BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen - Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen

  Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan tersebut, berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di samping itu, telah berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International

  

Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah berdiri berbagai

  organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta dan organisasi konsumen lainnya yang tersebar diseluruh kota di Indonesia.

  Istilah “konsumen” berasasal dari alih bahasa dari kata “consumer” (Inggris-Amerika), atau “consument/konsument” (Belanda). Pengertian dari

  

consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara

  harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa nantilah yang menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna barang dan/atau jasa tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

  Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht person). Menurut Az. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukanlah badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.

  Ada hal lain yang juga perlu dikritisi dari pengertian “konsumen” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Batasan pengertian “konsumen” dalam UUPK tersebut adalah batasan sempit. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut.

  Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama. Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang paling menarik adalah konsumen di negara ini tidak harus terikat dalam hubungan 17 jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.

  Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.8. Namun, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku IV,

  pasal 236) konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian ia tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi perusahaan.

  Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.

  Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk yang cacat di negara-negara anggota European Economic Community (EC/MEE) dilakukan dengan cara menyusun Product Liability Directive yang nantinya harus diintegrasikan ke dalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui Statutory Orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam Directive harus diimplementasikan ke dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan Statutory Orders dapat langsung berlaku bagi semua warga negara dari negara-negara Directive ini mengedepankan konsep liability without fault. Pengertian “konsumen” (consumers) tidak dijabarkan secara rinci dalam Directive. Dalam kajian bersama pada pasal 1 dengan pasal 9 Directive yang isinya :

  Article 1 The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product.

  Article 9 19 For the purpose Article 1, “damage” means: Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.13.

  (a) damage caused by death or by personal injuries; (b) damage to, or destruction of, any item of property other than the detective product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of property:

(i) is a type ordinarily intended for private use or consumption, and

(ii) was used by the injured person mainly for his own private use or consumption.

This Article shall be without prejudice to national provisions relating to non

material damage.

  Dapat disimpulkan bahwa “konsumen” berdasarkan Directive adalah pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan pengertian serupa di Amerika Serikat.

  Perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur dengan diimbuhi perlindungan merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), betapapun kedudukan undang-undang ini berdasarkan pendirian terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan. Antara lain, istilah pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa (Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548), penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), peminjam pakai (Pasal 1743 Jo. Pasal 1740), peminjam (Pasal 1744) dan sebagainya. Sedang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ditemukan istilah tertanggung (Pasal 246 dst. KUHD), penumpang (Pasal 393, 394, dst. Jo. Pasal 22 341). 23 Ibid., hal 24-25.

  

Surat Edaran Mahkamah Agung R.I tanggal 5 September 1963 No. 3/1963, perihal: Gagasan

  Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang, pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Mereka tersebut sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk keperluan non komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut.

  Perkembangan hukum baru, menunjukkan pula telah digunakannya istilah konsumen dalam putusan pengadilan. Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) ini, pengertian khalayak ramai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, ditafsirkan sebagai konsumen.

  Az. Nasution dalam bukunya menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

  c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

  Bagi konsumen antara, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau 24 jasa capital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain

  

Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1987 No. 341 PK/Pdt/1986 dalam Perkara Merk

Ratu Ayu, antara PT. Rama Pharmaceutical Industry (Permohonan Peninjauan Kembali (PK),

Termohon Kasasi/Penggugat) melawan Ny. Martha Tilaar dan Pemerintah RI qq Dep. Kehakiman

RI qq Direktorat Paten dan Hak Cipta (Termohon Peninjauan Kembali, Pemohon, dan Turut

Termohon Kasasi/Tergugat I/II). Dalam pertimbangannya MA menyatakan antara lain: “UU No.

  

21 Tahun 1961 mempunyai tujuan untuk melindungi baik konsumen (khalayak ramai) maupun pemakai pertama… “.” yang akan diproduksinya (produsen). Kalau ia distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang dan/atau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen.

  Sedang bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa konsumen, yaitu barang dan/atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang dan/atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen dan terdiri dari barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan didalam rumah tangga masyarakat.

  Bagi konsumen antara yang sebenarnya adalah pengusaha/pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha atau profesi mereka tidak “terganggu” oleh perbuatan-perbuatan persaingan yang tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopoli, dan sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaidah-kaidah hukum yang mencegah perbuatan-perbuatan tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar.

  Bagi konsumen akhir (selanjutnya disebut konsumen), mereka memerlukan produk konsumen (barang dan/atau jasa konsumen) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.

  Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan

  Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini.

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

  Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Dalam berbagai literatur hukum pun sering digunakan dua istilah hukum ini. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya dan apakah kedua “cabang” hukum tersebut identik.

  Pengertian hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen ternyata belum dibakukan menjadi suatu pengertian yang resmi, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia mempergunakan hukum perlindungan konsumen, tetapi Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya dengan hukum konsumen (konsumen-tenrecht).

  M.J. Leder menyatakan: “In a sense there is no such creature as

  

consumer law”. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen

  dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni:

  

“….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual

consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”.

  Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan 26 perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum 27 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23. 28 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : PT. Grasindo, 2004), hal. 11.

  

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

  Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut berbeda, yakni bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut Az. Nasution, hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup”, sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan beliau sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen”.

  Pada hakikatnya, hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membahas hal yang sama, yakni kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak dari konsumen tersebut diakui dan diatur di dalam hukum dan bagaimana penegakannya dalam praktik kehidupan bermasyarakat merupakan materi dari pembahasan kedua istilah hukum ini. Dengan begitu, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan perangkat hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

  Keseluruhan perangkat hukum tersebut termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi informasi, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan tersebut, misalnya dalam mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk tersebut.

  Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

  Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen dalam 2 (dua) kelompok, yakni: 1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

  Adanya pengelompokkan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat di klasifikasikan bidang-bidang yang harus dilindungi, yaitu: a. Keselamatan fisik,

  b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen,

  c. Standar untuk keselamatan dan kualitas barang dan/atau jasa,

  d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok, f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi,

  g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat- obatan dan kosmetik.

  Janus Sidabalok mengemukakan 4 (empat) alasan pokok konsumen harus

  1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD RI 1945;

  2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

  3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

  Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

1. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

   Secara etimologi kata, bahwa asas dapat diterangkan sebagai berikut: a. Dasar, alas, pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah.

  b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana.

  c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya membicarakan asas dan tujuannya.

  Selanjutnya kata asas ini di dalam bahasa Inggris disebut “principle” yang hubungannya erat dengan istilah “principium” (bahasa Latin). Principium menurut asal katanya adalah permulaan; awal mula; sumber; asal pengakal; pokok, dasar.

  Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh peraturan pelaksanaannya.

  Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang- undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut.

  Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S mengatakan bahwa cita-cita hukum 32 suatu undang-undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan 33 Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, (Medan : UNIBA PRESS, 1992), hal.114.

  Ibid.

  

  masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tersebut. Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.

  Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat asas- asas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang

  yang

  berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 terkandung dalam ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999.

  Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

  1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

  2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

36 Tan Kamello & Syarifah Lisa, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, (Medan : USU,

  37 2010), hal.77.

  Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal.87.

  3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

  4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

  Jika diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yakni:

  1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

  Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

  

it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.

  Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

  Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Pada kasus tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.

  Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan: “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”. Akan tetapi, Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut. Beliau menyatakan bahwa “sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut- turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Ia sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang dimaksudkan yakni, ketiga tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum”.

  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

  Kepentingan pemerintah dalam hubungan tersebut tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

  Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan- kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak.

  Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun pivat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu.

  Prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum perdata dan hukum ekonomi.

  Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan pihak pelaku usaha dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana harusnya, maka asas-asas perlindungan konsumen tersebut harus dipadankan dengan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan dari perlindungan konsumen, yakni:

  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

  5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan

  6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

  Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindugan konsumen.

  Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan pasal 2 tersebut.

  Rumusan tujuan perlindungan konsumen pada huruf c dan huruf e merupakan tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan tersebut tidak berlaku mutlak karena rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

  Kesulitan dalam memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) tersebut sekaligus keseluruhannya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 UUPK hanya dapat tercapai secara maksimal, apabilan didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana yang dikemukakan sangat berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang selanjutnya menentukan keefektifan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya.

  Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang- undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

  Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh pertanggung jawaban yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait.

  Beberapa sumber hukum formil, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Dalam area hukum tertentu, antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsip- prinsipnya pun juga berbeda.

  Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (a) Kesalahan (Liability based of Fault); (b) Praduga selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability); (c) Praduga selalu tidak bertanggung jawab (Presumption of Non Liability); (d) Tanggung jawab mutlak (Strict Liability); dan (e) Pembatasan tanggung jawab (Limitation of Liability).

  (f) Tanggung jawab produk (Product Liability).

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based on Fault).

  Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) atau

  

liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

  pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya

  Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : a) Adanya perbuatan,

  b) Adanya unsur kesalahan,

  c) Adanya kerugian yang diderita, dan d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

  Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

  Di dalam pembagian beban pembuktiannya, prinsip ini mengikuti ketentuan pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement) atau pasal 283 Rbg

  

(Rechtsreglement Buitengewesten) dan pasal 1865 KUHPerdata. Dalam pasal-

  pasal ini dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (actorie incumbit probatio).

  Sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et 46

alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang

Sidharta, Op.cit., hal.73.

  

  berperkara. Hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (pasal 1367 KUHPerdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas

  

vicarious liability dan corporate liability.

  Vicarious liability (atau disebut juga respondeat superior, let the master

  

answer), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak

  lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of the ship doctrine). Jika karyawan tersebut dipinjamkan ke pihak lain (borrowed servant), maka pertanggung jawabannya beralih kepada si pemakain karyawan tersebut (fellow servant doctrine).

  Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama

  dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga- tenaga yang dipekerjakannya. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (karyawan yang digaji oleh korporasi), tetapi juga diterapkan untuk karyawan non organik (tenaga kerja yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil).

  Latar belakang penerapan prinsip tersebut adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Konsumen tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan yang tidak berhubungan organik. Doktrin terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat (konsumen), orang yang bekerja di korporasi tersebut adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut maka

49 Bahan ajar “Hukum Acara Perdata Indonesia” oleh Muhammad Husni, SH.,MH, Pembantu

  sudah cukup syarat bagi korporasi tersebut untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennya.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability).

  Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktiannya ada pada si tergugat.

  Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi : (a) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

  (b) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. (c) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. (d) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.

  Beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterapkan dalam prinsip ini. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada pasal 17 dan pasal 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan Republik Indonesia sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19, 22, dan 23 (ketentuan pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999).

  Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah

  

(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika

  diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas ini cukup relevan. Jika teori ini digunakan, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Konsumen tidak selalu sekehendak hatinya mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of Nonliability).

  Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presumption of liability. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability

  principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

  Contoh penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

  Sekalipun demikian, dalam pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.

  40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi

  (setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability).

  Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Akan tetapi, ada pendapat ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut.

  Ada pendapat yang mengemukakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute

  

liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada

  pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengkaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya saja dalam kasus bencana alam).

  Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan pasal 17 ayat (1) Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

  Menurut R.C. Hoeber et.al., prinsip tanggung jawab mutlak ini

  

  diterapkan karena a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; b. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

  Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product Liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) hal :

  1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; 2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik;

3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

  Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation of Liability).

  Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

  Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala 1971, prinsip “tanggung jawab dengan pembatasan” dikaitkan dengan prinsip “tanggung jawab mutlak”. Batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk satu penumpang sebesar $100.000 Amerika Serikat (tidak termasuk biaya perkara) atau $120.000 Amerika Serikat (termasuk biaya perkara).

  Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh para pelaku usaha. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal pertanggung jawabannya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

f. Prinsip tanggung jawab produk (Product Liabilty).

  Istilah dan definisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen. NE Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk.

  Agnes M. Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai

  

  barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Robert D Harsh dalam Diederick-Verschoor mendefinisikan yakni “The liability of a manufacturer,

  

processor or non manufacturing seller for injury to the person or property of a

buyer or third party, caused by a product”.

  Sedangkan Perkins Coie mengartikannya sebagai “the liability of the

Dokumen yang terkait

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 90 91

Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

5 129 137

Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Konsumen Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 86 105

Tindak Pidana di Bidang Perlindungan Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari Perspektif Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Studi Putusan No.1821/Pid.B/2008/ PN/Medan)

5 77 139

Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

0 68 136

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Kredit Tanpa Agunan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 9 74

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Dalam Makanan Yang Beredar Di Masyarakat Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

5 56 111

1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

0 0 36

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENGGUNAAN JASA PERBANKAN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen - Pertanggung Jawaban atas Pemblokiran Rekening Nasabah Bank (Studi Terhadap Putusan Mahk

0 0 30

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen - Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Konsumen Perumahan Atas Pemutusan Listrik Secara Sepihak Yang

1 1 32