Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga T1 462007017 BAB II

(1)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Pengetahuan juga merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Mubarak, 2007).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai enam aspek yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ini merupakan


(2)

tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang, tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, aplikasi ini diartikan dapat sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan sebagainya.


(3)

Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi memisahkan dan sebagainya.

5. Sintesa (Syntesis)

Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menggabungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain syntesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari informasi-informasi yang ada, misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai dengan tingkatan-tingkatan di atas.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) yaitu:

1. Umur, semakin bertambahnya umur seseorang maka semakin banyak ilmu pengetahuan yang dimiliki.


(4)

2. Pendidikan, tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi seseorang untuk lebih menerima ide-ide dan tekhnologi baru.

3. Intelegensia, yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk belajar dan berfikir untuk menyesuaikan diri secara mental dengan situasi yang baru.

4. Lingkungan, lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi seseorang dimana seseorang mempelajari hal yang baik juga yang buruk tergantung dari kelompoknya.

5. Sosial budaya, suatu kebudayaan diperoleh dalam hubunganya dengan orang lain karena hubungan ini seseorang mengalami proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.

6. Sumber informasi, semakin banyak sumber informasi yang diperoleh semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

7. Pengalaman, semakin banyak pengalaman maka semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

2.2 Sikap

2.2.1 Pengertian Sikap

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka.


(5)

Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi terhadap suatu obyek, memihak atau tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya (Azwar, 2005).

2.2.2 Tingkatan Sikap

Berbagai tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) yaitu: 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuation)

Mengajak orang lain untuk mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.


(6)

2.2.3 Ciri-ciri Sikap

Menurut Sarwono (2008) sikap memiliki ciri-ciri tertentu yaitu:

1. Sikap adalah merupakan hasil belajar bukan bawaan. Sikap diperoleh individu sepanjang perkembangannya yang merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya.

2. Sikap dapat berubah-ubah, karena sikap dipelajari atau dibentuk dari lingkungan, sehingga sikap individu dapat berubah sesuai dengan situasi pada suatu waktu dan kondisi tertentu.

3. Sikap akan berhubungan dengan objek tertentu. Jadi sikap tidak dapat berdiri sendiri melainkan senantiasa mengandung reaksi terhadap suatu objek. Objek tersebut dapat berupa objek tunggal atau sekumpulan objek.

4. Sikap adalah afektif. Hal ini bearti bahwa afeksi atau perasaan merupakan bagian sikap yang dapat positif dan negatif. Bentuk dari sikap yang positif ini akan bermacam-macam seperti menyukai, mendekati, memihak, menerima atau mendukung terhadap objek sikap. Sebaliknya sikap yang negatif dapat ditunjukan dengan perilaku seperti membenci, menjauhi dan menolak objek sikap. 5. Sikap evaluasi. Hal ini bearti bahwa sikap merupakan penilaiaan

terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan.

6. Sikap juga merupakan inferensi yaitu penafsiran dari perilaku yang dapat dijadikan indikatornya.


(7)

2.2.4 Aspek-aspek Sikap

Menurut Azwar (2005) struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif:

1. Komponen kognitif

Kognitif terbentuk dari pengetahuan dan informasi yang diterima yang selanjutnya diproses menghasilkan suatu keputusan untuk bertindak.

2. Komponen afektif

Afektif menyangkut masalah emosional subjektif sosial terhadap suatu objek, secara umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap suatu objek.

3. Komponen konatif

Konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

2.3 Kemandirian

2.3.1 Kemandirian Anak Retardasi Mental

Anak yang mengalami retardasi mental cenderung mengalami ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya (Somantri, 2006).


(8)

2.3.2 Ciri-ciri Kemandirian Anak Retardasi Mental

Ciri-ciri kemandirian anak retardasi mental dilihat dari tingkat kecerdasan atau standar intelegensinya (dalam Fadlilah, 2008) yaitu:

1. Retardasi mental berat atau imbecile berat, tingkat kecerdasan 20-35 umur mental 2-4 tahun. Ciri-cirinya: dapat dilatih dan tidak dapat dididik, dapat dilatih merawat dirinya sendiri seperti: makan, mandi, dan berpakaian sendiri. Perkembangan fisik dan berbicara masih terlambat. Masih mudah terserang penyakit lain.

2. Retardasi mental sedang atau imbecile ringan, tingkat kecerdasan 35-50 umur mental 4-8 tahun. Ciri-cirinya: dapat dilatih dan dapat dididik (Trainable dan Educable) sampai ke taraf kelas II-III SD, dapat dilatih merawat dirinya sendiri seperti: makan, mandi, dan berpakaian sendiri, koordinasi motorik biasanya masih sedikit terganggu dan bisa menghitung 1-20, mengetahui macam-macam warna dan membaca beberapa suku kata.

3. Retardasi mental ringan atau Debil, tingkat kecerdasan 52-67 umur mental 8-11 tahun. Ciri-cirinya: dapat dilatih dan dididik, dapat merawat dirinya dan melakukan semua pekerjaan di rumah, tidak dapat dididik di sekolah biasa tetapi harus di lembaga atau sekolah luar biasa dan koordinasi motorik tidak mengalami gangguan. 4. Retardasi mental taraf perbatasan atau subnormal, tingkat

kecerdasan 68-85 umur mental 12-16 tahun. Ciri-cirinya: dapat dididik di sekolah biasa, meskipun tiap kelas di capai dalam 2 tahun,


(9)

dapat berfikir secara abstrak dan dapat membedakan hal yang baik dan buruk.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak Retardasi Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian anak retardasi mental (dalam Fadlilah, 2008) antara lain:

1. Jenis kelamin.

Anak laki-laki biasanya lebih mandiri dari pada anak perempuan, karena anak laki-laki memiliki sifat yang agresif dominan dan maskulin dibandingkan anak perempuan yang sifatnya pasif, lemah lembut dan feminim.

2. Urutan posisi anak.

Anak pertama sangat diharapkan sebagai pengganti orangtua dituntut untuk bertanggung jawab, sedangkan anak tengah memiliki peluang untuk mandiri, anak bungsu yang memperoleh perhatian berlebihan dari orangtua dan kakak-kakaknya lebih banyak bergantung dan tidak mandiri.

3. Usia.

Semenjak kecil anak melihat dan mengeksplorasi lingkungannya atas kemampuannya sendiri dan melakukan apa yang menjadi kemauannya sendiri. Semakin bertambah usia anak, maka semakin tinggi tingkat kemandirian anak, karena anak belajar dan berproses dari lingkungan dan dirinya sendiri.


(10)

4. Pendidikan.

Anak yang mendapatkan pendidikan akan bertindak lebih kreatif daripada anak yang tidak mendapatkan pendidikan. Pendidikan mengajarkan berbagai ketrampilan dan pengembangan bagi dirinya, sehingga anak mampu belajar untuk mandiri.

2.4 Retardasi Mental

2.4.1 Pengertian Retardasi Mental

Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan, baik sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (Maramis, 2005).

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi mental ialah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya kendala keteramplian selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Maslim, 2002).

Definisi yang dikemukakan oleh DSM IV TR retardasi mental merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang di bawah rata-rata kira-kira 70 atau lebih rendah, yang bermula sebelum usia 18 tahun dan kurangnya fungsi adaptif (kemampuan individu tersebut secara


(11)

efektif menghadapi kebutuhan untuk berdikari yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya) (Lumbantobing, 2006 ).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa retardasi mental ialah keadaan perkembangan jiwa yang tidak lengkap yang ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.

2.4.2 Penyebab Retardasi Mental

Penyebab retardasi mental menurut Sandra (2010), antara lain adalah:

1. Infeksi

Adalah keadaan retardasi mental karena adanya kerusakan jaringan otak akibat adanya infeksi intrakcranial, penggunaan obat-obatan, atau zat toksin lainnya.

2. Masalah Pre natal

Keadaan retardasi mental yang timbul akibat adanya masalah kesehatan sebelum bayi dilahirkan. Termasuk didalammnya adalah anomali cranial primer (misalnya hidrosefalus, mikrosefali) atau efek congenital yang tidak diketahui penyebabnya. Dapat juga akibat terpapar sinar X atau radiasi, penggunaan alat kontrasepsi, atau usaha melakukan aborsi saat ibu mengandung (hamil).

3. Masalah Post natal

Retardasi mental yang disebabkan oleh adanya neoplasma dan beberapa reaksi sel-sel otak yang nyata, tapi belum diketahui


(12)

penyebabnya (diduga bersifat herediter). Salah satu penyebab retardasi mental saat post natal adalah kelahiran bayi sebelum waktunya atau prematuritas.

4. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi

Semua keadaan retardasi mental yang disebabkan oleh gangguan metabolisme, baik metabolisme lemak, karbohidrat dan protein yang dapat mengganggu proses penyerapan zat-zat gizi di dalam tubuh. Termasuk diantaranya adalah kurang gizi dan nutrisi pertumbuhan. Gangguan gizi yang berat dan berlangsung lama sebelum anak berusia 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki asupan gizi sebelum anak berusia 6 tahun. Sesudah usia 6 tahun, biarpun anak diberikan makanan yang kaya akan gizi, tetap akan sulit meningkatkan tingkat intelegensi yang rendah akibat kekurangan gizi sebelumnya.

5. Kelainan kromosom

Retardasi mental yang diakibatkan kelainan kromosom, baik dalam jumlah atau bentuk kromosom, misalnya Down Syndrome (DS). 6. Gangguan jiwa yang berat

Untuk membuat diagnosis ini, harus jelas terjadi gangguan jiwa yang berat dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.


(13)

7. Deprivasi psikososial

Retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor biomedis atau sosial budaya.

2.4.3 Karakteristik Anak Retardasi Mental

Karakteristik umum anak retardasi mental (Sandra, 2010) yaitu: 1. Keterbatasan intelegensi

Adalah kemampuan belajar anak sangat kurang, khususnya yang bersifat abstrak, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Anak retardasi mental sering tidak mengerti apa yang sedang dipelajari atau cenderung belajar dengan meniru.

2. Keterbatasan sosial

Anak yang mengalami retardasi mental mengalami kesulitan dalam melakukan perawatan diri dan dalam kehidupan bermasyarakat. Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, memiliki ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya

Anak retardasi mental memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya, mereka akan memperlihatkan reaksi bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak retardasi mental


(14)

juga mengalami keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Selain itu, anak yang mengalami retardasi mental kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah. Ini semua dialami karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki anak retardasi mental sehingga mereka tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.

2.4.4 Klasifikasi Retardasi Mental

Retardasi mental dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu retardasi mental ringan, retardasi mental sedang, dan retardasi mental berat (Somantri, 2006) yaitu:

1. Retardasi Mental Ringan

Retardasi mental ringan disebut juga moron atau debil. Menurut Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental ringan berkisar antara 68-52, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan retardasi mental ringan berkisar antara 55-69. Penderita retardasi mental ringan masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Pada umumnya, penderita retardasi mental ringan tidak mengalami gangguan fisik. Secara fisik, penderita retardasi mental ringan tampak seperti anak normal. Penderita retardasi mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik dapat


(15)

pula bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun, penderita retardasi mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara mandiri. Penderita retardasi mental ringan biasanya akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat kesalahan.

2. Retardasi Mental Sedang

Retardasi mental sedang disebut juga imbesil. Menurut Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 36-51, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 40-54. Penderita retardasi mental sedang dapat dididik mengurus diri sendiri, misalnya mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya. Penderita retardasi mental sedang dapat pula dididik untuk melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Penderita retardasi mental sedang sangat sulit, bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain.


(16)

3. Retardasi Mental Berat

Retardasi mental berat disebut juga idiot. Menurut Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 20-35, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 25-39. Penderita retardasi mental berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain.

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep membahas saling ketergantungan antarvariabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika situasi atau hal yang sedang atau akan diteliti. Penyusunan kerangka konsep akan membantu untuk membuat hipotesis, menguji hubungan tertentu, dan membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang hanya dapat diamati atau diukur melalui variable (Nursalam, 2003). Berikut adalah kerangka konsep dalam penelitian ini:

X1

Y X2

Gambar 2.1: Kerangka Konsep

Pengetahuan Orangtua

Kemandirian Anak

Retardasi Mental

Sikap Orangtua


(17)

Keterangan :

X1 dan X2 = Variabel Bebas Y = Variabal Terikat

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu kesimpulan sementara atau jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003). Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis:

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.


(1)

penyebabnya (diduga bersifat herediter). Salah satu penyebab retardasi mental saat post natal adalah kelahiran bayi sebelum waktunya atau prematuritas.

4. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi

Semua keadaan retardasi mental yang disebabkan oleh gangguan metabolisme, baik metabolisme lemak, karbohidrat dan protein yang dapat mengganggu proses penyerapan zat-zat gizi di dalam tubuh. Termasuk diantaranya adalah kurang gizi dan nutrisi pertumbuhan. Gangguan gizi yang berat dan berlangsung lama sebelum anak berusia 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memperbaiki asupan gizi sebelum anak berusia 6 tahun. Sesudah usia 6 tahun, biarpun anak diberikan makanan yang kaya akan gizi, tetap akan sulit meningkatkan tingkat intelegensi yang rendah akibat kekurangan gizi sebelumnya.

5. Kelainan kromosom

Retardasi mental yang diakibatkan kelainan kromosom, baik dalam jumlah atau bentuk kromosom, misalnya Down Syndrome (DS). 6. Gangguan jiwa yang berat

Untuk membuat diagnosis ini, harus jelas terjadi gangguan jiwa yang berat dan tidak terdapat tanda-tanda patologi otak.


(2)

7. Deprivasi psikososial

Retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor biomedis atau sosial budaya.

2.4.3 Karakteristik Anak Retardasi Mental

Karakteristik umum anak retardasi mental (Sandra, 2010) yaitu: 1. Keterbatasan intelegensi

Adalah kemampuan belajar anak sangat kurang, khususnya yang bersifat abstrak, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Anak retardasi mental sering tidak mengerti apa yang sedang dipelajari atau cenderung belajar dengan meniru.

2. Keterbatasan sosial

Anak yang mengalami retardasi mental mengalami kesulitan dalam melakukan perawatan diri dan dalam kehidupan bermasyarakat. Anak retardasi mental cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, memiliki ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya

Anak retardasi mental memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya, mereka akan memperlihatkan reaksi bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak retardasi mental


(3)

juga mengalami keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Selain itu, anak yang mengalami retardasi mental kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah. Ini semua dialami karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki anak retardasi mental sehingga mereka tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.

2.4.4 Klasifikasi Retardasi Mental

Retardasi mental dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu retardasi mental ringan, retardasi mental sedang, dan retardasi mental berat (Somantri, 2006) yaitu:

1. Retardasi Mental Ringan

Retardasi mental ringan disebut juga moron atau debil. Menurut Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental ringan berkisar antara 68-52, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan retardasi mental ringan berkisar antara 55-69. Penderita retardasi mental ringan masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Pada umumnya, penderita retardasi mental ringan tidak mengalami gangguan fisik. Secara fisik, penderita retardasi mental ringan tampak seperti anak normal. Penderita retardasi mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik dapat


(4)

pula bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun, penderita retardasi mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara mandiri. Penderita retardasi mental ringan biasanya akan membelanjakan uangnya dengan lugu, tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat kesalahan.

2. Retardasi Mental Sedang

Retardasi mental sedang disebut juga imbesil. Menurut Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 36-51, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 40-54. Penderita retardasi mental sedang dapat dididik mengurus diri sendiri, misalnya mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya. Penderita retardasi mental sedang dapat pula dididik untuk melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Penderita retardasi mental sedang sangat sulit, bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun masih dapat menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain.


(5)

3. Retardasi Mental Berat

Retardasi mental berat disebut juga idiot. Menurut Binet, tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 20-35, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC), tingkat kecerdasan retardasi mental sedang berkisar antara 25-39. Penderita retardasi mental berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain.

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep membahas saling ketergantungan antarvariabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika situasi atau hal yang sedang atau akan diteliti. Penyusunan kerangka konsep akan membantu untuk membuat hipotesis, menguji hubungan tertentu, dan membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang hanya dapat diamati atau diukur melalui variable (Nursalam, 2003). Berikut adalah kerangka konsep dalam penelitian ini:

X1

Y X2

Gambar 2.1: Kerangka Konsep

Pengetahuan Orangtua

Kemandirian Anak

Retardasi Mental

Sikap Orangtua


(6)

Keterangan :

X1 dan X2 = Variabel Bebas Y = Variabal Terikat

2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan suatu kesimpulan sementara atau jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003). Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis:

Ha : Ada hubungan antara pengetahuan orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap orangtua terhadap kemandirian anak usia sekolah dengan retardasi mental di SLB Bina Putra Salatiga.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KEMANDIRIAN TOILET TRAINING PADA ANAK RETARDASI MENTAL Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Kemandirian Toilet Training Pada Anak Retardasi Mental Di SLB Negeri Surakarta.

0 1 18

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KEMANDIRIAN TOILET TRAINING PADA ANAK RETARDASI MENTAL Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Kemandirian Toilet Training Pada Anak Retardasi Mental Di SLB Negeri Surakarta.

0 4 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga T1 462007017 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga T1 462007017 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga T1 462007017 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap Kemandirian Anak Usia Sekolah dengan Retardasi Mental di SLB Bina Putra Salatiga

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga pada Anak dengan Retardasi Mental Ringan dan Sedang (Sebuah Studi Fenomenologi) T1 462009038 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental T1 802007090 BAB II

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Dukungan Sosial dengan Penerimaan Ibu dengan Anak Retardasi Mental di SLB N Semarang

0 0 2