Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Berdasarkan Analisis Semen Dan Tampilan Imunohistokimia Cyclooxygenase-2 Pada Testis Mencit (Mus Musculus L.)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jambu Biji

Tumbuhan jambu biji (Psidium guajava) merupakan tumbuhan yang
berasal dari Amerika tropis banyak ditanam sebagai tumbuhan buah-buahan yang
tumbuh pada ketinggian 1 – 1.200 m di atas permukaan laut. Jambu biji
merupakan tanaman perdu bercabang banyak, tingginya dapat mencapai 3 – 10 m.
Umumnya umur tanaman jambu biji sekitar 30 – 40 tahun. Tanaman yang berasal
dari biji relatif berumur lebih panjang dibandingkan hasil cangkokan atau okulasi.

Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari
bahasa yunani, yaitu “psidium” yang berarti delima, “guajava” berasal dari nama
yang diberikan oleh orang spanyol. Adapun taksanomi tumbuhan jambu biji
diklasifikasikan tumbuhan daun jambu biji sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi


: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Myrtales

Suku

: Myrtaceae

Genus


: Psidium

Spesies

: Psidium guajava L.

Gambar 2.1 Daun Jambu Biji

Morfologi dari jambu biji sebagai berikut: kulit batangnya licin, terkelupas
dalam potongan, ruas tangkai teratas segi empat tajam. Daun muda berbulu abuabu, daun bertangkai pendek dan bulat memanjang. Bunga terletak di ketiak daun,
tabung kelopak bunga berbentuk lonceng atau bentuk corong, panjang 0,5 cm.
Daun mahkota bulat telur terbalik, panjang 1,5 – 2 cm, putih segera rontok.
Benang sari pada tonjolan dasar bunga yang berbulu, putih, pipih dan lebar. Bakal
buah tenggelam beruang 4 – 5. Buah buni bundar dan berbentuk pir (Steenis,
2008).

Daun jambu biji telah digunakan untuk tujuan pengobatan di beberapa
kebudayaan selama ribuan tahun. Dalam penelitian yang telah dilakukan, daun
jambu biji memiliki kandungan yang banyak bermanfaat bagi tubuh kita.

Metabolit sekunder dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu terpen, fenolik,
dan senyawa yang mengandung nitrogen terutama alkaloid.

Tanin pada tumbuhan jambu biji dapat ditemukan pada bagian buah, daun
dan kulit batang, sedangkan bunga pada tumbuhan jambu biji tidak banyak
mengandung tanin. Daun tanaman jambu biji selain mengandung tanin, juga
mengandung zat lain, seperti asam ursolat, asam lat, asam guajaverin, minyak
atsiri, alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan vitamin (Belawarna,2012;
Rosidah, 2012). Daun – daun jambu biji memiliki kandungan zat – zat penyamak
(psiditanin) sekitar 9%, minyak atsiri berwarna kehijauan yang mengandung
eganol sekitar 0,4%, damar 3%, minyak lemak 6%, dan garam – garam mineral
(Kartasapoetra, 2004).

Alkaloid dapat mempengaruhi sekresi hormon reproduksi yang diperlukan
untuk berlangsungnya proses spermatogenesis, minyak atsiri bekerja tidak pada
proses

spermatogenesis,

tetapi


pada

transportasi

sperma

tanin

dapat

menggumpalkan sperma sehingga menurunkan motilitas dan daya hidup sperma
(Wien, 2007).

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbanyak terdapat
di alam. Senyawa-senyawa ini bertanggung jawab terhadap zat warna merah,
unggu, biru, dan sebagaian zat warna kuning dalam tumbuhan. Semua flavonoid
menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk “flavon” yakni nama
sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan, yang
terdapat terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula.


Sebagian besar flavonoid yang pada tumbuhan terikat pada molekul gula
sebagai glikosida dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa
senyawa tunggal. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat fungsi : 1)
Sebagai pigmen warna, 2) Fungsi fislologi dan patologi, 3) Aktivitas farmakologi,
dan, 4) Flavonoid dalam makanan. Aktivitas farmakologi dianggap berasal dari
rutin (glikosa flavonol) yang digunakan untuk menguatkan susunan kapiler,
menurunkan permeabilitas dan fragilitas pembuluh darah. flavonoid dapat
menghambat enzim aromatase yaitu enzim yang berfungsi mengkatalis konversi
androgen menjadi estrogen yang akan meningkatkan hormon testosteron, yang
mana tingginya konsentrasi hormon testosteron akan berumpan balik ke hipofisis
yaitu tidak melepaskan FSH (Follicle Stimulating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon) (Wienarno, 1997).

Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks yaitu senyawa hasil
kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organik yang apabila
dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non-gula (aglikon). Saponin ini
terdiri dari dua kelompok : saponin triterpenoid dan saponin steroid. Saponin
banyak digunakan dalam kehidupan manusia, salah satunya terdapat dapat lerak
yang dapat digunakan untuk bahan pencuci kain (batik) dan sebagai shampoo.

Saponin dapat diperoleh dari tumbuhan melalui metoda ekstraksi. Saponin dalam
siklus sel dapat menghambat pembentukan Bcl-2 yang terlalu tinggi, menginduksi
caspase 3 yang diekspresikan terlalu rendah, meningkatkan ekspresi p53 dan
memicu G1 cell cycle arrest (Raju,2004).

2.2 Spermatogenesis pada Mencit

Spermatogenesis merupakan tahapan terpenting yang menentukan
kemampuan dan fungsi reproduksi dari seluruh spesies makhluk hidup, khususnya
manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan jantan pada hewan. Proses ini
dimulai dari perkembangan germ cell pada basal tubulus miniferus yang perlahanlahan akan bergerak kearah lumen tubulus seminiferus menjadi sel spermatozoa
dewasa yang siap untuk diejakulasikan dan membuahi sel telur (ovum) dari
manusia perempuan atau hewan betina (Subratha, 1998).

Spermatogenesis pada mencit menyerupai proses yang terjadi pada
manusia

maupun

hewan


lainnya

dan

berlangsung

dalam

tiga

tahap.

Spermatogonium sel germinal diploid (2n) yang dibagi dengan mitosis dan berada
pada membran basal. Berbagai jenis spermatogonium diakui sebagai tipe A,
Intermediat, dan tipe-B. Dalam laboratorium tikus dipelajari dengan baik, seperti
tikus dan mencit, empat kelas spermatogonium yang hadir: terdiferensiasi
spermatogonia tipe A [A tunggal, A paired, A aligned]; spermatogonium tipe A
dibedakan


(A1,

A2,

A3,

A4);

spermatogonium

intermediat

(In);

dan

spermatogonium tipe B (B) (Hess, 2001). Spermatogonium B selanjutnya
mengalami mitosis sehingga terbentuk spematosit primer dan berada pada fase
istirahat pada tahap preleptoten (Gilbert, 1985).


Spermatogonia A muncul pada semua stadium epitel tubulus seminiferus,
sedangkan spermatogonia intermediat tampak pada stadium II hingga IV.
Spermatogonia B pada stadium IV hingga VI. Sebagai hasil pembelahan dan
diferensiasi, generasi baru spermatogonia adalah spermatosit primer yang tampak
pada stadium VI hingga VII. Sedangkan stadium VII hingga XII akan terlihat dua
lapisan spermatosit primer dalam tubulus seminiferus. Lapisan spermatosit yang
lebih muda terletak lebih dekat dengan membran sel. Pada lapisan ini terdapat
spermatosit pada fase istirahat yang terdapat pada stadium VII dan awal stadium
VIII (Hess, 2001).

Tahap berikutnya adalah meiosis yang terdiri dari dua tahap, yaitu meiosis
I dan meiosis II dimana masing-masing mengalami fase profase, metafase,
anafase dan telofase. Profase pada meiosis I yang meliputi leptoten, zigoten,
pakiten, diploten dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya
spermatosit sekunder dan kemudian memasuki meiosis II dan pembelahan
berlanjut untuk membentuk spermatid (Johnson, 1990; Hess 2001). Selanjutnya
diakhiri tahap spermiogenesis yang merupakan transformasi spermatid dari bentuk
yang bulat menjadi spermatozoa dengan kepala, leher dan ekor. Spermiogenesis
pada mencit terdiri dari 16 tingkat yang secara umum diklasifikasikan menjadi
empat fase, yaitu fase golgi, fase cap, fase akrosom dan fase maturasi (Johnson,

1990; Hess 2001).

Spermatogenesis

yang

terjadi

pada

tubulus

seminiferus

mencit

berlangsung selama 30 - 40 hari dengan empat kali siklus epitel seminiferus. Satu
kali siklus epitel seminiferus berlangsung selama 207±6 jam. Pada mencit (Mus
musculus), epitel germinal tubulus seminiferus merupakan tempat berlangsungnya
spermiogenesis yang terbagi dalam 12 stadium, yaitu stadium I sampai dengan

stadium XII. Pembagian stadium didasarkan atas perkembangan akrosom selama
proses spermatogenesis.

Gambar 2.2 Potongan Tubulus Seminiferus dari spesies mamalia yang
berbeda. Dalam manusia (A) dan monyet kecil Callithrix penicillata (B), dua
tahap siklus atau asosiasi sel germinal (dibatasi oleh garis hitam) yang
diamati, sedangkan pada mencit (C) dan tikus (D) hanya satu tahap
ditemukan (Sumber: Cheng, 2008)

Gambar 2.3 Tahapan Tikus dalam Siklus Epitel Seminiferus (I – XII)
(Sumber: Cheng, 2008)

2.3 Karakteriktik Spermatozoa

Semen terdiri atas dua komponen, yaitu plasma semen dan spermatozoa.
Plasma semen adalah cairan yang berfungsi sebagai medium bagi spermatozoa,
diproduksi oleh kelenjar–kelenjar tambahan, yaitu kelenjar bulbourethralis
(kelenjar cowper), kelenjar prostat dan kelenjar vesikularis. Spermatozoa adalah
sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam testis melalui proses
spermatogenesis, yang bersama–sama dengan plasma semen akan dikeluarkan
melalui saluran kelamin jantan untuk membuahi sel telur.

Spermatozoa adalah sel kelamin yang memegang peranan penting dalam
proses pembuahan. Cikal bakal spermatozoa sudah ada sejak embrio berupa sel–
sel gonosit yang sudah aktif mengadakan pembelahan, sehingga menghasilkan
spermatogonia

(Hafez,

1987).

Spermatogonia

akan

berproliferasi

dan

berdiferensiasi menjadi Spermatosit I yang kemudian memasuki fase miosis,
sehingga membentuk spermatid yang mempunyai jumlah kromosom separuh dari
jumlah kromosom sel sebelum miosis (haploid). Spermatid kemudian akan
mengalami proses perubahan bentuk melalui tahap–tahap yang panjang yang
disebut dengan proses spermiogenesis dan pada akhir spermiogenesis ini akan
dihasilkan spermatozoa yang mempunyai struktur spesifik sesuai dengan
fungsinya untuk membuahi sel telur. Spermatozoa terdiri atas bagian kepala, leher
dan ekor spermatozoa (Hafez, 1987).

2.3.1 Bagian Kepala Spermatozoa

Kepala

spermatozoa

berasal

dari

kondensasi

nukleus

spermatid.

Kondensasi tersebut meliputi perubahan-perubahan kromatid menjadi lebih
ringkas, pemantapan membran luar menjadi kuat dan pembentukan tudung depan
(akrosom). Akrosom merupakan suatu kantung kecil yang mengandung enzim–
enzim yang sangat penting untuk menembus dinding sel telur pada saat
pembuahan. Enzim hialuronidase berfungsi membuka dinding luar telur. Bagian
leher spermatozoa merupakan bagian yang menghubungkan kepala dan ekor.

2.3.2 Bagian Ekor Spermatozoa

Bagian ekor spermatozoa terdiri dari dua bagian ujung (end piece). Pada
bagian pangkal (middle piece) terdapat mitokondria yang telah memanjang
dengan susunan teratur membentuk spiral yang berfungsi dalam kegiatan
metabolisme spermatozoa dalam menghasilkan energi berupa ATP (Adenosin Tri
Phosphate) melalui proses respirasi. Pada bagian ujung (end piece) berfungsi
sebagai alat mekanik untuk pergerakan spermatozoa.

2.3.3 Analisis Semen

Sperma sangat erat kaitannya dengan kesuburan seorang pria. Produksi
sperma, baik menyangkut kualitas dan kuantitas sperma dipengaruhi oleh kerja
hormon. Apabila ada gangguan pada kelenjar pituitaria, maka produksi sperma di
testis juga akan mengalami gangguan. Agar tidak terjadi pembuahan (pertemuan
antara sel telur wanita dengan sel sperma pria dibutuhkan jumlah sperma yang
sedikit atau kualitas sperma menurun. Untuk dapat membuahi sel telur wanita,
dibutuhkan sedikitnya 20 juta sel sperma laki-laki, namun apabila jumlahnya
kurang dari 20 juta, maka kemungkinan sel sperma gagal untuk membuahi.
Penilaian kualitas spermatozoa meliputi konsentrasi, viabilitas, abnormalitas dan
gerakan massa spermatozoa.

Sperma secara esensial terdiri dari kepala yang membawa materi herediter
paternal dan ekor yang mengandung sartna penggerik. Permukaan sperma
dibungkus oleh suatu membran lipoprotein yang apabila sel tersebut mati,
permeabilitas membrannya meninggi, terutama di daerah pangkal kepala. Hal ini
merupakan dasar pewarnaan semen yang dapat membedakan sperma yang hidup
dan yang mati (Siti, 2000). Pada umumnya sperma sangat aktif dan tahan hidup
lama pada pH 7,0. Sampel semen dianalisis berdasarkan volume, viskositas, pH,
warna, konsentrasi, motilitas, dan morfologinya. Acuan normal sperma manusia
yang berdasarkan WHO (2010): Volume: 1 ml ; Sperm Density: >20 million
sperm/ml ; Motility: >50% ; Morphology: >30% normal forms ; Forward

Progression: (scale 1-4) 2+ ; Viscosity: No Hyperviscosity ; White blood cells: 05 per high power field. Sementara untuk mencit belum ada bahan pendukung yang
menyatakan kenormalan sperma.

Berikut grafik perbandingan produksi sperma harian antara mencit dan
manusia (Sumber: Cheng, 2008) :

Abnormalititas volume sperma jarang ditemukan biasanya berhubungan
dengan

masalah

kelenjar

aksesoris-vesika

seminalis

dan

prostat

yang

memproduksi cairan seminalis. Semen yang terlalu sedikit menyebabkan sperma
sulit untuk mencapai serviks, sedangkan semen yang terlalu banyak dapat
mengencerkan sperma sehingga menurunkan konsentrasinya. pH sperma:
normalnya pH sperma adalah alkaline (basa) yang dapat melindungi sperma dari
cairan vagina yang asam. PH sperma yang asam mengindikasikan masalah pada
fungsi vesika seminalis apakah itu tidak adanya vesika seminalis atau obstruksi
pada duktus ejakulatorius.

Viskositas: selama ejakulasi semen disemburkan dalam bentuk cairan yang
dilapisi gel. Gel ini harus mencair dalam waktu 30 menit agar sperma dapat
bergerak bebas. Jika gagal, hal ini mengindikasikan adanya infeksi pada vesika
seminalis dan prostat. Terdapatnya fruktosa, diproduksi oleh vesika seminalis dan
berfungsi menyediakan energi bagi sperma untuk bergerak. Absennya fruktosa

indikasi adanya blok pada saluran reproduksi pria pada tingkat duktus
ejakulatorius.

Motilitas: terdapat 2 tipe sperma yaitu sperma yang dapat berenang dan
yang tidak. Grade 1 (fast progressive) sperma berenang cepat ke depan dalam
garis lurus seperti misil. Grade 2 (slow progressive) sperma berenang ke depan
baik dalam garis lurus ataupun melengkung. Grade 3 (nonprogressive) sperma
bergerak memindahkan ekornya namun tidak bergerak ke depan (motilitas lokal).
Grade 4 (immotile) sperma tidak bergerak sama sekali. Sperma grade 3 dan 4
dikategorikan kualitas rendah ini mengindikasikan testis menghasilkan sperma
berkualitas rendah dan tidak berfungsi dengan baik.

Morfologi: sperma yang baik harus memiliki kepala berbentuk oval,
dengan bagian tengah sebagai penghubung dan ekor yang panjang dan lurus. Jika
terlalu banyak sperma yang memiliki bentuk abnormal (teratozoospermia) ini
dapat berarti sperma memiliki fungsi yang abnormal dan tidak akan mampu untuk
membuahi sel telur.

a

b

c

d

Gambar 2.4 Bentuk-bentuk sperma pada tikus. a. bentuk sperma normal;
b.sperma abnormal dengan bentuk kepala seperti pisang; c.
sperma abnormal dengan bentuk kepala tidak beraturan
(amorphous); d. sperma abnormal dengan bentuk kepala
terlalu membengkok (Washingthon et al., 1983)
Viabilitas (daya hidup) spermatozoa merupakan salah satu indikator yang
menentukan terjadinya fertilisasi atau terbentuknya embrio adalah, mengingat
faktor tersebut erat kaitannya dengan fungsi spermatozoa itu. Dengan rendahnya

viabilitas maka pembuahan tidak akan terjadi sebab spermatozoa mati sebelum
membuahi sel telur (Rusmiati, 2007).

Berikut beberapa terminalogi yang dipergunakan dalam spermatologi :
1. Azoospermia : Dalam ejakulat tidak terdapat / ditemukan sperma.
2. Aspermatogenesis : Tidak terjadi pembuatan spermatozoa di dalam testis.
3. Aspermia : Tidak terdapat ejakulat
4. Normospermia : Jumlah volume sperma 2 - 5 ml.
5. Hypospermia : Volume ejakulat kurang dari 1 ml
6. Hyperspermia : Volume ejakulat lebih dari 6 ml
7. Hypospermatogenesis : Proses pembentukan spermatozoa sangat sedikit di
dalam testis.
8. Oligospermia : Jumlah spermatozoa di bawah kriteria normal (di bawah 20
juta tiap ml sperma)
9. Normozoospermia : Jumlah spermatozoa dalam batas normal berkisar antara
40-200 juta/ml.
10. Asthenospermia : Jumlah spermatozoa yang bergerak baik di bawah 50%.
11. Necrospermia : Semua spermatozoa dalam keadaan mati.
12. Extrem oligospermia : Jumlah spermatozoa di bawah 1 juta untuk tiap 1 mL
ejakulat.
13. Asthenozoospermia : Spermatozoa yang lemah sekali gerak majunya.
14. Teratozoospermia : Bentuk spermatozoa yang abnormal lebih dari 40%.
15. Nekrozoospermia : Semua spermatozoa tidak ada yang bergerak atau hidup.
16. Kriptozoospermia : Bila ditemukan spermatozoa yang tersembunyi yaitu bila
ditemukan dalam sedimen sentrifugasi sperma.
17. Polizoospermia : Bila jumlah spermatozoa lebih dari 250 juta per ml sperma
18. Leukospermia : Warna sperma putih keruh serupa susu karena terdapat
leukosit yang banyak.
19. Hemospermia : Warna sperma kemerahan karena terdapat erythrosit yang
banyak.
20. Residual Body : Sisa sitoplasma yang melekat pada spermatozoa yang belum
matur.

2.4 Enzim Cyclooxygenase

Cyclooxygenase (COX) adalah enzim kunci dalam kaskade asam
arakidonat. Asam arakidonat, asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen
dari membran fosfolipid yang dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2).
Kemudian, PGH2 dimetabolisme menjadi prostaglandin (PG) dan lainnya.
Pembentukan prostanoid dari PGH2 terjadi melalui tindakan beberapa
sintase yang diekspresikan pada jaringan dan sel-sel selektif. Sintase ini termasuk
prostaglandin D sintase (PGDS), prostaglandin E sintase (PGES) (Tanaka et
al,1987; Stables dan Gilroy, 2010), prostaglandin F sintase (PGFS), prostaglandin
I sintase (PGIS), dan tromboksan A sintase (TXAS) yang masing-masing
membentuk PGD2, PGE2, PGF2α, PGI2 (juga dikenal sebagai prostasiklin)
TXA2 (Stables dan Gilroy, 2010).

Ekspresi berbeda dari enzim ini dalam sel yang menentukan profil
produksi prostanoid. Sebagai contoh, sel mast terutama menghasilkan PGD2
sedangkan makrofag memproduksi PGE2 dan TXA2. Selain itu, perubahan dari
profil sintesis prostanoid dapat terjadi pada saat aktivasi sel sehingga makrofag
yang tidak teraktivasi menghasilkan TXA2 lebih dari PGE2, tetapi pada saat
aktivasi rasio ini berubah untuk menghasilan PGE2 lebih dari TXA2 (Bezugla et
al, 2006; Stables dan Gilroy, 2010).

Beberapa mekanisme biokimia telah dikemukakan untuk menjelaskan
perubahan profil sintetis. Pertama, telah dikemukakan bahwa kompartmen fisik
dari COX-1 dan COX-2 dengan sintase terminal spesifik dapat menghubungkan
aktivitas enzim ini dengan sintesis produk akhir prostanoid spesifik (Naraba et al,
1998; Stables dan Gilroy, 2010). Kedua, beberapa sintase dapat diinduksi dan
ekspresi mereka dapat diregulasi oleh sinyal dari lingkungan, misalnya, ekspresi
dari isoform glutathione-dependent, PGE-sintase ditingkatkan oleh IL-1β
(Jakobsson, 2002; Stables dan Gilroy, 2010).

Akhirnya, telah dikemukakan bahwa perbedaan pada afinitas substrat dan
kinetik PGE-sintase dan TXA-sintase bertanggungjawab untuk profil produksi
yang berbeda dari monosit yang teraktivasi dengan yang tidak teraktivasi (Penglis
et al, 2000; Stables dan Gilroy, 2010).

Ada juga bukti bahwa dua isoform COX dapat berkontribusi dalam
sintesis prostanoid yang berbeda. Sebagai contoh, kajian yang dilakukan pada
makrofag

peritoneal,

yang

mengekspresikan

semua

sintase

terminal,

mencadangkan bahwa COX-1 menghasilkan jumlah prostanoid yang seimbang
(PGE2 PGD2, PGI2, dan TXA2) sedangkan COX-2 lebih banyak menghasilkan
PGE2 dan PGI2 (Brock et al, 1999; Stables dan Gilroy, 2010).

Prostanoids menghasilkan efek biologis dengan berikatan pada reseptor
spesifik di permukaan sel. Setidaknya ada sembilan reseptor prostanoid yang
diketahui pada tikus dan manusia: reseptor PGD DP1 dan DP2, reseptor PGE2,
EP1, EP2, EP3 dan EP4; reseptor PGF, FP; reseptor PGI, IP, dan reseptor TXA,
TP. Selain itu, ada pecahan varian dari reseptor EP3, FP dan TP yang berbeda
hanya pada C-terminal (Stables dan Gilroy, 2010).

Enzim COX terdiri dari 2 isoenzim, yaitu COX-1 dan COX-2. Enzim
COX-1 bersifat konstitutif untuk memelihara fisiologi normal dan homeostatis,
sedangkan COX-2 merupakan enzim yang terinduksi pada sel yang mengalami
inflamasi (Leahy, 2000). COX-1 secara konstitutif diekspresi secara nyata oleh
hampir seluruh jaringan tubuh mamalia, sedangkan COX-2 hanya sebagian saja
dan dalam level yang rendah atau tidak terdeteksi.

Level ekspresi COX-1 pada umumnya konstan dan hanya akan ada
kenaikan sedikit bila ada stimulasi dari faktor pertumbuhan atau selama masa
deferensiasi.

Ekspresi COX-2 biasanya akan lebih banyak karena adanya

rangsangan dari mitogen, sitokin, dan tumor promoter yang bisa diakibatkan oleh
adanya kerusakan sel atau bentuk stres sel lainnya (DeWitt, 1991; Dubois et al.,
1998; Park, 2011).

COX-1 memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga prosesproses fisiologis pada berbagai jaringan atau organ. Misalnya pada ginjal, COX-1
berfungsi untuk menjaga elastisitas pembuluh darah sehingga proses filtrasi dapat
berlangsung dengan baik, sedangkan pada lambung berfungsi untuk merawat
integritas mukosa lambung dengan cara mengatur vasodilatasi pembuluh darah.
COX-2 yang diekspresi karena adanya rangsangan tertentu berfungsi sebagai
pendukung fungsi COX-1 atau sesuai dengan kebutuhan (Dubois et al., 1998).

Selama spermatogenesis, kematian sel secara terprogram (apoptosis)
memainkan peran penting untuk menghilangkan sel-sel germinal yang cacat atau
yang membawa mutasi DNA. Proses apoptosis sel germinal dapat menyebabkan
infertilitas pria akibat menurunnya produksi spermatozoa. Setiap disregulasi
proses apoptosis selama spermatogenesis akan mengarah pada pembentukan
sperma yang rusak (Shaha, 2007).

Kerusakan DNA pada fase perkembangan sperma menyebabkan aktivitas
dari enzim cyclooksigenase-2 (COX-2) pada sel germinal meningkat. Enzim
cyclooksigenase (COX) merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan
prostaglandin, suatu mediator inflamasi, produk metabolisme asam arakidonat
(Leahy, 2000). Frungieri et al (2007) mengidentifikasi ekspresi COX-2 pada testis
menunjukkan gangguan spermatogenesis. Pada penelitian terbaru juga telah
menunjukkan dampak COX-2 dalam regulasi fungsi testis dan kesuburan pria.
Enzim COX-2 mungkin memiliki relevansi biologis dalam patogenesis, dan
pemeliharaan infertilitas laki-laki, serta dapat dijadikan penanda molekuler
tambahan untuk diagnosis gangguan infertilitas pria (Perrotta, 2012).

2.5 Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah berbagai cara untuk mencegah kehamilan. Obat
kontrasepsi mempengaruhi pada 3 bagian proses reproduksi pria, yaitu proses
spermatogenesis, proses maturasi sperma, dan transportasi sperma. Sedangkan
pengaruh kontrasepsi pada proses reproduksi wanita antara lain menghambat

ovulasi, menghambat penetrasi sperma, menghambat fertilisasi, dan menghambat
implantasi. Sampai saat ini, obat kontrasepsi oral yang efektif dan paling banyak
digunakan adalah dari golongan steroida. Hampir semua jenis obat tersebut adalah
hasil sintesis di laboratorium. Akibatnya, sifat alami dari obat tersebut juga
berubah drastis, sehingga mengakibatkan beberapa efek samping yang merugikan
(Ketut, 2013).

Dari beberapa pustaka dan penelitian, tercatat ada 74 tanaman yang secara
empiris digunakan oleh masyarakat di beberapa daerah untuk kontrasepsi.
Tanaman-tanaman yang digunakan sebagai kontrasepsi tersebut mengandung
senyawa-senyawa yang bersifat antifertilitas, antiesterogenik, dan antiimplantasi
baik terhadap pria, wanita, maupun untuk keduanya. Dari penelitian terhadap
tanaman-tanaman tersebut, ternyata banyak diantaranya mengandung alkaloid,
flavonoid, steroid, tanin, dan minyak atsiri (Marleni, 2008).

Penggunaan kontrasepsi yang berasal dari tanaman perlu diperhatikan
pengaruhnya terhadap sistem reproduksi pria dan wanita. Ada beberapa tanaman
yang dapat mengakibatkan kemandulan, tetapi ada pula tanaman yang
pengaruhnya terhadap sistem reproduksi bersifat sementara sehingga jika tidak
digunakan lagi, sistem reproduksinya kembali normal dan tidak terjadi
kemandulan. Meski berasal dari tumbuh-tumbuhan (bahan alam) yang relatif
sedikit efek samping, penggunaan kontrasepsi alami tetaplah harus hati-hati
(Yulianti, 2012). Sebab, senyawa-senyawa yang berperan sebagai kontrasepsi
dapat juga memberikan efek negatif jika pemakaian berlebihan dan tidak
terkontrol.
Penggunaan bahan alam sebagai kontrasepsi secara terkontrol dan dalam
batas dosis aman dan dianjurkan, tidak akan menyebabkan efek samping yang
permanen. Hanya memberikan efek menghambat produksi sperma dan
mengganggu fungsi endokrin. Efek tersebut hanya timbul selama pemberian
ekstrak, jika pemberian dihentikan organ reproduksi kembali normal.

2.6 Kerangka Teori Penelitian
Ekstrak
etanol daun
jambu biji:

Spermatogenesis

- Alkaloid
- Tanin
- Flavonoid
- Saponin
- Minyak
atsiri
- triterpenoid

Spermatozoa

Non
ekstrak
etanol daun
jambu biji
(aquades)

Analisis
Semen

-

Konsentrasi ↓
Morfologi ↓
Motilitas ↓
Viabilitas ↓

Enzim
cyclooxygenase-2 ↑

-

Konsentrasi normal
Morfologi normal
Motilitas normal
Viabilitas normal

Enzim
cyclooxygenase-2 ↓

Gambar 2.5 Kerangka teori aktivitas antifertilitas ekstrak daun jambu biji
terhadap analisis semen dan tampilan imunohistokimia aktivitas enzim
cyclooxygenase-2 pada testis mencit (Mus musculus L.)

Dokumen yang terkait

Efektivitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap

18 208 91

Pemanfaatan Kulit Batang Jambu Biji (Psidium guajava) Untuk Menyerap Logam Krom Pada Air Limbah Industri Pelapisan Logam

1 36 53

Survei Nematoda Entomopatogen Pada Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L) Di Laboratorium

0 32 54

Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Terhadap Kadar Kolesterol Mencit (Mus Musculus) Diabetik

1 60 55

Penggunaan Sari Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) Dalam Sediaan Krim Pelembab

14 87 66

Uji Antimikrobial Ekstrak Metanol Daun Jambu Biji Daging Putih Dan Jambu Biji Daging Merah (Psidium Guajava l.) Terhadap Beberapa Spesies Bakteri Patogen

2 65 55

Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Berdasarkan Analisis Semen Dan Tampilan Imunohistokimia Cyclooxygenase-2 Pada Testis Mencit (Mus Musculus L.)

0 0 15

Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Berdasarkan Analisis Semen Dan Tampilan Imunohistokimia Cyclooxygenase-2 Pada Testis Mencit (Mus Musculus L.)

0 0 2

Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Berdasarkan Analisis Semen Dan Tampilan Imunohistokimia Cyclooxygenase-2 Pada Testis Mencit (Mus Musculus L.)

0 1 6

Aktivitas Antifertilitas Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium Guajava L.) Berdasarkan Analisis Semen Dan Tampilan Imunohistokimia Cyclooxygenase-2 Pada Testis Mencit (Mus Musculus L.)

0 0 7