BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum - CENDA SHELMA TANIA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peraturan atau adat yang

  ataupun pemerintah, Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan atau vonis.

  Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang dinyatakan oleh R. Soeroso (1993: 4), bahwa hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

  Menurut Soedjono Dirdjosisworo (2008: 25-43) bahwa pengertian hukum dapat dilihat delapan arti, yaitu hukum dalam arti penguasa, hukum dalam arti para petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum

  7 dalam arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum. Beberapa arti hukum dari berbagai macam sudut pandang yang dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo menggambarkan bahwa hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan tertulis dan aparat penegak hukum seperti selama ini dipahami oleh masyarakat umum yang tidak tahu tentang hukum. Tetapi hukum juga meliputi hal- hal yang sebenarnya sudah hidup dalam pergaulan masyarakat

  Dalam hal memahami hukum ada konsep kontruksi hukum. kontruksi hukum dengan cara memperlawankan. Maksudnya adalah menafsirkan hukum antara aturan-aturan dalam peraturan perundang- undangan dengan kasus atau masalah yang dihadapi. Kedua, kontruksi hukum yang mempersempit adalah membatasi penafsiran hukum yang ada di peraturan perundang-undangan dengan keadaan yang sebenarnya.

  Ketiga , kontruksi hukum yang memperluas yaitu kontruksi yang

  menafsirkan hukum dengan cara memperluas makna yang dihadapi sehingga suatu masalah dapat dijerat dalam suatu peraturan perundang- undangan (Prima Jayanti, 2011: 15).

  Menurut Hans Kelsen (2009: 343) dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at (2006: 12), hukum adalah ilmu pengetahuan normatir dan bukan ilmu alam. Lebih lanjut Hans Kelsen menjelaskan bahwa hukum merupakan teknik sosial untuk mengatur perilaku masyarakat.

  8 Secara kabahasaan, kata perlindungan dalam bahasa Inggris disebut dengan Protection. Istilah perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat disamakan dengan istilah proteksi, yang artinya proses atau perbuatan memperlindungi, sedangkan menurut

  Black’s Law Dictionary , protection adalah the act of protecting (Bryan A. Gerner,

  2009: 1343).

  Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

  Pengertian perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, dan perbuatan melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau yang data berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (negara).

  Perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif

  9 maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

  Pengertian di atas mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari perlindungan hukum di antaranya:

  1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

  2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.

  3. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara fikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

  4. Menurut Muhtie A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum

  10 saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum (tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli).

  Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan menikmati martabatnya sebagai manusia (Setiono, 2004: 3).

  Adapun pendapat yang dikutip dari beberapa ahli mengenai perlindungan hukum sebagai berikut:

  1. Menurut Satjipto Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut (Satjipto Rahardjo, 2003: 121).

  2. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.

  11

  3. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kehiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia (Muchsin, 2003: 14).

  4. Menurut Hatty Hasanah perlindungan hukum yaitu merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak- pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum

  Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada warga negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan.

  Sedangkan perlindungan hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Sanksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, perlindungan hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang

  12 wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

  Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.

  2. Jaminan kepastian hukum 4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

  Perlindungan hukum terhadap anak merupakan salah satu upaya untuk melindungi setiap anak yang berada di Indonesia dimana Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selanjutnya disebut UUDNRI 1945 dalam pasal 28B Ayat (2) menjelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Prinsip kelangsungan hidup merupakan salah satu prinsip hak untuk hidup yang diterapkan dalam konvensi hak anak, dimana setiap anak harus mempunyai akses pada pelayanan kesehatan dan dapat menikmati standar hidup yang layak, termasuk cukup makanan, air bersih, dan tempat tinggal yang aman. Anak-anak juga mempunyai hak untuk memperoleh nama dan kewarganegaraan (Nur aini, 2009).

  13 Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan.

  Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dan hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (Rechtidee) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur: b. Kemanfaatan hukum (Zeweckmassigkeit)

  c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit) d. Jaminan hukum (Doelmaitgkeit) (Ishaq, 2009: 43).

2. Bentuk Perlindungan Hukum

  Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial Economic, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction) (Rafael La Porta, 1999: 9). Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata adalah adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, polisi, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Hal ini sejalan dengan pengertian hukum menurut Soedjono Dirdjosisworo yang menyatakan bahwa hukum memiliki pengertian beragam dalam masyarakat dan salah

  14 satunya yang paling nyata dari pengertian tentang hukum adalah adanya institusi-institusi penegak hukum.

  Subyek hukum dalam hukum perdata terdapat dua subjek hukum, yaitu subjek hukum orang pribadi dan subjek hukum berupa badan huku.

  Subjek hukum orang pribadi atau natuurlijkepersoon adalah orang atau manusia yang telah dianggap cakap menurut hukum. Orang sebagai subjek hukum merupakan pendukung atau pembawa hak sejak dia dilahirkan hidup hingga dia mati. Walaupun ada pengecualian bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya telah menjadi sebagai

  Selanjutnya, subjek hukum dalam perdata adalah badan hukum atau rechtspersoon. Badan hukum merupakan kumpulan manusia pribadi atau dapat pula merupakan kumpulan dari badan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kekuasaan keadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya secara terukur. Kepentingan merupakan sasaran dari hak karena hak mengandung unsur perlindungan dan pengakuan (Satjipto Rahardjo, 2006: 54).

B. Tinjauan Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen

  Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Namun belum jelas benar apa saja yang

  15 masuk ke dalam materi keduanya dan apakah kedua cabang hukum itu identik. Pengertian konsumen terdapat dalam Pasal 1 butir 1 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

  Menurut Munir Fuady, konsumen adalah pengguna terakhir (end

  user ) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang

  tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, (Munir Fuady, 2002: 227).

  Islam tidak mengatur hak-hak konsumen secara berurutan seperti tercantum dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun Islam melindungi hak-hak konsumen dari perbuatan curang dan informasi yang menyesatkan, serta memberikan hak atas keselamatan dan kesehatan, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, hak untuk mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa, dan hak untuk mendapatkan ganti rugi seperti tercantum dalam Qs.Al-Annam (6): 152, Qs. Huud (11): 85 dan Qs. Ar-Rahman (55): 8-9 (Aisjah Girindra, 2005: 20).

  Masalah perlindungan konsumen tidak semata-mata masalah perorangan, tetapi sebenarnya merupakan masalah bersama dan masalah nasional sebab pada dasarnya semua orang adalah konsumen. Maka dari

  16 itu, melindungi konsumen berarti melindungi semua orang. Persoalan perlindungan kepada konsumen anak berarti kita berbicara tentang keadilan bagi semua anak.

  Tujuan dari Perlindungan Konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu: a. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya.

  b. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur- unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan tanggung jawab (Ahmadi Miru, 2004: 4).

2. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen

  Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1996: 6).

  Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

  17 a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

  b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

  c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan arti materiil dan spiritual.

  d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikomsusmsi atau digunakan.

  e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum (Sutarman Yodo, 2004: 25-26).

  Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah

  18 keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa:

  “In terms of law, justice will be judged a how law treats people an how it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan

  bahwa

  

“every finction of law,general or spesific, is allocative” (Peter

mahmud marzuki, 1997: 28).

  Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak

  jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalan-persoalan, sebagai

  tujuan hukum, baik Radbruch maupun Acmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah dalam hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya (Achmad Ali, 1996: 95-96).

  Beberapa Undang-undang Perlindungan Konsumen negara-negara di dunia adalah sebagai berikut: a. Singapura: The consumer Protection (Trade Description and

  Safety Requirement Act , tahun 1975,

  b. Thailand: Consumer Act, tahun 1979,

  c. Jepang: The Consumer Protection Fundamental Act, tahun 1968,

  d. Autralia: Consumer Affairs Act, tahun 1978,

  19 e. Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978,

  f. Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978,

  g. Inggris: The Consumer Protection Act, tahun 1970, diamendir pada tahun 1971, h. Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer

  Protection Amendement Act , tahun 1971,

  i. Amerika: The Uniform Protection Trade Practices and

  

Consumer Protection Act (UUTPCP) tahun 1967, diamandir

  tahun 1969 dan 1970, kemudian Unfair Trade Practices and Di Indonesia masalah perlindungan konsumen mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan

  Lembaga Konsumen bulan mei 1973. Secara historis pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah- langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah mengacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu. Setelah itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-

  20 tulisan di media massa. Puncaknya adalah lahinya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Ahmad Yani, 2000: 15-16).

  Dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) juga terdapat ketentuan-ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen, seperti tersebar dalam beberapa Pasal buku III, bab V, bagian II yang dimulai dari Pasal 1365. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) , misalnya tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang asuransi surat berharga, kepailitan dan sebagainya. Demikian pula dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana), misalnya tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang dan sebaganinya. Dalam hukum adat pun ada dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan konsumen seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak beriorentasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya utnuk saling menghormati sesamanya.

  Prinsip keseimbangan magis/keseimbangan alam, prinsip “terang” pada perbuatan transaksi (khususnya transaksi tanah) yang mengharuskan hadirnya ketua adat/kepala desa dalam transaksi tanah. Prinsip fungsi sosial dari sesuatu hak, prinsip hak ulAyat (Gunawan Widjaja, 2000:19).

  Tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah prinsip tanggung jawab yang bersifat subyektif, yaitu suatu tanggung jawab yang

  21 ditentukan oleh perilaku produsen (Inosentius Samsul, 2004: 46). hal ini dapat ditemukan dalam rumusan teori negligence, yaitu the future to

  exercise the standard of care that reasonably prudent person would have (Bryan A. Garner, 2004: 1061). exercised in a similar situation

  Kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada produsen. negligence dapat dijadikan dasar gugatan, manakala memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dengan sikap hati-hati yang normal.

  2. Harus dibuktikan bahwa tergugat lali dalam kewajiban berhati- hati terhadap penggugat.

  3. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata (proximate

cause ) dari kerugian yang timbul (Ahmadi Miru, 2004: 148).

  Secara historis, lemahnya perlindungan konsumen dapat ditelusuri hingga Kerajaan Romawi Kuno. Peraturan tentang jual beli tidak banyak memberikan perlindungan terhadap pembeli (konsumen) yang dirugikan oleh penjual (produsen). prinsip asli dari civil law yang diterapkan di Kerajaan Romawi adalah caveat emptor. Prinsip ini berarti, pembeli sendiri yang harus bertanggung jawab atas perlindungan kepentingannya, sedangkan penjual tidak bertanggung jawab atas kerugian konsumen (Barry Nocholas, 1962: 182).

  22 Keuntungan konsumen berdasarkan teori Breach of Warranty adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak (strict obligation), yaitu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan produsen untuk memenuhi janjinya. Artinya walaupun produsen telah berupaya memenuhi kewajiban dan janjinya, tetapi konsumen tetap mengalami kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Namun kelemahan teori ini dalam perlindungan hukum bagi konsumen, yaitu pembatasan waktu gugatan, persyaratan pemberitahuan, kemungkinan adanya bantahan (disclaimer),

  Beberapa alsan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum perlindungan konsumen, antara lain: a. Di antara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dipihak lain, seharusnya beban kerugian (risiko) ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan barang-barang di pasaran.

  b. Dengan menerapkan/mengedarkan barang-barang di pasaran berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggung jawab.

  c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak, produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang

  23 eceran, pedang eceran kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. adapun penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini (M. Yahya harahap, 1997: 16- 17).

3. Hak dan Kewajiban Konsumen

  Presiden Jhon F. Kennedy mengemukakan 4 (empat) hak konsumen yang harus dilindungi, yaitu: a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety) barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen.

  Pada posisi ini, intervensi, tanggung jawab dan peran pemerintah dalam menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting.

  b. Hak memilih (the right to choose) Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen.

  24 c. Hak mendapatkan informasi (the right to be informed) Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya.

  Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen.

  d. Hak untuk didengar (the right to be heard) kepentingannya harus diperhatikan dan tercerminkan dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan produsen (Vernon A. Musselman, 1992: 294-295).

  Pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh John F. Kennedy, dimasukan dalam program konsumen European Economic

  Community (EEC) yang meliputi:

  a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan,

  b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi,

  c. Hak untuk memperoleh ganti rugi,

  d. Hak atas penerangan,

  25 e. Hak untuk didengar (Norbert Reich, “protection of consumers’

  Economic Interest by the EC”, the sydney law review, faculty of law university of sydney and authors, the law book company Ltd. No 1, Volume 14, March 1992).

  PBB melalui Resolusi Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi:

  1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.

  3. Tersedianya informasi yang memadai untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi.

  4. Pendidikan kosumen.

  5. Tersedianya ganti rugi.

  6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka (Inosentius Samsul, 2003: 27-28).

  Indonesia melalui ketentuan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), memiliki hak sebagai berikut:

  a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

  26

  27

  b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;

  c. Hak informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa lyang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

  Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam

  28

  masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya bersadarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

  Selain sembilan hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 5 berhubungan dengan produk liability, yakni sebagai berikut:

  1. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas baik serta aman.

  Dengan hal ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu.

  Ketidaktahuan konsumen atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali diperdayakan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.

  2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

  Jika barang yang dibelinya itu dirasakan cacat, rusak, atau telah membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Namun, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk

  29

  barang yang cacat atau rusak, tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan dari barang yang dibelinya dan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat pada tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi barang yang dibelinya.

  Selain memperoleh hak tersebut, sebagai balance, konsumen juga diwajibkan untuk: pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

  d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut; Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya

  (Gunawan Widjaja, 2000: 30-31).

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.

  Selain hak-hak konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga mengatur hak-hak konsumen yang dirumuskan

  30 dalam Pasal-pasal berikutnya, yakni tentang kewajiban pelaku usaha.

  Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku dapat dilihat dan sebagai (merupakan bagian dari) hak konsmen. Kewajiban pelaku usaha antara lain: 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

  5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen).

  Selain kewajiban yang telah disebutkan tersebut, ada juga hak untuk dilindungi akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering

  31

  dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition) atau “persaingan usaha tidak sehat” (Ningrum Natasya Sirait, 2003: 20).

  Selain memperoleh kewajiban tersebut, pelaku usaha juga memilki hak, antara lain:

  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

  5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya (Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen).

  Terkait dengan hak-hak konsumen, islam memberikan ruang bagi konsumen dan produsen untuk mempertahankan hak-haknya dalam perdagangan yang dikenal dengan istilah khiyar dengan beragam jenisnya sebagai berikut:

  1. Khiyar Majelis As-Sunnah menetapkan bahwa kedua belah pihak yang berjual beli memiliki khiyar (pilihan) dalam melangsungkan atau membatalkan akad jual beli selama keduanya masih dalam satu majelis (belum berpisah). Khiyar merupakan hak yang ditetapkan untuk pelaku usaha dan konsumen, jika terjadi ijab dan kabul antara produsen dan konsumen, dan akadnya telah sempurna, maka masing-masing pihak memiliki hak untuk memperhankan atau membatalkan akad selama masih dalam satu majelis.

  Khiyar syarat adalah salah satu pihak yang berakad membeli

  sesuatu dengan ketentuan memiliki khiyar selama jangka waktu yang jelas. Selama waktu tersebut, jika pembeli menginginkan, ia bisa melaksanakan jual beli tersebut atau membtalkannya. Syarat ini juga boleh bagi kedua pihak yang berakad secara bersama-sama, juga boleh bagi salah satu pihak saja jika ia mempersyaratkannya.

  3. Khiyar Aibi Haram bagi seseorang menjual barang yang memilik cacat (cacat produk) tanpa menjelaskan kepada pembeli (konsumen).

  4. Khiyar Tadlis Yaitu, jika penjual mengelabuhi pembeli sehingga menaikkan harga barang, maka hal itu haram. Dalam hal ini pembeli memiliki khiyar selama tiga hari.

  32

  5. Khiyar al-Ghabn dan al-Fashisy (Khiyar al-Mustarsil)

  Khiyar jenis ini suatu saat menjadi hak penjual dan suatu saat bisa

  menjadi hak pembeli. Kadang kala pembeli membeli barang dengan harga 5 dinar, padahal barang tersebut hanya setara dengan 3 dinar atau penjual menjual barang dengan harga 10 dinar, padahal barang tersebut hanya setara dengan 8 dinar. Jika seorang penjual dan pembeli ditipu dalam hal ini, maka ia memiliki khiyar untuk menarik diri dari jual beli dan membatalkan akad.

  6. Khiyar Ru’yah dagangannya, sementara barang tersebut tidak ada dalam majelis jual beli. Jika pembeli kemudian melihat barang tgersebut tidak berhasrat terhadapnya, atau pembeli melihat barang tersebut tidak sesuai dangan keinginannya, maka pembeli berhak menarik membatalkan diri dari akad jual beli tersebut.

7. Khiyar Ta’jin

  Khiyar jenis ini memberikan hak kepada pembelinya untuk memilih

  barang yang dia inginkan dari jumlah atau kumpulan barang yang dijual kendati barang tersebut berbeda harganya, sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia kehendaki (Yusuf As- Sabatin, 2009: 308-316).

  33

5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

  Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen(UUPK) diatur khusus dalam satu bab, yaitu Bab VI, mulai dari pasal 19 sampai dengan pasal

  28. Dari tujuh pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha, secara prinsip dapat dibedakan lagi ke dalam:

  1. Pasal-pasal yang secara tegas mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian yang diderita konsumen, yaitu dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21. pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan/distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk: pengembalian uang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.

  Pasal 20 Undang-undang Perlindungan Konsumen diberlakukan bagi pelaku pelaku usaha periklanan untuk bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut.

  34 Pasal 21 Ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada importir barang sebagaimana layaknya pembuat barang yang diimpor, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 21 Ayat (2) mewajibkan importir jasa untuk bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing jika penyedia jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

  2. Pasal 24 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur peralihan tanggung jawab dari pelaku usaha lainnya, mengatakan “Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

  a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut; b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

  3. Dua pasal Lainnya, yaitu Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-undang Perlindungan Konsumen berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya

  35 atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyediaan suku cadang atau perbaikan.

  4. Pasal 27 Undang-undang Perlindungan Konsumen merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha, yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan gantu rugi pada konsumen. Pasal 27 tersebut secara jelas menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, jika:

  a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

  b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

  c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

  e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

  Tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen (Inosentius Samsul, 2006: 46). hal ini dapat ditemukan dalam rumusan teori nehligence, yaitu the

  failureto exercise the standard of care that reasonably prudent person would have exercised in a similar situation (Bryan A. Garner, 2004:

  1061).

  36 Berdasarkan teori ini, kelalaian produsen yang berakibat munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada produsen. dapat dijadikan dasar gugatan, manakala memenuhi syarat-

  Negligence

  syarat sebagai berikut:

  a. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai sikap hati-hati yang normal.

  b. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati terhadap penggugat.

  

cause ) dari kerugian yang timbul. (Ahmadi Miru, 2004: 148).

  Adapun tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan terdiri dari:

  1. Tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract), merupakan teori tanggung jawab yang paling merugikan konsumen. Karena gugatan konsumen hanya dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat tersebut, yakni adanya unsur kelalaian dan kesalahan dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Pembentukan teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan dan hubungan kontrak sangat

  37 dipengaruhi oleh paham individualisme dalam prinsip laissez faire (Komarrudin, 1993: 23).

  Secara historis, lemahnya perlindungan konsumen dapat ditelusuri hingga kerajaan Romawi Kuno. Peraturan tentang jual beli tidak banyak memberikan perlindungan terhadap pembeli (konsumen) yang dirugikan oleh penjual (produsen). Prinsip asli dari civil law yang diterapkan Kerajaan Romawi Kuno adalah

  caveat emptor . Prinsip ini berarti, pembeliyang harus bertanggung

  jawab atas perlindungan kepentingannya, sedangkan penjual tidak 23).

  Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian tidak memberikan perlindungan secara maksimal bagi konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen yaitu: Pertama, tuntutan adannya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang diketahui (David A. Fischer dan William Powers, 1998: 3).

  2. Tanggung jawab berdasarkan Kelalaian atau kesalahan dengan beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak Tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak yang dipandang sangat tidak

  38 akomodatif dan responsif terhadap kepentingan konsumen, serta kondisi nyata dalam kehidupan sehrai-hari, karena konsumen (pengguna atau pemakai) produk yang tidak mempunyai hubungan hukum atau kontrak dengan produsen yang sering menjadi korban dari produk yang ditawarkan produsen.

  Ada tiga pemikiran yang digambarkan oleh Hakim Sarbon sebagai alasan dari pengecualian terhadap hubungan kontrak tersebut, yaitu: Pertama, pengecualian berdasarkan alasan karakter produk membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan konsumen pengecualian berdasarkan konsep implied invitation, yaitu tawaran produk kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum. Ketiga, dalam hal suatu produk dapat membahayakan konsumen, kelalaian produsen atau penjual untuk memberitahukan kondisi produk tersebut pada saat menyerahkan barang dapat melahirkan tanggung jawab kepada pihak ketiga, walaupun tidak ada hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang menderita kerugian (Zulham, 2013: 88).

  3. Tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan tanpa persyaratan hubungan kontak Tahap berikutnya adalah prinsip tanggung jawab tetap berdasarkan kelalaian atau kesalahan adalah pembuat produk yang mengedarkan atau menjual barang-barang yang berbahaya di pasar

  39 bertanggung jawab bukan karena atau berdasarkan kontrak, tetapi karena ancaman yang dapat diperhitungkan jika tidak melakukan berbagai upaya untuk mencegah kerugian konsumen. Doktrin ini kemudian diperluas bukan saja hanya untuk kerugian diri manusia atau korban, tetapi juga meluas pada harta benda yang lain (David A. Fischer dan William Powers Jr, 1998: 590).

  4. Prinsip praduga lalai dan prisip praduga bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik Prinsip praduga lalai dan prinsip praduga bertanggung jawab kelalaian dan kesalahan. Modifiksi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan prinsip tanggung jawab mutlak.

  Black’s law

dictionary merumuskan doktrin res ispa laquitor dengan the thing

speaks for it self , yang berarti kelalaian tidak perlu dibuktikan lagi.

  Karena fakta berupa kecelakaan atau kerugian yang dialami konsumen merupakan hasil dari kelalaian produsen, sebaliknya konsumen tidak akan mengalami kerugian atau kecelakaan apabila produsen tidak lalai. Berdasakan doktin ini, pembuktian dibebankan kepada pihak tergugat, apabila tergugat lalai atau tidak (Bryan A. Garner, 2009: 1336).

6. Tanggung Jawab berdasarkan Wanprestasi (Breach of Warranty)

  Tanggung jawab produsen berdasarkan wanprestasi juga merupakan bagian dari tanggung jawab berdasarkan kontrak

  40