Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan yang Dilakukan Dengan Basis Rasisme

39

BAB II
PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA
A. Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami
perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para
ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal
yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi
meningkatkan kesejahteraan di masa depan. 35
Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana masih dikuasai paham
absolutisme pada zaman ancient regime, penguasa merumuskannya secara politis
dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar
kekuasaan sewenang-wenang dimungkinkan. Pada masa revolusi Perancis,
merupakan awal perubahan hukum pidana yang disusun secara sistematis.
Perubahan tersebut menuju pada pola pendekatan sosial dan menganggap
kejahatan sebagai gejala sosial. Munculah kelompok aliran hukum pidana dengan
klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis. 36
Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum
pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya,

bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan
pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan
aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan

35M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System
&Impelementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 1
36
Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 8

Universitas Sumatera Utara

40

eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi
tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana
dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain
perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu
perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses
kriminalisasi, Kriminalisasi, menurut Sudarto, 37 dapat diartikan sebagai proses
penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini

diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam
dengan suatu sanksi berupa pidana.
Dalam hubungan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan 38bahwa kebijakan
untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat
dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan perngertian
penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, 39adalah usaha untuk
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum (khusunya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum
pidana merupakan kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi
menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan
peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari politik sosial.

37Sudarto,

Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39-40.
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30.
39Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan

Kejahatan), Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 84
38 Barda

Universitas Sumatera Utara

41

Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat. 40
Dari uraian di atas tampaknya terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu
diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam
tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 41
Teori-teori criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan
dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang
faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas
sekali. 42
Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan

yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”. 43
Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem
pembangunan harus dilihat dalam riga kerangka, yaitu sturktur, substansi, dan
kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan.Substansi
adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari

40 M.

Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban
Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal. 18.
41Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hal. 24.
42Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta,
1983, hal. 55
43Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 255.

Universitas Sumatera Utara


42

sistem itu. Kemudian kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis
yang mendasari sistem.

44

Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai

pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis,
yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek)
sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan
merugikan masyarakat itu sendiri.
Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela,
yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan
perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, 45ini disebut legalitas dalam hukum pidana.
Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan normanorma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan
mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi
pihak lain. Dengan demikian, tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan
hukum pidana (perumusan delik) mempunyai hubungan yang saling mengait.

Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum
pidana adalah melayani tegaknya tertib hukum dalam suatu Negara. 46
Dalam mengkaji politik hukum pidana, maka hal ini terkait dengan politik
hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut
Sudarto, 47istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu:

44Teguh
45ibid.

Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 4
hal. 5.

46Ibid.
47Sudarto,

op. cit, hal. 16

Universitas Sumatera Utara

43


1.

Perkataan

politiek

dalam

bahasa

Belanda

berarti

sesuatu

yang

berhubungan dengan Negara;

2.

berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan
Negara.
Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan

yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata
seperti politik ekonomi, politik criminal, politik hukum, dan politik hukum
pidana.
Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud

48

menjelaskan hukum

merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable
(variable terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable
berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik
hukum sebagai:
“Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mem-pengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang
ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak
dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang
dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi
dan penegakannya.”
Menurut Solly Lubis, 49 politik hukum adalah kebijakan politik yang
menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

48Mahfud
49Solly

MD.. op. cit, hal. 1-2
Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 49

Universitas Sumatera Utara


44

Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan,

50

politik hukum merupakan

kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenerapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk
meng- ekspersikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
apa yang dicita-citakan.
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu
tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi
mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten 51menolak
pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain
merupakan pengolahan logical bahan-bahan positif, yakni undang-undang, dan
vonis-vonis. Menurut Scholten, bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis
dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis
yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara

kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemurnian ilmu hukum selalu mengandyng
sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka
menurut Scholten, ilmu hukum akan menjadi mahluk tanpa darah.
Politik Kriminil atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat
diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by
society. 52Hal ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha
yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.

50Sudarto,

loc. Cit.
Arief Sidharta, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas
Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997, hal. 5
52Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, Semarang, 2000, hal. 47.
51 B.

Universitas Sumatera Utara

45

Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik
hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus
mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan
dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dihormati. 53
Jika demikian halnya maka menurut Sudarto, 54 melaksanakan politik
hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa
yang akan datang.
Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak
sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrument) belaka.
Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk
mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber
pada pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas
dari sumbernya, yakni dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia
bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak
mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan
dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus
selalu bernafas Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti
sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam

53Sudarto,
54ibid.

op. cit, hal. 23
hal. 93-94

Universitas Sumatera Utara

46

pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijuwai
oleh semangat dan idealisme Pancasila. 55
Menurut Sudarto, 56 politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas
dan paling luas.
1. Dalam arti sempit, politik kriminil digambarkan sebagai keseluruhan asas
dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum
berupa pidana.
2. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur
penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat
Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan
sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminil berarti
mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif
dalam usaha penganggulangan kejahatan.
Pada bagian lain, Sudarto menyatakan, 57 menjalankan politik hukum
pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.
Untuk mencapai hasil yang berhasilguna dan berdayaguna maka para pembuat
kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi.
55Sahetapy,

Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari, XXII), No. 1, 1993, hal. 55-56
56Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal. 113-114
57Sudarto, op. cit, hal. 161-162

Universitas Sumatera Utara

47

Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya
undang-undang yang tidak fungsional.
Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel, 58 menurut, in
modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal
law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek.
Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan
positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik
sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi
petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundangundangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu
diterapkan dan penyelengaraan pemasyarakatan (prison administarion) yang
memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.
Sebagai mana dikemukakan oleh G Peter Hoefnagels bahwa kebijakan
penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga)
cara, yaitu: 59
1.

Penerapan hukum pidana/ Criminal law application;

2.

Pencegeahan tanpa pidana /Prevention without punishment;

3.

Mempengaruhi masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan /
Influencing views of society on crime anf punishment.

58Barda

Nawawi Arief, op. cit., hal. 1.
Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005, hal. 1.
59Barda

Universitas Sumatera Utara

48

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2
(dua) macam,

60

yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan

menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan
tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal
policy). Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif
setelah terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tindakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak
meluas atau menjadi parah. Sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada
tindakan prefentif sebelum terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan
prefentif adalah tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya
kejadian. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal
policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis.
Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan
terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya
suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”
atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana
(penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, dan kepada

60Teguh

Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 39.

Universitas Sumatera Utara

49

para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy)
tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di
samping criminology dan criminal law. 61
Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana dapat
dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undangundang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan
pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan
tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika
peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang
hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang
perlu untuk dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini
berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto

62

merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang
dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang
dengan suatu sanksi berupa pidana.
Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, 63 kebijakan untuk
membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan, pengertian dari tujuan
penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, 64 adalah usaha
untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

61Barda

Nawawi Arief,op. cit, hal. 1.
Hukum dan Hukum Pidana, op. cit, hal 39-40.
63Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hal. 29-30.
64Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal. 84
62Sudarto,

Universitas Sumatera Utara

50

masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum (khusunya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat
pembuatan peraturan perundang-undang pidana yang merupakan bagian integral
dari politik sosial. Politik sosial tersebut menurut Barda Nawawi Arief dapat
diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum pidana
maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar.
Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan
harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung
berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. 65Oleh karena
itu, proses kriminalisasi yang terus berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena
sebagaimana yang dituliskan Bruggink (alih bahasa oleh Arief Sidharta): 66
“Dewasa ini mungkin mengeluh bahwa melimpahnya aturan-aturan
hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang yang dituju. Semula
aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan
dengan cara yang lebih baik akan tetapi aturan-aturan hukum justru
mencekik kehidupan kemasyarakatan itu, dengan terlalu membelenggu
kreativitas dan spontanitas.”
Untuk memperjelas, Bruggink memberikan contoh pada aturan-aturan
hukum yang menyangkut hubungan antara orang tua dan anak. Jika pemerintah

65Barda

Nawawi Arief, op. cit, hal. 37.
Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal. 167.
66Bruggink,

Universitas Sumatera Utara

51

lebih banyak menetapkan aturan, ada kemungkinan inti hubungan antara orang tua
dan anak akan tertekan. Untuk itu, menurut Bruggink, diperlukan wawasan
tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat sebagai titik tolak.
Dari tulisan Bruggink ini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya masyarakat tidak
memerlukan hukum berdasarkan jumlah (kuantitas) melainkan dari mutu atau
kegunaannya (kualitas).
Sudarto 67 mengingatkan, pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di
suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan
intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak
pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya
tidak dianggap tercela, misalnya pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat
merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan
tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak
dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula.
Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu
struktur, substansi, dan kultur. 68 hal itu penting agar pihak berwenang sebagai
pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis,
yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek)
sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan
merugikan masyarakat itu sendiri.

67Sudarto,
68Arief

op. cit, hal. 90-91
Amrullah, op. cit, hal 21.

Universitas Sumatera Utara

52

Sudarto berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 69 Dalam kesempatan
lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai
arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.
Pada hakikatnya kebijakan pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisaikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau
kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif
atau kebijakan administratif. 70
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap
perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap
aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau
kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas
perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupaka tahap awal yang paling
strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsiolaisasi atau operasionalisasi
hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar,
landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasionalisasi

69Sudarto,

op. cit, hal 151
Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 75.
70 Barda

Universitas Sumatera Utara

53

hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. 71 Kesalahan
atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan
straegis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam
kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. 72
Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan
dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi,
yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan
kepada si pelanggar. 73
Teori-teori criminaliseringyang mengemukakan tentang proses penentuan
dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang
faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini ternyata masih
terbatas sekali. 74
Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan
yang erat dengan maslah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu
perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. 75
Proses kriminalisasi tersebut diakhiri dengan terbentuknya peraturan
perundang-undangan dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi
berupa pidana (tahap formulasi). Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap

71Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1992, hal. 157-158.
72Barda Nawawi Arief, loc. Cit.
73Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
2002, hal. 24
74Roeslan Saleh, op. cit, hal. 55
75Muladi, op. cit, hal. 255.

Universitas Sumatera Utara

54

untuk diterapkan oleh hakim (tahap aplikasi) dan selanjutnya apabila dijatuhkan
pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap eksekusi). 76
Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam
mengahadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah
kriminalisasi , harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 77
1.

Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penganggulangan itu
sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2.

Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas
warga masyarakat;

3.

Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost benefit principle);

4.

Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

76Sudarto,
77ibid.

op, cit, hal. 32
hal 44-48

Universitas Sumatera Utara

55

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam
Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di
Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut: 78
“Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah
sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu
sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh
masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.”
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum
pidana dengan sanksinya berupa pidana. Namun demikian usaha ini pun masih
sering dipersoalkan. Perbedaan peranan pidana dalam menghadapi masalah
kejahatan, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun dan
menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan
mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana,
merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting. 79
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya mencapai kesejahteraan
masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam
bidang kebiijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional yntuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana
sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam
bidang kebijakan, karena pada hakikatnya, dalam masalah kebijakan orang

78Teguh
79ibid,

Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, op. cit, hal 24
hal. 25

Universitas Sumatera Utara

56

dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam
alternatif.

80

Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan

kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem
sosial seperti dikemukakan oleh Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah
kebijakan (the problem of policy).
B. Politik Hukum Pidana Dalam Menentukan Suatu Pemidanaan
Kebijakan politik hukum pidana yang paling mempengaruhi dalam
penanggulangan kejahatan adalah mengenai kebijakan pidana dalam menentukan
suatu pemidanaan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan
juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya
diartikan

sebagai

hukum,

sedangkan

“pemidanaan”

diartikan

sebagai

penghukuman. 81 Untuk itu dalam menetapkan sanksi dan juga tahap pemberian
sanksi ini diperlukan suatu kebijakan hukum pidana agar penjatuhan dan
pemberian sanksi pidana dapat mencapai sasaran yang tepat dan berguna bagi
negara dan masyarakat.
Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah suatu pemberian penderitaan
dari pihak berwenang terhadap seseorang atas kesalahan yang dilakukannya
dalam beberapa hal (berupa pelanggaran terhadap peraturan atau perintah). Secara
umum, pemidanaan memiliki definisi yang hampir sama dengan sanksi biasa
(mere penalties), yang membedakannya adalah rasa empati dalam masyarakat,
jika sanksi biasa (mere penalties) lebih berupa sanksi terhadap pelanggaran biasa

80Sudarto,

op. cit, hal. 61.

81http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html,

diakses

pada tangaal 25 Maret 2013

Universitas Sumatera Utara

57

seperti, surat tilang dan sanksi terhadap pelanggaran lainnya, pemidanaan lebih
ditujukan kepada perbuatan yang bertentangan yang menyangkut nilai moral di
dalam masyarakat. 82
Hegel

83

menyatakan, Pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan.

Kejahatan dilakukan karena kehendak pelaku kejahatan itu sendiri. Pelanggaran
terhadap hak orang lain diakui oleh pelaku kejahatan sebagai haknya sendiri.
Kejahatannya merupakan peniadaan dari hak, dan pemidanaan adalah
“peniadaan” dari kejahatan, karenanya pemidanaan ini diminta dan dipaksakan
kepada si pelaku kejahatan oleh dirinya sendiri.
Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan
pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana
seseorang dengan menjebloskan ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja,
dengan mudah menunjukan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pula
pencabutan (peniadaan), termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu,
kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum
menempatkan perintah (putusan) ke berbagai aplikasi paksaan publik pada individu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum. 84
Jerome Hall sebagaimana dikutip Gerber dan McAnany dalam memberi
batasan konseptual tentang pemidanaan dianggap sebagai kemajuan besar yang
telah dicapai. Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan

82 Joel Feinberg (1970), The Expressive Function of Punishment, dalam A Reader On
Punishment, R.A. Duff & David Garland (Ed.), Oxford University Express, New York, 1994, hal.
73.
83J. G. Murphy, Marxism and Retribution, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff &
Garland (Ed.), Oxford University Express, New York, 1994, hal. 47.
84Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 74

Universitas Sumatera Utara

58

berikut ini. Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan
dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas
nama negara, ia “diotoritaskan”. Keempat, ia diberikan mensyaratkan adanya
peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan
dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan
kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan
beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan delam etika.
Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan,
dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si
pelanggar, motif dan dorongannya. 85
Unsur-unsur pemidanaan yang dikemukakan oleh Jerome Hall diatas dapat
ditarik garis mengenai pemidanaan, yakni pemidanaan adalah penderitaan yang
berupa kehilangan sesuatu yang diperlukan seseorang yang dilakukan secara
paksa oleh pemerintah yang berwenang sebagai isyarat adanya peraturanperaturan, pelanggaran dan penentuan yang dapat dilihat dalam putusan yang
diberikan kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan. Pemidanaan yang
dijatuhkan kepada seseorang itu pun tidak dapat dijatuhkan dengan sewenangwenang, melainkan harus diperhatikan juga unsur-unsur individu pelaku, yakni
dengan melihat personalitas, motif dan dorongannya untuk melakukan kejahatan.
Pekembangan pemikiran tentang pemidanaan juga diikuti oleh kemajuan
pemikiran mengenai tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus
85Rudolph

J. Gerber & Patrick D. Mc Anany, The Philosophy Of Punishment, Dalam The
Sociology Of Punishment & Correction: Second Edition. Norman Johnston, Leonard Savitz, &
Marvin E. Wolfgang (Ed.), John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970, hal. 351.

Universitas Sumatera Utara

59

tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini,
bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang
bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang
modern hampir dalam setiap kehidupan. 86
Dasar pemidanaan pun telah bekembang sesuai perkembangan peradaban
manusia. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat
“peradaban” bangsa yang bersangkutan.

87

Pemikiran dasar pemidanaan pun

terbagi menjadi beberapa aliran, yang dimulai dengan aliran klasik.
Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sistem sanksi tunggal
berupa jenis sanksi pidana. Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat
retributif dan represif terhadap tindak pidana. 88Aliran ini muncul pada abad XVIII
berpaham

indeterminasi

mengenai

kebebasan

kehendak

manusia

yang

menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum
pidana perbuatan (deadstarfrecht). Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan
aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan tehadap perbuatan, bukan
pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence).
Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan
atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa di pelaku,
kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan dari

86Teguh

Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 76.

87ibid.
88M.

Sholehuddin, op. cit, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

60

perbuatan/kejahatan yang dilakukan.

89

Pendek kata, tidak dipakai sistem

individualisasi pidana.
Pada abad XIX lahirlah aliran positif yang mencari sebab kejahatan
dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati
atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki.
Bertolak belakang dengan aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan
berkehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya
sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah
pidana, menurut aliran modern ini, harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si
pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dengan pandangan determinisme 90 dan
mengehendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan
resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.
Bermuara dari kedua konsepsi aliran hukum pidana tersebut lahirlah ide
individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 91
1.

Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);

2.

Pidana hanya diberikan kepada orang yang besalah (asas cupabilitas; tiada
pidana tanpa kesalahan);

3.

Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini
berarti harus ada kelonggaraan/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih
sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada

89ibid.
90Teguh
91

Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 78
M. Sholehuddin, op. cit, hal. 27

Universitas Sumatera Utara

61

kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaanna.
Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, yaitu
teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan
(verenigings theorieen).
Penulis pertama yang mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino
Rossi (1787-1848). Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asa dari pidana
dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, ia
berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan
sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. 92
Dalam teori ini, orientasi pelarangan hukum pidana ditujukan pada orang
dan perbuatannya, konsep perbuatan yang dilakukan modifikasi doktrin free will,
deduktif-induktif dan menggunakan konsep normatif-empirik. Teori ini menganggap pidana diperlukan, tetapi bukan balas dendam dan bertujuan, pidana
merupakan bagian dari pertanggungjawaban pilihan bebas, tetapi dipertimbangkan
faktor-faktor lain yang meringankan (eksternal-internal).
Perkembangan pemikiran pidana selanjutnya, pertanggungan jawab
seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si
pembuat (etat dangereux). Bentuk pertanggungan jawab kepada si pembuat lebih
bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau digunakan istilah pidana,
menurut aliran ini, pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat.

92Muladi

dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

62

Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan
mengadakan resosialisasi si pembuat.
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, aliran modern ini berkembang
menjadi apa yang dikenal dengan aliran atau gerakan perlindungan masyarakat
(social defence). Tokoh terkenal gerakan social defence ini adalah Filipo
Gramatica yang pada 1945 mendirikan “Pusat Studi Perlindungan Masyarakat”
(The study- centre of social defence) di Genoa. Aliran atau gerakan perlindungan
masyarakat yang menjadi orientasi pelarangan hukum pidana adalah perlindungan
masyarakat. Sasarannya, manusia dan perbuatannya. Konsep gejala yang manusiawi dan merupakan pernyataan dari seluruh kepribadian pelaku. Pemidanaan
dalam aliran ini, setelah diadili dan dipidana (diperbaiki) masih harus diberi
kekuatan agar dapat “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggung
jawab antar sesama manusia, aliran ini juga mengembangkan model
pertanggungjawaban pelaku.
Berdasarkan hal tersebut, Sudarto menyatakan:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of
a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
(subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
dipertanggung-jawaban
atas
perbutatannya
baru
dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”. 93

93

Sudarto, Hukum Pidana 1, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP,
Semarang, 19871988, hal. 85

Universitas Sumatera Utara

63

Pembicaraan masalah penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana
terkait dengan empat aspek: pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua,
penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap
penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi); keempat, tahap
pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait anatara satu dengan lainnya
dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana. 94
Bagian penting dari sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi.
Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang
seharusnya dijadikan sanksi daam suatu tindak pidanan untuk menegakkan
berlakunya norma. Di sisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling
kompleks dalam sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan
insitusi yang berbeda.
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan pemberian
sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dalam pendapat Sudarto 95 yang
menyatakan, pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi
hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan
pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuaannya
mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. Dengan kata lain,
pemidanaan menyangkut tentang penetapan sanksi pidana dan bagaimana cara
melaksanakan sanksi hukum pidana itu terhadap terpidana.
Berkaitan dengan masalah sanksi, G.P. Hoefnagels bahkan memberikan
arti secara luas. Dikatakannya, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua
94Teguh
95M.

Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 82
Sholehuddin, op. cit., hal.114

Universitas Sumatera Utara

64

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-undang dimulai dari
penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh
hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan
proses itu dianggap sebagai suatu pidana. 96
Menurut Barda Nawawi Arief, 97 strategi kebijakan pemidanaan dalam
kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakikat
permasalahannya. Bila hakikat permasalahannya lebih dekat dengan masalahmasalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan maka lebih diutamakan
penggunaan sanksi tindakan dan/atau pidana denda.
Penentuan jenis ancaman pidana, penjatuhan dan palaksanaan pidana
berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan. Permasalahannya, apakah jenisjenis pidana tersebut sudah menggambarkan tujuan yang hendak dicapai dalam
pemidanaan. 98
Dengan demikian, apapun jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan tujuan
pemidanaan harus menjadi patokan. Karena itu, harus ada kesamaan pandang atau
pemahaman pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari
sanksi pidana dan/atau tindakan itu sendiri.
Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka
menunjang berkerjanya sistem peradilan pidana, menurut Muladi,

99

untuk

menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi struktural

96ibid.
97Barda

Nawawi Arief, loc. Cit.
Prasetyo & Abdul Halim Baratullah, op. cit., hal. 85.
99Muladi, op, cit., hal. 2.
98Teguh

Universitas Sumatera Utara

65

(structural synchronization), sinkronisasi substansial

(subtantial Syncrhroni-

zation), dan sinkronisasi kultural (cultural synchronization).
Sekarang ini, faktor-faktor yang menentukan politik hukum tidak sematamata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak
pembentuk hukum, praktisi atau para teoritis belaka, akan tetapi ditentukan juga
oleh kenyataan dan perkembangan hukum di negara lain serta hukum
internasional. Apalagi bila dicermati, sasaran kajian politik hukum yang
digunakan

oleh

pembuat

hukum

nasional,

100

menurut

Soewoto

Moeljosoedarmo, 101 kebijakan ini dapat berupa pilihan hukum yang berlaku,
sistem hukum yang dianut, dasar filosofis yang digunakan termasuk kebijakan
agar mendasarkan hukum nasional pada asas-asas hukum yang berlaku.
Masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk
sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah
tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah ditentukan jenis dan bentuk sanksi apa
yang paling tepat bagi pelaku kejahatan. Penetapan sanksi pada tahap kebijakan
legislasi ini menurut Barda Nawawi Arief, 102 harus merupakan tahap perencanaan
strategis di bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberikan arah pada
tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan
pidana.
Perumusan jenis sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan
pidana yang kurang tepat, menurut beliau, dapat menjadi faktor timbul dan
100Teguh

Prasetyo & Abdul Halim Baratullah, loc. Cit.

101ibid.
102Muladi

dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1992, hal. 92 dan 98

Universitas Sumatera Utara

66

berkembangnya kriminalitas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan mazhab
kritikal dalam kriminologi 103 yang menyatakan, kejahatan yang terjadi maupun
karakteristik pelaku kejahatan ditentukan terutama bagaimana hukum pidana itu
(termasuk stelsel sanksinya) dirumuskan dan dilaksanakan. 104
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah antara penerapan
sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana dan perumusan tujuan
pemidanaan, yakni adanya kaitan yang erat dengan landasan filsafat pemidanaan,
teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana yang dianut mendominasi
pemikiran dalam kebijakan kriminil (criminal policy) dan kebijakan penal (penal
policy).

105

Hal ini sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita

106

yang

menegaskan, perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan UndangUndang KUHP Nasional tersimpul pandangan social defence, pandangan
rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang
bersifat

sprititual

berlandaskan

Pancasila.

Menurutnya,

keempat

tujuan

pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 54 ayat (2)
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan, “Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.
Dalam penentuan sanksi dalam suatu pemidanaan, dibedakan antara lain
sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif
terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif

103Teguh

Prasetyo & Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 86

104ibid.
105ibid.

hal. 87.
Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif
Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 90.
106 Romli

Eksistensialisme dan

Universitas Sumatera Utara

67

terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika

fokus sanksi pidana tertuju pada

perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan
menjadi jera) maka fokus sanksi terarah pada upaya memberikan pertolongan agar
pelaku berubah. 107
Dengan demikian, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan
(pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada si
pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan
masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar. 108 Atau seperti dikatakan
J.E. Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk
kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang
bersifat sosial. 109
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak
belakang dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi
penderitaan istimewa (bijzonder lead) kepada pelanggar supaya ia merasakan
akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap
pelaku, sanksi pidana juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap perbuatan
pelaku.
Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi
tindakan terletak pada adanya tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya
unsur penderitaan.

107Muladi

110

Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat

dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 4.
Hukum Pidana, (Jilid I A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang,

108Sudarto,

1973, hal. 7.
109M. Sholehuddin, op. cit., hal. 32.
110Ibid.

Universitas Sumatera Utara

68

mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan maka sanksi tindakan
merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi
khusus,

yakni

melindungi

masyarakat

dari

ancaman

yang

merugikan

kepentingannya. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan
sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi
pada ide perlindungan masnyarakat.
Perbedaan orientasi ide dasar dari dua sanksi tersebut (sanksi pidana dan
sanksi tindakan) sebenarnya memiliki kaitan pula dengan filsafat yang
memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai ide sanksi pidana dan
filsafat determinasi sebagai sumber ide sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui,
asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah sejatinya manusia memiliki kehendak
bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karenanya sebagai konsekuensi
pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral
dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.
Sedangkan determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan
prilaku

manusia,

naik

sebagai

perorangan

maupun

sebagai

kelompok

masnyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis,
sosiologis, ekonomis, dan keagamaan yang ada. 111 Dengan demikian, perilaku
jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu, dan
karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud
merehabilitasi pelaku.

111ibid.

Universitas Sumatera Utara

69

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti
tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif atau teori absolut, teori relatif atau teori deterrence,
teori penggambungan (integratif), teori treatment dan perlindungan sosial (social
defence). 112
Teori absolut (teori retributif), misalnya, memandang bahwa pemidanaan
merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif
mancari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau, yakni
memusatkan argumennya pada tindakan yang sudah dilakukan. Menurut
Sahetapy, 113 teori abosolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini
memandang pidana seb