Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri Terhadap Anak Tiri

(1)

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL IBU TIRI TERHADAP ANAK TIRI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

EKY JULIANY FAMY LUBIS

061301020

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2013/2014


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL IBU TIRI TERHADAP ANAK TIRI

Dipersiapkan dan disusun oleh:

EKY JULIANY FAMY LUBIS 061301020

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 27 Agustus 2013

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Ika Sari Dewi, S.Psi, psikolog Penguji I/Pembimbing

NIP. 197809102005012001

2. Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog Penguji II

NIP. 198303192006042001

3. Meutia Nauly, M.Si Penguji III NIP. 196711272000032001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri Terhadap Anak Tiri

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 27 Agustus 2013

EKY JULIANY FAMY LUBIS NIM 061301020


(4)

Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri terhadap Anak Tiri Eky Juliany Famy Lubis dan Ika Sari Dewi, S. Psi, psikolog

ABSTRAK

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Menurut Orford (1992), terdapat 5 (lima) dimensi dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrasi sosial. Salah satu sumber dukungan sosial adalah keluarga. Keluarga utuh dapat terpecah dan membentuk keluarga baru, yaitu keluarga tiri. Di dalam keluarga tiri terdapat orangtua tiri, baik itu ayah tiri atau ibu tiri dan saudara tiri.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh ibu tiri terhadap anak tiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode theory based/operational based, dimana responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori dukungan sosial. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang, yang terdiri satu orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki ibu tiri dan tinggal dengan keluarga tiri.

Hasil penelitian menunjukkan gambaran bahwa pemenuhan dimensi dukungan sosial yang diterima oleh anak tiri dari ibu tiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keintiman dan keterampilan sosial. Pada responden anak tiri perempuan, kedekatan antara ibu tiri dan anak tiri menyebabkan kebutuhan dukungan sosialnya dapat terpenuhi. Pada responden anak tiri laki-laki, hubungan buruk antara ibu tiri dan anak tiri menyebabkan tidak terpenuhinya dukungan sosial yang dibutuhkan anak tiri, namun karena tingginya faktor keterampilan sosialnya yang membuatnya memiliki banyak teman, hal itu mampu menutupi kekurangan dukungan sosial tersebut.


(5)

Social Support from Stepmother to the Stepchildren Eky Juliany Famy Lubis dan Ika Sari Dewi, S. Psi, psikolog

ABSTRACT

Sosial support refers to comfort, attention, and appreciation that can be relied when someone has difficulty (Orford, 1992). According to Orford (1992), there are five dimensions of social support, i.e. instrumental, informational,, appreciation, emotional, and social integration. One of social support’s source is the family. The intact family can be split and form the new family, i.e. stepfamily. Stepfamily has stepparents, i.e. stepfather or stepmother and stepbrothers or stepsisters.

The purpose of this research is to know the description of social support in adolescence with stepmother. This research used the qualitative approach. The sample was chosen by using theory based/operational based method, which participants were chosen based on the appointed criteria, based on the social support theory. The process of data collection using the interview method. Participants in this research are two people, who consisted of one female adolescent and one male adolescent. The characteristic of the sample is the stepchildren who has stepmother.

Results of the research described that the fulfillment of social support dimensions that have been received by the stepchildren from the stepmother was affected by intimacy and the social skills. In the stepdaughter participant, the closeness of stepmother and stepdaughter make her can fulfill her social support needs. In the stepson participant, the bad relationship between stepmother and stepson make him can not fulfill his social support needs, but because of the high of his social skills that make him has many friends, it can cover the lack of the social support.


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat merampungkan skripsi ini serta salawat beriring salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran, semangat, dan dukungan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Ibu Lili Garliah, M. Si sebagai pembimbing akademis, Ibu Meutia Nauly,

M.Si, dan Ibu Indri Kemala Nasution, M.Psi yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini, terima kasih untuk masukan saran, kesempatan, dan waktunya.

4. Keluarga besar Psikologi USU: Pak Aswan, Kak Ari, Kak Devi, dan yang lainnya. Terima kasih untuk waktu serta berbagai bantuan yang diberikan kepada penulis.

5. Keluarga besar peneliti, khususnya untuk Bapak dan Ibu yang telah memberikan dukungan serta kepercayaan hingga peneliti bisa sampai pada tahap ini, serta adik-adik peneliti yang selalu memberikan kekuatan dan dukungan sehingga peneliti memiliki semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman di angkatan 2006 yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan dan semangat kepada peneliti, serta adik-adik angkatan 2007, 2008, dan 2009 yang terus memberikan dukungan dan menemani peneliti.

7. Partisipan penelitian dan keluarga partisipan yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan kesempatan bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

8. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat


(7)

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari penelitan ini nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi.

Medan, 27 Agustus 2013 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL

 

...

  

ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat teoritis ... 10

2. Manfaat praktis ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Dukungan Sosial ... 13

1. Definisi dukungan sosial ... 13


(9)

3. Faktor yang mempengaruhi dukungan sosial ... 16

4. Sumber dukungan sosial ... 17

B. Remaja ... 18

1. Definisi remaja ... 18

2. Tugas perkembangan remaja ... 19

3. Ciri-ciri masa remaja ... 19

C. Ibu Tiri ... 22

D. Dukungan Sosial Ibu Tiri terhadap Anak Tiri ... 23

E. Paradigma Penelitian ... 26

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 27

B. Partisipan Penelitian ... 28

1. Karakteristik partisipan penelitian ... 28

2. Jumlah partisipan penelitian ... 28

3. Prosedur pengambilan partisipan penelitian ... 29

C. Metode Pengambilan Data ... 29

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 30

1. Pedoman wawancara ... 30

2. Alat perekam ... 31

E. Kredibilitas Penelitian ... 31

F. Prosedur Penelitian ... 31


(10)

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisa Data Partisipan I ... 38

1. Partisipan I ... 38

a. Deskripsi umum partisipan ... 38

b. Data observasi ... 40

c. Data wawancara ... 45

1. Gambaran latar belakang terbentuknya keluarga tiri . ... 45

2. Gambaran hubungan partisipan dengan keluarga tiri ... 46

3. Gambaran dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri ... 50

2. Pembahasan ... 57 

B. Analisa Data Partisipan II ... 64

1. Partisipan II ... 64

a. Deskripsi umum partisipan ... 64 

b. Data observasi ... 66

c. Data wawancara ... 69

1. Gambaran latar belakang terbentuknya keluarga tiri   .... 69 

2. Gambaran hubungan partisipan dengan keluarga tiri  ... 73 


(11)

3. Gambaran dukungan  sosial  ibu  tiri  terhadap  anak tiri 

... 74 

2. Pembahasan ... 80 

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 91

1. Saran praktis ... 91

2. Saran penelitian lanjutan ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal wawancara partisipan I ... 38 Tabel 2. Gambaran umum partisipan I ... 38 Tabel 3. Rekapitulasi analisa gambaran dukungan sosial ibu tiri terhadap

responden I ... 63 Tabel 4. Jadwal wawancara partisipan II ... 64 Tabel 5. Gambaran umum partisipan II ... 64 Tabel 6. Rekapitulasi analisa gambaran dukungan sosial ibu tiri terhadap

responden II ... 85 Tabel 7. Rangkuman analisa gambaran dukungan sosial antar partisipan


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Pedoman Wawancara LAMPIRAN B Lembar Observasi LAMPIRAN C Lembar Persetujuan LAMPIRAN D Verbatim Wawancara


(14)

Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri terhadap Anak Tiri Eky Juliany Famy Lubis dan Ika Sari Dewi, S. Psi, psikolog

ABSTRAK

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Menurut Orford (1992), terdapat 5 (lima) dimensi dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrasi sosial. Salah satu sumber dukungan sosial adalah keluarga. Keluarga utuh dapat terpecah dan membentuk keluarga baru, yaitu keluarga tiri. Di dalam keluarga tiri terdapat orangtua tiri, baik itu ayah tiri atau ibu tiri dan saudara tiri.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh ibu tiri terhadap anak tiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode theory based/operational based, dimana responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori dukungan sosial. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah dua orang, yang terdiri satu orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki ibu tiri dan tinggal dengan keluarga tiri.

Hasil penelitian menunjukkan gambaran bahwa pemenuhan dimensi dukungan sosial yang diterima oleh anak tiri dari ibu tiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keintiman dan keterampilan sosial. Pada responden anak tiri perempuan, kedekatan antara ibu tiri dan anak tiri menyebabkan kebutuhan dukungan sosialnya dapat terpenuhi. Pada responden anak tiri laki-laki, hubungan buruk antara ibu tiri dan anak tiri menyebabkan tidak terpenuhinya dukungan sosial yang dibutuhkan anak tiri, namun karena tingginya faktor keterampilan sosialnya yang membuatnya memiliki banyak teman, hal itu mampu menutupi kekurangan dukungan sosial tersebut.


(15)

Social Support from Stepmother to the Stepchildren Eky Juliany Famy Lubis dan Ika Sari Dewi, S. Psi, psikolog

ABSTRACT

Sosial support refers to comfort, attention, and appreciation that can be relied when someone has difficulty (Orford, 1992). According to Orford (1992), there are five dimensions of social support, i.e. instrumental, informational,, appreciation, emotional, and social integration. One of social support’s source is the family. The intact family can be split and form the new family, i.e. stepfamily. Stepfamily has stepparents, i.e. stepfather or stepmother and stepbrothers or stepsisters.

The purpose of this research is to know the description of social support in adolescence with stepmother. This research used the qualitative approach. The sample was chosen by using theory based/operational based method, which participants were chosen based on the appointed criteria, based on the social support theory. The process of data collection using the interview method. Participants in this research are two people, who consisted of one female adolescent and one male adolescent. The characteristic of the sample is the stepchildren who has stepmother.

Results of the research described that the fulfillment of social support dimensions that have been received by the stepchildren from the stepmother was affected by intimacy and the social skills. In the stepdaughter participant, the closeness of stepmother and stepdaughter make her can fulfill her social support needs. In the stepson participant, the bad relationship between stepmother and stepson make him can not fulfill his social support needs, but because of the high of his social skills that make him has many friends, it can cover the lack of the social support.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG

Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan sosial ini terbagi atas lima dimensi, yaitu instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrasi sosial (Orford, 1992). Menurut Rook & Dooley (dalam Kuntjoro, 2002) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu sumber artificial yang merupakan dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial, dan sumber natural yang merupakan dukungan sosial yang natural diterima individu melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya: anak, istri, suami, rekan kerja dan kerabat.

Menurut Fleming & Baum (dalam Sarafino, 2006), seseorang senantiasa membutuhkan dukungan sosial di dalam segala aspek kehidupannya. Apabila seseorang mendapatkan dukungan sosial yang banyak, maka ia akan memperoleh kehidupan yang baik (seperti kesehatan yang baik), dan sebaliknya kekurangan dukungan sosial akan menyebabkan hal yang tidak baik (seperti stres). Dengan kata lain, dukungan sosial dapat menyebabkan seseorang memiliki pandangan yang lebih baik terhadap dirinya sehingga dapat menjalani kehidupan dengan baik pula. Aspek negatif dapat muncul dari dukungan sosial apabila diberikan kepada


(17)

orang yang salah, dengan cara yang salah dan pada waktu yang salah, namun secara umum dukungan sosial merupakan hal yang positif di dalam suatu hubungan, salah satunya dalam hubungan keluarga (Sarafino, 2006).

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak untuk memperoleh pelajaran dasar mengenai perilaku, perkembangan sikap, nilai kehidupan dari keluarga, belajar menghormati orang yang lebih tua, serta membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Menurut Gina dan Segal (dalam Helpguide, 2009) hal yang terjadi di zaman sekarang justru keluarga sering menjadi sumber konflik bagi sejumlah orang, yang membuat suasana keluarga menjadi tidak harmonis dan sering mendorong pada terjadinya konflik antara kedua orangtua. Adapun salah satu akibat dari konflik tersebut adalah perceraian. Perceraian sering dianggap sebagai suatu peristiwa yang menegangkan dalam kehidupan keluarga. Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam, seperti dapat menimbulkan stres, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik, dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, yaitu ayah, ibu, dan anak.

Menurut Hetherington (dalam Dagun, 2002), peristiwa perceraian menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah. Dalam menghadapi masalah ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan hal tersebut. Ada kecenderungan sikap yang berbeda pada ayah dan ibu setelah ayah dan ibu mengalami perceraian. Ibu menjadi kurang memperlihatkan kasih sayang kepada anak-anak, khususnya anak laki-laki. Ibu memperlakukan anak laki-laki lebih keras, memberi tugas disertai ancaman dan mendidik anak juga


(18)

tidak sistematis serta bersifat memaksa (Dagun, 2002). Ayah akan bersikap berbeda. Ayah lebih cenderung bersikap ramah, tertawa ria, memberikan kebebasan pada anaknya, dan muncul sikap tertarik pada anak. Perbedaan sikap ayah dan ibu tampak jelas pada reaksi anak laki-laki. Reaksi anak laki-laki terhadap ibu yang mengasuh akan lebih bersikap acuh tak acuh dan akan lebih bersikap agresif dibandingkan anak lain (Dagun, 2002).

Sebagian besar dalam kasus perceraian, anak berada di bawah pengasuhan ibu, namun tidak menutup kemungkinan anak juga dapat tinggal di bawah pengasuhan ayah. Kaum pria yang mengambil alih tanggung jawab pada kasus perceraian umumnya mendidik anak secara lebih efektif. Anak laki-laki yang diasuh oleh ayah menunjukkan sikap yang menguntungkan, berkembang lebih matang, memiliki interaksi sosial yang lebih baik, dan memperlihatkan kesadaran diri yang lebih tinggi (Dagun, 2002). Anak perempuan yang tinggal dengan ayah akan memperlihatkan sikap yang kurang menguntungkan. Anak perempuan akan lebih cenderung kurang memiliki sikap kerja sama, kurang jujur, dan sangat berbeda dengan anak perempuan yang diasuh oleh pihak ibu (Dagun, 2002).

Kesulitan salah satu pihak orangtua dalam pengasuhan anak sering menimbulkan keinginan dari pihak orangtua untuk mencari pendamping hidup yang baru untuk membantu dalam hal pengurusan anak, sehingga anak tidak merasa kehilangan perhatian atau kasih sayang dari pihak orangtua yang tidak tinggal bersama mereka. Sebagian besar orangtua yang bercerai akan mulai berkencan dalam beberapa bulan setelah perpisahan atau bahkan menikah lagi (Hetherington & Henderson dalam Degarmo, 2002). Hal inilah yang


(19)

menyebabkan munculnya keluarga tiri yang di dalamnya akan ada orangtua tiri dan saudara tiri.

Anak dalam keluarga tiri dapat berasal dari beragam usia, mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa, yang kesemuanya memiliki cara penyesuaian yang berbeda dalam menghadapi keluarga tiri. Faktor usia anak akan mempengaruhi reaksi anak terhadap orangtua tiri. Menghadapi anak tiri yang masih kecil, tentu akan berbeda dengan anak tiri yang sudah beranjak dewasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Ferrer (dalam Ferrer, 2006) mengindikasikan bahwa anak-anak usia 9 sampai 15 tahun merupakan waktu yang paling sulit untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga tiri. Dalam melakukan pendekatan pada anak tiri yang sudah usia sekolah dan remaja ke atas, dibutuhkan tingkat kesabaran dan ketelatenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita. Anak-anak berusia 15 tahun ke atas mengkhawatirkan pertumbuhan kemandirian dari keluarga.

Hubungan ibu tiri dan anak tiri kurang dekat dibanding hubungan ayah tiri dan anak tiri dalam tahap kehidupan selanjutnya. Suatu penelitian yang dilakukan oleh White et al. (dalam Stewart, 2006) menguji hubungan orangtua tiri dan anak tiri pada masa remaja dari perspektif anak tiri. Partisipan melaporkan bahwa partisipan memiliki tingkat kelekatan yang lebih rendah dengan ibu tiri dibanding ibu kandung, tetapi memiliki tingkat kelekatan yang sama pada ayah kandung dan ayah tiri.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang anak tiri mengenai pandangan mereka tentang ibu tiri mereka:


(20)

“Kalo mamak tiri ku kan kak sama aja kayak yang ada di TV-TV itu. Kejam dan gak peduli sama ku. Kalo ada salahnya sama bapak atau dia buat kesalahan aja baru dia baek-baekin aku. Aku pun cuma makan sama tidur aja di rumah. Mamak (ibu tiri) mana mau ngasi uang sama ku, aku pun malas mintanya. Kalau misalnya aku buat salah kak, aku bisa ditampar atau dipukul, tapi bapak ku gak tau itu kak. Untung aja adek-adek tiriku anak baik. Pokoknya ada atau gak ada mamak tiri itu gak ada bedanya sama ku kak.”(Wawancara Personal, 18 Maret 2010)

“Aku punya ibu tiri yang usianya hampir dekat sama ku, cuma beda 4 tahun, jadi aku ngerasa kurang cocok aja sama dia. Kerjanya dia itu cuma bergaya aja, gak perduli sama aku atau Deva (adik kandung). Kalo ada papa aja baru dia baik-baik sama kami. Aku pun udah gak tahan di rumah itu. Pengen keluar dari rumah, tapi gak tega sama papa yang sekarang agak sering sakit-sakitan. Saling sapa pun kali jarang, malah kalo bicara gak jarang jadinya kami berantem. Untung aja aku berani ngelawan, kalo gak, mau lah aku disiksanya kayak Cinderella. Sorry-sorry aja nech, mana berani dia nyiksa kami. Habis lah dia kami buat. Karena masih menghargai papa lah makanya kami diam aja. Aku itu biasanya keluar rumah pagi, baru pulang malam-malam, Deva pun kayak gitu. Untung aja ada pembantu di rumah, kalo gak, siapa lagi yang beresin rumah. Dia (ibu tiri) mana mau, takut dia dandanannya rusak. Kami pun jarang ngumpul-ngumpul. Aku lebih suka ngumpul sama saudara-saudara. Dan saudara-saudara ku juga gak suka ama dia (ibu tiri), sok kali pula dia. Lebih baek lagi mama kandung ku.” (Wawancara Personal, 27 Maret 2010)

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat terlihat perbedaan dukungan yang diberikan oleh ibu tiri. Pada kutipan wawancara pertama, anak tiri menggambarkan sosok ibu tiri sebagai orang yang kejam dan jahat. Pada kutipan wawancara kedua ditemukan hal yang tidak jauh berbeda. Anak tidak menyukai ibu tiri karena menganggap ibu tiri tidak perduli terhadap dirinya dan adiknya, apalagi jarak usia anak tiri dan ibu tiri yang tidak terlalu jauh, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik dan ketidakpuasan terhadap ibu tiri.

Peran ibu tiri dapat menjadi lebih sulit dibanding ayah tiri karena ibu memiliki tanggung jawab perawatan langsung kepada anak-anak (Hetherington


(21)

dan Stanley-Hagan; Sauer dan fine, dalam DeGenova, 2008). Satu penelitian yang dilakukan oleh Pruett, Calsyn, dan Jensen (dalam Stewart, 2006) menemukan bahwa mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan ibu tiri menerima dukungan sosial yang sedikit (misalnya lebih banyak konflik atau kurangnya kedekatan) dari ibu tiri dibanding dengan yang berasal dari keluarga utuh.

Dukungan sosial yang diterima oleh anak tiri dari ibu tiri mereka juga akan berbeda satu sama lain. Dari kelima dimensi dukungan sosial, yaitu dimensi intrumental, instrumental, penghargaaan, emosi, dan integrasi sosial, anak tiri bisa saja menerima kelima dukungan sosial tersebut ataupun tidak.

Hal tersebut diungkapkan oleh Fuad (17 tahun) yang merasa tidak terpenuhi dalam dimensi dukungan instrumental.

“Mana pernah aku dikasi uang sama dia kak. Dia (ibu tiri) pun tau nya minta uang aja sama Bapak. Dulu pernah aku coba minta uang sama dia, dimaki-makinya aku kak.”

(Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

Fuad tidak menerima dukungan instrumental dari ibu tirinya yang berupa uang. Ibu tiri malah memarahi Fuad ketika Fuad meminta uang padanya.

Pemberian dukungan informasional, seperti pemberian nasehat atau informasi tertentu juga penting bagi diri anak tiri. Ketika dukungan tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menjauhkan hubungan anak tiri dengan ibu tirinya, misalnya ketika anak tiri mengalami masalah dan ibu tiri tidak memperdulikan keadaan anak tiri, maka anak tiri lebih memilih untuk menyimpan semuanya, sehingga semakin menjauhkan hubungan anak tiri dengan ibu tirinya.

Fuad (17 tahun) lebih memilih menyimpan semua masalahnya daripada menceritakannya dengan ibu tirinya.


(22)

“Malas lah kok ngomong-ngomong sama dia. Diam-diam aja awak kak. Kalo ada masalah, ya diam aja aja kak. Simpan sendiri..”

(Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

Ibu tiri perlu memberikan penilaian yang positif terhadap diri anak tiri, sehingga anak merasa dihargai dalam keluarga. Hubungan ibu tiri dan anak tiri yang tidak baik sering membuat ibu tiri mengabaikan anak tiri atau berkata tidak baik pada anak tiri, sehingga membuat anak tiri sama sekali merasa tidak dihargai. Fuad (17 tahun) merasa ibu tirinya sering membicarakan hal yang tidak baik tentang dirinya kepada orang lain, sehingga membuat Fuad merasa malu pada orang tersebut.

“Seneng kali dia itu kak kalo udah jelek-jelekin awak.. Apalagi sama uwak yang tingga deket rumah, suka kali dia ceritain awak yang jelek-jelek.. Tapi malas awak ngurusin nya.. Biar aja lah situ..”

(Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

Perasaan emosional sering menjadi faktor utama dalam suatu hubungan. Dukungan emosi yang menyangkut perasaan emosional seringkali mempengaruhi hubungan ibu tiri dan anak tiri. Dukungan emosi ini bisa berkaitan dengan rasa sayang, cinta kasih, dan emosi, yang membuat seseorang itu merasa dihargai dan dicintai. Ketika dukungan emosi ini tidak terpenuhi, dapat memancing timbulnya pertengkaran yang dapat semakin menjauhkan hubungan ibu tiri dan anak tiri.

Fuad (17 tahun) merasa ibu tirinya sama sekali tidak menyayanginya, malah ibu tiri sering melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya, seperti memukul atau memarahi dirinya, sehingga menyulut pertengkaran dan rasa amarah pada diri Fuad terhadap ibu tirinya.


(23)

“Itulah kak.. Kalo awak minta uang dulu sering dimakinya awak.. Kalo awak berantam sama anaknya pun langsung awak dimarahinnya.. Suka-suka dia aja kak marahin awak..”

(Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

Berkumpul bersama dengan anggota keluarga dapat meningkatkan kedekatan dengan sesama anggota keluarga. Hal ini dapat diwujudkan dengan diberikannya dukungan integrasi sosial terhadap anak tiri yang dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama, misalnya menonton TV bersama ataupun berekreasi pada waktu senggang.

Fuad (17 tahun) sangat jarang melakukan kegiatan bersama-sama dengan ibu tirinya. Fuad lebih memilih menghindari ibu tiri yang sering memarahi dirinya.

“Enggak kak. Malas awak dekat-dekat dia, apalagi kumpul sama-sama.. Bagus awak keluar rumah aja kak.. Lebih tenang awak di luar sama kawan-kawan daripada di rumah dimaramarahinnya awak..”

(Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

Pemberian dukungan sosial dari ibu tiri kepada anak tiri juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain keintiman, harga diri, dan keterampilan sosial. Semakin dekat hubungan ibu tiri dengan anak tiri, maka anak tiri juga akan memperoleh dukungan sosial yang besar dari ibu tiri.

Hal ini diungkapkan oleh Wina (16 tahun) yang berhubungan dekat dengan ibu tirinya dan sering menghabiskan waktu bersama, sehingga membuat hubungan mereka semakin dekat.

“Mama (ibu tiri) sering ajak jalan-jalan kak, kadang shopping bareng, makan bareng di kafe, mama orangnya asik lah kak..”


(24)

Faktor kedua yang mempengaruhi pemberian dukungan sosial adalah harga diri. Ketika seseorang menganggap bahwa pemberian dukungan sosial merupakan penurunan terhadap harga dirinya, maka ia tidak akan menerima dukungan sosial yang diberikan oleh siapapun. Anak tiri biasanya memerlukan pemenuhan dukungan sosial, sehingga tidak mempengaruhi harga dirinya ketika dukungan sosial tersebut terpenuhi, namun ketika ibu tiri tidak memberikan dukungan sosial dan melakukan hal sebaliknya seperti memarahi anak tiri juga dapat mempengaruhi harga diri anak tiri.

Fuad (17 tahun) merasa ibu tiri sama sekali tidak menghargai dirinya karena sering memarahi dirinya dan membuat dirinya sakit hati, sehingga mempengaruhi penilaian terhadap dirinya sendiri yang merasa diabaikan.

“Jahat lah dia kak.. Enggak pernah perduli sama awak.. Marah-marah aja kerjanya.. Sama aja kayak enggak punya mamak awak kak..”

(Wawancara Personal, 12 Februari 2011)

Faktor ketiga adalah keterampilan sosial. Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki keterampilan sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan sosial yang luas pula. Ketika anak tiri tidak memperoleh dukungan sosial dari ibu tirinya, mereka akan cenderung mencarinya dari pihak luar, seperti dari saudara yang lain ataupun teman-teman.

Fuad (17 tahun) memiliki banyak teman yang perduli pada dirinya, sehingga ketika ibu tirinya tidak memberikan dukungan yang dibutuhkan, Fuad akan beralih kepada saudara atau teman-temannya.

“Untung masih ada kawan-kawan awak kak yang baek-baek.. Dikawanin orang itu aja awak kalo awak lagi suntuk.. Baek kali lah orang itu kak sama awak..”


(25)

Perbedaan dukungan sosial yang diberikan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat mempengaruhi hubungan ibu tiri dan anak tiri. Setiap anak tiri pasti akan mengalami hal yang berbeda dalam hal pemberian dukungan sosial. Hal ini dirasakan menarik oleh peneliti yang ingin melihat secara mendetail bagaimana pemberian dukungan sosial pada anak tiri dan faktor yang mempengaruhinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran dukungan sosial yang diberikan ibu tiri terhadap anak tiri.

I. B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh ibu tiri terhadap anak tiri?”

I. C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang diberikan oleh ibu tiri terhadap anak tiri.

I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam bidang psikologi, khususnya mengenai dukungan sosial ibu tiri pada anak tiri, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.


(26)

I. D.2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini secara khusus diharapkan agar ayah ataupun ibu tiri mampu memahami perasaan anak tiri berdasarkan sudut pandang dukungan sosial yang diterima dari ibu tiri.

I. E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan ini dirancang dengan susunan sebagai berikut: BAB I :

BAB II :

BAB III :

BAB IV :

BAB V :

Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisannya. Landasan Teori

Berisikan teori dan dinamika yang menjelaskan data penelitian yaitu mengenai dukungan sosial, ibu tiri, dan anak tiri.

Metode Penelitian

Berisikan pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan mengenai data pribadi partisipan, data observasi, data wawancara yang berupa analisa data partisipan dan pembahasannya.

Kesimpulan dan Saran


(27)

dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial

Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Pada saat individu mengalami kesulitan, individu akan membutuhkan dukungan yang dapat membantu menyelesaikan kesulitan atau membantu mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut. Pendapat lain dari Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain. Seseorang akan menerima dukungan sosial tergantung pada jumlah, komposisi, kedekatan, dan frekuensi dari kontak seseorang dengan jaringan sosialnya (Wills & Fegan, dalam Sarafino, 2006). Dukungan ini bisa berasal dari sumber-sumber yang berbeda, orang-orang yang dicintai, keluarga, teman, rekan sekerja, tenaga medis, atau komunitas organisasi.

Orang yang memiliki dukungan sosial percaya bahwa orang tersebut dicintai, dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial (Sarafino, 2006). Keterikatan secara sosial dan hubungan dengan orang lain yang berlangsung lama diterima sebagai aspek kepuasan secara emosional dalam kehidupan. Hal ini dapat menghentikan efek dari stres, menolong seseorang menghadapi peristiwa yang


(29)

membuat stres, dan kemungkinan mengurangi stres akibat keadaan kesehatan yang memprihatinkan (Taylor dalam Sarafino, 2006).

II. A. 2. Dimensi-Dimensi Dukungan Sosial

Orford (1992) mengatakan ada 5 (lima) dimensi dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan dalam bentuk nyata atau dukungan materi. Menurut Jacobson (dalam Orford, 1992), dukungan ini mengacu pada penyediaan benda-benda dan layanan untuk memecahkan masalah praktis. Wills (dalam Orford, 1992) menyatakan bahwa dukungan ini meliputi aktivitas- aktivitas seperti penyediaan benda-benda, misalnya alat-alat kerja, buku-buku, meminjamkan atau memberikan uang dan membantu menyelesaikan tugas-tugas praktis.

b. Dukungan Informasional

Dukungan informasional adalah dukungan berupa pemberian informasi yang dibutuhkan oleh individu. Douse (Orford, 1992) membagi dukungan ini ke dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, pemberian informasi atau pengajaran suatu keahlian yang dapat memberi solusi pada suatu masalah. Kedua adalah appraisal support, yaitu pemberian informasi yang dapat membantu individu dalam mengevaluasi performa pribadinya. Wills (dalam Orford, 1992) menambahkan dukungan ini dapat berupa pemberian informasi, nasehat, dan bimbingan.


(30)

c. Dukungan Penghargaan

Dukungan penghargaan adalah dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Menurut Cohent & Wills (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang bahwa dia dihargai dan diterima, dimana harga diri seseorang dapat ditingkatkan dengan mengkomunikasikan kepadanya bahwa ia bernilai dan diterima meskipun tidak luput dari kesalahan.

d. Dukungan Emosi

Dukungan emosi adalah dukungan yang berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi/ekspresi. Menurut Tolsdorf & Wills (dalam Orford, 1992), tipe dukungan ini lebih mengacu kepada pemberian semangat, kehangatan, cinta, kasih, dan emosi. Leavy (dalam Orford, 1992) menyatakan dukungan sosial sebagai perilaku yang memberi perasaan nyaman dan membuat individu percaya bahwa dia dikagumi, dihargai, dan dicintai dan bahwa orang lain bersedia memberi perhatian dan rasa aman.

e. Dukungan Integrasi Sosial

Dukungan integrasi sosial adalah perasaan individu sebagai bagian dari kelompok. Menurut Cohen & Wills (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu senggang. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi


(31)

kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif. Menurut Barren & Ainlay (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat meliputi membuat lelucon, membicarakan minat, melakukan kegiatan yang mendatangkan kesenangan.

II. A. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

Menurut Reis (Masbow, 2009) ada tiga faktor yang mempengaruhi penerimaan dukungan sosial pada individu yaitu:

a. Keintiman

Dukungan sosial lebih banyak diperoleh dari keintiman daripada aspek-aspek lain dalam interaksi sosial, semakin intim seseorang maka dukungan yang diperoleh akan semakin besar.

b. Harga Diri

Individu dengan harga diri memandang bantuan dari orang lain merupakan suatu bentuk penurunan harga diri karena dengan menerima bantuan orang lain diartikan bahwa individu yang bersangkutan tidak mampu lagi dalam berusaha. c. Keterampilan Sosial

Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki keterampilan sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan sosial yang luas pula. Sedangkan, individu yang memiliki jaringan individu yang kurang luas memiliki ketrampilan sosial rendah.


(32)

II. A. 4. Sumber-Sumber Dukungan Sosial

Sumber-sumber dukungan sosial merupakan aspek yang penting untuk dipahami. Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh dari lingkungan sekitar, tetapi pengetahuan seberapa banyak sumber dukungan sosial yang diperlukan penting untuk diketahui.

Menurut Rook & Dooley (dalam Kuntjoro, 2002) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu:

a. Sumber artificial

Dukungan sosial yang artificial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.

b. Sumber natural

Dukungan sosial yang natural diterima individu melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya: anak, istri, suami, rekan kerja dan kerabat. Dukungan sosial ini bersifat non-formal.

Berdasarkan penjelasan mengenai dukungan sosial di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah perasaan nyaman, perhatian, dan penghargaan yang diterima individu saat mengalami kesulitan, yang dapat berupa dukungan instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrasi sosial, yang dapat dipengaruhi oleh tingkat keintiman, harga diri, dan keterampilan sosial individu dengan pihak yang memberikan dukungan tersebut, serta dapat diperoleh


(33)

dari berbagai sumber yang berbeda, seperti sumbangan sosial maupun keluarga, yang dapat berupa suami, istri, anak dan keluarga lainnya.

II. B. REMAJA

II. B. 1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata Belanda, alolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Menurut Hurlock (1999), usia remaja biasanya berkisar antara 13–18 tahun, yang dibagi dalam dua kategori yaitu remaja awal yang berusia 13-16 tahun dan remaja akhir yang berusia 16-18 tahun. Piaget (dalam Hurlock, 1999), mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak langsung merasa di bawah tingkat orang – orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama. Selanjutnya Papalia (2007) menyatakan bahwa masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak – kanak dan dewasa yang meliputi terjadinya perubahan fisik, kognitif, dan psikososial.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa, yang mana ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, dimana individu tumbuh dan berkembang, dan mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa.


(34)

II. B. 2. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas – tugas perkembangan remaja menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1999) yaitu:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karier ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis.

II. B. 3. Ciri-Ciri Masa Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock, 1999), yaitu:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.


(35)

b.Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan dating, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

d.Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu:

1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

2) Remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.


(36)

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri, dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya, ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa


(37)

mereka sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

II. C. IBU TIRI

Ibu tiri cenderung lebih sulit dan memiliki kualitas hubungan yang lebih rendah dengan anak tiri mereka dibanding ayah tiri. Hubungan ibu tiri dan anak tiri kurang dekat dibanding hubungan ayah tiri dan anak tiri pada masa kehidupan selanjutnya (Stewart, 2006). Anak tiri memiliki level kelekatan yang lebih rendah dengan ibu tiri dibanding dengan ibu kandung, tetapi akan sama level kelekatannya antara ayah kandung dan ayah tiri (Stewart, 2006).

Nasib anak-anak tiri dan fungsi ibu tiri sebagian besar ditentukan oleh mutu cinta wanita tersebut kepada suaminya dan oleh kepribadiannya (Kartono, 2007). Apabila wanita yang bersangkutan memiliki sifat yang halus dan feminim, ia akan mampu menguasai kecenderungan negatif yang timbul dan memahami, serta mentolerir perasaan anak tirinya, namun jika sebaliknya wanita yang bersangkutan memiliki sifat egois, maka akan memiliki kecenderungan untuk “dimiliki” oleh suaminya dan dapat memunculkan sifat narsistik ataupun agresif yang lebih dominan, sehingga menimbulkan perasaan penolakan atau kebencian terhadap anak tirinya yang dianggap sebagai penghalang atau berusaha membuat suaminya marah dan membenci anak-anaknya sendiri (Kartono, 2007).


(38)

II. D. DUKUNGAN SOSIALIBU TIRI TERHADAP ANAK TIRI

Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan. Pada saat individu mengalami kesulitan, individu akan membutuhkan dukungan yang dapat membantu menyelesaikan kesulitan atau membantu mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut. Salah satu sumber dukungan sosial adalah keluarga, misalnya dari ayah, ibu, anak, atau saudara. Begitu juga di dalam keluarga tiri, dukungan sosial bisa berasal dari ayah tiri, ibu tiri, atau anak tiri.

Dukungan sosial yang diterima oleh anak tiri dari ibu tiri akan berbeda satu sama lain. Dari kelima dimensi dukungan sosial, yaitu dimensi intrumental, informasional, penghargaaan, emosi, dan integrasi sosial, anak tiri bisa saja menerima kelima dukungan sosial tersebut ataupun tidak.

Dukungan instrumental, seperti pemberian uang, sangat mempengaruhi kehidupan anak tiri. Anak tiri umumnya membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika dukungan tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan hubungan anak tiri dan ibu tiri menjauh karena munculnya rasa kekecewaan pada anak tiri akibat tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut.

Pemberian dukungan informasional, seperti pemberian nasehat atau informasi tertentu juga penting bagi diri anak tiri. Ketika dukungan tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menjauhkan hubungan anak tiri dengan ibu tirinya, misalnya ketika anak tiri mengalami masalah dan ibu tiri tidak memperdulikan keadaan anak tiri, maka anak tiri lebih memilih untuk menyimpan semuanya, sehingga semakin menjauhkan hubungan anak tiri dengan ibu tirinya.


(39)

Ibu tiri perlu memberikan penilaian yang positif terhadap diri anak tiri, sehingga anak merasa dihargai dalam keluarga. Hubungan ibu tiri dan anak tiri yang tidak baik sering membuat ibu tiri mengabaikan anak tiri atau berkata tidak baik pada anak tiri, sehingga membuat anak tiri sama sekali merasa tidak dihargai. Perasaan emosional sering menjadi faktor utama dalam suatu hubungan. Dukungan emosi yang menyangkut perasaan emosional seringkali mempengaruhi hubungan ibu tiri dan anak tiri. Dukungan emosi ini bisa berkaitan dengan rasa sayang, cinta kasih, dan emosi, yang membuat seseorang itu merasa dihargai dan dicintai. Ketika dukungan emosi ini tidak terpenuhi, dapat memancing timbulnya pertengkaran yang dapat semakin menjauhkan hubungan ibu tiri dan anak tiri.

Berkumpul bersama dengan anggota keluarga dapat meningkatkan kedekatan dengan sesama anggota keluarga. Hal ini dapat diwujudkan dengan diberikannya dukungan integrasi sosial terhadap anak tiri yang dapat dilakukan dengan melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama, misalnya menonton TV bersama ataupun berekreasi pada waktu senggang.

Pemberian dukungan sosial dari ibu tiri kepada anak tiri juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain keintiman, harga diri, dan keterampilan sosial. Semakin dekat hubungan ibu tiri dengan anak tiri, maka anak tiri juga akan memperoleh dukungan sosial yang besar dari ibu tiri.

Faktor kedua yang mempengaruhi pemberian dukungan sosial adalah harga diri. Ketika seseorang menganggap bahwa pemberian dukungan sosial merupakan penurunan terhadap harga dirinya, maka ia tidak akan menerima dukungan sosial yang diberikan oleh siapapun. Anak tiri biasanya memerlukan


(40)

pemenuhan dukungan sosial, sehingga tidak mempengaruhi harga dirinya ketika dukungan sosial tersebut terpenuhi, namun ketika ibu tiri tidak memberikan dukungan sosial dan melakukan hal sebaliknya seperti memarahi anak tiri juga dapat mempengaruhi harga diri anak tiri.

Faktor ketiga adalah keterampilan sosial. Individu dengan pergaulan yang luas akan memiliki keterampilan sosial yang tinggi, sehingga akan memiliki jaringan sosial yang luas pula. Ketika anak tiri tidak memperoleh dukungan sosial dari ibu tirinya, mereka akan cenderung mencarinya dari pihak luar, seperti dari saudara yang lain ataupun teman-teman.

Perbedaan dukungan sosial yang diberikan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat mempengaruhi hubungan ibu tiri dan anak tiri. Setiap anak tiri pasti akan mengalami hal yang berbeda dalam hal pemberian dukungan sosial yang dapat mempengaruhi kehidupannya.


(41)

II.E. PARADIGMA PENELITIAN

DUKUNGAN SOSIAL IBU TIRI TERHADAP

ANAK TIRI

Faktor yang mempengaruhi pemberian dukungan sosial (Reis dalam Masbow, 2009): 1. Keintiman 2. Harga Diri 3. Keterampilan

Sosial Jenis Dukungan

Sosial (Orford, 1992): 1. Dukungan

Instrumental 2. Dukungan Informasional 3. Dukungan Penghargaan 4. Dukungan Emosi 5. Dukungan Integrasi Sosial


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai gambaran dukungan sosial orangtua tiri terhadap anak tiri ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri.

III. A. PENDEKATAN KUALITATIF

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam mengenai dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri. Keberadaan anak tiri dalam keluarga tiri menyebabkan dukungan sosial yang diterima anak tiri khususnya di usia remaja dirasakan sebagai hal yang spesial.

Perasaan anak tiri terhadap perhatian dan dukungan sosial yang diberikan ibu tiri pasti akan berbeda pada tiap anak. Hal ini berkaitan dengan penilaian anak tiri yang berbeda satu sama lain, sehingga menghasilkan pemahaman dan perasaan yang berbeda juga. Oleh karena itu, peneliti ingin menggunakan penelitian kualitatif untuk mengungkapkan perasaaan anak tiri terhadap dukungan sosial yang diterima dari ibu tiri tersebut.


(43)

III. B. PARTISIPAN PENELITIAN

III. B. 1. Karakteristik Partisipan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dukungan sosial orangtua tiri terhadap anak tiri, maka karakteristik partisipan dalam penelitian ini antara lain:

a. Remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Ferrer (dalam Ferrer, 2006) mengindikasikan bahwa anak-anak usia 9 sampai 15 tahun merupakan waktu yang paling sulit untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga tiri. Dalam melakukan pendekatan pada anak tiri yang sudah usia sekolah dan remaja ke atas, dibutuhkan tingkat kesabaran dan ketelatenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita. Anak-anak berusia 15 tahun ke atas mengkhawatirkan pertumbuhan kemandirian dari keluarga.

b. Merupakan anak tiri.

c. Tinggal bersama keluarga tiri dengan ayah kandung dan ibu tiri, dan memiliki saudara tiri.

III. B. 2. Jumlah Partisipan Penelitian

Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang anak tiri, yang masing-masing adalah anak tiri perempuan yang tinggal dengan ibu tiri dan anak tiri laki-laki yang tinggal dengan ibu tiri karena dengan pertimbangan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.


(44)

III. B. 3. Prosedur Pengambilan Partisipan

Prosedur pengambilan partisipan penelitian dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional ( theory-based/operational construct sampling). Partisipan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Partisipan dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan teori dukungan sosial yang telah ditetapkan sebelumnya.

III. C. METODE PENGAMBILAN DATA

Peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara. Partisipan diwawancarai untuk memperoleh gambaran dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri berdasarkan pengalaman masing-masing partisipan. Wawancara dalam penelitian ini berbentuk wawancara mendalam berupa pertanyaan mengenai dukungan sosial pada partisipan secara utuh dan mendalam. Jika peneliti menganggap data wawancara belum begitu jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya maka peneliti akan mencoba melakukan probing pada partisipan.

Selain melakukan wawancara, peneliti juga melakukan observasi untuk mendukung hasil wawancara. Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada partisipan. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik tempat dilakukannya wawancara, penampilan fisik partisipan, sikap partisipan selama


(45)

wawancara, hal-hal yang menganggu selama wawancara, dan hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama wawancara.

III. D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II, sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana bentuk dukungan sosial yang diberikan oleb ibu tiri terhadap anak tiri. Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku, karena tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.


(46)

2. Alat Perekam

Penggunaan alat perekam dilakukan setelah mendapat persetujuan dari partisipan. Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan alat perekam peneliti tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung.

III. E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Dalam penelitian ini akan digunakan validitas komunikatif, dimana validitas ini diperoleh melalui konfirmasi kembali data dan analisis pada subjek penelitian. Selain itu juga digunakan validitas argumentatif, dimana presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

III.F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Peneliti melakukan beberapa hal yang diperlukan dalam penelitian pada tahap ini yaitu:

a. Mengumpulkan konsep teori yang berkenaan dengan dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri.


(47)

b. Menyiapkan pedoman wawancara berdasarkan teori dukungan sosial. c. Menyiapkan pernyataan pemberian izin oleh partisipan.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis), dan pedoman wawancara yang telah tersusun.

e. Mengumpulkan informasi tentang calon partisipan dan memastikan bahwa calon partisipan tersebut telah memenuhi karakteristik yang telah ditentukan.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Menghubungi calon partisipan penelitian yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

b. Meminta kesediaan partisipan penelitian untuk diwawancarai melalui surat pernyataan yang telah disiapkan sekaligus membangun rapport antara peneliti dan partisipan.

Di awal perkenalan, peneliti datang bersama dengan saudara partisipan dan dikenalkan secara langsung. Pada awal pertemuan peneliti dan partisipan hanya berbicara ringan seputar kegiatan partisipan sehari-hari. Peneliti baru mengambil data wawancara setelah pertemuan yang ketiga, yaitu setelah 2 minggu melakukan pendekatan dengan partisipan. Peneliti mendatangi rumah partisipan setiap kali bertemu.

c. Membuat janji pertemuan dengan partisipan penelitian atas kesepakatan bersama untuk melaksanakan wawancara.


(48)

d. Menentukan lokasi wawancara dilakukan. Lokasi yang dipilih untuk partisipan 1 adalah rumah saudaranya dan untuk partisipan 2 adalah rumahnya sendiri.

e. Memastikan kelengkapan setiap perlengkapan wawancara seperti alat perekam, kaset, pedoman wawancara, dan kertas untuk lembar observasi. f. Percakapan yang berlangsung akan direkam dengan tape recorder mulai dari

awal hingga akhir percakapan.

3. Tahap Pencatatan Data

Poerwandari (2007) menyatakan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Prosedur analisis data penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

a. Membuat verbatim dari hasil wawancara yang dilakukan. b. Membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan.

c. Menganalisis dan menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing partisipan penelitian.

III.G. METODE ANALISIS DATA

Adapun tahap metode analisis data yang dilakukan pada penelitian ini antara lain, yaitu:

1. Organisasi Data

Data mentah yang diperoleh peneliti dari kedua wawancara yang dilakukan, baik melalui kaset hasil rekaman ataupun catatan lapangan,


(49)

diolah dengan cara diketik secara verbatim dalam transkrip wawancara ataupun dalam catatan tersendiri di luar dari transkrip wawancara.

2. Koding

Data yang telah disalin ke dalam transkrip wawancara (verbatim) kemudian diberi kode-kode khusus untuk memudahkan peneliti dalam mengelompokkan hasil wawancara yang disesuaikan dengan teori, misalnya ketika cuplikan verbatim di transkrip wawancara menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh partisipan merupakan bagian dari dimensi dukungan instrumental, maka di kotak analisis dituliskan dimensi instrumental, sehingga nantinya peneliti mudah menjabarkan secara teoritis mengenai cuplikan wawancara tersebut.

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Analisis awal yang diperoleh dari proses koding kemudian dikelompokkan sesuai dengan dimensi yang ingin dilihat, misalnya ketika diperoleh analisis yang menggambarkan mengenai dukungan instrumental yang diterima oleh partisipan, hasil analisis tersebut dikumpulkan, lalu ditarik kesimpulan sementara mengenai dukungan intrumental seperti apa yang diterima oleh partisipan.


(50)

4. Strategi Analisis

Proses analisis yang dilakukan oleh peneliti dilakukan secara bertahap. Peneliti menganalisis masing-masing individu secara terpisah terlebih dahulu. Ketika telah menemukan hasil analisis akhir setiap partisipan sesuai dengan yang ditemukan di lapangan, selanjutnya peneliti menganalisis kedua partisipan penelitian secara bersamaan, sehingga ditemukan perbandingan ataupun persamaan antara kedua partisipan tersebut.

5. Tahapan Interpretasi

Ada tiga tingkatan interpretasi dalam penelitian ini. Tingkatan pertama adalah interpretasi pemahaman diri, dimana peneliti mencoba memahami pernyataan yg disampaikan oleh partisipan, bagaimana partisipan memahami pernyataan dirinya sendiri, misalnya ketika partisipan ditanya mengenai dukungan instrumental yang diterima, peneliti mencoba memahami seperti apa pemahaman partisipan mengenai dukungan instrumental dan hal apa saja yang dipandang sebagai dukungan instrumental oleh partisipan.

Tingkatan kedua adalah interpretasi pemahaman biasa yang kritis, dimana peneliti mencoba menempatkan diri sebagai masyarakat umum yang berada di sekitar partisipan, mencoba menilai sikap dan arti pernyataan dari partisipan jika ditelaah dari pandangan lingkungan sekitarnya.

Tingkatan ketiga adalah interpretasi pemahaman teoritis, dimana teori dukungan sosial digunakan untuk memahami pernyataan partisipan yang juga dilihat dari pemahaman partisipan itu sendiri ataupun penalaran secara umum.


(51)

Pernyataan partisipan digunakan sebagai data yang akan dibahas lewat teori dukungan sosial yang dijadikan teori utama.


(52)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan analisa data dan intepretasi hasil penelitian mengenai dinamika dukungan sosial pada keluarga tiri yang terdiri dari :

1. Data Deskripsi Partisipan Penelitian I dan II 2. Data Observasi selama Wawancara

3. Data Wawancara

a. Gambaran latar belakang terbentuknya keluarga tiri. b. Gambaran hubungan partisipan dengan keluarga tiri. c. Gambaran dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri. d. Pembahasan

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diintepretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah R1. WI/b.1-2/hal.2, maksud kode ini adalah kutipan pada partisipan satu, wawancara pertama, baris 1 sampai 2, verbatim halaman 2.

Penelitian ini juga menggunakan data tambahan dari ibu tiri partisipan, sehingga nantinya akan muncul kode tambahan, contohnya seperti R1-t/WI/b.1-2/hal.2, yang artinya kutipan dari ibu tiri partisipan satu, wawancara pertama, baris 1 sampai 2, verbatim halaman 2, dan kode R2-t/WI/b.1-2/hal.2, yang artinya lutipan dari ibu tiri partisipan dua, wawancara pertama, baris 2 sampai 2, verbatim halaman 2.


(53)

IV.A. ANALISA DATA PARTISIPAN I IV.A.1. Partisipan I (Partisipan Andi) IV.A.1.a. Deskripsi umum partisipan

Wawancara dengan Andi dilakukan sebanyak 2 kali, dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 1

Jadwal Wawancara Partisipan I

No. Hari Tanggal Waktu Tempat

1. Minggu 7 Oktober 2012

Pukul 11.45 WIB Rumah Saudara Partisipan

2. Minggu 28 Oktober 2012

Pukul 17.00 WIB Rumah Saudara Partisipan

Tabel 2

Gambaran Umum Partisipan I

No. Identitas Partisipan

1. Nama Andi (bukan nama sebenarnya)

2. Usia 18 tahun

3. Jenis kelamin Laki-laki

4. Alamat Jl. Cinta Karya No. 99 Medan

5. Nama Ayah Kandung Joko (bukan nama sebenarnya)

6. Pekerjaan Pemborong

7. Nama Ibu Kandung Siti (bukan nama sebenarnya) 8. Nama Ibu Tiri Ana (bukan nama sebenarnya)

9. Pekerjaan Ibu Rumah Tangga

10. Jumlah Saudara Kandung 5 (lima) orang 11. Jumlah Saudara Tiri 3 (tiga) orang

Andi merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Andi memiliki tiga orang saudara perempuan (kakak) dan satu orang saudara laki-laki (abang). Keluarga Andi merupakan keluarga yang pecah (broken home) yang berakhir pada perpisahan di antara kedua orangtuanya. Akibat perpisahan tersebut, ibu kandung Andi lebih memilih untuk meninggalkan rumah dan keluarganya sendiri,


(54)

sehingga pada saat itu Ayah Andi lah yang merawat Andi beserta semua saudaranya sendirian. Sejak ditinggal oleh ibunya, Andi beserta saudara kandung lainnya tinggal dengan sang ayah di Medan, sedangkan ibu kandungnya langsung pergi ke Dumai (Batam) meninggalkan mereka.

Andi ditinggal ibunya saat masih berusia 6 tahun, dan saat itu jarak usianya dengan saudara-saudaranya sekitar satu sampai lima tahun. Anak sulung dalam keluarga tersebut merupakan abangnya, lalu diikuti oleh kakaknya, dan kemudian diakhiri oleh Andi. Salah satu kakak Andi mengalami cacat, yaitu tuna wicara (bisu), sedangkan yang lainnya normal seperti anak yang lain. Ayah Andi merasa bahwa Andi dan saudara-saudaranya yang masih kecil butuh sosok ibu, sehingga Ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita yang kemudian menjadi ibu tiri bagi mereka.

Kehidupan keluarga tiri yang mereka jalani tidak berjalan dengan baik karena adanya perlakuan yang tidak menyenangkan kepada mereka saat mereka masih kecil, sehingga ketika saudara-saudaranya sudah merasa dapat menjadi orang yang mandiri, mereka lebih memilih merantau meninggalkan rumah. Mereka lebih memilih untuk memisahkan diri dari keluarga tiri dan meninggalkan ayah, ibu tiri, dan kedua saudaranya yang paling kecil dalam keluarga tiri tersebut karena masih dianggap anak di bawah umur pada saat itu. Abang dan kakak Andi yang paling besar (tua) sekarang menetap dan bekerja di Jakarta, sementara kakaknya yang kedua sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumahnya yang sekarang, dan kakaknya yang ketiga (yang mengalami kebisuan) tinggal bersama Andi di dalam keluarga tiri dan sudah menikah juga.


(55)

Andi menjalani masa SD nya di Medan dan tinggal dengan keluarga tirinya. Ketika Andi menginjak usia SMP, ia memilih untuk tinggal bersama abangnya di Jakarta dan menempuh masa SMP disana selama dua tahun, namun setelah masa dua tahun tersebut, ia kembali lagi ke Medan bersama keluarga tirinya dan melanjutkan sekolahnya kembali. Setelah selesai menempuh masa SMP, Andi pun melanjutkan ke bangku STM, yang cukup membantunya dalam bekerja di bengkel saat ini. Setamatnya dari STM, Andi tidak melanjutkan ke bangku kuliah karena selain masalah ekonomi, ia ingin hidup mandiri dulu.

Setelah tamat dari STM, Andi bekerja di salah satu bengkel di Medan dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhnnya sehari-hari. Andi masih tinggal dengan keluarga tirinya sampai saat ini karena ia juga tidak mau meninggalkan kakaknya yang mengalami kebisuan untuk tinggal dalam keluarga tiri tersebut, meskipun kakaknya tersebut telah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Andi menjalani hidupnya tanpa terlalu bergantung pada keluarga tirinya dan berusaha untuk mandiri, serta karena ia merasa tidak nyaman untuk tinggal di dalam keluarga tiri tersebut, ia tidak terlalu memperdulikan bagaimana keadaan keluarga tirinya, selain mengkhawatirkan tentang kakaknya dan ayahnya.

IV.A.1.b. Data observasi

Wawancara pertama dilakukan pada hari Minggu 7 Oktober 2012 di rumah saudara partisipan di Jl. Cinta Karya No. 97 Medan pada pukul 11.45 WIB sampai 12.30 WIB. Wawancara dilakukan di sebuah rumah yang berada di samping rumah partisipan yang dipisahkan oleh sebuah bengkel.


(56)

Seharusnya wawancara dimulai pada pukul 11.00 WIB, sesuai dengan yang telah dijanjikan sebelumnya, namun saat peneliti sampai di tempat wawancara, partisipan sama sekali belum bangun tidur, dan saat melihat peneliti datang, akhirnya sepupu partisipan yang rumahnya digunakan sebagai tempat wawancara membangunkan partisipan. Setelah partisipan bangun, partisipan langsung keluar menemui peneliti.

Partisipan keluar rumah untuk menemui peneliti dengan kondisi tidak menggunakan pakaian atas sama sekali (telanjang dada), mengenakan celana pendek jeans berwarna biru tua, dengan muka sembab baru bangun, dan membawa handuk berwarma putih pudar dan mengalungkan handuk tersebut di leher, tepat di atas kalung putih yang partisipan kenakan. Partisipan menemui peneliti untuk meminta maaf dan meminta waktu untuk menunda wawancara sampai partisipan selesai mandi, kemudian partisipan masuk lagi ke dalam rumah untuk mandi.

Selama menunggu partisipan mandi, peneliti duduk di depan rumah sepupu partisipan yang berada di seberang rumah partisipan tersebut. Rumah sepupu partisipan tersebut tepat berada di samping bengkel yang memisahkan rumah partisipan dan rumah sepupu partisipan. Di bengkel tersebut, tampak dua orang yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor. Kedua orang tersebut merupakan sepupu partisipan, dan bengkel tersebut merupakan usaha keluarga sepupu partisipan tersebut. Salah satu sepupu partisipan yang sedang bekerja tersebut merupakan teman peneliti juga, sehingga peneliti tidak merasa canggung duduk di sekitar bengkel tersebut.


(57)

Selama menunggu partisipan, sekali-sekali terdengar suaru ribut dari rumah partisipan, yaitu adanya suara pertengkaran seorang ibu dan anaknya, yang kemudian peneliti ketahui itu merupakan suara ibu tiri dan saudara tiri partisipan. Mereka seperti meributkan tentang uang hasil penjualan, yang selanjutnya peneliti ketahui sebagai uang hasil berjualan bensin di depan rumah partisipan. Suara pertengkaran tersebut didominasi oleh suara sang ibu yang terdengar sangat marah pada anaknya yang diperkirakan masih berusia anak SD, dan pada akhirnya peneliti melihat seorang anak kecil yang keluar dari rumah partisipan dengan muka cemberut yang peneliti perkirakan sebagai anak yang dimarahi oleh sang ibu tersebut.

Sekitar pukul 11.20 partisipan sudah selesai mandi, partisipan mengenakan baju kaos hitam, celana jeans biru selutut, dan sandal jepit, dan karena partisipan baru selesai mandi, rambut partisipan masih basah dan dari tubuh partisipan masih tercium aroma sabun yang kuat. Seketika itu juga partisipan langsung menemui peneliti. Saudara sepupu korban yang juga masih merupakan temang peneliti tersebut mmpersilahkan peneliti dan partisipan untuk memasuki ruang tamu rumahnya, yang selanjutny digunakan sebagai tempat wawancara. Tempat ini dipilih karena di rumah partisipan sangat ramai, sehingga partisipan menyarankan untuk melakukan wawancara di rumah sepupunya.

Ketika peneliti memasuki rumah sepupu partisipan tersebut, di ruang tamu tersebut terdapat dua orang anak kecil yang selanjutnya peneliti ketahui sebagai keponakan sepupu partisipan tersebut, yang bernama Ade (bukan nama sebenarnya). Ruang tamu tersebut berukuran sekitar 4 x 4 meter, dengan pintu di


(58)

bagian depan, terdapat 1 set kursi tamu, yang terdiri dari 3 buah kursi yang ukurannya berbeda dan satu buah meja berukuran sedang. Di ujung ruangan terdapat sebuah lemari besar. Di lemari bagian atas terdapat gelas-gelas hias, buku-buku, dan satu vas bunga. Di bagian tengah yang merupakan ruang terbuka, terdapat sebuah TV 21 inch yang menyala, dan di bagian bawah lemari terdapat dua buah laci, yang keduamya berisi bermacam jenis kaset VCD dan DVD yang sebagian besar terlihat seperti film kartun, lagu, dan berkaitan dengan agama Islam. Ketika peneliti baru saja masuk, terlihat kedua keponakan Ade sedang menonton film kartun yang berkaitan dengan cerita Islami, yaitu yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW, dan ketika peneliti mulai duduk di ruang tamu tersebut, Ade langsung mematikan TV beserta film yang sedang kedua keponakannya tonton, dan kedua keponakannya langsung pergi dari ruang tamu tersebut.

Ketika peneliti memasuki ruang tamu tempat wawancara berlangsung, partisipan tiba-tiba dipanggil keluar rumah karena ada saudaranya datang memanggilnya. Selama menunggu partisipan, peneliti disajikan makanan dan minuman oleh Ade yang merupakan penghuni rumah. Setelah menunggu sekitar 15 menit, baru partisipan masuk ke ruang tamu dan duduk di salah satu kursi. Karena wawancara ini memakai alat bantu rekam (tape recorder), akibatnya peneliti harus mendekat pada partisipan, dan akhirnya peneliti memilih duduk tepat di samping partisipan.

Tepat pukul 11.45 wawancara pun dimulai. Selama wawancara, terus terdengar suara berisik yang muncul dari bengkel di sebelah rumah, sehingga


(59)

wawancara agak sedikit terganggu karena sering terdengar suara ketokan benda ataupun benda jatuh, dan terkadang wawancara juga harus berhenti karena suara berisik yang tiba-tiba, seperti benda jatuh yang mengganggu konsentrasi peneliti atau partisipan, bahkan sesekali suara berisik itu tertekam di alat perekam yang digunakan.

Selama wawancara, partisipan tidak pernah melakukan kontak mata dengan peneliti, terus menatap ke arah jendela atau pintu ataupun ke arah bawah atau lantai. Partisipan selalu memainkan tangannya seolah-olah gugup dengan wawancara yang sedang berlangsung. Selain itu, perkataan partisipan juga sering terbata-bata akibat bingung mengenai jawaban yang hendak diberikan dan terkesan menutupi sesuatu yang tidak ingin partisipan ungkapkan.

Partisipan juga terkesan tertutup kepada peneliti dan terkadang terlihat seperti mengkhayal, sehingga tidak jarang partisipan tidak fokus pada perkataan atau pertanyaan peneliti, dan tidak jarang juga meminta pengulangan pertanyaan dari peneliti. Walaupun terkadang peneliti mengulang pertanyaan, terkadang partisipan juga tidak fokus pada wawancara yang sedang berlangsung, mungkin ada dipengaruhi oleh kondisi partisipan yang baru saja bangun tidur, sehingga terkadang wawancara terkesan agak kurang efektif.

Wawancara kedua juga dilakukan di rumah saudara partisipan yang sama dengan wawancara pertama. Ruangan tempat wawancara juga berada di ruangan yang sama, dengan kondisi sekitar yang hening dikarenakan penghuni rumah sedang tidak ada di rumah, jadi di tempat wawancara hanya ada peneliti,


(60)

partisipan, dan saudara partisipan yang sedang memperbaiki sepeda motor di bengkel sendiri di samping rumahnya.

IV.A.1.c. Data wawancara

IV.A.1.c.1. Gambaran latar belakang terbentuknya keluarga tiri

Andi sudah ditinggal ibunya sejak usia 6 (enam) tahun akibat perpisahan dengan ayahnya. Ketika perpisahan itu terjadi, ibu kandung Andi memilih untuk meninggalkan rumah dan meninggalkan anak-anaknya agar diurus oleh ayah mereka. Saat itu Andi dan keempat saudara kandungnya dirawat oleh ayahnya. Ayahnya merasa tidak sanggup merawat kelima anaknya sendirian dan berpikir bahwa ana-anaknya butuh sosok ibu, sehingga ayahnya memutuskan untuk menikah kembali dengan seorang wanita yang selanjutnya menjadi ibu tiri Andi pada saat ia berusia 7 (tujuh) tahun.

“hmm.. kira-kira udah 11 tahun kak, mulai dari Andi kelas 3 atau 4 gitu kak, sekitar umur 7 atau 7 lah kak.”

(R1. WI/b.3-6/hal.1)

Keluarga tiri Andi telah terbentuk selama 11 (sebelas) tahun sejak usia 7 (tujuh) tahun. Sejak ayahnya menikah dengan ibu tiri, Andi langsung tinggal di dalam keluarga tiri tersebut.

“Ya.. Tiri lah, langsung tiri.” (R1. WI/b.20/hal.1)

Pada awal terbentuknya keluarga tiri, saat Andi dan saudara kandung lainnya masih berusia kecil, mereka semua masih tinggal di dalam keluarga tiri tersebut, namun seiring bertambahnya usia, beberapa saudara kandung Andi memilih untuk merantau dan meninggalkan rumah untuk hidup mandiri di luar


(61)

keluarga tiri, serta meninggalkan Andi dan kakaknya berdua dalam keluarga tiri tersebut.

“Di Jakarta 2 orang, di Karang Rejo 1, dirumah 2 orang, saya ama kakak saya.”

(R1. WI/b.31-33/hal.1)

Tidak lama setelah pernikahan orangtua Andi tersebut, Andi pun mendapatkan saudara tiri pada saat ia masih berusia 7 (tujuh) tahun, dan sampai sekarang saudara tiri Andi berjumlah 3 (tiga) orang an berjenis kelamin laki-laki semua.

“3... Ya... Kelas 3 atau 4 gitu kak, kira-kira berapa tahun? (sambil berpikir) 7 tahun... hu.. uh..7 tahun.”

(R1. WI/b.38-40/hal.1) “3 orang.”

(R1. WI/b.42/hal.2) “Laki-laki semua.” (R1. WI/b.44/hal.2)

IV.A.1.c.2. Gambaran hubungan partisipan dengan keluarga tiri

Andi merasakan bentuk perlakuan yang berbeda dari ibu tirinya, yaitu pada Andi dan kakaknya, serta saudara tirinya.

“Ya... Biasa aja lah.. Ya... kalo yang besar itu laen lah, kalo ama anak sendiri laen, kalo ama anak sini laen.”

(R1. WI/b.49-51/hal.2)

Meskipun Andi sekarang merasakan perbedaan perilaku ibu tirinya pada dirinya dan kakaknya, namun ternyata dulu saat keluarga tiri baru terbentuk, Andi menganggap ibu tirinya itu sebagai ibu kandungnya karena saat itu ia masih menyusui dan ia disusui oleh ibu tirinya tersebut.


(62)

“Iyalah... Kek gitu aja lah, anggap kayak orangtua kandung.” (R1. WI/b.68-69/hal.2)

“Orang masi kecil kok, masih netek kak.” (R1. WI/b.73-74/hal.2)

Sekarang ini ibu kandung Andi tinggal di Dumai sejak meninggalkan Andi dan saudara-saudaranya serta ayahnya. Andi terakhir kali berjumpa dengan ibu kandungnya sepuluh tahun yang lalu dan sejak saat itu tidak pernah berjumpa lagi dengan ibu kandungnya.

“Pernah lah.. Itu pun jumpa nya 10 tahun yang lewat.. Sekarang enggak ada jumpa lah, belum ada jumpa lagi.”

(R1. WI/b.87-89/hal.3)

Saat Andi berjumpa dengan ibu kandungnya, ia sempat diajak untuk tinggal dengan ibu kandungnya tersebut, namun tidak diizinkan oleh ayahnya karea ayahnya takut akan terjadi sesuatu pada Andi saat tinggal dengan ibu kandungnya.

“Enggak boleh.. Ya... Takut kek mana gitu, jadi disini semua lah.” (R1. WI/b.97-98/hal.3)

Saat ini hubungan Andi dan ayah kandungnya masih tergolong baik dan biasa-biasa saja.

“Ya... Biasa aja lah kak gitu aja.” (R1. WI/b.104/hal.3)

Menurut Andi, hubungannya dengan saudara tirinya sekarang juga masih tergolong biasa, yang terkadang baik dan terkadang tidak.

“Ya baik kadang.” (R1. WI/b.130/hal.3)

Pada masa awal terbentuknya keluarga setelah kehadiran saudara tiri, hubungan Andi dan saudara tirinya tidak akur dan sering bertengkar. Pertengkaran


(63)

yang terjadi biasanya dipacu karena ejekan saudara tiri terhadap Andi dan ibu kandungnya, sehingga memicu munculnya emosi pada diri Andi dan juga memicu munculnya pertengkaran di antara mereka.

“Ya misalnya ngejekin, mamak nama orangtua kan Siti, ‘kau anak Siti kan gini-gini’ Ha gitu.. ‘bukan anak Ana’, kan ini Ibu Ana namanya.. jadi di ‘Kau kan anak Siti, bukan anaknya ini-ini;, kadang gitu ngejekin nya.. Ya biasa aja kak..”

(R1. WI/b.147-153/hal.4)

Ejekan yang dilontarkan saudara tiri terhadap Andi mengenai ibu kandung Andi sering memicu kemarahan pada diri Andi dan pertengkaran di antara mereka, bahkan sampai mereka saling berkejaran, dan biasanya Andi yang menang melawan mereka karena memang Andi yang paling besar di antara mereka. Setelah Andi memenangkan pertengkaran tersebut, saudara tirinya langsung mengadukan Andi pada ibu tirinya, sehingga Andi terkena omelan ibu tirinya.

“Ya marah lah... (suara lantang).. Kejar-kejaran pun.. “

(R1. WI/b.155-156/hal.4)

“Yang menang saya lah, dia ngadu sama mamak nya.” (R1. WI/b.160-161/hal.4)

“Ngadu, ya merepet mamak nya.” (R1. WI/b.163/hal.4)

Pertengkaran yang terjadi sering dipicu oleh saudara tiri Andi, sehingga Andi merasa sangat marah dan melukan hal apapun untuk mengalahkan saudara tirinya. Ia tidak akan mau mengalah meskipun saudara tirinya iru lebih muda daripada dia, bahkan ia tidak akan segan-segan membuat saudara tirinya sampai menangis, bahkan sampai menangis kencang pun ia tidak akan mau meminta maaf kepada mereka.


(64)

“Kadang berantem, kadang enggak..” (R1. WI/b.362/hal.8)

“Ya enggak mau kalah lah.. (suara lantang)” (R1. WI/b.365-366/hal.9)

“Iya.. Ampe nangis kadang..” (R1. WI/b.368/hal.9)

Pertengkaran yang terjadi juga sering disebabkan karena Andi merasa tidak adanya pemberian kasih sayang yang adil pada dirinya dan kakaknya, yaitu ibu tirinya sangat membedakan pemberian kasih sayang terhadap Andi dan kakaknya, serta kepada saudara tirinya. Perbedaan pemberian kasih sayang itulah yang sering menjadi salah satu permasalahan dalam kelurga tiri Andi.

“Masalah kasih sayang bisa juga, ya kadang itu iri-iri-an bisa juga..” (R1. WI/b.181-182/hal.5)

Selain masalah ketidakadilan pada pemberian kasih sayang, masalah lain yang sering muncul dalam keluarga ini adalah masalah ekonomi. Pada awal keluarga ini terbentuk, pemberian uang saku akan dijatah, namun walaupun dijatah, terdapat perbedaan jumlah yang diberikan, terutama Andi dan kakaknya yang mendapat lebih sedikit dari saudara-saudara tirinya. Andi dan kakaknya akan meminta uang saku pada ayah mereka, dan saudara tiriny meminta pada ibu tiri mereka. Akan tetapi, sekarang Andi sudah memiliki pekerjaan, sehingga tidak perlu meminta uang lagi pada orangtuanya.

“Ya lah.. Kan kalo gimana ya.. Dulu kan ibaratnya uang kan pelit, kan sekarang kan enggak, enggak minta lagi sekarang, udah nyari sendiri.. Kalo dulu kan segini-segini dijatah.. Kalo mereka kan lain, minta mamak nya, kalo awak minta ama Bapak..”

(R1. WI/b.194-200/hal.5)

Sebenarnya penjatahan uang saku juga disebabkan karena pekerjaan ayah Andi yang sebagai tukang bangunan yang upahnya juga tidak terlalu besar dan


(1)

V.B. SARAN

Dengan melihat hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

V.B.1. Saran Praktis

a. Bagi ayah diharapkan lebih memperhatikan kehidupan anak tiri meskipun sudah ada ibu tiri yang membantu mengurus rumah tangga.

b. Bagi ibu tiri diharapkan untuk tidak membeda-bedakan sikap antara anak kandung dan anak tiri karena keduanya tetaplah anak yang harus diperhatikan dan disayangi, serta melakukan pendekatan yang lebih intens dan terbuka terhadap anak tiri.

c. Bagi anak tiri diharapkan lebih terbuka dengan ibu tiri dan melakukan pendekatan secara baik-baik dengan ibu tiri. Jika ada hal atau masalah yang mengganjal di hati berkaitan dengan sikap ibu tiri, sebaiknya langsung saja diutarakan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berkepanjangan.

V.B.2. Saran Penelitian Lanjutan

Semoga di penelitian selanjutnya dinamika mengenai dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri ini dapat dijelaskan lebih mendalam lagi karena penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dalam pengerjaannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Dagun, Save M. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Degarmo, David S & Forgatch, Marion S. (2002). Identity Salience As A Moderator Of Psychological And Marital Distress In Stepfather Families. Washington: Social Psychology Quarterly. Vol. 65, Iss. 3; pg. 266, 19 pgs. DeGenova, Mary Kay. (2008). Intimate Relationship, Marriages, and Families

(7th Ed.). New York: McGraw Hill.

Everett, Whichard Lou. (1998). Factors that Contribute to Satisfaction or Dissatisfaction in Stepfather-Stepchild Relationships. Philadelphia: Journal of Family Studies. Vol. 34, Iss. 2; pg. 25, 11 pgs.

Ferrer, Millie. (2007). Stepping Stones for Stepfamilies--Lesson 4: Understanding a Child's Realities1. Available FTP: http://edis.ifas.ufl.edu, tanggal akses: 6 Februari 2010.

Hadi, Sutrisno. (2000). Metodologi Research, Jilid 1-4. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Kemp, Gina dan Segal, Jeanne. (2009) Stepparenting and Blended Family Advice: Bonding with Stepchildren and Dealing with Problems (online). Available FTP: http://www.helpguide.org, tanggal akses: 9 Maret 2009.

Hurlock, Eliabeth B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan, Edisi Kelima (Terjemahan Istiwidayanti & Soedjarwo). Jakarta: Erlangga.

Inspired Kids. (2010) Bila Memutuskan Jadi Orangtua Tiri (online). Available FTP: http://www.inspiredkids.com/bila-memutuskan-jadi-orangtua-tiri, tanggal akses: 18 Maret 2010.

Kartono, Kartini. (2007). Psikologi Wanita (Jilid 2): Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek. Bandung: CV. Mandar Maju

Kuntjoro, Z.S. (2002, 16 Agustus). Dukungan Sosial pada Lansia. E-Psikologi. (online). http://www.e-psikologi.com/usia/160802.htm, tanggal akses: 10 April 2010.

Masbow. (2009, 9 Agustus). Apa itu Dukungan Sosial?. Available FTP: http://www.masbow.blogspot.com/apa-itu-dukungan-sosial.htm, tanggal


(3)

Orford, J. (1992). Community Psychology: Theory and Practice. London: John Wiley and Sons.

Papalia, Diane A., Olds dan Feldman. (2007). Human Development (10th Ed.). New York: McGraw Hill Int.

Perilaku kejam ibu tiri (2010, 24 Februari). Koran Manado, hal, 4.

Planitz, Judith M. dan Feeney Judith A. (2009). Are stepsiblings bad, stepmothers wicked, and stepfathers evil? An assessment of Australian stepfamily stereotypes. Journal of Family Studies. Vol. 15: 82–97.

Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia Edisi ke 3. Jakarta : LPSP3 UI.

Sarafino, Edward P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (5th Edition). New Jersey: John Wiley and Sons.

Stewart. (2006). Step Families With Adult Stepchildren. Page 190-208.

Stinson, Kandi M. (1991). Adolescents, Family, and Friends: Social Support After Parents Divorce or Remarriage. New York: Praeger Publishers.

Sweeney, Megan M. (2007). Stepfather Families and the Emotional Well-Being of Adolescents. Journal of Health and Social Behavior. Vol. 48: pg. 33. Temke, Mary W. (2006). Children in Stepfamilies. Available FTP:

http://www.ceinfo.unh.edu/children-in-stepfamilies, tanggal akses: 18 Maret 2010.

Webber, Ruth P. (1998). Step-Families: Item 12. Available FTP: http://www.aufs.goc.au, tanggal akses: 12 Februari 2010.


(4)

PEDOMAN WAWANCARA

“GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL IBU TIRI TERHADAP ANAK TIRI”

I. Latar Belakang Keluarga Tiri

1. Kehidupan sebelum pernikahan ayah dan ibu tiri 2. Masa awal pernikahan ayah dan ibu tiri

3. Gambaran keluarga tiri setelah terbentuk 4. Hubungan partisipan dengan keluarga tiri

II.Dukungan Sosial Ibu Tiri Terhadap Anak Tiri 1. Jenis dukungan sosial yang diterima dari ibu tiri

a. Hal-hal yang diterima dari ibu tiri terkait kelima dimensi dukungan sosial, yaitu dukungan instrumental, informasional, penghargaan, emosi, dan integrari sosial

b. Efek positif dan negatif bagi partisipan yang menerima dukungan sosial dari ibu tiri dan yang tidak menerima dukungan sosial dari ibu tiri. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dukungan sosial dari ibu tiri

a. Keintiman b. Harga diri


(5)

Lembar Observasi

Partisipan Penelitian : Tanggal/Hari Wawancara :

Wawancara ke :

Waktu wawancara : Hal yang diobservasi :

1. Penampilan fisik partisipan 2. Setting wawancara

3. Ekspresi wajah partisipan

4. Hal-hal yang mengganggu wawancara


(6)

Informed Consent

PERNYATAAN PEMBERIAN IZIN OLEH RESPONDEN

Judul Penelitian : Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri Terhadap Anak Tiri Peneliti : Eky Juliany Famy Lubis

NIM : 061301020

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai partisipan dalam penelitian mengenai dukungan sosial ibu tiri terhadap anak tiri.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Oktober 2012