IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MAHFUẒAT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SANTRIWATI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR PUTRI 5 KEDIRI.

(1)

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MAHFUẒĀT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SANTRIWATI PONDOK MODERN

DARUSSALAM GONTOR PUTRI 5 KEDIRI SKRIPSI

Oleh:

YULIA RAHMAWATI ZAIN NIM. D01212097

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPELSURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Kata Kunci : Pembelajaran mahfuz{a>t, Pembentukan karakter. Nama : YULIA RAHMAWATI ZAIN

NIM : D01212097

Pondok Modern Darussalam Gontor telah lama mengajarkan santri-santrinya akhlak, moral, budi pekerti luhur agar santri memiliki karakter baik dan akhlak mulia. Berbagai macam cara pondok mencetak kader yang berkarakter dan berakhlak mulia lewat nilai, sistem, panca jiwa, panca jangka, falsafah, motto pendidikan pondok, semua pelajaran di bangku sekolah serta semua kegiatan yang ada di pondok. Salah satu materi yang mengajarkan tentang adab, akhlak dan karakter adalah mahfuz{a>t.

Dengan demikian penulis memberikan judul “Implementasi Pembelajaran Mahfuẓa>t dalam Pembentukan Karakter Santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri”. Adapun rumusan adalah Bagaimana proses pembelajaran mahfuz{a>t di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri?, Bagaimana proses pembentukan karakter di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri?, Bagaimana implementasi pembelajaran mahfuz{a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri?

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode observasi, dokumentasi dan wawancara untuk mencapai hasil data yang valid dan representatif serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sedangkan teknik analisis data yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, proses pembentukan karakter di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri melalui 7 tahapan, yakni: pengarahan, pelatihan, penugasan, pembiasaan, pengawalan, uswah hasanah, pendekatan. Adapun implementasi pembelajaran mahfuz{a>t dalam pembentukan karakter santri Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri, khususnya pada pembelajaran mahfuz{a>t kelas 1 dan 1 intensif adalah; kerja keras, jujur, disiplin, kreatif, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggungjawab dan religius.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Penelitian Terdahulu ... 9


(7)

H. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Mahfuz}a>t ... 16

1. Pengertian Proses Belajar Mengajar... 16

2. Komponen-Komponen Proses Belajar Mengajar ... 20

3. Pembelajaran Mahfuz}a>t... 27

B. Pembentukan Karakter ... 32

1. Pengertian Karakter ... 32

2. Urgensi Pendidikan Karakter ... 37

3. Nilai-Nilai Karakter ... 40

4. Pembentukan Karakter ... 48

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 55

B. Subyek dan Obyek Penelitian ... 58

C. Tahap-Tahap Penelitian ... 59

D. Jenis dan Sumber Data ... 61

E. Teknik Pengumpulan Data ... 63

F. Teknik Analisis Data ... 66

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Profil Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri ... 70


(8)

1. Nilai, Falsafah, Visi, Misi, dan Tujuan Pondok Modern Gontor

... 72

2. Struktur Fungsionaris KMI ... 76

3. Keadaan Guru dan Santri ... 77

B. Proses Pembelajaran Mahfuz}a>t di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri ... 79

1. Kurikulum ... 79

2. Pembelajaran Mahfuz}a>t ... 86

C. Pembentukan Karakter di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri ... 107

1. Pengarahan ... 108

2. Pelatihan ... 110

3. Penugasan ... 113

4. Pembiasaan ... 116

5. Pengawalan ... 117

6. Uswah Hasanah ... 118

7. Pendekatan ... 120

D. Implementasi Pembelajaran Mahfuz}a>t Dalam Pembentukan Karakter Santriwati di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri ... 128


(9)

B. Saran ... 158 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tetap istiqa>mah dan konsisten melakukan perannya sebagai pusat pendalaman ilmu ilmu agama (tafaqquh fi> al-di>n) dan lembaga dakwah Islamiyah yang ikut serta mencerdaskan bangsa telah diakui oleh masyarakat, dibuktikan dengan keberhasilannya dalam mencetak tokoh-tokoh agama, pejuang bangsa serta tokoh masyarakat, baik di masa pra-kemerdekaan, setelah kemerdekaan maupun di zaman sekarang. Ini merupakan bukti nyata bahwa pondok pesantren telah banyak memberikan kontribusi dalam membangun bangsa Indonesia.

Istilah pondok sebenarnya berasal dari bahasa Arab fundu>q yang artinya hotel atau asrama.1 Kalimat pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.2 Adapun istilah pesantren mengandung arti tempat menumpang para santri. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan pondok atau pesantren. Tumbuhnya pesantren berawal dari keberadaan seorang alim yang tinggal di suatu daerah tertentu yang kemudian

1

Imam Zarkasyi, Pekan Perkenalan (Ponorogo: Darussalam Press, 1994), Bagian II.

2

Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) h. 61


(11)

2

berdatangan santri-santri untuk belajar padanya.3 Lama kelamaan kediaman alim tersebut tidak mencukupi sehingga santri bersama-sama membangun pemondokan sehingga banyak didirikan bangunan-bangunan baru di sekitar rumah kyai.

Menurut M. Arifin, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.4

Pondok Modern Darussalam Gontor, yang biasa disingkat dengan PMDG, didirikan pada 1926 di Ponorogo, Jawa Timur. Gagasan yang melatarbelakangi pembentukan Pondok Modern adalah kesadaran bahwa perlu dilakukan modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Islam; tidak mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan modern Belanda, melainkan dengan modernisasi sistem dan kelembagaan Islam berbasis pesantren.

3

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h.2.

44

Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Instituisi (Jakarta: Erlangga, 2009), h.2.


(12)

3

Pondok Modern Gontor memiliki pembaharuan dalam beberapa aspek pendidikan, salah satunya dalam bidang kurikulum. Materi yang diajakan di Gontor merepresentasikan kurikulum yang merupakan perpaduan antara ilmu agama (revealed knowledge) dan ilmu kawniyah (acquired knowledge).5 Jadi di Gontor telah terjadi integrasi ilmu pengetahuan. Dengan istilah lain, tidak ada dualisme keilmuan dalam pendidikan pesantren. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikan ini, yaitu pelajaran bahas Arab dan bahasa Inggris.

Untuk tercapainya moralitas dan kepribadian, kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang bisa mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya. Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam mengamati dan melakukan sesuatu untuk memberikan gambaran realistik kepada siswa tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan demi kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.6

5

Ibid., h.12.

6


(13)

4

Sejalan dengan itu, maka di Pondok Modern Gontor diajarkan pelajaran tentang etiket atau tatakrama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. Kesopanan batin yang menyangkut akhlak jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak gerik, tingkah laku, bahkan pakaian. Pondok Modern Darussalam Gontor telah lama mengajarkan serta menanamkan akhlak dan budi pekerti yang baik untuk mencetak kader umat yang berkarakter, yang mampu bermasyarakat dan bersosialisasi dengan baik

Menurut Oemar Hamalik (1990) terdapat tiga jenis peranan

kurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu “peranan konservatif, peranan

kritis dan evaluatif, dan peranan kreatif”.7

Adapun peranan kritis dan evaluatif, yaitu peranan kurikulum untuk menilai dan memilih nilai-nilai sosial-budaya yang akan diwariskan kepada peserta didik berdasarkan kriteria tertentu. Asumsinya adalah nilai-nilai sosial-budaya yang ada dalam masyarakat akan selalu berubah dan berkembang. Nilai-nilai sosial budaya ini yang akan membentuk karakter setiap anak didik (santri-murid).

Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok. Adapun karakter disini berarti sifat-sifat

7

Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h.17


(14)

5

dasar seseorang yang bernilai baik yang sesuai dengan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatannya, sedangkan sifat-sifat dasar seseorang yang tercela dan tidak sesuai dengan norma-norma kebaikan maka disebut tabiat.8

Karakter tampak dalam kebiasaan. Karena itu, seorang dikatakan berkarakter baik manakala dalam kehidupan nyata sehari-hari memiliki tiga kebiasaan, yaitu: memikirkan hal yang baik (habits of mind), menginginkan hal yang baik (habits of heart), dan melakukan hal yang baik (habits of action).9 Substansi atau pokok dari karakter baik adalah kebajikan (virtue) yakni kecenderungan untuk melakukan tindakan yang baik menurut sudut pandang moral universal.10 Misalnya, memperlakukan semua orang secara adil (justice). Tindakan macam ini lazimnya dilakukan oleh orang yang memiliki kualitas-kualitas yang secara objektif maupun secara intrinsik baik.

8

Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h.20

9

Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, (Erlangga, 2011), h.20

10

Thomas lickona membedakan nilai-nilai moral menjadi dua macam. Yaitu, nilai-nilai moral universal dan nilai-nilai moral non-universal. Nilai moral universal membawa serta kewajiban moral universal, yaitu kewajiban yang mengikat semua orang dimanapun mereka berada untuk menghargai martabat kemanusiaan fundamental setiap orang. Sedangkan nilai moral non-universal tidak membawa serta kewajiban moral universal, melainkan kewajiban moral individual. Misalnya kewajiban moral yang muncul dari nilai-nilai agama (berdoa, bersembahyang, dll). Karakter lebih terkait dengan nilai-nilai moral universal yang tentunya membawa serta kewajiban moral universal. Saptono, (Erlangga, 2011), h.20


(15)

6

Secara objektif baik, maksudnya bahwa kualitas-kualitas itu diakui dan dijunjung tinggi oleh agama-agama dan masyarakat beradab di segenap penjuru dunia. Secara intrinsik baik, maksudnya kualitas-kualitas itu merupakan tuntutan dari hati nurani manusia beradab. Karena itu, kualitas-kualitas itu dianggap mengatasi ruang dan waktu. Ia berlaku dimana pun dan kapan pun (walaupun bentuk ekspresi konkritnya bisa jadi berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya).

Kurikulum yang diterapkan di KMI (Kulliyatul Mu’allimi>n al Islamiyyah) yang bersifat akademik, dibagi menjadi 8 bidang studi,11 yakni:

1. Bahasa Arab 2. Dirasah Islamiyah 3. Ilmu Keguruan 4. Bahasa Inggris 5. Ilmu Pasti

6. Ilmu Pengetahuan Alam 7. Ilmu Pengetahuan Sosial 8. Kewarganegaraan

11

Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), h.143


(16)

7

Beberapa bidang studi bahasa Arab adalah; Mutho>la’ah, ini adalah pelajaran yang berisi tentang cerita yang bermakna, sejarah, ataupun fiksi yang wajib dihafalkan; Mahfuz}a>t, yang mana merupakan syair-syair arab yang berisi tentang hikmah-hikmah dan peribahasa dengan tujuan menanamkan pedoman hidup, motivasi dalam diri santri sehingga mampu membentuk karakter-karakter baik dalam diri setiap santri; dan lain sebagainya.

Materi mahfuz}a>t diajarkan kepada para santri dengan memberikan beberapa bait kalimat ataupun peribahasa dalam bahasa arab, kemudian diterangkan isi dan makna yang tersirat dari bait atau peribahasa tersebut sehingga mampu memberi motivasi dan dorongan dalam diri santri, untuk menjadi pribadi yang baik dengan karakter yang baik pula. Maka dari itu penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Pembelajaran Mahfuz}a>t dalam Pembentukan Karakter Santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pembelajaran mahfuz}a>t di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri?

2. Bagaimana proses pembentukan karakter di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri?


(17)

8

3. Bagaimana implementasi pembelajaran mahfuz}a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui proses pembelajaran mahfuz}a>t di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri

2. Mengetahui proses pembentukan karakter di Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri

3. Mengetahui implementasi pembelajaran mahfuz}a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis.

1. Secara teoritis,

Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memperdalam tentang implementasi pembelajaran mahfuz}a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Gontor Putri 5 Kediri. Serta sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk referensi


(18)

9

penelitian-penelitian berikutnya yang masih berhubungan dengan topik penelitian ini.

2. Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan:

a. Bagi penulis, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan menambah wawasan penulis tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan implementasi pembelajaran mahfuz}a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Gontor Putri, khususnya dalam pembelajaran Mahfuẓat di PMDG putri 5 kediri.

b. Bagi lembaga pendidikan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam meningkatan pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Gontor Putri 5 melalui pembelajaran mahfuz}a>t.

c. Bagi pihak lain yang membaca tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai implementasi pembelajaran mahfuz}a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Gontor Putri, ataupun sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti berikutnya

E. Penelitian Terdahulu

Pada dasarnya segala sesuatu yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sesuatu yang telah ada sejak dulu. Begitupula


(19)

10

dengan penelitian yang dilakukan saat ini bukanlah penelitian yang murni baru, melainkan penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Sehingga penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Penelitian yang berjudul IMPLEMENTASI BUDAYA

RELIGIUS DALAM MEMBENTUK AKHLAK SISWA: STUDI KASUS SISWA KELAS VIII DI MTSN TLASIH TULANGAN SIDOARJO. Penelitian tersebut merupakan skripsi yang ditulis oleh Ovi Munawaroh, (2015), Fakultas tarbiyah dan Keguruan, Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Surabaya. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya kasus-kasus negatif yang dilakukan oleh para pelajar saat ini. Kasus tersebut seperti pencurian, narkoba dan yang lebih parah adalah perbuatan mesum. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Keberadaan budaya religius di sekolah menjadi penting. Nilai-nilai agama yang ada pada diri anak seringkali terkalahkan oleh budaya-budaya negatif di sekitarnya. Untuk itu, perlu adanya suatu budaya-budaya positif yang diimplementasikan untuk menanggulangi budaya-budaya negatif tersebut. budaya positif ini bisa diwujudkan dalam bentuk pengimplementasian budaya religius di sekolah. Karena dalam budaya religius mengandung banyak budaya positif yang bisa dibiasakan untuk anak. Selain dibiasakan


(20)

11

untuk mengamalkan ajaran agama yang memang diperintahkan, juga dapat berpengaruh terhadap akhlak anak. Sebagai hasil dari implementasi budaya religius dalam membentuk akhlak dapat didapat empat hal, yaitu: kesucian jiwa siswa, perilaku sosial siswa sebagai Muslim, pemikiran religius siswa, dan konsep diri siswa sebagai Muslim.

Kedua, penelitian yang berjudul KONSEP PEMBENTUKAN KARAKTER: STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN STEPHEN R. COVEY DAN KH. IMAM ZARKASYI. Penelitan tersebut merupakan skripsi ini ditulis oleh Novi Mega Sari, (2013), program studi Pendidikan Agama Islam / FTK Universitas Islam Negeri Surabaya. Skripsi ini membahas konsep pembentukan karakter dalam perspektif Stephen R Covey adalah dengan tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif (the seven habits of highly effective people) yaitu 1. Kebiasaan proaktif (proactive), 2. Memulai dengan tujuan akhir (begin with the end in mind), 3. Dahulukan yang utama (put first things first), 4. Berfikir menang atau menang (think win/win), 5. Berusaha mengerti dahulu, baru meminta dimengerti (seek first to understand then to be understood), 6. Sinergi (synergy), dan 7. Asahlah gergaji (sharpen the saw). Adapun konsep pembentukan karakter dalam perspektif KH. Imam Zarkasyi adalah dengan menerapkan panca jiwa pondok pesantren yaitu yaitu 1. Jiwa


(21)

12

keikhlasan, 2. Jiwa kesederhanaan 3. Jiwa kemandirian (berdikari), 4. Jiwa ukhuwwah diniyyah, dan 5. Jiwa bebas. Serta memegang teguh motto pondok pesantren Gontor yaitu berbudi tinggi (al-akhlaq al-karimah), berbadan sehat (al-jism al-sahih), berpengetahuan luas (al‘ulum al -wasi’ah) dan berfikiran bebas (hurriyat al-fikr).

F. Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas. Peneliti ingin memberikan batasan masalah dengan fungsi sebagai penyempit obyek yang akan diteliti agar fokus dalam penelitian ini tidak melebar luas. Dalam hal ini yang menjadi tolak ukur dalam pembatasan masalah adalah Implementasi Pembelajaran Mahfuz}a>t dalam Pembentukan Karakter Santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri.

G. Definisi Istilah atau Definisi Operasional

Definisi operasional adalah hasil dari operasionalisasi. Menurut Black dan Champion untuk membuat definisi operasional adalah dengan memberi makna pada suatu konstruk atau variabel dengan menetapkan


(22)

13

“operasi” atau kegiatan yang diperlukan untuk mengukur konstruk atau

variabel tersebut.12

Untuk lebih memperjelas dan mempermudah pemahaman dan menghindari kesalahpahaman, maka peneliti akan menegaskan definisi operasional variabel-variabel penelitian ini sebagai berikut:

Implementasi : pelaksanaan, penerapan.13

Pembelajaran : proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar 14.

Dalam : kata depan untuk menandai tempat yang mengandung isi, kata depan untuk menandai sesuatu yang dianggap isi (kiasan).15

Pembentukan : proses, cara, perbuatan membentuk.16

Karakter : watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian.17

Santriwati : santri perempuan, orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, orang yang shaleh.18

12

James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial,

E.Koeswara, dkk, (Penerj.) (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 161.

13

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 427

14

Ibid., h.17.

15

Ibid, h.323.

16

Ibid., h. 136

17


(23)

14

Dari definisi di atas maka yang dimaksud dengan implementasi pembelajaran mahfuz}a>t dalam pembentukan karakter santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri. Penerapan pembelajaran mahfuz}a>t yakni kata-kata mutiara, peribahasa pilihan dalam pembentukan watak/kepribadian Santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri melalui pembelajaran di PMDG Putri 5 Kediri.

H. Sistematika Pembahasan

Penulis membagi sistematika pembahasan penelitian ini menjadi lima bab dengan rincian tiap bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang meliputi tentang: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, definisi operasional, sistematika penulisan.

Bab II Kajian Teori meliputi tentang: A. Pengertian proses belajar mengajar, Komponen proses belajar mengajar, Pembelajaran mahfuz}a>t (pengertian mahfuz}a>t dan langkah-langkah pembelajaran mahfuz}a>t). B. Pembentukan Karakter: pengertian karakter, urgensi pendidikan karakter, nilai-nilai karakter, pembentukan karakter.

18


(24)

15

Bab III Metode Penelitian meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, subyek dan obyek penelitian, tahap-tahap penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, teknik pemeriksaan keabsahan data.

Bab IV Laporan Hasil Penelitian yang meliputi: gambaran umum obyek penelitian, penyajian data dan analisis data.

Bab V: Penutup, sebagai bab terakhir bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian dan saran-saran dari penulis untuk perbaikan-perbaikan yang mungkin dapat dilakukan.


(25)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Mahfuz}a>t

1. Pengertian Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan itu turut menentukan lingkungan dalam membantu kegiatan belajar. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang peserta didik belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujuan yang diharapkan.19

Proses belajar mengajar secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan interaksi dan saling mempengaruhi antara pendidik dan peserta didik, dengan fungsi utama pendidik memberikan materi pelajaran atau sesuatu yang mempengaruhi peserta didik, sedangkan peserta didik menerima pelajaran, pengaruh atau sesuatu yang diberikan oleh pendidik.

Dalam pengertian yang luas dan sistematik, proses belajar mengajar adalah kegiatan yang melibatkan sejumlah komponen yang

19

Iif Khoiru Ahmadi, et.al., Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), h. 31.


(26)

17

antara satu dan lainnya saling berkaitan. Komponen tersebut antara lain meliputi visi dan tujuan yang ingin dicapai, guru yang profesional dan siap mengajar, murid yang siap menerima pelajaran, pendekatan yang akan digunakan, strategi yang akan diterapkan, metode yang akan dipilih, teknik dan taktik yang akan digunakan.20

Dalam kegiatan belajar mengajar dapat diumpamakan bahwa bakat, minat, kecerdasan, dan berbagai kemampuan peserta didik merupakan potensi yang baru akan berharga dan dihormati sebagai manusia apabila berbagai potensi tersebut diolah, diproses, dibina, dibentuk, dan dikembangkan menjadi sesuatu yang bernilai dan berguna bagi manusia. Proses mengubah berbagai hal yang dimiliki manusia yang masih berupa potensi menjadi sesuatu yang tampak jelas nilai guna dan manfaatnya dan selanjutnya menjadi sesuatu yang aktual itulah sesungguhnya hakikat proses belajar mengajar.21

Dengan demikian, ukuran keberhasilan proses belajar mengajar itu dapat dilihat pada sejauh mana proses tersebut mampu menumbuhkan, membina, membentuk, dan memberdayakan segenap potensi yang dimiliki manusia, atau pada sejauh mana ia mampu

20

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), h. 142.

21


(27)

18

memberikan perubahan secara signifikan pada kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik.

Proses belajar mengajar secara singkat ialah proses memanusiakan manusia, yakni mengaktualisasikan berbagai potensi manusia, sehingga potensi-potensi tersebut dapat menolong dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Sebuah proses belajar mengajar dapat diakatakan gagal, jika antara sebelum dan sesudah mengikuti sebuah kegiatan belajar mengajar, namun tidak ada perubahan apa-apa pada diri siswa atau mahasiswa.

Selanjutnya dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan antara yang mengutamakan input, proses, dan output. Kelompok yang mengutamakan input berpendapat, bahwa dalam pendidikan yang terpenting dan sangat mempengaruhinya adalah kompetensi atau kemampuan dasar peserta didik. Seorang peserta didik yang kompetensinya sudah unggul dengan sendirinya dapat menjadi lulusan yang unggul.

Sedangkan kelompok yang mengutamakan proses (thruput) berpendapat, bahwa jika input peserta didik itu sudah baik, dan hasilnya menjadi baik adalah bukan sesuatu yang mengejutkan atau membanggakan. Hal tersebut merupakan hal bisa. Sesuatu dapat mengejutkan atau membanggakan jika input peserta didiknya kurang


(28)

19

baik, atau bahkan rendah mutunya, namun setelah mengikuti proses belajar mengajar menjadi baik dan unggul kompetensinya, maka itulah yang dikatakan proses belajar mengajar yang baik. Dengan demikian, bahwa yang menentukan keberhasilan proses belajar mengajar bukanlah semata-mata terletak pada inputnya, namun yang lebih penting lagi prosesnya. Pendapat lebih lanjut mengatakan, bahwa sungguhpun inputnya kurang baik, namun jika prosesnya berjalan dengan baik dan efektif, maka hasil outputnya akan baik pula.22

Konsep belajar mengajar yang berbasis pada proses ini juga terdapat dalam konsep belajar tuntas atau mastery learning yang digagas oleh Benyamin S. Bloom. Menurutnya, bahwa pada dasarnya semua orang dapat menguasai bahan pelajaran sampai tuntas, namun untuk menguasai bahan pelajaran tersebut setiap orang harus diperlakukan secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Bagi siswa yang kecerdasannya sedang-sedang saja, atau rendah. Dengan memperlakukan cara dan lamanya waktu yang dibutuhkan secara berbeda-beda, akhirnya seseorang akan sampai pada tujuannya masing-masing dan menguasai bahan pelajaran sampai tuntas.23

22

Ibid., h. 144-145.

23


(29)

20

2. Komponen-Komponen Proses Belajar Mengajar

Selain terdapat guru dan murid serta mungkin sejumlah teknisi atau fasilitator lainnya yang membantu, kegiatan proses belajar mengajar juga membutuhkan kejelasan sejumlah komponen atau aspek lainnya. Komponen tersebut yaitu aspek tujuan, pendekatan, metode, teknik dan taktik. Berbagai komponen atau aspek tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.24

a. Menentukan Tujuan Belajar Mengajar

Tujuan belajar mengajar adalah sejumlah kompetensi atau kemampuan tertentu yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Tujuan belajar mengajar tersebut secara lebih detail dan terperinci harus dirumuskan oleh setiap guru yang akan mengajar.

Tujuan proses belajar mengajar tersebut lebih lanjut sapat dikelompokkan pada tujuan yang bersifat kognitif, afektif, atau psikomotorik. Tujuan yang bersifat kognitif meliputi aspek mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, dan menyimpulkan. Adapun tujuan yang bersifat afektif meliputi aspek menerima, merespons, meyakini,

24


(30)

21

menerapkan dan menekuninya. Selanjutnya tujuan yang bersifat psikomotorik meliputi aspek memersepsi dengan indra, menyiapkan diri untuk melakukan sesuatu, menampilkan respons terhadap sesuatu yang sudah dipelajari, mengikuti atau mengulangi perbuatan yang dicontohkan, melakukan gerakan motorik dengan ketrampilan yang penuh, mengadaptasi dan memodifikasi berbagai kemampuan tersebut menjadi kemampuan lain sebagai hasil sintesis, serta kemampuan menciptakan gerakan baru.25

Pada setiap tujuan belajar mengajar dari setiap mata pelajaran perlu dirumuskan dengan jelas dan operasional tentang kompetensi atau kemampuan yang ingin diwujudkan pada setiap peserta didik, baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan cara demikian, proses belajar mengajar tersebut akan dapat berjalan secara efisien dan efektif, dan terhindar dari perbuatan yang sia-sia.

b. Menentukan Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar

Pendekatan dapat diartikan sebagai cara pandang atau titik tolak yang digunakan dalam menjelaskan sesuatu masalah.

25

Abuddin Nata, Menuju Sukses Sertifikasi Guru dan Dosen (Banten: Fazamedia, 2009), h.88-89.


(31)

22

Karena cara pandang atau titik tolak yang dapat digunakan dalam menjelaskan sesuatu masalah itu amat banyak, maka kesimpulan yang akan dihasilkan pun akan berbeda-beda. Dengan demikian, pendekatan dalam proses belajar mengajar adalah cara pandang atau titik tolak yang digunakan seorang guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.

Dilihat dari segi bentuk dan macamnya, pendekatan proses belajar mengajar dapat dilihat dari segi kepentingan guru (eksternal atau teacher centris), kepentingan murid (internal atau student centris), dan perpaduan di antara dua kepentingan tersebut (konvergensi).26

Pendekatan dalam proses belajar mengajar, juga dapat dilihat khusus dari segi latar belakang peserta didik, yaitu ada peserta didik masih kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa, dan manusia lanjut usia (manula). Berbagai ciri psikologis yang terdapat pada setiap kategori usia tersebut digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan proses belajar mengajar. Sebuah materi sama yang akan diajarkan kepada setiap manusia pada setiap tingkatan tersebut mengharuskan adanya pendekatan yang berbeda.

26


(32)

23

c. Menentukan Metode Pengajaran

Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.27 Metode mengajar secara harfiah berarti cara mengajar. Adapun dalam pengertian umum, metode mengajar adalah cara atau langkah-langkah sistematik yang ditempuh oleh seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik.28 Dalam makna lain, diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan dalam mengarahkan perkembangan seseorang khususnya dalam proses belajar mengajar.29

Berbagai metode yang akan digunakan sangat bergantung kepada pendekatan yang akan ditempuh. Pada pendekatan proses belajar mengajar yang bertumpu pada keaktifan guru (teacher centris) misalnya, maka metode yang paling tepat digunakan antara lain: metode ceramah, keteladanan, pemberian bimbingan, dan bercerita. Selanjutnya pada proses belajar mengajar yang bertumpu pada aktivitas peserta didik (student centris), metode yang paling tepat

27

Nur Hamiyah, Strategi Belajar Mengajar di Kelas (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2014), h.16.

28

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), h.151.

29

Ahmad Munjin Nasih dan Lilik Nur Kholidah, Metode dan teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Medika Aditarna, 2009), h.30


(33)

24

diantara lain: metode pemecahan masalah (problem solving), kerja kelompok, penugasan, sosiodrama, karya wisata, latihan siap (drill), cara belajar aktif siswa (CBSA). Kemudian pada proses belajar mengajar yang bertumpu pada aktivitas peserta didik dan aktivitas guru secara bersama-sama, maka metode yang paling tepat digunakan antara lain: diskusi, seminar, dan tanya jawab.30

Dengan demikian penentuan dalam memilih metode yang akan digunakan, selain sangat bergantung kepada faktor materi pengajaran, sarana prasarana, peserta didik, lingkungan dan kemampuan guru, juga bergantung pada pendekatan proses belajar mengajar yang akan digunakan.

d. Menentukan Teknik Mengajar

Teknik mengajar adalah cara-cara terstruktur, sistematik dan spesifik dalam melakukan suatu pekerjaan. Perbedaan teknik yang digunakan akan menentukan perbedaan hasil, tingkat kecepatan dan kepuasan kepada orang yang terlibat atau merasakan manfaat dari pekerjaan tersebut. Tidak

30


(34)

25

hanya dalam kegiatan belajar mengajar, melainkan pada hampir seluruh kegiatan terdapat teknik dalam melakukannya.31

Teknik pembelajaran juga dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.32 Misalnya penggunaan metode ceramah dalam kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, tentunya secar teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Teknik pembelajaran adalah implementasi dari metode pembelajaran yang secara nyata berlangsung di dalam kelas, tempat terjadinya proses pembelajaran.33

Dalam kegiatan belajar mengajar, terdapat serangkaian kegiatan yang memerlukan penguasaan teknik yang baik. Kegiatan belajar mengajar tersebut misalnya: pendahuluan yang meliputi apersepsi, penyiapan mental dan fisik peserta didik untuk mengikuti pelajaran, pengaturan tempat duduk peserta didik, dan pembuatan persiapan pengajaran secara

31

Ibid.

32

Iif Khoiru Ahmadi, et.al., Strategi Pembelajaran Berorientasi KTSP (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), h.6

33

Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Dasar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h. 20


(35)

26

tertulis. Selanjutnya diikuti dengan kegiatan memberikan uraian atau menyajikan materi, atau memberikan pengantar diskusi, menghidupkan suasana kelas, memotivasi peserta didik, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, mengambil kesimpulan dan menutup pelajaran. Pada seluruh rangkaian kegiatan belajar mengajar tersebut terdapat teknik yang amat bervariasi, baik dari segi bentuk maupun mutunya.

e. Menentukan Taktik

Yang dimaksud dengan taktik adalah rekayasa atau siasat dalam arti positif yang digunakan oleh seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Kata taktik secara sepintas menggambarkan suatu perbuatan yang kurang terpuji, namun hal tersebut amat bergantung pada tujuannya.34 Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang

34


(36)

27

bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus juga seni (kiat).35

Dalam kegiatan proses belajar mengajar juga terdapat berbagai taktik yang dapat digunakan. Misalnya taktik yang berkaitan dengan upaya mendorong para siswa agar datang tepat waktu, mengerjakan tugas-tugas dengan baik, agar siswa meningkat perolehan nilai ujiannya, agar gemar membaca, dan lain sebagainya. Semua taktik ini perlu dilakukan dalam rangka mendukung pelaksanaan metode pengajaran yang telah dipilih berdasarkan pendekatan yang telah ditetapkan.

3. Pembelajaran Mahfuz}a>t a. Pengertian Mahfuz}a>t

Secara bahasa mahfuz}a>t berarti kalimat-kalimat yang dihafalkan. Dinamakan begitu, karena memang untaian-untaian kalimat itu mengandung pesan-pesan bijak dan penuh hikmah yang wajib diketahui dan dihafal. Dalam bahasa Indonesia boleh juga disebut sebagai “Peribahasa”, “Pepatah”, atau “Kata-kata Bijak.36

Mahfuz}a>t merupakan pelajaran dimana siswa diperlihatkan dari padanya beberapa potongan-potongan karya sastra dan sosial

35

Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Rosdakarya, 2012), h. 134.

36


(37)

28

dari syair dan prosa yang mengandung nilai-nilai akhlaq dan sosial, sebagai pembekalan siswa berupa sense (gaya bahasa) sastrawi dari struktur tulisan, dan kemampuan dalam mencari hikmah kemanusiaan.37

Di dunia pesantren, pelajaran mahfuz}a>t diajarkan untuk memperkenalkan kata mutiara, gaya bahasa dan susunan kalimat (uslub) bahasa Arab yang indah kepada para santri, seraya memberikan asupan yang bermutu untuk jiwa mereka. Mereka dituntut untuk menghafal kalimat-kalimat yang tersusun dalam mahfuz}a>t itu, selain tentu saja memahami artinya.

b. Langkah-langkah Pembelajaran Mahfuz}a>t38 1) Pendahuluan

a) Menyampaikan salam

b) Merapikan kelas (jika kelas belum rapi)

c) Pertanyaan tentang pelajaran yang akan diajarkan, dan ditulis diatas papan tulis, kemudian menulis tanggal hijriyah dan masehi bersama dengan murid-murid.

2) Pembukaan

37

Sutrisno Ahmad, Ushul Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim, (Ponorogo: Darussalam Press), h.41

38


(38)

29

a) Apersepsi yakni guru bertanya tentang pelajaran kemarin yang telah dipelajari lalu menghafalkannya (sesuai kebutuhan/sekedarnya) kemudian menghubungkan dengan judul baru yang akan dibahas, lalu menulis judul materi diatas papan tulis.

3) Pokok Pembahasan (Isi)

a) Pembahasan kalimat/ kosa kata.

b) Penjelasan mahfuz}a>t dari bait per bait apabila mahfuz}a>t berupa naẓam, dan dari baris per baris apabila mahfuz}a>t berupa prosa dengan menanamkan falsafah hidup atau suri tauladan yang baik dengan ringkas serta mentransfer makna atau nasehat pada murid-murid, sehingga teks sastra tersebut nyata atas kebenaran nasehat yang ada.

c) Guru melafalkan bait atau bagian teks kalimat kemudian menjelaskannya, kemudian murid-murid menirukan.

d) Guru menulis bait atau teks kalimat diatas papan tulis bersama murid-murid. (dan bersama disini, guru meminta seorang murid atau lebih untuk mendikte teks lafa.

e) Guru atau murid membaca kembali teks lafaẓ setelah penulisan selesai untuk memastikan kembali kebenaran


(39)

30

tulisan. Seperti inilah guru melakukan dalam menjelaskan bait-bait selanjutnya.

f) Guru membaca teks kalimat dan kosa kata yang diatas papan tulis untuk memastikan kebenaran tulisan, dan murid-murid memperhatikan tulisan mereka masing-masing.

g) Murid memperhatikan papan tulis untuk mencari kalimat atau kata yang tidak difahami.

h) Murid bertanya sebagian kalimat atau kata yang tidak difahami, dan jawabannya dari murid sendiri atau dari guru. i) Murid menulis apa yang telah tertulis diatas papan tulis di buku tulis mereka, guru memperhatikan murid-murid, lalu guru membaca daftar hadir siswa.

j) Setelah selesai menulis guru meminta salah satu murid atau lebih untuk membaca tulisannya dengan membenarkan tulisan (jika ada yang salah).

k) Murid-murid membaca keras kemudian pelan, untuk bersiap-siap menjawab pertanyaan, dan guru menghapus kosa kata diatas papan tulis.

l) Guru meminta murid untuk menutup buku tulis mereka. 4) Evaluasi


(40)

31

a) Murid menjelaskan teks kalimat dari bait per bait atau dari baris per baris.

b) Guru menghapus teks kalimat mahfuẓat diatas papan tulis secara bertahap dengan mengajak murid untuk menghafal secara bertahap pula ketika guru menghapus bagian teks, guru meminta murid untuk menghafal teks tersebut bersama-sama atau perorangan. Dan inilah kesempatan murid untuk menghafal secara bertahap, dan guru tidak melafalkan teks untuk ditiru. Seperti inilah guru melaksanakan evaluasi ketika masih terdapat bait teks kalimat, sampai sempurna hapusan semua bait teks kalimat, lalu guru meminta seorang murid atau lebih untuk menghafalkan bait secara bergantian.

c) Guru memberikan pertanyaan yang sesuai dengan judul serta melafalkan mahfuz}a>t.

d) Guru memberikan pertanyaan tentang makna-makna kalimat.

5) Penutup

a) Pemberian nasehat dan bimbingan. Adapun nasehat yang diberikan bukan dari materi yang telah diajarkan.


(41)

32

B. Pembentukan Karakter 1. Pengertian Karakter

Istilah karakter berasal dari istilah Yunani, character dari kata charassein yang berarti mengukir, membuat tajam atau membuat dalam.39 Dalam bahas Inggris character, berarti tabiat, budi pekerti, watak.40 Dalam bahasa Arab, diartikan khuluq, sajiyyah, thabú, (budi pekerti, tabiat atau watak. Kadang juga diartikan syakhsiyyah yang artinya dekat dengan personality (kepribadian).41

Wynne yang dikutip E. Mulyasa, mengemukakan bahwa

karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark”(menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.42 Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam dan rakus dikatakan sebagai orang yang memiliki karater jelek, sedangkan yang berperilaku baik, jujur dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter mulia atau baik.

39

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2005), h.392

40

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta, Gramedia: 2006),

41

Agus Zaenul Fikri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah

(Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h.20.

42


(42)

33

Menurut Suyanto yang dikutip Syamsul Kurniawan, mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.43

Griek yang dikutip Zubaedi, merumuskan definisi karakter sebagai paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu berbeda dengan yang lain.44

Definisi karakter dari Hurlock yang dikutip Dharma Kesuma, yaitu keselarasan individu dengan pola-pola kelompok sosial tempat individu itu hidup sebagai hasil dari kontrol hati nurani terhadap tingkah laku individu. Pola-pola kelompok dapat mencakup pola-pola tingkah laku overt dan covert.45 Pola tingkah laku overt (terbuka bagi

43

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h.28.

44

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: kencana, 2011), h.9

45

Dharma Kesuma, et.al., Pendidikan Karakter:Kajian Teori dan Praktik di Sekolah


(43)

34

observasi) utamanya meliputi kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk perbuatan-perbuatan yang dapat diobservasi dengan mata telanjang. Contohnya kebiasaan makan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan berbicara, dan gerakan-gerakan jasmaniah seseorang. Adapun polah tingkah laku covert (tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku mental atau kesadaran. Tingkah laku ini tidak dapat diobservasi secara langsung.

Karakter menurut Kemendiknas yang dikutip Agus Wibowo adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai keutamaan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.46

Menurut Wikisource, karakter adalah “the stable and

distinctive qualities built into an individual’s life which determine his

response regardless of circumstances (suatu kualitas yang mantap dan khusus (pembeda) yang terbentuk dalam kehidupan individu yang menentukan sikap dalam mengadakan reaksi terhadap rangsangan

dengan tanpa memedulikan situasi dan kondisi)”. Rumusan wikisource

tersebut sejalan dengan rumusan tiga pakar di bidang akhlak, yaitu

46

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini: Strategi Membangun Karakter di Usia Emas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 67


(44)

35

Ibnu Miskawaih, Al-Ghazali, dan Ahmad Amin, bahwa akhlak adalah

“perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.47

Karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah sebagai sifatnya jiwa manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi pekerti lanjut Ki Hajar Dewantara, manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri (mandiri).

Setiap orang menurut Ki Hajar Dewantara, memiliki karakter yang berbeda-beda; sebagaimana mereka memiliki roman muka yang berbeda-beda pula. Pendek kata, antara manusia dengan yang lain tidak ada kesamaan karakternya, sebagaimana perbedaan guratan tangan atau sidik jari mereka. Karena sifatnya yang konsisten, tetap atau ajeg, maka karakter itu kemudian menjadi penanda seseorang. Misalnya apakah orang tersebut berkarakter baik, atau berkarakter buruk.48

Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviour), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter menurut Zubaedi meliputi sikap seperti keinginan untuk

47

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 212

48

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h. 37


(45)

36

melakukan hal-hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh tidak keadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.49

Karakter seseorang terbentuk karena kebiasaan yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain. Karakter ini pada akhirnya mmenjadi sesuatu yang menempel pada seseorang dan sering orang yang bersangkutan tidak menyadari karakternya. Orang lain biasanya lebih mudah untuk menilai karakter seseorang. Kebiasaan seseorang terbentuk dari tindakan yang dilakukan berulang-ulang setiap hari. Tindakan-tindakan tersebut pada awalnya disadari atau disengaja, tetapi karena begitu seringnya tindakan yang sama dilakukan maka pada akhirnya sering kali kebiasaan tersebut menjadi refleks yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan.

49

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: kencana, 2011), h.10


(46)

37

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dimaknai bahwa karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorang yang membedakan antara dirinya dengan orang lain. Karakter adalah watak, sifat atau hal-hal yang yang memang sangat mendasar pada diri seseorang, hal-hal yang sangat abstrak pada diri seseorang, dan sering orang menyebutnya dengan tabiat atau perangai.

2. Urgensi Pendidikan Karakter

Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang sudah dimulai, dan era globalisasi total yang akan terjadi pada 2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya.50

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang dan

pihak yang bertanya tanya, “apa yang salah dengan bangsa ini?” dalam

berbagai perspektif sudut pandang orang banyak jawaban yang

50

Masnur Muslih, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional


(47)

38

menjadi hipotesa masing-masing orang dan pihak, antara lain;51 Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak dan hancur, pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan, rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila, kejahatan, tindakan kriminal), bencana yang sering/terus berulang dialami oleh bangsa Indonesia, kemiskinan, dan daya kompetetif yang rendah sehingga banyak produk dan sumber daya manusia dalam negeri yang tergantikan oleh produk dan sumber daya dari negeri tetangga atau luar negeri.

Karakter bangsa merupakan aspek penting dalam kualitas SDM karena kualitas berkarakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.52

51

Dharma Kesuma, et.al., Pendidikan Karakter:Kajian Teori dan Praktik di Sekolah

(Bandung: Rosdakarya, 2013), h.1.

52

Masnur Muslih, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional


(48)

39

Pembangunan karakter perlu dilakukan oleh manusia. Syamsul kurniawan yang mengutip Ellen G. White yang dikutip Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha mengemukakan bahwa pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Pendidikan keluarga maupun pendidikan dalam sekolah, orang tua, dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka.53

Thomas Lickona seorang profesor pendidikan dari Cortland University, mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran.54 Tanda tanda yang dimaksud adalah; Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, Pengaruh per-group yang kuat dalam tindak kekerasan, Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, Menurunnya etos kerja, Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,

53

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h.31

54


(49)

40

Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, Membudayanya ketidakjujuran, dan Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati dengan baik, ternyata sepuluh tanda-tanda yang telah disebutkan sudah terjadi di Indonesia.

Selain sepuluh tanda-tanda zaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada praktiknya lebih menekankan pada aspek otak

kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).55

3. Nilai-Nilai Karakter

Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Kebajikan

55


(50)

41

yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya56

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasikan berasal dari empat sumber.57 Pertama, Agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai pendidikan karakter harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

Kedua, Pancasila. Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut kedalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga

56

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: kencana, 2011), h.72-73

57

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h.39


(51)

42

negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Ketiga, Budaya. Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang sedemikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Keempat, tujuan Pendidikan Nasional. UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam megembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas

menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak


(52)

43

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusian yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.58

Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter. 18 Nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter:59

a. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

58

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: kencana, 2011), h.40

59

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 43-44


(53)

44

b. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan

Jujur sebagai sebuah nilai merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata atau perbuatan) bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan

dirinya. Kata jujur identik dengan “benar” yang lawan katanya

adalah “bohong”. Makna jujur lebih jauh dikorelasikan dengan kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan memiliki makna kepentingan orang banyak, bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi semua orang yang terlibat.60

c. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

d. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

60

Dharma Kesuma, et.al., Pendidikan Karakter:Kajian Teori dan Praktik di Sekolah


(54)

45

e. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Kerja keras adalah suatu istilah yang melingkupi suatu upaya yang terus menerus dilakukan (tidak pernah menyerah) dalam menyelesaikan pekerjaan/yang menjadi tugasnya sampai tuntas. Kerja keras bukan berarti bekerja sampai tuntas lalu berhenti, istilah yang dimaksud adalah mengarah pada visi besar yang harus dicapai untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia.61 f. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan

cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

g. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain di dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

h. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Menghargai dan menerima perbedaan dalam hidup bersama dengan saling menghormati serta berani menerima realita kemenangan maupun kekalahan.62

61

Ibid., h.17

62

Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 40


(55)

46

i. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, diliht atau didengar.

j. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

k. Cinta Tanah Air: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Cinta tanah air juga berarti sikap atau perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik dn sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan diri sendriri.63

l. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk mengahasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.

63

Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.9


(56)

47

m. Bersahabat/Komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Tindakan atau sikap yang terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama kolaboratif dengan baik.

n. Cinta Damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

o. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

p. Peduli Lingkungan: Sikap dan Tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

q. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat dan lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.


(57)

48

4. Pembentukan Karakter

Manusia pada dsarnya memiliki dua potensi, yakni baik dan buruk. Di dalam Al Qurán surah Al Syams (91): 8 dijelaskan dengan istilah Fuju>r (celaka/ fasik) dan takwa (takut kepada Tuhan). Manusia memiliki dua kemungkinan jalan, yaitu menjadi makhluk yang beriman atau ingkar terhadap Tuhannya. Keberuntungan berpihak pada orang yang senantiasa menyucikan dirinya dan kerugian berpihak pada orang-orang yang mengotori dirinya, sebagaimana firman Allah berikut ini.











Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams [91]: 8)64

Berdasarkan ayat diatas, setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi hamba yang baik (positif) atau buruk (negatif), menjalankan perintah Tuhan atau melanggar larangan-Nya, menjadi orang yang beriman atau kafir, mukmin atau musyrik. Manusia adalah makhluk Tuhan yang sempurna. Akan tetapi, ia bisa menjadi hamba yang yang paling hina bahkan lebih hina daripada binatang, sebagaimana keterangan Al-Qur’an berikut ini:

64

Departemen Agama RI, Al-Qurán dan terjemahnya, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), h.596


(58)

49



























Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). (QS Al-Tin [95]: 4-5)65

















































... Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (QS Al-A’raf [7]: 179)66

Dengan dua potensi diatas, manusia dapat menentukan dirinya untuk menjadi baik atau buruk. Sifat baik manusia digerakkan oleh hati yang baik pula (qolbun salim), jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah), akal yang sehat (aqlus salim), dan pribadi yang sehat (jismus salim). Potensi mmenjadi buruk digerakkan oleh hati yang sakit (qolbun maridh), nafsu pemarah (amarah), lacur (lawwamah),

65

Departemen Agama RI, Al-Qurán dan terjemahnya, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), h.598

66

Departemen Agama RI, Al-Qurán dan terjemahnya, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), h.175


(59)

50

rakus (saba’iyah), hewani (bahimiyah), dan pikiran yang kotor (aqlussu’i).

Sikap manusia yang dapat menghancurkan diri sendiri antara lain dusta (bohong, menipu), munafik, sombong, congkak, (takabbur),

riya’, sum’ah, materialistik (duniawai), egois, dan sifat syaithoniyyah

yang lain yang memberi energi negatif kepada setiap individu sehingga melahirkan manusia-manusia yang berkarakter buruk. Sebaliknya, sikap jujur, rendah hati, qonaáh, dan sikap positif lainnya dapat melahirkan manusia-manusia yang berkarakter baik.

Menurut musfiroh yang dikutip oleh Sigit, karakter dikembangkan melaui tiga tahapan yaitu, tahap pengetahuan (knowledge), tindakan (acting), dan kebiasaan (habit). Ketiga tahapan ini tertanam dalam diri setiap organisme dan direalisasikan dalam bentuk perilaku kesehariannya. Artinya bahwa ketika berbicara karakter maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari aspek pengetahuan, tindakan maupun kebiasaan seseorang.67

Dalam teori lama yang dikembangkan oleh dunia Barat, disebutkan bahwa perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme). Sebagaimana lawannya, berkembang pula

67

Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajaran Konstruktivisme, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.80


(60)

51

teori yang berpendapat bahwa seseorang hanya ditentukan oleh pengaruh lingkungan (empirisme). Sebagai sintesisnya, kemudian dikembangkan teori ketiga yang berpendapat bahwa perkembangan seseorang dtentukan oleh pembawaan dan lingkungan (konvergensi).68

Pengaruh itu terjadi baik pada apek jasmani, akal, maupun ruhani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi oleh alam fisik (selain pembawaan); aspek akal banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain pembawaan); aspek ruhani banyak dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain pembawaan). Pengaruh itu menurut Al Syaibani, dimulai sejak bayi berupa embrio dan barulah berakhir setelah orang tersebut mati. Tingkat dan kadar pengaruh tersebut berbeda antara seseorang dengan orang lain, sesuai dengan segi-segi pertumbuhan masing-masing. Kadar pengaruh tersebut juga berbeda, sesuai perbedaan umur dan perbedaan fase perkembangan. Faktor pembawaan lebih dominan pengaruhnya saat orang masih bayi. Lingkungan (alam dan budaya) lebih dominan pengaruhnya saat orang mulai tumbuh dewasa.69

Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak

68

Agus Zaenul fikri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah

(Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2012), h. 36

69


(61)

52

belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconcious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan kedalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah pondasi awal terbentuknya karakter sudah dibangun.70

Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orangtua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Namun, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.

Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan, kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dari berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi tidak

70

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h.18


(62)

53

sembarang informasi yang masuk melalui pancaindra dapat mdah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.

Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasaan dan karakter unuk dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaan benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.71

Menurut munir, Akhir-akhir ini ditemukan bahwa faktor yang paling penting berdampak pada karakter seseorang disamping gen ada faktor lain, yaitu makanan, teman, orangtua, dan tujuan merupakan faktor yang terkuat dalam mewarnai karakter seseorang. Dengan demikian jelaslah bahwa karakter itu dapat dibentuk.72

71

Ibid., h. 19

72


(63)

54

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa membangun karakter menggambarkan:

a. Merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan untuk membentuk tabiat, watak dan sifat-sifat kejiwaan yang berlandaskan pada semangat pengabdian dan kebersamaan. b. Menyempurnakan karakter yang ada untuk mewujudkan

karakter yang diharapkan.

c. Membina nilai karakter sehingga menampilkan karakter yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilandasi dengan nilai-nilai dan falsafah hidup.


(64)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian atau research dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan pemahaman baru yang lebih kompleks, lebih mendetail, dan lebih komprehensif dari suatu hal yang diteliti.73 Metodologi penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan oleh suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.74 Adapun rencana bagi pemecahan yang diselidiki antara lain:

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian bermakna pencarian atau investigasi secara sistematik dan cerdas untuk memvalidasi pengetahuan yang ada dan membangun pengetahuan baru.75 Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif

73

Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h.2


(65)

56

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.76

Sementara itu, dilihat dari teknik penyajian datanya, penelitian menggunakan metode deskriptif. Yang dimaksud metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menggunakan semua data atau keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain lain) kemudian dianalisis den dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung pada saat ini dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.77

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa metode penelitian kualitatif dengan pola deskriptif yang dilakukan, bermaksud menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

Deskriptif kualitatif pada umumnya dilakukan pada penelitian dalam bentuk studi kasus. Format deskriptif kualitatif studi kasus tidak memiliki ciri seperti air (menyebar di permukaan), tetapi memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai fenomena. Dari ciri yang demikian memungkinkan studi ini dapat amat mendalam dan demikian bahwa kedalaman data yang menjadi pertimbangan dalam penelitian model ini.78

76

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 9

77

Restu Kartiko Widi, Asas Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) h.84

78

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (komunikasi, Ekonomi,Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya), (Jakarta: Kencana, 2010), h.68


(66)

57

Peneliti disini bertindak sebagai pengamat, peneliti hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatat dalam buku observasinya. Peneliti tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi79. Penelitian kualitatif menggunakan observasi terstruktur dan tidak terstruktur dan interaksi komunikatif sebagai alat pengumpulan data, terutama wawancara mendalam (in dept interview) dan peneliti menjadi intrument utamanya.80

Ciri-ciri umum metode diskriptif adalah memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (masa sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual, serta menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya disertai interpretasi rasional.81

Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Implementasi

Pembelajaran Mahfuẓat dalam Pembentukan Karakter Santriwati Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Kediri” termasuk dalam kategori penelitian deskriptif kualitatif.

79

Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004), h. 4.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sutrisno, et.al., 2009, Ushul al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Ponorogo: Darussalam Press.

Ahmadi, Iif Khoiru, et.al., 2011, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011.

---. et.al., 2011, Strategi Pembelajaran Berorientasi KTSP, Jakarta: Prestasi Pustakarya.

Arifin, Zainal, 2012, Konsep dan Model Pengembangan kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Jakarta : Rineka Cipta.

Bagus, Lorens, 2005, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

Black, James A, dan Dean J. 1999, Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, E.Koeswara, dkk, (Penerj.) Bandung: Refika Aditama.

Bungin, Burhan, 2013, Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi: Format-Format Kuantitatif dan Kualitatifuntuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran, Jakarta: Kencana.

---. 2010, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, Jakarta: Kencana.


(2)

161

Direktur dan Seluruh Staff KMI Gontor, 2007, Panduan Manajemen KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Gontor: Darussalam Press.

Djamarah , Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2006, Strategi belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, 2006, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Fikri, Agus Zaenul, 2012, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media

Hamim, Nur, Mengenal Kurikulum 2013, 2014, Sidoarjo: Dwiputra Pustaka Jaya.

Hamiyah, Nur, 2014, Strategi Belajar Mengajar di Kelas, Jakarta: Prestasi Pustakarya.

Herdiansyah, Haris, 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Salemba Humanika.

Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 2002, Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan. Manajemen, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, 2014, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kesuma, Dharma , et.al., 2013, Pendidikan Karakter:Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: Rosdakarya.

Komalasari, Kokom, 2013, Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi, Bandung: Refika Aditama.


(3)

162

Kurniawan, Syamsul, 2013, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Listyarti, Retno, 2012, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif, dan Kreatif, Jakarta: Erlangga.

Majid, Abdul, 2012, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Rosdakarya

Majid, Abdul dan Dian Andayani, 2012, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Margono, 1997, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta; Rineka Cipta.

Moleong, Lexy J., 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng, 1996, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: PT. Rake Sarasia.

Mulyasa, E., 2012, Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara.

Murdalis, 1999, Metodologi Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara.

Muslih, Masnur, 2011, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara.

Nasih, Ahmad Munjin dan Lilik Nur Kholidah, 2009, Metode dan teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung: Medika Aditarna.


(4)

163

---, 2009, Menuju Sukses Sertifikasi Guru dan Dosen, Banten: Fazamedia.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Qomar, Mujamil, 2009, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Instituisi, Jakarta: Erlangga.

Rakhmat, Jalaludin, 2004, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.

Saptono, 2011, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, Jakarta: Erlangga.

Setiawan, Ibnu, 2007, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, diterjemahkan dari karya Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it is here to stay, Bandung: Mizan Learning Center.

Soebahar, Abd. Halim, 2013, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subagyo, P. Joko, 2004, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta.

Sudijono, Anas, 2008, Pengatar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta : CV Alfabeta


(5)

164

---. 2010, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Suyadi, 2013, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Suyono dan Hariyanto, 2012, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Dasar, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tim Turos Pustaka, 2015, Kamus Peribahasa Arab Mahfuzhat Jakarta: Turos.

Usman, Husami dan Purnomo Setiady Akbar, 2008, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.

Wibowo, Agus, 2014, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. 2012, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. 2012, Pendidikan Karakter Usia Dini: Strategi Membangun Karakter di Usia Emas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

.

Widi, Restu Kartiko, 2010, Asas Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wirartha, I Made, 2006, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, Yogyakarta: CV. Andi Offset


(6)

165

Yasmadi, 2002, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press

Zarkasyi, Abdullah Syukri, 2011, Bekal Untuk Pemimpin: Pengalaman Memimpin Gontor, Ponorogo: Trimurti Press.

---. 2005, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

---. 2005, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo: Trimurti Press.

Zarkasyi, Imam, 1994, Pekan Perkenalan, Ponorogo: Darussalam Press.

---. Al- Tarbiyah Al- ‘Amaliyah Ponorogo: Darussalam Press.

Zubaedi, 2011, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana.

Zuriah, Nurul, 2011, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.