Gambaran Sikap Mahasiswa Universitas Samudra Langsa Terhadap Tugas dan Wewenang Wilayatul Hisbah di Kota Langsa

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan salah satu
provinsi yang ada di Indonesia yang terletak di ujung pulau Sumatera. Masyarakat
yang tinggal di NAD mayoritas adalah pemeluk agama Islam yaitu sebanyak
97,6% dari seluruh penduduk di NAD (Komandoko, 2010). Pada tahun 2000,
terbentuklah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tentang pelaksanaan Syari’at
Islam. Pelaksanaan Syari’at Islam tersebut diwajibkan bagi setiap muslim, baik
yang bertempat tinggal maupun yang sedang berada di NAD sedangkan pemeluk
agama lain selain Islam (non Muslim) tidak dibenarkan melakukan kegiatan yang
dapat mengganggu ketenangan dan kekhusyukan pelaksanaan ibadah umat Islam
(Hikmawati, 2008).
Pada tahun 2006, dibentuk Undang-Undang Nomor 11 mengenai
pemerintahan NAD. Dalam Undang-Undang tersebut termaktub tentang
pelaksanaan Syari’at Islam yang tertuang dalam Perda dan qanun (UndangUndang) daerah NAD (Hafifuddin, 2011). Qanun yang berlaku di NAD mengatur
hal-hal yang menyangkut perbuatan pidana dan hukumannya. Adapun hal-hal
yang diatur dalam qanun tersebut, yaitu 1) Perbuatan pidana dibidang aqidah,
ibadah dan syi’ar Islam. 2) Perbuatan pidana dibidang zakat. 3) Perbuatan pidana
di bidang khamar (minuman keras dan sejenisnya). 4) Perbuatan pidana dibidang


Universitas Sumatera Utara

maisir (perjudian). Dan 5) Perbuatan pidana dibidang khalwat (mesum). Masingmasing bidang tertuang lagi dalam pasal-pasal yang mengatur perbuatan tersebut
dengan lebih jelas. Ketika terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum yang
tertuang dalam qanun diatas akan dikenakan hukuman sesuai dengan pelanggaran
yang dilakukan. Adapun hukuman-hukuman yang diberikan terhadap pelanggaran
qanun dibagi atas 4, yaitu hukuman cambuk, hukuman penjara atau kurungan,
dikenakan denda, dan pencabutan atau pembatalan izin usaha (Abubakar &
Hasan, 2006).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam menjadi satu-satunya provinsi yang
memiliki legalitas pelaksanaan Syari’at Islam secara luas, bukan hanya sekedar
budaya yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat, namun juga mendapat
legalitas hukum yang tidak hanya diakui dan disetujui oleh pemerintah daerah
Aceh, namun juga oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (Bahri,2012).
Masyatakat Aceh tidak menggugat melainkan mendukung pelaksanaan Syari’at
Islam di Aceh. Tidak ada pertentangan dalam penerapan pelaksanaan hukum
Syari’at Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Afandi, 2011).
Hukum Syari’at Islam yang berlaku di NAD dilaksanakan oleh beberapa
unsur yang terlibat yaitu Mahkamah Syari’ah, Dinas Syari’ah, Wilayatul Hisbah
(WH), dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Dari beberapa unsur yang

ada diatas, WH berkedudukan sebagai Polisi Syari’at yang bertugas untuk
mengamankan dan mengawasi jalannya Syari’at Islam (Hafifuddin, 2011). WH
adalah sebuah lembaga yang memiliki wewenang dalam memberi tahu dan
mengingatkan masyarakat tentang aturan-aturan yang berlaku yang harus dijalani

Universitas Sumatera Utara

oleh masyarakat, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan
yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan. Adapun tugas-tugas
dari WH menurut Abubakar (2010) antara lain adalah 1) Memperkenalkan dan
mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan
Syari’at Islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan
moral yang baik. 2) mengawasi masyarakat agar mereka memahami peraturan
yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang luhur yang dituntun Islam. 3)
melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan pidana tidak melakukan
perbuatan maksiat lebih lanjut.
WH memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam menerapkan Syari’at
Islam dan WH merupakan ujung tombak jalannya Syari’at Islam, dimana
menurunnya jumlah pelanggaran terhadap Syari’at Islam disebabkan seringnya
WH melakukan patrol dan razia. Namun demikian ada beberapa kendala yang

dihadapi WH dalam melaksanakan tugasnya, salah satu kendala yang dihadapi
oleh WH adalah lembaga WH belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat,
sebagai pemerintah aparat penegak hukum maka kekuatannya belum sekuat
kedudukan

polisi.

Apalagi

WH

tergolong

lembaga

baru,

maka

ketidakberdayaannya dirasakan oleh pemerintah dan masyarakat. Secara individu

para personil WH tersebut masih honorer atau bahkan hanya sebatas kontrak,
maka WH sendiri kurang percaya diri apalagi kepercayaan masyarakat belum
terbangun. Kendala lain yang dihadapi adalah minimnya anggota WH bila
dibanding dengan wilayah kerja sehingga mereka kesulitan dalam menjangkau
semua wilayah dan patrol hanya dapat dilakukan pada lokasi dan waktu tertentu

Universitas Sumatera Utara

saja (Arianto, 2011). Selain itu, wewenang WH dalam penegakan Syari’at Islam
sebagian masih wewenang polisi juga, terutama mengenai hukum pidana sehingga
WH kesulitan dalam menjalankan tugasnya tanpa adanya hukum yang jelas
mengenai kewenangan WH (Abubakar dan Anwar, 2011).
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian pada WH di Kota
Langsa. Kota Langsa merupakan salah satu Kota Madya yang berada di
Kecamatan Aceh Timur di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan mayoritas
penduduk beragama Islam. Kota Langsa merupakan salah satu daerah yang cukup
ketat dalam pelaksanaan Syari’at Islam. Di Kota Langsa, Syari’at Islam telah
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan masyarakat. WH yang ada di Kota
Langsa juga sering melakukan patroli dan razia guna memantau pelaksanaan
Syari’at Islam dan menertibkan pelanggaran yang terjadi (wikipedia, 2012).

WH dalam tugasnya mengawasi dan menjalankan Syari’at Islam tidak
hanya berperilaku sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Ada beberapa
anggota WH yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum Syari’at
Islam yang seharusnya. Adapun salah satu kasus yang terjadi yang melibatkan
WH adalah kasus yang terjadi di Kota Langsa pada tahun 2010, yaitu
pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga orang WH terhadap seorang mahasiswi
berusia 20 tahun yang mereka tahan dengan tuduhan khalwat. Awalnya wanita
tersebut ditangkap saat sedang berduaan dengan kekasihnya dan dibawa ke
markas WH dengan tuduhan khalwat. Dikantor WH tersebutlah wanita itu
diperkosa oleh 3 orang WH, 2 diantaranya berhasil ditangkap dan mengakui
perbuatan mereka, sedangkan 1 orang lagi melarikan diri dan hingga kini belum

Universitas Sumatera Utara

diketahui keberadaannya (Imran, 2010). Hukuman yang diberikan oleh Dinas
Syari’at Islam kepada WH yang melakukan pemerkosaan adalah pemecatan dari
jabatan WH, selebihnya diserahkan ke Pengadilan Negeri Kota Langsa. Hasil
sidang di Pengadilan Negeri Kota Langsa memutuskan bahwa tersangka masingmasing akan dihukum penjara selama 8 tahun (Maldira, 2010).
Kejadian pemerkosaan yang dilakukan oleh 3 anggota WH tersebut
memunculkan berbagai reaksi pada masyarakat, selain dikarenakan perbuatan

mereka yang sangat menyimpang dari hukum yang mereka tegakkan, hukuman
yang diberikan pun dirasakan kurang oleh masyarakat. Anggota WH yang
melakukan tindakan pemerkosaan tersebut hanya dihukum penjara 8 tahun dan
dipecat dari jabatannya sebagai WH, padahal dalam hukum Syari’at Islam, pelaku
pemerkosaan harusnya selain dihukum penjara harusnya juga dihukum cambuk,
namun dalam kasus ini anggota WH yang melakukan pemekosaan tidak
dikenakan hukum cambuk. Selain itu, ada yang meminta agar WH dibubarkan dan
peran WH diserahkan kepada polisi, ada juga yang melihat ini sebagai suatu
kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang anggota WH saja dan WH tidak
perlu dibubarkan dikarenakan peran WH masih sangat dibutuhkan oleh
masyarakat NAD, namun proses perekrutan WH yang harus dibenahi (Husen,
2010).
Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh WH ini, memunculkan
kekecewaan masyarakat kepada WH dan membuat beberapa masyarakat Kota
Langsa merasa malu dengan kejadian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil

Universitas Sumatera Utara

komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap X, salah seorang warga
Kota Langsa mengenai WH yang bertugas di Kota Langsa:

“Kejadian perkosaan yang dilakukan WH tahun 2010 itu
mengecewakan dan membuat kami malu. Kok bisa WH malah
berbuat kayak gitu padahal harusnya mereka nggak gitu. Waktu itu
malah banyak warga yang melempar kantor WH dengan batu
karena marah dengan kejadian itu. Terus hukuman yang dikasih
juga nggak adil, kenapa WH yang melakukan tindakan itu tidak
dipermalukan tapi kalau mereka menangkap orang yang salah
selalu mereka permalukan” (Komunikasi personal, Oktober 2012).
Selain X, Y yang juga merupakan masyarakat Kota Langsa menguatkan
apa yang disampaikan oleh X. Y Merasa kecewa pada apa yang dilakukan oleh
WH di Kota Langsa. Selain kejadian tersebut mempermalukan WH di Kota
Langsa, hukuman yang diberikan pada pelaku juga dianggap tidak adil di mana
pelaku tidak dihukum cambuk sedangkan jika masyarakat biasa yang
melakukannya akan dikenakan hukum cambuk. Hal tersebut dapat dilihat dari
hasil komunikasi personal berikut ini:
“Sejujurnya kakak merasa kecewa dengan kejadian tahun 2010 itu.
Itu juga mencoreng nama baik WH Kota Langsa. Kejadian itu tidak
bagus, sangat memalukan bagi WH. WH yang melakukan itu juga
tidak dicambuk, itu nggak adil juga bagi masyarakat, kalau
masyarakat yang salah dihukum cambuk, tapi ketika WH yang

salah malah tidak dicambuk” (Komunikasi Personal, Oktober
2012).
Selain kekecewaan dan ketidak adilan, beberapa masyarakat merasa bahwa
hal ini dapat terjadi dikarenakan tidak jelasnya perekrutan yang dilakukan untuk
menjadi WH. Apa syarat yang dibutuhkan dan kapan WH direkrut bahkan kapan
diadakan pelatihan untuk WH dirasakan oleh masyarakat tidak jelas sehingga
menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti pemerkosaan tersebut. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

dapat terlihat dari komunikasi personal yang dilakukan dengan X dan Z, sebagai
berikut:
“Gimana WH nggak melakukan itu, untuk masuk jadi WH aja
masih ada yang nyogok. Selain itu juga masih ada yang ilmu
agamanya kurang. Padahal untuk menegur kesalahan orang lain ada
syarat-syarat yang juga telah ditentukan dalam agama, seperti
mampu jadi imam, sudah mampu mengurus diri sendiri dan
keluarganya, dan sebagainya. klo memang nggak terpenuhi ya
wajar saja kalau mereka juga akhirnya melakukan hal yang
menyimpang” (Komunikasi Personal, Oktober 2012).

“Nggak jelas sebenarnya kapan perekrutan WH, tiba-tiba udah ada
aja. Entah apa persyaratannya pun nggak tahu. Kapan seleksinya
juga nggak tahu. Apa mereka juga dikasih pelatihan dan pengajaran
mengenai investigasi juga nggak tau. Ya gimana kita bisa tahu
kalau akhirnya mereka melakukan hal seperti itu” (Komunikasi
Personal, November 2012).
Meskipun demikian, tidak semua warga Kota Langsa merasakan
kekecewaan dan ketidakadilan hukuman yang diberikan kepada WH, ada juga
warga yang mendukung WH dan menyalahkan wanita yang menjadi korban
pemerkosaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil komunikasi personal dengan
A, salah seorang warga langsa:
“Menurut saya WH nya nggak salah, dia melakukan itu kan atas
dasar suka sama suka. Yang saya tahu ceweknya itu memang
cewek nggak bener, dia yang ngerayu WH biar mau ngelepasin dia.
Saat malam kejadian saya berada cukup dekat dengan pos, namun
saya tidak mendengar adanya teriakan minta tolong, jadi menurut
saya dia tidak diperkosa tapi melakukan atas dasar suka sama suka.
Terus pas pagi dia takut dan akhirnya baru melaporkan. Tapi
mungkin memang ada sedikit ancaman yang diberikan oleh WH”
(Komunikasi personal, Oktober 2012).

Pada September 2012, kembali terjadi kasus yang dikaitkan dengan WH,
namun kali ini kasus ini tidak secara langsung melibatkan WH. Seorang remaja
berusia 16 tahun ditemukan tewas gantung diri dirumahnya dengan meninggalkan

Universitas Sumatera Utara

surat wasiat yang menyatakan bahwa ia mengakhiri hidupnya dikarenakan tidak
sanggup menerima tekanan dan tuduhan sebagai pelacur yang dialamatkan
kepadanya. Sebelum mengakhiri hidupnya, remaja tersebut ditangkap WH di
Lapangan Merdeka Kota Langsa dengan tuduhan menjual diri. Keesokan harinya
berita tersebut masuk menjadi berita di koran Serambi Indonesia dan majalah
Tempo yang membuat remaja tersebut tertekan dan memutuskan bunuh diri
(Serambi Indonesia, September 2012).
Hal ini juga menimbulkan berbagai reaksi pada masyarakat Kota Langsa,
ada yang menyalahkan WH namun ada pula yang mendukung WH dan
menganggap bahwa kematian remaja tersebut tidak ada hubungannya dengan
WH. Dalam kasus ini, Lembaga Bantuan Hukum Assosiasi Perempuan Indonesia
(LBH APIK) pada tanggal 5 Oktober 2012 melayangkan sebuah surat somasi
kepada Kepala Dinas Syari’at Islam Kota Langsa, Drs. H. Ibrahim Latif MM
mengenai pencemaran nama baik terhadap klien mereka, PE yang disebut “lonte”.

Mereka menuntut agar tuduhan tersebut kiranya dibuktikan, apabila tidak terbukti
dalam kurun waktu 7 hari maka mereka menuntut agar Kepala Dinas Syari’at
Islam Kota Langsa itu kiranya harus meminta maaf kepada keluarga PE melalui
media masa (Serambi Indonesia, 10 Oktober 2012).
Selain itu, dukungan terhadap WH terlihat dari adanya aksi unjuk rasa
pada 9 Oktober 2012 yang dilakukan oleh anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Kota Langsa untuk membacakan sebuah petisi yang menyatakan petisi yang
diberikan oleh LBH API merupakan bentuk kriminalisasi terhadap agama dan

Universitas Sumatera Utara

moral. Mereka melihat bahwa ide kebebasan HAM malah menjadi biang
kemaksiatan di Kota Langsa (Serambi Indonesia, 17 Oktober 2012).
Selain HTI, unjuk rasa juga dilakukan pada 16 Oktober 2012 oleh anggota
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) untuk menolak dan
melawan upaya pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan dan melakukan
pembusukan terhadap penegakan Syari’at Islam di NAD. Ketua Umum KAMMI
Aceh, Faisal Qasim SH mengatakan bahwa:
“Serangan itu tampak jelas dari timpangnya pemberitaan Syari’at
Islam di media massa. Hal ini terlihat dari kasus bunuh diri PE di
Langsa yang di blow-up para jurnalis tertentu secara berlebihan,
hingga upaya pendangkalan aqidah yang dilakukan LSM dan NGO
yang membawa misi agama Non-Islam ke Aceh.” (Serambi
Indonesia, 17 Oktober 2012).
Dilihat dari sudut pandang WH, Kasatpol PP-WH Provinsi Aceh, Khalidin
Lhong manganggap bahwa kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di
Kota Langsa bukanlah kesalahan WH melainkan kesalahan anak itu sendiri dan
orang tuanya. WH Langsa hanya menjalankan tugasnya saja, jika ada kesalahan
maka akan ditangkap dan dibina, anak tersebut berkeliaran tengah malam dengan
laki-laki yang bukan muhrimnya, wajar saja jika WH Kota Langsa
menangkapnya. Mengenai tuduhan pelacur yang dialamatkan WH kepadanya
sampai saat ini tidak jelas, dia sendiri belum menerima laporan mengenai hal
tersebut. Jadi tidak selayaknya WH yang dituduh bersalah karena melakukan
kewajibannya (Acal, 2012).
Selain dua kasus yang terjadi diatas, pada tanggal 20 Oktober 2012
kembali terjadi kasus yang melibatkan WH di Kota Langsa. Pada malam hari,

Universitas Sumatera Utara

anggota WH melakukan pembubaran acara hiburan kibor (Keyboard) yang
diadakan salah seorang warga dalam rangka syukuran anaknya yang masuk TNI.
Pembubaran kibor tersebut berlangsung ricuh, dimana pada akhirnya anggota WH
dilempari oleh pemuda dengan batu dan minuman keras (Serambi Indonesia, 22
Oktober 2012).
Hal ini juga menimbulkan beberapa reaksi pada masyarakat dimana pasca
kejadian tersebut Kadis (Kepala Dinas) Syari’at Islam mendapatkan teror melalui
pesan singkat dan telepon yang berisi cacian dan makian bahkan hingga ancaman
akan

dibunuh.

Peneror

tersebut

secara

terang-terangan

menyatakan

ketidaksenangan mereka terhadap WH dan Dinas Syari’at Islam (Serambi
Indonesia, 16 Oktober 2012). Berikut beberapa sms yang diterima oleh Kadis
Syariat Islam tersebut:
“Pacaran kan hak kami. Keyboard itu kan hiburan. Ngapain
diganggu. WH itu urus dirinya sendiri dan keluarganya, bukan
udah bagus kali WH itu. Awas kau, jangan macam-macam. Ku
bunuh nanti kau. Jangn sok bersih WH itu” (Serambi Indonesia,
16 Oktober 2012).
“Pakai jilbab, tidak pakai jilbab itu anak aku, istri aku, jadi bukan
urusan kau. Mereka mabuk dilapangan itu bukan urusan kamu,
jadi kamu urus saja keluarga kamu” (Serambi Indonesia, 16
Oktober 2012).
Salah tangkap ataupun salah menegur orang ketika melakukan razia
terkadang juga dilakukan oleh WH. Hal ini terkadang menimbulkan reaksi
perlawanan dari orang yang mereka tangkap atau tegur tersebut. Seperti salah satu
kasus yang terjadi pada pasangan suami istri yang pernah ditangkap WH hingga
dua kali. Pertama mereka ditangkap karena tuduhan khalwat, namun karena

Universitas Sumatera Utara

mereka dapat menunjukkan surat nikah maka mereka dibebaskan. Yang kedua
mereka ditangkap karena istrinya menggunakan celana ketat, namun bajunya
cukup panjang menutupi hingga betis. Namun dikerenakan mereka menaiki
kendaraan roda dua, maka celana istrinya terlihat hingga lutut. Ketika mereka
ditangkap dan istri turun dari kendaraan mereka dibebaskan karena ternyata
bajunya cukup panjang. Dua kejadian tersebut membuat pasangan ini menjadi
tidak suka pada apa yang dilakukan oleh WH, saat itu mereka menentang dan
suaminya bahkan sempat memarahi WH yang menangkap mereka. Hal ini dapat
dilihat dari hasil komunikasi personal berikut:
“Kami pernah ditangkap dua kali, sekali dituduh khalwat. Mereka
nggak liat apa kalau kami ini udah tua untuk pacaran. Sampai
kami harus ambil surat nikah. Ngerepotin aja kalau harus bawa
surat nikah kemana-mana. Akhirnya bapak marahin WH itu, lain
kali liat dulu siapa yang mau ditangkap. Yang kedua karena
celana ketat, padahal baju kakak panjang cuma karena naik honda
makanya bajunya jadi tersingkap. Pas diberhentikan kami
langsung dikasih sarung. Tapi bapak marah-marah karena baju
kakak cukup panjang. Akhirnya WH nya minta maaf dan
ngelepasin kami” (komunikasi personal, November 2012).
Selain itu, ada seorang warga langsa yang makan diwarung pada saat
shalat Jum’at. Dia ditegur karena makan dan tidak shalat. Karena yang ditegur
adalah wanita maka wanita tersebut melawan dan mengatakan bahwa bukan salah
dia makan di situ karena ada yang menjual makanan. Harusnya yang ditegur
adalah penjualnya, jika dia tidak berjualan maka tidak akan ada pembeli. Hal
tersebut dapat dilihat dari komunikasi personal berikut:

Universitas Sumatera Utara

“Watu itu kakak ditegur karena makan diwarung pas hari Jum’at.
Padahal kan kakak perempuan nggak wajib shalat Jum’at. Terus
kakak bantah aja. Kakak bilang aja “kok kalian sendiri nggak
shalat. Kalau mau negur, ya tegur aja penjualnya, kalau dia nggak
jual ya saya juga kan nggal beli”. Setelah itu mereka bicara
dengan penjualnya terus pergi. Hari Jum’at selanjutnya bapak itu
nggak pernah buka lagi pas jam shalat Jum’at” (komunikasi
personal, November 2012).
Hal-hal tersebut di atas adalah beberapa hal yang terjadi yang
berhubungan dengan WH di Kota Langsa. Ketika WH melakukan hal-hal seperti
yang dijabarkan diatas, maka hal itu mungkin saja akan memberikan pengaruh
kapada masyarakat Kota Langsa dalam menilai WH yang ada di Kota Langsa.
Namun dalam penelitian ini, peneliti fokus pada mahasiswa Universitas Samudra
Langsa sebagai bagian dari masyarakat kritis yang ada di Kota Langsa.
Mahasiswa adalah individu-individu yang berada pada usia remaja akhir atau pada
usia dewasa awal yang dikarakteristikkan dengan menempuh pendidikan di suatu
perguruan tinggi (Papalia & Olds, 2007). Sedangkan Mahasiswa Universitas
Samudra Langsa adalah individu yang berada pada usia remaja akhir atau usia
dewasa yang dikarakteristikkan dengan menempuh pendidikan di Universitas
Samudra Langsa.
Salah

satu

tujuan

dari

Universitas

Samudra

Langsa

adalah

mengembangkan dan membina kehidupan masyarakat akademik yang didukung
oleh budaya ilmiah yang menjunjung tinggi kebenaran, terbuka, kritis, inovatif
dan tanggap terhadap perubahan nasional maupun global (unsam.ac.id). Hal inilah
yang mendasari peneliti untuk memilih mahasiswa Universitas Samudra Langsa
sebagai subjek dalam penelitian ini. Dimana mahasiswa Universitas Samudra
Langsa dididik untuk menjunjung tinggi kebenaran, terbuka, kritis, dan tanggap

Universitas Sumatera Utara

terhadap perubahan baik nasional maupun global, termasuk juga mengenai WH
yang ada di Kota Langsa.
Mahasiswa Universitas Samudra Langsa sebagai bagian dari masyarakat
yang kritis mungkin akan melakukan evaluasi terhadap apa saja yang telah
dilakukan oleh WH di Kota Langsa. Evalusi yang dilakukan oleh mahasiswa
Universitas Samudra Langsa mungkin saja dapat mempengaruhi sikap mereka
terhadap WH di Kota Langsa. Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan sikap
sebagai evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap berbagai aspek yang ada
di dunia sosial dan bagaimana evaluasi tersebut dapat memunculkan rasa suka
atau tidak suka seseorang terhadap sebuah isu, ide, seseorang, kelompok sosial
dan objek yang dievaluasi.
Menurut Skema Triadik, sikap terdiri dari 3 komponen yang saling
berhubungan, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif
terdiri dari pemikiran seseorang tentang sebuah objek tertentu (Taylor, Peplau, &
Sears, 2009). Mahasiswa Universitas Samudra Langsa memiliki pemikiran
masing-masing mengenai WH, ada yang berpikir bahwa WH memiliki peranan
penting dalam menegakkan Syari’at Islam dan memperbaiki perilaku masyarakat
Kota Langsa. Tanpa adanya mereka maka perilaku masyarakat khususnya remaja
di Kota Langsa akan semakin memburuk dan semakin tidak sesuai dengan
Syari’at Islam. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan
dengan P, salah satu mahasiswa Universitas Samudra Langsa, sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

“WH itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menegakkan Syari’at Islam di Aceh. Terutama di Langsa sebelum
ada WH sepertinya masyarakat semakin jauh dari Syari’at Islam.
Namun setelah adanya WH perlahan Kota Langsa mulai kembali
seperti dulu. Lihat saja para remaja yang pacaran dimana-mana,
memakai pakaian ketat, membuka aurat, berpelukan dengan lakilaki yang bukan muhrim. Dengan adanya WH maka semuanya
diharapkan dapat kembali sebagaimana mestinya. Walaupun
dalam pelaksaannya
mungkin
saja terjadi
beberapa
kesalahpahaman.” (Komunikasi Personal, Januari 2013)
Selain mahasiswa yang berfikir bahwa peranan WH sangat penting, ada
juga yang berfikir bahwa apa yang dilakukan WH terkadang terlalu mencampuri
urusan pribadinya dan terkadang WH yang menegakkan Syari’at Islam itulah
yang melanggar aturannya. Padahal sebelum mengatur orang lain seharusnya WH
mampu mengatur dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal
dengan W, salah satu mahasiswa Universitas Samudra Langsa, sebagai berikut:
“Menurut saya WH itu terlalu mencampuri urusan pribadi orang
lain. Misalnya masalah pakaian, itu terserah orang mau pakai apa,
dia juga tahu hukumnya, tahu dosanya. Kalau memang tidak suka
ya jangan dilihat. Tidak hanya itu bahkan mereka sendiri juga
melanggar. Saya pernah lihat orang ditegur karena memakai
celana padahal celananya itu kain dan longgar, tapi ada satu WH
perempuan yang sempat saya tandai pernah saya jumpai memakai
celana yang mirip dengan itu saat tidak sedang bertugas.
Harusnya mereka mengatur diri mereka dulu sebelum mengatur
orang lain. Belum lagi banyak kasus juga yang menimpa WH itu,
seperti memperkosa. Itu kan membuktikan kalau mereka aja
belum mampu mengurus diri mereka.” (Komunikasi personal,
Januari 2013)
Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan yang dimiliki seseorang
terhadap suatu stimulus, khususnya evaluasi positif dan negatif (Taylor, Peplau, &
Sears, 2009). Beberapa mahasiswa Universitas Samudra Langsa merasa enggan
untuk berurusan dengan WH bahkan jika mereka tidak melakukan pelanggaran,
hal ini dikarenakan mereka malu jika terlibat dengan WH karena orang lain yang

Universitas Sumatera Utara

melihatnya pasti beramsumsi bahwa mereka melakukan pelanggaran. Hal ini
dapat dilihat dari komunikasi persolah denga P dan W sebagai berikut:
“Sebenarnya saya tidak pernah berinteraksi langsung dengan WH
karena saya juga tidak pernah melakukan pelanggaran, tapi kalau
lihat mereka razia pernah. Saya jujur saja malas kalau disuruh
berurusan dengan mereka, karena menurut saya mereka sering
mempermalukan orang di depan umum dengan ucapan yang saya
tidak suka. Jadi saya malas berurusan dengan mereka.”
(Komunikasi personal, Januari 2013)
“Saya pernah ditangkap sama teman saya oleh WH, tapi itu
karena teman saya memakai celana jins, sedangkan saya tidak.
Saya suruh saja teman saya menelpun keluarganya, dan saya pun
pergi meninggalkan teman saya itu. Bukan nggak setia kawan
kak, tapi malu kalau ketahuan berurusan sama WH walaupun saya
nggak ada salah. Pasti orang yang lihat langsung menganggap
saya bersalah, paling parah kalau dianggap ditangkap karena pergi
naik Honda sama cowok. Memalukanlah kak, saya sih tidak mau
berurusan dengan mereka dalam hal apapun.” (Komunikasi
personal, Januari 2013)
Komponen konatif atau perilaku merupakan tendensi atau kecenderungan
untuk melakukan tindakan tertentu yang berhubungan dengan objek sikap.
Komponen ini menunjukkan bagaimana kecenderungan seseorang untuk
berperilaku terhadap sebuah objek sikap yang dihadapinya (Taylor, Peplau, &
Sears, 2009). Ada mahasiswa Universitas Samudra Langsa menunjukkan
kecenderungan untuk menghindar jika berhadapan dengan WH. Hal ini dapat
dilihat dari komunikasi personal dengan W, sebagai berikut:
“Ya, kalau saya lihat ada WH saya sih menghindar saja, malas
berurusan dengan mereka.” (Komunikasi personal, Januari 2013)

Sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
pengalaman. Pengalaman yang dialami oleh seseorang dapat berupa pengalaman

Universitas Sumatera Utara

positif atau negatif, dimana sebagian pengalaman itu membentuk sikap mereka
(Hogg & Vaughan, 2002). Beberapa kejadian yang dipaparkan diatas yang
melibatkan WH Langsa dapat menjadi pengalaman yang kuat bagi mahasiswa
Universitas Samudra Langsa sebagai bagian dari masyarakat Kota Langsa yang
mengalami

hal

tersebut.

Pengalaman

tersebut

memungkingkan

akan

mempengaruhi sikap mahasiswa sebagai masyarakat ilmiah di Kota Langsa
terhadap WH.
Selain pengalaman, salah satu faktor yang juga mempengaruhi sikap
adalah budaya. Budaya yang ada pada Masyarakat Kota Langsa secara umum
dipengaruhi oleh agama Islam, sehingga perilaku yang melanggar ajaran Islam
sangat tidak diterima dan tidak disukai oleh masyarakat Kota Langsa. Kasus
pemerkosaan yang dilakukan oleh 3 anggota WH di Kota Langsa pada tahun 2010
merupakan kejadian yang sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kejadian ini
mungkin saja dapat mempengaruhi sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa
sebagai bagian dari masyarakat Kota Langsa terhadap WH di Kota Langsa
(Azwar, 2010).
Dari pemaparan diatas, terlihat bahwa ada hal-hal yang terjadi di Kota
Langsa yang dapat mempengaruhi sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa
sebagai bagian dari masyarakat Kota Langsa. Sehingga peneliti ingin melihat
bagaimana gambaran sikap pada mahasiswa Universitas Samudra Langsa
terhadap tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah di Kota Langsa sebagai penegak
hukum Syari’at Islam.

Universitas Sumatera Utara

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin mengetahui hal yang
dirumuskan dalam pertanyaan:
1. Bagaimana gambaran sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap
tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah di Kota Langsa?
2. Bagaimana gambaran sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap
tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah berdasarkan suku, jenis kelamin,
pengalaman subjek yang berhubungan dengan Wilayatul Hisbah dan
Keanggotaan subjek dalam organisasi keagamaan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk:
1. Mengetahui gambaran sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa
terhadap tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah di Kota Langsa.
2. Mengetahui gambaran sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa
terhadap tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah berdasarkan suku, jenis
kelamin, pengalaman subjek yang berhubungan dengan Wilayatul Hisbah dan
Keanggotaan subjek dalam organisasi keagamaan.

Universitas Sumatera Utara

D. MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini, diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan ilmu
psikologi, khususnya ilmu psikologi sosial dan bidang-bidang lainnya dalam
aplikasinya dan juga penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
karya ilmiah yang berhubungan dengan sikap mahasiswa Universitas Samudra
Langsa terhadap Wilayatul Hisbah Kota Langsa.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat:
a. Menjadi masukan bagi WH sendiri sebagai aparat penegak Syar’iat Islam
terutama di Kota Langsa, sehingga mereka mendapatkan feedback
bagaimana sikap mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap WH
Kota Langsa sehingga WH dapat memaksimalkan kinerja mereka di Kota
Langsa.
b. Menjadi masukan bagi Dinas Syar’iat Islam selaku istitusi yang dinaungi
WH mengenai sikap Mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap
Wilayatul Hisbah Kota Langsa sehingga dapat membantu dalam
mengembangkan dan memaksimalkan fungsi WH di Kota Langsa.
c. Menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Langsa mengenai sikap
mahasiswa Universitas Samudra Langsa terhadap WH yang ada di Kota
Langsa sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Daerah Langsa dalam mengembangkan dan memaksimalkan
fungsi WH di Langsa.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I

: Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan
masalah dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat
penelitian baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis dan
sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Bab II

: Landasan Teori
Bab ini akan menguraikan kepustakaan yang menjadi landasan teori
yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam
penelitian ini teori yang akan digunakan adalah Teori sikap.

Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan uraian mengenai metode penelitian yang akan
digunakan oleh peneliti, yaitu identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional, populasi dan sampel, instrument yang akan digunakan,
prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.

Universitas Sumatera Utara

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil analisa
data mengenai sikap, interpretasi data dan pembahasan.
Bab V

: Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.

Universitas Sumatera Utara