BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Retardasi Mental 2.1.1 Definisi Retardasi Mental - Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Dalam Menghadapi Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental di YPAC Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental

2.1.1 Definisi Retardasi Mental

  Menurut International Stastistical Classification of Diseases and Related

  Health Problem (ICD-10), retardasi mental adalah suatu keadaan

  perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya keterbatasan (impairment) keterampilan (kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat lipat pada populasi ini dibanding dengan populasi umum (Lumbantobing, 2006).

  Retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual IV-TR (DSM

  IV-TR, 2004) adalah gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual disertai oleh defisit atau hendaya fungsi adaptif sedikitnya dua area kemampuan: komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan dan harus terjadi sebelum usia 18 tahun. Di samping menggunakan kriteria IQ (kuosien inteligensi) bahwa perlu diperhatikan kriteria sosialnya, kemampuan menyesuaikan di lingkungan hidupnya. American Association on Mental

  

Retardation (AAMR, 2002) juga menguraikan bahwa retardasi mental adalah suatu keadaaan dengan ciri-ciri, yaitu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis. Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun (Kusumawardhani, 2013).

  American Association on Mental Retardation (AAMR) menggunakan suatu pendekatan multi-dimensional atau biopsikososial yang mencakup 5 dimensi yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif, partisipasi, interaksi, dan peran sosial, kesehatan fisik dan mental, konteks budaya dan juga lingkungan. Oleh karena itu, tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan permasalahan lintas budaya. Derajat retardasi mental dipengaruhi berbagai faktor seperti misalnya terdapatnya berbagai disabilitas (misalnya panca- indera), tersedianya sarana pendidikan, sikap dari caregiver dan stimulasi yang diberikan (Kusumawardhani, 2013).

2.1.2 Kriteria Diagnostik Retardasi Mental

  

Kriteria Diagnostik untuk retardasi mental menurut DSM-IV-TR (2004)

  adalah: 1.

  Fungsi intelektual secara signifikan: IQ lebih kurang 70 atau dibawah pada seorang individu melakukan tes IQ.

  2. Kekurangan yang terjadi bersamaan atau hendaya yang muncul pada fungsi adapatif (keefektifan seseorang dalam memenuhi standar yang diharapkan untuk usianya oleh kelompok masyarakat) dalam minimal dua dari bidang berikut: komunikasi, perawatan diri, pemenuhan kebutuhan hidup, kemampuan sosial/interpersonal, penggunaan sumber komunitas, kemandirian, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan, keamanan.

3. Terjadi sebelum umur 18 tahun

2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental

  Klasifikasi retardasi mental berdasarkan derajat keparahan dan kelemahan intelektual terbagi dalam lima tingkatan menurut DSM IV-TR (2004), yaitu:

  1. Retardasi Mental Ringan Retardasi Mental ringan ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sebagian besar (sekitar 85%) dari kelompok retardasi mental. Pada usia pra sekolah (0-5 tahun) mereka dapat mengembangkan kecakapan sosial dan komunikatif, mempunyai sedikit hendaya dalam bidang sensorimotor, dan sering tidak dapat dibedakan dari anak yang tanpa retardasi mental, sampai usia yang lebih lanjut. Pada usia remaja, mereka dapat memperoleh kecakapan akademik sampai setara kira-kira tingkat enam (kelas 6 SD). Sewaktu masa dewasa, mereka biasanya dapat menguasai kecakapan sosial dan vokasional cukup sekedar untuk bisa mandiri, namun mungkin membutuhkan supervisi, bimbingan dan pertolongan, terutama ketika mengalami tekanan sosial atau tekanan ekonomi.

  2. Retardasi Mental Sedang Retardasi Mental sedang ini secara kasar setara dengan kelompok retardasi yang dapat dilatih (trainable). Sebaiknya penggunaan terminologi dapat dilatih ini tidak dapat digunakan, karena memberi kesan mereka dari kelompok ini tidak dapat dididik (educable). Kelompok ini membentuk sekitar 10% dari kelompok retardasi mental. Kebanyakan individu dengan tingkat retardasi ini memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak dini. Mereka memperoleh manfaat dari latihan vokasional, dan dengan pengawasan yang sedang dapat mengurus atau merawat diri sendiri. Mereka juga memperoleh manfaat dari latihan kecakapan sosial dan okupasional namun mungkin tidak dapat melampaui pendidikan akademik lebih dari tingkat dua (kelas dua sekolah dasar). Mereka dapat bepergian di lingkungan yang sudah dikenal.

  Selama remaja, mereka kesulitan dalam mengenal norma-norma pergaulan lingkungan sehingga mengganggu hubungan persaudaraan. Pada masa dewasa sebagian besar dapat melakukan kerja yang kasar (unskilled) atau setengah kasar (semi skilled) di bawah pengawasan workshop yang dilindungi. Mereka dapat menyesuaikan diri pada komunitas lingkungan dengan pengawasan (supervisi).

3. Retardasi Mental Berat

  Kelompok retardasi mental ini membentuk 3-4% dari kelompok retardasi mental. Selama masa anak, mereka sedikit atau tidak mampu berkomunikasi. Sewaktu usia sekolah mereka dapat belajar bicara dan dapat dilatih dalam kecakapan mengurus diri secara sederhana. Mereka memperoleh jangkauan yang terbatas pada instruksi pelajaran pra-akademik, seperti mengetahui huruf dan perhitungan yang sederhana, tetapi bisa menguasai seperti belajar membaca melihat beberapa kata. Sewaktu usia dewasa mereka dapat melakukan kerja yang sederhana bila diawasi secara ketat. Kebanyakan dapat menyesuaikan diri pada kehidupan di masyarakat, bersama keluarganya, jika tidak didapatkan hambatan yang menyertai yang membutuhkan perawatan khusus.

  4. Retardasi Mental Sangat Berat Kelompok retardasi mental ini membentuk 2% dari kelompok retardasi mental. Pada sebagian besar individu dengan diagnosis ini dapat diidentifikasi kelainan neurologik, yang mengakibatkan retardasi mentalnya. Sewaktu masa anak, mereka menunujukkan gangguan yang berat dalam bidang sensorimotor. Perkembangan motorik dan mengurus diri dan kemampuan komunikasi dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan yang adekuat. Beberapa di antaranya dapat melakukan tugas sederhana di tempat yang disupervisi dan dilindungi.

  5. Retardasi Mental Tidak Tergolongkan Diagnosis untuk retardasi mental tidak tergolongkan, seharusnya digunakan ketika ada dugaan kuat retardasi mental tetapi seseorang tidak bisa dites dengan tes inteligensi standar. Hal ini bisa terjadi saat anak-anak, remaja, atau dewasa ketika mereka mengalami hendaya yang terlalu berat atau tidak bisa bekerjasama untuk menjalani tes, atau pada bayi, saat ada keputusan klinik dari gangguan fungsi intelektual secara signifikan, tetapi tes yang ada tidak dapat menghasilkan nilai IQ (contoh: The Bayley Scales

  

of Infant Development, Cattell Infant Intelligence Scales , dan lainnya). Pada umumnya, seseorang yang lebih muda, lebih sukar untuk dikaji adanya retardasi mental kecuali pada hendaya berat.

2.1.4 Etiologi Retardasi Mental

  

Beberapa kasus retardasi mental dapat disebabkan oleh masalah biologis

  yang teridentifikasi, termasuk cacat genetik dan kromosom, racun yang berasal dari lingkungan, kekurangan nutrisi pada wanita hamil dan bayi, dan penyakit- penyakit yang menimpa wanita hamil, bayi dan anak-anak (Leonard & Wen, Haugaard, 2008).

1. Abnormal kromosom dan gen a.

  Sindroma Down adalah penyebab paling umum masalah kromosom pada retardasi mental. Sindroma Down umumnya terjadi karena kromosom 21 dari ibu gagal terpisah selama proses meiosis (pembelahan sel yang terjadi selama pembentukan sel reproduksi). Ketika sepasang kromosom yang tidak terpisah ini bersatu dengan kormosom 21 dari ayah, anak tersebut menerima tiga salinan koromosom 21 satu (label trisomi 21 juga digunakan untuk mendeskripsikan Sindroma Down). Kasus langka ketika Sindroma Down disebabkan oleh translokasi bagian kromosom 21 ke kromosom 14.

  Sindroma Down terjadi sekitar 1,5 dari setiap 1000 kelahiran. Karena abnormal kromosom berasal dari sel telur ibu dalam empat per lima kasus, prevalensi Sindroma Down sangat terkait dengan usia ibu. Perkiraan Sindroma Down terjadi sekitar 1 dari 1000 kelahiran pada ibu yang berusia dibawah 33 tahun dan sekitar 38 dari 1000 kelahiran pada ibu yang berusia diatas 44 tahun. Anak dengan sndroma Down menunjukkan hendaya khas dalam mengekspresikan bahasa, walaupun mereka mengerti bahasa.

  Kemampuan mereka dalam berbicara pada umumnya terdiri dari kalimat sederhana dan sering mengalami masalah dalam artikulasi, sehingga kalimat yang disampaikan sulit untuk dimengerti. Anak Sindroma Down sering digambarkan sangat bersosialisasi dan lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku dibandingkan anak dengan penyebab organik bentuk retardasi mental.

  b.

  Sindroma Fragile X adalah penyebab paling umum retardasi mental yang diwariskan. Ditemukan sekitar 1 dari 4000 kelahiran pada laki-laki dan 1 dari 8000 kelahiran pada perempuan. Sindroma Fragile X disebabkan oleh mutasi pada bagian lengan panjang kromosom X. Mutasi ini berada pada gen yang saat ini disebut Fragile X Mental Retardation Gene (FMR1).

  Perempuan lebih sedikit terkena sindrom ini dibandingkan laki-laki karena hanya satu kromosom X yang aktif dalam setiap sel. Karena perempuan mempunyai dua kromosom, sebuah kromosom X dengan sebuah gen FMR1 normal mungkin menjadi aktif dalam banyak sel yang juga terdapat sebuah kromosom X dengan sebuah gen FMR1 termutasi, sehingga sel mereka lebih sedikit rusak. Dibandingkan laki-laki yang hanya mempunyai satu kromosom X, semua sel dengan kromosom X dengan gen FRM1 yang termutasi akan menjadi rusak.

  Hampir semua laki-laki dengan sindroma Fragile X mengalami gangguan kognitif dalam rentang sedang sampai berat. Anak dengan sindroma Fragile X sering berbicara sangat cepat, mengulangnya beberapa kali sehingga sulit untuk dimengerti. Mereka juga menunjukkan perilaku kecemasan sosial yang tinggi yang disebabkan oleh kewaspadaan berlebihan (hyperurosal) dari sistem saraf otonom, menyebabkan reaksi berlebihan pada situasi sosial.

  c.

  Phenylketonuria (PKU) adalah gangguan yang dihasilkan oleh sebuah mutasi gen Phenylalanine Hydroxylase (PAH), yang ditemukan pada bagian lengan pendek pada kromosom 12. Prevalensi PKU diperkirakan 1 dari 10.000 kelahiran diantara keturunan Eropa bagian barat dan prevalensi lebih sedikit pada ras dan suku keturunan lain.

  d.

  Sindrom Williams disebabkan oleh penghapusan gen pada kromosom 7.

  IQ anak dengan sindrom Williams sekitar 75% berada pada rentang 50- 70 sehingga memperlihatkan kesulitan belajar. Anak-anak dengan sindroma ini sangat bersosialisasi dan selalu bersikap ramah dan bersahabat. Meskipun begitu, mereka kesulitan untuk mendapatkan teman. Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan kognitif atau kemungkinan karena sikap ramah mereka yang membosankan dan tindakan hiperaktif yang membuat temannya merasa menjengkelkan. Pada anak yang lebih besar dan dewasa sering menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi dan mengatakan bahwa mereka sangat kuatir terhadap waktu dan mempunyai banyak ketakutan. e.

  Sindroma Prader-Willi disebabkan oleh abnormalitas kromosom 15 dan sekitar 65% kasus disebabkan oleh penghapusan gen dari kromosom di pihak ayah. Prevalensi sindroma ini sekitar 1 dari 1.000 kelahiran. IQ pada umumnya berada pada rata-rata rendah sampai tingkat sedang pada retardasi mental. Ciri-ciri yang menonjol adalah obesitas. Anak dan dewasa dengan sindroma ini hampir selalu lapar dan merasa asyik dengan makanan. Selain itu, banyak yang mendeskripsikan bahwa mereka memiliki emosi yang labil, suka berdebat, keras kepala, pemarah, sedikit sensitif dan cemas, dan mereka bisa menangis dan merasa sakit hati dengan mudah.

  f.

  Sindroma Angelman disebabkan oleh abnormalitas di area yang sama dengan sindrom Prader-Willi yaitu kromosom 15, penghapusan terjadi dari kromosom ibu. Hendaya kognitif yang dialami oleh sindroma ini lebih berat dibandingkan pada sindroma Prader-Willi. Kebanyakan anak tidak dapat berbicara dan memiliki fitur wajah yang tidak normal, sering menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia.

2. Racun yang berasal dari lingkungan

  Racun dalam dosis yang tinggi bisa menyebabkan retardasi mental berat atau sangat berat, dalam dosis yang rendah dapat memberikan dampak negatif tetapi tidak terlihat pada anak (misalnya IQ berkurang 10 poin).

  a.

  Keracunan timbal dapat terjadi jika seorang anak menelan timbal dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat dan berefek bahaya dan permanen. Menelan timbal dalam jumlah yang rendah dapat berefek ringan namun efeknya tetap terlihat pada fungsi kognitif, seperti rendahnya skor IQ dan masalah membaca.

  b.

  Merkuri tertelan terutama melalui makanan laut.

  c.

  Alkohol dikonsumsi oleh seorang wanita selama hamil bisa sangat berefek pada perkembangan janin, namun efeknya dapat bervariasi pada janin walaupun ibu mereka mengkonsumsi alkohol yang sama. Mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan anak mengalami fetal

  alcohol syndrome yang menyebabkan kecilnya massa otak anak, hambatan motorik, perkembangan bahasa, dan hiperaktif.

  d.

  Kekurangan nutrisi atau malnutrisi selama tahun pertama kehidupan bisa membahayakan fungsi kognitif, tetapi tampaknya hanya ketika malnutrisi berat. Trismester tiga dan bulan keenam kehidupan merupakan waktu yang paling sensitif karena saat itu perkembangan otak terjadi.

  e.

  Penyakit infeksi yang paling menyebabkan hendaya kognitif pada anak adalah meningitis dan ensefalitis. Rubella dan sifilis sangat mudah tertransfer dari ibu kepada janinnya.

  f.

  Cedera kepala bisa secara permanen merusak fungsi kognitif. Jatuh dari sepeda atau dari trampoline adalah sumber dari berbagai cedera.

2.1.5 Terapi Retardasi Mental

  

Retardasi mental adalah berhubungan dengan beberapa kelompok gangguan

  heterogen dan berbagai faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kaplan & Sadock, 2010). a.

  Pencegahan primer Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan yang disertai dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk (1) pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum tentang retardasi mental, (2) usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat, (3) aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal, (4) eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan sistem saraf pusat. Untuk anak-anak dan ibu dengan status sosioekonomi rendah, pelayanan medis prenatal dan postnatal yang sesuai dan berbagai program pelengkap dan bantuan pelayanan sosial dapat menolong menekan komplikasi medis dna psikososial.

  b.

  Pencegahan sekunder dan tersier Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali, gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit dan untuk menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi setelahnya. Anak retardasi mental sering kali memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang memerlukan terapi psikiatrik.Kemampuan kognitif dan sosial yang terbatas yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas yterapi modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi berdasarkan tingkat kecerdasan anak.

  (1) Pendidikan untuk anak : lingkungan pendidikan untuk anak-anak dengan retardasi mental harus termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan keterampilan sosial, dan latihan kejuruan.

  (2) Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika. (3)

  Pendidikan keluarga (4)

  Intervensi farmakologis

2.1.6 Masalah Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental

  Berdasarkan teori perkembangan psikososial menurut Erik H. Erickson, fase perkembangan manusia terdiri dari bayi sampai usia tua dan fase itu secara biologik dan psikologik individu mempunyai potensi kesiapan untuk maju ke taraf fungsional berikutnya yang lebih tinggi, bila dasar-dasar organik biologik tidak defektif dan mempunyai bawaan (genetic endowment) yang normal (Kusumawardhani, 2013).

  Perilaku sosial menurut Sunaryo merupakan aktivitas dalam hubungan dengan orang lain, baik orang tua, saudara, guru, maupun teman yang meliputi proses berpikir, beremosi, dan mengambil keputusan (Jahja, 2011).

  Pada anak normal dalam melewati tahap perkembangan sosialnya dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, pada tiap tahapan perkembangan anak retardasi mental selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan perilaku anak retardasi mental berada di bawah usia kalendernya dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar di sekolah (Bratanata, 1979 dalam Efendi, 2006).

  Anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan sehingga perilaku anak retardasi mental sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan tingkat umurnya. Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi perilaku yang ditampilkan tampak seperti anak-anak. Akibatnya anak tunagrahita tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan (Kemis & Rosnawati, 2013).

  Akibat dari sering mengalami kegagalan dan hambatan dalam memenuhi segala kebutuhannya, anak retardasi mental mudah frustasi dan pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud penyesuaian sosial yang salah (maladjusted). Bentuk penyesuaian yang salah tersebut seperti kompensasi yang berlebihan, pengalihan (displacement), nakal (delinquent), regresi, destruksi, agresif dan lain-lain (Efendi, 2006).

  Tingkah laku anak retardasi mental menurut Kemis dan Rosnawati (2013), yaitu:

  1. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan duduk lama

  2. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit teman, mengambil milik orang lain dan mengoceh/mengomel

  3. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua obyek yang ada di sekitarnya 4. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil dan disalahkan orang lain (teman, guru)

  5. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya

  6. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen, melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela 7. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak rambut 8. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak kooperatif

9. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.

  Tingkah laku sosial tercakup hal-hal seperti keterikatan dan ketergantungan, hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral. Tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962, 1969). Ketika anak merasa takut, tegang dan kehilangan orang yang menjadi tempat bergantung, kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak retardasi mental lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh bantuan sosial (Soemantri 2007). Mc Iver menggunakan Children’s Personality Quaestionare dan menyimpulkan ternyata anak retardasi mental laki-laki emosinya tidak matang, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsif, lancang dan merusak. Anak retardasi mental perempuan mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri dan cenderung melanggar ketentuan. Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial sehingga harus selalu dibimbing dan diawasi (Somantri, 2007).

2.2 Kecemasan

2.2.1 Definisi Kecemasan

  Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons autonom (sumber sering tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012).

  Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kecemasan adalah keadaan emosi terhadap objek yang tidak spesifik, dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Kecemasan terjadi sebagai hasil dari sebuah ancaman pada kepribadian seseorang, harga diri, atau identitas diri. Kecemasan dialami ketika nilai-nilai seseorang mengenali bahwa keberadaannya sebagai seseorang terancam. Nilai-nilai yang termasuk didalamnya adalah fisik, sosial, moral, dan unsur emosional dalam kehidupan (Stuart & Sundeen, 1998).

  Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2013).

  Kecemasan adalah respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual (Kaplan & Sadock, 2010).

  Kecemasan terjadi sebagai hasil dari ancaman terhadap biologis, psikologis atau integritas sosial, akibat dari sumber-sumber eksternal. Hal ini merupakan sebuah pengalaman universal dan bagian kondisi manusia (Fortinash & Worret, 2000).

2.2.2 Tanda dan Gejala Kecemasan

  Kecemasan adalah sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman sehingga tidak ada satupun yang menginginkannya. (Stuart & Sundeen, 1997). Gangguan kecemasan dikategorikan berdasarkan apakah seseorang memiliki gejala yang kompleks ataupun terbatas (Fortinash & Worret, 2000).

  Stuart (2012) menyatakan bahwa ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif.

  1. Respon fisiologis berhubungan dengan ansietas terutama dimediasi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Berbagai respon fisiologis yang dapat diobservasi, yaitu: a. Kardiovaskular: palpitasi, jantung berdebar, pingsan, tekanan darah meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

  b.

  Pernafasan: napas cepat dan dangkal, tekanan pada dada, sensasi tercekik, terengah-engah.

  c.

  Neuromuskular: refleks meningkat, reaksi terkejut, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang janggal.

  d.

  Gastrointestinal: kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada perut, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati dan diare.

  e.

  Saluran perkemihan: tidak dapat menahan kencing dan sering berkemih f. Kulit: wajah kemerahan, keringat terlokalisasi (telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh.

  2. Respon perilaku: gelisah, ketegangan fisik, tremor, terkejut, bicara cepat, kurang koodinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi dan sangat waspada.

  3. Respon kognitif: perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berpikir, kreatifitas menurun, lapang persepsi menurun, bingung, takut kehilangan kendali, mimpi buruk, takut cedera atau kematian, produktivitas menurun.

4. Respon afektif: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, khawatir, mati rasa, rasa bersalah dan malu.

2.2.3 Tingkat Kecemasan

  Respon kecemasan berada pada satu kesatuan, dan individu bisa lebih sukses atau kurang sukses pada penggunaan metode-metode yang bervariasi untuk mengontrol pengalaman kecemasan mereka sendiri. Tingkat kecemasan terdiri dari ringan, sedang, berat, panik berdasarkan respon kecemasan.

  (Videbeck, 2008).

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).

  Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif Tingkat Kecemasan

  Cemas Ketegangan otot ringan Lapangan persepsi Perilaku Ringan luas otomatis

  Sadar akan lingkungan Terlihat tenang, Sedikit tidak percaya diri sabar Rileks atau sedikit Perasaan gagal Aktivitas gelisah sedikit menyendiri Penuh perhatian Waspada dan Terstimulasi memerhatikan banyak hal

  Rajin Mempertimbangkan Tenang informasi Tingkat pembelajaran optimal

  Cemas Ketegangan otot sedang Lapang persepsi Tidak nyaman Sedang menurun

  Tanda-tanda vital Tidak perhatian Mudah meningkat secara selektif tersinggung

  Pupil dilatasi, mulai Fokus terhadap Kepercayaan berkeringat stimulus meningkat diri goyah Sering mondar-mandir, Rentang perhatian Tidak sabar memukulkan tangan menurun Suara berubah: Penyelesaian masalah Gembira bergetar, nada suara menurun tinggi Kewaspadaan dan Pembelajaran terjadi ketegangan meningkat dengan memfokuskan Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung

Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).

  Fisiologis Kognitif/persepsi Emosi / Afektif Tingkat Kecemasan

  Cemas Berat Ketegangan otot berat Lapang persepsi Sangat cemas terbatas Hiperventilasi Proses berpikir Agitasi terpecah-pecah Kontak mata buruk Sulit berpikir Takut Pengeluaran keringat Penyelesaian Bingung meningkat masalah buruk Bicara cepat, nada suara Tidak mampu Merasa tidak tinggi mempertimbangkan adekuat informasi

  Tindakan tanpa tujuan Hanya Menarik diri dan serampangan memperhatikan ancaman

  Rahang menegang dan Preokupasi dengan Penyangkalan menggertakkan gigi pikiran sendiri Kebutuhan ruang gerak Egosentris Ingin bebas meningkat

  Mondar-mandir, berteriak Meremas tangan, gemetar

  Panik Flight, fight, atau freeze Persepsi sangat sempit Merasa terbebani

  Ketegangan otot sangat berat Pikiran tidak logis, terganggu

  Merasa tidak mampu, tidak berdaya

  Agitasi motorik kasar Kepribadian kacau Lepas kendali Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan (Peplau, 1952) dalam Videbeck (2008).

  Pupil dilatasi Tidak dapat menyelesaikan masalah

  Mengamuk, putus asa Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun

  Fokus pada pikiran sendiri Marah, sangat takut

2.2.4 Rentang Respon Kecemasan

  Hildegrad Peplau (1952) dalam Interpersonal Relations in Nursing, seorang pelopor keperawatan jiwa, mengidentifikasi empat tingkat kecemasan yang bertujuan untuk mengilustrasikan pandangan terhadap kecemasan dan ketegangan yang dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan (1882-1949), seorang psikiater terkemuka dari Amerika dan ahli teori perkembangan (Fortinash & Worret, 2000).

  Sedang Panik perasaan kecemasa Ringan Berat

  Skema 2.1 Rentang respon kecemasan Hildegrad Peplau (1952)

  Hildegrad Peplau menerangkan bahwa kecemasan yang meningkat mengakibatkan:

1. Lapangan persepsi menyempit 2.

  Energi akan tersedia untuk menyelesaikan masalah 3. Disorganisasi meningkat

  Skema 2.2 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart (2012):

  Respon Adaptif Respon Maladaptif

  Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

2.2.5 Penyebab Kecemasan 1.

  Faktor Presipitasi Ansietas adalah faktor utama pada perkembangan kepribadian dan pembentukan sifat karakter individu. Ada beberapa teori penyebab kecemasan yang muncul (Stuart, 2012 ; Stuart & Sundeen, 1998): c.

  Teori Psikoanalitik Freud memandang bahwa ansietas merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting sseorang dan impuls primitif, sedangkan superego mewakili hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh budaya seseorang. Ego berfungsi untuk menengahi kedua elemen yang bertentangan. Freud juga menambahkan bahwa fungsi utama kecemasan untuk mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

  d.

  Teori Interpersonal Sullivan memandang bahwa inti dari teori kecemasan adalah perasaan takut terhadap penolakan interpersonal. Trauma selama masa pertumbuhan, seperti kehilangan dan perpisahan dapat mengakibatkan ansietas. Sullivan yakin bahwa ansietas dikemudian hari muncul dalam situasi interpersonal dimana sesorang mempersepsikan dirinya akan dipandang tidak baik dan akan kehilangan seseorang berdasarkan nilai yang dipahaminya.

  e.

  Teori Perilaku Berdasarkan pendapat teoritisi perkembangan, ansietas adalah hasil dari frustasi, yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor presipitasi tersebut menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan perlindungan.

  f.

  Teori Keluarga Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dan depresi. g.

  Teori Biologis Para peneliti mempelajari bahwa otak mengandung reseptor spesifik untuk benzodiazepine dan obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan.

2. Faktor Presipitasi

  Faktor presipitasi kecemasan dapat dikelompokkan dalam dua kategori (Stuart, 2012), yaitu: a.

  Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

  b.

  Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

2.3 Kecemasan Orang Tua dengan Anak Retardasi Mental

  Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dikenal anak. Keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak dan hubungan yang dekat ini tidak mungkin dipisahkan. Pada prinsipnya keluarga memiliki fungsi sosial, edukatif, seksual dan pengelolaan ekonomi dan orangtua memiliki tugas supaya peran tersebut dapat difungsikan seoptimal mungkin (Notosoedirdjo & Latipun, 2011). Menurut

  Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang tua adalah ayah ibu kandung, orang yang dianggap tua, orang yang dihormati.

  Anak retardasi mental lebih banyak tinggal bersama dengan keluarganya hingga dewasa, sehingga ketergantungan kepada keluarganya akan lebih tinggi dibandingkan keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga dengan retardasi mental. Pengaruh terhadap orang tua dan anggota keluarga ketika memiliki anak retardasi mental dimulai ketika mereka mengetahui bahwa anak mereka memiliki keterbatasan kognitif yang sangat signifikan. Hal ini sering terjadi selama kehamilan karena tes untuk mendeteksi variasi gen dan kromosom tidak normal yang mengakibatkan keterbatasan kognitif sudah dapat dilakukan. Keputusan untuk melakukan aborsi dan melahirkan terkadang menjadi sesuatu mudah bagi sebagian orang tua tetapi sangat sulit bagi orang tua lain (Haugaard, 2008).

  Kehadiran anak retardasi mental dalam keluarga cenderung menimbulkan ketegangan pada keluarga tersebut. Ketika mengetahui bahwa anaknya tergolong retardasi mental, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah dan menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau merasa kecewa yang mendalam (Somantri, 2007 ; Kemis & Rosnawati, 2013). Reaksi yang muncul pada orang tua saat anaknya lahir dapat berbeda-beda, tergantung pada berbagai faktor (Somantri, 2007). Faktor-faktor tersebut adalah:

  1. Orang tua segara mengetahui atau terlambat diketahuinya bahwa anaknya retardasi mental

2. Derajat / tingkat keparahan retardasi mental yang dialami anaknya 3.

  Jelas tidaknya kecacatan (keterbatasan) tersebut dilihat oleh orang lain. Perasaan dan tingkah laku orang tua berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi: 1.

  Perasaan melindungi anak secara berlebihan 2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, sehingga memunculkan praduga yang berlebihan seperti merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan dan merasa kurang mampu mengasuhnya.

  3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal sehingga menyebabkan cepat marah dan tingkah laku agresif bahkan depresi.

  4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri 5.

  Bingung dan malu yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dengan tetangga dan lebih suka menyendiri.

  Banyak orang tua cemas dengan anak-anak mereka, tetapi orang tua anak retardasi mental melaporkan lebih banyak kecemasan dibandingkan orang tua anak normal. Mereka mencemaskan tentang keterbatasan kognitif anak yang akan membatasi pekerjaan mereka, sosial, tujuan-tujuan keluarga, bahkan efek kepada anak-anak mereka yang lain karena mempunyai saudara yang retardasi mental (Haugaard, 2008).

  Orang tua cemas ketika anaknya tersebut bermain dan bersosialisasi dengan anak lain karena keterbatasan kognitif, anaknya malah melakukan hal yang salah dan bisa mengganggu anak lain (Haugaard, 2008). Perilaku anak retardasi mental yang juga merisaukan atau menyusahkan orang tua ialah perilaku mencederai diri (self mutilating) mengantukkan kepalanya, menggigit jarinya, perilaku agresif, mengamuk. Tidak jarang juga orang tua menyatakan bahwa anaknya suka berkelahi, namun ada pula yang terlalu pemalu, takut sekolah, tidak hati-hati.

  Anak retardasi mental mengalami gangguan tidur dan bisa berjalan-jalan mengelilingi rumah pada malam hari, sehingga orang tua harus terjaga (Haugaard, 2008; Lumbantobing, 2006).

  Anak retardasi mental belajar dengan cara yang berbeda dan perkembangan yang lebih lambat dibandingkan anak yang lain sehingga orang tua merasa frustasi dan kehilangan semangat dalam merawat anaknya (Haugaard, 2008). Kecemasan dan depresi juga lebih banyak dialami oleh ibu karena ibu yang cenderung secara langsung dalam merawat anak retardasi mental. Oleh karena itu, ibu tampaknya lebih rentan terhadap stress yang terkait dengan masalah perilaku anak (Azeem et. al., 2013).