akulturasi islam dengan budaya lokal

Tugas Makalah Sejarah Siswa Kelas X TP. 2015/2016
Akulturasi Kebudayaan Islam
Dengan Hindu Budha di Indonesia

Disusun Oleh:
Daffa’ Satya Ananta
X-8/10

SMA TARUNA NUSANTARA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya
yang berjudul Akulturasi Kebudayaan Islam Dengan Hindu Budha.terima kasih kami ucapkan kepada Ibu
Vita Yektiani sebagai pamong pengajar sejarah yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Makalah ini berisikan tentang beberapa contoh akulturasi islam dengan hindu budha di indonesia.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang akulturasi ini dan
bagaimana cara para pemuka agama terdahulu dalam mendakwahkan islam dengan cara mereka masingmasing.


Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Kediri, 6 April 2016

Penyusun
Daffa’ Satya Ananta

1. Upacara Sekaten
Upacara Sekaten Adalah Sebuah Upacara Ritual Di Kraton Yogyakarta Yang Dilaksanakan Setiap
Tahun. Upacara Ini Dilaksanakan Selama Tujuh Hari, Yaitu Sejak Tanggal 5 Mulud (Rabiulawal) Sore Hari
Sampai Dengan Tanggal 11 Mulud (Rabiulawal) Tengah Malam. Upacara Sekaten Diselenggarakan Untuk
Memperingati Hari Kelahiran (Mulud) Nabi Muhammad Saw. Tujuan Lain Dari Penyelenggaraan Upacara
Ini Adalah Untuk Sarana Penyebaran
Agama Islam.
Ada Beberapa Pendapat Mengenai
Asal Mula Nama Sekaten, Yaitu:
Kata Sekaten Berasal Dari Kata

Sekati, Yaitu Nama Dari Dua Perangkat
Gamelan Pusaka Kraton Yogyakarta Yang
Bernama Kanjeng Kyai Sekati Yang
Ditabuh
Dalam
Rangkaian
Acara
Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad
Saw.


Sekaten Berasal Dari Kata Suka Dan Ati Yang Berarti Suka Hati Atau Senang Hati. Hal Ini
Didasarkan Bahwa Pada Saat Menyambut Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad Saw, Orang-Orang Dalam
Suasana Bersuka Hati.


 Pendapat Lain Mengatakan Bahwa Sekaten Berasal Dari Kata Syahadatain, Yang Maksudnya Dua
Kalimat Syahadat Yang Diucapkan Ketika Seseorang Hendak Memeluk Agama Islam. Pendapat Ini Didasari
Bahwa Pada Jaman Dahulu Upacara Sekaten Diselenggarakan Untuk Menyebarkan Agama Islam.


Bentuk-Bentuk Ritus Yang Ditampilkan Dalam Acara Sekaten Adalah Sebagai Berikut.
1. Persiapan Fisik Dan Non Fisik Petugas Upacara.
2. Pengeluaran Gamelan Pusaka Kanjeng Kyai Sekati Yang Terdiri Dari Dua Perangkat, Yaitu Kanjeng
Kyai Guntur Madu Dan Kanjeng Kyai Nagawilaga Dari Persemayamannya.
3. Pemukulan Gamelan Pusaka, Kanjeng Kyai Sekati, Di Dalam Kraton Yogyakarta, Tepatnya Di
Bangsal Ponconiti Tratag Barat Dan Timur.
4. Penyebaran Udhik-Udhik Oleh Sri Sultan Pada Saat Pemukulan Gamelan, Baik Untuk Pengunjung
Maupun Untuk Para Pemukul Gamelan.
5. Pemindahan Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Dari Kraton Ke Masjid Besar.
6. Pemukulan Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Di Masjid Besar.
7. Kehadiran Sri Sultan Ke Masjid Besar Untuk Mengikuti Upacara Peringatan Hari Besar Mulud Nabi
Muhammad Saw.
8. Penyebaran Udhik-Udhik Oleh Sri Sultan Untuk Para Pemukul Gamelan Kanjeng Kyai Sekati.

9. Penyebaran Udhik-Udhik Oleh Sri Sultan Di Antara Saka Guru (Tiang Utama) Masjid Besar.
10.Pembacaan Riwayat Nabi Muhammad Saw.
11. Penyematan Bunga Kanthil (Cempaka) Pada Daun Telinga Kanan Sri Sultan Pada Saat Pembacaan
Riwayat Nabi Muhammad Saw Sampai Pada Asrokal (Semacam Bacaan Berjanji).
12.Kembalinya Sri Sultan Dari Masjid Besar Ke Kraton.
13.Kembalinya Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Dari Masjid Besar Ke Persemayamannya Di Dalam

Kraton.
Urutan Atau Tata Cara Ritual Dalam Penyelenggaraan Upacara Sekaten Terdiri Dari 5 Tahapan, Yaitu
Tahap Persiapan, Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan, Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan Ke
Halaman Masjid Besar, Tahap Sri Sultan Hadir Di Masjid Besar, Dan Tahap Kondur Gongsa. Seluruh
Tahapan Ini Berlangsung Selama Tujuh Hari.
1. Tahap Persiapan
Tahap Pertama Adalah Tahap Persiapan. Ada 2 Jenis Persiapan, Yaitu Persiapan Fisik Dan Persiapan
Non Fisik. Persiapan Fisik Berwujud Benda-Benda Dan Perlengkapan-Perlengkapan Yang Diperlukan
Dalam Penyelenggaraan Upacara, Sedangkan Persiapan Non Fisik Berwujud Sikap Dan Perbuatan Yang
Harus Dilakukan Sebelum Pelaksanaan Upacara.
Untuk Persiapan Non Fisik, Para Abdi Dalem Yang Akan Terlibat Dalam Upacara Harus
Mempersiapkan Diri, Terutama Mental Mereka Untuk Mengemban Tugas Yang Dianggap Sakral Tersebut.
Para Abdi Dalem Yang Bertugas Menabuh Gamelan Sekaten Harus Menyucikan Diri Dengan Berpuasa Dan
Siram Jamas (Mandi Keramas). Gamelan Pusaka Adalah Benda Pusaka Kraton, Sehingga Dalam
Memperlakukannya Harus Dengan Penghormatan Yang Khusus.
Untuk Persiapan Yang Berwujud Fisik, Benda-Benda Dan Perlengkapan-Perlengkapan Yang Perlu
Diperlukan Dalam Penyelenggaraan Upacara Adalah Sebagai Berikut.
1. Gamelan Sekaten, Yaitu Gamelan Pusaka Bernama Kanjeng Kyai Sekati.
2. Perbendaharaan Lagu-Lagu Atau Gending-Gending Khusus Yang Tidak Pernah Dibunyikan Pada
Acara Lain. Konon, Lagu-Lagu Tersebut Merupakan Ciptaan Walisanga Pada Jaman Kerajaan Demak. LaguLagu Tersebut Adalah Rambu Pathet Lima, Rangkung Pathet Lima, Lunggadhung Pelog Pathet Lima, AturAtur Pathet Nem, Andong-Andong Pathet Lima, Rendheng Pathet Lima, Jaumi Pathet Lima, Gliyung Pathet

Nem, Salatun Pathet Nem, Dhindhang Sabinah Pathet Nem, Muru Putih, Orang-Orang Pathet Nem, Ngajatun
Pathet Nem, Bayem Tur Pathet Nem, Supiatun Pathet Barang, Srundheng Gosong Pelog Pathet Barang.
3. Sejumlah Kepingan Uang Logam Untuk Disebarkan Dalam Upacara Udhik-Udhik.
4. Naskah Riwayat Mulud Nabi Muhammad Saw Yang Akan Dibacakan Oleh Kyai Pengulu Pada
Tanggal 11 Rabiulawal Malam.
5. Sejumlah Bunga Kanthil (Cempaka) Yang Akan Disematkan Pada Daun Telinga Kanan Sri Sultan
Dan Para Pengiringnya Pada Saat Menghadiri Pembacaan Riwayat Mulud Nabi Muhammad Saw.
6. Busana Seragam Yang Masih Baru Dan Sejumlah Samir Khusus Untuk Dipakai Oleh Para Niaga
Yang Bertugas Menabuh Gamelan.
2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan

Tahap Kedua Adalah Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan. Gamelan Sekaten Akan Dibunyikan
Di Dalam Kraton, Tepatnya Di Bangsal Ponconiti Yang Berada Di Halaman Kemandhungan Atau Keben,
Yaitu Di Tratag Bagian Timur Dan Tratag Bagian Barat. Pada Pukul 16.00 Wib Gamelan Kanjeng Kyai
Guntur Madu Dan Kanjeng Kyai Nagawilaga Dikeluarkan Dari Tempat Persemayamannya. Kanjeng Kyai
Guntur Madu Ditata Di Tratag Bagian Timur, Sedangkan Kanjeng Kyai Nagawilaga Ditata Di Tratag Bagian
Barat.
Selepas Waktu Shalat Isya Dan Setelah Semua Persiapan Selesai, Para Abdi Dalem Yang Bertugas Di
Bangsal Ponconiti Memberi Laporan Pada Sri Sultan Bahwa Upacara Siap Dimulai. Setelah Ada Perintah
Dari Sri Sultan Melalui Abdi Dalem Yang Diutus, Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan. Gamelan Sekaten

Dibunyikan Mulai Dari Pukul 19.00 Wib Hingga Pukul 23.00 Wib. Penabuhan Gamelan Dilakukan
Berselang-Seling Dari Kanjeng Kyai Guntur Madu Disusul Kanjeng Kyai Nagawilaga Dengan Urutan
Gending Yang Sudah Ditentukan.
Pada Pukul 20.00 Wib, Sri Sultan Atau Utusannya Diiringi Para Pangeran, Kerabat, Dan Para Bupati
Datang Ke Tempat Gamelan Dibunyikan Untuk Menyebarkan Udhik-Udhik. Menurut Kepercayaan
Masyarakat, Kepingan Uang Logam Udhik-Udhik Dapat Membawa Keberuntungan, Kesejahteraan, Dan
Kebahagiaan Bagi Siapa Saja Yang Berhasil Mendapatkannya. Awalnya Udhik-Udhik Disebarkan Di
Bangsal Ponconiti Tratag Timur, Ke Arah Para Penabuh Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu, Kemudian Ke
Bangsal Ponconiti Tratag Barat, Ke Arah Para Penabuh Gamelan Kanjeng Kyai Nagawilaga, Selanjutnya
Disebarkan Ke Arah Pengunjung.
Pada Saat Sri Sultan Atau Utusannya Menyebar Udhik-Udhik, Para Pemukul Gamelan Tidak Berani
Mengambil, Melainkan Terus Melanjutkan Tugasnya Untuk Memukul Gamelan. Setelah Gending Yang
Dibunyikannya Berakhir, Barulah Mereka Berani Memunguti Udhik-Udhik Yang Jatuh Di Dekatnya. Saat
Sri Sultan Atau Yang Mewakili Datang Mendekat, Bunyi Gamelan Yang Didekati Dibuat Lembut Dengan
Dipukul Tidak Teerlalu Keras, Sampai Sultan Mendekati Tempat Tersebut. Dimulainya Penabuhan Gamelan
Pusaka Kanjeng Kyai Sekati Merupakan Pertanda Dimulainya Upacara Sekaten.
3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan Ke Halaman Masjid Besar
Tahap Selanjutnya Adalah Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan Ke Halaman Masjid Besar. Pada Pukul
23.00 Wib, Bunyi Gamelan Sudah Berhenti. Bersamaan Dengan Itu, Datanglah Para Prajurit Yang Akan
Bertugas Mengawal Iring-Iringan Gamelan Dari Kraton Menuju Halaman Masjid Besar, Serta Para Abdi

Dalem Khp Wahono Sarta Kriya Yang Akan Bertugas Mengusung Gamelan.
Pada Pukul 24.00 Wib, Gamelan Kanjeng Kyai Sekati Dipindahkan Dari Kraton Ke Halaman Masjid
Besar. Pemindahan Gamelan Dikawal Oleh Dua Pasukan Prajurit Kraton, Yaitu Prajurit Mantrijero Dan
Prajurit Ketanggung. Urut-Urutan Iring-Iringan Diawali Petugas Pengawal Kepolisian, Diikuti Para Panji
Abdi Dalem Prajurit, Disambung Abdi Dalem Sipat Bupati Keprajan Utusan Pemerintah Kota Yogyakarta,
Disambung Abdi Dalem Prajurit Ngurung-Urung (Melindungi Di Samping Kiri Dan Kanan) Jalannya IringIringan Gamelan, Diikuti Oleh Orang-Orang Yang Semula Berkerumun Di Halaman Kemandhungan.
Di Masjid Besar, Gamelan Sekaten Dibunyikan Selama 7 Hari 7 Malam, Kecuali Pada Hari Kamis
Malam Atau Malam Jumat Hingga Sehabis Shalat Jumat. Setiap Hari Gamelan Sekaten Dibunyikan
Sebanyak Tiga Kali, Yaitu Pagi (Pukul 08.00 – 11.00 Wib), Siang (Pukul 14.00 – 17.00 Wib), Dan Malam
(Pukul 20.00 – 23.00 Wib). Cara Membunyikannya Adalah Bergantian Dari Kanjeng Kyai Guntur Madu
Kemudian Kanjeng Kyai Nagawilaga, Dengan Gending Yang Sama.
4. Tahap Sri Sultan Hadir Di Masjid Besar
Pada Malam Ketujuh, Tanggal 11 Rabiulawal Malam Di Masjid Besar Diselenggarakan Pembacaan
Riwayat Nabi Muhammad Saw Dan Penyebaran Udhik-Udhik Oleh Sultan. Kehadiran Sultan Dari Kraton
Menuju Masjid Besar Dengan Mengendarai Kendaraan, Diiringi Oleh Para Pangeran Dan Kerabat. Di Pintu
Gerbang Masjid Besar, Sultan Disambut Sri Paduka Paku Alam, Kanjeng Raden Pengulu, Walikota
Yogyakarta, Dan Para Abdi Dalem Sipat Bupati Beserta Para Tamu Undangan. Sesampainya Di Halaman
Masjid Besar, Sultan Menuju Ke Pagongan Selatan Untuk Menyebarkan Udhik-Udhik Ke Arah Penabuh
Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu, Kemudian Menuju Ke Pagongan Utara Untuk Menyebarkan Udhik-


Udhik Ke Arah Penabuh Gamelan Kanjeng Kyai Nagawilaga. Selanjutnya Sultan Melanjutkan Perjalanan
Menuju Masjid.
Sesampainya Di Depan Mihrab, Sri Sultan Dan Kyai Pengulu Berdiri Di Depan Pengimamam
Menghadap Ke Arah Timur. Seorang Abdi Dalem Punokawan Kaji Menyerahkan Pada Sultan Sebuah Bokor
Berisi Udhik-Udhik Untuk Disebar Di Antara Saka Guru Masjid Besar Serta Ke Arah Kerabat, Para Abdi
Dalem, Beserta Para Hadirin. Setelah Itu, Sultan Keluar Dari Masjid Lalu Duduk Di Serambi Masjid Dengan
Beralaskan Kain Putih.
Setelah Semuanya Siap, Sultan Mengucapkan Salam, Lalu Memberi Isyarat Pada Kanjeng Raden
Pengulu Untuk Memulai Membacakan Riwayat Nabi Muhammad Saw. Pada Saat Pembacaan Mulud Nabi
Muhammad Saw Sampai Pada Asrokal (Peristiwa Kelahiran Nabi), Sri Sultan Beserta Para Pengiringnya
Menerima Persembahan Bunga Cempaka Dari Kyai Pengulu. Pembacaan Riwayat Mulud Nabi Muhammad
Saw Selesai Kira-Kira Pukul 24.00 Wib. Bacaan Diakhiri Dengan Doa Oleh Kanjeng Raden Pengulu.
Setelah Doa, Sultan Mengucapkan Salam Lalu Kembali Ke Kraton.
5. Tahap Kondur Gongso
Pada Tanggal 11 Rabiulawal, Kira-Kira Pukul 24.00 Wib, Setelah Sultan Meninggalkan Masjid Besar,
Gamelan Sekaten Diboyong Kembali Ke Kraton, Yang Disebut Kondur Gongso. Sesampainya Di Kraton,
Gamelan Langsung Disemayamkan Di Tempatnya Semula. Dengan Dipindahkannya Gamelan Pusaka
Kanjeng Kyai Sekati Kembali Ke Kraton, Menandakan Bahwa Upacara Sekaten Telah Selesai.
2. Masjid Agung Demak
Masjid

Agung
Atau Wali Songo.
Semarang, ± 25
Ini
Demak.

Demak Merupakan Masjid Tertua Di Pulau Jawa, Didirikan Wali Sembilan
Lokasi Masjid Berada Di Pusat Kota Demak, Berjarak ± 26 Km Dari Kota
Km Dari Kabupaten Kudus, Dan ± 35 Km Dari Kabupaten Jepara. Masjid
Merupakan Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Glagahwangi Bintoro

Struktur Bangunan Masjid Mempunyai Nilai
Historis Seni Bangun Arsitektur Tradisional Khas
Indonesia. Wujudnya Megah, Anggun, Indah,
Karismatik, Mempesona Dan Berwibawa. Kini
Masjid Agung Demak Difungsikan Sebagai Tempat
Peribadatan
Dan
Ziarah.
Penampilan Atap Limas Piramida Masjid Ini Menunjukkan Aqidah Islamiyah Yang Terdiri Dari Tiga

Bagian ; (1) Iman, (2) Islam, Dan (3) Ihsan. Di Masjid Ini Juga Terdapat “Pintu Bledeg”, Bertuliskan
“Condro Sengkolo”, Yang Berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, Dengan Makna Tahun 1388 Saka Atau 1466
M,
Atau
887
H.
Raden Patah Bersama Wali Songo Mendirikan Masjid Yang Karismatik Ini Dengan Memberi Gambar Serupa
Bulus. Ini Merupakan Candra Sengkala Memet, Dengan Arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti Yang Bermakna
Tahun
1401
Saka.
Gambar Bulus Terdiri Atas Kepala Yang Berarti Angka 1 (Satu), 4 Kaki Berarti Angka 4 (Empat), Badan
Bulus Berarti Angka 0 (Nol), Ekor Bulus Berarti Angka 1 (Satu). Dari Simbol Ini Diperkirakan Masjid
Agung Demak Berdiri Pada Tahun 1401 Saka. Masjid Ini Didirikan Pada Tanggal 1 Shofar.
Soko Majapahit, Tiang Ini Berjumlah Delapan Buah Terletak Di Serambi Masjid. Benda Purbakala Hadiah
Dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi Ini Diberikan Kepada Raden Fattah Ketika Menjadi Adipati
Notoprojo
Di
Glagahwangi
Bintoro

Demak
1475
M.
Pawestren, Merupakan Bangunan Yang Khusus Dibuat Untuk Sholat Jama’ah Wanita. Dibuat Menggunakan

Konstruksi Kayu Jati, Dengan Bentuk Atap Limasan Berupa Sirap ( Genteng Dari Kayu ) Kayu Jati.
Bangunan Ini Ditopang 8 Tiang Penyangga, Di Mana 4 Diantaranya Berhias Ukiran Motif Majapahit. Luas
Lantai Yang Membujur Ke Kiblat Berukuran 15 X 7,30 M. Pawestren Ini Dibuat Pada Zaman K.R.M.A.Arya
Purbaningrat, Tercermin Dari Bentuk Dan Motif Ukiran Maksurah Atau Kholwat Yang Menerakan Tahun
1866
M.
Surya Majapahit , Merupakan Gambar Hiasan Segi 8 Yang Sangat Populer Pada Masa Majapahit. Para Ahli
Purbakala Menafsirkan Gambar Ini Sebagai Lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit Di Masjid
Agung
Demak
Dibuat
Pada
Tahun
1401
Tahun
Saka,
Atau
1479
M.
Maksurah , Merupakan Artefak Bangunan Berukir Peninggalan Masa Lampau Yang Memiliki Nilai Estetika
Unik Dan Indah. Karya Seni Ini Mendominasi Keindahan Ruang Dalam Masjid. Artefak Maksurah
Didalamnya Berukirkan Tulisan Arab Yang Intinya Memulyakan Ke-Esa-An Tuhan Allah Swt. Prasasti Di
Dalam Maksurah Menyebut Angka Tahun 1287 H Atau 1866 M, Di Mana Saat Itu Adipati Demak Dijabat
Oleh
K.R.M.A.
Aryo
Purbaningrat.
Pintu Bledheg, Pintu Yang Konon Diyakini Mampu Menangkal Petir Ini Merupakan Ciptaan Ki Ageng Selo
Pada Zaman Wali. Peninggalan Ini Merupakan Prasasti “Condro Sengkolo” Yang Berbunyi Nogo Mulat
Saliro
Wani,
Bermakna
Tahun
1388
Saka
Atau
1466
M,
Atau
887
H.
Mihrab Atau Tempat Pengimaman, Didalamnya Terdapat Hiasan Gambar Bulus Yang Merupakan Prasasti
“Condro Sengkolo”. Prasasti Ini Memiliki Arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, Bermakna Tahun 1401 Saka
Atau 1479 M (Hasil Perumusan Ijtihad). Di Depan Mihrab Sebelah Kanan Terdapat Mimbar Untuk Khotbah.
Benda Arkeolog Ini Dikenal Dengan Sebutan Dampar Kencono Warisan Dari Majapahit.
Dampar Kencana , Benda Arkeologi Ini Merupakan Peninggalan Majapahit Abad Xv, Sebagai Hadiah Untuk
Raden Fattah Sultan Demak I Dari Ayahanda Prabu Brawijaya Ke V Raden Kertabumi. Semenjak Tahta
Kasultanan Demak Dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, Secara Universal Wilayah Nusantara
Menyatu Dan Masyhur, Seolah Mengulang Kejayaan Patih Gajah Mada.

Soko Tatal / Soko Guru Yang Berjumlah 4 Ini Merupakan
Tiang
Utama Penyangga Kerangka Atap Masjid
Yang
Bersusun Tiga. Masing-Masing Soko Guru
Memiliki Tinggi 1630 Cm. Formasi Tata
Letak Empat Soko Guru Dipancangkan
Pada
Empat

Penjuru
Angin.

Mata

Yang Berada Di Barat Laut Didirikan Sunan Bonang, Di Barat
Daya Karya Sunan Gunung Jati, Di Bagian Tenggara Buatan Sunan Ampel, Dan Yang Berdiri Di Timur Laut
Karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat Menamakan Tiang Buatan Sunan Kalijaga Ini Sebagai Soko
Tatal.
Situs Kolam Wudlu . Situs Ini Dibangun Mengiringi Awal Berdirinya Masjid Agung Demak Sebagai Tempat
Untuk Berwudlu. Hingga Sekarang Situs Kolam Ini Masih Berada Di Tempatnya Meskipun Sudah Tidak

Dipergunakan

Lagi.

Menara, Bangunan Sebagai Tempat Adzan Ini Didirikan Dengan Konstruksi Baja. Pemilihan Konstruksi
Baja Sekaligus Menjawab Tuntutan Modernisasi Abad Xx. Pembangunan Menara Diprakarsai Para Ulama,
Seperti Kh.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar,
Dan H.Moechsin.
3. Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (Disebut Juga Dengan Masjid Al Aqsa Dan Masjid Al Manar) Adalah Sebuah
Mesjid Yang Dibangun Oleh Sunan Kudus Pada Tahun 1549 Masehi Atau Tahun 956 Hijriah Dengan
Menggunakan Batu Baitul Maqdis Dari Palestina Sebagai Batu Pertama. Masjid Ini Terletak Di Desa
Kauman, Kecamatan Kota, Kabupateen Kudus, Jawa Tengah. Mesjid Ini Berbentuk Unik, Karena Memiliki
Menara Yang Serupa Bangunan Candi. Masjid Ini Adalah Perpaduan Antara Budaya Islam Dengan Budaya
Hindu.

Berdirinya Masjid Menara Kudus Tidak Lepas Dari Peran Sunan Kudus Sebagai Pendiri Dan
Pemrakarsa. Sebagaimana Para Walisongo Yang Lainnya, Sunan Kudus
Memiliki Cara Yang Amat Bijaksana Dalam Dakwahnya. Di Antaranya,
Beliau Mampu Melakukan Adaptasi Dan Pribumisasi Ajaran Islam Di
Tengah Masyarakat Yang Telah Memiliki Budaya Mapan Dengan
Mayoritas Beragama Hindu Dan Budha. Pencampuran Budaya Hindu
Dan Budha Dalam Dakwah Yang Dilakukan Sunan Kudus, Salah
Satunya Dapat Kita Lihat Pada Masjid Menara Kudus Ini.
Masjid Ini Didirikan Pada Tahun 956 H Atau 1549 M. Hal Ini Dapat Diketahui Dari Inskripsi
(Prasasti) Pada Batu Yang Lebarnya 30 Cm Dan Panjang 46 Cm Yang Terletak Pada Mihrab Masjid Yang
Ditulis Dalam Bahasa Arab. Menara Kudus Memiliki Ketinggian Sekitar 18 Meter Dengan Bagian Dasar
Berukuran 10 X 10 M. Di Sekeliling Bangunan Dihias Dengan Piring-Piring Bergambar Yang Kesemuanya
Berjumlah 32 Buah. Dua Puluh Buah Di Antaranya Berwarna Biru Serta Berlukiskan Masjid Manusia
Dengan Unta Dan Pohon Kurma. Sementara Itu, 12 Buah Lainnya Berwarna Merah Putih Berlukiskan
Kembang. Di Dalam Menara Terdapat Tangga Yang Terbuat Dari Kayu Jata Yang Mungkin Dibuat Pada
Tahun 1895 M. Bangunan Dan Hiasannya Jelas Menunjukkan Adanya Hubungan Dengan Kesenian Hindu
Jawa Karena Bangunan Menara Kudus Itu Terdiri Dari 3 Bagian: (1) Kaki, (2) Badan, Dan (3) Puncak
Bangunan. Menara Ini Dihiasi Pula Antefiks (Hiasan Yang Menyerupai Bukit Kecil).
Kaki Dan Badan Menara Dibangun Dan Diukir Dengan Tradisi Jawa-Hindu, Termasuk Motifnya.
Ciri Lainnya Bisa Dilihat Pada Penggunaan Material Batu Bata Yang Dipasang Tanpa Perekat Semen. Teknik
Konstruksi Tradisional Jawa Juga Dapat Dilihat Pada Bagian Kepala Menara Yang Berbentuk Suatu
Bangunan Berkonstruksi Kayu Jati Dengan Empat Batang Saka Guru Yang Menopang Dua Tumpuk Atap
Tajug.
Pada Bagian Puncak Atap Tajug Terdapat Semacam Mustaka (Kepala) Seperti Pada Puncak Atap
Tumpang Bangunan Utama Masjid-Masjid Tradisional Di Jawa Yang Jelas Merujuk Pada Unsur Arsitektur
Jawa-Hindu
4. Wayang

Dalam Pertunjukan Wayang, Kehadiran Semar, Petruk, Gareng, Dan Bagong Selalu Dinanti-Nanti Para
Penonton. Keempatnya Merupakan Karakter Khas Dalam Wayang Jawa (Punakawan).
Dalam
Wayang Golek Terdapat Peran Semar, Cepot, Dawala, Serta Gareng.
Punakawan Merupakan Karakter Yang Khas Dalam Wayang Indonesia.
Kehadiran Karakter Lokal Itu Melambangkan Orang Kebanyakan.
Karakternya Mengindikasikan Bermacam-Macam Peran,
Seperti Penasihat Para Kesatria, Penghibur, Kritik Sosial,
Badut, Bahkan Sumber Kebenaran Dan Kebijakan.
Pendekatan Ajaran Islam Dalam Kesenian Wayang Juga Tampak Dari NamaNama Tokoh Punakawan. Barangkali Tak Banyak Orang Yang Tahu Kalau Nama-Nama Tokoh Pewayangan,
Seperti Semar, Gareng, Petruk, Dan Bagong Sebenarnya Berasal Dari Bahasa Arab. Ada Yang Menyebutkan,
Semar Berasal Dari Kata Sammir Yang Artinya “Siap Sedia”. Namun, Ada Pula Yang Meyakini Bahwa Kata
Semar Berasal Dari Bahasa Arab Ismar. Menurut Orang Yang Berpendapat Ini, Lidah Orang Jawa Membaca
Kata Is- Menjadi Se-. Contohnya Seperti Istambul Dibaca Setambul. Ismar Berarti Paku. Tak Heran, Jika
Tokoh Semar Selalu Tampil Sebagai Pengokoh (Paku) Terhadap Semua Kebenaran Yang Ada. Ia Selalu
Tampil Sebagai Penasihat.
Lalu, Ada Yang Berpendapat, Gareng Berasal Dari Kata Khair Yang Bermakna Kebaikan Atau
Kebagusan. Versi Lain Meyakini, Nala Gareng Diadaptasi Dari Kata Naala Qariin. Orang Jawa
Melafalkannya Menjadi Nala Gareng. Kata Ini Berarti “Memperoleh Banyak Teman”. Dalam Laman
Wayang.Blogspot.Com Disebutkan, Hal Itu Sesuai Dengan Dakwah Para Aulia Sebagai Juru Dakwah Untuk
Memperoleh Sebanyak-Banyaknya Umat Agar Kembali Ke Jalan Allah Swt Dengan Sikap Arif Dan Harapan
Yang Baik.
Bagaimana Dengan Petruk? Ada Yang Berpendapat, Petruk Berasal Dari Kata Fatruk Yang Berarti
Meninggalkan. Selain Itu, Ada Juga Yang Berpendapat Kata Petruk Diadaptasi Dari Kata Fatruk-Kata
Pangkal Dari Sebuah Wejangan (Petuah) Tasawuf, “Fat-Ruk Kulla Maa Siwallaahi” (Tinggalkan Semua Apa
Pun Yang Selain Allah). Wejangan Itu, Menurut Tulisan Dalam Laman Wayang.Blogspot.Com, Menjadi
Watak Para Aulia Dan Mubalig Pada Waktu Itu. Petruk Juga Sering Disebut Kanthong Bolong, Artinya
Kantong Yang Berlubang. “Maknanya Bahwa Setiap Manusia Harus Menzakatkan Hartanya Dan
Menyerahkan Jiwa Raganya Kepada Allah Swt Secara Ikhlas, Seperti Berlubangnya Kantong Yang Tanpa
Penghalang,” Papar Tulisan Itu.
Sedangkan Bagong, Diyakini Berasal Dari Kata Bagho Yang Artinya Lalim Atau Kejelekan. Pendapat
Lainnya Menyebutkan, Bagong Berasal Dari Kata Baghaa Yang Berarti Berontak. Yakni, Berontak Terhadap
Kebatilan Dan Keangkaramurkaan. Dalam Pergelaran Wayang, Keempat Tokoh Punakawan Itu Selalu
Keluar Pada Waktu Yang Tak Bersamaan. Biasanya, Tokoh Semar Yang Dimunculkan Pertama Kali, Baru
Kemudian Diikuti Gareng, Petruk, Dan Terakhir Bagong. Secara Tak Langsung Urutan Tersebut
Menunjukkan Ajakan (Dakwah) Yang Diserukan Para Wali Zaman Dahulu Agar Meninggalkan Kepercayaan
Animisme, Dinamisme, Dan Kepercayaan-Kepercayaan Lain Menuju Ajaran Islam.
Jika Punakawan Ini Disusun Secara Berurutan, Semar, Gareng, Petruk, Dan Bagong, Secara Harfiah
Bermakna, “Berangkatkan Menuju Kebaikan, Maka Kamu Akan Meninggalkan Kejelekan.” Selain
Punakawan, Istilah-Istilah Lain Dalam Pewayangan Juga Banyak Berasal Dari Istilah Arab. Astina Yang
Diistilahkan Sebagai Nama Kerajaan Para Penguasa Yang Lalim, Diyakini Lebih Dekat Dengan Kata AsySyaithan. Rajanya, Duryudana, Lebih Dekat Dengan Kata Durjana. Setiap Orang Jahat (Durjana), Pasti Akan
Menemukan Kekalahan Dan Menjadi Teman Setan Di Neraka.
Ketika Seorang Dalam Memainkan Bala Astina Dalam Pentas Wayang, Mereka Selalu Ditempatkan Di
Sebelah Kiri Bersama-Sama Dengan Para Raksasa. Sedangkan Pandawa Lima Selalu Di Sebelah Kanan. Hal

Ini Menggambarkan Bahwa Yang Baik Dan Yang Buruk Itu Berbeda. Sementara Itu, Tokoh Pewayangan
Yang Dikenal Kuat, Perkasa, Dan Berjiwa Kesatria Adalah Bima. Ia Memiliki Kekuatan Yang Disebut Dodot
Bangbang Tulu Aji Dan Kuku Pancanaka. Kata Tulu Aji Bermakna Tiga Aji Atau Tiga Kekuatan. Maksud
Ajian Itu Adalah Bima Diselimuti Tiga Ilmu, Yaitu Iman, Islam, Dan Ihsan.
Sedangkan Kuku Pancanaka Merupakan Kekuatan Untuk Melengkapi Dodot Bangbang Tulu Aji. Kuku
Pancanaka Memiliki Arti Kekuatan Lima Waktu. Apabila Kedua Kekuatan Itu Digunakan, Merupakan
Simbolisasi Yang Berarti Apabila Telah Memiliki Iman, Islam, Dan Ihsan, Tak Akan Pernah Meninggalkan
Shalat Lima Waktu.
Kata Dalang Sendiri Diambil Dari Kata ‘Dalla’ Yang Berarti Menunjukkan Jalan Yang Benar. Demikian
Juga Kisah-Kisah Wayang Yang Dibuat Oleh Walisongo Kesemuanya Menampilkan Cerita Islami. Di
Antaranya Cerita Jimat Kalisada (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci, Petruk Jadi Raja, Dan Wahyu Hidayat
(Wahyu Petunjuk).
5. Serat Darmagandhul
Serat Darmagandhul Adalah Suatu Karya Sastra Jawa Baru Berbentuk Puisi Tembang Macapat Yang
Menceritakan Jatuhnya Majapahit Karena Serbuan Tentara Demak Yang Dibantu Oleh Walisongo.
Darmagandhul Ditulis Oleh Ki Kalamwadi, Dengan Waktu Penulisan Hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830
Jawa (Atau Sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, Sama Dengan 16 Desember 1900). Sebagian Ada Yang
Berpendapat Bahwa Pengarang Sesungguhnya Adalah Ronggowarsito Dengan Nama Samaran Kalamwadi,
Yang Dalam Bahasa Jawa Dapat Pula Berarti Kabar (Kalam) Yang Dirahasiakan (Wadi). Karya Ini Ditulis
Dalam Bentuk Dialog Yang Terjadi Antara Ki Kalamwadi Dan Muridnya Darmagandhul. Namun Teori Itu
Mudah Terbantah, Karena Ronggowarsito Telah Meninggal 29 Tahun Sebelumnya.
Dialog Diawali Dari Pertanyaan Darmagandhul Kepada Gurunya Mengenai Kapan Terjadinya
Perubahan Agama Di Jawa. Disebutkan Bahwa Ki Kalamwadi Kemudian Memberikan KeteranganKeterangan Berdasarkan Penjelasan Dari Gurunya, Yang Bernama Raden Budi. Cerita Dan Ajaran Yang
Diuraikan Oleh Ki Kalamwadi Memuat Berbagai Hal; Antara Lain Jatuhnya Kerajaan Majapahit, Berbagai
Peranan Walisongo Dan Tokoh-Tokoh Lainnya Pada Awal Masa Peralihan Majapahit-Demak, Topik-Topik
Dalam Ajaran Agama Islam, Serta Terjadinya Benturan Berbagai Budaya Baru Dengan Kepercayaan Lokal
Masyarakat Jawa Saat Itu.
Hampir Seluruh Isi Serat Darmagandul Merupakan Bentuk Turunan Dari Cerita Babad Yang Telah Ada
Sebelumnya. Kitab Yang Dimaksud Adalah Babad Kadhiri Yang Ditulis Pada Tahun 1832 Oleh Mas Ngabehi
Purbawijaya Dan Mas Ngabehi Mangunwijaya. Gwj. Drewes, Seorang Orientalis Belanda, Mengungkapkan
Bahwa Babad Kadhiri Menyediakan Tema Utama Dan Ide Bagi Penulisan Serat Darmagandul. [Butuh Rujukan]
Menurut Versi Krt Tandhanagara[1], Suluk Darmagandhul Memiliki 17 Pupuh Dalam 133 Halaman,
Dengan Perincian Sebagai Berikut:

Pupuh I
Pupuh Ii
Pupuh Iii
Pupuh Iv
Pupuh V
Pupuh Vi
Pupuh Vii
Pupuh Viii
Pupuh Ix
Pupuh X
Pupuh Xi
Pupuh Xii
Pupuh Xiii
Pupuh Xiv
Pupuh Xv
Pupuh Xvi
Pupuh Xvii

Dhandhanggula : 58 Bait
Asmaradana : 88 Bait
Dhandhanggula : 52 Bait
Pangkur : 86 Bait
Sinom : 43 Bait
Dhandhanggula : 42 Bait
Sinom : 63 Bait
Pangkur : 176 Bait
Asmaradana : 33 Bait
Dhandhanggula : 58 Bait
Mijil : 74 Bait
Kinanthi : 33 Bait
Megatruh : 37 Bait
Pocung : 25 Bait
Asmaradana : 21 Bait
Girisa : 15 Bait
Kinanthi : 41 Bait

6. Masjid Katangka

Masjid Al-Hilal Atau Lebih Dikenal Dengan Nama Masjid
Katangka Adalah Salah Satu Masjid Tertua Di Provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Dinamakan Masjid Katangka
Karena Berlokasi Di Kelurahan Katangka, Kecamatan
Somba Opu, Kabupaten Gowa. Selain Itu, Masjid Ini
Disebut Katangka, Karena Bahan Baku Dasar Dari Masjid
Tersebut Diyakini Diambil Dari Pohon Katangka.
Sebuah Prasasti Menginformasikan Bahwa Masjid Ini
Dibangun Pada Tahun 1603, Tetapi Beberapa Sejarawan
Meragukan Informasi Ini. Pendapat Lain Mengatakan Bahwa Masjid Dibangun Pada Awal Abad Ke-18.
Masjid Al Hilal Katangka Dulunya Merupakan Masjid Kerajaan Gowa. Letak Masjid Berada Di Sebelah Utara
Kompleks Makam Sultan Hasanuddin. Lokasi Makam Yang Diyakini Sebagai Tempat Berdirinya Istana
Tamalate, Istana Raja Gowa Ketika Itu. Sebuah Jalan Yang Dikenal Sebagai Batu Palantikang, Merupakan Jalan
Yang Sering Dilintasi Raja Dan Keluarga Menuju Masjid.
Masjid Katangka Didirikan Di Atas Lahan Sekitar 150 Meter Persegi. Masjid Ini Memiliki Ciri Khas Seperi
Memiliki Satu Kubah, Atap Dua Lapis Menyerupai Bangunan Joglo. Bangunan Ini Juga Memiliki Empat Tiang
Penyangga, Yang Berbentuk Bulat Dan Memiliki Ukuran Yang Besar Dibagian Tengah. Jendela Masjid Ini
Berjumlah Enam Serta Memiliki Lima Pintu. Atap Dua Lapis Berarti Dua Kalimat Syahadat, Empat Tiang
Berarti Empat Sahabat Nabi, Jendela Bermakna Rukun Iman Ada Enam Dan Lima Pintu Bermakna Rukun
Islam.
Bagian Kubah Dipengaruhi Oleh Arsitektur Jawa Dan
Lokal, Tiang Dipengaruhi Oleh Budaya Eropa,
Sedangkan Bagian Mimbar Sangat Kental Dengan
Pengaruh Kebudayaan China, Ini Terlihat Pada Atap
Mimbar Yang Mirip Bentuk Atap Klenteng. Di Sekitar
Mimbar Juga Masih Terpasang Keramik Dari Cina Yang
Konon Dibawa Oleh Salah Satu Arsiteknya Yang
Berasal Dari Sana.
Ciri Khas Lainnya, Dan Ini Terjadi Di Hampir Seluruh
Bangunan Kuno Adalah Pada Bagian Dinding Yang
Terbuat Dari Batu Bata Itu Cukup Tebal, Yakni
Mencapai 120 Sentimeter (Cm). Penyebab Utamanya
Karena Masjid Ini Juga Pernah Dijadikan Sebagai Benteng Pertahanan Saat Raja Gowa Melawan Penjajah.
Masjid Ini Telah Mengalami Enam Kali Renovasi. Pertama Pada Tahun 1816, Atau Pada Masa Raja Gowa Xxx
Atas Nama Sultan Abd Rauf. Kemudian Pada 1884, Yang Dilakukan Oleh Raja Gowa Xxxii, Sultan Abd Kadir.
Berturut-Turut Kemudian Pada Tahun 1963 Oleh Gubernur Sulsel, Tahun 1971 Oleh Kanwil Dikbud Sulsel,
Tahun 1980, Swaka Sejarah Dan Purbakala Sulsel Dan Terakhir Tahun 2007. Pada Renovasi Terakhir, Itu
Dilakukan Atas Swadaya Dari Pengurus Masjid Dan Bantuan Dari Masyarakat.

7. Pemakaman Imogiri

Permakaman Imogiri, Pasarean Imogiri, Atau
Pajimatan Girirejo Imogiri Merupakan
Kompleks Permakaman Yang Berlokasi Di
Imogiri, Imogiri, Bantul, Di Yogyakarta.
Permakaman Ini Dianggap Suci Dan Kramat
Karena
Yang
Dimakamkan
Disini
Merupakan Raja-Raja Dan Keluarga Raja
Dari Kesultanan Mataram. Permakaman
Imogiri Merupakan Salah Satu Objek Wisata
Di Bantul. Makam Imogiri Dibangun Pada
Tahun 1632 Oleh Sultan Mataram Iii Prabu
Hanyokrokusumo Yang Merupakan Keturunan Dari Panembahan Senopati Raja Mataram I. Makam Ini Terletak
Di Atas Perbukitan Yang Juga Masih Satu Gugusan Dengan Pegunungan Seribu.
Ketika Sinuhun Hanyokrowati (Sinuhun Sedo Krapyak) Meninggal, Maka Puteranya Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Anom Pada Waktu Sedo Itu Sedang Pergi Tirakat Ke Pegunungan Selatan. Sehingga Sebagai Wakil
Pemegang Pemerintahan Ialah Gusti Pangeran Martopuro. Sesudah Setahun Lamanya Ia Bertirakat, Maka Ia
Pulang Dari Pegunungan Tersebut Sebab Sudah Sedikit Lama Dicari-Cari Oleh Penghulu Katangan, Tapi
Sebelum Menjadi Penghulu. Pada Tahun 1627, Ia Masuk Ke Kerajaan Dan Pemegang Kekuasaan Mataram Saat
Itu Ialah Prabu Hanyokrokusumo.
Sesudah Itu Pangeran Martopuro Pergi Meninggalkan Kerajaan Menuju Ponorogo. Atas Permintaan Rakyat
Maka Wakil Dari Pangeran Adipati Anom, Yaitu Pangeran Purboyo Memerintahkan Penghulu Ketegan Untuk
Mencari Pangeran Adipati Anom.
Akhirnya Terdapatlah Pangeran Adipati Anom Sedang Bertapa Di Gunung Kidul, Kemudian Ia Dibawa Pulang
Ke Kerajaan.
Sesudah Itu, Pangeran Adipati Anom Diangkat Menjadi Raja Kerajaan Mataram. Ia Adalah Raja Yang Cerdik
Dan Pandai Sehingga Rakyatnya Maupun Makhluk Halus Serta Jin Takluk Dan Tunduk Atas Kekuasaannya
Dan Negeri Mataram Terkenal Sebagai Pelindung Penyakit.
Karena Bijaksananya, Maka Setiap Hari Jumat, Ia Dapat Pergi Sujud Ke Mekkah Dengan Secepat Kilat.
Sesudah 5 Tahun Ia Memerintah, Kerajaannya Dipindahkan Ke Kerta-Plered Dan Selanjutnya Kanjeng Sultan
Ingin Memulai Membuat Makam Di Pegunungan Girilaya Yang Terletak Di Sebelah Timur Laut Imogiri Yang
Dipergunakan Sebagai Makam Raja. Tetapi Sebelum Makam Itu Selesai, Pamannya Yaitu Gusti Pangeran
Juminah Lebih Dulu Mengajukan Permintaan. Kemudian Sinuhun Merasa Kecewa.
Tidak Lama Kemudian, Pamannya Meninggal Seketika. Sesudah Pamannya Meninggal, Kanjeng Sultan Agung
Melemparkan Pasir Yang Berasal Dari Mekkah Yang Akhirnya Pasir Tersebut Jatuh Di Pegunungan Merak Dan
Seterusnya Sinuhun Segera Membuat Makam Raja Di Pegunungan Yang Besar Dan Tinggi Tersebut.


Permakaman Imogiri Pada Tahun 1890



Sultan Agung Pada Tahun 1890

Bagian-Bagian Makam Imogiri

Peta Permakaman Imogiri
Tangga Pemakaman
Sebelum Memasuki Makam Raja, Terdapat Banyak Anak
Tangga Yang Lebarnya Sekitar 4 Meter Dengahn
Kemiringan
45
Derajat Yang
Menghubungkan
Permukiman Dengan Makam. Anak Tangga Di
Permakaman Imogiri Berjumlah 409 Anak Tangga.
Menurut Mitos Yang Dipercayai Oleh Sebagian
Masyarakat, Jika Pengunjung Berhasil Menghitung
Jumlah Anak Tangga Dengan Benar, Maka Semua
Keinginannya Akan Terkabul. Sebagian Anak Tangga
Memiliki Arti Tertentu, Yaitu:


Anak Tangga Dari Permukiman Menuju Daerah Dekat Masjid Berjumlah 32 Anak Tangga. Jumlah
Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa Makam Imogiri Dibangun Pada Tahun 1632.



Anak Tangga Dari Daerah Dekat Masjid Menuju Pekarangan Masjid Berjumlah 13 Anak Tangga.
Jumlah Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa Sultan Agung Diangkat Sebagai Raja Mataram Pada
Tahun 1613.



Anak Tangga Dari Pekarangan Masjid Menuju Tangga Terpanjang Berjumlah 45 Anak Tangga. Jumlah
Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa Sultan Agung Wafat Pada Tahun 1645.



Anak Tangga Terpanjang Berjumlah 346 Anak Tangga. Jumlah Anak Tangga Ini Melambangkan Bahwa
Makam Imogiri Dibangun Selama 346 Tahun.



Anak Tangga Di Sekitar Kolam Berjumlah 9 Anak Tangga. Jumlah Anak Tangga Ini Melambangkan
Walisongo

8. Gending Jawa
Sunan Bonang Mempunyai Nama Lain Yaitu Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau Di Lahirkan
Paada Tahun 1465 M Di Surabaya Dan
Wafat Pada Tahun 1525 M. Makamnya Berada
Di Tuban , Jawa Timur . Sunan Bonang
Adalah Putra Dari Raden Rahmat ,
Beliau Saudara Sepupu Dengan Dari
Sunan
Drajat.
Metode Dakwah Sunan Bonang
Melalui Pendekatan Kemasyarakatan ,
Yaitu Menyesuikan Dengan Budaya
Masyarakat Setempat. Beliau Tahu Bahwa Orang-Orang
Jawa Yang Sangat Senang Pada Wayang Dan Musik
Gamelan. Maka Beliau Menggunakan
Wayang Dan Gamelan Sebagai Media Dakwah. Sunan Bonang Di Anggap Sebagai Perintis Dan
Pencipta Gending Jawa Yang Pertama.
9. Suluk Linglung (Sunan Kalijaga)
Suluk Linglung Sunan Kalijaga Adalah Salah Satu Karya Sastra Yang Di Gubah Oleh Iman Anom,
Seorang Pujangga Dari Surakarta Yang Merupakan Keturunan Sunan Kalijaga. Waktu Penulisan Suluk
Linglung Adalah Sesuai Sengkalan Yang Tertulis Di Dalamnya Yaitu “Ngerasa Sirna Sarira Ji”, Yang
Artinya Berangka Tahun 1806 Saka (1884 M). Suluk Linglung Ini Di Sadur Dari Kitab Duryat Dan

Berisikan Tentang Perjalanan Serta Ajaran-Ajaran Sunan Kalijaga Dalam Menggapai Makna Hakikat
Hidup Dan Kehidupan. Kitab Duryat Adalah Kitab Kuno Yang Di Warisi Dan Di Simpan Turun
Temurun Oleh Keturunan Sunan Kalijaga Yang Berisi Ajaran-Ajaran Sunan Kalijaga (Adalah R.Ay.
Supratini Mursidi, Salah Satu Anak Keturunan Ke-14 Dari Sunan Kalijaga Yang Merupakan Pewaris
Kitab Duryat Saat Ini).Ini Sesuai Dengan Informasi Di Suluk Linglung Sebagi Berikut:
“Jumadilawwal Puruning Nulis, Isnen Kliwon Tanggal Ping Pisan, Tahun Je Mangsa Destone, Nenggih
Sengkalanipun, “Ngerasa Sirna Sarira Ji”, Turunan Saking Kitab, Duryat Kang Linusur, Sampun Kirang
Pangaksama, Ingkang Maca Kitab Niki Sampun Kenging, Kula Den Apuntena.” (Bulan Jumadilawwal
Mulai Menarika Pena, Senin Kliwon Tanggal Pertama, Tahun Je Saat Orang Menuai Padi, Prasasti
Penulisan, “Ngerasa Sirna Sarira Ji”, Disadur Dari Buku Duryat Yang Masyhur, Maka Mohon
Pengertiannya,
Bagi
Pembaca
Buku
Ini
Agar
Sudi,
Memberikan
Maaf)
“Kapincut Ingkang Anulis, Denira Mirsa Carita, Duk Kina Iku Wartane, Jeng Suhunan Kalijaga, Rikala
Mrih Wekasan, Anggeguru Kang Wus Luhur, Anepi Dhukuh Ing Benang.” (Penulis Sangat Tertarik,
Akan Cerita Yang Ia Dengar, Pada Zaman Dulu Ada Sebuah Kisah, Kanjeng Sunan Kalijaga, Ketika
Mencari Hakikat Hidup, Berguru Kepada Orang Yang Tinggi Ilmunya, Bersunyi Diri Di Desa Benang)
Suluk Linglung Tersebut Kemudian Ditransliterasikan Ke Dalam Huruf Latin Dan Di Terjemahkan
Kedalam Bahasa Indonesia Oleh Drs Muhammad Khafid Kasri, Pengasuh Ponpes Subulus Salam
Demak. Suluk Linglung Memiliki Kemiripan Cerita Dengan Serat Dewo Ruci Yang Sudah Di Kenal
Luas Di Masyarakat Dan Sering Menjadi Lakon Cerita Wayang.
Konon Filsafat Cerita Wayang Dari Serat Dewo Ruci Ini Juga Berasal Dari Sunan Kalijaga Yang Memang
Dahulu Salah Dakwahnya Menggunakan Wayang. Yang Berbeda Adalah Suluk Linglung Selain
Membicarakan Hakikat Kehidupan, Juga Menekankan Tauhid Pelaksaaan Syari’at Islam Berupa Shalat,
Zakat, Puasa Dan Haji.
Sedangkan
Serat
Dewo
Ruci
Tidak
Membicarakannya.
Yang Jelas Sunan Kalijaga Adalah Seorang Wali Dan Mubaligh Islam Dan Pastinya Tidak Meremehkan
Syari’at, Sehingga Pembenaran Sebagian Orang Yang Menjadikan Serat Dewo Ruci Sebagai Rujukan Kitab
Atau Ajaran Untuk Meraih “Ilmu Kasampurnan” Dan Mengaku Sampai Hakikat Maupun Makrifat Tapi
Tidak Melakukan Syari’at Adalah Tidak Benar. Tidak Ada Hakikat Dan Makrifat Tanpa Syari’at, Bahkan
Nabi Muhammad Dan Sahabatnya Yang Berjuang Bersama Beliau Juga Menjalankan Syari’at Dengan
Konsisten
10. Tahlilan
Tahlilan Masih Membudaya, Sehingga Istilah "Tahlilan" Dikonotasikan Memperingati Dan Mendo'akan
Orang Yang Sudah Meninggal. Tahlilan Dilakukan Bukan Sekadar Kumpul-Kumpul Karena Kebiasaan
Zaman Dulu. Generasi Sekarang Tidak Lagi Merasa Perlu Dan Sempat Untuk Melakukan Kegiatan
Sekadar Kumpul-Kumpul Seperti Itu. Jika Pun Tahlilan Masih Diselenggarakan Sampai Sekarang, Itu
Karena Setiap Anak Pasti Menginginkan Orangtuanya Yang Meninggal Masuk Sorga. Sebagaimana
Diketahui Oleh Semua Kaum Muslim, Bahwa Anak Saleh Yang Berdoa Untuk Orangtuanya Adalah Impian
Semua Orang, Oleh Karena Itu Setiap Orangtua Menginginkan Anaknya Menjadi Orang Yang Saleh Dan
Mendoakan Mereka. Dari Sinilah, Keluarga Mendoakan Mayit, Dan Beberapa Keluarga Merasa Lebih
Senang Jika Mendoakan Orangtua Mereka Yang Meninggal Dilakukan Oleh Lebih Banyak
Orang(Berjama'ah). Maka Diundanglah Orang-Orang Untuk Itu, Dan Menyuguhkan(Sodaqoh) Sekadar
Suguhan Kecil Bukanlah Hal Yang Aneh, Apalagi Tabu, Apalagi Haram. Suguhan(Sodaqoh) Itu Hanya
Berkaitan Dengan Menghargai Tamu Yang Mereka Undang Sendiri. Maka, Jika Ada Anak Yang Tidak
Ingin Atau Tidak Senang Mendoakan Orangtuanya, Maka Dia (Atau Keluarganya) Tidak Akan
Melakukannya, Dan Itu Tidak Berakibat Hukum Syareat. Tidak Makruh Juga Tidak Haram. Anak Seperti
Ini Pasti Juga Orang Yang Yang Tidak Ingin Didoakan Jika Dia Telah Mati Kelak.
Kegiatan Ini Bukan Kegiatan Yang Diwajibkan. Orang Boleh Melakukannya Atau Tidak. Tahlilan
Bukanlah Kewajiban, Dan Adalah Dusta Dan Mengada-Ada Jika Tahlilan Ini Dihitung Sebagai Rukun.
Tahlilan Adalah Pilihan Bebas Bagi Setiap Orang Dan Keluarga Berkaitan Dengan Keinginan Mendoakan

Orangtua Mereka Ataukah Tidak. Tahlilan Juga Bukanlah Kegiatan Yang Harus Dilakukan Secara
Berkumpul-Kumpul Di Rumah Duka Dan Oleh Karenanya Dituduhkan Membebani Tuan Rumah. Tahlilan
Itu Mendoakan Mayit Dan Itu Bisa Dilakukan Sendiri-Sendiri Atau Berjamaah, Di Satu Tempat Yang Sama
Atau Di Mana-Mana. Menuduhkan Tahlil Sebagai Bid'ah Adalah Mengada-Ada Dan Melawan Keyakinan
Kaum Muslim Bahwa Anak Saleh Yang Berdoa Untuk Orangtuanya Adalah Cita-Cita Setiap Orang.

11.

Tradisi Megengan Di Jawa

Tradisi Megengan Memang Sangat Khas Jawa. Tradisi Ini Biasanya Dilaksanakan Menjelang Puasa. Jika Saya
Menulis Mengenai Tradisi Ini Sekarang, Tentu Dengan Maksud Bahwa Islam Jawa Memang Memiliki Sekian
Banyak Tradisi Yang Khas Dalam Implementasi Islam. Tradisi Ini Sungguh-Sungguh Merupakan Tradisi
Indigenius Atau Khas, Yang Tidak Dimiliki Oleh Islam Di Tempat Lain. Tradisi Ini Ditandai Dengan Upacara
Selamatan Ala Kadarnya Untuk Menandai Akan Masuknya Bulan Puasa Yang Diyakini Sebagai Bulan Yang
Suci Dan Khusus.
Sama Dengan Tradisi-Tradisi Lain Di Dalam Islam Jawa, Maka Tradisi Ini Juga Tidak Diketahui Secara Pasti
Siapa Yang Menciptakan Dan Mengawali Pelaksanaannya. Tetapi Tentu Ada Dugaan Kuat Bahwa Tradisi Ini
Diciptakan Oleh Walisanga Khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga. Memang Hal Ini Baru Sebatas Dugaan, Namun
Mengingat Bahwa Kreasi-Kreasi Tentang Islam Jawa Terutama Yang Menyangkut Tradisi-Tradisi Baru
Akulturatif Yang Bervariatif Tersebut Kebanyakan Datang Dari Pemikiran Kanjeng Sunan Kalijaga, Maka
Kiranya Dugaan Ini Pun Bisa Dipertanggungjawabkan.
Megengan Secara Lughawi Berarti Menahan. Misalnya Dalam Ungkapan Megeng Nafas, Artinya Menahan
Nafas, Megeng Hawa Nafsu Artinya Menahan Hawa Nafsu Dan Sebagainya. Di Dalam Konteks Puasa, Maka
Yang Dimaksud Adalah Menahan Hawa Nafsu Selama Bulan Puasa. Secara Simbolik, Bahwa Upacara
Megengan Berarti Menjadi Penanda Bahwa Manusia Akan Memasuki Bulan Puasa Sehingga Harus Menahan
Hawa Nafsu, Baik Yang Terkait Dengan Makan, Minum, Hubungan Seksual Dan Nafsu Lainnya. Dengan
Demikian, Megeng Berarti Suatu Penanda Bagi Orang Islam Untuk Melakukan Persiapan Secara Khusus Dalam
Menghadapi Bulan Yang Sangat Disucikan Di Dalam Islam. Para Walisanga Memang Mengajarkan Islam
Kepada Masyarakat Dengan Berbagai Simbol-Simbol. Dan Untuk Itu Maka Dibuatlah Tradisi Untuk
Menandainya, Yang Kebanyakan Adalah Menggunakan Medium Slametan Meskipun Namanya Sangat
Bervariasi.
Nafas Islam Memang Sangat Kentara Di Dalam Tradisi Ini. Dan Sebagaimana Diketahui Bahwa Islam Memang
Sangat Menganjurkan Agar Seseorang Bisa Menahan Hawa Nafsu. Manusia Harus Menahan Nafsu Amarah,
Nafsu Yang Digerakkan Oleh Rasa Marah, Egois, Tinggi Hati, Merasa Benar Sendiri Dan Menang Sendiri.
Nafsu Amarah Adalah Nafsu Keakuan Atau Egoisme Yang Paling Sering Meninabobokan Manusia. Setiap
Orang Memiliki Sikap Egoistik Sebagai Bagian Dari Keinginan Untuk Mempertahankan Diri. Namun Jika
Nafsu Ini Terus Berkembang Tanpa Dikendalikan, Maka Justru Akan Menyesatkan Karena Seseorang Akan
Jatuh Kepada Sikap ”Sopo Siro Sopo Ingsung” Atau Sikap Yang Menganggap Dirinya Paling Hebat, Sedangkan
Yang Lain Tidak Sama Sekali. Nafsu Amarah Merupakan Simbolisasi Dari Sifat Egoisme Manusia Dalam
Berhadapan Dengan Manusia Atau Ciptaan Tuhan Lainnya. Kemudian Nafsu Lawwamah Atau Nafsu Biologis
Atau Nafsu Fisikal, Yaitu Nafsu Yang Menggerakkan Manusia Untuk Sebagaimana Binatang Yang Hanya
Mementingkan Nafsu Biologisnya Saja Atau Pemenuhan Kebutuhan Fisiknya Saja. Nafsu Ini Memang Penting
Sebab Tanpa Nafsu Ini Maka Manusia Tidak Akan Mungkin Untuk Mengembangkan Diri Dan Keluarganya.
Manusia Butuh Makan, Minum, Berharta, Dan Sebagainya. Namun Jika Hanya Ini Yang Dikejar Maka Manusia
Akan Jatuh Ke Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisiknya Saja Tanpa Mengindahkan Kebutuhan Lainnya Yang
Juga Penting. Maka Yang Menjadi Penyeimbang Di Antara Kebutuhan Egoistik Dan Biologis Tersebut Adalah
Nafsu Mutmainnah, Yaitu Nafsu Keberagamaan Atau Etis Yang Mendasarkan Semua Tindakan Berbasis Agama.
Nafsu Mutmainnah Inilah Yang Akan Mengantarkan Manusia Agar Sampai Kepada Tuhannya. Sebagaimana
Dinyatakan Di Dalam Al-Qur’an: ”Irji’i Ila Rabbiki Radliyatan Mardliyah, Fadkhuli Fi ’Ibadi Fadkhuli
Jannati”, Yang Artinya Kurang Lebih Adalah ”Kembalilah Kepada Tuhan Dengan Ridla Dan Diridlai, Masuklah

Ke Dalam Hambaku Dan Masuklah Ke Dalam Surgaku.” Ayat Ini Menegaskan Bahwa Yang Bisa Menjadi
Hamba Allah Dan Bisa Memasuki Surganya Adalah Hambanya Yang Diridlai Karena Telah Memasuki Nafsu
Mutmainnah. Dengan Demikian, Islam Mengajarkan Bahwa Melalui Kemampuan Untuk Menahan Nafsu
Amarah Dan Lawwamah Dan Berikutnya Mengembangkan Nafsu Mutmainnah, Maka Manusia Akan Selamat
Di Dalam Kehidupannya.
Memang Para Walisanga Mengajarkan Islam Melalui Simbol-Simbol Budaya. Hanya Sayangnya Bahwa Yang
Ditangkap Oleh Masyarakat Islam Hanyalah Simbolnya Belaka. Padahal Jika Yang Ditangkap Itu Tidak Hanya
Simbolnya Tetapi Juga Substansinya, Maka Sesungguhnya Ada Pesan Moral Yang Sangat Mendasar. Misalnya
Tradisi Megengan Dan Colokan Tersebut. Secara Substansial Merupakan Simbolisasi Bahwa Puasa Adalah Hari
Di Mana Seseorang Harus Menahan Nafsu Dan Terus Dicolok Agar Jangan Sampai Keliru Dalam Melakukan
Tindakan Di Bulan Puasa.
Dengan Demikian, Berbagai Macam Tradisi Yang Berkembang Dan Hidup Di Dalam Masyarakat –Khususnya
—Masyarakat Jawa Jangan Dipandang Dari Sudut Asli Atau Tidak Ketidakaslian Ajaran Islam, Tetapi Marilah
Dibaca Bahwa Memang Ada Varian-Varian Di Dalam Mengekspresikan Islam Itu Melalui Tradisi Yang
Dikonstruksi Oleh Mereka Sendiri.