Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan yang Dilakukan Dengan Basis Rasisme

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Amrullah, M. Arief,Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing,Malang, 2003

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

_________________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, Semarang, 2000

________________, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984 ________________, Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Semarang, 2008 Atmasasmita, Romli Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996

Bowling Ben, Coretta Phillips, Racism, Crime and Justice, Pearson Education, London, 2001

Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Duff, R.A., David Garland,A Reader On Punishment,Oxford University Express, New York, 1994

Fredrickson, George M., Rasisme: Sejarah Singkat, Bentang, Yogyakarta, 2005 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004

Jahja, Junus, Peranakan Idealis; Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya,Kepustaka-an Populer Gramedia, Jakarta, 2003

Jeffery, C. Ray Crime Prevention Through Environmental Design, Sage Publication, Inc, California, 1977


(2)

Johnston, Norman, Dkk, The Philosophy Of Punishment, Dalam The Sociology Of Punishment & Correction: Second Edition John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970

Jusuf, Ester Indahyani, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Sebuah Kajian Hukum Tentang Penerapannya di Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

Liliweri, Alo,Prasangka & Konflik; Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, LKiS, Yogyakarta

Lubis, Solly, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989 MD. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta,1998

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta,1987

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002

Prasetyo, Teguh, Abdul Halim Bakatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Poernomo, Bambang Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988 Ramlan, Surbakti Memahami ilmu politik, Gramedia Widia sarana Indonesia,

Jakarta,1999

Reksodiputro, Mardjono, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan), Universitas Indonesia, Jakarta, 1994

Sahetapy, Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari, XXII), No. 1, 1993

Sahetapy, J.E., Hukum Pidana Kumpulan Bahan Penataran hukum Pidana Dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Liberty, Yogyakarta, 1995 Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenal Ancaman Pidana mati terhadap


(3)

Saleh, Roeslan, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1983

Saptaningrum, Indriaswati Diah, Syahrial Martanto Wiryawan, Upaya Memerangi Praktik Diskriminasi Rasial melalui Sarana Hukum Pidana, ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 2007

Sidharta, B. Arief,Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &Impelementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru,Bandung, 1983

______, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983 ______, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981

_______, Hukum Pidana 1, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 1988

B. TESIS / KARYA TULIS ILMIAH

Shafrudin, Tesis Pelaksanaan Politik Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan, Universitas Diponegoro, 2009

Almanda Basherina, dalam Tesis Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Diskriminasi Ras Dan Etnis Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 2008

Mulyadi, Mahmud, dalam Karya ilmiahRevitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, USU Repository, Medan, 2006

C. UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965


(4)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

International Convention on The Elimination of All Forms Racial Discrimination 1965

D. INTERNET

Maret 2013

April 2013

http://usupress.usu.ac.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2013

diakses pada tanggal 19 Maret 2013

http://catatanahdan.wordpress.com/2012/09/24/ defenisi kejahatan, diakses pada tanggal 19 Maret 2013

pada tanggal 21 Maret 2013

diakses pada

tanggal 21 Maret 2013


(5)

diakses pada tangaal 25 Maret 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/ku_klux_klan, diakses tanggal 15 April 2013

diakses pada

tanggal 18 April 2013

tanggal 18 April 2013

Wahyu Effendi, SBKRI dan Pelembagaan Diskriminasi WN dalam Kompas On-Line tanggal 12 April 2004, diakses pada tanggal 18 April 2013

ICERD dalam Laporan Alternatif Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) Di Indonesia “Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesia” dalam

April 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/The_Races_of_Europe_%28Ripley%29, diakses pada tanggal 23 May 2013.


(6)

BAB III

PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENGANGGULANGAN KEJAHATAN BERBASIS RASISME

A. Perkembangan dan Konsep-Konsepmengenai Diskriminasi Ras dan Etnis

Sejarah telah acap kali mencatat beberapa catatan mengenai diskriminasi ras. Hal ini bahkan telah dianggap wajar dalam suatu perkembangan peradaban sejarah manusia. Bukan hal yang aneh bila di dalam sejarah manusia ditemukan beberapa perperangan yang dilandasi pada perbedaan kebudayaan dan ras dan dari hal tersebut dapat dibuktikan bahwa diskriminasi ras dapat mengakibatkan pemusnahan suatu golongan. Bangsa Roma yang berusaha mengucilkan dan menyingkirkan Umat Nasrani disaat awal lahirnya agama Kristen. Pada masa kepemimpinan Hitler, dimana munculnya perasaan bahwa Ras Arya lebih unggul dari Ras Semit (Smith) yang mengakibatkan terjadinya genoside besar-besaran terhadap bangsa Yahudi ( Jews ) di Jerman. Perang Saudara yang berlangsung di Rwanda antara etnis Tutsi dan Hutu membawa akibat terjadinya genoside terhadap etnis Tutsi. Di Amerika Serikat terdapat suatu organisasi yang bernama Ku Klux Klan ( selanjutnya disebut KKK), yang tersebut merupakan organisasi fasis terbesar di Amerika Serikat yang berdiri pada tahun 1866.147

Diskriminasi ras dan etnik muncul melalui perjalanan sejarah yang panjang, serta berbagai macam perkembangan teori. Konsep diskriminasi yang


(7)

klasik atau kuno muncul dari peradaban Yunani Kuno. Saat itu struktur masyarakat Yunani Kuno dibagi atas dua ( 2 ) golongan besar, yaitu:148

1. Civilized people (Manusia Beradab) 2. Barbarian (orang Bar-bar)

Xenophobia 149

Diskriminasi yang paling terkenal dalam sejarah kehidupan manusia adalah diskriminasi yang berbasis pada konsep perbedaan ras ( rasism discrimination ). Sejarah kelam yang ditorehkan oleh diskriminasi rasisme inilah yang selalu meliputi konstruksi peradaban manusia. Diskriminasi rasisme ini diusung oleh hampir sebagian besar pemikir, ilmuwan, sejarawan, serta negarawan dari ras Kaukasoid sub ras Nordic dan Alpine.

adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan sentimen terhadap golongan lain pada saat itu. Xenophobia sendiri adalah suatu perasaan yang melukiskan/mencerminkan rasa permusuhan spontan terhadap orang lain atau yang lain. Titik tolak Xenophobia adalah budaya/culture, karena bila seseorang tersebut memiliki daya nalar/ rasio, serta tingkat kecerdasan yang cukup maka ia dikategorikan sebagai orang beradab/ civilized people, dan seseorang yang tidak dapat menunjukan tingkah laku yang beradab, maka ia dikategorikan sebagai seorang Bar-bar.

150

Pada awalnya mereka menciptakan teori-teori yang mengarah pada tahayul dan mistis untuk mengungkapkan kebencian mereka pada orang Yahudi dan ras

148George M. Fredrickson, Rasisme: Sejarah Singkat, Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.

10


(8)

Negroid, namun perkembangan jaman telah meruntuhkan teori usang itu dan lahirlah yang lebih rasional. Voltaire adalah seorang rasis modern yang pertama.151

Selanjutnya ide rasialis ini mulai mereka sebarkan guna mengukuhkan hegemoni kekuatan ras kulit putih, dan sebagai dasar pembenaran perilaku mereka. Merebaknya diskriminasi rasis secara modern membuat ilmuwan berlomba-lomba meneliti keaneka ragaman ras secara biologis, diantara mereka muncullah konsepsi tentang pemilah - milahan ras sebagai berikut:

Dibalik ketidak sukaannya terhadap ras negroid, ia mengutuk agama kristen yang saat itu melegalkan perbudakan ras negroid. Ia menolak keras mitos, teori serta ayat-ayat kitab suci yang menyatakan bahwa perbedaan warna kulit diakibatkan dosa atau karma leluhurnya. Ia cenderung menerima rasisme dari sisi lain, yaitu melalui wacana ilmu, rasio serta sejarah peradaban.

152

1. Konsepsi ras manusia menurut A.L. Krober

1) Australoid, mencakup penduduk asli Australia (Aborigin) 2) Mongoloid:

a. Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah, dan Asia Timur)

b. Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Malaysia, Filiphina, penduduk asli Taiwan)

c. American Mongoloid (Penduduk asli Amerika) 3) Kauskasoid :

a. Nordic (Eropa Utara, sekitar L. Baltik)

151George M. Frederickson, op. cit., hal. 82

diakses


(9)

b. Alpine (Eropa Tengah dan Eropa Timur)

c. Mediteranian (Sekitar L.Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab, Iran)

d. Indic (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Langka) 4) Negroid:

a. African Negroid (Benua Afrika)

b. Negrito (Afrika Tengah, Semenanjung Malaya yang dikenal dengan nama orang Semang, Filipina)

c. Melanesia (Irian, Melanesia)

5) Ras-ras khusus (tidak dapat diklasifikasikan ke dalam empat ras pokok) a. Bushman (gurun Kalahari, Afrika Selatan)

b. Veddoid (pedalaman Sri Lanka, Sulawesi Selatan) c. Polynesian (kepulauan Micronesia dan Polynesia) d. Ainu (di Pulau Hokkaido dan Karafuto Jepang) 2. Konsepsi Ras menurut Ralph Linton:

1) Mongoloid: dengan ciri-ciri kulit kuning sampai sawo matang, rambut lurus, bulu badan sedikit, mata sipit (terutama Asia Mongoloid). Ras Mongoloid terbagi dua, yaitu Mongoloid Asia dan Indian. Mongoloid Asia terdiri dari Sub Ras Tionghoa (terdiri dari Jepang, Taiwan, Vietnam) dan Sub Ras Melayu. Sub Ras Melayu terdiri dari Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Mongoloid Indian terdiri dari orang- orang Indian di Amerika.


(10)

pirang sampai coklat kehitam-hitaman, dan kelopak mata lurus. Ras ini terdiri dari Sub Ras Nordic, Alpin, Mediteran, Armenoid dan India. 3) Negroid : dengan ciri fisik rambut keriting, kulit hitam, bibir tebal dan

kelopak mata lurus. Ras ini dibagi menjadi Sub Ras Negrito, Nilitz, Negro Rimba, Negro Oseanis, dan Hotentot Boysesman, Aborigin. 3. Konsepsi Ras Manusia menurut William Z. Rippley:

Ripley mencetuskan teorinya dalam hal konsepsi ras manusia berdasarkanpenggabungan antara data anthropometric dan data geografis, serta perhatian ekstra terhadap cephalic index ( metode rasio penghitungan tengkorak manusia, dengan membandingkan lebar dan panjang ) yang mana disaat itu merupakan metode pengukuran anthropometric yang paling konsisten. Dari perhitungan di atas dan disertai pertimbangan atas faktor social-geografis, Ripley mengklasifikasikan penduduk Eropa dalam 3 jenis ras, yaitu:153

1) Teutonic : merupakan bagian dari ras utara, dimana tengkorak mereka umumnya panjang (dolichocephalic), mempunyai perawakan yang tinggi, dan memiliki warna mata dan kulit yang pucat

2) Mediterranean: merupakan bagian dari ras selatan, tengkorak mereka juga umunya panjang, tetai perawakannya cenderung pendek, memiliki warna mata dan kulit yang gelap.

3) Alpine: bagian dari ras tengah, dimana tengkorak mereka berbentuk bulat (brachycephalic), perawakan mereka cenderung gemuk dan pendek, memiliki warna mata dan kulit yang terang (menengah dari dua

153 http://en.wikipedia.org/wiki/The_Races_of_Europe_%28Ripley%29, diakses pada


(11)

ras sebelumnya).

Konsepsi ras-ras manusia ini semakin menyebar luas, hal ini menyebabkan rasa superioritas ras kulit putih semakin menjadi-jadi. Dimulai sejak zaman renaissance (sekitar abad 16-17 masehi), negara-negara Eropa mulai melakukan kolonialisasi dan invasi ke negara-negara di luar Eropa (Dunia Baru). Penjajah pertama adalah bangsa Spanyol di bawah pimpinan Christopher Columbus. Dalam waktu singkat, penjajah Spanyol menyerbu Amerika Selatan. Mereka memperbudak penduduk asli, ras masyarakat yang sebelumnya hidup damai. Wilayah Amerika Selatan, yang kaya emas dan perak, dirampok oleh para penjarah ini. Penduduk asli Amerika Selatan ini menjadi target utama intimidasi dan kekerasan rasial. Selama kurang lebih dua abad setelah itu rasa sentimen terhadap ras di Benua Amerika meluas dan target pun berubah.154

Diskriminasi ras dalam peradaban manusia tidak jarang menimbulkan lagi suatu peristiwa hukum yang lebih berat. Sering terjadi ialah kejahatan dengan dasar diskriminasi rasial. Afrika Selatan adalah salah satu negara yang rakyatnya menderita karena adanya diskriminasi rasial. Diskriminasi rasial dicerminkan secara nyata melalui politik Apherteid. Pada tanggal 20 1960, 20.000 orang demonstran berkumpul dan melakukan aksi damai di Sharpeville Afrika Selatan.155

Aksi ini dilakukan untuk menolak pemberlakuan buku pass (pass law) dan protes terhadap rezim Apertheid. Aksi damai ini berubah menjadi pembunuhan massal ketika petugas dari kepolisian berusaha membubarkan

155Indriaswati Diah Saptaningrum & Syahrial Martanto Wiryawan, Upaya Memerangi

Praktik Diskriminasi Rasial melalui Sarana Hukum Pidana,ELSAM dan Aliansi Nasional


(12)

kerumunan, dalam kejadian ini 69 orang meninggal, kira-kira 200 orang terluka termasuk di dalamnya 48 anak-anak dan perempuan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Sharpeville Massacreyang merupakan pemberontakan pertama yang memakan korban paling banyak dalam rangka melawan rezim Apartheid.156

Diskriminasi rasial sering disebut sebagai patologi sosial di abad 20, yang menurut Albert Camus lahir setelah munculnya biologisasi istilah “ras” dan pembentukan “teori ras”. Diskriminasi rasial atau perilaku “rasis” merupakan merupakan sebentuk keyakinan, perilaku dan institusi yang membedakan manusia menurut kategori “ras” dan etnis. Beberapa pemikir mempersempit pembahasan mengenai rasisme menjadi sebuah sistem yang menindas dan memarjinalkan segolongan manusia berdasarkan kategori dan prejudise rasial maupun etnisitas. Rasisme dipandang sebagai perilaku yang tidak pantas dan secara diametral bertentangan dengan prinsip – prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan universal serta merupakan perilaku yang merendahkan martabat manusia. Ras dan etnis merupakan satu konsep yang digunakan untuk mengkategorisasi sekelompok manusia. Diskriminasi rasial dan etnis lekat dengan adanya prasangka (prejudice) terhadap segolongan ras dan etnik tertentu. Diskriminasi rasial tidak dapat dilepaskan dari konteks politik identitas menyangkut eksistensi sebuah kelompok ataupun ras yang memiliki keunggulan dan keberadaan kelompoknya lebih tinggi Diskriminasi rasial disini menjadi sumber dari kejahatan lainnya, yaitu pembunuhan massal orang Afrika Selatan Berkulit hitam.

156Ibid.


(13)

dari kelompok ras dan etnis yang lain, kelak problematika inilah yang akan melahirkan patologi etnosentrisme, intolerance dan xenophobisme.157

Pelanggaran kemanusiaan di berbagai tempat ini kemudian menjadi topik pembahasan yang serius di PBB. Setelah melalui proses perdebatan yang panjang pada banyak persidangan Majelis Umum PBB, akhirnya dibuka dan ditandatangani sebuah konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial pada tanggal 7 Maret 1966.Sebelumnya pada tanggal 20 November 1963 negara-negara anggota PBB telah membuat sebuah deklarasi yaitu United Nations Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) melalui Resolusi 1904 (XVIII). Deklarasi itu memuat penolakan terhadap diskriminasi rasial, penghentian segala bentuk diskriminasi rasial yang dilakukan oleh Pemerintah dan sebagian masyarakat, penghentian propaganda supremasi ras atau warna kulit tertentu atau langkah-langkah yang harus diambil negara- negara dalam penghapusan diskriminasi rasial.158

Deklarasi ini hanyalah sebuah pernyataan politis yang tidak bersifat mengikat secara hukum. Untuk menindaklanjuti deklarasi itu, maka Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) kemudian menyusun sebuah rancangan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Rancangan ini selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum PBB. Pada tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB mengesahkan

157ibid.

158Ester Indahyani Jusuf, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Rasial; Sebuah Kajian Hukum Tentang Penerapannya di Indonesia, Lembaga Studi


(14)

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD). Dengan disahkannya konvensi ini, maka konvensi ini menjadi memiliki kekuatan hukum kepada negara anggota yang menandatangani konvensi ini. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 25 Mei 1999. Tiga puluh empat tahun setelah konvensi ini dibuat.159

Selain mengenai defenisi Diskriminasi Ras, Konvensi ini juga memberikan ruang kepada tiap-tiap negara peserta konvensi ini untuk menentukan sikap dan

Dalam konvensi ini diberikan penjelasan mengenai defenisi Diskriminasi Ras. Pada Pasal 1 ayat 1 menyatakan:

“Setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang didasarkan pada suku bangsa, warna kulit, keturunan atau asal bangsa atau suku yang mempunyai tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pada dasar persamaan, hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki dalam politik, ekonomi, sosial, budaya atau sesuatu bidang kehidupan masyarakat.”

Definisi di atas masih tetap amat luas. Definisi ini tidak mendarat bila dimasukkan dalam konteks bahasa Indonesia. Akibatnya, aturan dalam konvensi ini memang menjadi kurang relevan atau dapat menimbulkan perdebatan. Seperti pertanyaan-pertanyaan : bagaimana bila orang yang warna kulitnya sama (sawo matang) saling mendiskriminasi ? Atau apabedanya suku dengan suku bangsa ? Apa yang dimaksud dengan keturunan ? Atau apa yang dimaksud dengan bangsa ? Akan ditemukan banyak sekali definisi yang tentunya membawa dampak hukum yang berbeda.

159Ibid.


(15)

kebijakan hukum internal tiap-tiap negara peserta. Berdasarkan Pasal 4 Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menjelaskan bahwa:

“Negara-Negara Pihak mengutuk semua propaganda dan organisasi yang dilandasi pemikiran atau teori keunggulan suatu ras atau kelompok orang dengan warna kulit atau asal bangsa yang sama, atau yang mencoba membenarkan atau menyebarkan kebencian dan diskriminasi ras dalam bentuk apapun, dan memutuskan secepatnya tindakan-tindakan positif yang dirancang untuk menghalau semua hasutan atau tindakan diskriminatif seperti itu, dan untuk mencapai tujuan ini dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan hak yang disebutkan dalam pasal 5 Konvensi ini, Negara-Negara Pihak:

(a) menyatakan setiap penyebarluasan gagasan berdasarkan keunggulan atau kebencian terhadap rastertentu, hasutan ke arah diskriminasi ras maupun semua tindak kekerasan atau hasutan untuk melakukan tindakan semacam itu terhadap ras atau kelompok orang dengan warna kulit atau asal bangsa yang berbeda, dan juga pemberian bantuan bagi kegiatan-kegiatan rasis, termasuk bantuan keuangan, adalah kejahatan yang dapat dituntut secara hukum; (b) akan menyatakan tidak sah secara hukum dan melarang semua organisasi dan kegiatan yang diorganisir serta kegiatan-kegiatan propaganda lain yang menyebarluaskan dan mendorong diskriminasi ras, dan menyatakan bahwa keikutsertaan dalam organisasi serta kegiatan semacam itu sebagai kejahatan yang dapat dihukum oleh undang-undang; (c) Tidak membolehkan pegawai atau lembaga pemerintah, baik nasional maupun daerah, untuk menyebarluaskan dan mendorong diskriminasi ras.”

Ketentuan pasal di atas, di tiap-tiap hurufnya dapat dijelaskan sebagai berikut:160

a.Negara Peserta mengutuk semua propaganda yang berdasar ide rasis;

b.Negara Peserta mengutuk semua organisasi yang berdasarkan ide atau teori rasis;

c.Negara Peserta berusaha mengambil tindakan positif yang bertujuan

160Ibid. hal. 6


(16)

memusnahkan rangsangan atau perbuatan diskriminasi.

Penjelasan Pasal 4 di atas dapat dikatakan bahwa tiap-tiap perbuatan baik yang dilakukan seseorang maupun organisasi yang memiliki unsur propaganda diskriminasi ras dapat dikatakan sebagai tindak kejahatan. Negara-negara peserta Konvensi dapat menentukan sendiri tindakan-tindakan positif untuk menghapuskan diskriminasi ras dan etnis. Tindakan tersebut dapat ditentukan dengan suatu kebijakan hukum di masing-masing negara peserta.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa, diskriminasi ras dan etnis merupakan akar dari berbagai kejahatan yang lebih besar sehingga dunia Internasional sangat mengecam perbutan diskriminasi ras dan etnis ini. Dengan ketentuan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tindak diskriminasi ras itu sendiri sejatinya dapat dikatakan sebagai suatu tindak kejahatan.

B. Kejahatan Diskriminasi Ras dan Etnis di Indonesia

Indonesia semenjak masih menyandang nama Nusantara dikenal dunia sebagai negara yang memiliki keaneka ragaman penduduk yang terdiri dari berbagai macam ras dan etnis. Kolonial Belanda mengambil keuntungan dari keanekaragaman penduduk nusantara untuk memecah-mecah Nusantara. Belanda yang semulanya hanya ingin berdagang rempah merubah niatnya untuk menguasai Nusantara. Kedatangan Belanda inilah yang menjadi cikal bakal diskriminasi ras dan etnis di Indonesia.

Belanda melakukan politik devite et impera di Indonesia yang lebih dikenal dengan politik pecah belah. Koloial Belanda memulainya dengan usaha


(17)

membuat suatu penggolongan penduduk, memberlakukan ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Penduduk di Hindia Belanda di bagi menjadi tiga golongan, antara lain:161

1. Golongan Eropa

Pendefinisian golongan Eropa di depan hukum positif disusun pada ayat 2. Berdasarkan ayat ini, orang-oran berasal dari Eropa, semua orang yang diakui undang-undang. Didalam ayat ini, terlihat bahwa ada unsur asas kebangsaan, yaitu orang Belanda dan orang Jepang. Hal ini diperlukan karena orang Jepang berasal dari Asia. Orang Jepang dimasukkan ke dalam golongan Eropa karena pemerintah Belanda mengadakan perjanjian dagang dengan pemerintah Jepang pada tahun 1896, dimana salah satu perjanjiannya memuat bahwa seluruh orang Jepang dipersamakan kedudukannya dengan orang Eropa. Selain asas kebangsaan, asas keturunan juga menentukan masuk atau tidaknya seseorang dalam golongan ini.

2. Golongan Bumi Putra

Pendefinisan golongan golongan Indonesia dari ayat ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi) atau golongan lain yang meleburkan diri. Golongan lain yang meleburkan diri adalah orang-orang bukan Indonesia asli, namun


(18)

menjalani kehidupan meniru kehidupan orang pribumi dengan meninggalkan hukum asalnya. Wanita golongan lain yang menikah dengan orang Indonesia asli juga termasuk dalam golongan Indonesia asli.

3. Golongan Timur Asing

Perumusan golongan Timur Asing dilakukan secara negatif. Diatur dalam ayat 4, orang-orang yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Indonesia. Ayat ini dibuat secara negatif untuk memastikan tidak ada masyarakat yang terlewat dari penggolongan.

Bangsa lain (golongan diluar Bumi Putra) malah diposisikan lebih terhormat oleh kolonial Belanda. Stratifikasi yang dilakukan oleh Kaum Penjajah ini, dikemudian hari dirasakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memecah belah serta menindas masyarakat pribumi agar tidak melakukan perlawanan. Tentunya hal ini merupakan tindakan yang memalukan, Bangsa Eropa berubah menjadi sekelompok penjajah yang pada datang awalnya sebagai sahabat pada akhirnya mereka memperbudak Bangsa Indonesia dengan berbagai doktrinnya. Penundukkan Bangsa Eropah terhadap Bangsa Indonesia berlangsung begitu lama, perjuangan guna merampas kembali harga diri serta badan merupakan perjuangan yang panjang hingga akhirnya sampai pada masa kemerdekaan.162

Setelah merdekapun kaum penjajah tidak hanya meninggalkan bangsa ini dengan kondisi yang porak poranda akibat peperangan tiada henti, tapi politikdiskriminasi mereka masih tertanam dalam pola pikir masyarakat

162Wahyu Effendi, SBKRI dan Pelembagaan Diskriminasi WNdalam Kompas On-Line


(19)

Indonesia. Dalam konteks Indonesia, diskriminasi menjadi kebijakan yang populis dan tersistematis yang diwariskan oleh Kaum Penjajah Eropah. Namun, ironisnya kebijakkan tersebut masih diterapkan oleh pemerintah Indonesia terhadap warganegaranya sendiri, bahkan dengan dimensi yang lebih beragam dan terinstitusionalisasi.163

Fenomena terjadinya tindak diskriminasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:164

1. Kegagalan dalam proses asimilasi 2. Adanya Pluralisme budaya dan agama

3. Klasifikasi sosial buatan kaum penjajah/kolonial

4. Imbas dari kebijakan politik pemerintahan yang sedang berkuasa 5. Adanya kecemburuan sosial antar ras/etnis

6. Paham nativisme yang berlebihan

Perspektif Indonesia terhadap diskriminasi dibagi menjadi dua, yaitu: vertikaldisebut demikian karena diskriminasi ini merupakan proses pelestarian berbagai aturan hukum yang bersifat diskriminatif peninggalan kolonial Belanda. Sedangkan perspektif kedua adalah horizontal,hal ini berhubungan erat sekali dengan situasi sosial dan psikologis masyarakat Indonesia, yakni fragmentation of society atau terpecahnya masyarakat menjadi golongan-golongan tertentu. Akibat dari hal tersebut masyarakat selalu diliputi rasa curiga dan prasangka berlebihan

163ibid.

164Alo Liliweri, Prasangka & Konflik; Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat


(20)

terhadap sesamanya yang akhirnya menimbulkan kebencian dan tindak kekerasan.165

Sama seperti negara lain, diskriminasi ras di Indonesia ini juga menjadi akar dari kejahatan yang lebih besar. Diskriminasi ras memunculkan pertikaian, kerusuhan, pembunuhan, bahkan genoside. Indonesia sendiri dalam sejarahnya telah merekam berbagai kejahatan-kejahatan yang timbul akibat diskriminasi ras dan etnis. Di Pekalongan pada tanggal 31 Desember 1972, terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman pemuda tersebut. Kota Solo merupakan tempat yang rentan terhadap terjadinya kerusuhan antar etnis, dibuktikan dengan terjadinya konflik pada tanggal 20 November 1980 yang dipicu oleh perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan Tiong Hoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Pada tanggal 14 Mei 1998 di Solo terjadi lagi kerusuhan masal yang diakibatkan oleh ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti non-pri.166

Kerusuhan etnis terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia terjadi di Jakarta pada tanggal 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik

165Solidaritas Nusa Bangsa, Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan

Etnik, Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa, Jakarta, 2002, hal.10.

166Almanda Basherina, dalam Tesis Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Diskriminasi

Ras Dan Etnis Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana, Universitas Diponegoro,


(21)

tertentu menjadi kerusuhan anti non-pri. Peristiwa ini merupakan peristiwa anti non-pri paling besar. Sejumlah perempuan keturunan Tiong Hoa diperkosa.167

Berbagai temuan, baik itu berasal dari investigasi jurnalisme atau reportase media massa, hingga temuan investigasi independen yang dibentuk Pemerintah Indonesia menggambarkan bagaimana diujung periode Orde Baru (sesaat sebelum Soeharto mengundurkan diri), 13-15 Mei 1998 terjadi sebuah kerusuhan massal di berbagai kota besar di Indonesia; Jakarta, Medan, Surabaya, Palembang, Solo, dan Lampung. Di tengah-tengah kerusuhan massal tersebut terjadi tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia; mulai dari penjarahan harta benda, kekerasan fisik, hingga perkosaan terhadap perempuan Tionghoa. Pada momentum yang sama di kota-kota besar tersebut sentimen rasial tampil secara terbuka. Kata-kata “milik pribumi” tertulis di berbagai rumah atau pertokoan untuk menghindari penjarahan oleh massa.Di antara yang tersulit untuk diverifikasi rincian kebenarannya adalah jumlah korban perkosaan. Temuan dari sebuah NGO (Tim Relawan untuk Kemanusiaan) menyatakan 168 orang menjadi korban perkosaan, sebagian besar merupakan perempuan etnis Tionghoa. Sementara itu temuan resmi pemerintah, yaitu temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukan ada 85 orang menjadi korban kekerasan seksual, 52 orang di antaranya merupakan korban perkosaan dan sebagian besar juga berasal dari etnis Tionghoa dan dilakukan secara gang rape. Estimasi akurat jumlah


(22)

korban sebenarnya tentu saja bisamelebihi angka-angka di atas mengingat sulitnya mengungkap jenis kejahatan paling keji ini lewat barang bukti atau kesaksian.168

Kasus kerusuhan tidak hanya terjadi pada antar ras, tetapi juga antar etnis. Seperti yang terjadi di Sanggauledo pada tanggal 30 Desember 1996, Suku Dayak Sanggauledo, Kalimantan Barat, menyerang dan membakar perkampungan Madura. Ratusan orang tewas. Ribuan orang Madura sempat diungsikan. Awalnya adalah perkelahian antar pemuda. Di Sambas, Maret 1999, Pertikaian antara suku Melayu dan Dayak di satu pihak melawan suku Madura di pihak lain. Ratusan korban tewas dalam kerusuhan itu, sebagian besar warga Madura.169

Kerusuhan yang terbaru adalah kerusuhan yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, Februari 2001, pertikaian meledak antara suku Dayak melawan suku Madura. Pokok masalah pertikaian Madura dan Dayak di Kalimantan Tengah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Kalimantan Barat. Ratusan orang, kebanyakan dari suku Madura, tewas. Berbagai versi berkembang di masyarakat tentang bagaimana kerusuhan ini bisa terjadi. Semuanya berawal dari pertikaian antar beberapa orang yang terdiri dari etnis Madura dan Dayak, namun dibalik itu semua sudah ada dendam adat yang sekian lama tumbuh di hati etnis dayak. Pertikaian tersebut menjadi faktor pemicu (precipitation factor) tumpahnya kerusuhan Sampit serta Sambas. Suku Dayak yang merasa wilayahnya dikotori oleh kedatangan Suku Madura (yang aslinya merupakan pendatang dari program transmigrasi) tidak terima daerah mereka dijamuri

168ICERD dalam Laporan Alternatif Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) Di Indonesia, Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesiahal. 16.


(23)

tempat-tempat judi, pelacuran, serta warung-warung penjual miras. Saat peristiwa kerusuhan terjadi, Sampit berubah menjadi killing field Suku Madura. Pasukan Suku Dayak (yang menurut pengakuan sejumlah saksi beraksi layaknya orang yang sedang kerasukan / trance akibat mantra dukun adat) dengan tidak ragu membantai serta membabat leher-leher Suku Madura. Polisi tidak bisa berbuat apa-apa, perang antar suku pun tumpah. Sejumlah suku Madura yang mampu meloloskan diri kembali ke Madura dengan meninggalkan sanaksaudara serta harta benda.

Sampai saat ini secara umum Pemerintah tidak melakukan upaya-upaya penanganan konflik khususnya yang terjadi di Kalimantan Barat antara etnis Madura dan Dayak. Hal ini bisa dilihat dari keadaan pengungsi kelompok etnis Madura yang sampai saat ini belum bisa pulang ke tempat tinggalnya. Negara belum memfasilitasi rekonsiliasi permanen diantara kedua belah pihak. Sehingga sampai saat ini secara psikologis, masyarakat etnis Madura belum berani pulang ketempat tinggalnya. Dan masyarakat etnis Dayak belum bisa menerima kehadiran mereka.170

Contoh-contoh kasus diatas menggambarkan kejahatan-kejahatan yang diakibatkan diskriminasi rasial adalah nyata adanya dalam sejarah Indonesia. Dimulai dari penanaman ideologi pada masa kolonial Belanda mengenai diskriminasi ras sehingga memunculkan suatu paham Rasisme di dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia seakan-akan telah membuat suatu pen”cap”an tersendiri bagi tiap-tiap ras dan etnis di Indonesia yang dapat

170ICERD,op. cit. hal. 21-22.


(24)

menimbulkan kebencian, bahkan kekerasan bagi ras atau etnis yang lebih minoritas. Akibat adanya rasa sentimen yang berujung pada diskriminasi ini, untuk beberapa saat sempat menimbulkan perasaan terteror oleh ulah beberapa kelompok yang bermaksud memusnahkan etnis-etnis tertentu tersebut. Perasaan sentimen terhadap suku atau etnis tertentu tentunya dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang berlandaskan perasaan diskriminasi.

C. Politik Hukum Pidana Dalam Terhadap Instrumen Hukum di Indonesia Untuk Menanggulangi Kejahatan Rasial

Hukum pidana akhirnya harus mengambil peran signifikan untuk masuk keranah kebijakan yang menyeluruh dalam kerangka misi penghapusan segala bentuk praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Ranah disiplin hukum pidana tersebut mencakup norma- norma yang harus ditaati oleh siapa pun juga di mana norma tersebut berisi perintah atau larangan yang mana jika setiap subyek hukum melakukan pelanggaran atas norma tersebut akan dikenakan sanksi. Misi tersebut selaras dengan tujuan hukum pidana itu sendiri sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum untuk melindungi masyarakat, yang intinya adalah penjagaan terhadap tertib sosial.171

171Indriaswati Diah Saptaningrum & Syahrial Martanto Wiryawan, op. cit., hal. 14

Dalam memerangi tindakan diskriminasi ras dan etnis, Indonesia juga tidak ketinggalan untuk membuat produk hukum untuk menghapuskan diskriminasi ras dan etnis. Pengaturan mengenai diskriminasi ras secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP yang dilandaskan pada ketentuan Pasal 28 I (ayat 2) UUD 1945 yang berbunyi:


(25)

“setiap orang berhak bebas dari perlakan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Indonesia merealisasikan penghapusan diskriminasi ras dan etnis dalam KUHP Pasal 156 dan Pasal 157. Tiap pasal-pasal tersebut menyatakan:

Pasal 156:

“Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indnesia dipidana dengan penjara selama-lamanaya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah. Yang dimaksudkan dengan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya adalah setiap bagian dari penduduk Indonesia yang mempunyai perbedaan dengan satu atau beberapa bagaian lainnya dari penduduk berdasarkan suku, daerah, agama, asal usul, keturunan, kebangsaan atau kedudukan hukum ketatanegaraan.”

Pasal KUHP lainnya yang mengkriminalisasi tindak pidana terkait dengan praktik diskriminasi rasial adalah Pasal 157, yang berbunyi sebagai berikut:

1. Barang siapa menyebarluaskan mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan aau gambar yang didalmnya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian, atau merendahkan di antara atau terhadap golongan- golongan penduduk di donesia, dengan maksud agar isinya diketahui orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak, dipidana penjara selama-lamanya dua tahun dan enam bulan tau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika orang yang bersalah itu telah melakukan kejahatan tersebut di dalam pekerjaannya, atau pada waktu meakukan kejahatan itu belum lewat waktu lima tahun, sejak ia dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukun tetap karena melakukan kejahatan serupa, maka ia dapat dicabut haknya untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Bila dijabarkan maka Pasal 156 KUHP memiliki inti memberikan ancaman kepada siapa saja yang menyatakan perasaan:


(26)

2. Kebencian 3. Penghinaan

Yang mana obyek sasarannya adalah suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Perasaan benci yang dimaksud adalah perasaan yang timbul akibat adanya perbedaan, berupa:

1. Perbedaan ras

2. Perbedaan negeri asal 3. Perbedaan agama 4. Perbedaan tempat asal 5. Perbedaan keturunan 6. Perbedaan kebangsaan 7. Perbedaan Kedudukan.

Sedangkan pada pasal 157 (1) KUHP intinya adalah tindakan yang berlandaskan perasaan:

1. Permusuhan

2. Kebencian; dan kedua-duanya ialah dengan maksud untuk melakukan penghinaan karena disertai tindakan

3. Menyiarkan 4. Mempertunjukan

5. Menempelkan, di muka umum Yang mana obyeknya berupa : 1. Tulisan


(27)

Indonesia.

Terdapat perbedaan diantara pasal-pasal diatas, Pasal 156 KUHP lebih menekankan pada perbuatan diskriminasi yang dilakukan dengan tindakan oral (tanpa tindakan nyata), sedangkan dalam Pasal 157 KUHP diskriminasi ditunjukan dalam tindakan nyata berupa tulisan dan lukisan terhadap golongan Rakyat Indonesia. Sayangnya pasal-pasal ini tidak mampu menjerat pelaku dan mengatasi peliknya permasalahan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia. Beberapa kasus diskriminasi di Indonesia sampai saat ini tidak ditangani oleh pemerintah malah cenderung mengalami impunitas. Impunitas terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya:172

1. tidak adanya mekanisme yudisial maupun ekstra yudisial yang memadai untuk menghukum pelaku dan menghadirkan keadilan bagi korban;

2. tidak adanya mekanisme truth seeking dan pembangunan rekonsiliasi dalam konfliketnis;

3. tidak adanya mekanisme reparasi bagi korban;

4. bahkan kejahatan yang berbasis rasial hanya dianggap sebagai kejahatan umum/biasa.

Pada hakikatnya kebijakan pidana (penal policy) dapat difungsionalisas-ikan dan dioperasionalisadifungsionalisas-ikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif. 173

172ICERD, op.cit hal. 9

173Barda Nawawi Arief, op.cit. hal. 75.

Impunitas terhadap kasus diskriminasi di Indonesia jelas sakali tidak menjalankan kebijakan hukum pidana pada tahap


(28)

aplikasi atau kebijakan Yudikatif.

Dalam Pasal 6 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menentang adanya Impunitas dalam kasus diskriminasi ras. Pasal tersebut secara jelas mewajibkan negara untuk memberikan jaminan keadilan bagi korban dan menghukum pelaku melalui keputusan pengadilan, serta melakukan tindakan efektif untuk pemulihan korban.

Didasari pada upaya negara-negara di dunia dalam menghapuskan diskriminasi rasial dan etnis, maka digelar Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) 21 Desember 1965, dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tiga puluh tahun setelah Konvensi. Alasan Indonesia meratifikasi Konvensi inidikarenakan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial.174

Dalam konteks reformasi hukum pidana, Pasal 4 Konvensi menyatakan, bahwa sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah positif secepatnya yang disusun untuk menghapuskan suatu

174Penjelasan Umum mengenai Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis dalam Undang-Undang no. 29 Tahun 1999 mengenai alasan-alasan Indonesia menjadi Negara Pihak dalam Konvensi.


(29)

hasutan atau tindakan- tindakan diskriminasi di antaranya:175

1. Menyatakan bahwa segala bentuk penyebaran pemikiran-pemikiran yang berdasarkan atas supremasi ras atau kebencian, hasutan untuk melakukan diskriminasi rasial dari semua tindakan kekerasan atau hasutan melakukan kekerasan terhadap ras atau kelompok perorangan dari warna kulit atau asal usul etnik yang lain, serta pemberian bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis, termasuk pendanaannya sebagai suatu tindak kejahatan yang diancam hukuman;

2. Menyatakan tidak sah dan melarang organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan propaganda atau kegiatan-kegiatan lainnya yang terorganisir untuk mendukung dan menghasut diskriminasi rasial, serta menyatakan bahwa partisipasi dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan seperti itu sebagai tindak kejahatan yang diancam hukuman;

3. Melarang pejabat-pejabat kekuasaan umum atau lembaga-lembaga umum baik tingkat lokal maupun nasional untuk mendukung atau melakukan hasutan diskriminasi rasial.

Secara sederhana Pasal 4 Konvensi memuat lima perbuatan inti yakni: Pertama, penyebaran pemikiran yang berdasarkan atas supremasi ras atau kebencian; Kedua, hasutan untuk melakukan diskriminasi rasial; Ketiga, hasutan melakukan kekerasan terhadap ras kelompok perorangan dari warna kulit atau asal usul etnik yang lain; Kempat, pemberian bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis; Kelima, partisipasi dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan yang rasis.

175International Convention on The Elimination of all Forms of Racial Discrimination 1965.


(30)

Lima perbuatan tersebut secara etik dan teknis harus menjadi referensi utama dalam merumuskan perbuatan pidana yang akan dikriminalisasi melalui undang-undang nasional. Dengan karakteristik spesifiknya, sarana hukum pidana harus didayagunakan untuk mendorong kebijakan yang progresif untuk menghapuskan segala bentuk praktik-praktik diskriminasi rasial.

Pasal 4 Konvensi ini secara tegas mengizinkan negara peserta untuk membuat instrumen hukum berkenaan dengan penghapusan tindak diskriminasi ras dan etnis. Indonesia yang semula hanya memiliki peraturan mengenai diskriminasi ras dan etnis berdasarkan ratifikasi konvensi tersebut, membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat nasionaluntuk menghapuskan diskriminasi ras dan etnis yakni Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 mengenai Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pencerminan pendekatan nilai terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 ini. Pasal ini menyatakan pada ayat 1(satu) menyatakan penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada ayat berikutnya dijelaskan bahwa nilai-nilai universal itu diselenggarakan tetap memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis dijelaskan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan dengan ketentuan peraturan


(31)

perundang-undangan.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis menyatakan, untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, pemerintah dan pemerintah daerah wajib:

1. memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses

2. menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian, dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat diskriminasi ras dan etnis;

3. mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan 4. melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah,

mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis.

Pasal 6 dan 7 ini sejalan dengan Pasal 6 Konvensi yang menentang adanya impunitas dalam tindak pidana diskriminasi ras dan etnis. Segala aspek dan lembaga dalam masyarakat pun juga berperan dalam perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana diskriminasi ras dan etnis, sehingga timbullah suatu tertib


(32)

sosial yang mana merupakan salah satu tujuan dari hukum pidana.(social defence).

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini terdiri dari 7 pasal, dimulai dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 21. Terdapat rumusan pasal mengenai kejahatan yang dilakukan dengan dasar diskriminasi ras dan etnis, yakni Pasal 17. Pasal 17 Undang-Undang 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.”

Pasal ini menyatakan secara limitatif mengenai apa saja kejahatan yang didasari pada diskriminasi ras dan etnis, yakni perampasan nyawa orang, penganiayaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, dan perampasan kemerdekaan. Penjatuhan pidana terhadap perbuatan ini diberikan pemberatan dengan ditambah 1/3 hukuman dari masing-masing ancaman pidana maksimum. Juga pada Pasal 18 pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban.

Pengaturan lain mengenai penghapusan diskriminasi ras dan etnis dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, terutama terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”


(33)

Ketentuan pidana terhadap Pasal 28 ayat (2) ini terdapat pada pasal 45 ayat (2) yang berisi:

“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pasal 28 ayat (2) menjelaskan perbuatan rasis ialah perbuatan yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) khususnya melalui media elektronik. Kasus yang paling baru berkaitan dengan ketentuan ini yakni, kasus penghinaan etnis Tionghoa yang dilakukan seorang pengacara bernama Farhat Abbas yang ditujukan kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok. Farhat Abbas membuat komentar yang memancing permusuhan terhadap etnis Tionghoa dalam media sosial di salah satu akun jejaring sosialnya, Twitter dan Farhat Abbas telah ditetapkan sebagai tersangka176

Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik merupakan bagian dari peraturan-peraturan pidana khusus dalam hukum pidana Indonesia. Indonesia dirasa perlu untuk memiliki satu sumber hukum pidana yang tunggal, sehingga dibuat suatu peraturan hukum pidana baru yang mencakup seluruh aspek pidana, yaitu Kitab Undang-Undang

karena telah memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.


(34)

Hukum Pidana Baru (KUHP baru). KUHP baru ini baru dalam tahap perancangan. Kebijakan tim perancang KUHP secara umum adalah meniadakan adanya ketentuan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Di mana KUHP merupakan satu-satunya sumber hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana dan tindak pidana.177

Proses perancangan KUHP baru saat ini perlu dipertimbangkan sebagai salah satu peluang untuk melakukan intervensi substansi dengan menempatkan kejahatan diskriminasi rasial dalam rumusan yang memiliki substansi memadai dan presisi pasal yang memuat rumusan perbuatan yang layak dikriminalisasi dengan tepat. Diskriminasi rasial dalam hal ini dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan/tindak yang dapat dikenakan pidana bila dilakukan. Diskriminasi ras dan etnis dapat dikatakan sebagai suatu fenomena sosial yang dikriminalisasikan. Kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi adalah:178

1. apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban;

2. apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai; 3. apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak

seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.

4. apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa,

177Mudzakkir, Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan KUHP, diselenggarakan oleh

ELSAM, Jakarta, 28 September 2006.

178Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,


(35)

sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

Dari unsur-unsur di atas dapat peroleh kesimpulan bahwa diskriminasi ras dan etnis dalam hal ini dapat dikriminalisasikan. Dua poin utama yang mendukung adanya kriminalisasi, yaitu: pertama adanya realita sosial bahwa diskriminasi yangtelah tumbuh di Indonesia telah memakan korban yang tidak sedikit dan mengakibat efek negatif yang meluas (wide spread) dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Kedua, diskriminasi jelas-jelas menghambat cita-cita negara untuk mewujudkan Indonesia bersatu dengan tidak mengesampingkan ideologi Bhineka Tunggal Ika.179 Ide kriminalisasi ini tampaknya didukung pula dalam Konsep KUHP, karena permasalahan diskriminasi telah diformulasikan dalam Buku Kedua tentang Tindak Pidana, Bab V Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, Paragraf 3 tentang Penghinaan terhadap Golongan Penduduk, Pasal 286 dan Pasal 287. Tiap tiap pasal berbunyi sebagai berikut:180

(1) “ Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap Pasal 286:

“Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.”

Pasal 287:

179Almanda Basherina, op. cit.,, hal. 79


(36)

satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” (2) “ Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.”

Tabel Perbandingan Pasal KUHP dan Rancangan KUHP mengenai Tindak Pidana Penghinaan terhadap Golongan Penduduk

KUHP Rancangan KUHP

Pasal 156

Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasalberikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 286

Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

KUHP Rancangan KUHP

Pasal 157

(1)Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan

Pasal 287

(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan


(37)

tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 157

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Pasal 287

(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

Pasal 286 RUU KUHP telah menguraikan secara spesifik penghinaan dengan basis praktik diskriminasi rasial seperti yang dirumuskan oleh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama). Bahkan, Tim Perumus RUU KUHP telah memperluas cakupan delik penghinaan tersebut terhadap kelompok minoritas lainnya seperti yang


(38)

ditentukan dengan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik, namun dari segi rumusan perbuatannya, Pasal 286 RUU KUHP juga memiliki kemunduran dengan hanya mencantumkan “perbuatan penghinaan”, padahal di dalam Pasal 156 KUHP selain penghinaan terdapat perbuatan lainnya seperti; perasaan permusuhan dan kebencian. Rumusan yang cukup kontroversial dalam RUU KUHP adalah adanya rumusan “berakibat timbulnya kekerasan” sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana penghinaan terhadap golongan penduduk. Cara perumusan dengan bentuk delik material ini, seharusnya dihindari oleh Tim Penyusun Rancangan KUHP karena praktik-praktik diskriminasi rasial apapun bentuknya, memiliki ancaman serius bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.181

Secara umum observasi terhadap Pasal 157 KUHP dan Pasal 287 Rancangan KUHP adalah sama dengan uraian yang dipaparkan dalam analisa singkat atas Pasal 156 KUHP dan Pasal 286 Rancangan KUHP. Catatan khusus dalam Pasal 287 ayat (1) Rancangan KUHP adalah adanya tambahan dari Tim Perumus mengenai satu sarana yang dipakai untuk menyiarkan atau mempertunjukkan “pernyataan perasaan permusuhan“, yakni melalui medium rekaman (bisa ditafsirkan dalam bentuk: audio – visual).182

Permasalahan yang akan timbul kemudian hari ialah bagaimana bila rumusan pasal-pasal di atas telah disahkan, tetapi dalam prakteknya tindak diskriminasi terhadap ras dan etnis tidak juga terhapus dalam kehidupan

182ibid.


(39)

berbangsa dan bernegara di Indonesia. Apa yang salah bila hal tersebut terjadi? Untuk menjawab permasalahan efektifitas formulasi perundangan hukum pidana di atas, maka sebelum memulai perumusan suatu produk perundangan pidana, Ted Honderich mengemukakan pendapatnya bahwa pidana dapat dipergunakan sebagai alat pencegah yang ekonomis bila:183

1. pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

2. pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/ merugikan daripada yang akan terjadi apabila itu tidak dikenakan;

3. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.

Penyelesaian problematika kejahatan-kejahatan dengan dasar diskriminasi rasial dan etnis tidak hanya melalui pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai. tetapi juga dengan cara pendekatan humanistik (kemanusiaan). Walaupun sebenarnya diskriminasi ras dan etnis dapat dipandang sebagai suatu kejahatan dan juga dapat memicu kejahatan-kejahatan lainnya, akan tetapi tindak pidana diskriminasi ras dan etnis pada dasarnya merupakan bagian dari isu kemanusian.

Salah seorang pejuang HAM dari etnis Tionghoa, Yap Thiam Hien, menyatakan bahwa yang dibutuhkan oleh pemerintah serta rakyat Indonesia bukan brain-washing tetapi heart-cleansing.184

183Barda Nawawi Arief, op cit, h. 35

184Junus Jahja, Peranakan Idealis; Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya,Kepustaka-an

Populer Gramedia, Jakarta, 2003, hal. 162

Upaya untuk tidak menindak-lanjuti tindakan-tindakan diskriminasi ras dan etnis serta kejahatan-kejahatan yang berakar dari situ sehingga menimbulkan impunitas hanya sekedar untuk


(40)

menutup-nutupi kelamnya diskriminasi ras dan etnis bukan untuk menanggulanginya. Rakyat Indonesia tidak akan belajar jika metode brain-washing diberlakukan.

Selain itu sepatutnya disadarinya baik oleh Pemerintah dan segenap rakyat Indonesia, bahwa Indonesia ini adalah negara yang pluralistik dan multikultural, yang selalu diwarnai dengan heterogenitas dalam tiap unsur kehidupan berbangsa bernegara. Perbedaan ini lantas bukan seharusnya dijadikan garis pembatas antara satu dan lainnya, justru karena keragaman ini lah Indonesia tampak menarik dan “ hidup”.185


(41)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Politik Hukum Pidana memiliki peran penting dalam penanggulangan kejahatan secara rasional oleh masyarakat dan Negara yang dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana di Indonesia. Dalam hal ini menyangkut kegiatan dekriminalisasi dan kriminalisasi.Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap :

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang- undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kedua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.


(42)

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.

Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu dan harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan beberapa teori pemidanaan yakni teori absolut (teori retributif), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan (integratif), teori treatment, dan perlindungan sosial (social defence). Politik hukum pidana dalam pidana di Indonesia juga berperan dalam pembaharuan hukum pidana yang dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yaitu pendekatan-pendekatan kebijakan dan pendekatan-pendekatan nilai.

2. Konsep diskriminasi rasial muncul pada zaman romawi kuno. Lalu seiring perkembangan zaman paham rasisme yang timbul dari konsep itu mulai berkembang di Benua Eropa. Bangsa Eropa (kulit putih) menganggap dirinya lebih superior dibanding bangsa/ ras lain. Paham ini sampai ke Indonesia pada saat kolonial Belanda mulai menjajah Indonesia, dengan politik pecah belahnya, Kolonial Belanda mengluarkan kebijakan pembagian golongan hukum berdasarkan golongan penduduk menjadi tiga golongan yaitu, golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra. Penggolongan ini menjadi cikal bakal diskriminasi ras dan etnis di Indonesia dan tak bisa dipungkiri dalam sejarah Indonesia terdapat beberapa kasus diskriminasi ras dan etnis berubah menjadi suatu tindak


(43)

kejahatan. Tindak diskriminasi ras dan etnis dapat pula disebut sebagai kejahatan, karena dapat menjadi pemicu tindak kejahatan yang lebih besar. Dalam menanggulanginya diperlukan suatu instrumen hukum pidana yang dibuat berdasarkan politik hukum pidana di Indonesia. Dalam rangka pengaturan tindak pidana diskriminasi terhadap ras dan etnik Terdapat pada beberapa pasal UUD 1945, Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP, selain itu Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan penghapusan tindak diskriminasi. Terdapat pula Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta beberapa pasal yakni Pasal 286 dan Pasal 287 dalam RUU KUHP baru. Dalam setiap instrumen hukum ini telah dilakukan kriminalisasi terhadap tindakan diskriminasi ras dan etnis berdasarkan kebijakan hukum pidana di Indonesia dan menjadikan perbuatan diskriminasi ras dan etnis dapat dijatuhkan hukuman sehingga dapat menanggulangi kejahatan dengan basis ras dan etnis.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan pelaksanaan politik hukum pidana untuk mengikuti perkembangan masyarakat yang sangat dinamis yang diikuti dengan perkembangan kejahatan. Pelaksanaan politik hukum pidana akan menimbulkan konsekuensi yang adil karena hukum pidana tidakhanya hukum yang terlepas dari masyarakatnya melainkan akan ada didalam masyarakat.


(44)

2. Perlu dilakukan pendekatan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat khususnya di Indonesia berdasarkan Pancasila dalam pelaksanaan politik hukum pidana, dengan pendekatan nilai-nilai ini diharapkan dapat tercapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri.

3. Perlu transparansi dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak diskriminsasi ras dan etnis di Indonesia guna melaksanakan kebijakan politik hukum pidana dalam tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) sehingga dikemudian hari tidak ditemukan impunitas dalam kasus tindak diskriminasi ras dan etnis.

4. Perlu memberikan pemahaman oleh negara kepada masyarakat melalui sarana hukum pidana bahwa tindak diskriminasi ras dan etnis juga merupakan suatu tindak kejahatan dan diperlukan sanksi bagi yang melakukannya, sesuai dalam Pasal 4 Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.


(45)

BAB II

PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan.35

Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana masih dikuasai paham absolutisme pada zaman ancient regime, penguasa merumuskannya secara politis dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar kekuasaan sewenang-wenang dimungkinkan. Pada masa revolusi Perancis, merupakan awal perubahan hukum pidana yang disusun secara sistematis. Perubahan tersebut menuju pada pola pendekatan sosial dan menganggap kejahatan sebagai gejala sosial. Munculah kelompok aliran hukum pidana dengan klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis.36

Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan

35M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System

&Impelementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 1


(46)

eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi, Kriminalisasi, menurut Sudarto,37

Dalam hubungan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan

dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.

38

bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan perngertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro,39

37Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39-40.

38Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30.

39Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan

Kejahatan), Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 84

adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khusunya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari politik sosial.


(47)

Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.40

Dari uraian di atas tampaknya terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.41

Teori-teori criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali.42

Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”.43

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam riga kerangka, yaitu sturktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan.Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari

40M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban

Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal. 18.

41Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002, hal. 24.

42Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta,

1983, hal. 55

43Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The


(48)

sistem itu. Kemudian kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem. 44

Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya,

Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri.

45

Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian, tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana (perumusan delik) mempunyai hubungan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya tertib hukum dalam suatu Negara.

ini disebut le-galitas dalam hukum pidana.

46

Dalam mengkaji politik hukum pidana, maka hal ini terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto,47

44Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 4 45ibid. hal. 5.

46Ibid.

47Sudarto, op. cit, hal. 16


(49)

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan Negara;

2. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan Negara.

Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik criminal, politik hukum, dan politik hukum pidana.

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud 48

Menurut Solly Lubis,

menjelaskan hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh) dan politik sebagai independent variable (variable berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai:

“Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mem-pengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.”

49

48Mahfud MD.. op. cit, hal. 1-2

49Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 49

politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


(50)

Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan, 50

Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten

politik hukum merupakan kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk meng- ekspersikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

51

Politik Kriminil atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society.

menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logical bahan-bahan positif, yakni undang-undang, dan vonis-vonis. Menurut Scholten, bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemurnian ilmu hukum selalu mengandyng sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka menurut Scholten, ilmu hukum akan menjadi mahluk tanpa darah.

52

50Sudarto, loc. Cit.

51B. Arief Sidharta, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas

Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997, hal. 5

52Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, Semarang, 2000, hal. 47.

Hal ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.


(51)

Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dihormati.53

Jika demikian halnya maka menurut Sudarto,54

Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrument) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafas Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam

melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

53Sudarto, op. cit, hal. 23 54ibid. hal. 93-94


(52)

pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijuwai oleh semangat dan idealisme Pancasila.55

Menurut Sudarto,56

1. Dalam arti sempit, politik kriminil digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.

politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.

2. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat

Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminil berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penganggulangan kejahatan.

Pada bagian lain, Sudarto menyatakan,57

55Sahetapy, Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan

Sistem Hukum, Analisis CSIS (Januari-Februari, XXII), No. 1, 1993, hal. 55-56

56Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal. 113-114

57Sudarto, op. cit, hal. 161-162

menjalankan politik hukum pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai hasil yang berhasilguna dan berdayaguna maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi.


(53)

Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional.

Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel,58

Sebagai mana dikemukakan oleh G Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu:

menurut, in modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk me-mungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundang-undangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu diterapkan dan penyelengaraan pemasyarakatan (prison administarion) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.

59

1. Penerapan hukum pidana/ Criminal law application;

2. Pencegeahan tanpa pidana /Prevention without punishment;

3. Mempengaruhi masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan / Influencing views of society on crime anf punishment.

58Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 1.

59Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,


(1)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah Tuhan yang Esa atas rahmat dan hidayah yang tidak terhingga kepada Penulis. Salam dan shalawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi yang telah di utus untuk membawa rakhmat dan kasih sayang bagi seluruh alam. Semoga rakhmat dan karunia selalu tercurah kepada beliau, keluarga dan para sahabat.

Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul, “POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN YANG DILAKUKAN DENGAN BASIS RASISME”. Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.

Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagaipihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak banyaknya kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut :


(2)

1. Kepada Kedua orangtuaku, Mamaku Susilawaty, Papaku Ir. Herizal, karena atas dorongan dan semangat yang mereka berikan penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam membiayai dan membesarkan penulis maka dapat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga sampai kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.

2. Kepada Abangku, Heru Nugroho dan pada adikku, Dina Tri Wulandari. yang selalu mendukung dan memberikan semangat, semoga sukses selalu kepada kalian.

3. Kepada Keluarga Besar ku di rumah, Sepupuku iban, Paklek Herdi dan Buklek Rini. yang selalu mendukung dan memberikan semangat serta doa kepada penulis hingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, beserta seluruh staf-stafnya.

5. Kepada Bapak Pembimbing Dosen IProf. Dr.Alvi Syahrin SH., MS.dan Bapak Pembimbing Dosen II Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. penulis berterimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan, ilmu-ilmu yang selama ini diberikan kepada penulis yang akan berguna di dalam menjalankan kehidupan sekarang, esok dan seterusnya.

6. Kepada Bapak Dr. M. Hamdan SH. M. H. selaku Ketua DepartemenHukum Pidana dan Ibu Liza Erwina SH. M. Hum selaku SekretarisDepartemen Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagipenulis untuk membuat skripsi ini.


(3)

7. Kepada seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara, yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya. 8. Kepada Sahabat sekaligus teman dekat yang sudah penulis anggap sebagai

saudara sendiri yaitu teman-teman AAYD,Tommy Elvani Siregar, Enriko Abianto Lumban Tobing,Timbul Tua Marojahan, Putra Ananta Silalahi, Mario Tondi Simamora , Awlia Sofwan Lubis, Adri Hariadi, Iswanda Abdul Illah Situmorang dan Irvan Deriza, kemudian teman-temanGG, Sitiara Manik, Sophie Khanda Aulia Brahmana, Lailan Hafni Harahap, Sella Sartika, Seviola Islaini, Sitiara Manik, Meilisa Bangun, Carina Etta Siahaan, Pasca Putri Q Purba, Erika, Yuthi Sinari, Jennifer dan Vilany Lafiza, karena atas bantuan motivasi dan dorongan yang telah kalian berikan maka penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, semoga Persahabatan kita sampai selama – lamanya.

9. Dan kepada teman - teman mahasiswa baik teman satu angkatan dan junior seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya serta senior yang telah banyak memberikan arahan-arahan serta semangat kepada saya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Berkat dan KaruniaNya kepada kita semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak – pihak yang tidak disebutkan di atas. Saya menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik yang akan diajukan yang mana kritik tersebut akan membuat saya menjadi lebih baik,


(4)

semoga penulisan ini dapat bermanfaat baik buat penulis dan menjadi ilmu yang berguna bagi masyarakat.

Medan, 30 Mei 2013


(5)

DAFTAR ISI

Abstraksi……… i

Kata Pengantar………. ii

Daftar Isi……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..…. 1

B. Perumusan Masalah……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 6

D. Keaslian Penulisan………. 8

E. Tinjauan Kepustakaan……… 8

1. Hukum Pidana dan Politik Hukum Pidana... 8

2. Pengertian Tindak Pidana dan Kejahatan..……….. 13

3. Ras, Rasisme, dan Diskriminasi Rasial………... 21

F. Metode Penelitian………... 26

G. Sistematika Penulisan………. 28

BAB II PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana...………... 30

B. Politik Hukum Pidana dalam Menentukan Pemidanaan...……….... 47


(6)

BAB III PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENGANGGULANGAN KEJAHATAN BERBASIS RASISME A. Perkembangan dan Konsep-Konsep Mengenai Diskriminasi Ras dan Etnis.. 81 B. Kejahatan Diskriminasi Ras dan Etnis di Indonesia... 91 C. Politik Hukum Pidan terhadap Instrumen Hukum Untuk Menanggulangi

Kejahatan rasial... 99

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….. 116

B. Saran………. 118