Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga T1 462007017 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Tork, et al (dalam Ramawati, 2011) setiap orangtua
menginginkan anak yang sehat dan mandiri. Namun, pada kenyataannya
banyak anak dengan disabilitas atau penyakit kronis yang masih tergantung
kepada orangtua atau pengasuhnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari
terutama untuk perawatan dirinya sampai dengan anak tersebut beranjak
dewasa. Tingginya tingkat ketergantungan anak dalam melakukan aktivitas
sehari-hari menjadi beban yang sangat besar bagi orangtua, pengasuh, dan
pemberi layanan kesehatan termasuk tenaga keperawatan.
Ling (dalam Ramawati, 2011) mengatakan bahwa kemandirian pada
anak terutama pada anak usia sekolah berbeda dengan kemandirian
remaja. Anak usia sekolah adalah anak yang sedang berada dalam rentang
usia 6-12 tahun, usia sekolah merupakan periode penting dalam tumbuh
kembang anak. Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan karakteristik
tersendiri dan mulai belajar untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara
mandiri.
Menurut Simanjuntak (dalam Ramawati, 2011) kemandirian pada
anak usia sekolah adalah kemampuan yang terkait dengan tugas
perkembangannya. Adapun tugas-tugas perkembangan untuk anak usia
sekolah adalah belajar makan, berbicara, koordinasi tubuh, kontak
1
2
perasaan dengan lingkungan, pembentukan pengertian, dan belajar moral.
Apabila seorang anak telah mampu melakukan tugas perkembangan, maka
ia telah memenuhi syarat kemandirian. Diperlukan dukungan dan bimbingan
dari orangtua untuk menanamkan kemandirian pada anak. Orangtua harus
dapat bersikap positif dengan memberikan pujian, semangat, dan
kesempatan berlatih secara konsisten dalam mengerjakan sesuatu sendiri
sesuai dengan tahapan usianya.
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang
(subnormal) sejak masa perkembangan, baik sejak lahir atau sejak masa
kanak-kanak. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau
sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2005).
Anak yang mengalami retardasi mental untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari yang berkaitan dengan kemampuan dalam merawat diri
sendiri, masih mengalami kesulitan sehingga mereka perlu diajarkan atau
dilatih secara khusus dalam bentuk bimbingan dan latihan. Untuk dapat
mengoptimalkan
anak
yang
mengalami
retardasi
mental
dalam
meningkatkan kemampuan merawat diri sendiri, maka perlu mendapatkan
bimbingan dan latihan yang terus menerus serta bersifat praktis dari orang
disekitarnya (Somantri, 2006).
Menurut Maunder (dalam Ramawati, 2011) peran perawat anak
dalam mendukung dan memberikan perhatian pada status kesehatan anak
usia sekolah yang mengalami retardasi mental sangat dibutuhkan oleh anak
maupun keluarga. Pemahaman dan pengenalan secara komprehensif
3
sangat diperlukan untuk dapat mengembangkan kemampuan anak dengan
retardasi mental dalam melakukan keterampilan perawatan diri secara
mandiri
baik dari dalam diri anak sendiri maupun dari keluarga dan
lingkungan sekitar atau sekolah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006 dari 222
juta penduduk Indonesia terdapat 0,7% (sekitar 2,8 juta) jiwa mengalami
kecacatan dan sekitar 600 ribu di antaranya anak-anak (21,42%) usia
sekolah dan populasi anak dengan retardasi mental menempati angka
terbesar. Angka penderita anak usia sekolah dengan retardasi mental di
Indonesia diperkirakan berjumlah setengah dari total penderita cacat atau
sekitar 1,5 juta jiwa, dan hanya 54.000 anak yang dapat mengikuti
pendidikan secara formal di sekolah khusus (dalam Ramawati, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lewis dan Iselin
(dalam Ramawati, 2011) anak dengan kemampuan untuk melakukan
perawatan diri secara mandiri akan dapat berinteraksi lebih baik dengan
lingkungan dan mengembangkan jejaring sosial lebih luas. Anak yang telah
mandiri sejak dini, akan terbiasa mandiri ketika dewasa sehingga kelak
mampu mengambil keputusan atau menentukan pilihannya sendiri dan yang
terpenting adalah anak menjadi tidak tergantung pada orang tua baik secara
ekonomi atau tanggung jawab hidup lainnya ketika ia menjadi dewasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Ulfatulsholihat (2010) mendapatkan
kesimpulan bahwa anak retardasi mental mempunyai keinginan di dalam
dirinya untuk dapat hidup mandiri dan tidak tergantung pada orangtua atau
4
orang lain. Selain itu terdapat keinginan untuk sama dengan anak yang
normal, hal tersebut ditunjukan dengan keinginan selalu memiliki apa yang
dimiliki
oleh
anak
normal.
Namun
masih
banyak
orangtua
yang
beranggapan bahwa anak retardasi mental selalu membutuhkan bantuan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Tork, et al (dalam Ramawati, 2011)
yang mendapatkan bahwa anak dengan retardasi mental dapat melakukan
kegiatan sehari-hari secara mandiri seperti eliminasi, perubahan posisi,
mobilitas, dan hanya membutuhkan pengawasan yang minimal saat
berpakaian
atau
saat
ke
kamar
mandi.
Penelitian
tersebut
juga
menyimpulkan bahwa anak dengan disabilitas menjadi jumlah terbesar
pada anak yang masih tergantung untuk melakukan perawatan diri, namun
dengan memberikan bimbingan dan latihan yang tepat baik di rumah
maupun di sekolah, maka anak-anak tersebut dapat dengan segera menjadi
mandiri untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Sekolah
Luar
Biasa (SLB) Bina Putra pada tanggal 26 Juni 2012, didapatkan
informasi bahwa dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 ada 45 anak yang
mengalami retardasi mental ringan (Debil). Kemandirian anak dengan
retardasi mental untuk kelas 1 sampai kelas 6 di sekolah masih bergantung
pada guru dan orangtua. Orangtua masih menunggu anak di luar kelas
hingga pulang sekolah. Untuk kemandirian anak di rumah peneliti
memberikan angket kepada 10 orangtua siswa, hasil yang didapat yaitu 8
5
orang anak belum bisa melakukan aktivitas sehari-harinya sendiri seperti
mandi, makan dan minum, memakai dan melepas baju, celana dan rok,
memakai sepatu dan kaos kaki sedangkan 2 orang anak sudah bisa
melakukan aktivitasnya secara mandiri.
Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
sebelumnya
dan
kondisi
kemandirian anak SLB yang masih kurang mandiri, membuat peneliti
tertarik untuk meneliti hubungan pengetahuan dan sikap orangtua terhadap
kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pengetahuan dan
sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi
mental di SLB Bina Putra Salatiga.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui hubungan antara
pengetahuan dan sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah
dengan retardasi mental.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pengetahuan dan sikap orangtua terhadap
kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental.
6
2. Mengidentifikasi kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi
mental.
3. Menganalisis hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua
terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar bagaimana
hubungan pengetahuan dan sikap orangtua dalam melatih kemandirian
anak retardasi mental, sehingga hasil penelitian dapat memberikan
gambaran secara komprehensif mengenai kemandirian anak berkebutuhan
khusus.
1.4.2
Manfaat Praktis
1. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian pengembangan
keperawatan untuk meningkatkan dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap anak dengan retardasi mental agar dapat
menjadi mandiri dan optimal memenuhi kebutuhannya.
2. Bagi Sekolah Luar Biasa (SLB)
Penelitian ini diharapkan bisa sebagai masukan dan informasi
bagi
guru
atau
pengajar
untuk
mengetahui
pentingnya
menanamkan kemandirian anak dengan retardasi mental dan
7
dapat menyusun langkah-langkah, perencanaan dan program
sistem pendidikan khususnya pada anak retardasi mental.
3. Bagi Orangtua dan Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
orangtua dan masyarakat tentang anak retardasi mental sehingga
dalam perkembangannya dapat membantu mengarahkan anak
untuk menjadi mandiri.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi untuk
menumbuhkan minat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
permasalahan yang dihadapi oleh anak yang mengalami retardasi
mental.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Tork, et al (dalam Ramawati, 2011) setiap orangtua
menginginkan anak yang sehat dan mandiri. Namun, pada kenyataannya
banyak anak dengan disabilitas atau penyakit kronis yang masih tergantung
kepada orangtua atau pengasuhnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari
terutama untuk perawatan dirinya sampai dengan anak tersebut beranjak
dewasa. Tingginya tingkat ketergantungan anak dalam melakukan aktivitas
sehari-hari menjadi beban yang sangat besar bagi orangtua, pengasuh, dan
pemberi layanan kesehatan termasuk tenaga keperawatan.
Ling (dalam Ramawati, 2011) mengatakan bahwa kemandirian pada
anak terutama pada anak usia sekolah berbeda dengan kemandirian
remaja. Anak usia sekolah adalah anak yang sedang berada dalam rentang
usia 6-12 tahun, usia sekolah merupakan periode penting dalam tumbuh
kembang anak. Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan karakteristik
tersendiri dan mulai belajar untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara
mandiri.
Menurut Simanjuntak (dalam Ramawati, 2011) kemandirian pada
anak usia sekolah adalah kemampuan yang terkait dengan tugas
perkembangannya. Adapun tugas-tugas perkembangan untuk anak usia
sekolah adalah belajar makan, berbicara, koordinasi tubuh, kontak
1
2
perasaan dengan lingkungan, pembentukan pengertian, dan belajar moral.
Apabila seorang anak telah mampu melakukan tugas perkembangan, maka
ia telah memenuhi syarat kemandirian. Diperlukan dukungan dan bimbingan
dari orangtua untuk menanamkan kemandirian pada anak. Orangtua harus
dapat bersikap positif dengan memberikan pujian, semangat, dan
kesempatan berlatih secara konsisten dalam mengerjakan sesuatu sendiri
sesuai dengan tahapan usianya.
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang
(subnormal) sejak masa perkembangan, baik sejak lahir atau sejak masa
kanak-kanak. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau
sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2005).
Anak yang mengalami retardasi mental untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari yang berkaitan dengan kemampuan dalam merawat diri
sendiri, masih mengalami kesulitan sehingga mereka perlu diajarkan atau
dilatih secara khusus dalam bentuk bimbingan dan latihan. Untuk dapat
mengoptimalkan
anak
yang
mengalami
retardasi
mental
dalam
meningkatkan kemampuan merawat diri sendiri, maka perlu mendapatkan
bimbingan dan latihan yang terus menerus serta bersifat praktis dari orang
disekitarnya (Somantri, 2006).
Menurut Maunder (dalam Ramawati, 2011) peran perawat anak
dalam mendukung dan memberikan perhatian pada status kesehatan anak
usia sekolah yang mengalami retardasi mental sangat dibutuhkan oleh anak
maupun keluarga. Pemahaman dan pengenalan secara komprehensif
3
sangat diperlukan untuk dapat mengembangkan kemampuan anak dengan
retardasi mental dalam melakukan keterampilan perawatan diri secara
mandiri
baik dari dalam diri anak sendiri maupun dari keluarga dan
lingkungan sekitar atau sekolah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2006 dari 222
juta penduduk Indonesia terdapat 0,7% (sekitar 2,8 juta) jiwa mengalami
kecacatan dan sekitar 600 ribu di antaranya anak-anak (21,42%) usia
sekolah dan populasi anak dengan retardasi mental menempati angka
terbesar. Angka penderita anak usia sekolah dengan retardasi mental di
Indonesia diperkirakan berjumlah setengah dari total penderita cacat atau
sekitar 1,5 juta jiwa, dan hanya 54.000 anak yang dapat mengikuti
pendidikan secara formal di sekolah khusus (dalam Ramawati, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lewis dan Iselin
(dalam Ramawati, 2011) anak dengan kemampuan untuk melakukan
perawatan diri secara mandiri akan dapat berinteraksi lebih baik dengan
lingkungan dan mengembangkan jejaring sosial lebih luas. Anak yang telah
mandiri sejak dini, akan terbiasa mandiri ketika dewasa sehingga kelak
mampu mengambil keputusan atau menentukan pilihannya sendiri dan yang
terpenting adalah anak menjadi tidak tergantung pada orang tua baik secara
ekonomi atau tanggung jawab hidup lainnya ketika ia menjadi dewasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Ulfatulsholihat (2010) mendapatkan
kesimpulan bahwa anak retardasi mental mempunyai keinginan di dalam
dirinya untuk dapat hidup mandiri dan tidak tergantung pada orangtua atau
4
orang lain. Selain itu terdapat keinginan untuk sama dengan anak yang
normal, hal tersebut ditunjukan dengan keinginan selalu memiliki apa yang
dimiliki
oleh
anak
normal.
Namun
masih
banyak
orangtua
yang
beranggapan bahwa anak retardasi mental selalu membutuhkan bantuan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Tork, et al (dalam Ramawati, 2011)
yang mendapatkan bahwa anak dengan retardasi mental dapat melakukan
kegiatan sehari-hari secara mandiri seperti eliminasi, perubahan posisi,
mobilitas, dan hanya membutuhkan pengawasan yang minimal saat
berpakaian
atau
saat
ke
kamar
mandi.
Penelitian
tersebut
juga
menyimpulkan bahwa anak dengan disabilitas menjadi jumlah terbesar
pada anak yang masih tergantung untuk melakukan perawatan diri, namun
dengan memberikan bimbingan dan latihan yang tepat baik di rumah
maupun di sekolah, maka anak-anak tersebut dapat dengan segera menjadi
mandiri untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Sekolah
Luar
Biasa (SLB) Bina Putra pada tanggal 26 Juni 2012, didapatkan
informasi bahwa dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 ada 45 anak yang
mengalami retardasi mental ringan (Debil). Kemandirian anak dengan
retardasi mental untuk kelas 1 sampai kelas 6 di sekolah masih bergantung
pada guru dan orangtua. Orangtua masih menunggu anak di luar kelas
hingga pulang sekolah. Untuk kemandirian anak di rumah peneliti
memberikan angket kepada 10 orangtua siswa, hasil yang didapat yaitu 8
5
orang anak belum bisa melakukan aktivitas sehari-harinya sendiri seperti
mandi, makan dan minum, memakai dan melepas baju, celana dan rok,
memakai sepatu dan kaos kaki sedangkan 2 orang anak sudah bisa
melakukan aktivitasnya secara mandiri.
Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
sebelumnya
dan
kondisi
kemandirian anak SLB yang masih kurang mandiri, membuat peneliti
tertarik untuk meneliti hubungan pengetahuan dan sikap orangtua terhadap
kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara pengetahuan dan
sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi
mental di SLB Bina Putra Salatiga.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui hubungan antara
pengetahuan dan sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah
dengan retardasi mental.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pengetahuan dan sikap orangtua terhadap
kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental.
6
2. Mengidentifikasi kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi
mental.
3. Menganalisis hubungan antara pengetahuan dan sikap orangtua
terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar bagaimana
hubungan pengetahuan dan sikap orangtua dalam melatih kemandirian
anak retardasi mental, sehingga hasil penelitian dapat memberikan
gambaran secara komprehensif mengenai kemandirian anak berkebutuhan
khusus.
1.4.2
Manfaat Praktis
1. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian pengembangan
keperawatan untuk meningkatkan dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap anak dengan retardasi mental agar dapat
menjadi mandiri dan optimal memenuhi kebutuhannya.
2. Bagi Sekolah Luar Biasa (SLB)
Penelitian ini diharapkan bisa sebagai masukan dan informasi
bagi
guru
atau
pengajar
untuk
mengetahui
pentingnya
menanamkan kemandirian anak dengan retardasi mental dan
7
dapat menyusun langkah-langkah, perencanaan dan program
sistem pendidikan khususnya pada anak retardasi mental.
3. Bagi Orangtua dan Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
orangtua dan masyarakat tentang anak retardasi mental sehingga
dalam perkembangannya dapat membantu mengarahkan anak
untuk menjadi mandiri.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi untuk
menumbuhkan minat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
permasalahan yang dihadapi oleh anak yang mengalami retardasi
mental.