Artikel Review: ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI TERHADAP RITUAL RAH ULEI DI KUBURAN DALAM MASYARAKAT PIDIE ACEH) | Jannah | OJS Center 1537 2956 1 SM

ARTICLE REVIEW
ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI
TERHADAP RITUAL RAH ULEI DI KUBURAN DALAM MASYARAKAT
PIDIE ACEH)
Penulis buku/artikel

: Muhammad Arifin

Reviewer

: Rauzatul Jannah

Penerbit

: Jurnal Ilmiah Islam Futura

Jumlah halaman

: 34 Hlm.

A. Isi buku/artikel

Akulturasi adalah proses perubahan sebuah kebudayaan karena kontak langsung
dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus dengan kebudayaan lain atau kebudayaan
asing yang berbeda. Kebudayaan tadi dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain yang
lambat laun dan secara bertahap diterimanya

menjadi

kebudayan

sendiri

tanpa

menghilangkan kepribadian aslinya. Unsur-unsur kebudayaan kebudayaan asing itu
diterima secara selektif.
Ketika Islam masuk ke beberapa wilayah Nusantara, terdapat berbagai budaya yang
telah wujud. Di Jawa misalnya, proses pembentukan budaya telah berlangsung dalam waktu
yang sangat panjang. Kewujudan budaya tersebut menyebabkan Islam sebagai pendatang
baru harus selaras dengan budaya yang telah ada sebelumnya. Akibatnya terjadilah proses
saling menerima dan mengambil, sehingga terbentuklah Islam tradisional, yaitu Islam yang

sudah menyesuaikan dengan budaya dan kepercayaan asal. Demikian juga halnya sebelum
Islam bertapak di Aceh, kebudayaan Aceh dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dari India
yang dibawa oleh para pedagang dari sana melalui jalur laut.1
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui
dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Usul Fikih, bahwa “Adat itu
dihukumkan”, atau lebih lengkapnya “Adat adalah syariah yang dihukumkan”. Ini bermakna
bahwa adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum
dalam Islam. Islam mengakui keberadaan adat-kebiasaan masyarakat karena adatkebiasaan merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat tersebut. Islam datang
Muhammad Arifin and Khadijah Binti Mohd Khambali Hambali, “ISLAM DAN AKULTURASI
BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI TERHADAP RITUAL RAH ULEI DI KUBURAN DALAM
MASYARAKAT PIDIE ACEH,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 2 (2016): 251–84.
1

mengakui dan mengakomodir nila-nilai kebudayaan dan adat-kebiasaan suatu masyarakat
yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ideologi Islam. Akan tetapi walaupun
demikian, Islam menentang sikap tradisionalisme yaitu sikap yang secara a priori
memandang bahwa tradisi leluhur pasti lebih baik dan harus dipertahankan serta diikuti.
Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur terjadinya transformasi sosial
suatu masyarakat yang mengalami perkenalan dengan Islam.2
Kontrol sosial merupakan hal penting untuk memelihara kehidupan sosial. Di dalam

masyarakat Aceh filsafat berikut ini merupakan alat kendali sosial (control mechanism)
yaitu: Adat bak po teu meuruhom, hukom bak syiah kuala (Adat dijaga oleh raja, dan
hukum, artinya hukum Islam, dijaga Syiah Kuala, seorang ulama terkenal). Implikasi
terbesar dari pernyataan tersebut ialah bahwa yang disebut hukum adalah hukum (syariat)
Islam. Setiap perilaku yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan tidak konsisten dengan
adat akan mendapat hukuman. Namun, bagaimanapun, hukum Islam yang diberlakukan di
Aceh telah disesuaikan dengan adat. Oleh karena itu adat pada hakikatnya mempunyai
peran yang lebih besar dari hukum Islam tersebut.
Namun demikian, kalau merujuk kepada beberapa perkara yang terjadi dalam
kalangan masyarakat Aceh, maka terlihat beberapa perkara yang berlawanan dengan aliran
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, di antaranya seperti: rah ulei, atau mencuci muka di
kuburan ulama yang dilanjutkan dengan Salat Hajat dua rakaat yang diyakini bisa menjadi
perantaraan dalam menyampaikan sesuatu maksud untuk mencari berkat dalam
mengharapkan semua keinginan mereka akan segera tercapai. Hal ini dalam istilah teologis
lebih dikenal dengan tawasul. Tawasul adalah suatu isu kontroversial di kalangan umat
Islam yang justru amalannya dianggap berdasarkan pada akidah Islam yang berdasarkan alQuran dan al-Sunnah. Isunya adalah berdoa memohon sesuatu hajat dari Allah melalui
mereka yang sudah meninggal dunia sebagaimana kepada Nabi kita Muhammad Saw.
atau para wali- wali Allah yang salihin yang terdiri dari para ulama yang telah dikenal
pasti melalui keilmuan dan kewarakan mereka. Tawasul seringkali muncul secara
fenomenal dalam suatu fenomena sosial, termasuk di kalangan umat Islam, dengan

mendatangi kuburan yang dipandang mulia dan berwasilah kepadanya untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, seperti kekayaan, kedudukan, jodoh, dan lain-lain.
Disinyalir bahwa telah terjadi kesalahpahaman persepsi tentang ziarah kubur
Lihat juga M. Hasbi Amiruddin, “PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DALAM BENTURAN
BUDAYA,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 201–12; Jabbar Sabil, “MASALAH ONTOLOGI
DALAM KAJIAN KEISLAMAN,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 2084, no. 2004 (2005): 99074.
2

sehingga berbagai bentuk penyimpangan dilakukan oleh para peziarah kubur. Saat ini kaum
muslimin telah melakukan berbagai macam bentuk kemusyrikan di kuburan, seperti
mengusap-ngusap kuburan, mencari berkah di kuburan, bertawasul dengan orang-orang
yang telah meninggal karena kesalehannya dan beristighasah kepada mereka.
Segolongan masyarakat menganggap bahwa adat dan agama di Aceh sudah
bersepadu, maksudnya adalah bahwa adat di Aceh tidak bertentangan dengan agama Islam
karena adat dibangun berasaskan Islam. Jadi segala adat dan kepercayaan masyarakat Aceh
sudah bersesuaian dengan agama Islam. Ini bisa kita dilihat, manakala seluruh adat
kepercayaan yang diamalkan di Aceh, maka ianya merupakan dibolehkan bahkan disunatkan
dalam agama.3 Contohnya adalah adat rah ulei atau tawasul di kuburan ulama. Salah satu
sumber dari artikel ini, yaitu Tgk. Aziz menyatakan bahwa rah ulei atau tawassul
merupakan sesuatu perkara yang dianjurkan dalam agama. Dengan bertawassul, maka apaapa yang diminta seseorang dengan perantara ahli kubur yang dekat dengan Allah Swt.

karena kewarakannya, maka keinginan kita akan dikabulkan. Manakala kita memohonnya
sendiri, boleh jadi tidak makbul karena kualitas ibadat yang jauh di bawah ibadat ulama
ahli kubur tersebut. Menurut Tgk. Aziz pula, bahwa roh ulama ahli kubur tempat dilakukan
rah ulei tersebut masih hidup dan dapat melihat orang yang bertawassul di kuburannya itu.
Roh tersebutlah yang mendoakan kepada Allah Swt. apa-apa yang dimintakan kepadanya.
Ulama pemilik kubur tersebut adalah warasatul anbiya, sebagai pewaris para Nabi, maka
sepatutnyalah bahwa dia adalah dekat dengan Allah Swt. Jadi, melalui perantaraan dia yang
dekat dengan Allah Swt., maka doa dan apa-apa yang dimintakan akan terkabulkan, dan
ini bukan dosa dalam agama.
Rah Ulei atau mencuci muka di kuburan dengan air yang ditambah dengan jeruk
purut, beberapa jenis bunga dan biasanya ditambah juga sebiji batu kecil yang diambil di
atas kuburan orang keramat tersebut. Amalan ini dilakukan bagi meminta keberkatan
kepada roh orang keramat yang sudah meninggal. Terkait dengan amalan ini, beberapa
ulama dan tokoh agama yang dijumpai Muhammad Arifin mengatakan bahwa manakala
seseorang memohon doa kepada selain Allah yang dipercayai dapat mendatangkan manfaat
dan mudarat, maka amalan tersebut digolongkan kepada amalan yang bertentangan
dengan akidah dan tidak selaras dengan ajaran Islam. Hal ini antara lain didapatkan dari
wawancara dengan Tgk. Bukhari, Pimpinan Pesantren Bustanul Maarif. Menurut Tgk.
- Raihan, “Implementasi Pemikiran Dakwah Mohammad Natsir Di Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia Provinsi Aceh,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 67, doi:10.22373/jiif.v15i1.559; Fazzan and Abdul Karim Ali, “Islamic and Positive Law Perspectives of Gratification in Indonesia,” Jurnal

Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 1, doi:10.22373/jiif.v15i1.549.
3

Bukhari, dalam melakukan rah ulei, masyarakat sering menganggap bahwa orang yang
sudah meninggal dan dianggap keramat itulah yang mampu menyampaikan keinginannya.
Orang tersebut merasa bahwa kalau dirinya langsung yang berdoa dan berhajat kepada
Allah, maka ia merasa tidak mampu dan lemah, bahkan ia merasa tidak memiliki apa-apa di
depan Tuhannya. Lebih lanjut Tgk. Bukhari berpandangan bahwa tawassul dengan berdoa
dan memohon bantuan kepada orang yang sudah meninggal, sangat dilarang oleh agama dan
bertentangan dengan akidah Ahl Sunnah Wal Jamaah. Dalam penjelasannya, dia mengutip
firman Allah Swt. dalam Surat Yunus ayat 106
















     









Amalan ini ada hubungannya dengan praktik memuja roh animisme. Pemujaan
terhadap roh-roh tersebut sudah ada sebelum Islam datang ke Aceh. Berdasarkan data yang
didapatkan, amalan ini tidak dijumpai dalam agama Islam yang murni, tetapi hasil
akulturasi dengan budaya luar.

Menurut pakar sejarah dan kebudayaan Aceh, ada tiga cara Islam membangun
kebudayaannya, baik di Aceh maupun di wilayah lainnya di seluruh dunia. Ketiga cara
tersebut adalah: (1) Mengislamkan kebudayaan yang telah ada (islamisasi kebudayaan yang
telah ada); (2) Menghapus sama sekali kebudayaan yang telah ada, yaitu kebudayaan
yang bertentangan dengan akidah dan ibadah, dan; (3) Membangun kebudayaan yang baru.55
Dalam analisis penulis artikel ini, sebagai agama yang memberikan rahmat kepada
seluruh alam, maka Islam dapat menerima budaya dan adat istiadat lokal. Kedatangan Islam
tidak serta merta menghancurkan budaya setempat semula untuk diganti total dengan ajaran
Islam. Kedatangan Islam untuk memperbaiki nilai-nilai budaya suatu masyarakat, oleh itu
maka tidak semua budaya setempat mesti dihapus manakala Islam bertapak di tempat
tersebut sehingga Islam akan melahirkan sebuah budaya baru yang memiliki nilai peradaban
yang tinggi dan mulia, serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Namun tidak berarti bahwa
Islam dapat menerima begitu saja adat dan budaya lokal. Terhadap permasalahan di atas,
Islam memiliki tiga pandangan terhadap budaya lokal yaitu: (1) Kebudayaan yang tidak
bertentangan dengan Islam, maka kebudayaan tersebut dibiarkan tetap hidup di dalam
masyarakat. (2) Kebudayaan yang sebagiannya mengandung perkara yang tidak dibolehkan
dalam Islam, kemudian diislamkan. (3) Nilai-nilai kebudayaan yang bertentangan dengan

Islam, kemudian dihilangkan dari kehidupan masyarakat.


B. Pembahasan/analisis
Artikel ini berbicara tentang adanya adanya budaya masyarakat yang berkembang di
masyarakat mengenai ziarah kubur, khususnya kubur ulama yang dianggap sebagai wali
Allah dan memiliki sifat keramat. Perlu ditambahkan disini bahwa karamah menurut Ibn
Taimiyah adala sesuatu yang khariq li al-adat (apa yan merusak adat kebiasaan), yang
tampak pada seorang saleh, selalu konsisten dalam menjalankan ajaran atau syari’at Islam,
mengikuti semua petunjuk dan jalan yang telah dikemukakan dan digariskan Allah melalui
Rasulullah. Ada dua aspek yang menjadi esensi karamat. Pertama, karamat merupakan
otoritas Allah. Allah memeberikan karamat kepada hamba yang senantiasa dekat
kepadaNya, karena ketaatan dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. Kedua, karamat
adalah fenomena yang yang bertentangan dengan adat kebiasaan. Terdapat 3 sikap ulama
kalam dan ulama sufi mengenai pengertian karamat.4 Pertama, sebagian mereka (Mu’tazilah,
al-Jahmiyah dan sebagian Asy’ariyah) manyatakan bahwa seandainya khawariq li al-adat
tersebut muncul pada para wali Allah, maka akan terjadi kesamaan antara nubuwwah dengan
walayah. Padahal mukjizat merupakan salah satu pembeda antara kenabian dan kewalian.
Kedua sebagian mereka dalam membenarkan karamat para wali terlampau melewati
batas keajaran (tajawaz al-hadd), seperti pengangungan mereka terhadap para ahli sufi yang
diidentikkan memiliki karamat, juga para penggemar kubur atau makam para wali yang
melakukan kunjungan dengan penuh antusias untuk meminta dipenuhi hajat-hajat mereka
melalui para penghuni kubur tersebut, dan sebagian lainnya mengidentikkan semua kejadian

luar biasa seperti tidak tertembus atau terluka dengan pedang dan tidak terbakar api
merupakan salah satu substansi keramat para wali. Dan semua apa yang dikatakan dan
diperbuat oleh para wali, mereka ikuti dan taati tanpa terlebih dahulu melihat apakah
perbuatan atau ucapan itu sesuai ataukah tidah dengan al-qur’an dan sunnah nabi.
Ketiga, sebagian mereka, inilah kelompok yang selamat dan benar dalam
memposisiskan keramat para wali, mengatakan bahwa keramat memang benar-benar ada
dan syari’at Islam membenarkan adanya keramat para wali, yang berbeda dengan
mukjizatnya para Nabi. Mengakui keramat, hendaknya dilihat dari substansi yang
dimunculkan, bila bersesuaian dengan al-qur’an dan as-sunnah, qawl sahabat dan juga
amaliah para tabi’in, berarti dapat dibenarkan dan diikuti, namun sebaliknya apabila
4

Harapandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Islam, (Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta:
2007), hlm. 172

bertentangan berarti tidak benar.
Mengenai ziarah kubur dan berdo’a di kuburan para ulama, Ibn Taimiyah
mengatakan bahwa yang betul-betul dilarang adalah membiasakan berdoa di depan kuburan,
atau menuju kuburan untuk berdoa di depan atau didekatnya dengan keyakinan doanya pasti
dikabulkan jika dilakukan disana. Atau, jika merasakan bahwa berdoa di dekat kuburan lebih

mungkin (dan lebih cepat) dikabulkan daripada di tempat lain. Adapun jika seorang muslim
sedang berjalan dan kebetulan lewat kuburan lalu berdoa di sana, atau ia menziarahi kuburan
lalu mengucapkan salam kepada ahli kubur dan berdoa di tempat itu, maka ia tidak mesti
harus menghadap kiblat. Dan ia tidak dianggap sebagai pelaku syirk atau bid’ah. 5
Ziarah kubur dengan tujuan bertawasul kepada ahli kubur menyalahi tuntunan
Rasulullah saw yang sebenarnya. Sepanjang hadits-hadits, ziarah kubur dibenarkan dengn
tujuan mendoakan kesejahteraan bagi ahli kubur, bukan minta didoakan. Tujuan lain yang
dibenarkan syara’ ialah ziarah kubur itu untuk mengingatkan kepada kematian atau akhirat. 6

C. Simpulan
Telah menjadi kenyataan, sejumlah orang menziarahi kuburan atau makam orangorang terkemuka yang dipandang keramat dengan cara menyalahi tuntunan syari’at bahkan
membahayakan keutuhan aqidah. Mereka datang ke makam untuk bernazar dan bertawasul
kepada ahli kubur agar hajatnya dikabulkan. Memohon pertolongan kepada orang tang telah
mati (arwah) agar hajatnya diteruskan kepada Tuhan, adanya suatu perbuatan yang
menjadikan arwah sebagai perantara (wasilah) dalam do’anya kepada Tuhan. Di antara
orang-orang awam ada yang memang tidak mengerti, berpendapat bahwa makam itulah
yang dimintai yang nantinya akan memenuhi permintaannya.
Ahli kubur yang menjadi tempat meminta orang-orang itu pada hakikatnya tidak
dapat berbuat apa-apa lagi. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, apabila
sesorang telah mati maka terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara: sadakah jariyah, ilmu yang
berguna dan anak soleh yang selalu mendoakannya. Dalam Al-qur’an surat al-maidah ayat
35, ada diisyaratkan mencari jalan (wasilah) yang dapat menyampaikan kepada Allah, tetapi
yang dimaksudkan wasilah di situ adalah amal soleh, ibadah dan taqwa kepada Allah swt.
Sementara itu, terdapat nash yang membolehkan bertawasul kepada orang lain yang masih
hidup, yaitu minta didoakan oleh orang lain agar maksudnya tercapai. Dan hal itu tidak lebih
5

Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman; Seputar Alam Barzakh, Ziarah Kubur dan
Peringatan Hari-Hari Besar Islam (Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002), hlm. 86
6
Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta) hlm. 61

daripada mengharapkan seseorang yang masih hidup untuk didoakan kepada Allah, tanpa
mengkultuskan orang tersebut.
Yang jelas dan tegas dalam Al-qur’an adalah sesorang yang berhajat kepada Allah,
hendaknya berdoa langsung kepada Allah tanpa perantara, karena dengan itu dapat
menyatakan isis hatinya langsung kepada Allah yang Maha Mendengar.

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. Hasbi. “PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DALAM BENTURAN
BUDAYA.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 2 (2014): 201–12.
Arifin, Muhammad, and Khadijah Binti Mohd Khambali Hambali. “ISLAM DAN
AKULTURASI BUDAYA LOKAL DI ACEH (STUDI TERHADAP RITUAL RAH
ULEI DI KUBURAN DALAM MASYARAKAT PIDIE ACEH.” Jurnal Ilmiah Islam
Futura 15, no. 2 (2016): 251–84.
Fazzan, -, and Abdul Karim Ali. “Islamic and Positive Law Perspectives of Gratification in
Indonesia.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 1. doi:10.22373/jiif.v15i1.549.
Raihan, -. “Implementasi Pemikiran Dakwah Mohammad Natsir Di Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 15, no. 1 (2015): 67.
doi:10.22373/jiif.v15i1.559.
Sabil, Jabbar. “MASALAH ONTOLOGI DALAM KAJIAN KEISLAMAN.” Jurnal Ilmiah
Islam Futura 2084, no. 2004 (2005): 99074.

Harapandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Islam, Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama, Jakarta: 2007
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Meluruskan Kesalahpahaman; Seputar Alam Barzakh,
Ziarah Kubur dan Peringatan Hari-Hari Besar Islam, Remaja Rosdakarya: Bandung, 2002
Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, Pedoman Ilmu Jaya: Jakarta