Efektivitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap

(1)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) SEBAGAI LARVASIDA NYAMUK Aedes spp.

PADA OVITRAP

SKRIPSI

OLEH

SHELLA ELVANDARI PINEM NIM : 111000083

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava L.) SEBAGAI LARVASIDA NYAMUK Aedes spp.

PADA OVITRAP

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

SHELLA ELVANDARI PINEM NIM : 111000083

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

i


(4)

ABSTRAK

Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu tanaman obat yang daunnya memiliki banyak kegunaan. Kandungan aktif daun jambu biji di antaranya alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan minyak atsiri memiliki daya bunuh terhadap larva nyamuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk Aedes spp. pada

ovitrap dan mengetahui nilai LC50 selama 24 jam.

Penelitian ini bersifat eksperimen semu. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 konsentrasi ekstrak daun jambu biji (0 ppm, 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm) dengan 4 kali pengulangan. Digunakan 720 ekor larva nyamuk Aedes spp., masing-masing kelompok berisi 30 ekor dalam 100 ml larutan ekstrak daun jambu biji. Waktu pengamatan kematian larva nyamuk Aedes spp. 2 jam, 12 jam dan 24 jam. Analisis data menggunakan uji Friedman dan Kruskal Wallis dengan taraf kepercayaan 95% serta analisis probit.

Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan rerata kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam seluruh waktu pengamatan ditunjukkan dengan p-value < 0,05. Hasil analisis probit menunjukkan LC50 ekstrak daun jambu biji pada konsentrasi 2.502,67 ppm. Sebagai larvasida, toksisitas daun jambu biji aman bagi organisme non-target.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak daun jambu biji mengandung zat kimia yang dapat digunakan sebagai larvasida dengan konsentrasi 8.500 ppm sebagai konsentrasi paling efektif (persentase kematian 93,33%) dan jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. menurun setelah 12 jam. Diharapkan daun jambu biji dapat menjadi alternatif dalam pengendalian larva nyamuk Aedes spp.


(5)

iii ABSTRACT

Guava (Psidium guajava L.) is one of medicine plant which leaf has all kind of purpose. Guava leaf contains alkaloid, flavonoid, tanin, saponin and etherial oils which effect to kill mosquito larvae. The purpose of this research is to know the effectiveness of guava leaf extract as an Aedes spp. mosquito larvacide in ovitrap and the value of LC50 within 24 hours.

This study is a quasi experiment. The method of research using Completely Randomized Design which consist 6 concentrations of guava leaf extract (0 ppm, 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm and 8.500 ppm) by 4 times repetition. Seven hundred and twenty (720) mosquito larvaes are used in 100 ml solution of guava leaf extract. Observation times of Aedes spp. mosquito larvae mortality are 2 hours, 12 hours and 24 hours. Data was analized using Friedman and Kruskal Wallis test with 95% of credibility and probit analysis.

According to statistics result indicates average difference of Aedes spp. mosquito larvae death in various guava leaf extract concentration and all time observation is showed by p-value < 0,05. The result of probit analysis showing that LC50 of guava leaf extract on concentration 2.502,67 ppm. As larvacide, the toxicity of guava leaf is safe for non-target organism.

The conclusion of this research is guava leaf extract contains chemical substance which can be used as larvacide that most effective on concentration 8.500 ppm (93,33% death percentage) and the amount of the dead Aedes spp. mosquito larvae descended after 12 hours. Guava leaf is expected to be an alternative on Aedes spp. mosquito larvae restraint.

Keywords : Larvacide, Guava Leaf, Aedes spp. Mosquito Larvae, LC50


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Shella Elvandari Pinem Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 07 Oktober 1993 Suku Bangsa : Batak Karo

Agama : Islam

Nama Ayah : (Alm.) Ikuten Pinem Suku Bangsa Ayah : Batak Karo

Nama Ibu : Nurhayati Sembiring Suku Bangsa Ibu : Batak Karo

Pendidikan Formal

1. SD/Tamat tahun : SD Negeri Jatiwaringin III Bekasi/2005 2. SLTP/Tamat tahun : SMP Negeri 128 Jakarta/2008

3. SLTA/Tamat tahun : SMA Negeri 48 Jakarta/2011 4. Lama studi di FKM USU : 3 tahun 9 bulan


(7)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap”, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. (Alm.) dr. M. Arifin Siregar, M.S. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 3. Ir. Evi Naria, M.Kes. selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S. selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ir. Evi Naria, M. Kes. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan saran serta masukan kepada penulis dalam penulisan serta perbaikan skripsi ini.

6. Dr. Mimpin Ginting, MS, Apt., selaku kepala Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian ini.


(8)

7. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu dan banyak membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

8. Tanoto Foundation selaku yayasan yang memberikan dukungan dan bantuan materi (beasiswa) kepada penulis selama menjalani perkuliahan sehingga penulis dapat melengkapi segala kebutuhan administrasi yang dibutuhkan selama masa perkuliahan.

9. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Nurhayati Sembiring dan (Alm.) Ikuten Pinem, serta abang dan kakak penulis yang terkasih (Fajar Imanta Pinem dan Yola Rina D. A. Pinem) dan seluruh keluarga besar yang telah banyak membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

10.Sahabat-sahabat penulis: Wahyuni Mardiono, Sadewa Putra Nussan, Habibullah Yusyaf, Fiqreno Gagas W., Yuni Aditya A. dan M. Sazali. 11.Teman-teman stambuk 2011 FKM USU, teman-teman kelompok PBL

(Bang Faisal, Athira, Erniwati, Lisa, Maltha), teman-teman kelompok LKP (Desi, Herna, Irene, Widya), teman-teman mahasiswa departemen kesehatan lingkungan, para senior dan adik-adik di FKM USU.

12.Teman-teman dari Kimia FMIPA yang membantu penulis dalam melakukan penelitian selama penyusunan skripsi ini (Indayana, Ebenezer, Bang Yabes, Yulia).

13.Teman-teman dari UKM PPS Betako Merpati Putih USU dan UKM Bela Diri USU yang memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

vii

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2015 Penulis

Shella Elvandari Pinem


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Hipotesis Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk Aedes spp. ... 7

2.1.1 Klasifikasi Nyamuk Aedes spp. ... 8

2.1.2 Morfologi Nyamuk Aedes spp. ... 8

2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp. ... 11

2.1.4 Bionomik dan Ekologi Nyamuk Aedes spp. ... 12

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 14

2.3 Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes spp... 16

2.3.1 Pengendalian dengan Penggunaan Agen Biotik ... 17

2.3.2 Pengendalian Secara Kimiawi ... 18

2.3.3 Pengendalian Secara Fisik atau Mekanis ... 19

2.3.3.1Pengertian Ovitrap ... 20

2.3.3.2Modifikasi Ovitrap ... 21

2.4 Insektisida dan Larvasida Nabati... 22

2.5 Gambaran Umum Jambu Biji (Psidium guajava) ... 24

2.5.1 Klasifikasi Jambu Biji (Psidium guajava) ... 24

2.5.2 Morfologi dan Kandungan Jambu Biji (Psidium guajava) 25 2.6 Kerangka Konsep ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29


(11)

ix

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 29

3.2.2 Waktu Penelitian ... 30

3.3 Objek Penelitian ... 30

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.4.1 Alat Penelitian ... 30

3.4.2 Bahan Penelitian ... 31

3.4.3 Cara Mendapatkan Larva Nyamuk Aedes spp. ... 31

3.4.4 Pembuatan Ekstrak Daun Jambu Biji ... 32

3.4.5 Cara Pembuatan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji ... 33

3.4.6 Prosedur Penelitian ... 33

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 34

3.6 Metode Pengukuran ... 35

3.7 Metode Analisis Data ... 36

3.7.1 Uji Normalitas ... 36

3.7.2 Uji Anova ... 37

3.7.3 Uji Lanjutan (Post Hoc Test) ... 37

3.7.4 Uji Korelasi ... 38

3.7.5 Analisis Probit ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 39

4.1 Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. ... 39

4.2 Analisis Statistik ... 43

4.2.1 Uji Friedman ... 43

4.2.2 Uji Kruskal Wallis ... 44

4.2.3 Uji Korelasi ... 46

4.2.4 Analisis Probit ... 47

4.3 Pengukuran Suhu Air dan Derajat Keasaman (pH) Air ... 48

BAB V PEMBAHASAN ... 49

5.1 Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. pada Ovitrap ... 49

5.2 Nilai LC50 Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp. dalam 24 Jam ... 51

5.3 Suhu Air dan Derajat Keasaman (pH) Air ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN ... 59


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0 ppm (Kontrol) Ekstrak Daun Jambu Biji ... 39 Tabel 4.2 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 500 ppm

Ekstrak Daun Jambu Biji... 40 Tabel 4.3 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 2.500 ppm

Ekstrak Daun Jambu Biji... 40 Tabel 4.4 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 4.500 ppm

Ekstrak Daun Jambu Biji... 41 Tabel 4.5 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 6.500 ppm

Ekstrak Daun Jambu Biji... 41 Tabel 4.6 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 8.500 ppm

Ekstrak Daun Jambu Biji... 42 Tabel 4.7 Rata-Rata Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada 6 Jenis

Perlakuan Dilihat dari 3 Waktu Pengamatan ... 42 Tabel 4.8 Hasil Uji Bonferroni Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dengan

Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium gujava

L.) dalam 3 Waktu Pengamatan pada Ovitrap ... 44 Tabel 4.9 Hasil Uji Bonferroni Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dengan

Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium gujava

L.) pada Ovitrap ... 45 Tabel 4.10 Hasil Pengukuran Suhu Air Saat Pemberian Ekstrak Daun Jambu

Biji dalam Setiap Pengulangan ... 48 Tabel 4.11 Hasil Pengukuran Derajat Keasaman (pH) Air Saat Pemberian


(13)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Larva Nyamuk Aedes spp. ... 9

Gambar 2. Nyamuk Aedes aegypti ... 10

Gambar 3. Nyamuk Aedes albopictus ... 11

Gambar 4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes ... 12

Gambar 5. Tumbuhan Jambu Biji (Psidium guajava L.) ... 27

Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian ... 28

Gambar 7. Grafik Persentase Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dalam 3 Waktu Pengamatan ... 43

Gambar 8. Grafik Analisis Probit Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. Akibat Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji ... 47


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Friedman, Uji Kruskal Wallis dan Uji Korelasi ... 59

Lampiran 2. Analisis Probit ... 63

Lampiran 3. Perhitungan Ektrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Aplikasi di Rumah Tangga ... 64

Lampiran 4. Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Jambu Biji ... 66

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian ... 67

Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 68


(15)

ii ABSTRAK

Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu tanaman obat yang daunnya memiliki banyak kegunaan. Kandungan aktif daun jambu biji di antaranya alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan minyak atsiri memiliki daya bunuh terhadap larva nyamuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk Aedes spp. pada

ovitrap dan mengetahui nilai LC50 selama 24 jam.

Penelitian ini bersifat eksperimen semu. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 konsentrasi ekstrak daun jambu biji (0 ppm, 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm) dengan 4 kali pengulangan. Digunakan 720 ekor larva nyamuk Aedes spp., masing-masing kelompok berisi 30 ekor dalam 100 ml larutan ekstrak daun jambu biji. Waktu pengamatan kematian larva nyamuk Aedes spp. 2 jam, 12 jam dan 24 jam. Analisis data menggunakan uji Friedman dan Kruskal Wallis dengan taraf kepercayaan 95% serta analisis probit.

Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan rerata kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam seluruh waktu pengamatan ditunjukkan dengan p-value < 0,05. Hasil analisis probit menunjukkan LC50 ekstrak daun jambu biji pada konsentrasi 2.502,67 ppm. Sebagai larvasida, toksisitas daun jambu biji aman bagi organisme non-target.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak daun jambu biji mengandung zat kimia yang dapat digunakan sebagai larvasida dengan konsentrasi 8.500 ppm sebagai konsentrasi paling efektif (persentase kematian 93,33%) dan jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. menurun setelah 12 jam. Diharapkan daun jambu biji dapat menjadi alternatif dalam pengendalian larva nyamuk Aedes spp.

Kata Kunci : Larvasida, Daun Jambu Biji, Larva Nyamuk Aedes spp., LC50


(16)

ABSTRACT

Guava (Psidium guajava L.) is one of medicine plant which leaf has all kind of purpose. Guava leaf contains alkaloid, flavonoid, tanin, saponin and etherial oils which effect to kill mosquito larvae. The purpose of this research is to know the effectiveness of guava leaf extract as an Aedes spp. mosquito larvacide in ovitrap and the value of LC50 within 24 hours.

This study is a quasi experiment. The method of research using Completely Randomized Design which consist 6 concentrations of guava leaf extract (0 ppm, 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm and 8.500 ppm) by 4 times repetition. Seven hundred and twenty (720) mosquito larvaes are used in 100 ml solution of guava leaf extract. Observation times of Aedes spp. mosquito larvae mortality are 2 hours, 12 hours and 24 hours. Data was analized using Friedman and Kruskal Wallis test with 95% of credibility and probit analysis.

According to statistics result indicates average difference of Aedes spp. mosquito larvae death in various guava leaf extract concentration and all time observation is showed by p-value < 0,05. The result of probit analysis showing that LC50 of guava leaf extract on concentration 2.502,67 ppm. As larvacide, the toxicity of guava leaf is safe for non-target organism.

The conclusion of this research is guava leaf extract contains chemical substance which can be used as larvacide that most effective on concentration 8.500 ppm (93,33% death percentage) and the amount of the dead Aedes spp. mosquito larvae descended after 12 hours. Guava leaf is expected to be an alternative on Aedes spp. mosquito larvae restraint.


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sehat atau sakit suatu kelompok penduduk merupakan hasil hubungan manusia dengan lingkungannya. Hubungan interaksi ini digambarkan ke sebuah konsep berpikir yang disebut paradigma kesehatan lingkungan. Mengacu kepada paradigma tersebut (sumber penyakit–media transmisi–perilaku pemajanan– kejadian penyakit), diketahui komponen lingkungan yang dapat memindahkan agenpenyakit adalah serangga penular penyakit atau vektor (Achmadi, 2013).

Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga dikenal sebagai arthropodborne disease atau sering juga disebut sebagai

vectorborne disease. Penyakit ini merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan dapat menimbulkan bahaya kematian. Di Indonesia, penyakit-penyakit yang ditularkan melalui serangga merupakan penyakit endemis pada daerah tertentu, antara lain demam berdarah dengue (DBD), malaria dan kaki gajah (Chandra, 2006).

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan yang cenderung meningkat jumlah penderita dan semakin luas daerah penyebarannya, sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk (Anies, 2006). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes. Nyamuk Ae. aegypti lebih berperan karena hidupnya di dalam dan di sekitar rumah, berbeda dengan nyamuk Ae. albopictus

yanghidupnya di kebun-kebun (Siregar, 2004).


(18)

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kementerian Kesehatan RI (2014) menyebutkan angka kesakitan DBD pada tahun 2013 tercatat 45,85 per 100.000 penduduk (112.511 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77% (871 kematian). Sedangkan pada tahun 2014 sampai awal bulan April tercatat angka kesakitan DBD sebesar 5,17 per 100.000 penduduk (13.031 kasus) dengan angka kematian sebesar 0,84% (110 kematian). Selama tahun 2014, terdapat 1.698 kasus DBD di Kota Medan, 121 kasus di antaranya terjadi di Kecamatan Medan Selayang.

Pencegahan meluasnya DBD dapat dilakukan dengan pengendalian terhadap vektor melalui pemberantasan jentik nyamuk Aedes spp. Salah satu upaya pemberantasan jentik nyamuk tersebut yaitu dengan pemberian larvasida berupa butiran pasir temefos 1% (abate) yang ampuh memberantas jentik nyamuk

Aedes spp.selama 8 – 12 minggu (WHO, 2002). Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen, selain itu diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya (Chahaya, 2003). Felix dalam Nugroho (2011) berpendapat bukan tidak mungkin penggunaan abate yang bisa dikatakan lebih dari 30 tahun di Indonesia menimbulkan resistensi.

Salah satu alternatif yang perlu dicoba untuk mengendalikan vektor melalui pemberantasan jentik nyamuk Aedes spp. adalah dengan menggunakan larvasida nabati. Kardinan dalam Naria (2005) menyebutkan senyawa yang terkandung pada tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida di antaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, steroid dan minyak atsiri. Kandungan tersebut juga dapat berfungsi sebagai larvasida. Penggunaan


(19)

3

larvasida nabati diharapkan tidak mempunyai efek samping terhadap lingkungan, manusia dan tidak menimbulkan resistensi bagi serangga (Nugroho, 2011).

Jambu biji (Psidium guajava L.) adalah salah satu tumbuhan yang daunnya mengandung bahan kimia Beta-sitosterol, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, eugenol, minyak atsiri, minyak lemak, damar dan berbagai senyawa lainya. Tanaman jambu biji banyak tumbuh di Indonesia dan sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, namun pemanfaatannya hanya sebatas pada buahnya untuk dikonsumsi, pemanfaatan daunnya hanya sebagian kecil saja yaitu sebagai obat anti diare, disentri, radang usus dan gangguan pencernaan (Hariana, 2013).

Polson dkk. dalam Sayono (2008) menyatakan untuk menunjang pengendalian nyamuk Aedes juga dapat digunakan perangkap telur (ovitrap).

Ovitrap berhasil menurunkan densitas vektor di beberapa negara. Alat ini dikembangkan oleh Fay dan Eliason (1966), kemudian digunakan oleh Central for Diseases Control and Prevention (CDC) dalam surveilens Ae. aegypti.

Pada penelitian Sayono (2008) pemasangan ovitrap dimodifikasi dengan memberikan zat atraktan berupa air rendaman udang dan air rendaman jerami, penelilitan tersebut membuktikan lebih banyaknya telur Aedes yang terperangkap. Indeks Aedes (House Index, Container Index dan Bretu Index) di lokasi penelitian pun mengalami penurunan masing-masing sebesar 7%, 5% dan 2%.

Simanjuntak (2011) juga telah melakukan modifikasi pada ovitrap

dengan melihat efektivitas ekstrak cabai rawit terhadap kematian larva nyamuk

Aedes spp., dimana pada konsentrasi 0,3% ekstrak cabai rawit dapat membunuh 30 ekor larva (100%) dengan tiga kali pengulangan. Triyadi (2012) melihat efek


(20)

sublethal ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti dengan konsentrasi 0% (kontrol), 0,01%, 0,1%, 1% dan 10%. Ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) berpotensi sebagai larvasida terhadap larva

Ae. aegypti, terlihat dari adanya penghambatan perkembangan pada larva dan pupa, serta mengakibatkan adanya efek sublethal.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efektivitas ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) sebagai larvasida nyamuk Aedes spp. pada ovitrap.

1.2 Rumusan Masalah

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit endemis di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu upaya pencegahan DBD yaitu dengan pemberian larvasida berupa abate. Namun, upaya tersebut memungkinkan timbulnya resistensi pada populasi nyamuk Aedes. Maka sebaiknya dilakukan suatu usaha pencarian larvasida alternatif, misalnya dengan memanfaatkan zat yang terkandung pada tanaman. Daun jambu biji (Psidium guajava L.) mengandung saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, steroid dan minyak atsiri yang diduga dapat menjadi larvasida. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk Aedes spp. 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas (pengaruh dan nilai LC50 selama 24 jam) penggunaan ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) sebagai larvasida nyamuk Aedes spp. pada ovitrap.


(21)

5 1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah kematian terendah dan tertinggi larva nyamuk Aedes spp. dari ovitrap di antara perlakuan kontrol (0 ppm), ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm.

2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam berbagai waktu pengamatan.

3. Untuk mengetahui konsentrasi dan waktu paling efektif dari ekstrak daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk Aedes spp. pada ovitrap. 4. Untuk mengetahui nilai lethal concentration (LC50) 24 jam ekstrak

daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk Aedes spp.

5. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi penggunaan daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk di tingkat rumah tangga.

1.4 Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada perbedaan jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak dalam berbagai waktu pengamatan. Hi : Ada perbedaan jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. pada

berbagai konsentrasi ekstrak dalam berbagai waktu pengamatan. 1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat dapat berguna sebagai informasi bahwa daun jambu biji dapat dimanfaatkan sebagai larvasida nabati yang aman dalam upaya pengendalian larva nyamuk Aedes spp. pada ovitrap.


(22)

2. Bagi produsen larvasida nyamuk dapat berguna sebagai informasi bahwa zat yang terkandung dalam daun jambu biji dapat dimanfaatkan sebagai larvasida nyamuk.

3. Bagi penulis dan mahasiswa FKM, khususnya bagi mahasiswa peminatan kesehatan lingkungan dapat berguna dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai modifikasi ovitrap dan larvasida nabati.


(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk Aedes spp.

Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes

(Ae.) spp. dan subgenus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting, sementara spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynensiensis, anggota dari kelompok Ae. scutellaris dan Ae. (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder. Semua spesies merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, namun epidemi paling parah diakibatkan Ae. aegypti (WHO, 2002).

Vektor Ae. aegypti dan Ae. albopictus tersebar luas di dunia, mencakup lebih dari dua pertiga luas dunia. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan sedangkan di pedesaan kedua spesies nyamuk Aedes tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan nyamuk betina menghisap darah. Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia daripada binatang (antropofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan dapat menetas.

Tempat kebiasaan bertelur dari dua vektor utama dengue berbeda. Ae. aegypti senang bertelur di bak jernih terutama bak air di kamar kecil (WC), bak mandi, bak atau gentong tandon air minum. Ae. albopictus lebih senang bertelur di kaleng yang dibuang. Hal itu sesuai dengan sifat Ae. aegypti yang mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan Ae. albopictus yang merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).


(24)

2.1.1 Klasifikasi Nyamuk Aedes spp.

Gandahusada dkk. (2000) menyebutkan nyamuk Aedes spp. memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae Genus : Aedes

Spesies : Aedes spp.

2.1.2 Morfologi Nyamuk Aedes spp.

Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes spp. dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu telur, larva, pupa dan dewasa.

1. Telur

Telur nyamuk Ae. aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, 85% melekat di dinding TPA, 15% lainnya jatuh ke permukaan air (Soegijanto, 2006).

2. Larva

Telur menetas menjadi larva (jentik). Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Kepalanya berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk serta sikap mulut yang menonjol. Perutnya terdiri 9 ruas yang jelas dan ruas terakhir dilengkapi tabung udara


(25)

9

(siphon) yang bentuknya silinder. Perbedaan larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus

hanya bisa dilihat di bawah mikroskop (Anies, 2006).

Larva nyamuk mengalami 4 kali pergantian kulit dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang disebut larva instar I, II, III dan IV.

Instar I : tubuh sangat kecil, warna transparan, panjang 1 – 2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam.

Instar II : tubuh bertambah besar, panjang 2,5 – 3,9 mm, spinae belum jelas, dan siphon pernafasan sudah berwarna hitam.

Instar III : duri dada mulai jelas.

Instar IV : struktur anatominya sudah lengkap dan jelas (Soegijanto, 2006). Service pada Sayono (2008) menjelaskan ciri-ciri tambahan yang membedakan larva Aedes dengan genus lain adalah sekurang-kurangnya ada tiga pasang setae pada sirip ventral, antena tidak melekat penuh dan tidak ada setae yang besar pada toraks. Larva biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air guna mendapatkan oksigen di udara (Sembel, 2009).

Gambar 1. Larva Nyamuk Aedes spp.

Sumber: www.medent.usyd.edu.au (2000)


(26)

3. Pupa

Pupa nyamuk berbentuk seperti koma. Kepala dan dadanya bersatu dilengkapi sepasang terompet pernapasan. Jika terganggu, pupa akan bergerak naik turun di dalam wadah air (Anies, 2006). Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Saat istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air (Soegijanto, 2006).

4. Nyamuk Dewasa

Tubuh nyamuk terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Nyamuk Ae. albopictus secara morfologis sangat mirip dengan nyamuk Ae. aegypti yang membedakan hanyalah strip putih yang terdapat pada skutumnya. Pada Ae. albopictus skutumnya juga berwarna hitam namun hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Nyamuk Ae. aegypti mempunyai warna dasar hitam dan bercorak belang putih pada dada, perut, tungkai (Anies, 2006).

Gambar 2. Nyamuk Aedes aegypti


(27)

11

Gambar 3. Nyamuk Aedes albopictus

Sumber: www.entnemdept.ufl.edu (2011)

2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp.

Nyamuk Aedes spp. mengalami metamorfosis sempurna. Siklus hidup nyamuk berawal dengan peletakan telur oleh nyamuk betina. Telur Aedes

diletakkan satu persatu pada permukaan yang basah tepat di atas batas permukaan air (WHO, 2002). Dari telur muncul fase kehidupan air yang disebut larva. Larva bertambah ukuran hingga mencapai tahap yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa. Di dalam kulit pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan (Achmadi, 2013).

Hidayat dkk. dalam Gunawan, 2011; dan Soegijanto, 2006 berpendapat, telur nyamuk Aedes di dalam air dengan suhu 20 – 40ºC akan menetas menjadi larva dalam waktu 1 – 2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada (bakteri, tepung sari, makanan ikan, dan objek renik lainnya) di dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum (pada air


(28)

dengan pH 5,8 – 8,0 dan suhu 25 – 32ºC, di luar kondisi tersebut akan mengahambat pertumbuhan dan perkembangan sehingga larva akan mati), larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4 – 9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2 – 3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7 – 14 hari.

Gambar 4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes

Sumber: www.extension.entm.purdue.edu (2008)

2.1.4 Bionomik dan Ekologi Nyamuk Aedes spp.

Nyamuk memerlukan 3 macam tempat dalam kehidupannya yaitu tempat untuk mendapatkan darah, tempat untuk beristirahat dan tempat perindukan.

1. Tempat untuk Mendapatkan Darah (Feeding Place)

Nyamuk Aedes bersifat antropofilik yaitu menyukai darah manusia. Aktivitas menggigit umumnya pada pukul 08.00 – 12.00 dan sebelum matahari terbenam pukul 15.00 – 17.00. Nyamuk Aedes akan menghisap darah sebanyak 2 – 3 kali sehari (multibiters). Hanya nyamuk Aedes betina yang menggigit manusia untuk meminum darah, sedangkan yang jantan akan memakan sari bunga. Darah digunakan betina untuk mengembangkan telurnya (Gandahusada dkk., 2000).


(29)

13

Nyamuk betina menggigit di dalam rumah dan kadang di luar rumah. Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, tiga hari kemudian sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam kemudian nyamuk ini akan menghisap darah manusia lagi dan bertelur kembali. Umur nyamuk betina dewasa ±10 hari, tetapi selama waktu itu sudah cukup bagi nyamuk untuk makan dan bertelur, virus juga sudah cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menularkan dari satu orang ke orang yang lain (Soegijanto, 2006).

2. Tempat Istirahat (Resting Places)

Setelah menghisap darah hingga lambung penuh, nyamuk betina perlu beristirahat sekitar 2 – 3 hari untuk mematangkan telur. Nyamuk Aedes suka beristirahat di tempat gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur, lemari, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur. Di dalam ruangan, tempat yang disukai adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding (WHO, 2002).

3. Tempat Perindukan (Breeding Places)

Tempat perindukkan Aedes dapat dibedakan atas tempat perindukkan sementara, permanen dan alamiah. Tempat perindukkan sementara terdiri dari berbagai tempat penampungan air (TPA): kaleng bekas, ban mobil bekas pecahan botol pecahan gelas, talang air, vas bunga dan tempat yang dapat menampung genangan air bersih. Tempat perindukan permanen adalah TPA untuk keperluan rumah tangga: bak penampungan air, reservoir air, bak mandi dan gentong air. Tempat perindukan alamiah berupa genangan air pada pohon: pohon pisang, pohon kelapa, pohon aren, potongan bambu dan lubang pohon (Chahaya, 2003).


(30)

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam dengue dan dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dikenal sebagai demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit endemis di daerah tropis dan subtropik yang kadang-kadang menjadi epidemik. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dan terjadi sepanjang tahun terutama pada saat musim penghujan (Sumantri, 2010).

DBD disebabkan oleh virus, yakni salah satu dari empat antigen yang berbeda, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dari genus Flavivirus. Dalam Sumantri (2010) disebutkan virus ini membutuhkan masa multiplikasi selama 8 – 10 hari sebelum nyamuk menjadi infektif. DBD terjadi bilamana pasien mengidap virus dengue sesudah terjadi infeksi sebelumnya oleh tipe virus dengue yang lain. Infeksi oleh salah satu serotype ini tidak menimbulkan imunitas dengan protektif silang. Penyakit ini terutama terdapat di daerah tropis (Sembel, 2009).

Virus dengue dapat tetap hidup di alam melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Nyamuk mendapatkan virus ini pada saat melakukan gigitan pada manusia yang pada saat itu sedang mengandung virus dengue di dalam darahnya. Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi, kemudian akan migrasi sampai di kelenjar ludah. Virus di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.

Mekanisme kedua dalam tubuh manusia. Virus memasuki tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu disusul oleh periode


(31)

15

tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan replikasi secara cepat. Virus dengue dalam tubuh manusia membuat terjadinya reaksi pada tubuh. Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini berbeda pada setiap manusia, perbedaan reaksi ini akan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis (Anies, 2006).

Gambaran klinis penderita dengue terdiri dari 3 fase, yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan (Depkes, 2010):

1. Fase febris

Demam biasanya mendadak tinggi pada 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.

2. Fase kritis

Terjadi pada 3 – 7 hari sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai dengan kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

3. Fase pemulihan

Pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler terjadi secara perlahan-lahan pada 48 – 72 jam setelahnya bila fase kritis terlewati. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih, hemodinamik kembali dan dieresis membaik.


(32)

Vektor demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia adalah nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama dan nyamuk Ae. albopictus sebagai vektor sekunder (Depkes RI, 2010). Penyebaran DBD di daerah perkotaan lebih intensif daripada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk di daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dan yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di sekitarnya (Siregar, 2004).

2.3 Pengendalian Vektor Nyamuk Aedes spp.

Pengendalian vektor dalam Permenkes RI No. 374/MENKES/PER/III/ 2010 menyebutkan vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Sedangkan pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit.

Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan (Slamet, 2009):

1. Penyakit tadi belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus.

2. Bila ada obat atau vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif, terutama pada penyakit parasit.

3. Berbagai penyakit didapat pada banyak hewan selain manusia sehingga sulit dikendalikan.


(33)

17

4. Sering menimbulkan cacat, seperti filariasis, malaria.

5. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat, seperti insekta yang merayap.

Metode yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian nyamuk: tindakan antilarva, tindakan terhadap nyamuk dewasa, dan tindakan terhadap gigitan nyamuk (Sumantri, 2010). Upaya pengendalian vektor juga dapat dibedakan dengan: pengelolaan lingkungan secara fisik/mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perindukannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternatif (Depkes RI, 2010).

2.3.1 Pengendalian dengan Penggunaan Agen Biotik

Pengendalian dengan penggunaan agen biotik atau disebut juga pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida (pengendalian secara kimiawi) yang berasal dari bahan-bahan beracun (Chandra, 2006). Pengendalian biologi dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian ini dapat berperan sebagai patogen, parasit, atau pemangsa. Beberapa jenis ikan, seperti ikan kepala timah (Panchaxpanchax),

ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Nematoda seperti Romanomarmus dan R. culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk (Soegijanto, 2006).

Contoh lain yang disebutkan dalam Permenkes RI No. 374/MENKES/ PER/III/2010 adalah dengan penggunaan jantan mandul. Cara pemandulan vektor


(34)

nyamuk adalah dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Hoper dalam Nurhayati (2005) menjelaskan radiasi untuk pemandulan umumnya menggunakan sinar gamma. Untuk mendapatkan vektor mandul, radiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa. Hasil optimum dapat diperoleh bila radiasi dilakukan pada stadium pupa.

O’brient dalam Nurhayati (2005) menjelaskan umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi akan semakin menurun. Radiasi secara umum dapat menimbulkan berbagai akibat terhadap nyamuk, baik kelainan morfologis maupun kerusakan genetis.

2.3.2 Pengendalian Secara Kimiawi

Cara kimiawi dilakukan dengan menggunakan senyawa atau bahan kimia baik yang digunakan untuk membunuh nyamuk (insektisida) maupun jentiknya (larvasida), mengusir atau menghalau nyamuk (repellent) supaya nyamuk tidak menggigit. Beberapa golongan insektisida yang digunakan seperti golongan organoklorin, golongan organofosfat dan golongan karbamat (Chandra, 2006).

Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa (Gandahusada dkk., 2000).


(35)

19

Pengendalian secara kimiawi vektor nyamuk Aedes pada stadium larva dikenal sebagai Larvasidasi atau Larvasiding yakni cara memberantas jentik nyamuk Aedes dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida). Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temefos yang berupa butiran-butiran (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temefos ini mempunyai efek residu selama 3 bulan (Depkes RI, 2010).

Sumantri (2010) mengatakan pada nyamuk dewasa, biasanya dilakukan penggunaan repellent. Repellent yang digunakan dapat mengandung zat kimia berikut: diethyltoluamide, indalon, atau dimethyl karbote. Repellent lebih dikenal sebagai salah satu jenis pestisida rumah tangga yang digunakan untuk melindungi tubuh (kulit) dari gigitan nyamuk. Saat ini lebih dikenal dalam bentuk lotion, ada juga yang berbentuk spray (semprot).

2.3.3 Pengendalian Secara Fisik atau Mekanis

Cara pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan (kontak) antara manusia dan vektor (Gandahusada dkk., 2000).

Program pengendalian larva/jentik nyamuk Aedes yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). PSN dilakukan dengan cara “3M (Menguras Menutup Mengubur)”, yaitu:


(36)

1. Menguras, berarti membersihkan tempat-tempat penampungan air (bak mandi) untuk mengeluarkan jentik-jentik nyamuk.

2. Menimbun, berarti mengumpulkan kontainer-kontainer yang dapat menampung air menjadi tempat pembiakan nyamuk.

3. Mengubur yaitu mengumpulkan kontainer-kontainer dan menguburkannya dalam tanah (Sembel, 2009).

Saat ini telah dikenal pula istilah “3M Plus” atau PSN terpadu, yaitu kegiatan 3M yang diperluas dengan menelungkupkan wadah/peralatan yang memungkinkan akan berisi genangan air (Depkes RI, 2010).

Pengendalian secara fisik dan mekanik juga dapat berupa modifikasi dan manipulasi lingkungan. Pada stadium larva, pengendalian terhadap lingkungan merupakan cara terbaik karena hasilnya dapat bersifat permanen (Sumantri, 2010). Salah satu contoh metode pengendalian ini adalah dengan penggunaan ovitrap

yang termasuk alat untuk memanipulasi tempat perindukan nyamuk. 2.3.3.1 Pengertian Ovitrap

Ovitrap secara bahasa dapat diartikan sebagai perangkap telur (ovi = telur,

trap = perangkap). Jadi dapat didefinisikan sebagai perangkap telur nyamuk sederhana. Ovitrap (singkatan dari oviposition trap) merupakan perangkat untuk mendeteksi kehadiran nyamuk pada keadaan densitas (kepadatan) populasi yang rendah dan survei larva dalam skala luas (Singh dan Bansal, 2005).

Ovitrap memberikan gambaran perbandingan ada atau tidak adanya telur serta perbandingan jumlah telur nyamuk Aedes antar daerah. Ovitrap biasanya terbuat dari wadah plastik atau kaca yang berwarna hitam atau merah (nyamuk


(37)

21

melihat warna hitam pada warna merah), serta berisikan dayung (paddle) yang terbuat dari kayu, atau kasa yang terbuat dari kertas atau kain sebagai tempat nyamuk meletakkan telur. Sebagian dari wadah berisikan air dan keberadaan telur nyamuk dalam ovitrap diamati dalam 4 – 7 hari (Long, 2013).

Sithiprasasna dan Williams dalam Long (2013) menjelaskan ovitrap lebih baik ditempatkan di luar ruangan yang lembab dan gelap namun memungkinkan untuk dilihat nyamuk. Secara umum ovitrap tidak ditempatkan di dalam ruangan karena menjadi kendala untuk nyamuk masuk dan zat penarik pada ovitrap dapat mengeluarkan bau. Persentase ovitrap yang positif memberikan data yang sederhana untuk tingkat gangguan (WHO, 2002).

2.3.3.2 Modifikasi Ovitrap

Modifikasi dilakukan terhadap fungsi, bentuk, ukuran dan penambahan atraktan. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol dan asam lemak. Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau cahaya. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan dasar serangga.

Modifikasi ovitrap menjadi perangkap nyamuk yang mematikan (lethal/autocidal ovitrap) dilakukan Zeichner dan Perich (1999) dengan menambahkan beberapa jenis insektisida pada media bertelur (ovistrip). Insektisida yang digunakan antara lain deltamethrin, bendiocarb, permethrin, cypermethrin dan cyfluthrin. Sithiprasasna dkk. (2003) memodifikasi ovitrap

menjadi perangkap larva-auto (auto-larval trap) dengan memasang kassa nylon


(38)

tepat pada permukaan air. Auto-larval trap, autocidal ovitrap atau lethal ovitrap

(LO) adalah varian nama untuk ovitrap hasil modifikasi yang dapat membunuh nyamuk Aedes (Sayono, 2008).

2.4 Insektisida dan Larvasida Nabati

Insektisida nabati atau juga dikenal insektisida botani secara umum diartikan sebagai pestisida yang berasal dari bahan alami. Bahan alami penyususn insektisida nabati bisa berupa ekstrak tumbuhan, jasad renik, maupun bahan lainnya. Pada tumbuhan, ekstrak tumbuhan yang mengandung senyawa beracun bagi hama dan patogen (penyebab penyakit tumbuhan)-lah yang digunakan sebagai insektisida nabati (Djojosumarto, 2008).

Kardinan dalam Naria (2005) menyebutkan senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik. Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam. Bagian tumbuhan seperti daun, buah, bunga, biji, kulit, batang dan sebagainya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun ekstraksi (dengan air, ataupun senyawa pelarut organik).

Insektisida nabati dapat dibuat secara sederhana dan dengan kemampuan yang terbatas. Bila senyawa atau ekstrak ini digunakan di alam, maka tidak mengganggu organisme lain yang bukan sasaran. Senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri dan steroid.

Djojosumarto (2008) menjelaskan insektisida nabati sebenarnya telah lama dikenal orang. Insektisida yang penting antara lain azadiraktin, nikotin, piretrum,


(39)

23

rotenone, riania dan sabadila. Penggunaan insektisida nabati seperti nikotin yang terkandung dalam bubuk tembakau (tobacco dust) sendiri telah digunakan sebagai insektisida sejak tahun 1763. Nikotin merupakan racun saraf yang bekerja sebagai antagonis dari reseptor nikotin asetil kolin. Nikotin juga merupakan insektisida non sistemik dan bekerja sebagai racun inhalasi dengan sedikit efek sebagai racun perut dan racun kontak.

Senyawa yang terkandung pada tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan larvasida nabati. Larvasida nabati merupakan larvasida yang dibuat dari tanaman yang mempunyai kandungan beracun terhadap serangga pada stadium larva. Tumbuhan yang kandungannya telah diteliti dan dibuktikan dapat dijadikan larvasida nabati, khususnya kepada nyamuk Aedes, antara lain buah blimbing wuluh, cabai rawit dan daun jambu biji merah.

Daesusi dkk. (2011) telah melakukan uji toksisitas perasan buah blimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) terhadap pertumbuhan larva nyamuk Ae. aegypti.

Terdapat pengaruh perasan buah blimbing wuluh terhadap pertumbuhan larva Ae. aegypty (p < 0,05). Konsentrasi perasan buah blimbing wuluh yang paling efektif menyebabkan kematian larva adalah 4,5%. Hasil uji efektivitas daya bunuh ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap kematian larva nyamuk

Aedes spp. pada ovitrap yang dilakukan oleh Simanjuntak (2011) menunjukkan konsentrasi ekstrak cabai rawit yang efektif terhadap kematian larva nyamuk adalah pada konsentrasi 0,3% (membunuh 100% larva nyamuk).


(40)

Yuswantina dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai daya bunuh ekstrak etanol daun jambu biji merah (Psidium guajava L.) terhadap larva Ae. aegypti pada konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%. Dari hasil pengamatan selama 24 jam menunjukkan bahwa nilai signifikansi kontrol positif (pemberian abate) dengan konsentrasi 5% = 0,127 (p ≥ 0,05) yang menunjukkan efek yang sama dalam membunuh larva Ae. aegypti, sedangkan konsentrasi lainnya menunjukkan efek yang berbeda dalam membunuh larva Ae. aegypti.

2.5 Gambaran Umum Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Jambu biji atau jambu klutuk atau jambu batu merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Selatan yang kini telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Prosea (Plant resources of South East Asia) 2 dalam Redaksi Trubus (2014) menyebutkan bahwa jambu biji berasal dari wilayah tropis Amerika yakni wilayah antara Meksiko dan Peru, tercatat dengan nama latin Psidium guajava.

Tanaman jambu biji dapat tumbuh di semua jenis tanah, tanah yang tandus sekali sampai tanah yang subur. Tanah yang berbatu-batu dapat ditembus oleh jambu biji hingga dikenal sebagai tanaman pioneer. Jambu biji tumbuh baik di dataran rendah sampai dataran tinggi 1.200 m dpl dan tumbuh baik pada kondisi iklim basah dengan curah hujan lebih dari 3.000 mm/tahun (Sunarjono, 2013). 2.5.1 Klasifikasi Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Arief (2010)menyebutkan klasifiksasi jambu biji sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta


(41)

25 Kelas : Dicotyledonae Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L.

2.5.2 Morfologi dan Kandungan Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Tumbuhan jambu biji termasuk jenis perdu atau pohon kecil, tinggi 2 – 10 meter dan memiliki banyak percabangan. Umumnya umur tanaman jambu biji sekitar 30 – 40 tahun. Tanaman yang berasal dari biji relatif berumur lebih panjang dibanding hasil cangkokan atau okulasi. Namun, tanaman yang berasal dari okulasi memiliki postur yang lebih pendek dan bercabang lebih banyak sehingga memudahkan perawatan tanaman. Tanaman ini sudah mampu berbuah saat berumur sekitar 2 – 3 bulan meskipun ditanam dari biji.

1. Daun

Bentuk daun jambu biji bervariasi: kecil panjang dengan ujung meruncing dan lonjong dengan ujung tumpul. Daun jambu biji merupakan daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan pada tangkai daun, daun muda berambut halus dan permukaan atas daun tua licin. Helaian daun memiliki tepi rata agak melengkung ke atas, pertulangan menyirip, panjang 6 – 14 cm, lebar 3 – 6 cm. Warna daun beragam: hijau tua, hijau muda, merah tua dan hijau berbelang kuning (Sunarjono, 2013).

Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri (eugenol), minyak lemak, dammar, zat samak, triterpenoid dan asam malat (Redaksi Trubus, 2014).


(42)

Penelitian Yulia dkk. (2001) dari Balai Penelitian Rempah dan Obat menyebutkan kadar tanin paling banyak ditemukan dari daun jambu biji yang berwarna hijau, sedangkan flavonoid paling banyak ditemukan dari daun jambu biji yang berwarna kemerahan.

Senyawa flavonoid, tanin, saponin, minyak atsiri dan alkaloid (yang terkandung dalam daun jambu biji) dapat berfungsi sebagai larvasida. Sebagai larvasida nyamuk Aedes, daun jambu biji mengandung saponin dan alkaloid yang memiliki cara kerja sebagai racun perut dan menghambat kerja enzim kolinesterase pada larva, sedangkan flavonoid dan minyak atsiri berperan sebagai racun pernapasan sehingga menyebabkan kematian larva (Cania, 2013).

Penelitian Sprag dkk. dalam Cania (2013) mengungkapkan bahwa saponin memiliki aksi sebagai insektisida dan larvasida. Menurut Aminah dkk. dalam Cania (2013) saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa

traktus digestivus larva sehingga dinding traktus digestivus larva menjadi korosif, dan menurut Dinata pada Cania (2013) bahwa senyawa flavonoid bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksis.

2. Batang

Batang tumbuhan jambu biji berkayu, keras, kulit batang licin, mengelupas, berwarna cokelat kehijauan. Pohon jambu biji berserak tidak terarah dengan cabang banyak, mendatar sampai condong ke bawah. Cabang-cabangnya kuat, tidak mudah patah dan mudah dilengkungkan. Akarnya kuat dengan akar tunggang dalam sehingga baik sekali untuk penahan erosi. Seperti daun dan buahnya, kulit batang jambu biji juga mengandung tanin (Sunarjono, 2013).


(43)

27 3. Bunga

Bunga jambu biji tumbuh dari ketiak daun. Merupakan bunga tunggal, berwarna putih, bertangkai dan tumbuh berkumpul 1 – 3 bunga. Bunga jambu biji berjenis kelamin sempurna (hermaphrodit) mampu menyerbuk silang dengan jenis jambu biji lainnya (hibrida interspesifik) (Sunarjono, 2013).

4. Buah

Buah jambu biji berbentuk bulat sampai bulat telur, berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah yang masak bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji banyak mengumpul di tengah, kecil-kecil, keras dan berwarna kuning kecokelatan.

Buah jambu biji berkhasiat sebagai antioksidan dengan kandungan beta karoten disamping asam amino (triptofan, lisin), kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C yang tinggi. Efek farmakologis jambu biji antara lain, mencegah penyakit diare, mencegah penyakit kanker dan melindungi tubuh dari radikal bebas (Hariana, 2013).

Gambar 5. Tumbuhan Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Sumber: www.vnrnursery.in (2012)


(44)

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian

Ekstrak Daun Jambu Biji: 1.Kontrol (konsentrasi 0 ppm) 2.Konsentrasi 500 ppm 3.Konsentrasi 2.500 ppm 4.Konsentrasi 4.500 ppm 5.Konsentrasi 6.500 ppm 6.Konsentrasi 8.500 ppm

dalam 2, 12 dan 24 jam pengamatan.

Jumlah Larva Nyamuk Aedes

spp. yang Mati

Nilai LC50

Larva Nyamuk

Aedes spp.


(45)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (quasi experiment) yaitu untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun jambu biji sebagai larvasida nyamuk Aedes

spp. pada ovitrap. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap. Percobaan dilakukan dengan 6 jenis konsentrasi ekstrak daun jambu biji masing-masing 0 ppm (sebagai kontrol), 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm. Setiap percobaan diamati selama 2 jam, 12 jam dan 24 jam, dan dilakukan replikasi sebanyak 4 kali.

Penelitian ini disebut quasi experiment karena belum memiliki ciri-ciri rancangan eksperimen sebenarnya, variabel-variabel yang seharusnya dikontrol tidak dapat dilakukan. Rancangan acak lengkap dipakai sebagai rancangan penelitian karena kondisi lingkungan, alat, bahan dan media penelitian homogen. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam pembuatan ekstrak daun jambu biji dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Sumatera Utara dan penelitian efektivitas ekstrak daun jambu biji terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. pada ovitrap dilakukan di Jl. Sembada IV No. 6 Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang. Pilihan lokasi berdasarkan pertimbangan di kecamatan tersebut terdapat 121 kasus DBD selama tahun 2014 (7,13% untuk keseluruhan kasus DBD di Kota Medan) dan pada bulan Februari 2015 terdapat satu kasus meninggal akibat DBD.


(46)

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 – Juni 2015. 3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah larva nyamuk Aedes spp. yang diambil dari

ovitrap, kemudian dimasukkan ke dalam wadah baru yang berisi 100 ml air sumur, masing-masing 30 ekor larva nyamuk. Jumlah larva nyamuk yang digunakan dalam penelitian sebanyak 720 ekor.

(Jumlah objek = 30 larva x 6 jenis perlakuan x 4 replikasi = 720 larva) 3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, yaitu dengan mengamati dan menghitung jumlah larva nyamuk Aedes spp. (dari ovitrap) yang mati setelah diberi larutan ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm serta sebuah perlakuan kontrol yang diamati setelah 2 jam, 12 jam dan 24 jam perlakuan.

3.4.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Gunting

2. Blender

3. Botol reagen

4. Shaker

5. Kertas saring 6. Corong


(47)

31 8. Water bath

9. Neraca Ohaus 10. Neraca analitik 11. Gelas ukur 12. Labu Erlenmeyer 13. Sample cup

14. Ovitrap

15. Dipper

16. Kasa

3.4.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Daun jambu biji

2. Etanol 96%

3. Larva nyamuk Aedes spp.

3.4.3 Cara Mendapatkan Larva Nyamuk Aedes spp.

Larva nyamuk Aedes spp. didapatkan dengan cara memasang ovitrap, dengan langkah pembuatan:

1. Siapkan 6 ember berwarna hitam dengan tinggi 18 cm, diameter bawah 16 cm dan diameter atas 24 cm.

2. Beri lubang pada ember berjarak 2 cm dari bagian atas ember, untuk mencegah meluapnya air bila air hujan masuk ke dalam ember.

3. Isi air sumur kedalam ovitrap hingga batas lubang.


(48)

4. Masukkan paddle ke dalam ember yang terbuat dari potongan bambu dengan panjang 23 cm dan lebar 10 cm, sebagai tempat nyamuk meletakkan telur.

5. Letakkan ovitrap di luar rumah di bagian rumah yang kurang mendapat sinar/gelap.

6. Lakukan pengamatan terhadap ovitrap, lihat apakah terdapat larva nyamuk Aedes spp. di dalam wadah.

7. Diambil larva pada ovitrap dengan dipper dan diletakkan pada wadah transparan (untuk mempermudah pengamatan) yang berisi air sumur sebanyak 100 ml, masing-masing 30 ekor larva.

3.4.4 Pembuatan Ekstrak Daun Jambu Biji

Langkah dalam pembuatan ekstrak daun jambu biji sebagai berikut:

1. Daun jambu biji (daun tua) dikumpulkan, dipisahkan dari batangnya setelah itu ditimbang berat seluruhnya/berat basah (± 800 gr).

2. Daun dikeringkan di tempat terbuka selama 3 hari.

3. Daun jambu biji yang telah kering/simplisia (kadar air <10%) digunting dan dihaluskan dengan menggunakan blender sampai menjadi bentuk serbuk (ditimbang berat kering sebanyak 400 gr). 4. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam botol reagen dan dimaserasi

dengan 3 liter etanol 96% selama 48 jam.

5. Ekstrak kasar dipekatkan dengan rotary evaporator.

6. Ekstrak kasar dipekatkan kembali dengan water bath hingga bebas dari pelarut dan mengental (kadar air <10%), dengan berat 20 gr.


(49)

33

3.4.5 Cara Pembuatan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji Ekstrak daun jambu biji akan dibuat dalam beberapa konsentrasi, yaitu 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm. Pembuatan berbagai konsentrasi tersebut merupakan hasil bagi antara massa ekstrak dengan 100 ml air sumur. Perhitungan konsentrasi tersebut dilakukan sebagai berikut:

1 = 1

1.000 Contoh : Pembuatan konsentrasi 500 ppm

500

1.000 =

?

100

= 500 × 100

1.000

=50.000 .

1.000 = 50

Artinya, ditimbang 50 mg ekstrak pekat daun jambu biji kemudian dilarutkan dengan 100 ml air sumur yang terdapat pada wadah uji. Untuk konsentrasi 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm masing-masing ditimbang ekstrak pekat sebanyak 250 mg, 450 mg, 650 mg dan 850 mg.

3.4.6 Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu dipersiapkan seluruh peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan, kemudian dilakukan langkah:

1. Letakkan 6 ovitrap di luar rumah, di bagian rumah yang kurang mendapat sinar dan lembab (bagian teras dekat kebun).

2. Ambil larva dari ovitrap, masukkan ke dalam 24 wadah yang diberi tanda (masing-masing 30 larva), yang telah berisi 100 ml air sumur.


(50)

Tanda A1 – A4: wadah untuk perlakuan kontrol, angka 1 menunjukan percobaan pertama, 2 menunjukan replikasi kedua, dan seterusnya. Tanda B1 – B4: wadah dengan konsentrasi ekstrak 500 ppm. Tanda C1 – C4: wadah dengan konsentrasi ekstrak 2.500 ppm. Tanda D1 – D4: wadah dengan konsentrasi ekstrak 4.500 ppm. Tanda E1 – E4: wadah dengan konsentrasi ekstrak 6.500 ppm. Tanda F1 – F4: wadah dengan konsentrasi ekstrak 8.500 ppm.

3. Tutup wadah dengan kasa, amati dan hitung jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. dalam 2 jam, 12 jam dan 24 jam perlakuan.

4. Ukur suhu air dan pH air pada masing-masing wadah.

5. Catat dan tabulasi hasil pengamatan, analisis dengan metode statistik. 3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel bebas : ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.) Variabel tergantung : kematian larva nyamuk Aedes spp., nilai LC50 Variabel kontrol : volume air, jumlah larva nyamuk

Variabel pengganggu : suhu air, pH air Definisi operasional :

1. Ekstrak daun jambu biji adalah daun jambu biji (daun tua yang berwarna hijau dengan ujung daun melengkung, dengan panjang 10 – 14 cm) yang dikeringkan lalu dihaluskan menjadi serbuk simplisia (kadar air <10%) lalu diekstraksi dengan penambahan pelarut etanol 96% kemudian digunakan sebagai larvasida nyamuk Aedes spp.


(51)

35

2. Larva adalah larva nyamuk Aedes spp. (fase dalam air setelah menetas dari telur) yang telah berumur sekitar 4 – 6 hari (instar III – IV). 3. Larva yang mati adalah larva nyamuk Aedes spp. baik yang tenggelam

maupun mengapung, tidak bergerak dan tidak merespon rangsangan. 4. Suhu air adalah temperatur air yang digunakan sebagai tempat

penelitian yang diukur selama penelitian berlangsung dengan

thermometer dan dinyatakan dalam derajat Celcius.

5. pH air adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan air tempat penelitian yang diukur selama penelitian berlangsung dengan kertas indikator universal. 6. Lethal concentration (LC50) adalah konsentrasi ekstrak daun jambu

biji yang diturunkan secara statistik yang dapat diduga menyebabkan kematian 50% larva nyamuk Aedes spp. dalam 24 jam.

3.6 Metode Pengukuran

Metode yang digunakan untuk mengetahui persentase kematian larva nyamuk adalah dengan memakai rumus:

= × 100%

Keterangan: Po = Persentase kematian larva teramati R = Jumlah larva yang mati pada perlakuan n = Jumlah larva yang diuji

Sedangkan untuk menghitung LC50 digunakan persentase kematian larva nyamuk terkoreksi (formula Abbot), dengan rumus:


(52)

% = ℎ − ℎ ℎ

3.7 Metode Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan mengentri data-data hasil percobaan kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Anova (Analysis of Variance) dan uji korelasi pada SPSS Statistics 20 serta analisis probit.

Prosedur yang digunakan dalam analisis Anova adalah prosedur Repeated Measures Anova. Adapun langkah-langkah dalam prosedur Repeated Measures

Anova adalah uji normalitas, uji Anova dan uji lanjutan dari uji Anova (uji beda rerata/post hoc test).

3.7.1 Uji Normalitas

Uji normalitas (Saphiro Wilk) digunakan untuk memberi keyakinan bahwa sekumpulan data penelitian berdistribusi normal. Apabila hasil uji menunjukkan distribusi yang normal, maka dapat langsung dilanjutkan dengan uji Anova. Jika tidak, dilanjutkan dengan uji nonparametrik. Uji Kruskal Wallis jika data kematian larva nyamuk berdasarkan berbagai jenis konsentrasi berdistribusi tidak normal. Uji Friedman jika data kematian larva nyamuk berdasarkan berbagai jenis konsentrasi pada semua waktu pengamatan berdistribusi tidak normal.

Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : Data berdistribusi normal. Hi : Data berdistribusi tidak normal.

Dasar dari pengambilan keputusan: jika p-value > 0,05 maka Ho diterima, dan sebaliknya.


(53)

37 3.7.2 Uji Anova

Penelitian ini menggunakan Repeated Measures Anova, yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian larva nyamuk Aedes

spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam 2 jam, 12 jam dan 24 jam waktu pengamatan dengan asumsi data berdistribusi normal.

Hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Tidak ada perbedaan rerata kematian larva nyamuk. Hi : Ada perbedaan rerata kematian larva nyamuk.

Dasar dari pengambilan keputusan: jika p-value > 0,05 maka Ho diterima, dan sebaliknya.

3.7.3 Uji Lanjutan (Post Hoc Test)

Analisis dilanjutkan dengan post hoc test jika pada hasil uji Anova H0 ditolak. Post hoc test digunakan untuk memberikan informasi tentang ada tidaknya perbedaan antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya. Salah satu post hoc test yang dapat digunakan adalah prosedur uji Bonferroni. Hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Perbandingan rerata kematian larva nyamuk antar pasangan perlakuan dan pasangan waktu tidak berbeda nyata.

Hi : Perbandingan rerata kematian larva nyamuk antar pasangan perlakuan dan pasangan waktu berbeda nyata.

Dasar dari pengambilan keputusan: jika p-value > 0,05 maka Ho diterima dan sebaliknya.


(54)

3.7.4 Uji Korelasi

Uji korelasi digunakan untuk mencari besarnya hubungan dan arah hubungan berbagai jenis konsentrasi ekstrak daun jambu biji dan beberapa waktu pengamatan terhadap jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. Bila data berdistribusi normal, digunakan uji Pearson, dan jika data tidak berdistribusi normal digunakan uji Spearman. Besaran angka pada koefisien korelasi menunjukkan tidak ada korelasi jika bernilai 0, korelasi sempurna jika bernilai 1, jika mendekati 1 atau -1 maka hubungan dua variabel semakin kuat. Tanda negatif (-) pada output menunjukkan adanya arah berlawanan, dan sebaliknya.

Hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Tidak terdapat hubungan antara kedua variabel. Hi : Terdapat hubungan antara kedua variabel.

Dasar dari pengambilan keputusan: jika p-value > 0,05 maka Ho diterima dan sebaliknya.

3.7.5 Analisis Probit

Analisis probit adalah metode perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan nilai toksisitas (nilai LC50) dari senyawa yang terkandung dalam ekstrak daun jambu biji sehingga dapat membunuh 50% larva uji. Hubungan nilai logaritma konsentrasi dan nilai Probit dari persentase mortalitas hewan uji merupakan fungsi linear Y = a + bx. Nilai LC50 diperoleh dari hasil 10x, dimana: Y = Nilai Probit Mortalitas

X = Logaritma konsentrasi bahan uji a = Konstanta


(55)

39

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Larvasida Nyamuk Aedes spp.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya pengaruh larvasida nyamuk

Aedes spp. yang terbuat dari ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L.). Konsentrasi ekstrak yang diberikan sebagai perlakuan adalah 0 ppm (sebagai kontrol), 500 ppm, 2.500 ppm, 4.500 ppm, 6.500 ppm dan 8.500 ppm dengan 4 kali pengulangan. Ekstrak diujikan dalam 24 wadah, masing-masing berisi 30 ekor larva nyamuk Aedes spp. yang didapat dari ovitrap. Jumlah larva yang mati dihitung pada 2 jam, 12 jam dan 24 jam pengamatan. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 0 ppm (Kontrol) Ekstrak Daun Jambu Biji

Waktu Pengamatan (jam) Larva Uji (ekor)

Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada

Kontrol (ekor)

Rata-rata Kematian Pengulangan

Total Jumlah (ekor)

Persentase (%) I II III IV

2

30

0 0 0 0 0 0,00 0,00

12 0 0 0 1 1 0,25 0,83

24 1 1 0 1 3 0,75 2,50

Total 1 1 0 2 4 1,00 3,33

Tabel 4.1 di atas menunjukkan pada perlakuan kontrol (tidak diberikannya larvasida) terdapat larva nyamuk yang mati setelah 12 jam perlakuan pada 1 wadah. Dan terdapat larva nyamuk yang mati pada 3 wadah pada 24 jam perlakuan. Jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati pada konsentrasi 0 ppm (kontrol) ekstrak daun jambu biji adalah 4 ekor (3,33%).


(56)

Tabel 4.2 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 500 ppm Ekstrak Daun Jambu Biji

Waktu Pengamatan (jam) Larva Uji (ekor)

Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 500 ppm (ekor)

Rata-rata Kematian Pengulangan

Total Jumlah (ekor)

Persentase (%) I II III IV

2

30

2 0 3 3 8 2,00 6,67

12 3 3 2 4 12 3,00 10,00

24 4 5 3 2 14 3,50 11,67

Total 1 9 8 8 9 34 8,50

Tabel 4.2 di atas menunjukkan kematian larva nyamuk mulai terjadi setelah 2 jam perlakuan pada 3 wadah dengan total kematian 8 ekor dan kematian larva nyamuk tertinggi terjadi setelah 12 jam perlakuan dengan total kematian 20 ekor. Jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati pada konsentrasi 500 ppm ekstrak daun jambu biji adalah 34 ekor (28,33%).

Tabel 4.3 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 2.500 ppm Ekstrak Daun Jambu Biji

Waktu Pengamatan (jam) Larva Uji (ekor)

Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 2.500 ppm (ekor)

Rata-rata Kematian Pengulangan

Total Jumlah (ekor)

Persentase (%) I II III IV

2

30

3 2 2 2 9 2,25 7,50

12 4 4 4 6 18 4,50 15,00

24 5 5 6 6 22 5,50 18,33

Total 1 12 11 12 14 49 12,25

Tabel 4.3 di atas menunjukkan kematian larva nyamuk mulai terjadi setelah 2 jam perlakuan dengan total kematian 9 ekor dan kematian larva nyamuk tertinggi terjadi setelah 12 jam perlakuan dengan total kematian 27 ekor. Jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati pada konsentrasi 2.500 ppm ekstrak daun jambu biji adalah 49 ekor (40,83%).


(57)

41

Tabel 4.4 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 4.500 ppm Ekstrak Daun Jambu Biji

Waktu Pengamatan (jam) Larva Uji (ekor)

Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 4.500 ppm (ekor)

Rata-rata Kematian Pengulangan

Total Jumlah (ekor)

Persentase (%) I II III IV

2

30

3 3 4 5 15 3,75 12,50

12 6 7 6 5 24 6,00 20,00

24 8 7 8 7 30 7,50 25,00

Total 1 17 17 18 17 69 17,25

Tabel 4.4 di atas menunjukkan kematian larva nyamuk mulai terjadi setelah 2 jam perlakuan dengan total kematian 15 ekor dan kematian larva nyamuk tertinggi terjadi setelah 12 jam perlakuan dengan total kematian 39 ekor. Pada konsentrasi 4.500 ppm ekstrak daun jambu biji lebih dari setengah larva nyamuk Aedes spp. yang diuji telah mengalami kematian, yakni 69 ekor (57,50%). Tabel 4.5 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 6.500 ppm

Ekstrak Daun Jambu Biji Waktu Pengamatan (jam) Larva Uji (ekor)

Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 6.500 ppm (ekor)

Rata-rata Kematian Pengulangan

Total Jumlah (ekor)

Persentase (%) I II III IV

2

30

5 4 6 5 20 5,00 16,67

12 7 9 8 9 33 8,25 27,50

24 9 10 9 10 38 9,50 31,67

Total 1 21 23 23 24 91 22,75

Tabel 4.5 di atas menunjukkan kematian larva nyamuk mulai terjadi setelah 2 jam perlakuan dengan total kematian 20 ekor dan kematian larva nyamuk tertinggi terjadi setelah 12 jam perlakuan dengan total kematian 53 ekor. Jumlah larva nyamuk Aedes spp. yang mati pada konsentrasi 6.500 ppm ekstrak daun jambu biji adalah 91 ekor (75,83%).


(58)

Tabel 4.6 Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 8.500 ppm Ekstrak Daun Jambu Biji

Waktu Pengamatan (jam) Larva Uji (ekor)

Jumlah Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada Konsentrasi 8.500 ppm (ekor)

Rata-rata Kematian Pengulangan

Total Jumlah (ekor)

Persentase (%) I II III IV

2

30

6 5 7 7 25 6,25 20,83

12 10 9 10 10 39 9,75 32,50

24 12 12 13 11 48 12,00 40,00

Total 1 28 26 30 28 112 28,00

Tabel 4.6 di atas menunjukkan kematian larva nyamuk mulai terjadi setelah 2 jam perlakuan dengan total kematian 25 ekor dan kematian larva nyamuk tertinggi terjadi setelah 12 jam perlakuan dengan total kematian 64 ekor. Konsentrasi 8.500 ppm ekstrak daun jambu biji yang merupakan konsentrasi tertinggi yang dipakai penelitian ini belum mampu membunuh 100% larva uji, larva nyamuk Aedes spp. yang mati berjumlah 112 ekor (93,33%).

Tabel 4.7 Rata-Rata Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. pada 6 Jenis Perlakuan Dilihat dari 3 Waktu Pengamatan

Konsentrasi (ppm) Larva Uji (ekor) Jumlah Kematian

(ekor) pada Waktu ke Total (ekor) Rata-rata Kematian 2 jam 12 jam 24 jam Jumlah (ekor) Persentase (%)

A (0) 30 0 1 3 4 1,00 3,33

B (500) 30 8 12 14 34 8,50 28,33

C (2.500) 30 9 18 22 49 12,25 40,83

D (4.500) 30 15 24 30 69 17,25 57,50

E (6.500) 30 20 33 38 91 22,75 75,83

F (8.500) 30 25 39 48 112 28,00 93,33

Tabel 4.7 di atas menunjukkan rata-rata kematian larva nyamuk Aedes spp. pada 6 jenis perlakuan/pemberian 6 jenis konsentrasi larvasida berbeda dari 3 waktu pengamatan. Kematian larva nyamuk tertinggi terjadi setelah 24 jam pengamatan (jumlah kematian menurun setelah 12 jam perlakuan) dan kematian terendah terjadi pada waktu 2 jam pengamatan.


(59)

43

Gambar 7. Grafik Persentase Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dalam 3 Waktu Pengamatan

Gambar 7. di atas menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun jambu biji yang diberikan, maka semakin banyak pula jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. (yang ditunjukkan dalam bentuk persentase). Total kematian larva nyamuk Aedes spp. juga meningkat seiring lamanya waktu perlakuan.

4.2 Analisis Statistik

Hasil penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji

Friedman, uji Kruskal Wallis, uji korelasi dan analisis probit. 4.2.1 Uji Friedman

Uji nonparametrik Friedman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam beberapa waktu pengamatan. Uji statistik nonparametrik digunakan karena data kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam beberapa waktu pengamatan tidak berdistribusi normal (p-value hasil uji Saphiro Wilk < 0,05, H0 ditolak).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 12 24

J u m la h K e m a ti a n L a r v a N y a m u k (%)

Waktu Pengamatan (jam)

0 ppm 500 ppm 2.500 ppm 4.500 ppm 6.500 ppm 8.500 ppm


(60)

Hasil analisis statistik uji Friedman pada taraf nyata 5% ditemui p-value < 0,05, maka H0 ditolak. Artinya ada perbedaan rata-rata kematian larva nyamuk

Aedes spp. dengan pemberian berbagai jenis konsentrasi ekstrak daun jambu biji dalam seluruh waktu pengamatan.

Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan rata-rata kematian larva nyamuk pada berbagai konsentrasi larvasida dalam seluruh waktu pengamatan, analisis statistik dilanjutkan dengan uji Bonferroni untuk mengetahui pasangan masing-masing kelompok data waktu pengamatan yang memiliki perbedaan rata-rata secara nyata (signifikan). Hasil uji Bonferroni dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.8 Hasil Uji Bonferroni Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dengan

Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium gujava L.) dalam 3 Waktu Pengamatan pada Ovitrap

Waktu Pengamatan

Beda Rerata (I –J) Probabilitas Waktu (I) Waktu (J)

2 jam 12 jam -2,083* 0,000

24 jam -3,250* 0,000

12 jam 24 jam -1,167* 0,000

Keterangan: Tanda (*) = berbeda nyata (p-value < 0,05)

Tabel 4.8 menunjukkan p-value < 0,05 pada semua pasangan waktu pengamatan, maka H0 ditolak yang berarti ada perbedaan nyata jumlah kematian larva nyamuk Aedes spp. dalam 2 jam, 12 jam dan 24 jam waktu pengamatan. 4.2.2 Uji Kruskal Wallis

Uji nonparametrik Kruskal Wallis digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji. Uji statistik nonparametrik digunakan karena data kematian larva nyamuk Aedes spp. pada berbagai konsentrasi ekstrak daun jambu biji tidak berdistribusi normal.


(61)

45

Hasil analisis statistik uji Kruskal Wallis pada taraf nyata 5% ditemui p-value < 0,05, maka H0 ditolak. Artinya ada perbedaan rata-rata kematian larva nyamuk Aedes spp. dengan pemberian berbagai jenis konsentrasi ekstrak daun jambu biji. Setelah mengetahui bahwa ada perbedaan rerata kematian larva nyamuk pada berbagai konsentrasi larvasida, analisis statistik dilanjutkan dengan uji Bonferroni untuk mengetahui pasangan masing-masing kelompok data konsentrasi ekstrak daun jambu biji yang memiliki perbedaan rata-rata secara nyata (signifikan). Hasil uji Bonferroni dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.9 Hasil Uji Bonferroni Kematian Larva Nyamuk Aedes spp. dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium gujava L.) pada Ovitrap

Konsentrasi Larvasida

Beda Rerata (I –J) Probabilitas Konsentrasi (I) Konsentrasi (J)

0 ppm (kontrol) 500 ppm -2,50* 0,000

2.500 ppm -3,75* 0,000

4.500 ppm -5,42* 0,000

6.500 ppm -7,25* 0,000

8.500 ppm -9,00* 0,000

500 ppm 2.500 ppm -1,25* 0,002

4.500 ppm -2,92* 0,000

6.500 ppm -4,75* 0,000

8.500 ppm -6,50* 0,000

2.500 ppm 4.500 ppm -1,67* 0,000

6.500 ppm -3,50* 0,000

8.500 ppm -5,25* 0,000

4.500 ppm 6.500 ppm -1,83* 0,000

8.500 ppm -3,58* 0,000

6.500 ppm 8.500 ppm -1,75* 0,000

Keterangan: Tanda (*) = berbeda nyata (p-value < 0,05)

Tabel 4.9 menunjukkan p-value < 0,05 pada semua pasangan konsentrasi larvasida, maka H0 ditolak yang berarti ada perbedaan nyata daya bunuh masing-masing konsentrasi ekstrak daun jambu biji sebagai larvasida terhadap kematian larva nyamuk Aedes spp. Beda rata-rata paling besar pada konsentrasi 8.500 ppm


(1)

Gambar Lampi

Gambar Lampiran 4.

mpiran 3. Maserasi Serbuk Simplisia Daun Jam

n 4. Serbuk Simplisia Daun Jambu Biji Dimasera

ambu Biji


(2)

Gamba

Gambar Lampir

mbar Lampiran 5. Penyaringan Hasil Maserasi

piran 6. Pemanasan Ekstrak Daun Jambu Biji A si


(3)

Gambar Lampira P

Gambar Lampir

piran 7. Penimbangan Ekstrak Pekat Daun Jambu B Pembuatan Berbagai Konsentrasi Ekstrak

piran 8. Lima Jenis Konsentrasi Ekstrak Daun J

bu Biji untuk


(4)

Gambar Lampiran 9. Pn 9. Pemeriksaan Kandungan Saponin Ekstrak D

Gambar Lampiran 10. Ovitrap


(5)

Gambar Lampiran 11. P

Ga

n 11. Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji pada L Aedes spp.

Gambar Lampiran 12. Pengukuran Suhu Air


(6)

Gambar Lampiran 13. Pengukuran pH Air