Jurnal Ilmiah Pendidikan Religius Berbasis Al-Qur'an | Makalah Dan Jurnal Gratis Jurnal Ilmiah(2)

Jurnal Ilmiah
Kamis, 26 Desember 2013
Pendidikan Religius Berbasis Al-Qur’an dan Berbasis Masyarakat

Oleh Homsa Diyah Rohana
Teknologi Pendidikan,Universitas Negeri Semarang
homsa_diyahrohana@yahoo.com
Abstrak
Pendidikan diselenggarakan karena diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Hal ini dikemukakan dalam Undang-undang
No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1. Oleh karena itu pendidikan
religius harus ada dalam praktik pendidikan di Indonesia, dan tidak hanya sekedar formalitas
belaka. Karena pendidikan religius/agama di Indonesia saat ini bagaikan hanya sebagai
pelengkap saja. Padahal pendidikan agama sangatlah penting dan utama untuk dapat
menghasilkan peserta didik yang bermoral religius. Karena kita ketahui, banyak sekali kasus
rusaknya moral bangsa di negeri ini, yang mejadi penyebab terjadinya berbagai macam
tindakan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pendidikan religius itu berdasar pada filsafat
pendidikan islam yakni Al-Qur’an. Selain itu pendidikan yang katanya dari, untuk, dan oleh
masyarakat (UU No. 20 th 2003,pasal 1) nampaknya tidak tercermin pada pendidikan di
Indonesia saat ini,pendidikan sekarang justru memisahkan diri dari masyarakat. Pendidikan
seharusnya dapat memenuhi kepentingan masyarakat bukan kepentingan pemerintah saja.

Pendidikan berbasis masyarakat atau comunity based education perlu diterapkan pada setiap
pendidikan formal Indonesia agar tercapainya tujuan pendidikan yang sebenarnya, bukan
hanya untuk menjaga status quo pemerintah. Pendidikan berbasis masyarakat dapat dilihat
pada sistem yang diterapkan di pesantren-pesantren. Dengan itu, perlunya menganalisis
pentingnya pendidikan berbasis religius dan berbasis masyarakat untuk dapat memberi
perubahan dalam kemajuan pendidikan Indonesia yang lebih baik dari saat ini.
Kata kunci: Al-Qur’an, masyarakat, pendidikan, pesantren.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan berbagai masalah didalamnya, mulai dari masalah
pendidikan, ekonomi, politik, budaya. Namun saya tidak akan memaparkan semua masalahmasalah yang ada di Indonesia karena bisa jadi tidak terselesaikanya artikel ini. Disini saya
akan fokus pada masalah pendidikan di Indonesia saja. Karena pendidikan memberi peran
yang sangat penting dalam mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tidak
hanya di tingkat intelektual tetapi juga dalam segi moralnya.
Pertama, Indonesia sebagai negara yang mayoritas beragama islam, tetapi pendidikan
yang ada kurang mengutamakan pendidikan religius. Belum tercapainya tujuan pendidikan
islam yang ada di Indonesia, yang seakan hanya sebagai formalitas belaka dapat dilihat pada
berbagai kasus rusaknya moral remaja saat ini yang menimbulkan perilaku betentangan
dengan agama, seperti terjadi di daerah Toli Toli. Penistaan agama yang dilakukan remaja
dengan menggabungkan gerakan praktik sholat berjamaah dengan goyang disko vulgar oleh
siswi sekolah SMA 2 Toli Toli saat kegiatan les bagi kelas calon peserta Ujian Nasional (UN).


Perbuatan yang dilakukan oleh remaja SMA 2 Toli-toli ini diluar akal sehat. Mereka membuat
video yang isinya penistaan terhadap agama. Isi dari video itu 5 orang siswi berpakaian baju
olah raga. Tiga orang berbaju olah raga berwarna kuning, satu orang berpakaian baju olah
raga warna biru dan satu lagi tidak mengenakan seragam sekolah sudah berganti dengan
mengenakan baju bebas. Yang miris, di antara anak-anak itu ada yang pakai jilbab warna
hitam. Dalam video itu, mereka melakukan gerakan sholat seraya mengucapkan beberapa
bacaan Allahu Akbar dan ayat-ayat Al-Qur’an (surat al-Fatihah). Lalu gerakan tersebut
dilanjutkan oleh iringan salah satu lagu disko musik barat “One More Night” dan gerakan
mereka mengikuti iringan lagu tersebut seraya berjoget-joget dengan liarnya. Ketika Musik
disko berhenti, mereka berbaris rapi layaknya barisan saf salat dengan berucap, “Allahu
Akbar”. Diteruskan dengan membaca surah Al Fatihah yang masih dengan nada mengejek.
Ketika akan rukuk, musik disko terdengar kembali dan mereka joget sepuas hati. Musik disko
berhenti, mereka lanjut dengan gerakan sujud. Saat sujud, terdengar beberapa orang tertawa
melihat mereka. Mungkin ada teman-teman mereka yang duduk di bangku sekolah melihat
mereka. Perlu kita ketahui bahwa SMA 2 Tolitoli tersebut siswa-siswinya bergama Islam 98
persen, termasuk kelima pelaku. Video tersebut dapat dilihat pada www.youtube.com. Masih
banyak lagi kasus-kasus rusaknya moral agama di Indonesia,antara lain banyaknya kasus
Married by Accident (MBA) yang menimpa remaja di Indonesia yang bahkan masih dibawah
umur, yakni anak yang masih duduk di bangku SD kelas 6 mengaku telah kehilangan

keperawanan (lihat edukasi.kompasiana.com, 17/10/2013)
Dari pemaparan kasus diatas, lalu selama ini pendidikan agama yang ada di Indonesia
berperan apa? karena pada hakikatnya pendidikan agama dimaksudkan agar peserta didik
memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Alloh SWT serta berakhlak mulia. Peningkatan potensi
spiritual mencakup pengenalan,pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, dan
penanaman itu harus diterapkan dalam kehidupan individunya, ataupun kolektif masyarakat.
Hal tersebut sudah menjadi kewajiban sebagai seorang muslim yakni mematuhi segala
perintah Alloh SWT. Hingga tercipta akhlak mulia menyangkut etika, budi pekerti, dan moral
yang religius. Pendidikan religius pada pendidikan islam harus berdasar pada Al-qur’an.
Majid al-Kailani (dalam Abdullah, 2005: 10) tesisnya yang disampaikan untuk Jordania
University:
Perkembangan pendidikan islam dimulai sejak masa kebangkitan islam hingga sekarang. Alqur’an merupakan asas dasar pendidikan islam—bahwa dasar pokok ini disebut sebagai
Filsafat Pendidikan Islam—harus dipandang sebagai petunjuk umum...
Dari kutipan diatas, kurikulum pendidikan islam harus berbasis dengan Al-Qur’an dengan itu
tercapainya makna-makna Al-Qur’an ada dalam setiap kehidupan manusia saat ini. Karena
jika makna-makna Al-Qur’an telah tercapai dalam kehidupan manusia, akan melahirkan
kepribadian yang bermoral religius.
Kedua, pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengutamakan
kepentingan politiknya, yakni untuk mempertahankan kekuasannya saja melalui kontrol

pendidikan. Kerja pemerintah pada pendidikan yang sentralis saat ini belum optimal, terbukti
dengan semakin banyaknya permasalahan pendidikan di Indonesia mulai dari masalah biaya,
output, sistem, dll. Hal ini dikarenakan pemerintah yang abai dan lalai terhadap kemajuan
pendidikan (lihat pemaparannya di politik.kompasiana.com, 2013/10/21).
Pendidikan yang semestinya untuk kepentingan masyarakat, saat ini belum terwujud
pada sekolah-sekolah di Indonesia. Karena pada dasarnya pendidikan itu tidak terpisah dari
budaya dan masyarakat dimana pendidikan itu dilaksanakan. Tetapi itu berkebalikan dengan
data banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia, jumlah pengangguran terdidik terbanyak
adalah lulusan perguruan tinggi, yaitu 12,78 persen. Posisi berikutnya disusul lulusan SMA

(11,9 persen), SMK (11,87 persen), SMP (7,45 persen) dan SD (3,81 persen) info dapat
dilihat www.republika.co.id, 12/09/2012.
Sejatinya pendidikan itu dari, oleh, dan untuk rakyat. Jadi, masyarakatlah yang
berperan dalam mengatur pendidikan untuk dapat memenuhi kepentingan masyarakat itu
sendiri. Bagaimana suatu kurikulum suatu pendidikan itu, jalannya, sistemnya, tergantung
masyarakat dimana pendidikan itu dilaksanakan. Bukan pemerintah yang mengatur ini, itu
tetapi tidak mengetahui kondisi aktual pendidikan yang ada di tempat yang dilaksanakan,
karena pendidikan di wilayah satu dengan yang lain berbeda budaya, dan berbeda pula
masalahnya.
Sesuai pemaparan mulai dari yang pertama sampai yang kedua, artikel ini ditulis

untuk dapat menjawab pendidikan yang seharusnya diterapkan pada saat ini yakni pendidikan
religius berbasis Al-Qur’an dan berbasis masyarakat sehingaa dapat mengubah pendidikan
menjadi lebih baik dari saat ini yang dirasa belum tercapainya tujuan dari pendidikan itu
sendiri.
Pentingnya Al-Qur’an dalam Pendidikan dan Kehidupan
Al-Qur’an merupakan kumpulan ayat-ayat suci yang berisi firman-firman Alloh SWT yang
diwahyukan pada nabi besar Mukhammad SAW. Manusia yang beragama muslim wajib
mengimaninya karena Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk hidupnya. Namun dewasa ini,
umat muslim yang jauh dengan Al-Qur’an dalam kehidupannya. Di zaman akhir ini, hampir
seluruh umat muslim memiliki Al-Qur’an,tetapi hanya sekedar disimpan di kamar, di meja,
atau bahkan di kardus. Yang benar-benar cinta Al-Qur’an sangat minim sekali jumlahnya di
negeri yang katanya mayoritas umatnya adalah beragama islam. Orang-orang lebih suka
membaca novel, cerpen, koran, dll. Ada lagi yang bahkan penulispun pernah rasakan yakni
dilema dengan adanya dunia maya, berbagai macam teknologi canggih yang disediakan di
dunia sehingga melalaikan Al-Qur’an, sungguh, astaghfirullohal’adzim. Tak jarang umat
muslim yang hanya musiman dalam membaca Al-Qur’an. Seperti dibaca pada saat bulan
romadhon saja, isra’ mi’raj, maulid nabi, dsb (lihat www.hidayatullah.com, 13/12/2012)
Pada zaman nabi Mukhammad SAW dan para sahabat, Al-Qur’an dijadikan
kebutuhan pokok untuk memperbaiki rohani mereka. Siang malam ayatnya di lantunkan
dengan indah. Anak-anak merekapun diwarisi dengan ilmu Al-Qur’an sehingga mereka

tumbuh besar dibekali dengan kehidupan yang berbasis pada Al-Qur’an. Mereka belajar
menghayati, memahami, mentadaburi, dan mengamalkan kemudian diajarkannya ilmu yang
telah mereka kuasai kepada yang belum menguasai. Sehingga ketika mereka dewasa mereka
sudah terbiasa dengan Al-Qur’an, kecintaan mereka sudah mendarah daging, oleh karena itu
kesibukan dunia yang beragam mereka hadapi tidak menyurutkan mereka untuk melalaikan
Al-Qur’an (lihat ipqikairo-mesir.blogspot.com, 2012). Telah dijelaskan dalam Al-Qur’an,
Alloh SWT berfirman:
“ Orang-orang yang telah kami beri kitab (Al-Qur’an), mereka membacanya sebagaimana
mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan kepada siapa yang ingkar
kepadanya, mereka itulah orang-orang yang merugi “ (QS. Al-Baqoroh: 121)
Jadi jika seseorang mengaku dirinya mengimani Al-Qur’an, sudah seharusnya untuk
menjadikan Al-Qur’an bacaan favoritnya dan mutlak harus membaca setiap harinya.
Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, dan mayoritas penduduk di
Indonesia beragama muslim. Pendidikan islam di Indonesia belum memenuhi tujuan
pendidikan Indonesia. Terbukti dengan banyaknya kasus kenakalan-kenakalan ramaja saat
ini. Tidak hanya pada remaja, kaum dewasapun juga, apalagi pejabat negara yang rusak
moralnya hingga tanpa memikirkan nasib orang lain santai saja melakukan tindak korupsi.
Seperti kasus korupsi yang tejadi di Kementrian Agama yaitu korupsi dalam pengadaan AlQur’an, na’udzubillaah (lihat kompasiana.com, 30/06/2012).

Oleh karena itu, pendidikan islam Indonesia harus diperbaiki dengan berbasis dengan AlQur’an. Karena Al-Qur’an sumber ilmu pengetahuan. Dengan itu, diharapkan moral dan

karakter religius seseorang akan terbentuk. Sehinggga Al-Qur’an tidak terbengkelai oleh
kesibukan duniawi. Contoh nyata Al-Qur’an sebagai sumber dari segala ilmu misalnya ilmu
matematika, Al-Qur’an menyebutkan problema matematika dalam beberapa peristiewa.
Mengenai matahari dan bulan misalnya:
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan)
matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Alloh matahari dan bulan untuk
perhitungan. Itulah ketentuan Alloh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS.AlAn’aam:96)
“Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda,lalu kami hapuskan tanda malaam
dan Kami jadikan tanda siang itu terang agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan
supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah
Kami terangkan dengan jelas” (QS.Al-Israa’:12).
Selain problematika diatas ada juga problematika mengenai perkalian, penjumlahan,
perhitungan-perhitungan bilangan dan masih banyak lagi lainnya yang berkaitan dengan ilmu
matematika (baca Rahman, 2000:92–115).
Dalam penerapan pendidikan religius yang berbasis pada Al-Qur’an, maka kita harus
mengerti terlebih dahulu makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Untuk dapat mengerti
makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus sering membacanya
(Al-Qur’an). Sekarang kita renungkan, berapa kali kita sehari membaca Al-Qur’an ? Lebih
sering mana membuka laptop, handphone, atau bahkan facebook ? Pernahkah merasa
menyesal ketika sehari saja tidak membaca Al-Qur’an ?. Manusia akhir zaman mudah sekali

terlena dengan kenikmatan dulia seperti adanya berbagai macam teknologi canggih seperti
handphone, laptop, dan internet (seperti yang dijelaskan di www.hidayatullah.com,
13/12/2012). Alloh SWT berfirman:
“ bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu yaitu Al Kitab
(Al-Qur’an) .” (QS. Al-Ankaabut: 45)
Ayat tersebut memerintah kita sebagai umat muslim untuk membaca Al-Qur’an dimana AlQur’an sebagai petunjuk kehidupan manusia. Seperti pada firman Alloh SWT:
“ kitab Al-Quran ini tiada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “ (QS.
Al-Baqoroh: 2)
Pendidikan islam yang terjadi saat ini tidak menjurus peserta didik untuk sesering mungkin
membaca Al-Qur’an, yang terjadi hanyalah guru yang tau segalanya sedangkan peserta
dididk tidak tau apa-apa. Kebiasaan itu perlu dirubah, misalkan dengan setiap sebelum
memulai pelajaran membaca Al-Qur’an terlebih dahulu kemudian mengkajinya—dalam hal
ini, peserta didik yang berperan dan guru hanya mengarahkan— dan menarik kesimpulan
kaitannya dalam kehidupan manusia. Selain itu, diadakan kegiatan wajib untuk penilaian
yang dimana peserta harus menyetorkan hafalan bacaan Al-Qur’annya dalam tahap dan
tempo waktu tertentu, setelah hafalan tercapai tinggal pemahaman dan pengkajiannya.
Dodge, dalam ( Abdullah:2005) mengungkapkan:
Tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menjelaskan wahyu-wahyu Alloh
(nashnash Al-Qur’an). Maka langkah pertama yang mesti di tempuh adalah memahami
bahasa arab, sebab Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Tidak seorangpun dapat

memahami kandungan Al-qur’an dengan baik bila tanpa memahami bahasa arab dengan baik.

Apakah sebagai pengacara (advocate),imam masjid atau guru, semestinya akrab dengan
bahasa arab.
Berdasarkan pendapat diatas memahami bahasa arab menjadi awal untuk dapat memahami
Al-Qur’an. Oleh karena itu, porsi pembelajaran bahasa arab ditambah dalam setiap
pertemuan. Dengan bagaimana?Komunikasi dalam kelas sedikit menggunakan bahasa arab,
pelatihan guru untuk bisa berbahasa arab, lomba karya cipta dengan bahas arab.
Berawal dari membaca, menghafal, kemudian mentadaburi, memahami dan diaplikasikan
dalam pembelajaran. Jadi semua aspek pembelajaran berdasarkan pada teori Al-qur’an.
Penerapan Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Pesantren
Partisispasi masyarakat dalam pendidikan mutlak diperlukan, karena pendidikan berdasarkan
kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan dari,
oleh, dan untuk masyarakat (UU No.20 th 2003: pasal 1). Pendidikan dilaksanakan untuk
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat itu pula, dan masyarakat juga membutuhkan
pendidikan untuk bisa tercapainya kebutuhan-kebutuhan dan tuntutannya. M. Quraish Shihab
menyatakan (dalam M. Quraish Shihab, 1992: 173):
Disepakati oleh seluruh ahli pendidi-kan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu
masyara-kat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau
masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah “pakaian” yang

harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakai-nya, berdasarkan
identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat ataunegara
tersebut.
Jadi, antara penyelenggaraan pendidikan dan masyarakat seharusnya terjadi hubungan yang
saling timbal balik. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah seharusnya hanya
sebagai faktor penunjang saja atau faktor pendukung dalam penyelenggaraan pendidikan,
bukan semuanya terkendalikan oleh pemerintah. Pemerintah hanya sebagai penyandang dana,
fasilitator, pendamping dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat.
Banyak yang menilai pendidikan berbasis massyarakat hanya bisa dilakukan oleh
pendidikan nonformal misalkan lembaga-lembaga kursus atau swadaya masyarakt. Menurut
Nielsen, pendidikan berbasis masyarakat menunjuk pada beberapa pengertian yaitu: (1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan; (2) Pengambilan keputusan berbasis sekolah; (3)
Pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasgta atau yayasan; (4) Pendidikan dan pelatihan
yang diberikan oleh pusat milik swasta; (5) Pendidikan luar sekolah yang disediakan oleh
pemerintah; (6) Pusat kegiatan belajar maasyarakat; (7) Pendidikan luar sekolah yang
diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot organization), seperti LSM dan pesantren.
Walaupun demikian, dalam Undang-undang No.20 tentang Sisdiknas pasal 13 ayat 1
memaparkan bahwa “ jalur pendidikan terdiri atas jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya” ini berarti konsep pendidikan
berbasis masyarakat tidak hanya dalam pendidikan nonformal, tetapi juga bisa dalam jalur

pendidikan formal.
Pendidikan berbasis masyarakat disini berarti bahwa segala keputusan- keputusan
ditentukan oleh masyarakat seperti kurikulum, membuat kebijakan sehingga tidak terikat
dengan aturan pemerintah. Pemerintah hanya berperan sebagai penunjang pelaksanaan
pendidikan. Dengan pendidikan berbasis masyarakat, masalah-maslah terkait pelaksanaan
pembelajaraan masyarakat dimana pendidikan dilaksanakan yang akan menganalisis dn
menentukan penyelesaiannya. Mengapa? Karena kondisi, budaya, norma antara daeerah satu
dengan yang lain itu berbeda, jika kondisis masyarakatnya berbeda tentu masalah yang
dihadapi juga berbeda. Dengan itu, tujuan apa yang diinginkan masyarakt akan
terselenggaranya pendidikan, tepat sasaran. Disini masyaraktlah yang berperan aktif, bukan
pemerintah yang hanya mengutamakan status quo.

Model pendidikan berbasis masyarakat dapat diambil dari konsep pendidikan
pesantren, seperti yang dikemukakan Nielsen diatas. Karena manajemen atau sistem
pendidikan yang digunakan dalam pesantren tidak terikat dengan pemerintah. Mulai dari
perencanaan hingga evaluasi, pesantren menentukan dan mengaturnya sendiri.
Tri winarti dalam makalahnya (lihat triwinarti9.blogspot.com, Maret 2013) memaparkan
bagaimana manajemen pendidikan dalam pesantren. Pertama mengenai perencanaan, dalam
perencanaan Kyai merupakan elemen paling esensial dalam sebuah pesantren. Pertumbuhan
suatu pesantren seringkali bergantung pada pribadi dari Kyai. Peran Kyai yang begitu
dominan menangani suatu pondok dapat dipahami karena beberapa hal yakni: (1) Pesantren
bias diandaikan sebuah kerajaan kecil dimana Kyai merupakan sumber mutlak dari
kekuasaan dan kewewenangan dalam lingkup lingkungan pesantren; (2) Seorang Kyai
dengan pembantunya merupakan hiererki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui
lingkungan pesantren; (3) Kebanyakan pesantren merupakan gmbaran dari menifestasi
Kyainya.
Kedua tentang pengorganisasian, pengorganisasian dalam suatu pesantren diatur dan
dibagikan tugas-tugas pada seluruh anggota serta pengelola pesantren agar dilaksanakan
supaya mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan keagamaan sehingga pengaturan tugas seperti tugas mengajar, mengatur
ketertiban dan keamanan dilingkungan pesantren serta mengontrol kegiatan santri. Dalam
pembagian tugas ini, biasanya Kyai akan mempertimbangkan beberapa hal yaitu: (1)
senioritas santri, (2) penguasaan bidang ilmu tertentu, (3) pengabdian dan keiklasan. Dalam
hal pengorganisasian peran ustadz dan santri yang bertindak sebagai pembantu Kyai biasanya
dilakukan berupa saran dan masukan. Kepemimpinan Kyai yang kharismatik sering terdengar
samapi luar pesantren, sehingga para tokoh dan warga masyarakat menerima pesan
keagamaan atau cultural Kyai. Kyai merupakan tonggak awal adanya dukungan dari para
masyarakat luar. Luasnya pengorganisasian yang dilakukan pesantren sampai melibatkan
masyarakat dapat mempermudah dalam pencarian sumber dana.
Ketiga tentang pengawasan, pengawasan ataupun pengendalian pondok pesantren
dalam proses belajar santri dilaksanakan bias dengan melibatkan para pembantunya.
Perhatian dan rasa kasih sayang Kyai merupakan sikap dari wujud pertanggung jawaban yang
diamanfaatkan dari para wali santri. Kebanyakan para santri mengidolakan sosok Kyai, Kyai
adalah orangtuanya sendiri sehingga proses pengawasan serta pengendalian dapat berjalan
secara efektif.
Keempat tentang penganggaran, setiap organisasi membutuhkan dana untuk mebiayai
kegiatan yang akan dilakukannya. Begitu pula pesantren, pesantren merancang anggaran
yang dibebankan kepada para santrinya. Meskipun Kyai merupakan tokoh sentral dalam
manajemen pesantren, peran Kyai yang sudah melekat dalam masyarakat dapat meletakkan
fondasi masyarakat dalam pengembangan pesantren, termasuk untuk mendanai pesantren
dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Sehingga kemandirian atau otonomi dalam
pengelolaan dana pembiayaan pendidikan dalam pesantren.
Kelima mengenai evaluasi, setiap kegiatan yang dilakukan oleh Kyai dalam mendidik
para santrinya diperlukan adanya evaluasi. Evaluasi dilakukan setahun sekali dengan agenda
pertanggung jawaban pada Kyai. Dalam hal ini diadakan dua kepengurusan yaitu pengurus
pondok dan pengurus madrasah. Pengurus podok bekerja dalam menangani urusan asrama
seperti kebersihan, ketertiban, pemeliharaan dan lain-lain. Sedangkan pengurus madrasah
mengurusi bagaimana pendidikan dalam pesantren berjalan dengan baik dan lancar. Dalam
evaluasi dapat diketahui tentang kesalahan atau kekurangan serta kemacetan yang dihadapi
sehingga bias diperbaiki untuk kedepannya.
Dari itu terlihat jelas bagaimana seharusnya pendidikan berbasis masyarakat itu, tidak seperti
sekarang walaupun pemerintah meemberikan wewenang atas partisipasi masyarakat dalam

dunia pendidikan (lihat UU No.20 th 2003 tentang Sisdiknas pasal 54 dan 55) tetapi itu tidak
benar-benar diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Masih ada campur tangan
pemerintah yang mengikat dan semata hanya untuk melanggengkan kekuasaan saja.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, pendidikan berbasis Al-Qur’an dan bebasis masyarakat diharapkan
akan tidak adanya lagi krisis moral yang melanda bangsa saat ini. Dan juga diharapkan akan
tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya, yakni memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sehingga akan tercipta manusia-manusia yang bermoral religuis dan siap menghadapi
tantangan kehidupan masyarakat yang menuntutnya, untuk pembangunan masyarakat yang
lebih baik. Untuk itu, perlunya memperbaiki sistem pendidikan yang ada saat ini, karena
melalui pendidikalah salah satu penentu utama bagaimana suatu bangsa itu. Agama yang
menjadi utama serta hak masyarakat dalam mengatur pendidikan harus di perbaiki.
Komponen seperti visi, misi, tujuan, dasar, kurikulum, metode, sarana semua perlu
mempertimbangkan dengan Al-Qur’an serta harus adanya pastisipasi masyarakat secara utuh
—sebagia pemilik pendidikan—.
Keseriusan dan kesadaran penuh pemerintah sangat diperlukan untuk terwujudnya
pendidikan berbasis Al-qur’an dan masyarakat. Karena tidak mudah mengubah pendidikan
saat ini yang dianggap lumrah dan biasa, bila pendidikan itu milik pemerintah dan
dikendalikan pemerintah. Selain keseriusan dari pemerintah, masyarakatpun harus mengubah
cara pikirnya yang mempasrahkan pendidikan ditangan pemerintah, karena hakikatnya
pendidikan itu dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Daftar pustaka:
Al-Qur’an.
Abdullah,
Abdurrahman
Saleh.
(2005).
Teori-teori
Pendidikan
Berdasarkan
Al-Qur’an.Terjemahan H.M Arifin,Zainudin. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Rahman, Afzalur. (2000). Quranic Science. Terjemahan H.M Arifin. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Suharto, Toto., Isnaini,Muhammad. Community based-education dalam perspektif pendidikan kritis.
Di unduh di kemeneg.org tanggal 11 Oktober 2013.
Shihab, M. Quraish. (1992). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan.
Referensi Media Massa:
IPQI MESIR. (2012). “Ketika Al-Qur’an Menjadi Saksi” diunduh dari (http://ipqikairomesir.blogspot.com/2012/09/ketika-al-quran-menjadi-saksi.html), tanggal 18 Oktober 2013.
Kompasiana.com. (2013). “Menggunggat Pemerintah Atas Pelanggaran Konstitusi Soal Pendidikan”
diunduh
dari
(http://politik.kompasiana.com/2013/10/21/menggugat-pemerintah-ataspelanggaran-konstitusi-soal-pendidikan-602409.html), tanggal 18 Oktober 2013.
Kompasiana.com. (2013). “Beberapa Catatan Kelam Remaja Kita” diunduh dari
(http://edukasi.kompasiana.com/2013/10/17/beberapa-catatan-kelam-remaja-kita-602468.html), tanggal 18 Oktober 2013.
Kompasiana.com. (2012). “Korupsi Menodai Kesucian Al-Qur’an” diunduh dari
(http://regional.kompasiana.com/2012/06/30/korupsi-menodai-kesucian-al-quran473686.html), tanggal 18 Oktober 2013.

Mukhtar, Alimin. (2012). “Berapa Kali Buka Al-Qur’an Dibanding Buka Gadget?” diunduh dari
(http://www.hidayatullah.com/read/26336/13/12/2012/berapa-kali-baca-al-quran-dibandingbuka-gadget%3F.html), tanggal 18 Oktober 2013.
Winarti, Tri. (2012). “Pesantren Sebagai Upaya Model Pendidikan Berbasis Masyarakat” diunduh
dari (http://triwinarti9.blogspot.com/2012/03/pesantren-sebagai-upaya-model.html), tanggal
29 Oktober 2013.
Diposkan oleh Mahasiswa Teknodik di 05.05
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.com/2013/12/pendidikan-religiusberbasis-al-quran.html