INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

  

INKULTURASI SEBAGAI JALAN

BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR

DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  

Progam Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

  

DANIAL DODI

NIM : 051124023

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

  

PERSEMBAHAN

  Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku dan kakakku Kristianus Purnomo, yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada penulis,

  Christina Desy Priandari yang selalu bersedia membantu penulis dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini, sahabat-sahabatku di IPPAK angkatan 2005, dan segenap umat Paroki Kristus Raja Cigugur

  

MOTTO

  “Ci karacak ninggang batu, laun-laun jadi legok” “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar”

  (Luk 16:10)

  

ABSTRAK

  Skripsi dengan judul INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI

  

UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR DALAM MEMAHAMI

MAKNA PERAYAAN EKARISTI ini awalnya berangkat dari ketertarikan

  penulis terhadap kebudayaan Sunda, khususnya yang diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Namun dalam ketertarikan itu mulai muncul keprihatinan, antara lain kurangnya minat kaum muda untuk mendalami inkulturasi maupun kebudayaan tradisional. Selain itu, pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi sepertinya masih kurang karena Perayaan Ekaristi masih dianggap sebagai suatu kewajiban atau rutinitas belaka. Inkulturasi, yang pada awalnya ditujukan untuk membantu umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam memahami makna Perayaan Ekaristi, menjadi kurang bisa dipahami bahkan mengaburkan pemahaman akan keseluruhan Perayaan Ekaristi.

  Istilah inkulturasi sendiri sebenarnya merupakan proses humanisasi diri dengan kebudayaan setempat. Bagi orang Sunda di Cigugur, proses humanisasi itu adalah menjadi orang Sunda seutuhnya. Sedangkan dalam Perayaan Ekaristi proses tersebut lebih mendalam, yaitu menjadikan Perayaan Ekaristi sebagai bagian dari umat dan mengakar dalam diri umat sehingga umat memiliki kerinduan untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah, yang terungkap secara nyata dalam Perayaan Ekaristi. Bahkan diharapkan bahwa Perayaan Ekaristi mampu menyentuh inti hidup umat yang paling dalam.

  Untuk mengkaji permasalahan tersebut tentu saja harus didukung oleh fakta yang konkrit. Oleh karena itu, penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan metode wawancara, studi dokumen, dan juga observasi partisipatif. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian responden di Paroki Kristus Raja Cigugur belum memahami makna Perayaan Ekaristi seutuhnya. Namun, antusias mereka akan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi cukup besar. Hal tersebut didukung oleh gagasan umat yang mengungkapkan bahwa inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi masih sangat sesuai dan perlu dipertahankan karena inkulturasi sudah banyak membantu umat dalam memahami makna Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur. Dengan adanya inkulturasi, umat juga dapat terlibat secara aktif dan sadar dalam Perayaan Ekaristi tersebut. Dari hasil penelitian, penulis juga mengusulkan salah satu program katekese dalam rangka meningkatkan pemahaman umat akan makna Perayaan Ekaristi. Adapun model katekese yang penulis usulkan adalah katekese model Shared Christian Praksis (SCP). Model tersebut dipilih dengan alasan bahwa SCP selalu berangkat dari pengalaman umat yang dikonfrontasikan dengan Tradisi dan Visi Kristiani. Selain itu, model ini juga dirasa sejalan dengan inkulturasi yang ada dalam Perayaan Ekaristi di Cigugur dan mampu menjawab kebutuhan umat.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih,

  

Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji, karena atas kasih dan penyertaanNya penulis

  dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul INKULTURASI SEBAGAI JALAN BAGI UMAT PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR DALAM MEMAHAMI MAKNA PERAYAAN EKARISTI ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penulis memilih judul skripsi tersebut dengan harapan dapat memberi sumbangan pemikiran untuk umat, khususnya kaum muda di Paroki Kristus Raja Cigugur dalam memahami dan menghayati makna Perayaan Ekaristi. Selain itu, penulis menganggap perlu untuk mengangkat suatu tema tentang kebudayaan dan Perayaan Ekaristi karena dianggap sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan umat dewasa ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya pendampingan, bimbingan, bantuan dan arahan dari segenap pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

  1. Rm. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed., selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, waktu dan sumbangan pemikiran dengan penuh kesabaran dan perhatian. Terima kasih untuk masukan dan kritiknya sehingga penulis merasa dikuatkan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

  2. Bapak Y.a.C.H. Mardiraharjo, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak perhatian kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

  3. Bapak Yosep Kristianto, SFK, selaku dosen penguji ketiga yang juga selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

  4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan memberi dukungan kepada penulis selama belajar hingga penulisan skripsi ini.

  5. Segenap Staf Sekretariat, Perpustakaan dan seluruh karyawan IPPAK yang telah memberikan dukungan, tegur sapa dan perhatiannya.

  6. Rm. Martasudjita, Pr, yang ikut memberikan masukan yang sungguh- sungguh berguna bagi penulis.

  7. Rm. Y. Abukasman, OSC, selaku Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

  8. Rm. Antoon Rutten, OSC, yang juga selalu memberikan perhatian kepada penulis dan membukakan pintunya lebar-lebar, sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas buku-buku tentang sejarah Paroki Cigugur yang telah dipinjamkan kepada penulis.

  9. Bapak, Mamah, Aa, dan seluruh keluargaku tercinta. Terima kasih atas cinta, doa, dan dukungan yang boleh penulis terima.

  10. Keluarga di Ambarawa, yang memberikan masukan dan dukungan bagi penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

  11. Saudara-saudaraku yang ada di Yogyakarta; Antonius Yogi dan Christina Jeanny Ardila, yang selalu mendukung dan memberikan motivasi bagi penulis.

  12. Sahabat-sahabatku angkatan 2005/2006 di IPPAK; Christina Desy Priandari, Agustina Eri Susanti, Lisnawati Br. Pinem, Henrika Jamlean, Almatia Nuri, Magdalena Mada Hede, Lusia Windu Andari, Haryanto, Yohanes Pratamto Henri dll, yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  13. Sahabat-sahabatku di Cigugur; Fransiskus Yanuar Triwacana, Antonius Satia, dll, yang juga ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

  14. Segenap responden yang telah memberikan waktunya untuk diwawancarai, sehingga penulis memperoleh data yang cukup lengkap dan representatif.

  15. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

  Penulis menyadari bahwa karya yang tidak sempurna ini masih menyisakan kekurangan di sana-sini. Oleh sebab itu, kiranya tiada gading yang tak retak karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Dengan rendah hati, penulis mengharapkan masukan berupa kritik atau saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

  Yogyakarta, 15 September 2009 Penulis

  DAFTAR ISI

  JUDUL ............................................................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii PENGESAHAN ............................................................................................... iii PERSEMBAHAN ............................................................................................ iv MOTTO ........................................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT..................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI.................................................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xv BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................

  1 A.

  1 Latar Belakang Penulisan..................................................................

  B.

  5 Rumusan Masalah.............................................................................

  C.

  5 Tujuan Penulisan...............................................................................

  D.

  6 Manfaat Penulisan.............................................................................

  E.

  6 Metode Penulisan..............................................................................

  F.

  7 Sistematika Penulisan .......................................................................

  BAB II. INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI ......................

  9 A. Inkulturasi ......................................................................................... 9 1.

  9 Pengertian dan Hakikat Inkulturasi ............................................

  2. Dasar Inkulturasi ........................................................................ 17 3.

  Tujuan Inkulturasi ....................................................................... 18 B. Perayaan Ekaristi .............................................................................. 21 1.

  Makna Perayaan Ekaristi ............................................................ 21 2. Tata Perayaan Ekaristi................................................................. 24 C. Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi dalam Perayaan Ekaristi ................ 28

  BAB III.INKULTURASI KEBUDAYAAN SUNDA DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI KRISTUS RAJA CIGUGUR ....................

  35 A. Gambaran Umum Paroki Kristus Raja Cigugur ............................... 36

  2. Situasi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur ................................. 37 a.

  Sejarah Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur.......................... 37 b. Perkembangan Gereja Katolik Cigugur ................................ 42 B. Penelitian tentang Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur.........................................................................

  47 1. Latar Belakang ............................................................................ 47 2.

  Metodologi Penelitian ................................................................. 50 a.

  Jenis Penelitian....................................................................... 50 b. Tempat dan Waktu Penelitian................................................ 51 c. Responden Penelitian............................................................. 51 d. Variabel yang Diteliti............................................................. 52 e. Instrumen Pengumpulan Data................................................ 52 f. Metode Pembahasan Data Penelitian..................................... 54 3. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian .................................. 54 a.

  Responden.............................................................................. 54 b. Pemahaman Umat akan Makna Perayaan Ekaristi................. 55 c. Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi....................................... 69 4. Kesimpulan Hasil Penelitian....................................................... 76

  BAB IV. KATEKESE INKULTURATIF DALAM RANGKA MENINGKATKAN PEMAHAMAN UMAT AKAN MAKNA PERAYAAN EKARISTI .................................................................

  78 A. Katekese Inkulturatif......................................................................... 78 1.

  Hakikat dan Tujuan Katekese ..................................................... 78 2. Mengusahakan Katekese Inkulturatif.......................................... 82 B. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Inkulturatif.........................................................................

  87 1. Komponen-komponen Pokok SCP ............................................. 88 a.

  Shared .................................................................................. 88 b. Christian ............................................................................... 89 c. Praxis ................................................................................... 90 2. Langkah-langkah SCP................................................................. 91 a.

  Langkah I: Pengungkapan praksis faktual ............................ 91 b. Langkah II: Refleksi kritis pengalaman faktual.................... 92

  terjangkau..............................................................................

  93 d. Langkah IV: Interpretasi dialektis antara praksis dan visi peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani .............................

  95 e. Langkah V: Keterlibatan baru demi makin terwujudnya Kerajaan Allah di dunia ........................................................

  96 C. Usulan Program Katekese................................................................. 97 1.

  Latar Belakang Penyusunan Program Katekese ......................... 97 2. Alasan Pemilihan Tema .............................................................. 98 3. Penjabaran Program Katekese..................................................... 99 4. Contoh Usulan Katekese............................................................. 102

  BAB V. PENUTUP......................................................................................... 116 A. Kesimpulan ....................................................................................... 116 B. Saran.................................................................................................. 119 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 120 LAMPIRAN..................................................................................................... 122 Lampiran 1: Daftar Pertanyaan Panduan Wawancara ............................ (1) Lampiran 2: Deskripsi Hasil Penelitian .................................................. (2) Lampiran 3: Peta Keuskupan Bandung .................................................. (18) Lampiran 4: Peta Paroki Kristus Raja Cigugur ...................................... (19)

DAFTAR SINGKATAN A.

   Singkatan Kitab Suci

  Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

  

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat . (Dipersembahkan

  kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.

  B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

  CT: Catechesi Tradendae , Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979. SC: Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1965.

  C. Singkatan Lain

  ADS:

  Agama Djawa Sunda

  Art: Artikel bdk: bandingkan dkk: dan kawan-kawan dll: dan lain-lain GKP: Gereja Kristen Pasundan KWI: Konfrensi Waligereja Indonesia MAWI: Majelis Agung Waligereja Indonesia

  No: Nomor OSC:

  Ordo Sanctae Crucis

  P: Pangeran P dan K: Pendidikan dan Kebudayaan PACKU: Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang PAKEM: Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia PUMR: Pedoman Umum Misale Romawi PWI: Panitia Waligereja Indonesia SCP: Shared Christian Praxis TPE: Tata Perayaan Ekaristi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Perkembangan globalisasi dewasa ini ternyata membawa pengaruh

  yang cukup besar bagi peradaban manusia pada umumnya. Dampak dari perkembangan ini juga begitu terasa di Indonesia. Dalam hal kebudayaan, kita tidak bisa menyangkal lagi bahwa sedikit banyak kita sudah terpengaruh oleh kebudayaan barat. Bahkan kebudayaan asli yang telah lama tumbuh dan berkembang di negeri ini semakin lama semakin menyusut. Kebudayaan asli ini seringkali dipandang sebagai kebudayaan yang primitif atau tidak relevan lagi dengan zaman yang sudah maju ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin sedikitnya orang yang mau belajar atau mempertahankan kebudayaan daerahnya. Untuk sekarang ini, sepertinya bukan hal yang aneh jika seseorang tidak menguasai dan memahami bahasa daerahnya sendiri. Fenomena semacam ini terjadi di berbagai pelosok di Indonesia yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Oleh karena itu, untuk beberapa tahun terakhir ini, di beberapa daerah di Indonesia sedang digalakkan kembali studi mengenai kebudayaan daerah. Dengan tujuan untuk menjaga kebudayaan asli Indonesia dan agar kebudayaan yang telah ada tersebut tidak hilang begitu saja.

  Begitu juga dengan Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II yang semakin membuka diri terhadap dunia, atau dengan kata lain memberikan peluang besar bagi inkulturasi. Dalam hal ini, Gereja Katolik melakukan

  2 pendekatan lewat kebudayaan jemaat setempat dengan tujuan agar Gereja Katolik semakin diterima oleh dunia. Dengan demikian kebudayaan menjadi salah satu jalan bagi Gereja untuk menginkulturasikan tradisi dan ajaran- ajarannya agar semakin diterima dan dipahami oleh umat. Sebagai contoh, para misionaris yang dahulu datang di Indonesia untuk mewartakan Injil, pada awalnya mereka mempelajari budaya umat Indonesia, termasuk di dalamnya, bahasa, tradisi, ataupun unggah-ungguh. Lewat pendekatan tersebut, ternyata membuat sebagian besar orang di Indonesia memahami dan tertarik pada ajaran Kristiani, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menjadi Katolik.

  Seiring berjalannya waktu, kebudayaan daerah semakin lama semakin kurang dikenal orang dan dinilai kuno, sehingga inkulturasi kebudayaan dalam Gereja pun semakin pudar dan makna inkulturasi itu pun semakin kabur. Yang paling jelas dapat dilihat adalah dalam perayaan Ekaristi. Pada mulanya inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi tersebut dimaksudkan agar umat Kristiani lebih mampu menghayati Ekaristi lewat kebudayaannya masing-masing. Namun, pada kenyataannya, tidak semua umat Kristiani di Indonesia sekarang memahami kebudayaan daerahnya secara jelas. Dengan kata lain, inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi seolah-olah tidak begitu penting untuk tetap dipertahankan. Apalagi dalam masa Paus Benediktus XVI sekarang ini penggunaan bahasa setempat untuk teks-teks terjemahan harus benar-benar disesuaikan dengan bahasa aslinya. Sebagai contoh, tidak semua gereja yang ada di Keuskupan Bandung menggunakan bahasa Sunda dalam perayaan Ekaristi. Hanya beberapa gereja saja yang

  3 masih tetap menggunakan bahasa Sunda dalam perayaan Ekaristi, dengan alasan bahwa tidak semua umat Katolik di Keuskupan Bandung adalah orang Sunda. Di luar itu, gereja-gereja di Keuskupan Bandung lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia dalam perayaannya. Lalu, bagaimana dengan umat Katolik di Keuskupan Bandung yang berasal dari Sunda?

  Jika kita berbicara mengenai orang Sunda Katolik di Keuskupan Bandung, maka penulis akan mengawalinya dari Cigugur, tempat di mana terdapat umat Katolik yang benar-benar berasal dari orang-orang Sunda dan sekaligus merupakan jantung dari kebudayaan Sunda, di mana tradisi-tradisi dan kebudayaan yang sudah ada masih dipelihara dan terus diperkembangkan.

  Hal ini tidak dapat terlepas dari sejarah munculnya umat Katolik Cigugur ini. Mereka merupakan peralihan dari penganut ADS (Agama Djawa Sunda), sehingga sedikit banyak, umat Katolik Cigugur ini, yang hidup dalam lingkungan kebudayaan Sunda Cigugur, telah dihidupi oleh adat-istiadat dan kebudayaan tersebut. Nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Sunda telah tertanam dalam jiwa mereka. Dengan demikian, keseluruhan hidupnya tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Sunda, termasuk cara menghayati iman Kristiani mereka. Hal ini tentu saja membuka peluang yang lebar bagi Gereja Katolik untuk masuk ke dalam jiwa umat Katolik Cigugur lewat kebudayaan mereka. Atau dengan kata lain kebudayaan Sunda menjadi pintu gerbang bagi Gereja Katolik untuk masuk dan memahami umat Katolik Cigugur. Begitu juga sebaliknya, umat Katolik Cigugur akan mampu menerima dan memahami iman Kristiani mereka lewat kebudayaan yang mereka miliki.

  4 Oleh karena itu, baik untuk disadari bahwa inkulturasi kebudayaan daerah dalam gereja, khususnya dalam perayaan Ekaristi, sedikit banyak telah berperan dalam memperkembangkan iman umat dan membantu umat dalam menghayati perayaan Ekaristi. Lewat inkulturasi kebudayaan dalam perayaan Ekaristi, sebagian besar umat telah terbantu untuk memahami makna Ekaristi yang menjadi puncak dalam hidup Kristiani. Hal ini juga membuat sebagian umat ingin mempertahankan nilai-nilai dari inkulturasi tersebut, walaupun sebagian lainnya menganggap bahwa inkulturasi tidak begitu relevan lagi dalam perayaan Ekaristi pada masa sekarang.

  Berawal dari keprihatinan tersebut, penulis mencoba menggali lagi nilai-nilai inkulturasi kebudayaan yang ada dalam perayaan Ekaristi. Karena penulis menganggap bahwa inkulturasi merupakan bagian dari karya pelayanan Gereja sekaligus menjadi bagian dari perkembangan Gereja Katolik di Indonesia. Tanpa adanya inkulturasi dalam proses pewartaan ini, belum tentu orang mampu memahami ajaran dan tradisi-tradisi Kristiani secara utuh dan menyeluruh. Proses pewartaan pun tentu saja tidak akan menyentuh hati jemaat sampai ke bagian yang paling dalam, apalagi sampai umat mampu mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh hati, jiwa dan tenaga mereka. Bagaimana umat mampu menghayati Injil secara benar jika umat sendiri tidak mampu menerima ajaran-ajaran Kristiani yang diberikan? Melalui inkulturasi, umat diperkenalkan dengan iman Kristiani sesuai dengan tradisi ataupun nilai-nilai kebudayaan yang mereka miliki, sehingga iman Kristiani mampu diaktualisasikan dalam kehidupan umat sehari-hari dan

  5 menjadi identitas bagi umat-umat Kristiani di manapun juga. Oleh sebab itu, inkulturasi menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan Gereja Katolik di Indonesia sampai saat ini, sehingga nilai-nilai yang ada di dalamnya tentu saja harus tetap dijaga dan dipertahankan terus menerus karena masalah inkulturasi merupakan masalah umat dalam usaha mengerti dan menjalani Injil dalam setiap situasi hidupnya. Kiranya dengan adanya tulisan ini, umat akan lebih mampu memahami Ekaristi lewat kebudayaan masing-masing, sehingga secara langsung umat juga akan semakin memahami dan menghargai kebudayaan daerah yang ada.

B. Rumusan Masalah 1.

  Apa yang dimaksud dengan inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi? 2. Unsur-unsur kebudayaan Sunda macam apa saja yang dapat diinkulturasikan dalam perayaan Ekaristi?

3. Bagaimana katekese inkulturatif digunakan sebagai jalan bagi umat

  Kristiani di Paroki Kristus Raja Cigugur dalam menghayati makna perayaan Ekaristi?

C. Tujuan Penulisan

  Adapun tujuan yang hendak dicapai lewat tulisan ini adalah : 1.

  Memaparkan gambaran mengenai inkulturasi dalam gereja Katolik, berikut maksud dan tujuannya

  6

  2. Memaparkan unsur-unsur kebudayaan Sunda yang dapat diinkulturasikan dalam perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur.

  3. Memaparkan peranan katekese inkulturatif dalam membantu umat Paroki Kristus Raja Cigugur menghayati makna perayaan Ekaristi.

  4. Memenuhi syarat kelulusan program pendidikan Strata 1 (S

  1 ) di prodi Ilmu

  Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

  Manfaat dari penulisan skripsi dengan judul ”Inkulturasi sebagai Jalan bagi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan Ekaristi” adalah : 1.

  Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan baru baik dalam hal liturgi yang inkulturatif maupun dalam memahami kebudayaan Sunda.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi umat Katolik di Paroki Kristus

  Raja Cigugur pada khususnya, dan umat Katolik lain pada umumnya, dalam memahami makna Perayaan Ekaristi lewat kebudayaan mereka.

E. Metode Penulisan

  Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu memaparkan dan menganalisis permasalahan yang ada sehingga ditemukan jalan pemecahan yang tepat. Selain itu juga, penulis akan

  7 menggunakan studi pustaka serta mencari sumber-sumber yang relevan dan mendukung.

F. Sistematika Penulisan

  Tulisan ini mengambil judul ”Inkulturasi sebagai Jalan bagi Umat Paroki Kristus Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan Ekaristi” dan dikembangkan ke dalam lima bab :

  Bab I. Pendahuluan Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan

  Bab II. Inkulturasi Kebudayaan dalam Perayaan Ekaristi Dalam bab kedua ini penulis menyajikan materi mengenai pengertian dan hakikat inkulturasi, dasar inkulturasi, tujuan inkulturasi, makna Perayaan Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi yang secara khusus membahas tentang tahap-tahap inkulturasi liturgi.

  Bab III. Inkulturasi Kebudayaan Sunda dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur Dalam bab ini penulis menyajikan gambaran Paroki Kristus Raja Cigugur secara umum dan penelitian mengenai inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Kristus Raja Cigugur.

  Bab IV. Katekese Inkulturatif dalam Rangka Meningkatkan Pemahaman Umat akan Makna Perayaan Ekaristi

  8 Dalam bab ini penulis menyajikan mengenai katekese inkulturatif, Shared

  

Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu model katekese yang inkulturatif

dan usulan program katekese.

  Bab V. Penutup Bab penutup ini berisi tentang kesimpulan dan saran

BAB II INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI Dalam Bab II ini disajikan landasan-landasan teori yang mendukung dan mendasari gagasan-gagasan penulis yang telah dituangkan dalam Bab I. Kedudukan Bab II dalam keseluruhan skripsi ini adalah mengkaji teori-teori

  mengenai Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Adapun Bab II ini disusun dari tiga sub-bab yang berisi tentang Inkulturasi, Perayaan Ekaristi dan Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Sub-bab Inkulturasi menyajikan pengertian dan hakikat inkulturasi, dasar inkulturasi serta tujuan inkulturasi. Sedangkan dalam sub-bab mengenai Perayaan Ekaristi akan disajikan perihal makna Perayaan Ekaristi dan Tata Perayaan Ekaristi. Pada sub-bab ketiga mengenai Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi, secara khusus akan dibahas mengenai tahap-tahap inkulturasi liturgi.

  A.

   INKULTURASI 1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi

  Inkulturasi berasal dari bahasa Latin, in dan cultur-cultura. Kata depan

  in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam”, sedangkan kata cultur atau cultura berasal kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”. Pengertian

  kultur adalah segala karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonimnya dengan kata lain ialah “kebudayaan”, dari “budi-daya” dan “peradaban” dari kata Arab adaba yang berarti mendidik (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 9).

  10 Dengan demikian, istilah inkulturasi, secara umum, dipahami sebagai suatu usaha Gereja membudaya.

  Menurut Martasudjita (wawancara pada tanggal 20 Mei 2009), istilah inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena dalam setiap usaha inkulturasi pasti selalu merangkul budaya setempat. Tetapi tidak semua penyesuaian budaya dapat disebut inkulturasi. Selain itu, istilah inkulturasi juga merupakan istilah yang hanya ada dalam tradisi Kristiani yang selalu menunjuk pada perwujudan Injil Yesus Kristus dalam budaya setempat.

  Istilah inkulturasi ini muncul pertama kali dalam literatur misiologis tahun 1960, yang diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas Gregoriana, Masson, dalam artikelnya ”L’eglise ouverte sur Le Monde”. Dengan istilah ini, Masson mau mengungkapkan fakta integrasinya warta keselamatan Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu. Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977, yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese, yang mengeluarkan naskah terakhir “Pesan kepada Umat Allah” (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 19).

  Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan inkulturasi merupakan inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain inkulturasi merupakan usaha suatu agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam

  11 penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang diintegrasikan ke dalam tradisi Kristiani.

  Selain itu, beberapa ahli juga telah berusaha merumuskan istilah inkulturasi ini, salah satunya Giancarlo Collet, yang dikutip oleh Prier (1999: 8) :

  Inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus dimana Injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan religius-budaya sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur- unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya tersebut sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja Universal.

  Dalam pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam inkulturasi, Injil Yesus Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat setempat secara terus menerus, sehingga mengakar di dalam kehidupan umat. Melalui inkulturasi, unsur-unsur budaya umat setempat dirangkul, dimaknai dan dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang singkat karena inkulturasi berlangsung terus-menerus dan senantiasa mengikuti perkembangan umat sesuai dengan konteks zamannya. Proses yang terjadi terus-menerus ini akan membuat umat semakin mengimani Injil Yesus Kristus dalam kebudayaannya bahkan mampu menjadi identitas bagi umat di suatu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat.

  Selain Collet, ada pula Crollius (Muda,1992:23) yang merumuskan inkulturasi sebagai berikut: Inkulturasi Gereja adalah integrasi pengalaman Kristen sebuah Gereja Lokal ke dalam kebudayaan bangsa tertentu sedemikian rupa sehingga pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan dirinya dalam elemen- elemen kebudayaan bangsa itu, melainkan menjadi kekuatan atau daya

  12 dengan itu menciptakan satu persekutuan baru bukan saja dalam kebudayaan tertentu itu melainkan juga sebagai sumbangan untuk Gereja Universal. Maksudnya adalah bahwa adanya integrasi antara Injil dengan kebudayaan setempat akan mampu memaknai atau menjiwai kebudayaan setempat tersebut. Dalam inkulturasi, pengalaman Kristen tidak semata-mata diekspresikan dalam bentuk kebudayaan setempat saja, tetapi lebih dimaknai dan dijiwai oleh semangat Injil Yesus Kristus.

  Mantan Jenderal Yesuit, Arrupe (Muda,1992:24), merumuskan inkulturasi sebagai berikut : Inkulturasi adalah inkarnasi kehidupan dan warta keselamatan Kristen ke dalam kebudayaan tertentu sehingga pengalaman ini tidak hanya menemui ungkapannya atau ekspresinya lewat unsur-unsur kebudayaan tertentu tersebut, melainkan menjadi dasar atau prinsip yang menjiwai, mengarahkan, menyatukan dan mengubahnya kepada satu ciptaan baru. Dalam misteri inkarnasi, Yesus Kristus turun ke dunia dan mengambil rupa manusia, sehingga Ia pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan situasi konkret di sekitarnya. Begitu pula dalam inkulturasi, ketika Injil diinkulturasikan ke dalam kebudayaan umat setempat, maka keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya saling merangkul dan memperkaya. Dalam suatu usaha inkulturasi, biasanya tidak banyak dimunculkan bentuk- bentuk yang baru dalam pengungkapannya, melainkan bentuk yang sudah ada sebelumnya semakin dimaknai dengan Injil Yesus Kristus. Atau dengan kata lain pembaharuan terjadi dalam makna kebudayaan yang terinkulturasi oleh Injil Yesus Kristus, sehingga suatu kebudayaan akan memiliki makna Injili.

  13 Seminar inkulturasi yang diadakan di Yogyakarta, atas kerjasama dengan Fakultas Misiologi di Gregoriana Roma (Muda,1992:24) merumuskan inkulturasi sebagai berikut :

  Inkulturasi adalah satu proses dimana persekutuan gereja menghidupi iman dan pengalaman Kristennya dalam konteks kebudayaan tertentu, sehingga penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan setempat, melainkan menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, membentuk, dan secara mendalam membaharui kenyataan itu, sehingga terciptalah pola-pola baru persekutuan, dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar kebudayaan itu sendiri.

  Dari pengertian tersebut, dapat dilihat pemaknaan Injil dalam kebudayaan umat setempat justru mampu menghidupi kebudayaan tersebut. Dengan adanya pemaknaan tersebut, baik Injil maupun kebudayaan memiliki suatu kekuatan baru yang semakin membentuk identitas sebuah gereja lokal.

  Dari ketiga rumusan inkulturasi tersebut, dapat diambil suatu intisari bahwa dengan inkulturasi ada pemaknaan baru dalam pengungkapan kebudayaan setempat. Nilai-nilai dari suatu kebudayaan yang sudah ada semakin kuat karena dijiwai oleh semangat Injil. Selain itu, usaha Gereja untuk berinkulturasi dengan kebudayaan setempat juga semakin mengarahkan dan memperbaharui kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan suatu ciptaan atau kebudayaan baru yang lebih memampukan umat untuk menghayati dan mewujudkan iman mereka sesuai dengan citarasa umat sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Banawiratma, dalam artikelnya ”Menjernihkan Inkulturasi”, yang dimuat dalam ”Bina Liturgia I: Inkulturasi” (Komisi Liturgi MAWI,1985:28), bahwa:

  14 Inkulturasi bukanlah penerapan kebenaran-kebenaran abstrak dalam situasi konkret. Inkulturasi adalah pergulatan kreatif umat setempat untuk menghayati hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru itu bukan hanya pakaian baru, melainkan hubungan kita dengan Yesus Kristus yang hidup Namun, tentu saja perlu diingat bahwa inkulturasi bukanlah satu- satunya yang paling penting karena menurut Koendjono, inkulturasi ada demi penghayatan Kerajaan Allah (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 11). Jadi Kerajaan Allah tetap menjadi yang terpenting. Karena inkulturasi hanyalah jalan yang menjembatani antara nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai Injili untuk mencapai penghayatan Kerajaan Allah. Atau dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa umat akan mampu menghayati Injil dan Kerajaan Allah melalui dan di dalam kebudayaan mereka masing-masing. Maka, apakah suatu unsur kebudayaan kita dapat dimasukkan dalam penghayatan agama, tergantung apakah membantu penghayatan agama kita atau tidak. Suatu unsur kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya kalau tidak membantu tidak baik dimasukkan sebagai sarana penghayatan agama.

  Sebagai contoh, dalam kebudayaan Sunda, dikenal dengan istilah

  

tangan saé, artinya ketika orang hendak menerima suatu barang maka harus

  disambut dengan tangan kanan di atas. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan penghormatan yang tulus baik kepada orang yang memberikan maupun pada barang yang diterima, apalagi jika barang tersebut berupa makanan. Di Gereja Paroki Kristus Raja Cigugur, tradisi ini dianggap baik dan bermakna bagi penghayatan iman umat. Oleh karena itu, pada saat penerimaan komuni, umat dianjurkan untuk menerima komuni dengan tangan saé tersebut. Tradisi

  15

  

tangan saé dalam Gereja Katolik di Paroki Kristus Raja Cigugur semakin

  dimaknai dengan semangat Injili. Dengan menerima Tubuh Kristus menggunakan tangan kanan di atas, umat berarti memberikan penghormatannya kepada Tubuh Kristus. Selain itu, mereka juga dengan rendah hati menyediakan dirinya untuk bersatu dengan Kristus.

  Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa tradisi umat setempat ditampung oleh Gereja Katolik, kemudian ditawarkan kepada umat dan umat pun menerimanya. Dalam hal ini, terjadi dialog antara Gereja dan tradisi umat setempat sehingga menghasilkan suatu bentuk inkulturasi. Jadi, inkulturasi merupakan proses dua arah, yakni asimilasi antara warta Kristen dan jalan hidup Kristen ke dalam kebudayaan kelompok bangsa tertentu. Hal ini juga bisa dikatakan sebagai penerimaan kebudayaan lokal bersama-sama dengan kehidupan Kristen lokal ke dalam warta keselamatan. Baik itu warta Kristen maupun kebudayaan umat setempat, keduanya saling merangkul, mempengaruhi dan memperkaya. Selain itu, warta Kristen memberikan makna baru dalam kebudayaan tersebut. Umat pun akan mampu memahami dan menghayati warta Kristen tersebut melalui kebudayaan mereka. Dengan demikian terciptalah ciptaan baru atau bentuk baru kesatuan dan persekutuan dalam gereja lokal dan merupakan sesuatu yang memperkaya gereja universal.

  Dalam inkulturasi terjadi suatu interaksi sedemikian hingga budaya lama maupun budaya baru mengalami suatu transformasi (Prier, 1999: 7). Yang perlu digarisbawahi di sini adalah dalam suatu interaksi tentu saja hubungan timbal balik mutlak harus ada.

  16 Inkulturasi juga merupakan relasi dinamis antara warta keselamatan kristen dengan pelbagai kebudayaan, integrasi kehidupan kristen ke dalam kebudayaan tertentu, satu proses kontinu dari interpretasi kritis dan timbal balik serta asimilasi antar keduanya (Muda, 1992 : 34). Oleh karena itu, dalam inkulturasi selalu ada kerjasama atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan baik bagi kebudayaan setempat maupun bagi tradisi-tradisi Kristiani. Keduanya tentu saja tidak dapat dipisahkan ataupun berjalan sendiri- sendiri. Karena kedua hal tersebut merupakan inti dari inkulturasi dalam Gereja. Inkulturasi hanya akan terjadi apabila ada dialog timbal balik antara tradisi-tradisi Kristiani dengan kebudayaan setempat.

  Pada hakikatnya inkulturasi merupakan perjumpaan yang bersifat berkelanjutan antara iman Kristiani dengan kebudayaan, dan Yesus Kristus sebagai pusatnya. Dengan demikian dalam proses inkulturasi harus nampak bagaimana jemaat di dalam pergulatan hidupnya sehari-hari mengimani Kristus dan menemukan kehadiranNya dalam segala aspek kehidupannya. Pernyataan tersebut juga didukung dengan penegasan dari Lane (Heryatno, 2000: 124) bahwa pada intinya inkulturasi merupakan perjumpaan antara kebudayaan dan Injil yang saling mengisi, mempengaruhi dan membentuk.

  Oleh karena itu, budaya dan Injil tidak bisa dipisahkan, seperti diungkapkan oleh Paus Paulus VI bahwa pemisahan antara Injil dan kebudayaan merupakan drama hidup jemaat yang tidak dapat dilupakan. Inilah yang disebut sebagai hakikat inkulturasi, yaitu membantu jemaat Kristiani agar iman mereka meresap masuk ke dalam inti hidup sehingga membentuk dan menjiwai

  17 seluruh pengalaman pergulatan mereka. Karena iman yang belum menjadi kebudayaan merupakan iman yang belum sepenuhnya diterima dan dihidupi secara sungguh-sungguh oleh umat (Heryatno, 2000: 123). Atau dengan kata lain iman seseorang harus benar-benar tercermin dalam kesehariannya.

  Hal ini tentu saja akan menghasilkan dampak yang begitu positif bagi umat Kristiani. Mereka akan semakin mampu membangun hidup berimannya maupun komunitasnya. Selain itu, mereka juga semakin memiliki iman Katolik yang menyatu dan mengakar pada kebudayaan dan nilai-nilai setempat yang mereka yakini bersifat positif, karena telah terbukti berharga bagi perjuangan kehidupan mereka. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali bahwa inkulturasi sungguh berkaitan dengan praksis atau keterlibatan jemaat di dalam menghayati Injil Yesus Kristus menurut kebudayaan mereka sendiri.

  Dalam sebuah artikel mengenai ”Katekese sebagai Salah Satu Momen Penting dalam Inkulturasi”, Heryatno (2000: 121) menyatakan bahwa inkulturasi merupakan kenyataan yang bersifat kompleks yang hakikatnya tidak akan dimengerti dengan baik apabila hanya digali berdasarkan konsep yang semata-mata bersifat teoritis. Inkulturasi sejati harus berangkat dari konteks praksis sosio-kultural jemaat atau dengan kata lain inkulturasi harus bertolak dari budaya setempat (Martasudjita, 1999: 88).

2. Dasar Inkulturasi

  Dasar inkulturasi yang pertama kali dipikirkan ialah misteri inkarnasi sendiri: Putera Allah mengenakan kodrat manusia, sebagaimana nampak

  18 dalam permulaan Injil Yohanes (Komisi Liturgi MAWI, 1985: 39). Dalam misteri inkarnasi ini, Yesus mengenakan kodrat manusia atau dengan kata lain hidup Allah sendiri menginkulturasi dalam adat kebudayaan manusia. Namun, hal ini tentu saja belum begitu mencukupi, pendasaran inkulturasi tidak boleh berhenti pada misteri inkarnasi saja. Pusat pengalaman Kristiani tidak boleh dilupakan, yakni Dia yang telah disalibkan bangkit kembali. Hal ini juga diungkapkan oleh Martasudjita (1999:81) bahwa dasar teologi inkarnasi ialah:

  Misteri kasih trinitaris yang diwahyukan dalam rangka sejarah dan mengalami puncak dan kepadatannya dalam peristiwa Yesus Kristus, dimana Sang Putera menjadi manusia (inkarnasi) dan menerima konsekuensi terakhirnya sebagai manusia: wafat, namun kemudian dibangkitkan oleh Bapa dalam Roh Kudus (misteri paskah). Dengan dasar tersebut, unsur budaya setempat diangkat dan diterima oleh Injil sebagai media dialog keselamatan Allah dan manusia. Dan dengan dasar misteri Paskah (inkarnasi), unsur budaya setempat ditebus dan diperbaharui oleh Injil Yesus Kristus. Dengan demikian dapat dilihat bahwa inkulturasi mengungkapkan betapa berharga dan bernilainya budaya dan tradisi umat setempat dalam iman Kristiani (Martasudjita, 1999: 84).

3. Tujuan Inkulturasi

  Adapun yang menjadi tujuan dari inkulturasi adalah agar umat semakin mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh jiwa, hati, dan tenaga menurut kebudayaan dan nilai-nilai pokok hidup umat sendiri. Dalam konteks liturgi, inkulturasi merupakan pengungkapan / perayaan liturgi Gereja dalam tatacara dan suasana yang serba selaras dengan citarasa budaya

  19 umat yang beribadat. Dengan demikian ”umat yang mengikuti ibadat terpesona oleh lagu, doa, lambang / hiasan, upacara, karena semuanya langsung dapat dimengerti; karena semuanya bagus menurut penilaian yang dipakai dalam hidup kebudayaan setempat” (Prier, 1999: 13). Hal ini tentunya akan membuat umat semakin mampu memahami segala sesuatu yang ada di dalam Gereja dan ikut serta terlibat dalam segala bentuk kegiatan hidup menggereja demi penghayatan imannya akan Yesus Kristus. Penghayatan iman akan Yesus Kristus ini kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan umat sehari-hari. Inkulturasi juga secara tidak langsung akan menyelamatkan adat- kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga kebudayaan yang diwariskan dari nenek moyang tidak hilang begitu saja, tetapi semakin dilestarikan.

  Di dalam inkulturasi, tidak hanya iman Kristiani yang dipribumikan, tetapi juga sebaliknya kebudayaan pribumi pun dikristenkan. Dengan artian bahwa iman Kristiani dapat diterima sebagai milik umat pribumi dan kebudayaan pribumi pun menjadi bagian dalam Iman Kristiani. Karena inkulturasi merupakan dialog timbal balik antara iman kristen dan kebudayaan setempat.

  Sebagai contoh, dalam tradisi Sunda Cigugur dikenal ritual khusus pada malam jumat kliwon. Sebelum agama Katolik masuk ke Cigugur, ritual ini berlangsung di tempat-tempat khusus yang sudah disucikan. Selain itu, ritual ini ditujukan kepada leluhur atau arwah-arwah yang sudah meninggal sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, ritual ini juga seringkali

  20 dimanfaatkan untuk meminta bantuan / pertolongan kepada yang didoakan, khususnya yang telah meninggal, dengan anggapan bahwa orang yang sudah meninggal pasti memiliki kesempurnaan. Hal ini dianggap baik oleh Gereja Katolik pada waktu itu. Ketika agama Katolik mulai berkembang di Cigugur, tradisi berdoa di malam Jumat Kliwon ini tidak dihilangkan begitu saja dari masyarakat Cigugur, namun diterima dan diangkat dalam suatu Perayaan Ekaristi. Gereja Katolik meluruskan dan memaknai ritual tersebut menurut semangat Injili. Ritual malam Jumat Kliwon pada masa sekarang ini dijadikan sebagai suatu perayaan syukur kepada Tuhan dan segala doa serta permohonan pun hanya ditujukan kepada Tuhan.