BAB II KAJIAN TEORETIS A. Pengajaran Bahasa Indonesia - SITI ZULFATUN BAB II

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Pengajaran Bahasa Indonesia Pengajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi

  adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia baik secara lisan maaupun tulis serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia. Dalam kurikulum 2004 (Depdiknas, 2004: 3) dinyatakan bahwa standar kompetensi bahasa dan sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa yaitu berbahasa adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis.

  Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan sebuah proses belajar untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis, belajar menghargai manusia dan nilai kemanusiaan termasuk di dalamnya menghargai hasil cipta manusia yang berupa puisi. Bab ini membahas tentang teori-teori yang dijadikan dasar untuk mengembangkan penelitian ini.

  Berikut akan dibahas mengenai kemampuan mengapresiasi puisi, penguasaan bahasa figuratif dan minat membaca puisi.

  13

  2. Kemampuan Mengapresiasi Puisi

  a. Pengertian Kemampuan Kemampuan (abilities) seseorang akan turut serta menentukan perilaku dan hasilnya. Yang dimaksud kemampuan atau abilities ialah bakat yang melekat pada seseorang untuk melakukan suatu kegiatan secara phisik atau mental yang diperoleh sejak lahir, belajar, dan dari pengalaman (Soehardi,2003: 24).

  Soelaiman (2007: 112) mengemukakan bahwa kemampuan adalah sifat yang dibawa sejak lahir atau dipelajari yang memungkinkan seseorang dapat menyelesaikan pekerjaannya, baik secara mental ataupun fisik. Sebagai contoh karyawan dalam suatu organisasi, meskipun dimotivasi dengan baik, tetapi tidak semua memiliki kemampuan untuk bekerja dengan baik.

  Menurut Kreitner (2005: 185) yang kemampuan adalah karakteristik stabil yang berkaitan dengan kemampuan maksimum phisik mental seseorang.

  Robins (2006: 46) mengemukakan bahwa kemampuan (ability) adalah kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu. Seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan phisik.

  Berdasarkan pendapat ahli di atas, kemampuan adalah suatu kekuatan baik fisik atau pun mental dan intelektual yang diperlukan untuk menunjukkan suatu tindakan atau aktivitas. Kemampuan yang ada di dalam diri setiap individu bisa dipelajari, dan diasah agar menjadi lebih baik.

  b. Hakikat Apresiasi Secara etimologis istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin

  apreciatio yang berarti

  “menghargai”. Dalam bahasa Inggris

  appreciate yangberarti

  “menyadari, memahami, menghargai, dan menilai ”. Dari kata appreciate dapat dibentuk kata appreciation yang berarti

  “ penghargaan, pemahaman, dan penghayatan”. Kata apresiasi dalam bahasa Indonesia mengandung pengertian yang sejajar dengan kata apreciatio (Latin) kata appreciation (Inggris) tersebut. Apresiasi diartikan juga sebagai suatu kegiatan penilaian terhadap kualitas sesuatu dan memberi penghargaan yang tepat terhadapnya

  Menurut Rusyana (1982: 7) apresiasi berarti pengenalan nilai pada bidang nilai-nilai yang lebih tinggi. Orang yang telah memiliki apresiasi tidak sekadar yakin bahwa sesuatu itu dikehendaki sebagai perhitungan akalnya, tetapi benar-benar menghasratkan sesuatu, dan menjawab dengan sikap yang penuh kegairahan terhadapnya. Hal ini senada dengan pendapat Oemarjati (1991: 57) yang menjelaskan kata apresiasi mengandung arti tanggapan sensitif terhadap sesuatu atau pemahaman sensitif terhadap sesuatu.

  Melengkapi pendapat ahli sastra di atas, Natawijaya (1982: 1) mengungkapkan bahwa apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni atau budaya. Natawijaya menjelaskan bahwa sesuatu itu baik dan mengerti mengapa itu baik. Dengan demikian, kegiatan apresiasi terhadap sesuatu itu akan membentuk suatu pengalaman baru yang berkenaan dengan hal atau suatu peristiwa kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya membaca sebuah karya sastra.

  Hartoko (1990: 25) mendefinisikan apresiasi sebagai suatu tindak penghargaan. Sebagaimana dijelaskan di atas, kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris "appreciation" yang berarti penghargaan. Apresiasi meliputi tiga aspek, yaitu kognitif, emosi, dan evaluasi. Aspek kognitif adalah kemampuan memahami masalah teori dan prinsip-prinsip intrinsik sebuah karya sastra. Aspek apresiasi yang keduaya itu emotif. Aspek emotif adalah kemampuan memiliki nilai- nilai keindahan karya sastra. Indikasi untuk mengukur aspek emotif yang dapat digunakan adalah sebagai berikut: (1) siswa dapat menemukan dan menunjukkan indah tidaknya karya sastra puisi itu; (2) siswa dapat menemukan dan menunjukkan cara penulisan latar belakang cerita/setting; (3) siswa dapat menemukan dan menunjukkan indah tidaknya pemakaian ungkapan dalam karya sastrapuisi. Aspek ketiga yaitu aspek evaluatif. Aspek evaluaitif adalah kemampuan menilai. Aspek ini merupakan aspek tertinggi dalam kegiatan apresiasi. Indikator untuk menilai dan mengukurnya adalah kemampuan untuk menafsirkannya. Penilaian ini dapat disejajarkan dengan kegiatan mempertimbangkan nilai yang ada dalam karya. Siswa yang mampu menguasai tiga aspek di atas, dapat dikatakan sebagai apresiator yang baik. Akibat yang timbul setelah siswa telah berhasil memahami sebuah karya adalah terciptanya jiwa yang matang, sehingga dapat menghargai orang lain selayaknya manusia, wawasan berpikirnya bertambah luas serta memanusiakan manusia karena sastra memiliki nilai humaniora (Suyitno, 1985: 190).

  Sejalan dengan itu, Wardanidalam (Sayuti, 1985: 204) berpendapat bahwa proses apresiasi dalam kaitannya dengan tujuan pengajaran dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat menggemari, menikmati, mereaksi, dan tingkat menghasilkan.

  Tingkat menggemari ditandai oleh adanya rasa tertarik terhadap karya sastra serta berkeinginan membacanya. Dalam tingkat menikmati, seorang (siswa) mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan untuk menyatakan pendapatnya tentang karya yang telah dinikmati, sedangkan tingkat selanjutnya adalah tingkatan produktif yakni bahwa seseorang sudah mulai menghasilkan karya sastra.

  Tarigan (1986: 233) menjelaskan bahwa apresiasi merupakan penaksiran karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengalaman yang wajar dan kritis. Pengalaman dalam hal ini adalah pengalaman bersastra. Pengalaman bersastra dapat diperoleh melalui peristiwa sastra.

  Pada dasarnya, apresiasi berarti suatu pertimbangan (judment) mengenai arti penting atau nilai sesuatu. Dalam penerapannya, apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda, baik abstrak maupun kongkrit yang memiliki nilai luhur.

  c. Apresiasi Sastra Oemarjati (1991: 58) menjelaskan bahwa apresiasi sastra berarti tanggapan ataupun pemahaman sensitif terhadap karya sastra.

  Jelasnya, penekanannya pada pengertian sensitif terutama menyangkut tanggapan seseorang terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Dengan demikian, mengapresiasi karya sastra berarti menanggapi karya sastra dengan kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang bersangkutan, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kerangka tematik yang mendasarinya; dan di lain pihak, kepekaan tanggapan tersebut bermanfaat bagi upaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalannya.

  Tentang apresiasi sastra, Effendi (2002: 6) mengungkapkan bahwa, apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.

  Effendi, Atar Semi (1988) mengemukakan bahwa untuk mengetahui atau menilai siswa yang telah memiliki kemampuan apresiasi sastra dapat dipergunakan seperangkat indikator, yaitu: 1) siswa mampu menginterpretasikan perilaku atau perwatakan yang ditemuinya dalam karya sastra yang dibacanya; 2) siswa memiliki sensitivitas terhadap bentuk dan gaya bahasa; 3) siswa mampu menangkap ide dan tema; 4) siswa menunjukkan perkembangan atau kemajuan selera personal terhadap karya sastra.

  Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa apresiasi sastra berarti tanggapan ataupun pemahaman sensitif terhadap karya sastra. Jelasnya, penekanannya pada pengertian sensitif terutama menyangkut tanggapan seseorang terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Dengan demikian, mengapresiasi karya sastra berarti menanggapi karya sastra dengan kemampuan afektif yang disatu pihak peka terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang bersangkutan, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kerangka tematik yang mendasarinya; dan di lain pihak, kepekaan tanggapan tersebut bermanfaat bagi upaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalannya (Oemarjati, 1991: 58).

  Pendapat Oemarjati tersebut lebih jelas jika dibandingkan dengan pendapat Yus Rusyana, karena Oemaryati bukan hanya mengungkapkan bahwa apresiasi merupakan pengenalan nilai saja, melainkan memperjelas kata apresiasi tersebut dengan menanggapi karya sastra dengan kemampuan afektif yang disatu pihak peka terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang bersangkutan, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kerangka tematik yang mendasarinya.

  d. Puisi Kesusastraan khususnya puisi, adalah cabang seni yang paling sulit untuk dihayati secara langsung sebagai totalitas. Elemen-elemen seni ini ialah kata. Sebuah kata adalah suatu unit totalitas utuh yang kuat berdiri sendiri. Puisi menjadi totalitas-totalitas baru dalam pembentukan pembentukan baru, dalam kalimat-kalimat yang telah mempunyai suatu urutan yang logis. Richardsdalam (Tarigan: 1994 ) mengungkapkan bahwa suatu puisi merupakan perpaduan dari empat hal yaitu: (1) tema penyair atausense (inti pokok puisi), (2) perasaan atau feeling (sikap penyair terhadap objek), (3) nada atau tone (sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat), dan (4) amanat atau intention (maksud atau tujuan penyair) . Keempat hal tersebut saling berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Horatius dalam (Budianta, 2002: 39-40) mensyaratkan dua hal bagi puisi, yaitu puisi harus indah dan menghibur (dulce), namun pada saat yang sama puisi juga harus berguna dan mengajarkan sesuatu (utile). Dalam hal ini, selain memiliki nilai estetika dan berfungsi menghibur, puisi juga mengandung nilai moral, pesan, atau ajaran bagi masyarakat yang membacanya.

  Berbeda dengan pendapat tersebut, Hutagalung dalam (Sayuti, 1985: 1) menyebutkan bahwa hakekat puisi adalah konsentrasi dan intensifikasi. Samson, dalam Sayuti (1985: 27) memberikan batasan puisi sebagai bentuk kata-kata yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyairnya.

  Sedangkan Sayuti (1985: 12) memberikan batasan bahwa puisimerupakan hasil kreativitas manusia yang diwujudkan lewat susunan kata yang mempunyai makna. Lebih lanjut Sayuti (1985: 16) menerangkan bahwa kata-kata yang disusun menjadi baris-baris dengan bentuknya yang khas baru dapat disebut sebagai puisi. Bentuk khas itu muncul dalam pola ritma, rima, baris, bait, dan seterusnya yang merupakan unsur formal puisi. Di samping unsur formal, terdapat unsur kualitas yang menyebabkan bentuk yang khas itu menjadi lebih bermakna, berupa tema, ide, amanat, maupun pengalaman penyair yang diintensifkan dan dikonsentrasikan. Selain berbagai unsur yang membatasinya, watak puisi juga menentukan hakikat suatu puisi. Gracedalam (Sayuti, 1985: 14) berpendapat bahwa watak puisi adalah lebih mengutamakan intuisi, imajinasi dan sintesa dibandingkan dengan prosa yang lebih mengutamakan pikiran, konstruksi, dan analisa. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Rozakdalam (Sayuti, 1985: 14) secara sederhana puisi lebih bersifat intuitif, imajinatif, dan sintesis.

  Pada dasarnya, banyak ahli telah menyimpulkan hakikat puisi dengan menyebutkan unsur-unsur yang hampir sama. Unsur-unsur tersebut merupakan pembangun yang menjadi pokok yang terkandung di dalam puisi. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa hakikat puisi adalah ungkapan emosional atas suatu gagasan yang dibahasakan secara imajinatif dengan susunan kata-kata dan diungkapkan dengan teknik tertentu dalam pilihan terbaiknya.

  e. Ciri-Ciri Puisi Puisi secara umum dibedakan menjadi dua yaitu puisi lama dan puisi baru. Antara puisi lama dan puisi baru masing-masing memiliki ciri-ciri. Ciri-ciri puisi lama: 1. Anonim (pengarangnya tidak diketahui).

  2. Terikat jumlah baris, rima, dan irama.

  3. Merupakan kesusastraan lisan.

  4. Gaya bahasanya statis (tetap) dan klise.

  5. Isinya fantastis dan istanasentris Ciri-ciri Puisi Baru: 1. Pengarangnya diketahui.

  2. Tidak terikat jumlah baris, rima, dan irama.

  3. Berkembang secara lisan dan tertulis.

  4. Gaya bahasanya dinamis (berubah-ubah).

  5. Isinya tentang kehidupan pada umumnya.

  Puisi lama lahir pada masa masyarakat yang terikat oleh syarat- syarat tradisional dan menggunakan pola-pola atau taturan tata bahasa tertentu. Sedangkan puisi baru sudah mendapat pengaruh dari puisi barat, sehingga puisi baru sudah mulai meninggalkan aturan-aturan tradisional.

  f. Unsur-Unsur Pembangun Puisi Dalam membuat puisi, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan yang disebut dengan unsur pembangun puisi. Unsur pembangun puisi, diantaranya :

  1. Bunyi Unsur bunyi merupakan salah satu unsur yang menonjol untuk membedakan antara bahasa puisi dan bahasa prosa. Bahasa puisi cenderung menggunakan unsur perulangan bunyi. Bunyi memiliki peran antara lain adalah agar puisi terdengar merdu jika dibaca dan didengarkan, sebab pada hakikatnya puisi merupakan salah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan (Sayuti, 2002).

  Sebenarnya puisi hadir untuk disuarakan daripada dibacakan tanpa suara. Dengan cara ini, keindahan puisi dapat dirasakan lebih intensif. Hal-hal yang perlu dikaji berkaitan dengan masalah kepuitisan apa saja yang digunakan, disiasati, dan didayakan untuk menghasilkan bunyi yang indah. Sarana yang dimaksud antara lain persajakan, irama, orkestrasi dan fungsi lain (Nurgiantoro, 2014: 154)

  3. Diksi Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra

  (Abrams, 1981). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi juga sering menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu. Aspek leksikal sangatlah penting dalam karya sastra. Aspek leksikal adalah satuan bentuk terkecil dalam konteks struktur sintaksis dan wacana (Nurgiyantoro, 2014: 17). Aspek leksikal ini sama pengertiannya dengan diksi. Diksi merupakan pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan (KBBI, 2005: 64). Aspek leksikal dalam karya sastra dapat berupa penggunaan bahasa lain atau percampuran bahasa, kolokial, munculnya bentuk baru, makna khusus, ragam kata, kata menyimpang, dan lain sebagainya.

  4. Bahasa Kiasan Bahasa kias atau figuratif language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katannya atau rangkaian katannya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu (Abrams, 1981). Bahasa kias memiliki beberapa jenis yaitu personifikasi, metafora, perumpamaan, simile, metonimia, sinekdoki, dan alegori (Pradopo, 1978).

  5. Citraan Puisi Citraan merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa yang mampu membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi, tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau ekspositori yang abstrak dan biasanya ada kaitannya dengan simbolisme (Baldic, dalam Nurgiyantoro, 2014: 276). Unsur citraan merupakan gambaran- gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui kata-kata (Pradopo, 1978). Ada berbagai macam jenis citraan diantarannya:

  a. Citraan Penglihatan (visual imagery) Citraan visual adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, dapat dilihat secara visual.

  b. Citraan Pendengaran (auditory imagery) Citraan pendengaran (auditif) adalah pengonkretan objek bunyiyang didengar oleh telinga (Nurgiyantoro, 2014: 81).

  c. Citraan Rabaan (thermal imagery).

  Citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata.

  (Nurgiyantoro, 2014: 8).

  d. Citraan Pengecapan (tactile imagery) Citraan rabaan (taktil termal) menunjuk pada pelukisan rabaan secara konkret walau hanya terjadi di rongga imajinasi pembaca. (Nurgiyantoro, 2014: 83). e. Citraan Penciuman (olfactory imagery) Citraan penciuman (olfaktori) menunjuk pada pelukisan penciuman secara konkret walau hanya terjadi di rongga imajinasi pembaca (Nurgiyantoro, 2014: 83).

  f. Sarana Retorika Puisi Sarana retorika (rhetorical devices) merupakan muslihat intelektual, yang dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: hiperbola, ironi, ambiguitas, paradoks, litotes, dan elipsis (Altenbernd & Lewis, 1969).

  1) Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan. Gaya ini biasanya dipakai jika seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya. (Nurgiyantoro, 2014: 61). Contoh hiperbola: Darah mulai mengucur membanjiri lengannya.

  2) Ironi adalah pernyataan yang mengandung makna bertentangan dengan apa yang dinyatakannya. Gaya ini juga menampilkan stile yang bermakna kontras. Penggunaan gaya ini dimaksudkan untuk menyindir, mengritik, mengecam, atau sejenisnya. Gaya ironi biasanya tingkat intensitas sindirannya rendah, sedangkan sindiran yang tajam biasanya memakai gaya sarkasme. (Nurgiyantoro, 2014: 70). Contoh ironi: Sebenarnya aku benci rumah yang memberiku kerinduan untuk pulang.

  3) Ambiguitas adalah pernyataan yang mengandung makna ganda. Contoh ambiguitas: Mayat diloncati oleh kucing hidup. 4) Paradoks merupakan pernyataan yang memiliki makna yangbertentangan dengan apa yang dinyatakan. Contoh paradoks: Tidak setiap derita/jadi luka/tidak setiap sepi/jadi duri.

  5) Litotes adalah pernyataan yang menganggap sesuatu lebih kecil dari realitas yang ada. Lilotes berkebalikan dengan hiperbola. Apabila gaya hiperbola menekankan dengan cara melebihi lebihkan, gaya litotes justru dengan cara mengecilkan fakta dari keadaan sesungguhnya (Nurgiyantoro, 2014: 65). Contoh litotes: Mampirlah ke gubukku sejenak.

  6) Elipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan tetapiditandai dengan ..... (titik-titik). Contoh elipsis: Wahai angina ... sampaikan salamku padanya.

  6. Bentuk Visual Puisi Bentuk visual merupakan salah satu unsur yang paling mudah dikenal. Bentuk ini meliputi penggunaan tipografi dan susunan baris.

  7. Makna Puisi Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Setiap puisi pasti memiliki makna. Makna dapat disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Makna puisi pada umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia. Pada umumnya makna puisi baru dapat dipahami setelah seorang pembaca, membaca, memahami arti tiap kata dan kias yang dipakai dalam puisi, serta memperhatikan unsur-unsur puisi lain yang mendukung makna.

  Bermacam-macam pendapat para ahli mengenai struktur pembangun puisi yang berbeda-beda. Pada prinsipnya terdapat adanya beberapa kesamaan. Hal ini dikarenakan cara pandang para ahli bertolak dari latar belakang yang sama, yakni strukturalisme. Ada yang menyatakan bahwa struktur puisi terdiri dari unsur sintaksis dan unsur semantik. Ada juga yang menyatakan bahwa unsur pembangun puisi terdiri dari bahasa puisi, bentuk, dan isi. Sayuti (1985: 14) menyatakan bahwa karya puisi terdiri dari banyak unsur, yang tanpa adanya suatu batasan sekalipun sudah dapat dibedakan antara puisi dan bukan puisi. Unsur-unsur tersebut antara lain berupa kata-kata, bentuk, pola rima, ritma, ide, makna atau masalah yang diperoleh penyairnya di dalam hidup dan kehidupan yang hendak disampaikannya kepada pembaca, pendengar, melalui teknik dan aspek-aspek tertentu. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa unsur-unsur yang membangun sebuah puisi meliputi imaji, emosi, dan bentuknya yang khas. Richards dalam (Situmorang, 1983: 1) berpendapat bahwa puisi dibangun atas hakikat puisi dan metode puisi. Hakikat puisi adalah unsur hakiki yang menjiwai puisi, terdiri atas (1) tema, (2) nada, (3) perasaan, dan (4) amanat. Sementara itu, metode puisi adalah medium bagaimana hakikat itu diungkapkan, terdiri dari: (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) majas, dan (5) rima dan ritma. Altenbernd dkk., dalam (Badrun, 1989: 6) menyatakan bahwa unsur-unsur puisi terdiri dari bahasa puisi, bentuk, dan isi. Sementara itu, Meyer dalam (Badrun, 1989: 6) mengemukakan bahwa unsur-unsur puisi terdiri atas: (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) sarana retorika, (5) bunyi, (6) irama, (7) tipografi, (8) tema dan makna. Menurut Hartoko dalam (Waluyo, 1995: 27), unsur-unsur puisi yang penting terdiri atas dua unsur, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Lebih lanjut, menurut Waluyo bahwa unsur tematik atau unsur semantik puisi menujuk ke arah struktur batin sedangkan unsur sintaksis mengarah pada struktur fisik puisi. Struktur batin adalah makna yang terkandungdalam puisi yang tidak secara langsung dapat dihayati. Struktur batin terdiri dari (1) tema, (2) perasaan, (3) nada dan suasana, (4) amanat atau pesan. Struktur fisik 12 adalah struktur yang bisa kita lihat melalui bahasanya yang tampak. Struktur fisik terdiri dari: (1) diksi, (2) pengimajian, (3) kata konkret, (4) bahasa figuratif atau majas, (5) versify ikasi, dan (6) tata wajah. Ahmad

dalam (Badrun, 1989: 6) berpendapat bahwa bahwa dalam puisi terdapat: emosi, imajinasi, pemikiran ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata-kata, kata-kata kiasan, kepadatan dan perasaan yang bercampur baur. Unsur puisi yang dikemukakan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga hal: (1) pemikiran, (2) bentuk, dan (3) kesan, yang kesemuanya itu terungkap melalui media bahasa.

  Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa puisi terdiri dari beberapa unsur, yakni: diksi, imajeri (pengimajian), tema dan makna, irama, bunyi, perasaan, amanat, dan bahasa kias (pemajasan). Penelitian ini difokuskan pada salah satu unsur puisi, yaitu bahasa kias yang di dalamnya juga mencakup makna.

  Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik, bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut:

  1. Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.

  2. Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.

  3. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait).

  4. Tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima.

  Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

  5. Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut.

  Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.

  Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal- hal sebagai berikut:

  1. Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

  2. Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

  3. Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain- lain.

  4. Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

  Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

  2. Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata- katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

  3. Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

  4. Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju” melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan.

  5. Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986: 128).

  Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987: 83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

  6. Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi (kata), dan sebagainya (Waluyo, 187: 92), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritme adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritme sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

  2. Penguasaan Bahasa Figuratif

  a. Pengertian Penguasaan Finch dkk., dalam (Mulyasa, 2006: 38) menempatkan

  penguasan bagian dari kompetensi (competence). Kompetensi diartikan

  sebagai penguasaan suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas- tugas (kesanggupan) dalam pembelajaran.

  Bloom dalam (Mulyasa, 2006: 41) menyatakan bahwa sebagian besar peserta didik dapat menguasai apa yang diajarkan kepadanya, dan tugas pembelajaran adalah mengkondisikan lingkungan belajar yang memungkinkan peserta didik menguasai bahan pembelajaran yang diberikan. Ditambahkan oleh Hall, dalam (Mulyasa, 2006: 41) bahwa setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberi waktu yang cukup. Perbedaan pandai dan kurang pandai hanya terletak pada masalah waktu yang relatif dibutuhkan oleh peserta didik.

  Dalam konteks lain penguasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan atau memanfaatkan sesuatu hal. Dan penguasaan bahasa figuratif dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa berdasarkan: (1) Diksi, yaitu pilihan kata yang tepat dan sesuai dalam konteks- konteks tertentu (2) Nada yang terkandung dalam wacana, yaitu sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata untuk menciptaan suasana senang dan damai. (3) Struktur kalimat, yaitu tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut.

  (4) Langsung tidaknya makna yang menjadi acuan.

  b. Hakikat Bahasa Figuratif Istilah figuratif sudah dikenal dan telah dipergunakan oleh novelis Romawi Cicero dan Suetonius dengan istilah figura yang diartikan „bayangan, gambar, sindiran, kiasan‟ (Tarigan, 1986: 5). Dan secara leksikal bahasa figuratif dapat diartikan sebagai bahasa yang bersifat kiasan atau bahasa yang bersifat lambang. Atau bahasa figuratif adalah bahasa yang „melambangkan‟ cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan.

  Pradopo (2000: 61-62) berpendapat bahwa bahasa figuartif biasa dipakai pengarang untuk menangkap sesuatu maksud dengan cara tidak langsung. Dengan bahasa kiasan (figurative language) menjadi karya sastra lebih menarik, lebih segar, lebih hidup, dan terutama dapat menimbulkan kejelasan gambaran angan imajinasi pembaca.

  Abrams (1981: 96) menyatakan bahwa bahasa figuratif adalah bagian dari gaya bahasa yang berbentuk retorika. Retorika terbagi atas bahasa figuratif (figurative language) dan pencitraan (imagery). Dan bahasa figuratif itu sendiri pun dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) figure of thought atau tropes, yaitu penggunaan unsur kebahasaan yang menyimpang dari makna yang harafiah (literal meaning) atau pengungkapan dengan cara kias--sebut saja pemajasan dan (2) figure

  

of speech, rhetorical figures , atau schemes, yaitu menunjuk pada

  masalah pengurutan kata, masalah permainan struktur tersebut saja penyiasatan struktur.

  Pernyataan di atas identik dengan pernyataan Aminuddin (1995: 227-228) yang menyatakan bahwa kajian retorik memilah bahasa figuratif (figurative language) menjadi 2 jenis: (1) figure of thought, yaitu bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan; (2) retorika figure, yaitu bahasa figuratif yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Istilah bahasa kias dalam pembahasan ini merujuk pada bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan penataan gagasan secara tradisional.

  Sejalan dengan pernyataan di atas, Gorys Keraf (2006: 129-145) membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ke dalam gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya (literal meaning). Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang mengandung unsur kelangsungan maknanya. Sedangkan gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya.

  Untuk itu, orang harus mencari makna di luar rangkaian kata dan kalimat itu.

  Lebih jauh Nurgiyantoro (1995: 298-300) menyatakan bahwa ungkapan bahasa kias jumlahnya relatif banyak, namun hanya beberapa saja yang kemunculannya dalam karya sastra relatif tinggi. Bentuk-bentuk pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah bentuk perbandingan atau persamaan, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya. Bentuk perbandingan tersebut antara lain bentuksimile, metafora, dan personofikasi. Dan gaya pemajasan lain yang sering ditemui dalam berbagai karya sastra adalah metonemia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks.

  c. Macam-Macam Bahasa Figuratif Dari berbagai pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif yang sering dipakai dalam karya sastra diantaranya adalah :

  (1) Metafora (Metaphor) Metafora adalah majas yang hendak mengkiaskan sesuatu secara langsung. Dalam contoh klasik terungkap lewat lintah darat, kambing hitam, dan sebagainya. (2) Perbandingan (Simile).

  Simile adalah majas yang mengkiaskan sesuatu secara tidak langsung. Yang dikiaskan ada bersama pengiasnya dan disambungkan oleh kata penghubung seperti laksana, bagaikan, bagai, atau bak. Contoh klasik misalnya: matanya bagai bintang timur, larinya bagai anak panah. (3) Personifikasi (Personification)

  Personifikasi adalah majas yang mengiaskan peristiwa alam dengan pengalaman manusia. Berbagai peristiwa alam yang merupakan benda mati dikiaskan menjadi barang hidup karena setelah dipersonifikasikan, peristiwa itu jadi tak ubahnya orang yang mengalami suatu peristiwa manusiawi. Pembaca mengenalinya karena kiasan sifat human yang ditampilkan.

  Contoh klasik misalnya: Lokomotif kereta api menjerit-jerit sepanjang lereng gunung memecah kesepian.

  (4) Hiperbola (Overstatement) Hiperbola adalah majas yang mengkiaskan sesuatu secara berlebih-lebihan. Majas ini menggunakan perbandingan dalam melebih-lebihkan kiasannya. Tujuannya menarik atensi pembaca agar lebih seksama memperhatikan hal yang diungkapkan. Hiperbola tradisional, ada dalam ungkapan: bekerja membanting tulang, menunggu seribu tahun lagi.

  (5) Sinekdoke (Synecdoche)

  a) Pars prototo Pars prototo adalah majas yang menyebutkan “sebagian” untuk maksud “keseluruhan.” Contoh: seminggu ini aku tak pernah melihat batang hidungnya.

  b) Totem proparte

Totem proparte adalah majas menyebutkan “keseluruhan” untuk maksud “sebagian.” Contoh: rakyat Indonesia berhasil

  merebut kemerdekaan. (6) Ironi (Irony)

  Ironi adalah kiasan yang mengkonotasikan makna sebaliknya,dan dipergunakan untukmemberi sindiran. Pada tahap tertentu majas ini berubah menjadi sinisme dan sarkasme, yaitu sindiran yang disajikan secara keras dan kasar tanpa menggunakan upaya penyiratan melalui pembalikan makna. Bentuk kiasan ini seperti: jalannya cepat sampai-sampai aku tertidur menunggunya, memang kamulah gembongnya, mulutmu harimaumu. (7) Simbolik (Symbol)

  Simbolik adalah kiasan yang melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

  Frost mencontohkan bendera sebagai lambang dari suatu negara.

  (8) Apostrof (Apostrophe) Apostrof adalah kiasan yang mengalihkan amanat dari yang hadir kepada sesuatu yang tidak hadir, sehingga ia tampak tidak berbicara dengan yang hadir. Satu contoh: Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan

  (9) Alegori,Parabel, Fabela

  a) Alegori (Allegory) Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah ke permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya bersifat abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

  b) Parabel (parabola) Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral.

  Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita (berkaitan dengan Kitab Suci) yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Misalnya: cerita Adam dan Hawa, Maryam dan Harun. c) Fabel Fabel adalah metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk- makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah seperti manusia. Tujuannya sama seperti parabel, yaitu menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti. Contoh: kancil dan buaya, kancil dan harimau, kancil dan petani.

  (10) Metonemia (Metonymy) Metonemia adalah kiasan dengan ungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Bentuk metonemia ini seperti contoh: naik kijang, membaca S.T. Alisyahbana, mendeklamasikan Chairil.

  (11) Paradoks (Paradox) Paradoks adalah kiasan yang mempertentangkan fakta-fakta yang nyata dan ada, atau dengan kata lain, pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar. Contoh: Ia mati kelaparan di tengah- tengah kekayaannya yang berlimpah. (12) Litotes (Understatement)

  Litotes adalah kiasan yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu yang dinyatakan itu kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Contoh-contoh yang sering dipakai seperti: silakan mampir ke gubuk saya, terimalah bantuan yang tak seberapa ini, saya tidak akanmerasa bila mendapat warisan miliaran rupiah itu.

  Aminuddin (1995: 227-228) mencontohkan pada bahasa kias “aku ini binatang jalang” terdapat dua hal yang diperbandingkan: „aku‟ dan „binatang jalang‟. Pada perbandingan tersebut dapat ditemukan adanya kesamaan ciri semantik antara aku dan binatang jalang. Pada perbandingan ciri semantik yang umum aku memiliki ciri semantik sebagai makhluk demikian juga binatang. Aku mempunyai ciri semanti bernyawa, begitu juga binatang. Pada sisi lain perbandingan itu juga merujuk pada ciri semantik yang khusus dengan yang khusus.

  Ditentukan demikian karena aku sebagai makhluk berkesadaran sebagai ciri khusus manusia diperbandingkan dengan binatang yang secara khusus diberi ciri jalang. Penentuan hubungan ciri semantik seperti di atas tentu diawali pembuahan persepsi tertentu menyangkut objek yang diacu oleh kata- katanya.

  Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan bahasa figuratif adalah kesanggupan seseorang menggunakan bahasa yang „melambangkan‟ cara khas penulis dalam menguraikan sesuatu melalui perbandingan yang tidak biasa, supaya menarik perhatian.

  d. Pentingnya Penguasaan Bahasa Figuratif Bahasa figuratif merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, secara tidak langsung untuk mengungkapkan maknanya, atau bisa disebut dengan makna kias. Tujuannya adalah untuk menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif dan lebih sugestif dalam bahasa puisi. Makna yang terdapat pada puisi bisa dipahami dengan penguasaan bahasa figuratif.

  Dengan demikian penguasaan bahasa figuratif merupakan kunci untuk dapat memahami, menafsirkan dan menjelaskan sebuah karya puisi.

  a. Pengertian Minat Istilah minat dapat diartikan bermacam-macam oleh para pakar psikologi. Bernard (1982: 203) menyebutnya sebagai dorongan yang ada diantara individu dan objek-objek, situasi, orang atau kegiatan. Minat merupakan perasaan senang yang mewarnai setiap individu yang ditimbulkan oleh situasi orang ke arah mana energi mental atau fisik tertuju.

  Sementara itu, Bingham (1989: 21) menjelaskan bahwa minat adalah kecenderungan untuk ikut serta aktif dalam pengalaman- pengalaman dan memelihara pengalaman tersebut. Minat (interest) dapat dikatakan lawan dari keengganan (aversion) yang dirumuskan sebagai kecenderungan untuk menjauhi terjadinya pengalaman tentang objek-objek. Minat dalam eksiklopedia Indonesia IV (1983: 2252) diartikan sebagai kecenderungan bertingkah laku yang terarah terhadap objek kegiatan atau pengalaman tertentu. Ahmadi (2003: 151) memberi batasan minat sebagai sikap jiwa orang seorang termasuk ketiga fungsi jiwanya (kognisi, konasi, emosi), yang tertuju pada sesuatu, dan dalam hubungan itu unsur perasaan yang terkuat. Minat (interest) dan keengganan (aversion) sifatnya dinamik. Pada satu saat mungkin minat lebih kuat daripada keengganan, disebabkan individu yang bersangkutan memusatkan perhatian kepada salah satu objek sehingga tidak ada kesempatan untuk memperhatikan objek lain (Bingham, 1989: 21).

  Harras dan Sulistianingsih (1998: 33) memberi makna minat sebagai hal yang dapat mendorong atau menggerakkan hati seseorang melakukan suatu perbuatan dengan penuh senang hati dan suka rela. Orang yang dalam dirinya telah memiliki minat yang tinggi dalam suatu hal, maka ia akan dengan suka rela mengerjakan hal yang diminatinya tersebut, walaupun dirinya harus melakukan pengorbanan, baik secara materi maupun nonmateri.

  Minat menurut Liang Gie (1994: 28) berarti sibuk, tertarik atau terlibat sepenuhnya dengan sesuatu kegiatan karena menyadari pentingnya kegiatan itu. Jadi minat adalah keterlibatan seseorang dengan segenap kesadaran secara penuh, dan perhatian disertai perasaan senang karena menyadari pentingnya suatu kegiatan untuk mencapai tujuan.

  Minat menurut Crow& Crow (1993: 153) adalah kekuatan pendorong yang menyebabkan seseorang memberikan perhatian terhadap orang lain, sesuatu atau aktivitas tertentu. Minat selalu disadari dan muncul sejak awal kehidupan serta berkembang atas pengaruh-pengaruh dari luar dirinya dan dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu minat berubah karena pengalaman dan baru stabil setelah dewasa. Pendapat tentang minat yang lebih lengkap dikemukakan oleh Chaplin (2000: 246) yang merumuskan minat dalam tiga buah rumusan, yaitu pertama, sebagai suatu sikap yang menetap yang mengikat perhatian individu ke arah objek-objek tertentusecara selektif. Kedua, perasaan yang berarti bagi individu terhadap kegiatan, pekerjaan sambilan atau objek-objek yang dihadapi oleh setiap individu, dan ketiga, kesiapan individu yang mengatur atau mengendalikan perilaku dalam arah tertentu atau ke arah tujuan tertentu.