangan utama ini sebenarnya merupakan kewenangan kunci
dari Pengadilan HAM. Di sinilah persoalannya. Sangat jelas, terdapat
perbedaan background professional dan institusional antara Komnas HAM
dan Kejaksaan Agung. Komnas HAM merupakan lembaga yang secara
spesifik “bergelut” dengan persoalan perlindungan dan penegakan HAM.
Namun, dengan kewenangan yang sangat kecil yang dimilikinya, kinerja
Komnas

HAM

penghukuman

seringkali
atas

tidak

berpengaruh

pelanggaran

HAM.

Pada

besar

bagi

prakteknya,

upaya
terdapat

perbedaan perspektif sangat mendasar atas sebuah pelanggaran HAM.
Komnas HAM sesuai dengan expertise-nya seringkali menggunakan
perspektif

HAM

bagi

sebuah

kejahatan

extraordinary,

sedangkan

Kejaksaan Agung melihatnya dari kacamata hukum pidana biasa yang
justru melemahkan efektivitas kinerja penyelidikan yang telah dilakukan
oleh Komnas HAM sebelumnya. Tak hanya dengan Kejaksaan Agung,
perbedaan cara pandang tersebut terjadi juga dengan para hakim yang
melakukan pemeriksaan dalam proses peradilan. Masalah tersebut
terjadi karena UU Pengadilan HAM tidak disertai dengan peraturan
khusus yang jelas dan detil mengenai prosedur hukum acara dalam
rangka pengadilan HAM tersebut. Berbeda halnya dengan Statuta Roma.
Statuta Roma dilengkapi dengan hukum acara khusus dan penjelasan
unsur-unsur

kejahatan

yang

menjadi

yurisdiksi

Mahkamah

Pidana

Internasional dalam dua peraturan yang dibuat terpisah, yakni Rules of
19

Procedure and Evidence sebagai hukum acaranya, dan Element of Crimes
sebagai penjelasan unsur-unsur kejahatannya. Dua aturan tersebut
memberikan pemahaman yang sama mengenai substansi sekaligus tata
caranya kepada hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam rangka
pengadilan pelaku-pelaku kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional. Ketiadaan dua peraturan yang mestinya ada dalam
Pengadilan HAM di Indonesia membuat terjadinya kebingungan bagi
aparat penegak hukum yang terlibat dalam Pengadilan HAM, sehingga
menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Hal itu tidak terjadi antara
penyelidik dengan penyidik dan penuntut atau penyidik dan penuntut
dengan hakim, bahkan terjadi di antara hakim itu sendiri misalnya. Pada
akhirnya setiap perbedaan perspektif mengenai substansi dan tata
beracaranya, kemudian terjadi pelemahan signifikansi UU Pengadilan
HAM, sebab semuanya kemudian dikembalikan kepada Pasal 10 yang
berbunyi: “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang—undang ini,
hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”
Kelemahan lain dari UU Pengadilan HAM adalah

penelikungan

transliteratif atas prinsip-prinsip dan ketentuan mengenai kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam
Statuta Roma.

BAB III
KESIMPULAN
ASEAN menjadi sebuah organisasi internasional regional yang menjadi institusi
pembentuk hukum (law making institution) pertama kali terhadap regionalisasi
hukum di kawasan Asia Tenggara, khususnya di bidang hak asasi manusia
(HAM) seturut dengan ketentuan hukum internasional.

Secarah historis

rumusan konseptual HAM telah muncul dari beberapa doktrin hukum alam,
khususnya ajaran Thomas Aquinas, Hugo de Groot. dan pernyataan yang
menyatukan tujuan-tujuan dan kesepakatan-kesepakatan perhimpunan ini.
20

Namun ASEAN mendapat kritik tajam karena kemajuannya lambat dan
kegagalannya menangani isu-isu kontroversial seperti hak asasi manusia
(HAM). AHRC bahkan mencatat, sejak Papua diintegrasikan ke wilayah
Indonesia, banyak pelanggaran HAM sudah terjadi. Terlebih fungsi-fungsi
yudisial tidak ada Kami tidak tahu nama-nama unit dan jumlah orang yang
terlibat. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tetap tak terjawab karena
pemerintah

tidak

pernah

sungguh-sungguh

mengatasi

kasus-kasus

pelanggaran HAM. AHRC mengakui bahwa ada beberapa inisiatif yang
dilakukan pemerintah terkait Papua. Pada umumnya kasus yang terjadi di
daerah papua penyelesaian dengan menggunakan kekerasan bukanlah jalan
pintas yang jitu dan gemilang untuk membungkam suara-suara kritis yang
menuntut keadilan. Karena keadilan itu sendiri adalah hak yang harus
diperoleh dan diberikan. Penderitaan yang semakin berkarat dalam ingatan
masyarakat Papua dan komponen bangsa lainnya, justru akan menumbuhkan
resistensi yang semakin besar atas kedaulatan negara. Ia pun akan menjadi
inspirasi

bagi

generasi

yang

tersisa

untuk

membangun

militansi

dan

radikalisme melawan setiap hegemoni dan penindasan. Dan dengan begitu,
dapat dipastikan konflik sekecil apapun tidak akan pernah terselesaikan.
Apalagi problem besar yang menimpa masyarakat Papua.Peristiwa Abepura
yang tejadi pada tiga tahun lalu adalah momentum bagi pertobatan negara
untuk menyudahi setiap bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat
Papua

menanti

kebijakan

populis

pemerintah

Megawati-Hamzah

Haz.

Menjalankan amanat UU Otsus dan rencana penyelenggaraan Pengadilan HAM
untuk Kasus Abepura, yang akan digelar di Makassarr cukuplah dijadikan
instrumen awal bagi usaha pemenuhan keadilan masyarakat Papua di bidang
hukum dan penegakkan hak asasi manusia. Agar pengadilan itu tidak dianggap
lips servis dan rutinitas simbolik praksis peradilan di Indonesia, ia haruslah
memenuhi kualitas peradilan yang fair, independen, dan imparsial. Beberapa
bingkai dan instrumen penyelesaian gejolak di Papua itu membutuhkan
komitmen dan praksis politik pemerintah secara sungguh-sungguh. Pilihan
pada komitmen itu akan sangat menentukan penyelesaian persoalan ekonomi,
politik, sosial, dan budaya di Papua. Problem makro Papua tidak akan pernah
tersentuh jika pemerintah tidak memulainya sejak sekarang.

21

DAFTAR PUSTAKA
Cavallaro,James . 2011. “ An Interview With James Callvaro” London:
International Law Journal, Vol 52, No. 21. 15-37.
Davidson, Scot .1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta :Pustaka Utama
Grafiti.
Hafiz,Muhammad. 2013. ” Humanitas Jurnal Dan Pendidikan HAM”,.
Medan: Jurnal kajian Dan Pendidikan HAM, Vol. IV, No. 2. 45-112.
Jakatriyana,Herry Bertus . 2014. “ASEAN Dan Penguatan Rule Of Law
Hukum Hak Asasi Manusia di Kawasan Asia Tenggara”, Jakarta: Journal Opinion
Juris, Vol. 15. No. 2. 45-103
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Muhtaj, El Majda. 2008 .Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi
Sosial dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.
Soetjipto, Ani W. 2015. Ham dan Politik Internasional : Sebuah
Pengantar,.yayasan pustaka obor Indonesia, Jakarta .
Zaidan,Muhammad Ali . 2015. “ Kebijakan Kriminal Kejahatan Terhadap
Ideologi Negara Di Tengah Putusan Globalisasi” Pandecta: Research Law
Journal. Hlm 3-15

22