PERGESERAN KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILUKADA DARI MAHKAMAH AGUNG KE MAHKAMAH KONSTITUSI

PERGESERAN KEWENANGAN PENYELESAIAN
SENGKETA PEMILUKADA DARI MAHKAMAH
AGUNG KE MAHKAMAH KONSTITUSI

Septi

ur Wijayanti

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Abstract
Direct regional election zuhich lus been luld in lndonesia sine
2005 arises many problems in its implementation. There are conflicts
among political parfies that prottide political support for political
candidatus, behoeen participants ofpolitical parties and the Election
Commission, or befr.oeen participants of tlu political parties and the
participant of the opponent political partbs, and so fortlt. These, of
course, raises fl question, zoluther direct regional elechon rundated
to enhance democratic aalues turns out to arise both hoizontal and
aertical conflicts. Based on Article 106 of Act number 32 of 2004,
thz complztion of regional election disputes is carrieil out by the

Supreme Court. Hotttezter, 70ith the release of Act No.12 of 2008
Article 235C the authority is transferred to the Constitutional Court,
tohich decisions are final, so that no legal action can be carried out
after tlu decisions are issued.

Keyzttords: conftict, regional elections, the constifutional court

A.

Pendahuluan
Disa-hkannya UU Nomor 12 tahun2008 tentang perubahan

,lmall.llttrtl'l,vol

r, No. I, Juni 2O1O

PzXP-FEII IVER.STTAT;UI'EA} ADITAEYOOVIdA.IiI&

kedua UU Nomor 32 fahun 2004 yang menjadi dasar hukum
pergeseran Lewenangan penyelesaian konflik pilkada dari

Mah-kamah Agung ke Mahkamah Konstitusi salah satunya
dipicu dari adanya konflik pilkada yang berujung pada
penyelesaian hukum yang berlarut-larut.

Menurut Irvan Mawardi Sepanjang 2005-2007, Pilkada
telah melahirkan sengketa besar danberujung pada kekerasan
dan kerusuhan seperti Pilkada Depok (2005), Pilkada Tuban
dan Pilkada Sulawesi Barat (2006) dan paling terakhir Pilkada
Buleleng dan pilkada gubenur di Maluku Utara dan Sulawesi
Selatan (2007) .

Lebih lanjut dipaparkan beliau, bahwa dari hasil
pemantauan JPPR di sepanjang Pilkada 2005-2007, umumnya
sengketa dan konflik yang terjadi di Pilkada dipicu oleh tiga
factor,

1.

Tahapan pendaltaran calon yang umumnya memiliki
peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos

verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah
yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi
calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait
ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol
pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol
pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran
dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya
putusan Mahkamah Kons titusi yang membolehkan calon
independent maju dalam Pilkada.

2. Tahapan pendaltaran pemilih yang amburadul
mengakibatkan konflik pada pemungutan dan
penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa pilkada
memang barryak diawali oleh tidak maksimalnya proses
pendaftaran pemilih. Pengalaman pilkada selarna
ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data
pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya
lnanlf.of,lfi$\ vot.

t, No- 7,


tunimn

PgXP-FE I'I{TVENSTXA.S UUqATIIADTYA.E YOGY/IEAEf,A

3-

watga yaTrg tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka
kemungkinan besar tedadi protes dan konflik ketika hari
"H". Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang
protes ke kantor KPUD. Kasus pilkada Kalimantan Barat
akhir tahun lalu yang diwarnai protes ke KpUD oleh
hampir lebih 1000 penrilih yang merasa tidak terdaftar
pada Daftar Pemilih Tetap ( DpI).
Tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil pilkada.

Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap
hasil pilkad4 namun penolakan DpRD tersebut
memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca
pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi

2005 di mana DPRD bersikukuh menolak penetapan
bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penehpan
oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan
calon yang didukukung oleh banyak partai yang secara
politik memiliki kekuatan signifikan fi DpRD. Dan
umunurya penolakan tersebut biasanya berujung pada
tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan
legislative pasca pilkada, seperti kasus Pilkada Depok.

Ketiga konflik tersebu! ada yang dapat diselesaikan
melalui jalur hukum dan juga secara politis. Sengketa pilkada
yang diawali oleh factor pertama dan kedua seperti ctisebut
diatas sangat memungkinkan diselesaikan oleh jalur hukum.
Mengingat secara normative yuridis, sengketa yang teiadi
dalam Pilkada telah cukup akomodatif diatur dalam UU No
32 tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah No 06 tahun
2005. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan
dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan
calon memiliki kesempatan menya_urpaikan keberatan
kepada Mahkarrrah Agung dengan catatan keberatan yang

dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya
pasangan calon. Pasal 105 UU 32 Tahun 2005: L): Keberatan
|[n]'trl'tr'dtul,WL

ur, No.

L

tuni

mfi

9l

PgIC-FE UNTVEBSITAs II'EA.UUADrIAE YOGYAXABTA

terhadap penetapan hasil pemilihnt kepala daerah dnn zoakil
kepala daerah hanya ilapat diajukan oleh pasangm calon l