BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hipertensi 1. Definisi Hipertensi - Umi Fulanah BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hipertensi 1. Definisi Hipertensi Hipertensi atau penyakit “ darah tinggi “ merupakan suatu gangguan

  pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustarni, 2006).

  Hipertensi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (Djoko Santoso,2010).

  Sedangkan menurut Bustan (2007) Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah gejala yang akan berlanjut kesuatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung coroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hypertrophy (untuk otot jantung) dengan target organ diotak berupa stroke, hipertensi menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian.

  Hipertensi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg140 (Mahardani, 2010). Menurut suatu populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).

2. Klasifikasi Hipertensi

  Berdasarkan konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia tahun 2007, menggunakan klasifikasi WHO dan JNC 7 sebagai klasifikasi hipertensi yang digunakan di Indonesia.

  Klasifikasi hipertensi menurut WHO dan JNC 7 terdapat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut WHO (Andy Sofyan, 2012)

  Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Diastolik (mmHg) (mmHg)

  Optimal ≤ 120 ≤ 80

  Normal ≥ 130 ≤ 85

  Tingkat 1 140-159 90-99 (HT ringan) Tingkat 2 160-179 100-109 (HT sedang) Tingkat 3

  ≥ 180 ≥ 110 (HT berat) Tingkat 4

  ≥ 210 ≥ 120 (HT malingna)

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut The Joint National (Arif Muttaqin, 2009).

  Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Diastolik (mmHg) (mmHg)

  Normal ≤ 120 ≤ 80

  Pre Hipertensi 120-139 80-89 Hipertensi 140-150 90-99 Tahap 1 Hipertensi

  ≥ 160 ≥ 100 Tahap 2

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi menurut Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Andy Sofyan, 2012).

  Kategori Tekanan Tekanan Darah Darah

  Sistolik Diastolik (mmHg) (mmHg)

  Normal ≤ 120 ≤ 180

  Pre Hipertensi 120-139 80-89 Hipertensi 140-159 90-99 Tahap I Hipertensi

  ≥ 160 ≥ 100 Tahap II Hipertensi

  ≥ 140 ≤ 90 Sistol Terisolasi

  Berdasarkan penyebab hipertensi (Agoes et al, 2011) : a.

  Hipertensi esensial atau primer Penyebab dari hipertensi esensial disebabkan oleh berbagai faktor antara lain seperti bertambahnya umur, stress, asupan gizi yang tidak seimbang dan hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi primer, sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.

  b.

  Hipertensi sekunder Merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui antara lain obat-obatan, gangguan ginjal, endokrin, berbagai penyakit neurologik, dan lain-lain.

3. Patofisiologi Hipertensi

  Menurut Brunner (2002), mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksassi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada edula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula pada sistem saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis.

  Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

  Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi. Kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresikan epineprin, yang menyebabkan vasokonstriksi.

  Korteks adrenal mensekresi kortisol dan streroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriksi pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstrikstriktor kuat. Yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosterone oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.

  Perubahan struktur dan fungsional pada sistem perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.

  Perubahan tersebut meliputi arterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.

4. Tanda dan Gejala Hipertensi

  Tanda dan gejala yang biasa ditimbulkan pada penderita hipertensi menurut Nurarif dan Kusuma (2013) adalah : a.

  Tidak ada gejala Tekanan darah yang tinggi namun penderita tidak merasakan perubahan kondisi tubuh, seringkali hal ini mengakibatkan banyak penderita hipertensi mengabaikan kondisinya karena memang gejala yang tidak dirasakan.

  b.

  Gejala yang lazim Gejala yang lazim menyertai hipertensi adalah nyeri kepala dan kelelahan. Beberapa pasien memerlukan pertolongan medis karena mereka mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, kelelahan, sesak nafas, gelisah mual, muntah, epistaksis, kesadaran menurun. Hipertensi yang menaun dan tergolong hipertensi berat, biasanya akan menimbulkan keluhan yang sangat nampak yaitu : sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, nafas pendek (terengah-engah), gelisah, pandangan mata kabur dan berkunang-kunang, emosional, telinga berdengung, sulit tidur, tengkuk terasa berat, nyeri kepala bagian belakang dan di dada, otot lemah, terjadi pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki, keringat berlebih, denyut jantung yang kuat, cepat atau tidak teratur, impotensi, perdarahan di urine, bahkan mimisan (Martuti, 2009).

5. Faktor-faktor Resiko Hipertensi 1.

  Usia Hipertensi primer muncul antara usia 30-50 tahun. Angka kejadian meningkat pada usia 50-60 tahun dari pada usia 60 tahun lebih. Studi epidemiologi, prognosis lebih buruk bila klien menderita hipertensi usia muda (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008). Menurut Kumar dan Fausto (2005) pertambahan usia dapat mengakibatkan perubahan fisiologis dan peningkatan resistensi perifer serta aktifitas simpatik serta kurangnya sensitifitas baroreseptor (pengatur tekanan darah), peran ginjal aliran darah serta laju filtrasi glomerulur menurun.

2. Genetik

  Genetik atau keturunan adalah jika salah satu anggota keluarga pernah memiliki riwayat terkena hipertensi maka anaknya pun dapat terkena hipertensi sebagai penyakit menurun atau genetik. Penelitian pada penderita hipertensi pada orang yang kembar dan anggota keluarga yang sama menunjukan bahwa kasus-kasus tertentu ada komponen keturunan yang berperan (Sheps, 2005). Pada wanita hamil yang merokok, risiko terserang hipertensi pada ibu dan bayi juga lebih tinggi karena pada kembar monozigot (satu telur) yang salah satunya adalah penderita hipertensi, banyak ditemui juga yang mengidap hipertensi (Martuti, 2009).

  3. Pola makan Mengkonsumsi tinggi sodium dapat menjadi factor penting terjadinya hipertensi primer. Diit tinggi garam mungkin merangsnag pengeluaran hormon natriuretik yang mungkin secara tidak lansung meningkatkan tekana darah. Muatan sodium juga merangsang mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat. Studi juga menunjukan bahwa diet rendah kalsium, kalium, dan magnesium berkontribusi terhadap hipertensi (Black & Hawk, 2005; LeMone & Burke, 2008).

  4. Kegemukan Kegemukan terutama pada bagian tubuh atas dimana terjadi peningkatan jumlah lemak dipinggang, abdomen dapat dihubungkan dengan perkembangan hipertensi. Seseorang yang kelebihan berat badan pada daerah pantat, pinggul dan paha beresiko lebih rendah untuk terjadi hipertensi sekunder.

5. Pengobatan Hipertensi

  Pengobatan tekanan darah tinggi dapat dibagi menjadi dua yaitu pengobatan nonfarmakologi dan pengobatan farmakologi. Pengobatan nonfarmakologi yaitu ada diet sehat/diet hipertensi yang meliputi diet rendah garam, diet kegemukan, diet rendah kolesterol dan lemak yang terbatas, diet tinggi serat. Dan ada juga yang menggunakan gaya hidup sehat seperti olahraga secara teratur, menghindari rokok dan minuman alcohol, hidup santai dan tidak emosional (Martuti, 2009).

B. Daun Alpukat Sebagai Terapi 1. Pengertian

  Berdasarkan taksonominya tanaman alpukat dapat diklasifikasikan sebagai berikut( Kanisius, 2000) : Kerajaan (Plantae), Divisi (Spermatophyta), Subdivisi (Angiospermae), Kelas (Dicotyledonae), Ordo (Laurales), Family (Lauraceae), Genus (Persea), Spesies (Persea americana miller).

  Daun tumbuh berdesakan diujung ranting. Bentuk daun ada yang bulat telur atau menjorong dengan panajng 10-20 cm, lebar 3 cm, dan panajng tangkai 1,5-5 cm. bunga berbentuk malai, tumbuh dekat ujung ranting dengan jumlah banyak, garis tengah 1-1,5 cm, warna putih kekuningan, berbulu halus. Buah berbentuk bola berwarna hijau atau hijau kekuningan dan biji berbentuk bola (Tersono, 2008).

  Daun merupakan bagian tanaman yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan, mengingat fungsinya tersebut maka alat ini sering disebut dengan alat vegetatif, pada batasnya terdapat daun berbentuk tunggal dan tersusun dalam bentuk spiral. Daun alpukat disebut daun tidak lengkap karena hanya terdiri dari tangkai dan helaian saja, tanpa upih atau pelepah daun. Bagian tanaman yang berfungsi sebagai alat pengambilan dan pengolahan zat-zat makanan serta alat penguapan air dan pernafasan, daun berwarna hijau tua dan pucuk hijau muda sampai agak kemerahan (Indriyani dan Sumiarsih 2002).

2. Kandungan Kimia Daun Alpukat

  Hasil penelitian yang telah dilakukan Maryati et al, (2007) bahwa penapisan fitokimia daun alpukat (Persea americana Mill) menunjukan adanya golongan senyawa flavonoid, tannin katekat, kuinon, saponin, dan steroid/tritelpenoid. Kandungan kimia daun alpukat juga dibuktikan oleh Antia et al, (2005) bahwa ekstrak daun alpukat mengandung saponin, tannin, phlobatanin, flavonoid, alkaloid, dan polisakarida. Penelitian lain pada ekstrak methanol pada daun alpukat juga mengandung steroid, tannin, saponin, flavonoid, alkaloid, fenol, antaquinon, triterpen (Asaolu et al. 2010 dalam Prawita, 2012:5).

  Berikut ini senyawa yang dikandung oleh daun alpukat : a. Alkaloid

  Alkaloid merupakan suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari berbagai jenis tumbuhan. Nilda (2011) hasil penelitian menjelaskan bahwa isolat fraksi 7 dari daun alpukat (Persea americana Mill) yang ada dalam ekstrak kental methanol merupakan senyawa alkaloid aromatik.

  b.

  Flavonoid Istilah flavonoid diberikan untuk senyawa-senyawa fenol yang berasal dari kata flavon, yaitu nama salah satu jenis flavonoida yang terdapat dalam jumlah besar pada tumbuhan. Flavonoid yang lazim adalah flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, dan khalkon. Flavonoid tersusun dari dua cincin aromatis yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga dengan susunan C6-C3-C6. Senyawa flavonoid sering ditemukan dalam bentuk glikosida.

  c.

  Saponin Berdasarkan struktur aglikonnya (sapogeninnya), saponin dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu tipe steroid dan tipe triterpenoid.

  Kedua senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid.

  d.

  Triterpenoid Menurut Maryati et al, (2007) kandungan kimia daun alpukat mempunyai campuran tujuh senyawa triterpenoid mempunyai gugus-

  OH, -CH alifalik, C-C, C=O, C=C alifatik, dan struktur tidak mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik yaitu skualena.

  Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk Kristal, bertitik lebih tinggi dan bersifat optis aktif. Senyawa triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu : triterpen, saponin, steroid, dan glikosida jantung.

  e.

  Steroid Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana. Senyawa steroid banyak ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan dapat ditemukan pada daun alpukat (Persea americana Mill).

  f.

  Kuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna pigmen kuinon di alam beragam, mulai dari kuning pucat sampai ke hampir hitam, dan struktur yang telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Untuk tujuan identifikasi kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok : benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid.

  g.

  Tanin Tannin merupakan komponen zat organic derivate polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Monomer tannin adalah digallic acid dan D-glukosa. Ekstrak tannin terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat rendah.

3. Manfaat Daun Alpukat

  Bagian tanaman alpukat yang memiliki banyak khasiat salah satunya adalah bagian daun. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli menyebutkan bahwa daun alpukat memiliki efek antifungsi (Rahayu dan Nurhidayat, 2009), antihipertensi (Koffi et al.. 2009), antimikroba (Gomez-Flores et al.. 2008), kardioprotektor (Oeiwole et al.. 2007), antihiperlipidemia (Brai et al.. 2007), hepatoprotektor (Martins et al.. 2006), antikonvulsan (Oiewole dan Amabeoku, 2006), aktivitas hipoglikemia (Antia et al..

  2005), vasorelaksan (Owolabi et al.. 2005), serta analgesic dan antiinflamasi (Adevemi et all.. 2002).

  Secara empiris daun alpukat digunakan untuk mengobati kencing batu, darah tinggi, sakit kepala, nyeri saraf, sakit pinggang, nyeri lambung, saluran nafas membengkak, dan menstruasi tidak teratur (Biopharmaca Reasearch Center, 2013).

  a.

  Aktivitas diuretik Batu ginjal merupakan gejala penyakit yang disebabkan oleh adanya sedimen urin dalam ginjal dan saluran kemih. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin merupakan slah satu indicator terjadinya gangguan fungsi ginjal. Ekstrak etanol daun alpukat melalui penapisan fitokimia mengandung flavonoid dan mempunyai aktivitas diuretik yang dapat memperlancar pengeluaran urin dan penghancur batu pada saluran kemih (Wientarsih, 2010:57-58). Bukti ini juga diperkuat oleh Madyastuti (2010) yang melaporkan bahwa pemberian infusum daun alpukat dapat menaikan laju filtrasi glomerulus, menghambat kenaikan ureum, dan kreatinin. Selain itu juga dapat menghambat kristalisasi urin. Dengan demikian zat-zat yang terkandung dalam daun alpukat bersifat sebagai peluruh kencing atau memiliki aktivitas diuretik.

  b.

  Antihipertensi Glikosida pada daun alpukat dilaporkan memiliki aktivitas menurunkan tekanan darah (Biopharmaca Research Center, 2013).

  Azizahwati (2010) dalam Lusia (2011) hasil penelitiannya terbukti daun alpukat memberikan efek dalam penurunan tekanan darah sebesar 58 mmHg pada mecit jantan dan 54,5 mmHg pada mecit betina dengan pemberian dosis terapi 40 Mg/kgBB.

  Salah satu cara kerja daun alpukat adalah dengan mengeluarkan sejumlah cairan dan elektrolit maupun zat-zat yang bersifat toksik.

  Dengan berkurangnya jumlah air dan garam di dalam tubuh maka pembuluh darah akan longgar sehingga tekanan darah perlahan-lahan mengalami penurunan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sudarsono (1996) dalam Afdhal (2012) menunjukkan bahwa daun alpukat dapat digunakan untuk pengobatan kencing batu dengan cara kerja diuretik. Diuretik juga merupakan salah satu penatalaksanaan yang digunakan untuk pengobatan hipertensi, dengan kata lain efek diuretik yang ada dalam daun alpukat juga dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi. Efek antihipertensi pada daun alpukat juga dijelaskan oleh Runv (2010) bahwa seduhan daun alpukat menurunkan tekanan darah sistol 12,19% dan diastole sebesar 10,23%.

  c.

  Antihiperlipidemia Azizahwati (2010) dalam Lusia (2011) mengatakan selain sebagai antihipertensi. Hasil riset menunjukan bahwa pemberian ekstrak etanol daun alpukat memiliki efek antihiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah kondisi yang disebabkan oleh kandungan lemak atau kolesterol yang terlalu tinggi di dalam darah. Daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah pada penderita obesitas dengan hipertensi akan lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal. Bagi yang mengalami hiperlipidemia, pola makan berlemak menjadi penyebab utama. Ditambah dengan gaya hidup kurang gerak sehingga memicu hiperlipidemia.

  Hiperlipidemia merupakan salah satu pemicu serangan jantung yaitu manakala kolesterol dalam darah yang mengendap sebagai plak di dinding pembuluh darah menyumbat pembuluh darah. Hipertensi dan hiperlipidemia menjadi penyebab kematian paling tinggi saat ini.

  d.

  Hipoglikemia Kandungan senyawa kimia dalam daun alpukat yang dilaporkan dari penelitian tentang uji aktivitas hipoglemik (kadar gula darah rendah) ekstrak daun alpukat (Persea Americana Mill) ditemukan senyawa saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, dan polisakarida melalui uji fitokimia. Penelitian mengenai khasiat daun alpukat sebagai hipogikemik telah dilakukan pada ekstrak air daun alpukat dengan dosis 100 mg/kg BB dapat menurunkan ± 60 pada kadar glukosa darah (Antia et al.. 2005).

  e.

  Analgesik dan Antiinflamasi Berdasarkan penelitian Adevemi et al.. (2002) dalam Fadhilah

  (2012) menyebutkan bahwa ekstrak air daun alpukat menunjukkan efek analgesik dan anti-inflamasi pada tikus udema yang diinduksi oleh karagenin.

  f.

  Antimikroba Sebagai obat tradisional daun alpukat dilaporkan bersifat antibakteri dan dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri

  

Staphylococcus aureus stain A dan B . Hasil penelitian juga dibuktikan

  oleh Aditya (2010) menyebutkan bahwa daun alpukat (Persea

  Americana Mill ) mengandung beberapa zat kimia seperti saponin,

  alkaloid, dan flavonoid yang mempunyai efek antimikroba terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Selain itu ekstrak daun alpukat juga mempunyai efek antimikroba terhadap bakteri Escherichia coli (Nastiti, 2010). g.

  Antioksidan Secara umum alkaloid sering digunakan dalam bidang pengubatan.

  Daun alpukat dilaporkan memiliki aktifitas antioksidan dan membantu dalam mencegah atau memperlambat kemajuan berbagai stress oksidatif yang berhubungan dengan penyakit. Alkaloid dapat berfungsi sebagai zat antioksidan hal ini didukung oleh penelitian uji antioksidan (Hanani, 2005).

  h.

  Antelmintik Daun alpukat selain mengandung flavonoid dan saponin juga mengandung tannin. Saponin dan tannin merupakan senyawa aktif yang memiliki efek antelmintik. Saponin memiliki efek menghambat kerja enzim kolinesterase yang menyebabkan penumpukan asetilkolin sehingga otot cacing mengalami hiperkontraksi. Sedangkan tannin merusak protein tubuh cacing sehingga permukaan tubuh cacing menjadi tidak permeable lagi terhadap zat diluar tubuh cacing. Berdasarkan hasil penelitian Reza (2010) disimpulkan bahwa infusa daun alpukat memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing

  Ascaris suum, Goeze in vitro.

  i.

  Insektisida Ekstrak daun alpukat mempunyai potensi sebagai insektidsida.

  Senyawa alkaloid yang terkandung dalam suatu jenis tanaman dapat bersifat sebagai bioaktif penolak nyamuk (Mustanir dan Rosnani, 2008).

4. Simplisia Alpukat Simplisia alpukat merupakan daun alpukat yang sudah dikeringkan.

  Pembuatan produk simplisia alpukat ini diawali dengan pemetikan daun alpukat. Daun yang telah dipetik kemudian dicuci sampai bersih dan dilayukan dengan cara dikering anginkan diruangan selama 24 jam. Setelah pelayuan, daun dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Proses selanjutnya adalah pengeringan daun alpukat, pengeringan menggunakan beberapa teknik. Teknik sun-dried yaitu pengeringan daun alpukat dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Teknik basket-fried yaitu pengeringan daun alpukat dengan cara meletakan potongan daun pada wadah bumbu yang lebar tipis, kemudian diletakkan di atas arang panas. Teknik oven-dried yaitu pengeringan daun alpukat dengan cara memasukkan potongan daun alpukat ke dalam oven dengan suhu 50°C.

  Cara pembuatan air simplisia alpukat yaitu pertama rebus air sampai mendidih, kemudian masukan simplisia alpukat kedalam gelas sebanyak ± 2 sendok teh, lalu tuangkan air mendidih ± 250 cc ke dalam gelas yang berisi simplisia, tambahkan madu ± 1,5 sendok teh, biarkan air berubah warna agak kecoklatan dan jika air sudah dingin air simplisia alpukat bisa dikonsumsi. Keuntungan dari simplisia alpukat yaitu mudah dibuat, bisa dikonsumsi jangka waktu yang lama, dapat juga mengobati penyakit lain seperti batu ginjal, rematik, sakit kepala, dan nyeri lambung.

  Daun alpukat berpotensi sebagai simplisia yang memiliki aktivitas antioksidan. Hasil penelitian Antia et al, (2005) menunjukan bahwa kandungan senyawa kimia daun alpukat pada uji aktivitas hipoglemik (kadar gula darah) ekstrak daun alpukat ditemukan senyawa aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, dan alkaloid.

  Saponin dalam daun alpukat memiliki efek diuretik dengan cara menghambat enzim Na+/K+ ATPase yang dapat menurunkan reabsorpsi natrium dan air sehingga menyebabkan peningkatan diuresis yang akan berakibat pada penurunan volume darah. Flavonoid yang terkandung dalam daun alpukat memiliki pengaruh sebagai penghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang menimbulkan efek vasodilatasi sehingga terjadi penurunan dari total peripheral resistance yang menyebabkan tekanan darah akan menurun. Alkaloid pada daun alpukat bekerja seperti β blocker yang memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif terhadap jantung sehingga curah jantung dan frekuensi denyut jantung berkurang yang menyebabkan tekanan darah menurun.

C. Kerangka Teori

  Kerangka teori penelitian merupakan kumpulan teori yang mendasari topik penelitian, yang disusun berdasar pada teori yang sudah ada dalam tinjauan teori dan mengikuti kaedah input, proses dan output (Saryono,2011).

  Faktor resiko hipertensi : Resiko terjadi

1. Usia arteriosklerosis pada

  2. Genetik arteri dan aorta

  3. Pola makan

  4. Kegemukan Hipertensi

  Non Farmakologi Farmakologi Simplisia alpukat.

  Kandungan: 1. alkaloida 2. flavonoid 3. saponin 4. kalium β blocker, diuretik, vasodilatasi, peningkatan diuresis

  Tekanan darah menurun

Gambar 2.1 Kerangka Teori Menurut Elsanti (2009), Permadi (2006), Antia et al, (2005)

D. Kerangka Konsep

  Lansia dengan Hipertensi

  Tekanan darah sebelum intervensi

  Kelompok yang diberikan Status perubahan simplisia alpukat tekanan darah

  1. Menurun Tekanan darah

  2. Tetap setelah intervensi

  3. Naik

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian E. Hipotesis

  Hipotesis penelitian sebagai terjemahan dari tujuan penelitian ke dalam dugaan yang jelas Saryono (2011). Berdasarkan uraian terisasi diatas dapat ditarik hipotesis penelitian yaitu “terdapat perbedaan efektivitas simplisia alpukat terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di Desa Pekiringan Kecamatan Karangmoncol Purbalingga”.