Analisis simbolik bedaya sebagai pemeragaan nilai : studi kasus kepenarian Retno Maruti - USD Repository

  ANALISIS SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI Tesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Ol Oleh: Anastasia Melati Listyorini 046322010 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009

TESIS ANALISI SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI

  Oleh:

  ANASTASIA MELATI LISTYORINI NIM: 046322010 Telah disetujui oleh: Pembimbing I Dr. St. Sunardi

  27 Februari 2009 Pembing II Bambang Pudjaswara, S.ST., M. Hum.

  27 Februari 2009

  PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis berjudul “Analisis Simbolik

  Bedaya sebagai Pemeragaan Suatu Nilai: Studi Kasus Kepenarian Retno

Maruti” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

  kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 27 Januari 2009 Anastasia Melati Listyorini

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda-tangan di bawah ini, saya mahasiwa Universitas Sanata Dharma Nama : Anastasia Melati Listyorini NIM : 046322010 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

  ANALISIS SIMBOLIK BEDAYA SEBAGAI PEMERAGAAN NILAI STUDI KASUS KEPENARIAN RETNO MARUTI Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta ijin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya dibuat di Yogyakarta pada tanggal 27 Februari 2009 yang mengesahkan, Anastasia Melati Listyorini

  

PERSEMBAHAN

  Untuk kedua orangtuaku dan kedua adikku

  Terimakasih atas cinta yang selalu menghidupkan

KATA PENGANTAR

  Menulis tesis di Program Pasca Sarjana Ilmu Belajar di Ilmu Religi dan Budaya (IRB) seperti pergumulan perjalanan hidup saya, menantang diri saya dalam menerima dan memaknai kehidupan secara lebih matang. Belajar di

  IRB sama halnya dengan belajar mengenai kehidupan itu sendiri. Berawal dari rasa haus untuk menyegarkan pengetahuan setelah selama enam tahun bekerja di Lembaga Studi Jawa dan satu tahun di lembaga pemberdayaan generasi muda, saya memutuskan untuk kembali belajar serius. Pemilihan universitas dan program studi menjadi hal yang sangat penting dan terutama karena saya harus tetap berada di Yogyakarta, kota tercinta. Meski merasa cocok, waktu itu saya sempat ragu-ragu karena merasa serem dengan judul mata kuliah-mata kuliah yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Dan saya ingat, waktu itu Romo Banar meyakinkan saya untuk mendaftar di IRB, dan akhirnya saya mendaftar pada hari terakhir pendaftaran. Terimakasih buat Romo Banar atas saran yang tidak salah itu, juga kepada Romo Kuntara yang merekomendasi saya.

  Saat-saat pertama mengikuti kuliah merupakan saat adaptasi yang lumayan “membingungkan” sekaligus sebuah passion bagi saya. Saya sangat merasai dan menikmati tahun pertama berkenalan dengan IRB. Tahun kedua merupakan tahun yang “macet”, suatu perjalanan yang maju-mundur yang berkaitan dengan pengalaman di luar studi. Pada saat inilah saya harus menulis tesis. Pada saat ini pula menulis tesis terasa panjang dan berputar. Menulis tesis dimulai dengan kesadaran bahwa hidup harus terus berjalan, apapun yang akan terjadi di depan nanti.

  Menulis Tesis bagi saya seperti menulis dan belajar mengenai kehidupan itu sendiri. Tari merupakan keseharian saya. Bedaya merupakan tarian yang telah biasa saya tarikan sejak tahun 1994 sampai sekarang di Paku Alaman Yogyakarta. Dari pengalaman pribadi itu, keingin-tahuan saya tentang tari itu sendiri ingin saya maksimalkan dalam penulisan tesis saya. Perjalanan penulisan itu sendiri terasa melelahkan; justru bukan karena penulisan tesis itu sendiri. Penulisan itu kemudian bisa berjalan, pelan, ketika saya mulai belajar

  

iklas untuk menuliskannya. Banyak orang telah membantu dan menguatkan

  saya. Terimakasih untuk Pak Nardi yang penuh cinta dan kesabaran membimbing saya, dalam banyak hal. Terimakasih juga untuk Pak Bambing yang selalu baik hati bersedia untuk datang ke Sanata Dharma untuk bimbingan saya. Meluangkan waktu ke Sanata Dharma untuk saya sungguh sesuatu yang tak ternilai.

  Untuk semua dosen yang telah memberikan ilmunya, saya ucapkan terimakasih: Pak Budiawan, Katrin Bandel, Romo Dipo, Pak Pratik, Bu Ike, Romo Haryatmoko, Romo Budi, Pak Tri, Romo Hari, Pak Praptomo, dan Pak Machasin. Terimakasih juga untuk Pak Robert, Romo Baskoro, dan Pak George yang memperbolehkan saya masuk di kelas sebagai pendengar. Teman-teman seangkatan yang membuat dinamika di saat-saat kuliah: Lian, Endah, Pak Bintang, Gombloh, Ayik, mas Dani, mas Ruslani, dan Romo Agus almarhum, kusampaikan terimakasihku. Tak lupa untuk mbak Henki yang selalu dengan ramah membantu segala keperluan studi, terimakasih yang tak terhingga. Kepada Ibu Retno Maruti, mbak Rury, pak Sentot, dan teman-teman di Padnecwara, atas segala bantuan, waktu, dan segalanya; Kepada Pak Trustho dan Bli Cau yang membantu saya memahami iringan BLC; saya mengucapkan terimakasih; tanpa bantuan anda tesis ini tak akan terwujud.

  Tesis ini bukan akhir dari belajar atau puncak dari studi. Tesis ini merupakan satu langkah ke depan untuk terus melangkah dan melangkah ke langkah depan selanjutnya; belajar untuk senantiasa belajar. Dengan tangan terbuka, saya menerima segala kritikan dan masukan.

  Anastasia Melati Listyorini Januari 2009 ABSTRAKSI Retno Maruti adalah salah satu dari penari dan penata tari yang dalam hampir setiap garapannya selalu menggunakan bedaya sebagai inspirasi geraknya. Bedaya merupakan tari istana di Jawa, terutama di Yogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) dan Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) yang biasanya ditarikan oleh sembilan penari putri. Kesembilan penari putri tersebut mempunyai peran yang berbeda-beda. Meski berbeda peran, rias dan busana bahkan seringkali geraknya di antara kesembilan penari itu pada umumnya sama persis.

  Bedaya dikenal sebagai tari putri yang paling keramat, paling kuno, dan paling kompleks. Hal ini pun didukung dengan mitos yang menghidupinya. Seringkali disebut bahwa bedaya merupakan tarian yang sakral. Kesakralan ini terlihat dari aturan-aturan yang rumit yang merupakan bagian yang inheren dari bedaya itu sendiri. Siapa yang diperbolehkan menjadi penari, kekompleksan gerakan tari berikut formasi atau pola lantainya, rias dan busana yang rumit, tempat dan waktu pertunjukan yang tertentu, dan segala macam yang harus dipersiapkan yang diyakini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam bedaya.

  Dengan mengambil bedaya sebagai inspirasi Maruti dalam mencipta tari, muncul pertanyaan: simbol bedaya manakah yang diambil oleh Maruti untuk tetap mempertahankan atau meyakinkan bahwa karya tarinya merupakan bedaya atau bahwa karya tersebut mengambil inspirasi dari bedaya? Mengapa Maruti mengambil simbol tersebut? Suatu simbol (signifier) selalu membawa makna atau arti (signified).

  Apa yang dimunculkan oleh simbol itu? Apakah arti simbol tersebut bagi Maruti yang terwujud dalam karya-karyanya? Bagaimana simbol tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat pendukung bedaya?

  Bedaya sering digambarkan sebagai refleksi keindahan yang selaras dengan budaya alus bagi orang Jawa di kalangan tertentu. Alus dalam bedaya terdapat dalam teknik gerakan dan semua pendukungnya, seperti tata rias dan busana. Koreografi Retno Maruti yang paling akhir (dipentaskan tahun 2006) yang b erjudul “Bedaya Legong Calonarang” akan menjadi studi kasus penelitian. Bedaya Legong Calonarang ini merupakan karya kolaborasi antara tari Jawa (bedaya) yang dikoreografi oleh Retno Maruti dan tari Bali (legong) yang dikoreografi oleh Bulantrisna Djelantik. Keduanya (bedaya dan legong) berasal dari lingkunga istana. Suatu karya kolaborasi yang mengkontraskan antara kecantikan dan sublim, antara yang alus Jawa dan dinamis Bali.

  

Key words: bedaya, istana, sakral, kompleks, gerak, pola lantai, simbol, Jawa,

alus, kecantikan dan sublim.

DAFTAR ISI

  Hal HALAMAN JUDUL i

BAB I PENDAHULUAN TARI, NILAI ALUS, DAN TUBUH 1. Sebuah Awal

PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA

  5. Koreografi dalam Karya Retno Maruti

  39

  1. Retno Maruti Belajar Menari di Surakarta

  39

  2. Retno Maruti dan Kepindahannya dari Surakata ke Jakarta

  41

  3. Karya-karya Retno Maruti

  43

  4. Pemilihan Tema dalam karya Retno Maruti

  46

  6. Laku Spritual Orang jawa Dilatih melalui Tari

  47

  HALAMAN PERSETUJUAN ii

  49

  7. Negosiasi Laku Spiritual Kejawaan Retno Maruti terhadap Bali

  51 BAB IV

  53

  1. Deskripsi Pementasan Bedaya Legong Calonarang

  53

  2. Bentuk Penyajian

  64

  36 BAB III

  4. Catatan Penutup

  35

  1.2. Rumusan Penelitian

  HALAMAN PENGESAHAN iii

  HALAMAN PERNYATAAN iv

  PERSEMBAHAN v

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN vi

  KATA PENGANTAR vii

  ABSTRAK ix

  DAFTAR ISI x

  1

  1.1. Latar Belakang

  2

  11

  Tari sebagai Pendidikan

  1.3. Tujuan Penelitian

  12

  1.4. Signifikansi Penelitian 12 2.

  Tinjauan Pustaka 13 3.

  Landasan Teori 16 4.

  Metode Penelitian 17 5.

  Gambaran Penulisan

  18 BAB II

  20

  1. Asal-muasal bedaya 23 2.

  Simbolisme bedaya 29 3.

RETNO MARUTI DAN KARYA-KARYANYA

THE AMAZING BEDAYA LEGONG CALONARANG

  2.1 Dasar Penyajian

  65

  2.1.1. Tema

  65

  2.1.2. Sekuen

  67

  2.2 Tata Gerak

  69

  2.3. Tata Iringan

  75

  2.4. Tata Pentas

  77

  3. Bedaya Legong Calonarang sebagai Metamorfosa Bedaya

  81

  4. Catatan Penutup

  87 BAB V

PENUTUP SIMBOL BEDAYA DAN KOEKSISTENSI

  92 Daftar Pustaka

  96 Lampiran

  1. Lampiran 1 Mitos Penciptaan Bedaya

  99

  2. Lampiran 2 Rangkuman Wawancara dengan Theresia Suharti 101

  3. Lampiran 3 Rangkuman Wawancara dengan Hajar Satoto 113

  4. Lampiran 4 Rangkuman Wawancara dengan Sri Kadaryati 119

  5. Lampiran 5 Rangkuman Wawancara dengan Suprapto S 122

  6. Lampiran 6 Rangkuman Wawancara dengan Rahayu Supanggah 127

  7. Lampiran 7 Rangkuman Wawancara dengan Sri Hastanto 130

  8. Lampiran 8 Rangkuman Wawancara dengan Wahyu Prabowo S 133

  9. Lampiran 9 Rangkuman Wawancara dengan Retno Maruti 139

BAB I PENDAHULUAN TARI, NILAI ALUS, DAN TUBUH

1. Sebuah Awal

  Tahun 2003 di kampung Kemlayan, kota Surakarta (lebih dikenal dengan kota Solo) diadakan rekonstruksi karya-karya tari Tumenggung Kusumakesawa,

  1

  ahli tari dari keraton Surakarta. Pada malam itu karya-karya Tumenggung Kusumakesawa dipergelarkan kembali dan ditarikan oleh mereka yang pernah menjadi murid Romo Nggung atau Pak Nggung atau pak Menggung, sapaan akrab Tumenggung Kusumakesawa.

  Salah satu karya Tumenggung Kusumakesawa yang dipertunjukkan pada malam itu berjudul “Retno Pamudya”. Tari “Retno Pamudya” menceritakan tentang latihan perang yang dilakukan oleh prajurit putri. Properti yang digunakan adalah panah, lengkap dengan wadahnya yang disebut endhong.

  Panah tersebut tidak sekedar dijadikan properti, tetapi betul-betul digunakan untuk memanah selama tari berlangsung. Meski mengisahkan tentang latihan perang, “Retno Pamudya” ditarikan bukan oleh dua penari untuk bisa menggambarkan perkelahian secara lebih nyata, namun ditarikan oleh satu 1 orang penari putri. Penari yang menarikan Retno Pamudya tersebut adalah

  Diselenggarakan oleh STSI Surakarta sebagai ujian magister Joko Tutuka, cucu Tumenggung Kusumakesawa. Retno Maruti.

  Dalam membawakan tarian, Retno Maruti terlihat sangat menyatu dengan tarian yang ia bawakan. Ia menari dengan sangat lembut sekaligus tegas dan berani. Sebagai pribadi, i a menjadi lebur dengan tarian itu. Tarian “Retno Pamudya” itu ia bawakan dengan sangat indah dan “wajar”, tidak ada kesan dibuat-buat atau diindah-indahkan. Cara menari ini dikenal dengan cara menari yang sudah mencapai taksu. Taksu merujuk pada kekuatan/spirit/rasa di dalam (inner spirit) dari seorang penari yang merasuk total ke dalam tarian seseorang pada waktu ia menari. Sejak melihat penampilannya selama 12 menit itu, penulis sangat tertarik dengan kepenarian Retno Maruti.

1.1. Latar Belakang Penelitian

  Tubuh terbentuk secara kultural. Artinya, cara kita duduk, berjalan, berbaring mengikuti pola kebiasaan dan lingkungan alam yang ada di sekitar kita. Misalnya, kebiasaan duduk dengan cara jongkok dimiliki oleh masyarakat dari daerah tertentu, sementara masyarakat daerah lain tidak mengenal cara duduk berjongkok ini. Dalam tari, tubuh merupakan media untuk menari, seperti halnya kanvas merupakan media dalam seni lukis, gamelan dalam karawitan, dan mobil/sepeda motor bagi seorang pembalap. Melalui tubuh, tari bisa menceritakan sesuatu, mengungkapkan, dan mengekspresikan diri. Cara mengekspresikan diri ini tidak telepas dari konteks sosial budaya masyarakat setempat. Namun demikian, gerak dalam tari tidak selalu menampilkan makna tertentu, tetapi semata menampilkan keindahan gerak tari itu sendiri.

  Bagi kalangan tertentu, nilai-nilai, termasuk di dalamnya tingkatan- tingkatannya, merupakan sesuatu yang penting. Bagi komunitas Jawa, alus, merupakan simbol yang penting. Alus tersebut dimiliki atau diklaim oleh kalangan priayi (lingkaran atas dalam suatu komunitas) dan keluarga kerajaan Jawa. Karena karakter hegemoniknya yang menyimbolkan kekuatan dan status sosial tertentu, nilai yang dimiliki oleh priayi tersebut, juga menjadi referensi nilai bagi orang kebanyakan dengan mempraktikkan tingkah laku kesopanan tertentu dalam berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku. Dipercaya, bahwa

  2 dengan mempraktikkan alus, seseorang akan dapat mengolah rasa dan emosi.

  3 Dilahirkan dan dibesarkan di Surakarta, Jawa Tengah, Retno Maruti

  hidup dalam lingkungan seni. Ayahnya adalah ahli pedalangan di Kraton Kasunanan dan ibunya adalah seorang pembatik dan sekaligus memiliki usaha batik di rumahnya. Retno Maruti belajar menari sejak usia lima tahun di kraton Surakarta. Tempat tersebut sangat tertutup artinya, tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam wilayah itu. Tempat tersebut untuk kelas atas dalam komunitas tersebut, yaitu untuk keluarga raja, dan teman-teman mereka. Ia mulai menjadi 2 penari profesional ketika remaja sebagai penari "kijang kencana" dalam

  

Rasa berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan konsep kesadaran olah batin, termasuk

olah seni, di dalam komunitas Jawa yang berhubungan dengan bagaimana berkelakuan di 3 depan orang lain yang didasarkan pada cara berpikir orang Jawa.

  

Ia mendapat anugerah Akademi Jakarta pada Nopember 2005. Akademi Jakarta adalah sebuah Dewan Kehormatan seniman/budayawan yang memberikan penghargaan ini dengan tiga kualifikasi, yaitu: memiliki daya cipta yang tinggi, sekaligus mendalami dan mengungkapkan seni tradisi dengan suatu kedalaman rasa, dan mencetak himpunan- himpunan seniman-seniwati muda yang mempunyai apresiasi tinggi dan penguasaan atas khasanah seni klasik. sendratari Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta. Presiden pertama Indonesia, Ir. Sukarno, tertarik padanya dan mengundangnya untuk menari di Istana Negara, Jakarta (1965). Kemudian ia menjadi duta seni untuk memperkenalkan tari Indonesia dengan penari-penari lainnya dari Indonesia, seperti penari Bali Bulantrisna Djelantik, di beberapa negara seperti Jepang, US, Korea Selatan, dan Thailand.

  Posisinya sebagai dosen pada Jurusan Tari, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membuat nya lebih mudah untuk diterima sebagai penari “kualitas tinggi” oleh komunitas Jakarta. Ia lebih mudah untuk mengekspresikan tari dan koreografinya tari tradisional yang ia kuasai. Ia menjadi salah satu pelopor untuk mempertahankan tari tradisional Jawa agar dapat bertahan di Jakarta. Keahliannya dalam menari makin matang ketika ia mendirikan sanggar tari Padnecwara pada 1976 di Jakarta. Sejak 1976, ia mulai menjadi salah satu penari dan koreografer yang mempengaruhi perubahan tari Indonesian

  4 (Murgiyanto, 1991).

  Media massa nasional mempunyai pengaruh yang penting untuk mengangkat namanya. Harian Suara Pembaruan, Kompas dan Republika, 4 mingguan Tempo and Gatra telah memuatnya dalam publikasi mereka mengenai

  

Hampir setiap tahun, Maruti mempergelarkan karyanya di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Karya-karyanya meliputi Langendriyan Damarwulan (1969), Abimanyu Gugur (1976), Roro Mendut (1977), Sawitri (1977), Palgunadi (1978), Rara Mendut (1979), Sekar Pembayun (1980), Keong Mas (1981), Begawan Ciptoning (1983), Kongso Dewo (1989), Dewabrata (1998), Surapati (2001), Alap-alapan Sukesi (2004), and Potraits of Javanese Dance (2005). Pada karyanya yang paling akhir, Maruti bekerjasama dengan penari Bali Bulantrisna Djelantik, yaitu The Amazing of Bedaya-Legong Calonarang (2006). wacana Retno Maruti dan tari istana Jawa dalam setiap pertunjukannya dan menulisnya dalam kolom mereka sebagai maestro tari. Masyarakat menjadi makin mengetahui Retno Maruti karena berita tersebut. Beberapa penghargaan

  5

  dari pemerintah dan swasta telah dia dapatkan. Ensiklopedi Tokoh Indonesia (Indonesian Famous.com) menyebutkan bahwa Retno Maruti menjadi maestro tari istana Jawa karena ia dapat mengkreasi tari Jawa yang “tua” dan mengkombinasikannya menjadi rasa “modern”.

  Budayawan Goenawan Mohamad (2004) menyatakan dalam buklet bahwa Retno Maruti adal ah “a model of mystical beauty of Javanese dance”.

  Sardono W. Koesoema (2004), salah satu penari dan koreografer Indonesia, mengomentarinya sebagai “putri Solo yang tidak keribetan sinjang”. Solo atau Surakarta dalam hal ini diidentikkan dengan pakaian tradisi jarik/sinjang. Artinya, sebagai seorang seniman, Retno Maruti dapat mencapai sukses dalam kehidupannya, tidak hanya mempertunjukkan ketrampilannya dalam koreografinya dan membawanya dengan mudah dalam pertunjukannya. Bukan hanya kritikus dan media massa yang memberinya komentar dan penghargaan.

  Sunan Paku Buwana XII, Raja Surakarta memberinya penghargaan title sebagai Kanjeng Mas Ayu (KMA) Kumalaningrum karena dedikasinya. Dengan 5 demikian, ia telah benar-benar masuk dalam lingkungan atas komunitas Jawa.

  

Wanita Pembangunan Citra Adikarsa Budaya (1978), Penghargaan Teknologi Seni Budaya

Kalyana Kretya Utama from Mensristek Habibie (1997), Citra Adhikarsa Budaya dari Citra Beauty Lotion dan SCTV (1994), Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan RI (2003), Perempuan Pilihan dan Maestro dari Metro TV (2003), dan Nomine Women of the Year from ANTV (2004).

  Sosok Retno Maruti sebagai penari tradisi Jawa yang terkenal nampak ketika ia mempertunjukkan koreografinya yang paling akhir, yaitu “The Amazing of Bedaya- Legong Calonarang” pada April 2006 di Jakarta. Pertunjukan “The Amazing Bedaya-Legong Calonarang” sungguh-sungguh menakjubkan yang merupakan percampuran antara tari tradisi Jawa dan Bali.

  Dalam pertunjukan besar tersebut, mereka membutuhkan sponsor. Dari sponsor yang terlihat, berasal dari iklan yang terpandang. Sosok cantik penari bedaya atau tarian bedaya itu sendiri dihadirkan sponsor produk kosmetik ternama (Martha Tilaar Production, Puan, the Jakarta Boutique Clinic) dan majalah perempuan (Her World, Femina, dan Dewi). Selain itu, juga harian Suara

  

Pembaruan dan Republika yang memiliki komunitas religi yang berbeda yaitu

6 Kristen dan Islam . Suara Pembaruan menyebutnya sebagai tokoh tari klasik

  Jawa. Dalam wawancaranya dengan harian Suara Pembaruan (29 Maret 2006), Retno Maruti menyampaikan komentar mengenai situasi terkini politik Indonesia. Ia mengatakan bahwa meski Jawa dan Bali berbeda, mereka dapat berpentas bersama sehingga kita bisa memberikan sesuatu yang kita punya kepada Indonesia. Karena ia seorang penari, ia memberikan pertunjukan tari untuk masyarakat. Suara Pembaruan dalam profilnya menyebutnya sebagai: Bhinneka Tunggal Ika tanpa Kata. Salah satu sponsor yang memiliki billboard 6 terbanyak adalah rokok Sampoerna. Sampoerna memiliki motto: Sampoerna

  

Keberadaan dua surat kabar tersebut penting untuk dihadirkan, berkaitan dengan isu yang terjadi di Indonesia belakangan ini. untuk Indonesia. Di bawah motto, ditambahkan dengan: Tradisi Kesempurnaan,

  

warisan nenek moyang kita. Kalau bukan kita yang meneruskannya, lalu siapa?

  Sampoerna yang memiliki sebuah image bahwa seni tradisi ingin menegakkan image-nya dengan mensponsori pertunjukan Retno Maruti yang sangat dekat dengan tradisi, khususnya tradisi Jawa.

  Menurut Murgiyanto (1992), Retno Maruti dihargai karena karya dan upayanya untuk mengkreasi tari yang bersumber dari tari tradisi, khusunya tari tradisi Jawa. Tanpa mengetahui nilai Jawa secara matang, Retno Maruti tidak akan bisa menjadi salah satu koreografer yang mempengaruhi perkembangan tari di Indonesia. Karena nilai tradisinya, ia memunculkan kearifan lokal yang terkesan “tua” kepada masyarakat modern Jakarta melalui tari.

  Retno Maruti menyatakan bahwa bila seseorang menari, ia harus melepaskan egonya yang membuatnya menjadi kasar. Ia menginterpretasikan

  7

  dan mempraktikkan nilai tertentu yaitu sabar, trima, and iklas . Murgiyanto menambahkan bahwa alus, lemah lembut, dan kemampuan untuk mengendalikan emosi merupakan nilai ideal perempuan Jawa. Dalam seni istana, formalitas, kelemahlembutan, dan keanggunan lebih diberikan prioritas dariapada komunikasi yang mempunyai arti. 7 Soerjobrongto (1970:11) menganggap bahwa menarikan tari klasik dapat

  

Sabar bukan berarti tidak boleh marah, tetapi seseorang dapat mengendalikan dirinya dalam mneghadapi masalahnya. Trima bukan berarti seseorang menerima segalanya dengan pasif, tetapi ia harus melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Jika ia gagal, ia harus menginterpretasikannya sebagai nasib yang tak seorangpun dapat mengubahnya. Iklas mengacu pada ketaatan dan kesetiaan. membantu mengembangkan kehalusan mental. Tari klasik di Jawa dihargai bukan karena kualitas pertunjukan ataupun sebagai media untuk memukau penonton (Brakel-Pappenhuyzen 1991: 21). Lebih dari itu, tari Jawa klasik,

  8

  menurut Joged Mataram , harus ditarikan sebagai praktik spiritual, untuk menanamkan banyak karakteristik mental seperti sawiji-konsentrasi, greget,

  

sengguh, ora mingkuh. Orang Jawa percaya bahwa makna kehidupan adalah

  kesempurnaan laras, sebuah harmoni ekstrinsik, yang diikuti dengan kekuatan harmoni yang intrinsik (larasing batin). Itu dipercaya oleh sebagaimana orang Jawa akan mempengaruhi keyakinan mereka dalam mengendalikan pikiran dan perasaan. Karena pengendalian perasaan dan pikiran tersebut, tari Jawa terlihat seperti tanpa ekspresi, khususnya bila kita membandingkannya dengan tari India/Bali.

  Dalam menjalankan pedoman menari tersebut, tentunya dibarengi dengan teknik menari yang memadai yang dilatih secara terus-menerus agar tubuh menjadi tubuh yang cerdas. Dalam menari, pada suatu tahapan tertentu, seperti yang terjadi pada Retno Maruti, terjadi self-control yang merupakan suatu upaya untuk menguasai suatu teknik menari dan ecstasy, kenikmatan menari.

  Sebagai seorang penari, Retno Maruti telah meraih apa yang disebut 8

taksu. Menurut Lim, taksu refers to the inner feeling/spirit/strength of the

  

Joged Mataram adalah konsep yang dimiliki oleh kelas social menengah ke atas dalam

komunitas Jawa yang menjelaskan mengenai bagaimana penari dalam menari mencapai level tertentu dalam tari, termausk teknik dan filosofi dan bagaimana orang Jawa menjalani hidup yang ideal.

  dancer, of be ing in total immersion, comprehension and awareness of one’s

dancing at that moment. Sedangkan menurut Gunarsa dalam Seng (2001),

  ketika kita berbicara mengenai seni Bali, konsep taksu terdiri dari aspek estetis maupun religius. Aspek estetis termasuk keterampilan artistik yang teknis, nilai, dan apresiasi, sementara aspek religius menyangkut konsep sakti (religius/kekuatan spiritual.

  Karakter alus dapat diidentifikasi melalui setiap bagian dari pertunjukan, seperti postur penari, gerakan, dan pola lantai. Ketika kita membicarakan Retno Maruti yang mengelola nilai tersebut di dalam tari dan koreografinya, bisa kita

  9 lihat pada sikap muka, mata, sikap tangan, sikap kaki, kostum dan asesoris.

  Dalam disertasinya, Murgiyanto juga mencatat adanya the “alus artcomplex of

  

Javanese in the dance drama of Sekar Pembayun, that are lakon (literary plot or

scenario), tembang (song), joged (dance), gamelan (musik), and batik.

  Bagaimana dengan gerakan tarinya? Gerakan dalam tari Jawa memperlihatkan suatu atmosfer pelan, keanggunan, dan gelombang.

  Gerakannya seperti air yang mengalir (mbayu mili).

  Suatu seni pertunjukan akan dipertunjukkan karena beberapa hal. Mungkin pertunjukan itu untuk menjaring sebanyak-banyaknya penonton, 9 sehingga dalam hal ini selera “pasar” sangat mendominasi. Dengan demikian,

  

Sikap muka penari putri dalam tari istana harus lurus, melihat cenderung ke bawah (tidak boleh melihat langsung ke penonton). Mata selalu mengikuti sikap muka, sehingga mata tidak pernah melirik ke kanan atau ke kiri. Sikap tangan selalu setinggi pinggang dalam seluruh pergelaran itu. Sikap kaki selalu saling tertutup. Seluruh postur tubuh menyimbolkan

kerendahan hati, kesederhanaan, kelemahlembutan (tidak pernah melawan), dan feminine. kemasan dalam seluruh rangkaian seni pertunjukan sangat diarahkan untuk menjaring penonton. Sementara di pihak lain, suatu seni pertunjukan hadir sebagai ritus, yang kehadirannya tidak “dipengaruhi” oleh penonton (jumlah penonton). Seni seperti ini hadir sebagai upaya olah rasa, yang tidak hanya ditampilkan dalam menari, tetapi juga bagaimana memahami suatu nilai-nilai, memperagakan/menjalaninya yang terwujud dalam menari.

  Ketika seorang penari melakukan suatu tarian, ia menggunakan tubuhnya sebagai media untuk menyampaikan suatu tanda, suatu rasa. Dalam menyampaikan suatu tanda, penari menggunakan suatu teknik menari (dancing

  

technique) yang diolahnya terus-menerus selama ia menari. Teknik menari ini

  bisa saja merupakan suatu upaya mengendalikan tubuh atau suatu upaya menyembunyikan gairah hidup orang Jawa, yang akhirnya terbentuk sebagai sebuah tradisi. Seni tradisi sebagai wadah Retno Maruti menggeluti kesenimanannya, menempatkan Retno Maruti sebagai sebuah ikon dalam seni tradisi.

  Sal Murgiyanto (1991) menyebut bahwa Retno Maruti sebagai salah satu

dari empat koreografer yang dianggap sebagai pilar dengan mempunyai gagasan

dan kreasi yang mempengaruhi perubahan tari di Indonesia selama empat

dekade terakhir. Selain Retno Maruti, koreografer dan sekaligus penari yang

sangat berpengaruh adalah Sardono W. Kusumo, Bagong Kussudiardja, dan satu

penari dari Sumatera Barat, yaitu Huriah Adam. Empat koreografer tersebut

mengawali karyanya sebagai seorang penari tradisi di lingkungan mereka

  

masing-masing. Bagong Kussudiardja di dalam pencarian ekspresi individunya

berawal dari tari klasik Yogyakarta, Retno Maruti yang disebutnya melakukan

rekonstruksi tari Jawa mengawalinya dari tari klasik Surakarta, Huriah Adam

yang meredefinisikan tari Minangkabau mengawalinya dari tari tradisi Minang,

dan Sardono W. Kusumo yang disebutnya sebagai seorang cultural traveler

memulai karir kesenimanannya sebagai penari klasik Surakarta. Sal melihat

adanya proses inovatif masing-masing koreografer tersebut dalam

memoderenkan suatu culture, dan memperlakukannya bukan sebagai sebuah

artifacts dengan mengadaptasi ke dalam gagasan baru dan kondisi baru.

  

Indikator lain selain pengakuan dari tokoh seni pertunjukan, juga adanya

sanggar tari yang didirikan oleh Retno Maruti pada 1993 yang merupakan salah

satu bentuk kepercayaan publik akan kualitas kepenariannya. Bentuk pengakuan

lain terhadap Retno Maruti kemunculannya sebagai penari dalam sebuah acara

pemberian penghargaan kepada salah satu ahli karawitan dari Yogyakarta.

1.2. Rumusan Penelitian

  Bedaya sebagai tari tradisi mempunyai simbol-simbol yang disepakati oleh pendukungnya. Berdasarkan pada gagasan di atas, muncul beberapa pertanyaan.

  1. Bagaimana simbolisasi dalam tari, antara lain mencakup gerak, kostum, dan panggung, dan siapa yang mempergunakan simbolisasi tersebut?

  2. Sejauh mana tari bisa dipandang sebagai praktik spiritual pada orang Jawa untuk mencapai keharmonisan batin?

  3. Apa kedudukan alus dalam budaya Jawa sebagaimana ditarikan oleh Retno Maruti?

1.3. Tujuan Penelitian

  Dari ketiga pertanyaan di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mencari simbolisasi dalam tari karya

  Retno Maruti, terutama yang berjudul “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”.

  2. Di samping itu, penelitian ini juga bertujukan untuk menemukan arti penting menari bagi orang Jawa, kaitannya dengan praktik spiritual untuk mencapai keharmonisan batin.

  3. Dari kedua temuan tersebut, tujuan berikutnya adalah mencari arti alus dalam budaya Jawa melalui tari karya Retno Maruti, terutama yang berjudul “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”.

1.4. Signifikansi Penelitian

  1. Dengan melihat kepenarian Retno Maruti dan simbol-simbol yang menjadi bagian dari karya tari Retno Maruti, penelitian ini diharapkan bisa memperkaya catatan mengenai tari dan tradisinya kaitannya dengan praktik spiritual orang Jawa.

  2. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan gambaran di balik praktik kebatinan melalui tari sebagai upaya untuk mencapai alus dalam tradisi Jawa.

  3. Selain itu, penelitian ini dapat mendorong kita untuk lebih kritis terhadap tradisi alus dalam praktik tari tradisional Jawa yang hidup di keraton.

  2. Tinjauan Pustaka

  Tinjauan mengenai Retno Maruti secara khusus pernah ditulis oleh Siti N. Kusumastuti dan Sal Murgiyanto. Siti N. Kusumastuti dalam Tari Tradisional

  

Jawa Surakarta di Jakarta: Kajian Kasus terhadap Retno Maruti dan Karyanya

mencoba untuk mengkaji tari tradisional Jawa (gaya) Surakarta di Jakarta.

  Tulisan ini berusaha untuk memahami tari tradisonal Jawa Surakarta di luar lingkungan tumbuh kembangnya, yaitu di Jakarta. Pemahaman ini didasari adanya konsep persebaran budaya yang menganut anggapan dasar bahwa unsur- unsur kebudayaan pada dasarnya dapat menyebar dari satu tempat ke tempat lain, seiring dengan persebaran masyarakat pendukungnya. Fokus penelitian Kusumastuti ini adalah Retno Maruti bersama perkumpulan tarinya yang diberi nama Padnecwara dan salah satu karya Retno Maruti yang berjudul Abimanyu Gugur.

  Penelitian ini beranggapan bahwa Retno Maruti menjadi seniman tari Jawa yang berkualitas dan berhasil mengembangkan karirnya di Jakarta karena ia memiliki bakat besar dari ayahnya, memiliki minat pada kesenian yang bertumbuh dengan baik karena berada dalam lingkungan berkesenian, dan dedikasinya yang tinggi pada kesenian. Juga sikapnya yang halus, supel, dan terbuka terhadap segala kemungkinan sehingga ia berani untuk melakukan penjelajahan-penjelajahan dan pengembangan terhadap tradisi. Kusumastuti dalam tulisan ini memusatkan perhatian pada upaya yang dilakukan Retno Maruti dalam menjalani karirnya sebagai seniman tari yang menghasilkan karya tari yang berkualitas dan dinantikan kehadirannya.

  Sal Murgiyanto dalam Moving Between Unity and Diversity: Four

  

Indonesian Choregraphers (1991) menulis tentang empat koreografer yang

  mempengaruhi perkembangan tari di Indonesia pada tahun 1990-an. Ke empat koreografer dan sekaligus penari tersebut adalah penari dari Minangkabau, Huriah Adam, dari Solo, Sardono W. Kusumo, dari Yogyakarta, Bagong Kussudiardja, dan Retno Maruti. Ke empat koreorafer tersebut dipilih karena dianggap telah memodernisasi tari sebagai sebuah kultur, bukan sebagai artefak.

  Murgiyanto juga menganggap, melalui pertunjukan-pertunjukannya, koreografer tersebut telah menjadi agen perubahan. (agents of change).

  Lebih jauh mengenai Retno Maruti, Murgiyanto memfokuskan pada karya Maruti mengenai “Panembahan Senopati”, tokoh berpengaruh dalam lahirnya Kerajaan Mataram. Yang menarik bagi Murgiyanto adalah pemilihan Maruti pada penokohan dalam cerita “Panembahan Senopati”. Maruti tidak memfokuskan pada tokoh “Panembahan Senopati” maupun rivalnya Ki Ageng Mangir, tetapi pada karakter perempuan, yaitu Sekar Pembayun, anak Panembahan Senopati sekaligus istri musuh ayahnya, Ki Ageng Mangir. Maruti menonjolkan sikap bakti Sekar Pembayun sebagai sebuah refleksi rasa, yang merupakan esensi karya Maruti.

  What is Dance: Readings in Theory and Criticism (1983) oleh Roger

  Copeland dan Marshall Cohen (ed.) berupaya untuk mengidentifikasi dan menguji isu dasar mengenai estetika tari. Pengertian bahwa tari merupakan bentuk ekspresi atau emosi atau representasi banyak dipertanyakan. Buku ini juga menguraikan bagaimana pleasure diproduksi. Buku ini berisi tentang medium tari, tari kaitannya dengan seni yang lain, genre dan model dalam tari, notasi dan identitas dalam tari, dan kaitan antara tari dan masyarakat.

  Clara Brakel-Papenhuijzen dalam The Bedhaya Court Dances of Central

  

Java (1992) mengupas tari bedaya dan srimpi yang ada di keraton Surakarta dan

  Yogyakarta. Brakel-Papenhuijzen mencatat teks tembang dalam pertunjukan bedaya berikut notasi iringannya. Brakel-Papenhuijzen juga menggambar pola lantai bedaya yang merupakan unsur penting dalam pementasan bedaya. Urutan gerak dan hitungan gerakan bedaya dituliskan secara detail. Buku kedua yang juga ditulis oleh Brakel-Papenhuijzen yang akan dijadikan sumber referensi mengenai tari tradisional berjudul Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan

  

Peristilahannya (1991). Buku ini memuat metode menari gaya tari tradisional

  Surakarta, dilengkapi dengan sketsa. Buku ini juga menuliskan tentang berbagai ragam gerak dalam tari tradisional Surakarta berikut cara melakukannya.

  Peristilahan dalam tari tradisional Surakarta juga dicatat dalam buku ini.

  Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa (1998) karya Paul

  Stange merupakan buku yang mengupas tentang rasa dalam praktik dan hubungan sosial orang Jawa. Logika rasa tersebut oleh Stange juga dikaitkan dengan pertunjukan tari di Surakarta.

3. Landasan Teori

  Bedaya sebagai suatu bentuk tari yang berasal dari keraton diyakini mempunyai nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan orang Jawa, terutama perempuan Jawa, menjadi seorang perempuan yang ideal. Nilai kelembutan, ketaatan, dan ketenangan yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tari merupakan hal yang bisa dilihat. Untuk mencapainya, orang harus melalui laku spiritual dalam rangka intrenalisasi nilai-nilai Jawa.

  Dalam “The Amazing Bedaya Legong Calonarang”, Retno Maruti justru melakukan negosiasi bagaimana keidealan suatu nilai perempuan Jawa dihadirkan kembali pada masa sekarang. Retno Maruti menghadirkan bedayanya dengan lebih canthas. Tari Bali yang dikenal dinamik dengan volume gerak yang lebar dan dengan kecepatan gerak yang lumayan tinggi dibandingkan dengan tari Jawa dihadirkan bersama dalam satu repertoar yang judulnya telah disebutkan di atas.

  Ketika berhadapan dengan Bali, bedaya melakukan reidentifikasi simbolik kejawaannya yang oleh Friedrich Nietszche merupakan pertemuan spirit antara dionysian dan apollonian. Dalam pertunjukan “The Amazing Bedaya Legong” ini, antara (gaya tari) Jawa dan Bali tampak kontras, Bali yang tampak psikotik menjadikan Jawa tampak neurotik, atau sebaliknya. Jawa yang tampak cantik beradapan dengan Bali yang sublim.

4. Metode Penelitian

  Penelitian ini mengunakan metode kualitatif. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

  1. Wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terutama kepada Retno Maruti, beberapa penari yang paling sering terlibat dalam karyanya, dan beberapa seniman tari yang mengenal Retno Maruti dan yang masih aktif terlibat dalam seni pertunjukan di Indonesia. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai apa itu bedaya dan apa itu menari bagi orang Jawa.

  2. Studi Pustaka. Literatur yang paling dibutuhkan untuk mengupas Retno Maruti berkaitan dengan tari yang menjadi gagasan awal penciptaan karya-karyanya, yaitu terutama bedaya, dan buku mengenai cara melihat estetika di kalangan orang Jawa.

  3. Observasi. Observasi dilakukan di sanggar Padnecwara milik Retno Maruti di mana ia melakukan upaya untuk mengenalkan seni pertunjukan kepada orang lain. Observasi juga dilakukan pada event di mana Retno Maruti mempertunjukkan kepenariannya.

5. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan dari penelitian yang berjudul “Analisis Simbolik Bedaya sebagai Pemeragaan Nilai: Studi Kasus Retno Maruti” akan terbagi dalam lima bab. BAB I membahas pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Metode Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. Bab II akan membicarakan tentang Perkembangan Bedaya dalam Tari Tradisional di Jawa. Jawa yang dimaksud di sini khususnya merujuk pada Jawa Tengah (terutama Surakarta) dan Yogyakarta. Subbab dalam Bab II meliputi Tradisi dan Asal Muasal Bedaya, Simbolisme dalam Bedaya tradisi, dan bagaimana simbolisme itu digunakan dalam karya-karya Maruti.

  Bab III akan membahas Retno Maruti dan Karya-karyanya. Pembahasan diawali dari masa kecil Maruti saat Maruti belajar menari di Surakarta. Subbab ini menceritakan tentang sejak pertama kali Maruti masuk dalam dunia tari yang akhirnya membentuk sikapnya yang khas. Subbab ke-2 adalah Maruti dan Kepindahannya dari Surakarta ke Jakarta. Subbab ini mengurai Maruti yang penari Jawa, yang melanjutkan kepenariannya di kota urban Jakarta. Di dalam subbab ini akan dijelaskan bagaimana Maruti menempatkan tarinya di masyarakat urban Jakarta. Subbab ke-3 membahas tentang Karya-karya Retno Maruti. Subbab ini menjelaskan satu per satu karya yang berhasil diciptakan oleh Maruti. Pemilihan Tema dalam Karya Retno Maruti, Koreografi dalam Karya Retno Maruti dan bagaimana Maruti mencipta/mengkreasikan tari akan dibahas dalam bab ini.

  Bab IV adalah Studi Kasus Karya Retno Maruti: The Amazing Bedaya- Legong Calonarang (BLC). Bab ini akan mendeskripsikan bagaimana pertunjukan BLC itu berlangsung pada saat pementasan terjadi. Bentuk penyajian juga akan dibahas, yang di dalamnya terdapat dasar penyajian, tema, dan sekuen penyajian. Subbab selanjutnya mengenai bagaimana metamorfosa bedaya itu terjadi dalam karya Maruti, dari bedaya yang standar ke bedaya yang terdapat dalam BLC. Bedaya sebagai pendidikan bagi orang Jawa akan disinggung pada subbab selanjutnya. Bab V merupakan bab terakhir sebagai Penutup.

  BAB II PERKEMBANGAN BEDAYA DALAM TARI TRADISIONAL JAWA Dalam tradisi Jawa, terutama di keraton, kehadiran tari sangat penting. Kehadirannya dibedakan dalam dua kategori, yakni tari tradisional kerakyatan

  1

  dan tradisional klasik/istana. Tari tradisional kerakyatan merupakan tari yang hidup di lingkungan rakyat kebanyakan, misalnya tayub, jathilan, badut,

  

ndolalak, kethek ogleng, dan srandul. Biasanya tari kerakyatan dikenali karena

  gerak dan cara pertunjukannya yang sederhana. Tarian tersebut mempunyai fungsi, baik sebagai hiburan ataupun ritual. Beberapa tari kerakyatan berfungsi keduanya sekaligus, yakni sebagai hiburan sekaligus ritual, seperti tayub, badut, dan jathilan. Pertunjukan yang berfungsi ganda ini umumnya dikaitkan dengan ritus yang berkaitan dengan kesuburan tanah dan tanaman. Tarian ini biasanya dipergunakan sebagai wahana untuk berhubungan dengan “yang gaib” pada

  2

  upacara memetri desa atau bersih desa atau bersih lepen. Dengan dipertunjukkannya tari tersebut, diharapkan aliran air akan lancar, hama tanaman lenyap, dan tanaman tumbuh subur, sehingga panen berhasil.

  Tari tradisi klasik/istana adalah tari yang hidup di lingkungan istana. Istana atau kraton yang dimaksud di sini adalah kraton Surakarta (Kasunanan) 1 dan Yogyakarta (Kasultanan), dan dua kraton yang dulunya adalah milik 2 Edi Sedyawati, ed. Performing Arts, Singapore: Archipelago Press, 1998, hlm. 76.