PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA : STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8 PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH.

PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA
( STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8 PASAL 157 TAHUN 2015
DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH )
SKRIPSI
Oleh :
Mohamad Safi’i
NIM : C032120219

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
2016

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan
bagaimana peralihan kewenangan Mahkamah Agung kepada Mahkamah
Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada Undang-Undang nomor 8

Tahun 2015 pasal 157 dan bagaimana tinjauan Fikih Siyasah terhadap peralihan
kewenangan tersebut.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading)
dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peralihan kewenangan Mahkamah
Agung Kepada Mahkamah Konstitusi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, kewenangan
mengadili sengketa Pemilukada dialihkan kepada Badan Peradilan Khusus. Hal
ini berdasarkan Pasal 157 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Akan tetapi selama belum terbentukanya
Peradilan Khusus tersebut, penyelesaian sengketa Pemilukada masih menjadi
kewenangan Mahkamah Kontitusi berdasarkan Pasal 157ayat (6). Pembentukan
Peradilan khusus tidak bisa dilepaskan dari banyaknya sengketa pemilukada yang
masuk ke Mahkamah Konstitusi, sehingga menggangu tugas utama Mahkamah
Konstitusisebagai pengawal konstitusi. Oleh sebab itu, badan peradilan khusus
yang menangani sengketa Pemilukada harus segera dibentuk. Hal ini dimaksudkan
agar Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat fokus dengan tugas dan
kewenangannya masing-masing sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945.Kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada menjadi kewenangan
Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah. Kemudian kewenangan menyelesaikan sengketa Pemilukada
dialihkan dariMahkamh Agung ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 236C
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Dalam
Islam yang melalui wilayah al-maza>lim yang tugasnya mengadili sengketa
Kholifah yang pada akhirya tidak ada suatu persengketaan hasil pemilihan Kepala
Daerah, mekanisme yang digunakan oleh ketata negaraan Islam yaitu melalui
musyawaroh majelis shu>ra serta imam kholifah, bukan sistem pemilihan secara
langsung apa yang dilakukan oleh negara kita. Sehingga Islam terdahulu tidak
menjelaskan tentang bagaimana terjadi suatu sengketa pmilihan Kepala daerah.
Seiring dengan kesimpulan di atas, maka pembentukan peradilan khusus
segera dibentuk karena peralihan kewenangan Mahkamah Agung kepada
Mahkamah Konstitusi tidak di tentukan secara jelas maka akan timbul konflik
kewenangan kekuasaan, sehingga fungsi dan tugas yang telah diatur oleh UndangUndang 1945 tidak fokus, sehingga mekanisme sistem pemilihan Kepala Daerah
di Indonesia ini tidak mengandung unsur-unsur hukum yaitu kepastian,
kemanfaatan dan keadilan.

vii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM .........................................................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................

iii

PENGESAHAN ..............................................................................................

iv

PERSEMBAHAN ...........................................................................................


v

MOTTO ..........................................................................................................

vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................

xi

DAFTAR TRANSLITERASI ....................................................................... xiii
BAB I

PENDAHULUAN ..........................................................................

1


A. Latar Belakang Masalah ...........................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah .............................................

6

C. Rumusan Masalah ....................................................................

7

D. Kajian Pustaka ..........................................................................

8

E. Tujuan Penelitian ......................................................................

9


F. Kegunaan Hasil Penelitian .......................................................

9

G. Definisi Operasional ................................................................. 10
H. Metode Penelitian ..................................................................... 12
I.
BAB II

Sistematika Pembahasan .......................................................... 15

WILAYAH AL-MAZA>LIM DALAM PERADILAN ISLAM ...... 17
A. Pengertian Wilayah al-Maza>lim .............................................. 17
B. Sejarah Singkat Wilayah al-Maza>lim ...................................... 20
C. Dasar Hukum Wilayah al-Maza>lim ......................................... 24
D. Kedudukan Wilayah al-Maza>lim ............................................. 26
E. Tugas dan wewenang (Kompetensi) Wilayah al-Maza>lim ...... 29
xi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG
KEPADA
MAHKAMAH
KONSTITUSI
DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA ................. 38
A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah
Agung ....................................................................................... 38
B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Ke Mahkamah
Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Hasil Pemilukada ...... 44
C. Problematika Peralihan Tugas Dan Kewenangan Menangani
Sengketa Pemilukada Dari Mahkamah Agung Ke Mahkamah
Konstitusi.................................................................................. 48
BAB IV ANALISIS PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH
AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA UU
PEMILU NO. 8 PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN
FIQIH SIYASAH........................................................................... 55
A. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bukan

Termasuk Rezim Pemilihan Umum (Pemilu) .......................... 56
B. Peralihan Kewenangan Mahkamah Agung Kepada Mahkamah
Konstitusi Dalam Menangani Sengketa Pemilukada ............... 61
BAB V

PENUTUP ...................................................................................... 76
A. Kesimpulan ............................................................................... 76
B. Saran ......................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 80
LAMPIRAN

xii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia, sejarah pembentukan MK, tepatnya penuangan didalam
UUD tentang pengujian UU terhadap UUD atau judicial review, telah melalui
sejarah perdebatan yang panjang. Di BPUPKI terjadi perdebatan antara
Soepomo dan Yamin yang menyimpulkan bahwa judicial review tidak
diperlukan. Pada awal Orde Baru, MPRS membentuk Panitia Ad Hoc tentang
judicial review, tetapi hasilnya ditolak pemerintah. Penerimaan pemerintah
atas gagasan itu baru dituangkan secara terbatas dan setengah hati (karena tak
dapat diimplementasikan) didalam UU Nomer 14 Tahun 1970 yang membuka
peluang uji materi untuk perundang-undangan di bawah UU. Ketentuan ini
kemudian dituangkan pula didalam Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 dan Tap
MPR Nomer III/MPR/1978.1
Hal yang tampaknya cukup baik dari gagasan pengauatan checks and
balances di dalam perubahan UUD 1945 adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi
(MK) yang antara lain diberi wewenang oleh UUD hasil perubahan untuk
melakukan pengujian UU terhadap UUD. Lahirnya MK merupakan jawaban
atas keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian atas UU
terhadap UUD yang sebelumnya ssama sekali tidak dapat dilakukan. Memang

1


Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2010), 97-98.

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

sejak tahun 2000, ada Tap MPR No. III/MPR/2000 yang menyerahkan
pengujian UU terhadap UUD kepada MPR. Namun, selain hal itu bukan
merupakan pengujian oleh lembaga yudisial yang dapat menggambarkan
checks and balance, sejalan dengan tata hokum baru yang tidak kenal lagi
mengenal Tap MPR sebagai bagian dari persaturasn perundang-undangan,
maka pembentukan MK merupakan pilihan yang rasional.2
Sebagai sebuah lembaga yang telah ditentukan dalam UUD, kewenangan
Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan
yang mengeklusifkan dan membedakan Mahkamah Konstitusi dari lembagalembaga lain. Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: (1) Mahkamah konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; (2) Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya yang diberikan oleh UUD.
Misalnya, usul pemberhentian Presiden dan / Wapres oleh DPR kepada MPR
apabila Presiden dan Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagiamana diatur dalam pasal 7A UUD 1945; (4) Memutuskan pembubaran
partai politik; dan (5) Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu.3
Mahkamah Konstitusi memiliki pengalaman yang sangat berharga dalam
pennyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang lalu, baik

2

Ibid., 73-74
Titik Triwulan T. Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara Indonesia, Abdul Aziz, (Jakarta: Kencana, 2011), 97-98.

3

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

dari segi kuanttitas persselisihan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi
maupun dilihat dari kialitas dalam arti yang berkaitan dengan dilanggarnya
asas-asas Pemilu yang sesungguhnya juga berpengaruh terhadap hasil
perhitungan suara, tetapi tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.4
Sebagai antisipasi terhadap Pemilu 2004, maka di samping mendasarkan
pada prosedur penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Pasal
74 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, aturan
hukum acaranya telah dilengkapi dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi
masing-masing Peraturan Mahkamah Konstitusi No.004/PMK/2004 dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.005/PMK/2004.5
Indikator yang bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap
kinerja penyelesaian sengketa pemilu sesuai dengan unsur keanggotaan
Panwaslu adalah kualitas yang didalamnya meliputi pengetahuan responden
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pemilu ;
pendapat dan pendapat dan ketepatan bagaimana penyelesaian sengketa
dilakukan; adanya perencanaan kerja yang baik; dan bagiamana kerja sama
dilakukan.
Nilai rata-rata tertinggi dari ketiga buah indikator diatas adalah dosen,
kemudian diusul oleh jaksa, wartawan. Polri dan Tomas. Data ini jelas
menunjukkan bahwa ada perubahan pada posisi kedua nilai rerata yang
biasanya (pada variabel sistem kompensasi dan kompetensi emosi) diraih oleh

4

Maruar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi,(Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), 155
5
Ibid, Maruar Siahan, Huku Acara Mahka ah Ko stitus i… , 155

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

unsur Tomas. Hal ini bisa dimaklumi karena skill (kemampuan), knowledge
(pengetahuan) dan ability penyelesaian sengketa unsur jaksa lebih unggul.
Pengukuran hasil penyelesaian sengketa pemilu diatas telah sesuai
dengan pendapat Minnery (1985: 40), bahwa parameter keberhasilan dalam
penenyelesaian konflik atau sengketa adalah adanya kesepakatan yang diambil/
diterima (acceptance) oleh masing-masing pihak yang bersengketa: duration
yaitu adanya tenggang waktu untuk menyelesaikan sengketa itu melalui
tahapan pengkajian, pemanggilan pada pihak yang bersengketa, kesepakatran
musyawarah, alterntif-alternatif tawaran solusi maupun keputusan akhir yang
bersifat final dan mengikat; dan perubahan hubungan setelah terjadi
kesepakatan yang win-win. Hal ini ditandai dengan adanya penghargaan
terhadap masing-masing pihak dan adanya upanya bersama untuk menjaga
kesepakatan dan pengaruh positif lainnya.6
Dalam Pelaksanaan Pemilihan kepala daerah hakekatnya sama seperti
tahap pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Menurut
Pasal 65 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004 tahap pelaksanaan Kepala Daerah
meliputi: penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon Kepala
Daerah/ wakil Kepala Daerah, kampanye, pemungutan suara, perhitungan
suara, dasn penetapan pasangan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala
Daerah terpilih, pengesahan, dan Pelantikan.7

6

Jurnal Penelitian Stain Jember, Vol 4, No.2 Juli 2005, Analisis Sistem Kompensasi, Kompetensi
Emosi dan Kinerja Penyelesaian Sengketa Pemilu, Thayib, Dosen Jurusan Dakwah Stain Jember,
22-23
7
Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasrkan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 dalam sistem Pemilu Menurut UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), 124

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Dalam hal ini sejarah Islam pemilihan pemimpin, ketika Nabi Wafat
beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para
sahabat yang menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an
maupun hadis tidak ada petunjuk tentang bagaimana cara memilih pemimpin
sepeninggal nabi nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat
Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku
bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu
sebab utama mengapa dalam pada pemerintahan Khalifah ditentukan melalui
jalan musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka
ragam.8
Berbicara mengenai penyelesaian sengketa maka dalam sejarah peradilan
Islam selain melalui wilayah al-qadha yaitu lembaga peradilan bisa juga
melalui lembaga non peradilan yaitu lembaga Tahkim meskipun ruang lingkup
wewenang lembaga Tahkim tidak seluas lembaga al-qadha dalam
menyelesaikan suatu sengketa.9
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh oleh para pihak yang
bersengketa, mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus di
putuskan secara bijak dan pandangan yang tajam, sehingga mampu
menciptakan kemaslahatan umat. Akan tetapi bagaimanakah kewenangan

Muhammad Rifa’I, Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif Fiqh Siyasah, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel,
Surabaya,2008 ) ,5
9
Amiratul Fawaidah, Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal Sengketa
Verifikasi Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia menurut UU No.15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilu, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya,2013 ), 5
8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

dalam penyelesaian sengketa tersebut belum jelas siapa yang berhak untuk
mengadilinya.
Atas dasar uraian diatas maka penulis melakukan penelitian lebih jauh
lagi

mengenai

MAHKAMAH

“PERALIHAN
KONSTITUSI

MAHKAMAH
DALAM

AGUNG

KEPADA

MENEYELESAIAKAN

SENGKETA PEMILUKADA ( STUDI ANALISIS UU PEMILU NO.8
PASAL 157 TAHUN 2015 DALAM KAJIAN FIQIH SIYASAH)”

B. Indentifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui
masalah-masalah sebagai berikut:
1) Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi padal pasal 24C ayat (1) dan
pada ayat (2).
2) Mekanisme Hukum Acara Mahkamah Konsttitusi dalam penyelesaian
sengketa.
3) Ruang lingkup pemilihan Kepala Daerah.
4) Permasalahan didalam Pengawasan Pemilukada
5) Kompetensi emosi dalam penyelesaian sengketa pemilu
6) Kewenagan Mahkamah Konstitusi dalam pandangan Hukum Islam
7) Penjelasan dan Penafsiran yang jelas dalam Undang-Undang Nomer 8
Tahun 2015 pada pasal 157 ayat (1) yang dimaksud peradilan Khusus.
8) Dalam Undang-undang

harus memuat unsure-unsur hukum yaitu:

Kepastian, Keadiala, Kemanfaatan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

9) Memberi penjelasan secara benar urgensi dari pemilu dengan pemilukada,
terdapat pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji
dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1) Tugas dan kewemagan Mahkamh Konstitusi dalam penyelesaian
sengketa pemilukada pada Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2015
2) Tugas dan kewenangn Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa dalam pandangan Hukum Islam.
3) Penjelasan secara benar urgensi dari pemilu dengan pemilukada, terdapat
pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945,serta apa yang dimaksud peradialn
khusus yang tertuang dalam Undang-Undang Nomer 8 tahun 2015 dalam
tatanan Hukum Tata Negara Indonesia maupun dalam Hukum Islam.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah
yang akan diteliti sebagai berikut:
1.

Bagaimana Peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi
dalam sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2015
pasal 157 ?

2.

Bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah Peralihan Mahkamah Agung Kepada
Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada dalam Undang-Undang
Nomer 8 Tahun 2015 pasal 157 ?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

D. Kajian Pustaka
Dari hasil telaah kajian pustaka terhadap hasil penelitian sebelumnnya,
penulis tidak menjumpai judul penelitian sebelumnya yang sama yang
dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, penulis juga tidak
menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji tentang
Peralihan

Mahkamah

Agung

Kepada

Mahkamah

Konstitusi

dalam

Menyelesaikan Sengketa Pemilukada (Studi Analisis Undang-Undang Nomer
8 Tahun 2015 dalam kajian fiqih Siyasah). Penulis tidak mendapatkan beberapa
hasil penelitian yang memiliki relevansi terhadap penelitian yang penulis
lakukan, sebagai berikut:
1) Skripsi yang di tulis oleh Muhammad Rifa’i pada tahun 2008 yang
berjudul “Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilu Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif
Fiqh Siyasah” penulis ini membahas tentang bagaimana hukum acara
penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi serta bagaimana
pandangan Islam dalam kajian Fiqih Siyasah.10
2) Skripsi yang di tulis oleh Amiratul Fawaidah pada tahun 2013 yang
berjudul “Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal
Sengketa Verifikasi Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia menurut
UU No.15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu” penulis ini

Muhammad Rifa’I, Analisis hukum Acara Tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Di Indonesia Di Mahkamah Konstitusi Dalam Prespektif Fiqh Siyasah, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel,
Surabaya,2008 )
10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

membahas tentang bagaimana putusan bawaslu perihal sengketa menurut
UU No.15 Tahun 2011 serta bagaimana tinjauan Fiqih Siyasah.11

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1.

Untuk memberi gambaran tentang tugas dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang
nomer 8 Tahun 2015.

2.

Untuk memperjelas pemahaman bagaimana tugas dan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada UndangUndang nomer 8 Tahun 2015.

3.

Selanjutnya untuk memberikan perspektif baru mengenai pandangan
Hukum Islam terhadap tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam penyelesaian sengketa Pemilukada Undang-Undang nomer 8
Tahun 2015.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan
manfaat sebagai berikut:
1) Secara Teoritis

11

Amiratul Fawaidah, Tinjauan Fiqih Siyasah terhadap Putusan Bawaslu Perihal Sengketa
Verifikasi Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia menurut UU No.15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilu, (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya,2013 )

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

a.

Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian dan kajian tentang
eksistensi Mahkamah Konstitusi Sebagai Menguji Undang-Undang
Dasar dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir sesuai dengan
wewenang Mahkamah Konstitusi padal pasal 24C ayat (1) dan pada
ayat (2)

b.

Memperkaya khasanah ilmu Hukum Islam guna membangun
argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif dalam bentuk putusan
atau

keputusan

hukum

atau

perundang-undangan

dengan

konsekuensi ilmiah.Khususnya tugas dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
2) Secara Praktis
a.

Memberikan pandangan dan pedoman argumentasi hukum yang
diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan
hukum dan profesionalitas politisi, demi terciptanya iklim yang adil
dan kondusif.

b.

Diharapkan bermanfaat bagi masyarakat supaya terciptanya keadilan
dan kemaslahatan dalam penegakan hukum Indonesia, sesuai dengan
unsur-unsur hukum yaitu kepastian, keadilan, kemanfaatan.

G. Definisi Operasional
Definisi

operasional

ini

memberikan

batasan-batasan

tentang

pengertian atas variabel-variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

1.

Peralihan Mahkamah Agung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal 263C
Penanganan Sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan semenjak
Undang-Undang ini diundangkan.12

2.

Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur didalam pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945 jo. Pasal 10 Ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 yang menyatakan:
(1) Mahkamah Konstitusi Berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap UUD; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) Memutus
pembubaran partai politik; (4) Memutus Perselisihan tentang hasil
pemilu.13 Tugas dan wewenang dalam penelitian disini ialah apakah sudah
sesuaikah amanat UUD 1945 dengan kenyataannya yaitu kewenangan
Mahkamah Konstitusi Menyelesaikan sengketa Pemilukada yang diatur
dalam Undang-Undang No.8 Tahun 2015.

3.

Fikih Siyasah atau Hukum Tata Negara Islam adalah salah satu aspek
Hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan
manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu
sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur,

12

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 97/PUU-XI/2013
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010), 223
13

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis
untuk mencapai sesuatu.14

H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif analisis dan pengumpulan data melalui
metode penelitian pustaka (library research).
1.

Data yang Dikumpulkan
a.

Data mengenai tugas, wewenang, Mahkamah Konstitusi.

b.

Data mengenai hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

c.

Data mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomer 97/ PUUXI/2013.

d.
2.

Data mengenai sengketa pemilukada.

Sumber Data
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat
penulis, maka dalam hal sumber penelitian, akan dibagi menjadi 2(dua)
yaitu: sumber data yang bersifat primer dan sumber data yang bersifat
sekunder. Sumber primer adalah Sumber yang langsung memberikan
informasi data kepada pengumpulan data.Dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan data primer adalah:

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), 3-4.
14

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

1) Maruarar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia,Edisi 2.
2) Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu
Menurut UUD 1945.
3) A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic

Education) Edisi Ketiga Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan
Masyarakat Madani.
4) Ttitik Triwulan T. dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha

Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia.
5) Tim Penulis Imam Amrusi, Nur Lailatul Musyafa’ah, M.Hasan
Ubaidillah, Hukum Tata Usaha Negara Islam, Buku Perkuliahan

Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah Iain Sunan Ampel Surabaya.
6) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam.
7) Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam.
3.

Teknik Pengumpulan Data
Bertolak dari sumber data yang dikumpulkan, maka teknik
pengumpulan data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara membaca, menelaah dan menganalisa sumber-sumber data
berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian
dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.
Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan analisis. Melalui pendekatan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

perundang-undangan dilakukan pengkajian terhadap aturan hukum yang
menjadi fokus dan berhubungan dengan topik permasalahan, yaitu tugas
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilukada pada
Undang-undang Nomer 8 Tahun 2015.
Penulis menggunakan pendekatan analitis dalam rangka menguji
istilah-istilah hukum dalam praktik melalui analisis terhadap tugas dan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sesuai dengan prinsip Hukum
Islam atau tidak. Karena dalam penyelesaian sengketa ataukah
perselisiahan. Sebab pada peradilan bangsa arab belum mempunyai
perundang- undangan untuk dapat dijadikan pedoman oleh para hakim di
masa itu.15
Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang telah
dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret
yang bersifat khusus. Artinya, mengemukakan teori yang bersifat umum,
yaitu teori Wilayah Al-Mazalim kemudian ditarik pada permasalahan
yang lebih khusus tentang peralihan Mahkamah Agung Kepada
Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pemilukada.

15

Basiq Jalil, Peradilan Islam, (Jakarta; Amzah, 2012), 10

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

I.

Sistematika Pembahasan
Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis,
maka penulisan skripsi dibagi ke dalam lima bab. Dalam masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang akan diteliti.
Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang
berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi
operasional, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika
pembahasan.16
Bab II membahas landasan teori tentang konsep Wilayah Al-Mazalim
yang meliputi: pengertian Wilayah Al-Mazalim, dasar hukum Wilayah Al-

Mazalim dan Peralihan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi
dalam menyelesaikan sengketa pemilukada.
Bab III berisi data tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomer
8 Tahun 2015. Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomer 1 Tahun 2015
tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomer 1
Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-undang.
Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu
analisis Undang-undang Pemilukada Nomer 8 Tahun 2015 yang mencakup
tentang: tugas dan kewenangan

Wilayah Al-Mazalim dalam sengketa

Bahdin Nur Tanjung dan Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2010), 56.
16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Pemilukada yang dianalogikan peralihan Mahkamah Agung kepada
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa pemilukada.
Bab V Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan hasil
penelitian dan saran yang diberikan oleh penulis.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II

WILAYAH AL-MAZA>LIM DALAM PERADILAN ISLAM
A. Pengertian Wilayah al-Maza>lim
Kata wilayah al-maza>lim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah
dan al-maza>lim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi,
aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al-maza>lim adalah bentuk jamak
dari mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan,
dan kekejaman.1
Secara terminologi wilayah al-maza>lim berarti kekuasaan pengadilan
yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib, yang bertugas
memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa,
tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh
penguasa terhadap rakyat biasa.2

Wilayah al-maza>lim adalah lembaga peradilan yang secara khusus
menangani kezaliman para peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat.

Wilayah al-maza>lim didirikan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak
rakyat dari perbuatan zalim para penguasa, pejabat, dan keluarganya dan juga
melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan, penindasan, dan
permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

1
2

Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), 113.
Ibid.

17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

Peradilan ini bertujuan agar mengembalikan hak-hak rakyat yang telah
diambil oleh mereka, dan untuk menyelesaikan persengketaan antara
penguasa dan warga negara.3 Yang dimaksud penguasa dalam definisi ini
menurut al-Mawardi adalah seluruh jajaran pemerintahan mulai dari pejabat
tertinggi sampai pejabat paling rendah. Muhammad Iqbal mendefinisikan

wilayah

al-maza>lim

adalah

sebagai

lembaga

yang

menyelesaikan

penyelewengan pejabat negara dalam melaksanakan tugasnya, seperti
pembuatan keputusan politik yang merugikan dan melanggar kepentingan
hak-hak rakyat serta perbuatan pejabat negara yang melanggar HAM rakyat.4
Secara operasional, qa>d}i> maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak
dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali putusan yang
dibuat oleh dua hakim tersebut atau menyelesaikan masalah banding.5

Al-niza>m al-maza>lim atau wilayah al-maza>lim yaitu lembaga yang
bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan ketertiban
hukum baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat,
dan memutuskan perkara. Lembaga ini mempunyai tiga macam hakim, al-

qa>d}i>, al-muhtasib, dan qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim dengan tugas
yang berbeda. Qa>d}i> bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum,
menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada
masalah ini di setiap wilayah diangkat beberapa hakim. Setiap perkara
Alaiddin Kotto, et al., Sejarah Peradilan Islam, Ed.1-2. ( Jakarta: Rajawali Press, 2012), 132.
Imam Amrusi Jaelani, et.al., Hukum Tata Negara Islam, cet. 1 (Surabaya: Mitra Media
Nusantara, 2013), 33.
5
Jaenal Aripin, Peradilan Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta:
Kencana, 2008), 168.
3

4

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

diselesaikan menurut mazhab yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, qa>d}i>
Irak mengikuti mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghrib (Afrika) menurut
mazhab Malik, dan di Mesir menurut mazhab Syafi’i.6
Adapun pejabat al-muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengawasi
ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang perlu
penanganan segera. Al-muhtasib juga bertugas menegakkan amar makruf dan
nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya pelanggaran
hak-hak tetangga, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum
syariat.7
Sedangkan qa>d}i> al-maza>lim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak
dapat diputuskan oleh qa>d}i> dan muhtasib, meninjau kembali keputusankeputusan yang dilakukan oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan
perkara banding. Badan ini memiliki mahkamat al-maza>lim. Sidangnya selalu
diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang
: 1. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang sekuat tenaga berusaha
meluruskan

penyimpangan-penyimpangan

hukum,

2.

Para

hakim

mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang
berhak, 3. Para fukaha tempat rujukan qa>d}i> al-maza>lim bila menghadapi
kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang muskil dari segi hukum syariat,
4. Para katib mencatat pernyataan-pernyataan dalam sidang dan keputusan

J. Syuyuthi Pulungan., Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, ed. 1, cet 4. ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999), 176.
7
Ibid.
6

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

sidang, dan 5. Para saksi memberi kesaksian terhadap masalah yang
diperkarakan, dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah
benar dan adil. Agar para hakim melaksanakan tugasnya dengan sebaikbaiknya, mereka diberi tunjangan yang tinggi dan dilarang melakukan
pekerjaan sampingan yag dapat menggangu kelancaran tugasya, seperti
berdagang.8
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wilayah al-maza>lim adalah
salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan
untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat
dan negara. Selain itu menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan
oleh para pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan
terhadap rakyat biasa.9

B. Sejarah Singkat Wilayah al-Maza>lim
Asal-usul wilayah al-maza>lim ini berasal dari Persia. Para kaisar Persia
yang pertama kali mempraktikannya. Menjelang Islam datang, lembaga ini
pernah muncul dan dipraktikkan di Arab sebelum Islam.10 Hal ini wujud dari
komitmen orang-orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kezaliman
sekaligus memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.

8

Ibid.
Alaiddin Kotto, et al., Sejarah..., 131.
10
Ibid., 133.

9

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Lembaga ini oleh bangsa Quraisy dilaksanakan dalam bentuk fakta al-

fudhul (Hilf al-Fudhul). Dalam suatu riwayat dari az-Zubair bin Bakar tercatat
bahwa ada seorang laki-laki Yaman yang berasal dari Bani Zubaid datang ke
kota Mekkah untuk berdagang. Kemudian ada orang dari Bani Sahm (dalam
riwayat lain ada yang menyebut bernama al-Ash bin Wail) membeli
dagangannya. Laki-laki yang membeli tersebut mengambil barang melebihi
jumlah yang ditentukan. Saat si pedagang meminta kembali barang yang
diambilnya ia menolak. Akhirnya, hilanglah kesabaran si pedagang dan ia
berteriak di atas sebongkah batu di samping Ka’bah seraya melantunkan syair
yang berisi kecaman terhadap kezaliman yang ia rasakan. Tindakan si
pedagang tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari orang-orang

Quraisy. Hal ini terlihat dari intervensi Abu Sufyan dan Abbas bin Abdul
Muthalib dalam membantu mengembalikan hak si pedagang tersebut. Orangorang Quraisy berkumpul di rumah Abdullah bin Jadz’an untuk membuat
kesepakatan menolak segala bentuk kezaliman di Mekkah sehingga peristiwa
yang telah terjadi tidak akan terulang kembali. Kesepakatan itulah yang
kemudian dikenal dengan “Hilf al-Fudhul”.11
Pada masa Nabi Saw. beliau pernah memerankan fungsi ini ketika
terjadi kasus irigasi yang dipertentangkan oleh Zubair bin Awwam dengan
seseorang golongan Anshar. Seseorang dari golongan Anshar tersebut berkata,
“Alirkan air tersebut ke sini !”, namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi

11

Basiq Djalil, Peradilan..., 113-114.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Saw. berkata, “Wahai Zubair, alirkan air tersebut ke lahanmu, kemudian
alirkan air tersebut ke lahan tetanggamu.” Orang Anshar tersebut marah
mendengar perkataan Nabi Saw. seraya berkata, “Wahai Nabi, pantas kamu
mengutamakan dia, bukankah dia anak pamanmu?” Mendengar jawaban ini,
memerahlah wajah Nabi Saw. seraya berkata, ”Wahai Zubair, alirkan air
tersebut ke perutnya hingga sampai ke kedua mata kakinya.”12
Pada masa kalifah para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas
jihad, sedang para khalifah dan bawahannya berusaha keras dalam
menegakkan keadilan, kebenaran,dan mengembalikan hak-hak orang-orang
yang dizalimi sehingga kasus-kasus yang menjadi kompetensi wilayah al-

maza>lim sangat sedikit jumlahnya. Pada waktu itu, apabila para sahabat
merasa kebingungan terhadap suatu permasalahan, mereka mencukupkan diri
kembali kepada hukum al-qa>d}a>. Meskipun ada indikasi-indikasi yang
mengatakan bahwa peradilan al-maza>lim sudah dipraktikan sejak zaman Nabi
dan al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, namun keberadaanya belum diatur secara
khusus.13
Dalam Islam, lembaga wilayah al-maza>lim baru muncul pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, tepatnya pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika

12
13

Ibid., 114.
Ibid., 114-115.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung
oleh khalifah, tetapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut

qa>d}i> al-maza>lim atau sh>ahib al-maza>lim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak
mesti

seorang

hakim,

memang

hakim

lebih

diutamakan

karena

pemahamnannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum.
Namun, khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa,
amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat,
sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat

wilayah al-maza>lim kadangkala adalah seorang menteri peperangan. Penguasa
dinasti Abbasiyah yang sangat peduli terhadap eksistensi lembaga wilayah al-

maza>lim adalah khalifah al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun.14
Diceritakan pada hari Ahad, khalifah al-Ma’mun sedang membuka
kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kezaliman ynag dilakukan oleh
pejabat. Datang seorang wanita dengan pakaian jelek tampak dalam
kesedihan. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al-Abbas,
menzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian sang khalifah
memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam, untuk menyidangkan kasus
tersebut di depan khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut
mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-Abbas sehingga
para pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al-Ma’mun berkata,
“Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan kebatilan

14

Alaiddin Kotto, et al., Sejarah..., 133-134.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si wanita
dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.15

C. Dasar Hukum Wilayah al-Maza>lim

Al-qa>d}a> merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam,
prinsip-prinsip keadilan dalam Islam menjadi landasan pokok pelaksanaan
syariat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Nisa (4) ayat
135 yang berbunyi:

‫يا أي ا الذين آمن ْوا كونوا قوامين با ْلقسْط ش داء ّ ل ْو علي أ ْنفسك ْم أ ْالوالديْن‬
‫يرا فا ّ أ ْ لي ب ا فا تتبعوا ْال وي أ ْ ت ْعدلوا‬
ً ‫اا ْقربين إ ْ يك ْن غنيًا أ ْ فق‬
‫يرا‬
ً ‫إ ْ ت ْلو ا أ ْ ت ْعرضوا فإ ّ كا ب ا ت ْع لو خب‬
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsuu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan (QS. surah al-Nisa: 135).
Kerangka dasar pelaksanaan peradilan Islam dalam menangani perkara
pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab. Kerangka dasar tersebut termaktub
dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian menjadi dasar

15

Basiq Djalil, Peradilan..., 116.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

peradilan modern saat ini. Dari surat Umar tersebut terdapat delapan
penggalan dan menjadi kerangka dasar, yang meliputi: 1. Sesungguhnya
peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. dan
suatu sunah Rasul yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada
suatu perkara yang dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika benar, 2.
Sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak
ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia
di dalam majelismu, pandanganmu, dan keputusanmu sehingga bangsawan
tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak
berputus harapan dari keadilan, 3. Keterangan berupa bukti atau saksi
hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah
dilakukan oleh orang yang mungkin (terdakwa).16
Penggalan kerangka dasar selanjutnya adalah: 1. Perdamaian diizinkan
hanya antara orang-orang yang bersengkata dari kalangan muslim, kecuali
perdamaian yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan
barang yang halal, 2. Barangsiapa mengaku suatu hak dengan bukti-bukti yang
belum terkumpul di tangannya maka berikanlah kepada orang itu yang
ditentukan. Jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut berikanlah
haknya, dan jika ia tidak sanggup maka selesailah persoalannya. Cara
memberikan waktu yang ditentukan itu adalah sebaik-baik penangguhan dan
lebih menjelaskan keadaan yang samar, 3. Tidaklah akan menghalangimu

16

Ibid., 14-15.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau
meninjau kembali sedang engkau mendapat petunjuk, tidaklah hal itu
menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu qadim yang
tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran itu adalah
lebih baik daripada terus-menerus di dalam kesesatan.17
Kerangka dasar peradilan Islam selanjutnya yakni: 1. Kaum muslim
adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang
pernah bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukum jilid
(dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya karena kerabat. Hanyalah
Allah yang menguasai rahasia hati hamba-hambanya dan melindungi mereka
dari hukumanNya, kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah,
dan 2. Pahamilah dengan benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang
perkara yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau sunah Nabi, kemudian
pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara tersebut dan cari pula contohcontohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang
terbaik di sisi Allah dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar.18

D. Kedudukan Wilayah al-Maza>lim
Badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam yang meliputi:
1. Al-qa>d}a>, hakimnya bergelar al-qa>d}i>, bertugas mengurus perkara-perkara

17
18

Ibid., 15-16.
Ibid., 17-18.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

yang berhubungan dengan agama pada umumnya, 2. Al-hisbah, hakimnya
bergelar

al-muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang

berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang
memerlukan pengurusan segera, dan 3. An-Nad}ar fi al-maza>lim, hakimnya
bergelar s}ahibul atau qa>d}i> al-maza>lim, bertugas menyelesaikan perkaraperkara banding dari dua badan pengadilan di atas.19
Dua institusi yang melengkapi peradilan, yaitu wilayah al-maza>lim dan

wilayah al-hisbah merupakan istilah yang datang kemudian. Tetapi secara
empirik, praktiknya sudah terjadi pada masa zaman Rasulullah. Wilayah al-

maza>lim bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang
dilakukan oleh penguasa dan keluarganya. Sedangkan wilayah al-hisbah
bertugas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh
rakyat.20
Secara

kelembagaan,

wilayah al-maza>lim merupakan institusi

pengendali, yaitu suatu kekuasaan peradilan lebih tinggi dari pada pengadilan
biasa, sedangkan wilayah al-hisbah adalah lembaga keagamaan yang
merupakan lembaga peradilan moral, yang berfungsi untuk menegakkan amar
makruf nahi munkar. Disebut amar makruf nahi munkar karena bertugas
mengajak kebaikan dan mencegah kejahatan. Pada awalnya, lembaga ini

19

Ibid., 159-160.
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan
Agama di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 75.
20

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

bertugas menjaga dan mengawasi kecurangan-kecurangan pedagang di
pasar.21
Dalam perkembangan berikutnya tugas wilayah al-hisbah ini semakin
bertambah luas, yakni dengan melakukan tugas pengawasan bagi berlakunya
peraturan umum dan ketentuan agama yang berkenaan dengan moral
masyarakat yang menyimpang, seperti kelancungan timbangan dan meteran
yang salah, peredaran uang palsu, dan komoditi pasu. Di samping itu, tugas
lain yang diembankannya adalah membantu orang-orang lemah yang tidak
mampu mempertahankan haknya. B. Lewis, Ch. Pelat, dan J. Schachtt
menambahkan tugas wilayah al-hisbah itu dengan memberlakukan peraturan
Islam tentang kejujuran, sopan, santun, dan kebersihan.22
Adapun khalifah pertama kali yang membuat perhatian dan
mengkhususkan wilayah al-maza>lim terpisah dari peradilan umum, adalah
khalifah Abdul Malik bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan
perhatian lebih besar lagi terhadap wilayah al-maza>lim ini adalah khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Di samping memperhatikan lembaga wilayah al-

maza>lim, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga membangun dan menghidupkan
wilayah al-syurt}ah (lembaga kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya
(kompetensi relatif). Lembaga syurt}ah secara khusus ditugaskan untuk
menangkap orang-orang yang diberi hukuman pidana.23

21

Ibid.
Ibid.
23
Ibid.
22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

E. Tugas dan wewenang (Kompetensi) Wilayah al-Maza>lim
Dalam bidang peradilan pada awal berkembangnya Islam, Nabi di
samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai hakim tunggal, dan baru
kemudian setelah wilayah Islam meluas beliau mengizinkan sejumlah sahabat
bertindak sebagai hakim, khususnya kepada mereka yang ditugaskan
mengepalai pemerintahan di wilayah-wilayah di luar Madinah, dengan
berpedoman al-