Hubungan antara humility dan empati dengan forgiveness.
HUBUNGAN ANTARA HUMILITY DAN EMPATI DENGAN FORGIVENESS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
MOH. ALFAN ANAS WAHYU B07213023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
x
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara humility dan empati dengan forgiveness. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kuantitatif dengan teknik sampling simple random
sampling. Responden dalam penelitian ini adalah 82 mahasiswa santri
di pondok pesantren mahasiswa Al-Jihad Jl. Jemursari Utara III No.9, Jemur Wonosari, Wonocolo, Kota Surabaya. Hipotesis yang diajukan adalah (1) adanya hubungan antara variabel humility dan forgiveness, (2) adanya hubungan antara empati dengan forgiveness, (3) adanya hubungan antara humility dan empati secara bersama-sama dengan
forgiveness. Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis regression multiple linier (regresi linier berganda). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara humility dengan forgiveness (nilai korelasi 0,258 dan signifikansi 0,010 < 0,05), kemudian terdapat hubungan antara empati dengan forgiveness (nilai korelasi 0,393 dan signifikansi 0,000 < 0,05), dan selanjutnya terdapat hubungan pula antara Humility dan empati secara bersama-sama terhadap Forgiveness (nilai F hitung > F tabel (7,362 > 0,311)). Hasil temuan lainnya menunjukkan ada perbedaan tingkat forgiveness ditinjau dari variabel demografi usia dan jenis kelamin.
(7)
xi
ABSTRACT
This study aims to determine the relationship between humility and empathy with forgiveness. The research method used quantitative method with simple random sampling technique. Respondents in this study were 82 college students at the Islamic boarding school Al-Jihad, Jl. Jemursari Utara III No.9, Jemur Wonosari, Wonocolo, Surabaya City. The Hypothesis proposes is (1) the relationship between the variables of humility and forgiveness, (2) the relationship between empathy and forgiveness, (3) the relationship between humility and empathy operating together with forgiveness. Data obtained in the study were analyzed using multiple regression analysis technique (multiple linear regression). The results showed that there is relationship between humility and forgiveness (Correlation value 0258 And significance 0.010 <0.05), then There is Relationship between humility And forgiveness (Correlation value 0.393 and significance 0.000 <0.05), And then there is a relationship also between Humility And empathy Operate Together To Forgiveness (F value arithmetic> F table (7.362> 0.311)). Other findings show that there is a difference in forgiveness levels in terms of age and gender demographic variables.
Key word : humility, empathy, forgiveness
(8)
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Halaman Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... vi
Daftar Gambar ... vii
Daftar Tabel ... viii
Daftar Lampiran ... ix
Intisari ... x
Abstract ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Forgiveness ... 24
B. Humility ... 34
C. Empati ... 41
D. Hubungan Antara Humility dan Empatidengan Forgiveness ... 46
E. Landasan teoritis ... 48
F. Hipotesis ... 50
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 51
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 54
C. Teknik Pengumpulan Data ... 56
D. Validitas dan Reliabilitas Data ... 61
E. Analisis Data ... 70
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 71
B. Hasil penelitian... 77
C. Pembahasan ... 82
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 87
B. Saran ... 88
Daftar Pustaka ... 89
(9)
vii
DAFTAR GAMBAR
(10)
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 skor skala likert ... 57
Tabel 2 Blueprint skala forgiveness ... 58
Tabel 3 Blueprint skala humility ... 59
Tabel 4 Blueprint skala empati ... 61
Tabel 5 Sebaran aitem valid dan gugur skala Forgiveness ... 63
Tabel 6 Distribusi aitem skala Forgiveness setelah dilakukan try out ... 64
Tabel 7 Sebaran aitem valid dan gugur skala Humility ... 65
Tabel 8 Distribusi aitem skala Humility setelah dilakukan try out ... 66
Tabel 9 Sebaran aitem valid dan gugur skala Empati ... 67
Tabel 10 Distribusi aitem skala Empati setelah dilakukan try out ... 68
Tabel 11 Reliabilitas Statistik try out ... 69
Tabel 12 Data responden berdasarkan usia ... 72
Tabel 13 Data responden berdasarkan jenis kelamin ... 73
Tabel 14 Deskripsi data subjek berdasarkan usia ... 74
Tabel 15 Deskripsi data subjek berdasarkan jenis kelamin ... 75
Tabel 16 Hasil uji reliabilitas Forgiveness, Humility dan Empati ... 76
Tabel 17 Hasil uji normalitas ... 78
Tabel 18 Hasil uji linieritas ... 79
Tabel 19 Descriptive statisticForgiveness, Humility dan Empati ... 80
Tabel 20 Korelasi antara humility, empati dan forgiveness ... 80
Tabel 21 Anova hasil uji regresi variabel humility, empati dan forgiveness ... 81
Tabel 22 Model Summary hasil uji regresi variabel humility, empati dan forgiveness ... 82
(11)
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala try out ... 95
Lampiran 2 Validitas dan Reliabilitas data try out... 98
Lampiran 3 Skala setelah try out ... 102
Lampiran 4 Data mentah try out skala forgiveness ... 105
Lampiran 5 Skoring try out skala forgiveness ... 106
Lampiran 6 Data mentah try out skala humility ... 107
Lampiran 7 Skoring try out skala humility ... 208
Lampiran 8 Data mentah try out skala empati ... 109
Lampiran 9 Skoring try out skala empati ... 110
Lampiran 10 Data mentah Skala Forgiveness ... 111
Lampiran 11 Data mentah Skala Humility ... 113
Lampiran 12 Data mentah Skala Empati ... 115
Lampiran 13 Data hasil skoring skala Forgiveness ... 117
Lampiran 14 Data hasil skoring skala Humility ... 119
Lampiran 15 Data hasil skoring skala Empati ... 121
Lampiran 16 Deskripsi subjek berdasarkan jenis kelamin ... 123
Lampiran 17 Deskripsi subjek berdasarkan usia ... 126
Lampiran 18 Uji Reliabilitas forgiveness, Humility, Empati ... 136
Lampiran 19 Uji normalitas ... 136
Lampiran 20 Uji linieritas humility dengan forgiveness ... 137
Lampiran 21 Uji linieritas empati dengan forgiveness ... 137
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupannya tidak lepas dari hubungan dan interaksi dengan manusia atau individu lain. Manusia disebut zoon politicon oleh Aristoteles yang artinya makhluk sosial. Maksudnya manusia memerlukan orang lain dalam menjalani hidupnya, dan tidak bisa hidup sendiri. Manusia juga butuh berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial. Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Untuk itu, hubungan sosial menjadi penting bagi setiap manusia. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hubungan dengan orang lain akan menimbulkan konflik. (Hidayati,2012) .
Sedarmayanti (2000) mengemukakan bahwa konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan atau pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai (values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior). Dari beberapa definisi tentang konflik tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses yang terjadi antara individu dalam interaksinya dengan individu lain disebabkan perbedaan kebutuhan, perbedaan aktivitas dan perbedaan pandangan dalam suatu masalah.
(13)
2
Konflik bisa terjadi di berbagai kalangan, tidak terkecuali kalangan mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan usia mahasiswa masih tergolong remaja yang identik dengan masalah.. Menurut Hall, masa remaja adalah masa topan dan badai (storm and stress) karena pada masa ini remaja berada pada tahap kebebasan menentukan nasib sendiri. Pikiran, perasaan dan tindakan pada remaja berisi tentang kesombongan atau kerendahhatian, kebaikan atau godaan keburukan, serta kegembiraan atau kesedihan. Hall membatasi usia remaja yaitu berada pada rentang 12-23 tahun (Santrock, 2003).
Berikut hasil wawancara dengan salah satu mahasiswa dari universitas negeri Surabaya pada hari Sabtu 03 Juni 2017 mengenai konflik yang dialaminya.
“Saya kan seorang mahasiswa aktivis, saya sering mengikuti kegiatan demo yang dilakukan oleh organisasi saya. Kalau untuk terlibat konflik, hampir setiap demo saya terlibat konflik terutama dengan aparat petugas. karena pada waktu demo saya bertugas sebagai orator untuk membakar semangat para peserta demo yang lainnya. Dulu waktu demo masalah kenaikan BBM, Saya bersitegang dengan polisi dan bahkan sebagian dari kami ditangkap dan dibawa ke Polrestabes Surabaya. Itu menjadi hal yang tak terlupakan. Untuk konflik antar sesama mahasiswa juga pernah terutama antar organisasi. Dulu pernah konflik dengan salah satu ormak (organisasi mahasiswa ekstra) yang ada di UNESA namun hanya bersifat sementara dan tidak berlangsung lama. karena hanya perbedaan pandangan, setelah di perbincangkan urusannya selesai.”
Pada organisasi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya juga tidak jauh berbeda. berikut hasil wawancara dengan salah satu anggota unit kegiatan mahasiswa paduan suara di UIN Sunan Ampel Surabaya pada hari Minggu, 04 Juni 2017.
(14)
3
“Saya pernah terlibat konflik dengan organisasi ekstra di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dulu waktu kita sedang latihan untuk lomba ke luar negeri, ada saja yang dilakukan anggota organisasi ekstra tersebut untuk mengganggu kita latihan. Misal seperti membunyikan motor berknalpot brong dengan keras, bermain petasan di dekat tempat kami latihan, sampai mematikan listrik sehingga tidak bisa lanjut latihan. Kemudian setelah ditelisik, ketahuan yang sering mengganggu kita, ternyata benar dari salah satu dari anggota organisasi ekstra itu. Namun setelah beberapa lama gangguan itu hilang. Ternyata orang yang sering mengganggu tadi tangannya patah karena kecelakaan. Setelah itu rasa sakit hati kami lama-lama hilang. Saya kasihan dengan apa yang dialaminya. Saya coba pahami, mungkin dia merasa terganggu dengan latihan kami, makanya dia mengganggu”
Ternyata tidak hanya mahasiswa biasa yang mengalami konflik, namun mahasiswa yang tinggal di pondok pesantren juga mengalami hal yang sama. Hal ini terbukti ketika peneliti melakukan wawancara dengan salah satu mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya yang sekaligus santriwati salah satu pondok pesantren yang ada di sekitar kampus. Wawancara dilakukan pada hari Senin 19 Juni 2017.
“Sebenarnya masalahnya sepele, namun bikin hati geregetan. Saya mahasiswa sekaligus santri di salah satu pondok pesantren yang ada di dekat kampus UIN Sunan Ampel Surabaya. Jadi masalahnya waktu itu sudah larut malam dan kebanyakan para santri sudah tidur. Kemudian gak lama kemudian ada yang nyalakan lampu. Sontak seisi kamar bangun dengan kondisi marah termasuk saya, kepada salah seorang santri. Ya santri yang menyalakan lampu tersebut. Alasannya karena ingin belajar. Mana lampunya tidak mau dimatikan juga. Kalau ingin belajar harusnya di luar biar tidak mengganggu yang lain yang ingin istirahat. Saya jengkel sekali sama santri itu karena sikapnya egois. Namun setelah beberapa hari, ya rasa geregetannya mulai hilang. Saya mulai bisa mengerti karena dia juga mahasiswa, mungkin besoknya mau ada ujian mungkin, makanya malamnya belajar”.
Kasus serupa yang dimuat berdasarkan data dari media massa di Indonesia yaitu di SuaraMerdeka.com juga tidak jauh berbeda. Konflik ternyata tidak hanya terjadi pada siswa- siswa yang bersekolah di sekolah
(15)
4
umum, tetapi juga terjadi dikalangan para santri di pondok pesantren. Seperti aksi tawuran yang terjadi di Pasuruan Jawa Timur tanggal 15 Februari 2011. Tawuran ini terjadi antara santri pondok pesantren al- Islam yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam (YAPI) dengan kelompok Aswaja Bangil. Tawuran ini berawal rombongan santri yang bermotor pulang dari pengajian di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Di tengah jalan mereka menemukan santri YAPI sedang main bola, lalu terjadi ejek-ejekan yang berujung pada tawuran, kemudian dari situlah aksi tawuran terjadi, dari aksi tawuran tersebut mengakibatkan 6 santri luka-luka. (http://suara merdeka.com /v1/index.php/read/cetak/2011/02/17/137218/Menag-Kasus-Pasuruan -Hanya-Tawuran-Santri online. Diakses pada 17/05/2017). Manajemen emosi yang buruk serta kurangnya rasa saling memaafkan satu sama lain dapat memperburuk keadaan seseorang yang sedang terlibat konflik. Padahal lingkungan pesantren adalah lingkungan yang religius, di mana orang yang religius lebih mudah memaafkan bila terjadi konflik, seperti yang dikemukakan oleh Richard L. Gorsuch & Judy Y. Hao (1993) bahwa orang yang religius lebih memiliki kemauan untuk memaafkan, bekerja keras untuk memaafkan, serta tidak membenci orang yang telah melakukan kejahatan padanya.
Menurut Rostiana (1999), jika seseorang kurang terampil menjalin hubungan sosial maka konflik interpersonal akan mudah terjadi pada individu tersebut. Konflik interpersonal dirasa memiliki dampak paling signifikan bagi
(16)
5
individu. Berdasarkan penelitian Arif (2013) konflik interpersonal remaja adalah konflik yang sering dialami remaja dengan teman bermainnya. Remaja menilai lingkungan dan temannya berdasarkan keserasian atau kesamaan yang dimilikinya. Jika terdapat perbedaan, maka memicu timbulnya pengabaian dan kurangnya penerimaan. Selanjutnya, beberapa kesalahan yang dilakukan oleh individu seperti ketidaksetiaan, pengkhianatan, kebrutalan, dan agresivitas dapat memberikan luka dan korban jiwa yang sulit untuk dimaafkan. Hal ini menimbulkan frustrasi dikarenakan rasa kecewa yang kemudian dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, salah satunya berperilaku agresif ingin membalas.
Dampak buruk yang diterima individu dalam sebuah konflik interpersonal antara lain trauma, marah, benci, dendam, bersikap pasif, hilangnya kepercayaan dan semangat, tidak ingin bertemu pelaku (menghindar), cemas, khawatir, takut, stres, depresi dan sejenisnya (Nashori, Iskandar, Setiono, & Siswandi, 2011)
Burney dan Kromrey (2001) mengemukakan perlu adanya strategi manajemen kemarahan yang baik dan belajar mencari solusi positif sebagai alternatif bagi remaja untuk menghadapi suatu masalah. Karena itulah forgiveness merupakan hal yang penting karena dengan adanya forgiveness, berbagai masalah yang berlatar belakang konflik dapat terselesaikan. Hasil penelitian menunjukkan individu yang dapat memaafkan mengalami
(17)
6
penurunan kemarahan, kecemasan dan depresi akibat kekerasan di masa kecil secara signifikan (Snyder & Heinze, 2005).
Luskin (dalam Nashori, 2014) menyatakan bahwa individu yang memaafkan akan semakin jarang terlibat konflik. Oleh karena itu forgiveness merupakan salah satu cara dalam mencegah terjadinya konflik,. Hal tersebut menerangkan bahwa memaafkan merupakan salah satu metode resolusi konflik yang efektif untuk menyelesaikan konflik secara beradab, baik konflik kelompok maupun interpersonal.
Pendapat tersebut didukung oleh Worthington dan Scherer (2004) yang menyatakan bahwa forgiveness merupakan strategi emotion focused coping untuk meredakan stres, kesehatan yang baik, dukungan sosial, kualitas hubungan dan agama. Perilaku memaafkan (forgiveness) dapat digunakan oleh remaja untuk bisa melepaskan semua beban penderitaan seperti stres, menyimpan dendam, beban pikiran dan perasaan sakit. Selesainya suatu konflik ditandai dengan adanya saling menerima dan memaafkan baik pada peristiwa, pelaku dan kondisi.
Jika membahas tentang konflik dan forgiveness, maka tidak terlepas dari hubungan interpersonal, seperti yang diungkapkan oleh Landan (dalam Konstan, 2010) bahwa sesungguhnya forgiveness tidak bisa dilepaskan dari hubungan interpersonal, dan merupakan masalah dalam suatu hubungan. Forgiveness adalah sebuah perubahan niat oleh orang yang terluka kepada orang yang melakukan kesalahan, dimana perubahan ini dimotivasi oleh
(18)
7
beberapa tahapan, yaitu pelaku kesalahan menyadari kesalahannya, merasakan penyesalan terhadap perilaku tersebut, dan kemudian mengajukan keinginan untuk memulai kembali.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan forgiveness? Nashori (2014) mendefinisikan forgiveness dengan kesediaan untuk meninggalkan hal-hal tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal dengan menumbuhkan dan mengembangkan perasaan, pikiran dan hubungan yang lebih positif dengan orang yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan
McCullough, Rachal, Sandage, Everett, Wortington, Brown, dan Hight (1998) mengemukakan bahwa forgiveness adalah seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk konsiliasi dengan pihak yang menyakiti
Forgiveness merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah perasaan negatif atau tidak menyenangkan yang dirasakan akibat pelaku, tindakan, peristiwa dan situasi yang dialaminya menjadi perasaan positif dengan menerima dan mengambangkan menjadi rasa kasih, iba dan cinta (Kusprayosi & Nashrori, 2016).
Tingkat forgiveness setiap orang berbeda-beda. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya forgiveness. Penelitian Girard dan Mullet (1997) menemukan perbedaan tingkat dan proses forgiveness berdasarkan usia, mereka mengklasifikasikan usia partisipan kedalam empat
(19)
8
kategori yaitu remaja, muda, paruh baya dan tua. Hasilnya usia berpengaruh signifikan secara linier, artinya semakin tua usia seseorang maka semakin mudah ia memaafkan.
Adapun menurut Richard L. Gorsuch & Judy Y. Hao (1993) bahwa orang yang religius lebih memiliki kemauan untuk memaafkan, bekerja keras untuk memaafkan, serta tidak membenci orang yang telah melakukan kejahatan padanya.
Dalam ajaran agama Islam juga mengajarkan kita sebagai Muslim untuk saling memaafkan antar sesama. Dalam Surat Ali Imron ayat 133-134 dijelaskan tentang menahan amarah serta perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Allah SWT berfirman:
⎦⎪Ï%©!$# ∩⊇⊂⊂∪ ⎦⎫t É)−Gßϑù=Ï9 ôN£‰Ïãé& ÞÚö‘F{$#uρ ßN≡θ≈u yϑ™¡9$# $yγàÊótã >π¨Ψy_ρ u öΝà6nÎ/§‘ ⎯iÏΒ ο; tÏøótΒ 4’n<Î) (#þθãÍ‘$y™uρ *
∩⊇⊂⊆∪ š⎥⎫ÏΖÅ¡ósßϑø9# =Ïtä$ † ª!$#uρ 3 Ĩ$¨Ψ9# Ç$ ⎯tã t⎦⎫Ïù$yèø9#$uρ xáø‹tóø9$# t⎦⎫ÏϑÏà≈x6ø9#$uρ Ï™!#§œØ9#$uρ Ï™!#§œ£9# $ ’Îû tβθà)ÏΖム“Artinya : dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,(133) (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(134)”.(Departemen Agama, 2005)
Berdasarkan ayat ini dijelaskan bahwa ketika terjadi tindakan yang menyakitkan dari orang lain terhadap diri yang menimbulkan kemarahan yaitu hati yang penuh dengan sakit hati yang akan menimbulkan balas dendam
(20)
9
dengan perkataan maupun perbuatan. Orang-orang tersebut tidaklah bertindak menurut tabiat kemanusiaannya, akan tetapi lebih baik menahan apa yang ada dalam hati dari kemarahan dan menghadapi orang yang menyakiti dengan kesabaran.
Mahasiswa yang sekaligus menjadi santri memiliki pribadi yang religius karena pondok pesantren membentuk karakter seseorang menjadi religius. Orang yang religius akan menjadikan agamanya sebagai dasar dalam kesehariannya. Otomatis santri-santri tersebut akan mengamalkan perintah-perintah yang sudah tertulis dalam Al-Qur'an, terutama mengenai perintah-perintah saling memaafkan yang terkandung dalam Surat Ali Imron ayat 133-134 tersebut.
Namun tidak semua orang mau dan mampu secara tulus memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain termasuk mahasiswa santri. Proses memaafkan memerlukan waktu, kemauan kuat dan latihan mental karena terkait dengan emosi manusia yang fluktuatif, dinamis dan sangat reaktif terhadap stimulan luar. Karenanya, tidak mengherankan bila ada individu ataupun kelompok ekstrim yang melakukan perbuatan anti sosial sebagai akibat dari dendam dan kekecewaan masa lalu yang tidak termaafkan. Ada beberapa upaya yang dilakukan untuk bisa memaafkan yaitu dengan menggunakan rasa rendah hati dan empati yang ada pada diri sendiri.
Elliot (2010) menyatakan humility atau kerendahan hati adalah kemampuan untuk mengakui kesalahan diri, ketidaksempurnaan,
(21)
10
kesenjangan/keterbatasan diri dan keterbukaan untuk menerima ide-ide baru, informasi, dan saran. Dapat juga dikatakan sebagai penilaian yang akurat dari kemampuan seseorang dan prestasi dirinya.
Teori McCullough, (1998) menyatakan kepribadian merupakan faktor pembentuk forgiveness. Dalam hal ini peneliti mengacu pada penelitian Ashton dan Lee (2007) yang menyatakan ada aspek kepribadian dalam struktur kepribadian HEXACO yang memiliki sifat hampir sama dengan tipe ekstrovert. Ashton dan Lee (2007) menyatakan bahwa Honest-Humility adalah salah satu aspek kepribadian dalam struktur kepribadian HEXACO personality yang memiliki sifat jujur, setia/loyal, sederhana, berpikiran adil dan tulus, sikap tersebut berlawanan dengan keserakahan, penghindaran, licik, sok, munafik, sombong, dan angkuh.
Penelitian yang dilakukan oleh Kusprayogi dan Nashori (2016) menunjukkan hasil bahwasanya orang dengan humility atau yang memiliki kerendahan hati, akan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Selain humility, empati juga dianggap mampu menurunkan rasa amarah dan memunculkan perilaku memaafkan. Menurut Hurlock (1999) empati pada diri remaja, akan dapat menggerakkan hati dan perilakunya untuk memaafkan pasangannya walaupun pasangannya telah melakukan suatu kesalahan, ataupun perlakuan yang tidak menyenangkan. Goleman (1999) mengungkapkan empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang kepada emosi diri sendiri, semakin terampil pula dalam
(22)
11
membaca perasaan. Setiap hubungan yang merupakan akar kepedulian berasal dari penyesuaian emosional, dari kemampuan untuk berempati, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan kehidupannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rianda Elvinawanty dan Liana Mailani (2016) menunjukkan hasil bahwa empati memiliki hubungan yang signifikan dengan forgiveness. Di mana semakin tinggi empati, maka semakin mudah seseorang untuk memberikan maaf.
Penelitian lain dilakukan oleh Dwi Indra Lestari dan Ivan Muhammad Agung (2016) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa antara empati dengan forgiveness terdapat hubungan yang positif. Artinya semakin tinggi empati mahasiswa maka semakin tinggi pula forgiveness-nya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah empati mahasiswa maka semakin rendah juga forgiveness-nya
Empati dianggap mampu untuk menurunkan motivasi balas dendam dan menghindari transgressor dan mendorong munculnya motivasi untuk berbelas kasih terhadap transgressor (McCullough, 2000). Lebih lanjut, perubahan motivasi ini dapat terjadi karena empati membuat korban untuk peduli terhadap transgressor atas dasar (a) membayangkan rasa bersalah atau berdosa distress yang dialami transgressor, (b) membayangkan keinginan transgressor untuk kembali membangun hubungan yang baik dengan dirinya,
(23)
12
atau (c) keinginan dari dalam diri korban untuk memperbaiki hubungan dengan transgressor.
Mahasiswa yang tinggal di pesantren memiliki tingkat religiusitas yang lebih daripada mahasiswa yang tidak berada di pondok pesantren, dan orang yang religiusitasnya tinggi, semakin tinggi pula forgiveness-nya (Tri Kurniati, 2015). Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti forgiveness pada mahasiswa pesantren dengan humility dan empati sebagai faktor yang mempengaruhinya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara humility dengan forgiveness? 2. Apakah terdapat hubungan antara Empati dengan forgiveness?
3. Apakah terdapat hubungan antara humility dan Empati secara bersama-sama dengan forgiveness?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara humility dengan forgiveness. 2. Untuk mengetahui hubungan antara empati dengan forgiveness.
3. Untuk mengetahui hubungan antara humility dan empati secara bersama-sama dengan forgiveness.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
(24)
13
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu psikologi, terutama psikologi sosial karena berhubungan dengan interaksi antar sesama manusia sebagai makhluk sosial.
2. Manfaat praktis
a. Manfaat bagi penulis, yaitu untuk memperbanyak wawasan penulis dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan memahami forgiveness sebagai strategi untuk mengatasi konflik.
b. Manfaat bagi mahasiswa, diharapkan menjadi bahan untuk evaluasi perbaikan diri karena sering munculnya konflik antar mahasiswa. Dan diharapkan hasil penelitian ini pula menjadi motivasi untuk bertoleransi dan memaafkan sesama.
c. Manfaat kepada peneliti lain, diharapkan penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya. Khususnya penelitian mengenai forgiveness
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Kusprayogi dan Nashori (2016) dengan judul “kerendahhatian dan pemaafan pada mahasiswa”. Responden penelitian ini adalah 252 mahasiswa Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Responden penelitian berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, rentang usia remaja akhir hingga memasuki dewasa
(25)
14
awal 17-24 tahun. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam bentuk skala alat ukur yaitu skala forgiveness dan skala humility.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis dan korelasi Product moment dari Pearson yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel forgiveness dan humility. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara humility dan forgiveness(r= 0, 508 dan p<0, 05) dengan kontribusi variabel humility pada forgiveness sebesar 25, 8%. Hasil lainnya menunjukkan ada perbedaan aspek humility yang berkontribusi pada forgiveness ditinjau dari variabel demografi usia dan jenis kelamin. Penelitian ini memiliki persamaan yaitu meneliti hubungan antara kerendahan hati (humility) dan pemaafan (forgiveness).
Penelitian lain dilakukan oleh Dwi Indra Lestari dan Ivan Muhammad Agung (2016) dengan judul “empati dan forgiveness pada mahasiswa fakultas psikologi uin suska riau”. Peneliti mengambil 9 kelas yang dijadikan sampel penelitian sehingga didapatkan sampel sebanyak 309 orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan cluster random sampling. Cluster random sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara melakukan randomisasi terhadap kelompok, bukan terhadap subjek secara individual. Peneliti mengambil beberapa kelas yang akan dijadikan sampel secara acak berdasarkan jumlah seluruh kelas dari angkatan tahun 2009 sampai tahun 2013 dengan cara undian. Pengukuran
(26)
15
dalam penelitian ini menggunakan dua alat ukur dengan jenis skala model Likert, yaitu forgiveness dan empati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan positif antara empati dengan forgiveness pada mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Suska Riau. Uji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi Rank Spearman dengan bantuan spss 16.0 for windows diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,316 dengan taraf signifikansi 0,000. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara empati dengan forgiveness terdapat hubungan yang positif. Artinya semakin tinggi empati mahasiswa maka semakin tinggi pula forgiveness-nya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah empati mahasiswa maka semakin rendah juga forgiveness-nya.
Penelitian sejenis dilakukan pula oleh Puji Untari (2014) dengan judul “hubungan antara empati dengan sikap pemaaf pada remaja putri yang mengalami kekerasan dalam berpacaran”. Penelitian Puji Untari menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja putri yang mengalami kekerasan dalam berpacaran dan mengalami salah satu bentuk kekerasan baik berupa kekerasan fisik, Psikis, ekonomi, dan kekerasan seksual. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner (angket). Alat pengukuran atau instrument yang digunakan ada dua macam yaitu skala forgiveness dan empati. Analisis data yang dilakukan untuk pengolahan data penelitian adalah menggunakan dianalisis dengan pendekatan statistic. Pengujian hipotesis
(27)
16
dalam penelitian ini menggunakan uji analisis korelasi product momen menggunakan program SPSS (Statistical Package for Sosial Science) 20.0 for window.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara empati dengan forgiveness pada remaja putri yang mengalami kekerasan dalam berpacaran. Hal ini ditunjukkan dengan nilai r = 0.539, dan p = 0.000. Selain itu, nilai r = 0.539 yang diperoleh pada penelitian ini berada pada rentang nilai antara 0,40-0,599 dapat diartikan bahwa korelasi dinyatakan sedang.
Penelitian yang dilakukan oleh Rianda Elvinawanty dan Liana Mailani (2016) dengan judul “forgiveness ditinjau dari empathy pada pasangan suami istri di kelurahan binjai kecamatan medan denai” juga tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Rianda Elvinawanty dan Liana Mailani menggunakan populasi pasangan suami istri di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan pembagian skala, yaitu skala forgiveness dan empathy, skala disusun dalam bentuk pernyataan dengan menggunakan skala Likert. Analisis data menggunakan korelasi Product Moment dengan bantuan SPSS 2.1 for windows untuk mengetahui bagaimana hubungan antara variabel empathy dengan variabel forgiveness.
(28)
17
Berdasarkan hasil uji Pearson Correlation pada hipotesis membuktikan bahwa ada hubungan positif antara empathy dengan forgiveness dengan nilai koefisien korelasi product moment = 0,847 dan p = 0,000 (p < 0,005), yang artinya semakin tinggi empathy, semakin tinggi pula forgiveness, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif empathy terhadap forgiveness adalah sebesar 71,8 persen, dan selebihnya 28,2 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti seperti kepribadian, gratitude, resilience, spirituality, dan relationship satisfaction.
Penelitian dengan variabel yang sama dilakukan oleh Tri kurniati amrilah, dan Prasetyo budi widodo (2015) dengan judul “Religiusitas dan pemaafan dalam konflik organisasi pada aktivis islam di kampus universitas diponegoro”. Sampel yang digunakan sebanyak 191 mahasiswa. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode self report dengan bantuan instrumen berupa skala.
Hasil uji hipotesis diperoleh koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,580 dengan nilai signifikasi (p) = 0,000 (p<0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dan pemaafan pada mahasiswa aktivis islam universitas diponegoro. Hubungan tersebut bersifat positif, hal ini terlihat dari angka koefisien korelasi yang bernilai positif. Hubungan positif ini mencerminkan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas individu maka akan semakin tinggi pula kesediaannya untuk
(29)
18
memaafkan. Begitu pula sebaliknya, apabila tingkat religiusitas individu rendah maka kesediaannya untuk memaafkan pun rendah.
Penelitian sejenis dilakukan oleh Mehmet Çardak (2013) dengan judul “The relationship between forgiveness and humility: a case study for university students”. Responden penelitian ini adalah mahasiswa sebanyak 346 orang, 180 (52%) adalah perempuan dan 166 (48%) laki-laki. Mereka mendaftarkan diri di midsize state university turkey. Usia mereka berkisar 18-34 tahun dan usia rata-rata peserta 23.9 tahun. penelitian ini menggunakan SPSS versi 17.0 untuk analisis datanya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa standar deviasi dan inter-correlation variabel yang digunakan. Awal korelasi analisis menunjukkan bahwa keterbukaan yang terkait negatif (r =-.21), dan self-forgetfulness (r =. 34), sederhana self-assessment (r =. 41), focus on others (r =. 33), dan total humility (r =. 52) berhubungan secara positif dengan forgiveness
Berdasarkan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa dimensi humility mempengaruhi forgiveness secara langsung. Siswa yang tingkat humility-nya tinggi cenderung memiliki tingkat forgiveness yang tinggi pula. Oleh karena itu, penelitian ini meningkatkan pemahaman kita tentang hubungan antara humility dan forgiveness. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa humility bisa sangat bermanfaat untuk meningkatkan tingkat forgiveness dalam masyarakat.
(30)
19
Penelitian lain dilakukan juga oleh Steven Shepherd dan Kathryn Belicki (2008) dengan judul “Trait forgiveness and traitedness within the hexaco model of personality”. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa sarjana sebanyak 178 orang, dengan rincian 146 perempuan dan 32 laki-laki. Modal usia peserta adalah 18 tahun, dengan usia rata-rata dari 19.49 (SD = 3.82). Usia berkisar 18-50 tahun. Analisis reliabilitas menemukan bahwa semua tindakan telah diterima tingkat konsistensi internal. Cronbach's alphas adalah sebagai berikut: tntf = .71, ttf = 0,72, hfs (diri) = 0,68, hfs (lainnya) = 0,83, hfs (situasi) = .74, tfs = 0,79, HEXACO = 0,78 sampai 0,89.
Ada bukti yang beragam untuk prediksi bahwa Honest-Humility akan sangat terkait dengan tindakan forgiveness yang berisi konten membalas dendam dan retribusi (khususnya, tfs dan forgiveness orang lain dari hfs). Secara khusus, sementara Honest-Humility sangat terkait erat ke tfs, itu tidak muncul sebagai prediktor unik untuk forgiveness dari orang lain subscale akhirnya, kehati-hatian dan ketekunan aspek hati nurani sering dikaitkan dengan forgiveness. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4 bahwa mayoritas peserta menyatakan bahwa kemungkinan mereka memaafkan seseorang sebagian besar atau lebih selalu tergantung situasinya, menunjukkan faktor situasional sangat penting untuk menentukan apakah akan mengampuni atau tidak.
Penelitian sejenis dilakukan Frank D. Fincham, F. Giorgia paleari, And camillo (2002) regalia dengan judul “Forgiveness in marriage: the role of relationship quality, attributions, and empathy”. Seratus dua puluh delapan
(31)
20
pasangan Italia menikah dengan seorang anak remaja selama tiga tahun terakhir, sekolah menengah menghubungi anak-anak sekolah sebagai bagian dari proyek yang lebih besar. Mereka dikirim surat yang memperkenalkan penelitian ini sebagai survei hubungan keluarga dan mengundang mereka untuk berpartisipasi. Dari pasangan yang memenuhi syarat, 72% setuju untuk berpartisipasi; 92 istri dan 79 suami kembali mengisi kuesioner.
Model hipotesis memberikan data yang sesuai dengan data, 2 = 23,837 (df = 21, p = .30), cfi = .990, dan rmsea = .029, namun statistik lm? 2 dan nilai probabilitas terkait menyarankan bahwa batasan kesetaraan yang terkait dengan jalur f (dari atribusi jinak terhadap forgiveness) dan saya (dari empati emosional untuk memaafkan) tidak sesuai. Ketika dua kendala dilepaskan, model fit meningkat secara signifikan, 2 (2) = 7,61, p <.05 (statistik fit adalah 2 (19) = 16,237, p = .64; cfi = 1.000; rmsea = .000), menunjukkan bahwa bobot beta terkait dengan jalur dari atribusi untuk memaafkan dan dari empati emosional untuk memaafkan dapat dipercaya berbeda untuk suami dan istri. Namun, karena banyak jalan yang hampir nol tetap berada dalam model yang dapat di rekonsiliasi. Akhirnya, bertentangan dengan prediksi, kualitas perkawinan tidak terkait langsung dengan forgiveness, reaksi afektif, atau empati emosional. Ini terkait dengan variabel-variabel ini hanya secara tidak langsung melalui rantai sebab-sebab dimana tanggung jawab atribusi terbukti memainkan peran penting.
(32)
21
Penelitian lain dilakukan oleh Christie powers, ruth k. Nam, wade C. Rowatt, and peter C. Hill(2007)dengan judul “Associations between humility, spiritual transcendence, and forgiveness”. Seratus dua puluh empat mahasiswa sarjana di sebuah institusi swasta berpartisipasi dalam pembayaran uang tunai ($12) atau untuk memenuhi persyaratan partisipasi penelitian kursus (38 pria, 86 wanita, rata-rata berusia 19,28 tahun, sd = 1,24). Sampelnya agak beragam dengan anggap etnisitas (66,9% orang kulit putih, 15,3% asia, hispanik 8,1% hispanik, 6,5% orang amerika keturunan afrika, dan 3,2% etnis lain)
Untuk mendukung hipotesis forgiveness - humility, beberapa asosiasi positif ditemukan di antara humility dan forgiveness yang dilaporkan sendiri saat manajemen kesan dikendalikan (lihat tabel 2). Sebagai contoh, skala humility hill secara signifikan dan berkorelasi positif dengan bentuk pendek forgiveness (r = .30), kecenderungan untuk memaafkan (r = .29), sikap terhadap forgiveness (r = .31), dan tntf (r = .39). Selain itu, humility yang dilaporkan sendiri relatif terhadap ukuran arogansi yang berkorelasi secara signifikan dengan harga diri implisit (r = .18), bentuk forgiveness pendek (r = .34), kecenderungan untuk memaafkan (r = 30), dan tntf (r = .21), namun tidak dengan sikap terhadap ukuran forgiveness (r = .05). Ukuran humility implisit berkorelasi positif dengan sikap terhadap forgiveness (r = .22) sedangkan harga diri implisit berkorelasi dengan bentuk pendek forgiveness (r = .21)
(33)
22
Penelitian dengan variable yang sama juga dilakukan oleh Ann Macaskill John maltby Lea day (2012) dengan judul “Forgiveness of self and others and emotional empathy”. Dalam penelitian kali ini, 324 mahasiswa s1 inggris (100 pria, 224 wanita), berusia antara 18 dan 51 tahun (m = 22,03, sd = 6,10). Menyelesaikan forgiveness diri, forgiveness orang lain dan empati emosional. Kami menggunakan mauger karena ukuran skala forgiveness mengkonseptualisasikan dua aspek sikap pemaaf dan perilaku - forgiveness diri sendiri dan forgiveness orang lain. Kami menggunakan ukuran empati emosional (mehrabian & epstein) karena mencakup dua pendekatan teoritis yang terkait dengan empati- (a) kecenderungan untuk mengenali perasaan orang lain dan (b) usaha individu untuk berbagi emosi.
Laki-laki (M = 33,00, SD = 15,20). Kami menghitung korelasi Pearson (dua sisi) di antara semua ukuran untuk pria dan wanita secara terpisah. Kami tidak menemukan korelasi yang signifikan antara kedua ukuran forgiveness untuk pria, r (99) = -.03, p> 0,05, atau untuk wanita, 4223) = -,07, p> 0,05, dan antara ukuran forgiveness diri dan empati emosional untuk pria, 499) = -. 11, p> 0,05, atau untuk wanita, r (223) = -,07, p> 0,05. Namun, korelasi positif yang signifikan muncul antara forgiveness orang lain dan empati emosional untuk pria, 499) = .23, p c .05, dan wanita, 4223) = .33, p <.01
Menurut temuan ini, wanita tersebut mencetak skor lebih tinggi secara keseluruhan dibandingkan pria dengan empati, namun tidak ada perbedaan gender pada skor forgiveness secara keseluruhan. Terlepas dari perbedaan
(34)
23
nilai empati, temuan tersebut menunjukkan bahwa, di antara pria dan wanita, individu dengan tingkat empati yang lebih tinggi merasa lebih mudah bekerja untuk memaafkan orang lain, namun tidak harus memaafkan diri mereka sendiri. Terlepas dari spekulasi itu, temuan kami menunjukkan bahwa empati emosional berkorelasi positif dengan forgiveness kepada orang lain, namun tidak dengan forgiveness terhadap diri sendiri.
Berdasarkan paparan hasil penelitian-penelitian mengenai forgiveness sebelumnya, pada penelitian kali ini terdapat perbedaan jumlah variabel yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya forgiveness hanya dikaitkan dengan satu variabel saja. Namun pada penelitian ini, terdapat dua variabel yang dikaitkan dengan forgiveness yaitu variabel humility dan empati. Adanya dua variabel tersebut yang menjadi pembeda penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, khususnya penelitian-penelitian mengenai forgiveness. Oleh karena itu peneliti menggunakan judul “hubungan antara humility dan empati dengan forgiveness”.
(35)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Forgiveness
1. Pengertian forgiveness
Menurut McCullough, forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap pelaku, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku, sebaliknya adanya keinginan untuk berdamai dan berbuat baik terhadap pelaku, walaupun pelaku telah melakukan perilaku yang menyakitkan. Enright mengatakan bahwa forgiveness berhubungan dengan keinginan orang yang telah disakiti untuk menghilangkan kemarahan, melawan dorongan-dorongan untuk menghukum, berhenti untuk marah. Dengan memaafkan adanya perubahan sikap yang sebelumnya ingin membalas dendam dan menjauhi pelaku, maka dengan memaafkan seseorang memiliki keinginan untuk berdamai dengan pelaku, dimana perilaku memaafkan ini akan tampil dalam pikiran, perasaan atau tingkah laku orang yang telah disakiti (Sari, 2012)
Griswold mengungkapkan bahwasanya forgiveness adalah proses memaafkan dimana emosi negatif berubah menjadi positif untuk tujuan membawa normal kembali hubungan emosional. Memaafkan juga
(36)
25
merupakan konsep dengan akar agama yang mendalam. Sebagian tradisi keagamaan termasuk ajaran tentang sifat forgiveness (Manfred, 1986).
Dalam psikologi Islam, forgiveness dibagi menjadi tiga bagian yakni forgiveness untuk diri mereka sendiri, untuk orang lain dan Allah kepada orang-orang. Forgiveness merupakan penting melalui pengaruh agama, sedangkan pada kesehatan, forgiveness adalah cara yang ampuh untuk mengubah luka ketika mereka merasa tidak nyaman dan sulit (Hamidi, 2010)
Forgiveness merupakan salah satu dari berbagai kajian dalam psikologi positif, yaitu pendekatan ilmiah dan terapan untuk mengungkap berbagai kekuatan seseorang dan mendorong fungsi positif mereka. Memaafkan bahkan dianggap sebagai salah satu penanggulangan masalah yang berfokus pada emosi yang dapat mengurangi risiko kesehatan dan meningkatkan resiliensi sehat (Rahmandani, 2015)
Yang dimaksud forgiveness dalam penelitian ini mengutip dari pendapat McCullough dalam Sari (2012), adalah sikap individu yang merasa disakiti untuk memaafkan dan tidak balas dendam kepada orang yang telah menyakitinya. Individu tersebut mengubah perasaan-perasaan yang negatif akibat tindakan menyakitkan dari orang lain menjadi ke sikap positif. Dalam hal ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sesama mahasiswa yang terkadang menyakiti mahasiswa yang lain.
(37)
26
2. Aspek forgiveness
Menurut McCullough (2000), aspek forgiveness terdiri dari:
a. Avoidance Motivation (Motivasi untuk Menghindar)
Semakin menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku, membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah menyakitinya
b. Revenge Motivation (Motivasi untuk Balas Dendam)
Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu hubungan mitra, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang telah menyakiti.
c. Benevolence Motivation (Motivasi untuk Berbuat Baik)
Semakin individu termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku meskipun pelanggarannya termasuk tindakan berbahaya, keinginan untuk berdamai atau melihat well-being orang yang menyakitinya.
3. Faktor yang mempengaruhi forgiveness
Keinginan seseorang untuk memaafkan tidak muncul begitu saja tetapi dipengaruhi oleh banyak hal. Forgiveness dipengaruhi oleh penilaian korban terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan kejadian dan keinginan untuk menjauhi pelaku. McCullough dkk.,
(38)
27
menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk memaafkan (Sari, 2012), yaitu:
a. Sosial Kognitif
Perilaku memaafkan dipengaruhi oleh penilaian korban terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan kejadian, dan keinginan untuk menjauhi pelaku. Hal lainnya yang mempengaruhi perilaku memaafkan adalah Rumination About the Transgression, yaitu kecenderungan korban untuk terus menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan, sehingga menghalangi dirinya untuk terciptanya perilaku memaafkan.
b. Karakteristik serangan
Seseorang akan lebih sulit memaafkan kejadian-kejadian yang dianggap penting dan bermakna dalam hidupnya. Misalnya, seseorang akan sulit memaafkan perselingkuhan yang dilakukan suaminya dibandingkan memaafkan perilaku orang lain yang menyalip antrian. Girard dkk. menyebutkan bahwa semakin penting dan semakin bermakna suatu kejadian, maka akan semakin sulit untuk seseorang memaafkan.
c. Kualitas hubungan Interpersonal
Faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku memaafkan adalah kedekatan atau hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku. Penelitian membuktikan bahwa pasangan cenderung akan
(39)
28
memaafkan perilaku pasangannya apabila terciptanya kepuasan dalam perkawinan, kedekatan antara satu sama lainnya dan adanya komitmen yang kuat. Ada tiga bentuk hubungan yang berkaitan dengan diberikannya forgiveness. Pertama, selama menjalani masa perkawinan, adanya pengalaman atau sejarah yang dilalui bersama dimana pasangan satu sama lainnya saling berbagi perasaan dan pikiran, sehingga ketika salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka pasangannya akan dapat memaafkan dengan berempati terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pasangannya. Kedua, kemampuan pasangan untuk memaknai bahwa peristiwa menyakitkan terjadi untuk kebaikan dirinya. Ketiga, pasangan yang melakukan kesalahan akan meminta maaf dengan memperlihatkan rasa penyesalan yang mendalam, sehingga pasangannya akan berusaha untuk memaafkan. d. Faktor kepribadian
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi forgiveness, McCullough menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi seseorang untuk memaafkan. Salah satunya yaitu humility. Humility merupakan salah satu dari dimensi Struktur kepribadian HEXACO yang dikemukakan oleh Ashton dan Lee (2007)
Mengutip dari penelitian Wardhati dan Faturochman (2006), bahwa Munculnya kemampuan memaafkan dalam hubungan
(40)
29
interpersonal merupakan hasil interaksi yang kompleks. Beberapa penelitian menunjukkan memaafkan berhubungan dengan kebahagiaan psikologis (Karremans dkk, 2003), empati (McCullough dkk, 1997; Zecbmeister dan Romero, 2002; Macaskil dkk, 2002), permohonan maaf dan perspective taking (Takaku, 2001), atribusi dan penilaian kekejaman orang yang menyakiti (McCullough dkk, 2003). Kemudian Wardhati dan Faturochman (2006) menjelaskan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemberian maaf yang mereka kutip dari pendapat beberapa ahli tersebut, yaitu:
a. Empati
Melalui empati terhadap pelaku, seseorang dapat memahami perasaan pelaku merasa bersalah dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pelaku.
b. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya
Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk forgiveness) di masa mendatang.
(41)
30
c. Tingkat kelukaan
Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun melukai. Sehingga mereka pun menggunakan berbagai cara untuk menyangkal rasa sakit hati mereka. Ketika hal ini terjadi, maka forgiveness tidak bisa atau sulit terwujudkan.
d. Karakteristik kepribadian
Ciri kepribadian tertentu seperti ekstrovert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan.
Salah satu Struktur kepribadian yang dikemukakan oleh Ashton dan Lee (2007) adalah HEXACO. HEXACO adalah tipe kepribadian yang terdiri dari enam dimensi, dikembangkan oleh Ashton dan Lee dari beberapa studi leksikal (Ashton & Lee, 2007). Enam faktor atau dimensi tersebut yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), extraversion (X), Agreeableness (A), Conscientiousness (C), dan Openness to Experience (O).
(42)
31
e. Kualitas hubungan
Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku forgiveness dalam hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menilai hubungan antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor forgiveness antara lain: faktor sosial-kognitif, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, kualitas hubungan interpersonal, karakteristik kepribadian, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya dan empati.
4. Tahapan Forgiveness
Lewis B. Smedes (1984) dalam bukunya Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don’t Deserve, membagi empat tahap pemberian maaf (Wardhati dan Faturochman, 2006), diantaranya sebagai berikut: a. Membalut sakit hati.
Sakit hati yang dibiarkan berarti merasakan sakit tanpa mengobatinya sehingga lambat laun akan menggerogoti kebahagian
(43)
32
dan ketentraman. Oleh karena itu, meredakan dan memadamkan kebencian terhadap seseorang yang menyakiti bila dibalut, apalagi ditambah dengan obat, ibaratnya memberi antibiotik untuk mematikan sumber sakit.
b. Meredakan kebencian.
Kebencian adalah respon alami seseorang terhadap sakit hati yang mendalam dan kebencian yang memerlukan penyembuhan. Kebencian sangat berbahaya kalau dibiarkan berjalan terus. Tidak ada kebaikan apapun yang datang dari kebencian yang dimiliki seseorang. Kebencian sesungguhnya melukai si pembenci sendiri melebihi orang yang dibenci.
Kebencian tidak bisa mengubah apapun menjadi lebih baik bahkan kebencian akan membuat banyak hal menjadi lebih buruk. Dengan berusaha memahami alasan orang lain menyakiti atau mencari dalih baginya atau introspeksi sehingga ia dapat menerima perlakuan yang menyakitkan maka akan berkurang atau hilanglah kebencian itu. c. Upaya penyembuhan diri sendiri.
Seseorang tidak mudah melepaskan kesalahan yang dilakukan orang lain. Akan lebih mudah dengan jalan melepaskan orang itu dari kesalahannya dalam ingatannya. Kalau ia bisa melepaskan kesalahan dalam ingatan berarti ia memperbudak diri sendiri dengan masa lalu yang menyakitkan hati. Kalau ia tidak bisa membebaskan orang lain
(44)
33
dari kesalahannya dan melihat mereka sebagai orang yang kekurangan sebagaimana adanya berarti membalikkan masa depannya dengan melepaskan orang lain dari masa lalu mereka. Memaafkan adalah pelepasan yang jujur walaupun hal itu dilakukan di dalam hati. Pemberi maaf sejati tidak berpura- pura bahwa mereka tidak menderita dan tidak berpura- pura bahwa orang yang bersalah tidak begitu penting. Asumsinya, memaafkan adalah melepaskan orang yang serta berdamai dengan diri sendiri dan orang lain.
d. Berjalan bersama.
Bagi dua orang yang berjalan bersama setelah bermusuhan memerlukan ketulusan. Pihak yang menyakiti harus tulus menyatakan kepada pihak yang disakiti dengan tidak akan menyakiti hati lagi. Pihak yang disakiti perlu percaya bahwa pihak yang meminta maaf menepati janji yang dibuat. Mereka juga harus berjanji untuk berjalan bersama di masa yang akan datang dan saling membutuhkan satu sama lain.
Proses memaafkan adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu. Semakin parah rasa sakit hati semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk memaafkan. Kadang - kadang seseorang melakukannya dengan perlahan - lahan sehingga melewati garis batas tanpa menyadari bahwa dia sudah melewatinya. Proses juga dapat
(45)
34
terjadi ketika pihak yang disakiti mencoba mengerti kenapa hal itu terjadi bersama-sama dengan upaya meredakan kemarahan
B. Humility
1. Pengertian humility
Elliot (2010) menyatakan humility atau kerendahan hati adalah kemampuan untuk mengakui kesalahan diri, ketidaksempurnaan, kesenjangan/keterbatasan diri dan keterbukaan untuk menerima ide-ide baru, informasi, dan saran. Dapat juga dikatakan sebagai penilaian yang akurat dari kemampuan seseorang dan prestasi dirinya
Lickona (2004) mengatakan bahwa humility adalah kebajikan yang dianggap sebagai dasar dari kehidupan moral secara keseluruhan. humility merupakan salah satu karakter diri yang paling mendasar dan penting untuk ditumbuhkan, dilatihkan, dan dibiasakan kepada siswa agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kerendahan hati diperlukan untuk diakui sisi kebajikan lainnya karena membuat individu menyadari ketidaksempurnaan, berani mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat, dan membuat individu berusaha menjadi orang yang lebih baik. Namun, perilaku yang menunjukkan kerendahan hati di kalangan remaja masih kurang dilakukan. Kerendahan hati perlu dibiasakan sejak dini, karena pola pembiasaan yang mendidik untuk membentuk karakter individu. Berawal dari pola pembiasaan mengakui
(46)
35
kesalahan yang artinya adanya kesadaran akan ketidaksempurnaan diri dalam kehidupan. Berawal dari pola pembiasaan mengakui kesalahan yang artinya adanya kesadaran akan ketidaksempurnaan diri dalam kehidupan. Dia juga menambahkan bahwa kerendahan hati (humility) merupakan kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, padahal ini merupakan bagian terpenting dari karakter yang baik. Kerendahan hati adalah bagian dari aspek afektif dari pengetahuan terhadap diri sendiri. Ini merupakan keterbukaan dan ketertarikan terhadap kebenaran serta kemampuan bertindak untuk mengoreksi kelemahan atau kekurangan.
Khalid mengatakan humility mempunyai tiga makna, yaitu menerima kebenaran yang datangnya dari siapa saja dan mampu menjalin interaksi dengan semua manusia dan Merendahkan diri di hadapan Allah. Templeton menyampaikan bahwa humility merupakan kebalikan dari arogansi. Kerendahan hati yang sejati mempromosikan keterbukaan untuk belajar dari orang lain dan membangun komunitas (Kusprayogi, 2016).
Humility merupakan salah satu dari dimensi Struktur kepribadian HEXACO yang dikemukakan oleh Ashton dan Lee (2007). HEXACO adalah tipe kepribadian yang terdiri dari enam dimensi, dikembangkan oleh Ashton dan Lee dari beberapa studi leksikal (Ashton & Lee, 2007). Enam faktor atau dimensi tersebut yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), extraversion (X), Agreeableness (A), Conscientiousness
(47)
36
(C), dan Openness to Experience (O). Aston dan Lee (2007) mengungkapkan bahwa kepribadian itu dapat di kelompokkan dalam enam kategori berikut ini:
a. Honesty-Humility (kejujuran-kerendahan hati) yaitu kecenderungan individu untuk bersikap adil dan tulus dalam bekerja sama, dalam bekerjasama dengan orang lain ia bisa saja dimanfaatkan tetapi ia tidak terdorong untuk membalas dendam. Seseorang yang memiliki level honesty-humility yang tinggi memiliki kelebihan yaitu menurunnya risiko dimanfaatkan oleh orang lain dan juga rendahnya resiko kehilangan karena pemutusan kerjasama.
b. Emotionality (emosional) yaitu individu yang tidak hanya sebatas dapat berempati tetapi juga dapat membentuk kedekatan emosional dengan orang lain. Selain, itu juga menunjukkan pribadi yang sering menolak dan senang ditolong.
c. Extraversion adalah individu yang menyenangi hal-hal berbau sosial seperti bersosialisasi, kepemimpinan dan hiburan. Individu dengan skor tinggi pada trait Extraversion memiliki ciri pribadi yang ramah, hangat dan asertif serta cenderung penuh kasih sayang, senang berbicara, dan menyenangkan.
d. Agreeableness adalah individu yang mempunyai kecenderungan untuk memaafkan dan toleran terhadap orang lain, dapat bekerja sama dengan orang lain walau ia merasa telah dimanfaatkan. Individu
(48)
37
dengan skor tinggi memiliki sikap bertahan lama bekerjasama pada orang lain dan resiko untuk dimanfaatkan orang lain. Individu dengan skor tinggi pada trait agreeableness memiliki ciri pribadi yang jujur, mudah percaya, suka menolong dan rendah hati. Mereka yang memiliki skor rendah biasanya pelit, mudah kesal, curiga dan penuh kritik terhadap orang lain.
e. Conscientiousness adalah individu yang menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan tugas seperti pekerjaan, perencanaan dan organisasi. Individu dengan skor tinggi pada trait conscientiousness memiliki ciri pribadi yang kompeten, hati-hati, tekun dan ambisius serta cenderung lebih terkontrol, fokus pada pencapaian dan memiliki disiplin diri yang tinggi.
f. Openness to Experience adalah individu yang suka dengan hal-hal berkaitan dengan ide seperti belajar, berfikir dan imajinasi. Individu dengan skor tinggi pada trait openness to experience memiliki ciri pribadi yang imajinatif, estetis, toleran, dan penuh keingintahuan intelektual. Sebaliknya, mereka dengan skor rendah biasanya konvensional, rendah hati, dan konservatif.
Kepribadian model HEXACO juga memprediksi beberapa fenomena kepribadian yang tidak dijelaskan dalam Big-Five Factors model, termasuk hubungan faktor kepribadian dengan konstruk biologi dan pola perbedaan jenis kelamin dalam ciri-ciri kepribadian. Selain itu,
(49)
38
terdapat tiga dimensi yaitu kepribadian honesty-humility, emotionality dan agreeableness yang mengukur tingkat altruism dan empati individu, dimana sikap altruism dan empati berkorelasi dengan forgiveness. Sehingga tipologi kepribadian HEXACO sangat sesuai dengan konteks forgiveness.
Humility adalah karakter intellectual di mana pemiliknya didorong oleh suatu motif yang memposisikan dirinya pada posisi sama rendahnya atau lebih rendah dari orang lain, mendorong dirinya untuk lebih jujur, cinta pada ilmu pengetahuan dan kebenaran. Karakter ini juga akan mempengaruhi seseorang untuk lebih hati-hati dalam pemilihan tindak tutur dalam berkomunikasi pada segala bentuk situasi komunikasi, terutama situasi komunikasi akademik.
2. Aspek Humility
Elliot (2010) menyatakan humility terbagi atas empat aspek sebagai berikut:
a. Openness, yaitu membuka diri pada segala hal yang bersifat positif tanpa mempertimbangkan siapa dan di mana diperoleh.
b. Self-forgetfulness, yaitu merasa memiliki kekurangan dan kelemahan pada diri sendiri.
c. Modest self-assessment, yaitu penilaian diri yang sederhana tidak melebih-lebihkan tidak sombong dan berbesar diri.
(50)
39
d. Focus on others, yaitu memperhatikan orang lain memahami orang lain serta menghargai orang lain.
Elliot (2010) menyatakan bahwa dalam sebuah hubungan interpersonal, humility dan empati merupakan cara yang baik untuk menyelesaikan konflik. humility dan empati mampu menjadikan masalah lebih mudah untuk difahami. Ketika masalah dapat dipahami maka akan mudah mendapatkan forgiveness dan rekonsiliasi (perbaikan hubungan). Oleh karenanya peneliti ingin mengetahui hubungan positif humility dan forgiveness, apakah seseorang yang rendah hati akan mudah memaafkan.
Eliot (2010) mengkonsep empat aspek tersebut seperti berikut : Komponen pertama terdiri dari tiga item terbalik yang mencerminkan openness (keterbukaan) terhadap informasi yang kontradiktif, dan belajar dari kesalahan seseorang, itemnya adalah "saat dihadapkan dengan kesalahan saya, tanggapan pertama saya adalah menjelaskan mengapa saya melakukannya", "ketika saya mendapat masalah, penting bagi saya untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi ", dan "saya biasanya dengan cepat merasionalisasi kegagalan saya. " skor dasar pada item ini terungkap yaitu terbuka untuk mengakui ketidaksempurnaan seseorang dan keterbatasan, alih-alih merasa perlu untuk membenarkan kekurangannya.
Komponen kedua juga terdiri dari tiga item terbalik dan tercermin self-forgetfulness (kelupaan diri) dan fokus diri yang relatif rendah. Itemnya adalah "ketika saya bekerja keras untuk orang lain, saya ingin mereka
(51)
40
mengakui pengorbanan saya", " bila ada orang lain sedang dikenali atau dihargai, saya memikirkan prestasi saya " dan "saya frustrasi ketika yang lain dipuji dan saya tidak. "skor rendah pada item ini menunjukkan kebebasan penyerapan diri dalam prestasi seseorang dan kemampuan untuk memberi perhatian pada orang lain
Komponen ketiga yaitu modest self-assessment atau Penilaian diri sederhana yang terdiri dari empat item berikut: "Tantangan di depan saya sering membuatku merasa terbebani;" "Saya tidak bertindak sesuai dengan keinginan saya", "Baru-baru ini, saya merasa malu dengan kesombongan saya; "dan" Saya sering berharap saya memiliki bakat yang sama dengan teman sebaya saya". Item ini mencerminkan penilaian diri sederhana, terutama berbeda dengan sifat ilusi positif dan Kesombongan egosentris
Komponen keempat terdiri dari lima item yang tidak sesuai secara konsep Bersama secara keseluruhan, namun mewakili dua aspek kerendahan hati yang berbeda. Itemnya, "saya nikmati Menghabiskan waktu untuk merenungkan keagungan dan kekuatan alam "dan" Selama masa-masa Doa / meditasi, saya merenungkan daerah dalam hidup saya dimana saya perlu perbaikan "menunjukkan sebuah Kesadaran akan tempat seseorang sebagai bagian dari alam semesta yang lebih luas. Sebaliknya, itemnya, "saya merasa dihormati saat orang lain meminta pertolongan saya", " Saya sangat tersentuh saat orang lain berkorban untuk
(52)
41
saya" dan "Saya merasa berharga melakukan hal-hal "rendah hati" bagi orang lain", mewakili focus on others.
C. Empati
1. Pengertian Empati
Eisenberg (2002), menyatakan bahwa empati merupakan sebuah respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain dan yang mirip dengan perasaan orang lain. Empati juga diartikan sebagai kemampuan untuk memosisikan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu untuk menghayati pengalaman orang lain. Selain itu, empati juga dimaksudkan untuk kemampuan seseorang dalam melakukan pemahaman terhadap emosi orang lain.
Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Taylor dalam bukunya Psikologi Sosial (2009), menyebutkan bahwa empati berarti perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain, khususnya pada orang yang menderita. Kesedihan personal menyebabkan cemas, prihatin ataupun kasihan, sedangkan empati menyebabkan rasa simpati dan sayang.
Lebih lanjut Baron & Byrne (2005), menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain,
(53)
42
merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan, dan mengambil perspektif orang lain. Dengan memiliki empati, maka individu bisa membina relasi yang baik dengan orang lain. Kemampuan berempati juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga ke asmara, dari belas kasih hingga tindakan politik (Goleman, 1999).
Goleman (1999), menjelaskan bahwa empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional juga mampu memberikan kontribusi terhadap kehidupan sosial seseorang. Walaupun empati dianggap sebagai keadaan emosional, sering kali empati memiliki komponen kognitif atau kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau apa yang disebut dengan mengambil perspektif orang lain.
Ketika individu akan memberikan maaf, individu tersebut pasti mengingat kembali rasa sakit yang diterima dari orang yang menyakiti dan membutuhkan empati yang baik (McCullough, 2000). Lebih lanjut, penelitian telah menemukan hubungan yang positif antara empati dan forgiveness (Rianda Elvinawanty dan Liana Mailani (2016). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Macaskill, Maltby, dan Day (2002), menemukan hal yang senada, bahwa empati berkorelasi positif dengan memaafkan orang lain, namun berkorelasi negatif dengan memaafkan diri sendiri. Hal ini menjadi mungkin, mengingat empati berhubungan dengan
(54)
43
memahami perilaku dan perasaan orang lain, bukan diri sendiri. Sehingga, bisa dikatakan bahwa empati memiliki peranan penting dalam terwujudnya forgiveness pada seseorang.
Empati dianggap mampu untuk menurunkan motivasi balas dendam dan menghindari transgressor dan mendorong munculnya motivasi untuk berbelas kasih terhadap transgressor (McCullough, dkk, 2000). Lebih lanjut, perubahan motivasi ini dapat terjadi karena empati membuat korban untuk peduli terhadap transgressor atas dasar (a) membayangkan rasa bersalah atau berdosa distress yang dialami transgressor, (b) membayangkan keinginan transgressor untuk kembali membangun hubungan yang baik dengan dirinya, atau (c) keinginan dari dalam diri korban untuk memperbaiki hubungan dengan transgressor.
2. Aspek Empati
Davis dalam Badriyah, (2013), menjelaskan bahwa secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif yang terdiri dari Perspektif Taking (PT) dan Fantasy (FS), dan komponen afektif meliputi Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD) seperti berikut :
a. Perspective taking (pengambilan perspektif) merupakan perilaku individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain
(55)
44
b. Fantasy merupakan perilaku untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada buku, film dan permainan. Aspek ini melihat perilaku individu menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain.
c. Emphatic concern (Perhatian empatik). Sears (1985) mengungkapkan empathic concern merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
d. Personal distress (distress pribadi) yang didefinisikan oleh Sears, (1985) sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri).
3. Faktor yang mempengaruhi empati
Hoffman mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memberi empati adalah sebagai berikut (Golleman, 1999) :
a. Sosialisasi
Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain, serta lebih terbuka terhadap kebutuhan orang lain sehingga akan meningkatkan kemampuan berempati.
(56)
45
b. Mood and feeling
Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.
c. Situasi dan tempat
Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi yang lain.
d. Proses belajar dan identifikasi
Dalam proses belajar, anak belajar membetulkan respon-respon khas, yang disesuaikan dengan peraturan yang dibuat oleh orangtua atau penguasa lainnya. Apa yang telah dipelajari anak di rumah atau pada situasi tertentu, diharapkan anak dapat menerapkannya pada lain waktu yang lebih luas.
e. Komunikasi dan bahasa
Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.
f. Pengasuhan
Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu anak dalam menumbuhkan empati dalam dirinya.
(57)
46
D. Hubungan Antara Humility dan Empatidengan Forgiveness
1. Hubungan antara Humility dengan Forgiveness
Menurut McCullough forgiveness adalah sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap pelaku. Manusia hidup berdampingan dengan manusia yang lain terkadang melakukan kesalahan dan timbul konflik antar sesama manusia. Ketika terlibat konflik pasti ada pihak yang menyakiti dan ada pula yang disakiti, ini merupakan hal yang wajar dalam kehidupan. Namun sebagai manusia pasti memiliki sisi baik dalam dirinya untuk memaafkan kesalahan sesamanya. Mudah tidaknya seseorang untuk memaafkan tergantung dari kepribadian orang tersebut dan tingkat kesakitan yang didapatkannya. McCullough juga menyatakan bahwa tipe kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk memaafkan. Salah satunya yaitu humility. Humility merupakan salah satu dari dimensi Struktur kepribadian HEXACO yang dikemukakan oleh Ashton dan Lee (2007)
Elliot (2010) menyatakan humility (kerendahhatian) adalah kemampuan untuk mengakui kesalahan diri, ketidaksempurnaan, kesenjangan/keterbatasan diri dan keterbukaan untuk menerima ide-ide baru, informasi, dan saran. Dengan munculnya perasaan tersebut, maka saling memaafkan akan mudah dilakukan.
(58)
47
2. Hubungan antara Empatidengan Forgiveness
Selain humility, empati juga dianggap dapat mempengaruhi manusia untuk memaafkan. Goleman (1999) mengungkapkan empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang kepada emosi diri sendiri, semakin terampil pula dalam membaca perasaan. Setiap hubungan yang merupakan akar kepedulian berasal dari penyesuaian emosional, dari kemampuan untuk berempati, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan kehidupannya. Empati dianggap mampu untuk menurunkan motivasi balas dendam dan menghindari transgressor dan mendorong munculnya motivasi untuk berbelas kasih terhadap transgressor (McCullough, dkk, 2000). Lebih lanjut, perubahan motivasi ini dapat terjadi karena empati membuat korban untuk peduli terhadap transgressor atas dasar (a) membayangkan rasa bersalah atau berdosa distress yang dialami transgressor, (b) membayangkan keinginan transgressor untuk kembali membangun hubungan yang baik dengan dirinya, atau (c) keinginan dari dalam diri korban untuk memperbaiki hubungan dengan transgressor.
3. Hubungan antara Humility dan Empati secara bersama-sama dengan Forgiveness
Elliot (2010) menambahkan bahwa dalam sebuah hubungan interpersonal, Humility dan empati merupakan cara yang baik untuk
(59)
48
menyelesaikan konflik. Humility dan empati mampu menjadikan masalah lebih mudah untuk difahami. Ketika masalah dapat dipahami maka akan mudah mendapatkan pengampunan dan rekonsiliasi.
E. Landasan Teoritis
Menurut McCullough, Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap pelaku, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku, sebaliknya adanya keinginan untuk berdamai dan berbuat baik terhadap pelaku, walaupun pelaku telah melakukan perilaku yang menyakitkan (Sari, 2012). Wardhati dan Faturochman (2006) menjelaskan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemberian maaf yang mereka kutip dari pendapat beberapa ahli, yaitu (1)Empati, (2)Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, (3)Tingkat kelukaan, (4)Karakteristik kepribadian, (5)Kualitas hubungan.
Elliot (2010) menyatakan humility terbagi atas empat aspek yaitu (1) Openness (membuka diri), dengan cara membuka diri, seseorang bisa menjadi lebih terbuka dengan orang lain. (2) Self-forgetfulness, (memiliki kekurangan dan kelemahan pada diri sendiri). Modest self-assessment, (penilaian diri). Focus on others (memperhatikan orang ), dengan memahami orang lain serta menghargai orang lain, akan mempermudah proses untuk memaafkan.
Hasil penelitian Kusprayogi dan Nashori (2016) telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara humility dengan forgiveness.
(60)
G K pene sama deng seseo kema dua Persp Emp mene Elvin oleh empa Gambar 1 Kerangka Te EMP HUM elitian yang a juga menun gan forgivene Hurlock orang untuk ampuan untu Davis da komponen pektif Takin athic Conc emukan hub nawanty dan Macaskill, M ati berkorela eoritik PATI MILITY
dilakukan o njukkan hasi ess. (1999) men k mengerti uk membaya alam Badriya dalam emp ng (PT) dan cern (EC)
bungan yang n Liana Ma Maltby, dan asi positif de
-Pe -fan -em -pe - op -self -mo asse -foc oleh Mehme il bahwa terd
ngungkapkan tentang pe angkan diri s ah, (2013), m pati, yaitu k
n Fantasy ( dan Person g positif an ailani (2016) Day (2002) ngan memaa erspective tak ntasy mphatic conc rsonal distre penness lf-forgetfulln odest self-essment cus on others
et Çardak (2 dapat hubun
n bahwa em erasaan dan sendiri di tem menjelaskan komponen k (FS), dan ko nal Distress ntara empati
). Penelitian ), menemuka afkan orang king cern ess ness s 2013) denga ngan positif a
mpati adalah emosi ora mpat orang l n bahwa sec kognitif yan
omponen af s (PD). Pe dan forgiv n lainnya ya an hal yang
lain
FORGIV
an topik ya antara humil
h kemampu ang lain se lain
ara global a ng terdiri d fektif melip enelitian tel veness (Rian ang dilakuk senada, bahw VENE 49 ang lity uan rta ada dari uti lah nda kan wa
(61)
50
F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Hipotesis 1, terdapat hubungan antara humility dengan forgiveness 2. Hipotesis 2, terdapat hubungan antara empati dengan forgiveness
3. Hipotesis 3, terdapat hubungan antara humility dan empati secara bersama-sama dengan forgiveness.
(62)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011).
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) tentang perilaku yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010). Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yang diidentifikasikan sebagai berikut:
a. Variabel Independen : variabel ini sering disebut sebagai variabel
stimulus, predictor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas (X) adalah variabel yang mempengaruhi. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel bebas, yaitu humility (X1) dan empati (X2).
b. Variabel Dependen : sering disebut sebagai variabel output, kriteria,
konsekuen. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau
(1)
88
B. Saran
1. Kepada mahasiswa pondok pesantren
Mahasiswa pondok pesantren sebagai pelajar sekaligus santri perlu meningkatkan sifat humility dan empati. Karena hal tersebut akan sangat bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Salah satunya ketika mengalami konflik antar sesama mahasiswa, karena orang yang memiliki sifat humility dan empati akan lebih mudah memaafkan dan akan terhindar dari konflik. Karena dalam Islam pun telah diajarkan bahwa sebagai umat manusia kita sepatutnya saling memaafkan antar sesama seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Ali Imron ayat 133-134.
2. Kepada peneliti selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya yang akan mengangkat atau mengembangkan topik Forgiveness, bisa menambahkan atau mengaitkan dengan variabel yang lain, atau dengan menggunakan metode penelitian yang berbeda misalnya kualitatif, atau pun metode eksperimen agar pembahasannya lebih variatif.
(2)
89
DAFTAR PUSTAKA
Amrillah, tri kurniati & prasetyo budi widodo. (2015). Religiusitas dan pemaafan dalam konflik organisasi pada aktivis islam di kampus universitas diponegoro. Jurnal Empati, Oktober 2015, Volume 4(4), 287-292. Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro
Ann macaskill John maltby Lea day (2012). Forgiveness of self and others and emotional empathy The Joumal of Social Psvcholoav. 2002.142(5). 663-665. School of Social Science and Law Shefield Hallam University, United Kingdom
Arif, T.A. (2013). Komitmen dengan Pemaafan dalam Hubungan Persahabatan. Jurnal Online Psikologi. Vol.1, No. 22
Arikunto, S. (2005). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Ashton, M.C., & Lee, K. (2007). Empirical, theoretical, and practical advantages of the HEXACO model of personality structure. Personality and Social Psychology Review 11
Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badriyah, L. (2013). Pengaruh Empati dan Self-Control terhadap Agresitivitas
Remaja SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan. Skripsi. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
Baron,R. A. & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial (10th ed.). Jakarta: Erlangga
Burney, D. M., & Kromrey, J. (2001). Initial development and score validation of the adolescent anger rating scale. Educational and Psychological Measurement, 61(3)
Christie powers, ruth k. Nam, wade C. Rowatt, and peter C. Hill (2007). Associations between humility, spiritual transcendence, and forgiveness. Research in the Social Scientifi c Study of Religion, Volume 18
(3)
90
Dwi Indra Lestari dan Ivan Muhammad Agung (2016). Empati dan pemaafan pada mahasiswa fakultas psikologi uin suska riau Vol. 4, No. 2. Studia Insania, Oktober 2016
Eisenberg, N. (2002) Empathy and ist Development. New York: Cambridge University Press
Elliott, J. C. (2010). Humility: Development and analysis of a scale. University of Tennessee, Knoxville. Retrieved from http://trace. tennessee. edu/utk_graddiss/795
Elvinawanty Rianda,& Liana Mailani (2016). forgiveness ditinjau dari empathy pada pasangan suami istri di kelurahan binjai kecamatan medan denai tarbiyah, vol. Xxiii, no. 2, juli-desember 2016. Fakultas psikologi universitas prima indonesia
Frank D. Fincham, F. Giorgia paleari, And camillo (2002). Forgiveness in marriage: the role of relationship quality, attributions, and empathy. Personal Relationships, 9 (2002), Printed in the United States of America.. University at Buffalo, The State University of New York; and Catholic University of Sacred Heart, Milano.
Girard, M., and E. Mullet. (1997). Propensity to forgive in adolescents, young adults, older adults, and elderly people. Journal of Adult Development volume 4 Goleman, D. (1999). Emotional Intelligence : Why it Can Mutter More Than IQ alih
bahasa : Hariono S. Imam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hamidi, F.(2010). Forgiveness As an Islamic approach in counseling. Departement of Education
Hidayati, Eni. (2012). Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondohutomo Kota Semarang. jurnal. unimus. ac.id/ index.php/psn12012010/article/ view/524/573
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/02/17/137218/Menag-Kasus-Pasuruan-Hanya-Tawuran-Santri online. Diakses pada 17/05/2017
Hurlock, E.B.(1999) psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga
Konstan, D. (2010). Before Forgiveness, The Origins of a Moral Idea. Cambridge: Cambridge University Press: http://gen.lib.rus.ec/.
(4)
91
Kusprayogi, Yogi, Fuad Nashori (2016),Kerendahhatian dan Pemaafan pada Mahasiswa, PSIKOHUMANIORA: Jurnal Penelitian Psikologi, Volume 1 No. 1, November 2016. Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta Lickona, T. (2004). Character Matters. New York: Touchstone.
Macaskill, A., Maltby, J., & Day, L. (2002). Forgiveness of self and others and emotional empathy. The Journal of Social Psychology.142(5). 663-665. Manfred. Z. (1986). Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.
McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington, E. L., Jr., Brown, S. W., & Hight, T. L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II. Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and
Social Psychology, 75(6),. https://doi. org/10. 1037/0022-3514. 75. 6. 1586
McCullough, Michael E. (2000). Forgiveness As Human Strength: Theory, Measurement, And Links To Well-Being. Journal of Social and Clinical Psychology.
Mehmet Çardak (2013). The relationship between forgiveness and humility: A case study for university students. vol. 8(8), pp. 425-430, 23 April, 2013. DOI: 10.5897/ERR2012.107. Psychological Counseling and Guidance Department, Faculty of Education, Sakarya University, 54300, Hendek, Sakarya, Turkey.
Muhid, A. (2012). Analisis Statistik 5 Langkah Praktis Analisis Statistik Dengan SPSS for Windows. Surabaya: Zifatama Publishing.
Nashori, F. (2014). Psikologi pemaafan. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Nashori, F., Iskandar, T. Z., Setiono, K., & Siswandi, A. G. P. (2011). Tema-tema pemaafan pada mahasiswa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.
Noor, J. (2011). Metode Penelitian. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Rahmandani, Amalia. (2015). Pemaafan dan aspek kognitif dari stres pada mahasiswi jurusan kebidanan tingkat dua. Jurnal Psikologi Undip Vol.14 No.2 Oktober 2015, 118-128. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Rostiana. (1999). Diskripsi dan dinamika koflik pada boundary role person. Jurnal Ilmiah. Arkhe ,4(7)
(5)
92
Santrock. J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja.(edisi keenam) Jakarta: Erlangga
Sari, Kartika. (2012). Forgiveness pada Istri sebagai Upaya untuk Mengembalikan Keutuhan Rumah Tangga akibat Perselingkuhan Suami. Jurnal Psikologi Vol. 11, No.1, April 2012. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Sears. (1985) Psikologi Sosial, Edisi kelima (alih bahwa: Michael Adriyanto) . Jakarta : Erlangga.
Sedarmayanti. (2000) Restrukturisasi dan pemberdayaan organisasi untuk menghadapi diamika perubahan lingkungan. Bandung : Masdar Maju.
Sevilla, et.al, (1993), Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, Universitas Indonesia. Shepherd S dan Kathryn Belicki (2008). Trait forgiveness and traitedness within the
hexaco model of personality. Personality and Individual Differences 45 (2008) 389–394. Psychology Department, University of Waterloo, Waterloo, ON, Canada N2L 3G.
Smedes, Lewis B. (1984). Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don't Deserve. San Francisco: Harpersan
Snyder, C. R., & Heinze, L. S. (2005). Forgiveness as a mediator of the relationship between ART. PTSD and hostility in survivors of childhood abuse. Cognition & Emotion,19(3), https://doi. org/10. 1080/02699930441000175 Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Taylor E, Shelley, Dkk,(2009), Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas, Jakarta: Kencana,. Team penerjemah Departemen Agama. (2005). Al-Qur'an dan terjemahnya.
Bandung : CV J
Untari, puji (2014). hubungan antara empati dengan sikap pemaaf pada remaja putri yang mengalami kekerasan dalam berpacaran. eJournal Psikologi, 2 (2) 2014. ISSN 0000 0000, ejournal.sos.fisip-unmul.org
Wardhati.L.T. dan Faturochman (2006). Psikologi Pemaafan (The Psychology of Forgiveness), Buletin Psikologi.
(6)
93
Worthington, E. L., & Scherer, M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience: theory, review, and hypotheses. Psychology & Health, 19(3),. https://doi. org/10. 1080/ 0887044042000196674