Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal.
Penatalaksanaan Angiofibr oma Nasofar ing Juvenil Dengan
Pendekatan Tr anspalatal
M. Abduh Fir daus, Sukri Rahman, Ade Asyar i
Bagian Telinga Hidung Tenggor ok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakult as Kedokt er an Univer sit as Andalas Padang
Abstr ak
Latar belakang: Angiofibr oma nasofaring juvenil mer upakan tumor nasofar ing yang r elatif jarang ditemukan
dan ber sifat jinak secar a histopatologis tetapi secar a klinis ber sifat ganas dan lebih sering dijumpai pada laki-laki r emaja. Tetapi w alaupun jinak tumor ini mempunyai resiko per darahan yang tidak terkontr ol pada saat operasi.
Tujuan: Mempr esentasikan diagnosis dan penatalaksanaan angiofibr oma nasofaring juvenil dengan pendekatan
tr anspalatal. Kasus: Satu kasus angiofibr oma nasofaring juvenil pada pasien anak laki-laki usia 13 tahun. Penatalaksanaan: Pembedahan dan pengangkatan tumor dengan pendekatan transpalatal. Kesimpulan:
Angiofibr oma nasofar ing juvenil mer upakan tumor yang relatif jar ang dimana secara histologis jinak tetapi secara klinis ganas. Diagnosis klinik ditegakkan ber dasar kan r iwayat per jalanan penyakit, pemer iksaan fisik dan gambaran r adiologis. Tumor diangkat secar a utuh dengan pendekatan transpalatal dan per darahan yang minimal.
Kata kunci : Angiofibroma nasofaring juvenil, penatalaksanaan, tr anspalatal Abstract
Background: Juvenile nasophar yngeal angiofibr oma is a t umor t hat r elat ively r ar e found, hist opat hologically
benign but clinically malignant , and mor e oft en affect adolescent males. Alt hough a benign t umor , it is have a r isk of uncont r olled bleeding dur ing sur ger y. Objective: To pr esent the diagnosis and t r eat ment of juvenile nasophar yngeal
angiofibr oma w it h t r anspalat al appr oach. Case: A case of juvenile nasophar yngeal angiofibr oma in 13 year s old boy. Management: A sur gical r emoval of t umor w it h t r anspalat al appr oach. Conclusion: Juvenile nasophar yngeal
angiofibr oma is a t umor t hat r elat ively r ar e found and hist opat ologically benign but clinically malignant Diagnosis based on medical hist or y, physical examinat ion and r adiological finding. A t umor w as r emoved complet ely w it h t r anspalat al appr oach and w it h minimal bleeding.
Key wor d : Juvenille nasophar yngeal angiofibr oma, management, sur ger y. Korespondensi: dr . Ade Asyari; [email protected]
PENDAHULUAN
Angiofibr oma nasofaring mer upakan tumor yang r elatif jar ang ditemukan. Secar a histopatologis tumor mengandung 2 unsur , yaitu unsur jaringan ikat fibr osa dan unsur pembuluh dar ah, dimana dinding pembuluh darah ter sebut tidak mempunyai jaringan ikat elastis maupun otot. Oleh karena itu bila disentuh mudah ter jadi perdar ahan hebat yang secar a histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secar a klinis ber sifat ganas. Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestr uksi tulang di sekitar nya dan meluas ke sinus par anasal, fossa infr atemporal, fossa pter igomaksila, pipi, r ongga mata, dasar tengkorak, dan r ongga intrakr anial.1,2,3
Hipocrates, seper ti dikutip oleh Neel4 pada abad ke 4 per tama kali mengemukakan adanya tumor ini sebagai polip hidung yang ker as. Chelius 1847, seper ti yang dikutip oleh Pandi5 mengemukakan polip hidung fibr osa sering ditemukan pada laki-laki dalam masa remaja. Fr iedberg6 pada tahun 1940 mulai menggunakan istilah angiofibr oma, yang sampai sekarang banyak digunakan dalam kepustakaan.
Diagnosis ditegakkan ber dasar kan gejala klinis dan gambar an radiologik. Trias gejala klinik ber upa epistaksis ber ulang, obstr uksi hidung yang menetap dan rinor e menahun. Pembedahan mer upakan pilihan utama untuk penanganan tumor ini, dengan penyulit utama adalah per darahan hebat saat pembedahan. Pengobatan lain seper ti pemberian hormonal, radiasi, atau sitostatik dilakukan bila tumor
inoper able atau diberikan sebelum operasi untuk
mengecilkan tumor dan mengurangi per dar ahan selama oper asi.1,2,5
ANATOMI
Ruang nasofaring yang r elatif kecil secara anatomi ter dir i dar i7 (Gambar 1):
1. Pada dinding poster ior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jar ingan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus far ingeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Tor us tubarius, refleksi mukosa far ing di bagian atas kar tilago salur an tuba eustachii yang ber bentuk bulat.
4. Koana pada posterior r ongga hidung. 5. For amina kranial
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya ber dekatan termasuk sinus petr osus inferior , vena jugularis inter na, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan ar ter i far ingea asendens, dan for amen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang tempor alis bagian petr osa dan for amen laser um yang ter letak dekat bagian later al atap nasofar ing.
(2)
Gambar 1. Anat omy of t he nasophar yng & fossa of r osenmuller7
KEKERAPAN
Angiofibr oma nasofar ing ini jarang ditemukan dan diperkir akan hanya 0,05% dari semua tumor jinak yang tumbuh di kepala dan leher . Tumor ini lebih sering dijumpai pada laki-laki remaja8,9,10,11 Ungkanont dkk12,13 dalam penelitiannya pada tahun 1955 sampai tahun 1993, melapor kan 43 pasien, ter dir i dari 42 orang laki-laki dan 1 or ang per empuan dengan rata-r ata berumur 16 tahun (9-32 tahun). Dhar mabakti11 dalam penelitiannya menemukan 41 kasus angiofibr oma nasofar ing pada periode tahun 1983-1988, semuanya laki-laki dengan usia 10-29 tahun. Pandi dan Rifki5 melapor kan 49 kasus dalam periode tahun 1966-1974. Figi dkk seper ti dikutip oleh Lee DA14 melapor kan 144 kasus angiofibr oma nasofar ing di Amer ika Serikat dengan insiden pada w anita 4,4%.
ETIOLOGI
Penyebab tumor ini belum diketahui secar a jelas. Banyak penulis yang mengajukan berbagai macam teori, tetapi secar a garis besar dibagi menjadi 2 golongan yaitu5,8 :
1.Teor i jar ingan asal tumbuh
Teori jar ingan asal tumbuh per tama kali ditemukan oleh Ver neuil yang diikuti oleh Bensch (1878). Ia menduga bahw a tumor ter jadi akibat pertumbuhan abnormal pada jar ingan fibr okartilago embrionik di daer ah oksipital.5,8,10,11
Teori yang sampai sekarang banyak dianut, dikemukakan oleh Neel3, yang ber pendapat bahw a tempat per lekatan spesifik angiofibr oma adalah dinding poster o-lateral atap r ongga hidung, tempat pr ossesus sfenoid palatum ber temu dengan ala hor izontal dari vomer dan akar pr osesus pter igoideus tulang sfenoid.
2.Teor i hor monal
Mar tin dkk per tama kali mengemukakan bahwa diduga angiofibr oma nasofaring mer upakan hasil dari ketidakseimbangan hor monal, yaitu adanya kekurangan andr ogen atau kelebihan estr ogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur serta hambatan per tumbuhan pada semua pender ita angiofibr oma nasofaring5,8,10,12
PERLUASAN TUMOR
Tumor per tama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi poster ior dan lateral koana pada atap nasofar ing.
Tumor akan meluas di bawah mukosa sepanjang atap nasofaring mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah, membentuk tonjolan massa di atap r ongga hidung poster ior . Per luasan ke arah anterior akan mengisi r ongga hidung, mendor ong septum ke sisi kontr a later al dan memipihkan konka4,9.
Pada per luasan ke arah lateral, tumor melebar ke samping ke ar ah foramen sfenopalatina. Melalui foramen ter sebut tumor masuk ke fossa pter igomaksila, kemudian lesi akan mendesak dinding poster ior sinus maksila. Tumor akan meluas ter us melalui fisur a pterigomaksila masuk ke dalam fossa infr atemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi dan rasa penuh di wajah4,8.
Bila tumor cukup besar akan menonjol ke bagian bawah fossa tempor al dan menimbulkan pembengkakan di daerah zigoma. Biasanya tumor ber kembang ter us masuk fisura orbitalis infer ior , membuka bagian anter o-posterior fossa pter igomaksila dan masuk ke ujung bawah fissur a or bitalis superior. Bila tumor meluas ke daerah ini, akan menghancurkan ala magna tulang sfenoid dan membentuk pelebaran yang khas sepanjang tepi bawah lateral fissura or bitalis superior sehingga ter jadi proptosis.4,9
Per luasan intrakr anial dapat ter jadi melalui beberapa kemungkinan4,5,8,9,13 :
1. Pembesaran tumor di fossa infratempor al dan pter igomaksila akan menghancur kan tulang yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah ini merupakan tempat ber temunya kor pus dan ala magna tulang sfenoid, sehingga tumor akan ter letak di sebelah dura di fossa serebr i media, lateral dar i sinus kaver nosus dan anterior dar i foramen laser um.
2. Tumor ber kembang dar i sinus sfenoid melalui destr uksi dinding super ior nya masuk ke sinus kaver nosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendor ong kelenjar hipofisis ke satu sisi dan timbul di sela tur sika. Hal ini akan menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma optikus. 3. Tumor ber kembang dar i sinus etmoid melalui
er osi dinding superior nya masuk ke fossa serebr i anterior
PERDARAHAN
Suplai darah angiofibr oma ber sifat ipsilater al. Ar ter i pemasok utama biasanya ber asal dar i arter i maksilaris inter na. Pada tumor yang lebih besar sumber per darahannya berasal dar i arter i faringeal asenden, arter i palatina mayor , ar teri meningeal r ekuren dan arteri oksipital. Sebagian besar arter i pemasok tumor ini merupakan cabang dar i arter i kar otis ekster na. Bila tumor meluas ke fossa infr atemporal, akan mendapatkan per darahan dar i ar ter i tempor alis superfisialis, arter i fasialis ekster na dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh ke intrakranial sumber per dar ahan yang utama, didapatkan dari sistem a. kar otis inter na. Bila tumor tumbuh melewati gar is tengah biasanya
(3)
perdar ahan berasal dar i pembuluh darah kar otis bilateral8,15
Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah per darahan hebat, yang dapat mencapai 2000-3000 cc dalam w aktu yang singkat. Per dar ahan saat oper asi dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor yang terangkat atau tumor sudah ter dapat di intrakranial. Per dar ahan hebat selain mengganggu jalannya oper asi sehingga sulit untuk melihat asal tumor , juga dapat ter jadi syok hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengur angi perdar ahan hebat, Pandi mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain: penggunaan anastesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. kar otis ekster na, terapi hormonal, r adiasi, dan tindakan embolisasi pr eoper asi.5,10,16
GEJALA KLINIS
Keluhan paling ser ing dijumpai adalah hidung ter sumbat yang ber sifat pr ogr esif, epistaksis ber ulang dan r inore kr onik. Epistaksis biasanya hebat dan jar ang berhenti spontan. Keluhan lain berupa r inolalia, anosmia, sefalgia, tuli konduktif, deformitas w ajah, pr optosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat menyebabkan sinusitis. Per luasan tumor ke or ofar ing menimbulkan disfagia, dan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura or bitalis superior timbul pr optosis, dan dapat diser tai gangguan visus ser ta deformitas w ajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa pterigopalatina, lalu ke fossa infr a tempor al, kemudian menyusuri rahang atas bagian belakang dan ter us masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan businator . Hal ter sebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus. Per luasan tumor ke r ongga intra kranial akan menimbulkan gejala neur ologis.6,10,13,17,18
HISTOPATOLOGIS
Secar a makr oskopis mer upakan tumor yang konsistensinya kenyal ker as, w ar nanya ber var iasi dar i abu-abu sampai merah muda. Ter dapat banyak pembuluh dar ah pada mukosa dan tak jar ang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tidak ber kapsul, ber lobus-lobus, tepinya ber batas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan sekitar nya.19
Secar a mikr oskopik gambaran daerah vaskuler bervar iasi, baik bentuk maupun ukur annya dalam jaringan fibr osa. Sebagian terdir i dari jaringan pembuluh darah dengan dinding yang tipis dalam str oma kolagen yang lebih seluler . Sebagian lagi ter dir i dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya, ter letak dalam str oma yang kur ang seluler.4,10,17,18
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan ber dasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan r adiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemer iksaan histopatologis jar ingan tumor pasca operasi. Sebaiknya tindakan biopsi dihindar i atau dilakukan dalam kamar operasi dengan peralatan siap operasi, mengingat bahaya per darahan yang biasanya sukar di kontr ol9.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan r adiologik dapat banyak membantu dalam menegakkan diagnosis dan r encana tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan radiologik konvensional akan ter lihat gambaran klasik angiofibr oma nasofar ing dini. Gambaran ini di sebut sebagai tanda “Holman Miller ” (1965), yaitu pendor ongan ke depan dinding poster ior sinus maksila dan pendor ongan ke belakang pr osesus pterigoideus, sehingga fisura pter igo palatina melebar . Dar i pemer iksaan ini juga akan ter lihat adanya massa jaringan lunak di daer ah nasofar ing, atau er osi dinding or bita, ar kus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring 9,10,20
Pada pemer iksaan CT-Scan dengan potongan kor onal dan aksial, akan memberikan gambaran yang lebih jelas. Dengan pemeriksaan ini diketahui lokasi tumor dan per luasaan ke str uktur sekitar nya serta melihat adanya invasi ke tulang.
Pemeriksaan magnet ik r esonance imaging dapat dilakukan dan ber manfaat untuk melihat per luasan tumor ke intr akaranial dan hubungannya dengan pembuluh darah utama ser ta str uktur neur ologik disekitar nya.20,21,22
Pada pemeriksaan ar ter iografi ar teri karotis akan member ikan gambar an yang khas yaitu :
a. Pendor ongan ar ter i maksila inter na ke depan sebagai akibat per tumbuhan tumor dar i nasofar ing ke arah fossa pter igomaksila. b. Massa tumor terisi oleh kontras pada fase
kapiler dan akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiogr afi bertujuan untuk melihat pembuluh dar ah pemasok utama, mengevaluasi besar dan per luasan ser ta residu tumor . Suplai darah dapat dari kedua sisi leher .
STADIUM TUMOR
Sistem penderajatan angiofibr oma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh Sessions dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan Chandler.
Klasifikasi menurut Session adalah :
Stadium IA : Tumor terbatas di nar es posterior dan atau nasofar ingeal voult . Stadium IB : Tumor meliputi nar es posterior
dan atau nasofar ingeal voult dengan meluas setidaknya satu sinus paranasal.
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pter igomaksila.
Stadium IIB : Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa menger osi tulang orbita. Stadium IIIA : Tumor telah menger osi dasar
tengkor ak dan meluas sedikit ke intrakranial.
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus kaver nosus. Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:
Stadium I : Tumor terbatas di r ongga hidung, nasofar ing tanpa mendestruksi tulang.
Stadium II : Tumor menginvasi fossa
pter igomaksila, sinus paranasal dengan destr uksi tulang.
(4)
Stadium III : Tumor menginvasi fossa infr atemporal, or bita dengan atau r egio paraselar .
Stadium IV : Tumor menginvasi tumor
kaver nosus, regio kiasma optik dan atau fossa pitultar y.
Chandler seper ti dikutip oleh Ungkanont6 membagi pender ajatan ter sebut menjadi sebagai ber ikut:
Stadium I : Tumor ter batas di nasofar ing Stadium II : Meluas ke kavum nasi dan atau sinus
sfenoid.
Stadium III : Meluas ke salah satu atau lebih sinus
maksila dan etmoid, fossa
pter igomaksila dan infr atemporal, or bita dan atau pipi
Stadium IV : Meluas ke r ongga intr a kranial.
PENATALAKSANAAN
Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini. Penatalaksanaan tumor ini yaitu:
1. Oper asi
Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan angiofibr oma nasofaring. Hingga tahun 1960-an pendekatan dasar bedah pada angiofibr oma nasofar ing adalah tr anspalatal, yang mana dapat dikombinasikan dengan insisi sublabial atau suatu pendekatan Caldw ell-Luc. Efektifitas operasi tergantung dari lengkapnya pengangkatan masa tumor. Beber apa pendekatan dikemukakan oleh para ahli sebagai usaha mengekstir pasi selur uh jaringan tumor pada daer ah yang r elatif sempit.8,10,12,15,16 Tandon16 menganjurkan untuk menggunakan pendekatan operasi secara tr anspalatal untuk tumor yang ter dapat pada nasofar ing, koana, r ongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa infratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secar a tr ansmaksila dengan insisi Weber Fer guson atau dikombinasikan dengan pendekatan tr anspalatal.
Spector21 mengemukakan pilihan operasi secara transpalatal pada tumor yang ter batas di nasofar ing, hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang meluas ke lateral melalui fisura pterigomaksila, dapat dikombinasikan pendekatan Caldw el-Luc dan tr anspalatal. Bila tumor meluas ke pipi, sinus maksila dan fosa pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi tr anspalatal dan tr ansantr al atau transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral dilakukan bila per luasannya kearah sinus etmoid dan r etr o or bita. Bila tumor meluas ke fossa infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa infra tempor alis bagian inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga parafar ing) dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan tr ansmandibula anter ior . Pada tumor yang meluas ke intrakranial, dilakukan operasi kombinasi tr anspalatal dan kr aniotomi fr ontotemporal.
Kamel, seperti dikutip Khalifa23 mengungkapkan bahwa pendekatan endoskopi tr ansnasal dapat digunakan untuk tumor stadium I-II.
Spector21 menganjurkan untuk melakukan ekstir pasi melalui :
a. Faringotomi suprahioid untuk tumor yang ter batas di nasofar ing dan atau r ongga hidung.
b. Peningkapan bila tumor telah meluas ke sinus sfenoid, etmoid dan maksila, fossa pter igomaksila dan infratempor al, pipi, r ongga mata dan palatum.
c. Operasi kombinasi peningkapan dan kraniotomi fr ontotemporal bila tumor telah meluas ke intrakranial. Bila tumor mengenai sinus kaver nosus, kiasma optik atau kelenjar hipofisis, maka eksisi tumor akan sangat membahayakan. Pada keadaan ini dianjurkan untuk melakukan r eseksi par tial dan sisa tumor diberikan radioterapi dan atau terapi hormonal.
2. Radioter api
Gr ybauskas15 melapor kan angka kesembuhan 80% pada terapi radiasi dengan dosis 3.000-3.500 cGy. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200 r ads adanya penur unan vaskularisasi tumor tetapi tidak adanya pengecilan bermakna ukuran tumor17.
Dhar mabakti13 mengutip bahwa r adiasi eksterna banyak dilakukan di Kanada oleh Br iant dkk. Dengan dosis 3.000-3.500 cGy, memper oleh angka kesembuhannya mencapai 70-80%.
Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai ter api paliatif untuk mengur angi per darahan pada saat operasi, sebagai ter api tambahan pada tumor yang r ekuren, dan pada tumor dengan per tumbuhan intrakranial. Radiasi pada usia r emaja dapat
mengganggu pertumbuhan tulang w ajah,
r adionekr osis dan perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien yang menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk di operasi lagi.10,12,13
3. Hormonal
Pengobatan hormonal pada kasus
angiofibr oma, per tama kali dilakukan oleh Boedts (1940) dikutip oleh Pandi5 dengan pemberian preparat pr ogester on dan ternyata tumor mengecil.
Mar tin menyatakan bahw a
ketidakseimbangan hor monal dapat merangsang pertumbuhan tumor ini. Shciff mengemukakan suatu tr ilogi ter jadinya tumor ini. Per tama tumor ini ter jadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estr ogen. Kedua, aktivitas ber lebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang ber lebihan dari jaringan pembuluh darah ter sebut. Schiff memberikan estr ogen pada angiofibr oma nasofar ing selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan ter sebut adalah ber upa perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estr ogen sebelumnya. Estr ogen memberikan efek pematangan jaringan fibr osa dan pembuluh dar ah. Estr ogen ter masuk hormon ster oid kelamin, yang fungsi utamanya ber hubungan erat dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder , terutama pada w anita. Hormon ini mer upakan sintesis dari kolester ol, ter utama di ovar ium dan di kelenjer lain, misalnya kor teks adrenal, testis dan plasenta. Estr ogen dibentuk dari andr ostenedion maupun testoster on yang
(5)
endogen pada manusia paling banyak ter diri dar i estradiol dan potensi estr ogeniknya juga paling kuat. Oksidasi estradiol menjadi estr on dan hidr asi estr on menjadi estriol, ter utama ter jadi di hepar . Dietilstilbesterol mer upakan senyaw a estr ogen sintetik per tama dan potensi estrogenik yang cukup kuat. Reseptor estr ogen dapat ditemukan pada alat r epr oduksi w anita, kelenjar payudara, hipofisis, pr ostat dan hipotalamus. Estr ogen ter ikat dengan afinitas tinggi pada reseptor pr otein di sitoplasma. Setelah mengalami modifikasi, kompleks reseptor estrogen ini ditranslokasi ke inti sel yang akan ber ikatan dengan kr omatin. Ikatan ini memicu sintesis RNA dan beber apa pr otein spesifik lain. Sintesis pr otein oleh estr ogen ini dihambat oleh penghambat sintesis RNA (daktinomisin), dan penghambat sintesis pr otein (sikloheksimid). Penggabungan estr ogen dengan reseptor nya dihambat oleh obat golongan anti estrogen, misalnya klomefin atau tamoksifen. Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring ber tujuan untuk mengecilkan masa tumor dan mengur angi perdar ahan. Pember ian estr ogen dapat meningkatkan matur asi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor , sehingga per darahan ber kurang dan tumor mengecil. Estr ogen dapat menimbulkan efek samping ber upa penurunan kadar testoster on plasma, atr ofi testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan dietilstilbestrol selama 30 har i. Ter lihat peningkatan jaringan ikat fibr osa dan penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis ter api yang dianjurkan tidak lebih dari 15 mg/ hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang per nah diber ikan adalah 3.000 mg.8,12,13,17,23
Di Indonesia seper ti yang dikutip oleh Dhar mabakti13 melapor kan bahwa setelah pemberian estrogen, ter nyata tumor mengecil tetapi setelah pemberian dihentikan tumor tumbuh lagi.
4. Sitostatika
Geopfer t dkk24 (1985) per tama kali memberikan sitostatika terhadap 5 kasus angiofibr oma nasofaring yang mengalami r esidif dengan memberikan kombinasi deksor ubisin dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil yang diperoleh ter nyata cukup memuaskan dan tumor mengalami r egresi secar a per lahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi. Sitostatika diber ikan pada tumor rekuren yang besar , pasca tindakan pembedahan, tumor dengan pertumbuhan intrakr anial dan tumor yang mendapat perdar ahan utama dari pembuluh darah intr akranial. Obat yang diber ikan antara lain doksor ubisin dan dacar bazine atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid.8,12,24
5. Embolisasi
Tindakan embolisasi sebelum operasi dilakukan untuk mengur angi per darahan dan mencegah komplikasi akibat per darahan. Untuk melakukan embolisasi diper lukan angiogr afi ter lebih dahulu untuk mengetahui ar ter i mana yang member i perdar ahan tumor, sehingga sering disebut angiografi embolisasi pr aoperasi. Pada pemer iksaan angiografi secara rutin, ar ter i kar otis inter na, ar ter i faringeal asenden, ar teri maksilar is inter na pada kedua sisi kanan dan kiri diper iksa. Setelah menentukan tar get
ar ter i yang akan dilakukan oklusi kemudian dilakukan embolisasi. Embolisasi pra operasi dapat mengur angi perdar ahan saat operasi, tetapi per darahan pasca embolisasi saat oper asi masih mungkin ter jadi ter gantung dari der ajat tumor.10,12,20,25
6. Ligasi arteri kar otis eksterna.
Salah satu cara untuk mengur angi perdar ahan selama operasi adalah dengan melakukan tindakan ligasi arter i kar otis eksterna. Tindakan ini pertama kali dilakukan oleh Par e (1652) pada pasien dengan luka tusuk yang luas di leher akibat pedang. Pada tahun 1857 Mott melakukan tindakan ligasi untuk tumor kepala. Waston (1939) melapor kan 20 kasus yang dilakukan ligasi a.kar otis pada kasus tumor kepala. Tandon16 pada tahun 1986 melakukan tindakan ligasi ar teri kar otis ekster na pada 3 pasien. Pandi4 melakukan ligasi a.kar otis ekster na pada 2 pasien dan ter nyata dapat mengurangi per dar ahan selama oper asi. Wilson mengemukakan bahw a perdar ahan utama angiofibr oma nasofaring hampir semuanya unilateral, berasal dar i a.maksilaris inter na dan a.faringeal asenden, yang mer upakan cabang dar i a.kar otis ekster na. Ligasi a.kar otis eksterna dapat mengurangi per darahan saat oper asi. Menur ut Wilson, beberapa penulis menyatakan bahwa dengan ligasi ar ter i kar otis ekster na ipsilateral hanya sedikit menurunkan per darahan, tetapi ligasi kedua arter i kar otis ekster na dilaporkan sangat berguna pada beberapa kasus.15,16
KEKAMBUHAN
Gullane et al (1992)20 melapor kan angka kekambuhan 36% pada pasien yang menjalani operasi dan 57% pada pasien yang menjalani r adioter api. Harma (1959) melapor kan angka kekambuhan 46,5%. Laffargue (1947) seper ti dikutip oleh Lloyd20 melapor kan tidak adanya kekambuhan sama sekali. Lee KJ11 menulis angka kekambuhan sekitar 6-20% pada pasien yang menjalani operasi. Hor isson8 melapor kan angka kekambuhan 27,5%. Pandi dan Rifki5 melapor kan timbulnya kekambuhan 6,4%. Dhar mabakti13 melaporkan angka kekambuhan penderita angiofibr oma yang telah dilakukan pembedahan 21,8%. Fagan26 melapor kan angka kekambuhan 37,5%. Besar nya angka kekambuhan sangat tergantung kepada luasnya tumor, teknik pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
KOMPLIKASI
Teknik operasi dengan menggunakan tr anspalatal yang dilakukan Rifki untuk tumor stadium I dan II dapat mengakibatkan gangguan fungsi palatum. Pendekatan rinotomi later al member ikan lapangan pandang operasi yang lebih baik, tetapi dapat
mengakibatkan sikatrik yang mengganggu
kosmetik.8,12,26,27.
LAPORAN KASUS
Seor ang remaja laki-laki, ber usia 17 tahun dengan nomor rekam medik 645335 datang ke sub-bagian tumor THT RSUP pada tanggal 10 Juni 2009 dengan keluhan keluar dar ah dari lobang hidung kanan sejak 1 minggu yang lalu, kira-kir a 3 sendok makan dengan frekwensi 2-3 kali sehari. Sejak 2 har i
(6)
yang lalu per dar ahan dari hidung kanan makin banyak, kira-kira setengah gelas dengan frekwensi 2 kali sehari. Aw alnya 1 minggu yang lalu pasien mengeluh hidung ter sumbat dan merasa ada ingus, kemudian pasien ber usaha membuang ingus dengan keras tetapi malah keluar dar ah. Riwayat ingus kental, keluhan telinga ber dengung dan penciuman ber kur ang tidak ada. Keluhan penglihatan ganda, sakit kepala, mual, muntah tidak ada. Pasien dir awat di RSUD Solok selama 4 har i dan dirujuk ke RSUP M.Djamil tanggal 9 Juni 2009 ke IGD M.Djamil dengan diagnosis epistaksis. Pada pemeriksaan didapatkan per darahan sudah ber henti dan dari rinoskopi posterior ter lihat masa w ar na putih kemer ahan di atap nasofaring dengan hasil labor atorium Hb 12,1g%, leukosit 6.900/ mm, haematokrit 35%, tr ombosit 206.000/ mm3, PT 13,0, APTT 38,1. Pasien dipulangkan dengan diagnosis ker ja suspect angiofibr oma nasofarimg dengan anjur an kontr ol poliklinik THT besok har inya (10 Juni 2009) dan diberikan ter api t r anexamic acid 3x500mg, vit K 1x10mg, vit C 1x200mg.
Di poliklinik THT dilakukan pemer iksaan, dan didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, tanda vital dalam batas nor mal. Pada pemeriksaan THT, telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung dengan pemeriksaan rinoskopi anter ior , kavum nasi dextra sempit, tampak massa dengan permukaan licin war na keputihan di bagian poster ior kavum nasi. Pada pemeriksaan tenggor ok ar kus far ing simetr is, uvula di tengah, palatum dur um simetris, palatum mole tidak ter dor ong ke bawah, tidak tampak massa di or ofar ing, pada pemeriksaan r inoskopi poster ior , ter lihat massa di nasofar ing ber war na putih kecoklatan. Dilanjutkan dengan nasoendoskopi dan ter lihat massa ber war na putih pucat dengan hiper vaskular isasi yang telah menutupi koana dextra, muara tuba ter tutup. Pasien dir encanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT-Scan (jadw al tanggal 18 Juni 2009).
Pada tanggal 15 Juni 2009 pasien kembali masuk ke IGD RSUP M.Djamil dengan keluhan keluar darah dari hidung kanan kira-kira setengah gelas, dengan fr ekuensi 2 kali sehar i sejak 2 hari yang lalu. Dari pemeriksaan labor atorium didapatkan Hb 11,8g%, leukosit 11.700/ mm, tr ombosit 170.000/ mm3. Dilakukan pemasangan tampon anterior pada kavum nasi dextra. Kemudian diber i ter api Amoksisilin 3x500mg, t r anexamic acid
3x500mg, vitamin K 2x10mg. Dua hari kemudian tampon diangkat dan tidak terdapat per dar ahan mengalir pada hidung dan tenggor ok.
Pada tanggal 18 Juni 2009 dilakukan CT-Scan nasofar ing dengan hasil: Tampak massa menonjol ke r ongga nasofar ing dari dinding atap nasofaring sisi kiri, batas tegas, tepi regular, meluas ke r ongga kavum nasi, ukur an ± 2x3,5 cm. Tak tampak pembesaran KGB. Sinus paranasal ber sih. Tampak penebalan mukosa kavum nasi. Osteomeatal komplek ter buka. Kesan: angiofibr oma nasofaring.
Ditegakkan diagnosis angiofibr oma nasofar ing stadium I. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan dalam anastesi umum dengan teknik hipotensi. Untuk itu dilakukan pemer iksaan darah rutin, per setujuan operasi, cukur bulu hidung, per siapan darah w hole blood 2000 cc, adona drip 1 ampul dalam dextr ose 5% dan konsul anastesi. Dar i hasil laborator ium didapatkan hasil Hb 12,2 g% dan hasil lainnya dalam batas normal. Dar i jaw aban konsul dari anastesi adalah: Sedia darah sesuai TS, post oper asi per siapan ICU.
Pada tanggal 29 Juni 2009 dilakukan operasi ekstir pasi angiofibr oma melalui pendekatan tr anspalatal dalam anastesi umum anestesi umum dengan teknik hipotensi. Laporan operasi:
o Pasien telentang di meja operasi dalam narkosis.
o Dilakukan septik dan aseptik pada lapangan operasi.
o Kavum nasi dievalusi dengan nasoendoskopi dan ter lihat massa tumor menutupi koana kanan dan belum memasuki kavum nasi
o Dilakukan insisi pada palatum mole dan palatum durum, ter lihat massa tumor.
o Setelah itu dilakukan pengangkatan tumor pada daerah nasofaring dextr a. Massa tumor ber hasil diangkat selur uhnya dan dikirim ke bagian Patologi Anatomi RSUP Dr .M Djamil.
o Di pasang tampon belloq.
o Dilanjutkan dengan pemasangan tampon anterior pada kedua kavum nasi, per dar ahan ber henti.
o Palatum mole dijahit lapis demi lapis.
o Per darahan ± 300 cc.
o Operasi selesai.
Pada follow up hari per tama: tidak terdapat perdar ahan dan luka oper asi baik. Pasien di terapi dengan ceftazidin 2x1gr (IV) dan diet makanan cair . Hasil laboratorium post oper asi adalah : Hb 11,4g%, leukosit 6900/ mm3. Rencana buka tampon 2 hari lagi.
Pada tanggal 3 Juli 2009, dilakukan pengangkatan tampon anter ior tetapi ter jadi perdar ahan, sehingga diputuskan untuk memasang kembali tampon anterior dan menunda pembukaan tampon poster ior . Penyembuhan luka tempat insisi palatum baik dan pemeriksaan otoskopi dalam batas nor mal.
(7)
Pada tanggal 6 Juli 2009 dilakukan pengangkatan tampon anterior dan belloq tampon di kamar operasi dengan anastesi umum. Tidak ter jadi perdar ahan, nasofaring dievaluasi dan tidak ter lihat sisa tumor . Tanggal 7 Juli 2009 pasien dipulangkan dengan anjuran kontr ol poliklinik THT 1 minggu lagi untuk evaluasi.
Hasil dari bagian Patologi Anatomi nomor PJ-996-09 tanggal 7 Juli 2009 adalah:
Makr oskopis:
Sepotong jar ingan 3 x 0,5 x 1 cm penampang putih kecoklatan.
Mikr oskopis:
Dalam sedian ter diri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak kapiler-kapiler sebagian melebar di permukaan tampak jaringan ikat tipis.
Kesimpulan:
Sesuai untuk angiofibroma.
Tanggal 13 Juli 2009 pasien kontr ol ke poliklinik THT. Keluhan tidak ada, dilakukan evaluasi dengan nasoendoskopi dan tidak ter lihat per darahan, fossa r osenmuller nasofaring tidak ter lihat sisa rumor , muara tuba terbuka dan defek pada palatum tidak ada. Pasien dianjur kan untuk kontr ol 3-4 bulan lagi untuk dilakukan CT Scan kontr ol.
DISKUSI
Angiofibr oma nasofaring mer upakan tumor jinak yang jarang, diper kirakan hanya 0,05% dar i semua tumor jinak yang tumbuh di kepala dan leher8,9. Pada kasus ini pasien ber jenis kelamin laki-laki dan ber usia muda yaitu 17 tahun. Hal ini sesuai dengan kar akteristik usia dan jenis kelamin8,9,10,11 Ungkanont dkk12 dalam penelitiannya melapor kan 43 pasien ter dir i dar i 42 orang laki-laki dan 1 orang per empuan dengan rata-r ata berumur 16 tahun (9-32 tahun). Dhar mabakti13 dalam penelitiannya menemukan 41 kasus angiofibr oma semuanya laki-laki dengan usia 10-29 tahun. Figi dkk seper ti dikutip oleh Lee DA14 melapor kan 144 kasus angiofibroma nasofar ing di Amer ika Serikat dengan insiden pada wanita 4,4%. Gejala klinis pada pasien ini riw ayat epistaksis masif diser tai dengan hidung ter sumbat, ingus kental dan belum disertai dengan gangguan penciuman. Pada pemer iksaan fisik ter lihat kavum nasi dextr a sempit, tampak massa dengan permukaan r ata ber war na putih kemerahan yang menutupi poster ior kavum nasi, pemer iksaan r inoskopi posterior ter lihat massa tumor memenuhi nasofar ing. Hal ini sesuai dengan kepustakaan mengenai gejala angiofibr oma dimana gejalanya antara lain: obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (r hinor r hea). Ini mer upakan gejala yang paling sering, ter utama pada permulaan penyakit. Sering mimisan (epist axis) atau keluar cairan dar i hidung yang ber w ar na darah (blood-t inged nasal discharge). Epistaksis, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilater al) dan berulang (r ecur r ent ). Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus par anasal ter halang. Pembengkakan di wajah (facial sw elling), kejadiannya sekitar 10-18%. Jika dari gejala klinis belum ditemukan gejala telinga berdenging, penglihatan ganda, mual, muntah dan sakit kepala hebat, menandakan bahwa tumor ini masih terbatas di nasofar ing. Dar i pemeriksaan laborator ium r utin dapat disingkirkan penyebab epistaksis dar i kelainan darah
dan infeksi. kadar haemoglobin masih dalam toleransi nor mal untuk tidak dilakukan transfusi darah.
Pemeriksaan biopsi pada pasien ini tidak dilakukan, mengingat bahaya per darahan yang ter jadi akibat biopsi. Pemer iksaan CT-Scan dengan potongan kor onal dan aksial dilakukan untuk mengetahui lokasi tumor dan melihat per luasan tumor. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CT-Scan dengan hasil tampak massa menonjol ke r ongga nasofar ing dari dinding atap nasofaring sisi kir i, batas tegas, tepi r egular , meluas ke r ongga kavum nasi, ukuran ± 2x3,5 cm. Tak tampak pembesaran KGB. Sinus par anasal ber sih. Tampak penebalan mukosa kavum nasi. Osteomeatal komplek ter buka, Ber dasar kan klasifikasi session stadium penyakit pasien ini adalah stadium I.
Terapi pilihan untuk stadium ini adalah pembedahan dengan pendekatan transpalatal. Tandon16 menganjurkan untuk menggunakan pendekatan operasi secar a transpalatal untuk tumor yang ter dapat pada nasofar ing, koana, r ongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa intratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secara transmaksila dengan insisi Weber Fer guson atau dikombinasikan dengan pendekatan transpalatal. Spector21 mengemukakan pilihan operasi secara tr anspalatal pada tumor yang ter batas di nasofar ing, hidung, sinus sfenoid. Pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan ekstir pasi massa angiofibroma nasofaring secar a tr anspalatal dengan alasan lainnya seper ti: usianya masih muda dan alasan kosmetik.
Pandi mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasi per darahan intraoperatif, antara lain : penggunaan anestesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. kar otis ekster na, ter api hor monal, r adiasi, atau tindakan embolisasi praoperatif.5,10,16 Tindakan embolisasi praoperatif dapat dilakukan untuk mengurangi per darahan dan mencegah komplikasi akibat per darahan. Sebelum tindakan embolisasi diper lukan angiografi ter lebih dahulu untuk mengetahui ar teri mana yang member ikan vaskularisasi pada tumor .10,12,20,25 Pada pasien ini tindakan ini tidak dilakukan oleh karena tindakan ini belum bisa diker jakan di RSUP M.Djamil. Terapi hormonal dan radiasi tidak dilakukan kar ena pasien masih stadium I dan dalam pelaksanaan operasinya memakai teknik hipotensi.
Vaskular isasi angiofibr oma ber sifat homolateral, sebagian besar arter i pemasok tumor ini mer upakan cabang ar teri kar otis ekster na. Bila tumor melewati gar is tengah biasanya per darahannya berasal dari pembuluh darah kar otis bilateral. Pada tumor yang tumbuh intrakr anial sumber per darahan utama juga didapatkan dari sistim ar teri karotis inter na. Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdar ahan hebat yang dapat mencapai 2000 cc sampai 3000 cc dalam w aktu singkat yang dapat disebabkan oleh hanya sebagian tumor yang ter angkat atau tumor sudah meluas ke intr akranial. Pada pasien ini massa tumor dapat diangkat selur uhnya dengan perdar ahan minimal (300 cc).
Pada follow up har i ke empat dir encanakan untuk membuka tampon anter ior dan belloq tampon, tetapi pada saat tampon anterior dibuka, ter jadi perdar ahan dari hidung. Diputuskan untuk memasang
(8)
kembali tampon anterior dan menunda pelepasan tampon belloq 3 hari kemudian.
Hasil pemer iksaan dar i bagian Patologi Anatomi adalah sesuai angiofibr oma nasofar ing dimana secar a makr oskopis ter lihat sepotong jaringan 3 x 0,5 x 1 cm penampang putih kecoklatan dan secara mikr oskopis ter lihat jar ingan ikat longgar yang mengandung banyak kapiler-kapiler sebagian melebar di permukaan tampak jar ingan ikat tipis. Sesuai dengan kepustakaan dimana menurut Fagan11 makr oskopis massa angiofibr oma nasofaring mer upakan tumor yang konsistensinya kenyal keras, war nanya ber var iasi dari abu-abu sampai merah muda. Ter dapat banyak pembuluh dar ah pada mukosa dan tak jar ang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tak ber kapsul, ber lobus-lobus, tepinya berbatas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan sekitar nya.26 Secara mikr oskopik gambaran daerah vaskuler bervar iasi, baik bentuk maupun ukur annya dalam jaringan fibr osa. Sebagian terdir i dari jaringan pembuluh darah dengan dinding yang tipis dalam str oma kolagen yang lebih seluler . Sebagian lagi ter dir i dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya, ter letak dalam str oma yang kurang seluler .4,10,17,18
Pada pasien ini kemungkinan kambuh kecil. Lloyd20 melapor kan tidak adanya kekambuhan sama sekali. Lee KJ11 menulis angka kekambuhan sekitar 6-20% pada pasien yang menjalani operasi. Hor isson8 melapor kan angka kekambuhan 27,5%. Pandi dan Rifki5 melapor kan timbulnya kekambuhan 6,4%. Dhar mabakti13 melaporkan angka kekambuhan penderita angiofibr oma yang telah dilakukan pembedahan 21,8%. Besar nya angka kekambuhan sangat tergantung kepada luasnya tumor, teknik pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Kemungkinan pasien pada kasus ini memiliki pr ognosis yang baik dan angka kekambuhan yang rendah kar ena masih stadium awal dan massa tumor bisa diekstir pasi keselur uhan.
Komplikasi fungsi palatum tidak ter jadi pada pasien ini dan juga tidak ter lihat residu massa tumor pada pemeriksaan nasoendoskopi pada saat kontrol poliklinik THT satu minggu setelah pulang.
Pasien dianjur kan untuk kontr ol 3-6 bulan lagi, untuk dilakukan CT-Scan ulang yang ber tujuan untuk evaluasi ulang kekambuhan massa tumor 5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cansi s Har un, Guvenc M, Seker ciogl u N. Sur gical Appr oachesto juvenil e nasopar yngeal angiofibr oma. Jour nal of Cr anio-Maxillofacial sur ger y 2006;34:3-8
2. Wylie J.P, Slevian N.J, Johnson R.J, Intr acr anial Juvenille Nasophar i ngeal Angiofi br oma. Cli nical Oncology 1998; vol 10:330-3
3. Lee J T, Chen P, Safa A, Juil lar d G, Calcat er r a TC. The r ole of r adiat ion in the tr eatment of advanced juvenil e angiofibr oma. Lar yngoscope 2002;112:1213-20
4. Neel HB, Whicker JH, Devi ne KD, Welland LH. Juvenile angiofibr oma. A r eview of 120 cases. Am J Sur g 1973; 126:546-6
5. Pandi PS, Rifki N. The sur gical management of nasophar yngeal angiofibr oma. 3r d Asia congr ess of ORL
1975; 274-82
6. Fr iedber g S.A : Vascular Fibr oma of Nasophar ing Ar ch Otolar yngol 1940; 31;313-15
7. Becar e Y, Ghr ayeb MD. Endoscopic contr ol of poster ior epistaxi s. Diakses dar i: w w w .ghor ayeb.com
Epistaxi sPoster ior EndoscopicView .htmll ast updat e august 21, 2004
8. Har ison DFN. The nat ur al histor y, pathogenesi s and tr eat ment of juvenile angiofibr oma. Ar ch Otolar yngol Head and Neck Sur g 1978;113;936-42
9. Roezin A, Dhar mabakti US. Angiofi br oma Nasofar i ng Belia. Dalam: Soepar di EA, Iskandar N, editor . Hidung dan Tenggor ok, edisi ke-5, Jakar ta, Balai Pener bi t FKUI, 2001; 151-2
10. Br emer J.W, Nell HB, De Santo LW and Jones Gc; Angiofibr oma, tr eatment and tr en i n 150 pati ent dur ing 40 year s. Lar yngoscope, 1986; 96;1321-29
11. Lee KJ. The nose and par anasal si nuses. I n Essensial Otolar yngology: Head and Neck Sur ger y 2003; 8:708-9
12. Unkanont K, Byer s RM, Weber RS, Callender DL, et al. Juvenile nasofar i ngeal angiofibr oma: an up dat e of ther apeut ic management. Head and neck 1996; 18:60-6
13. Dhar mabakti US. Angiofibr oma nasofar i ng di bagian THT FKUI/ RSCM Jakar ta. Evaluasi Kli ni k Penatalaksanaan dalam per iode tahun 1983-1988 ORL Indonesi a 1990; 21;117-30
14. Lee Da, Rao BR, Meyer JS, Pr ioleau PG, et all. Hor monal r eceptor deter mi nat ion juvenile nasophar yngeal angiofibr oma. Cancer 1980;46:547-51
15. Gr ybauskas V, Par ker J, Fr i edman M. Juvenile nasophar yngeal angiofibr oma. Otolar yngologic Clinics of Nor th Amer ica 1986; 19:647-57.
16. Tandon DA, Bahadur S, Kacker SK, Goulatias. Nasophar i ngeal angiofi br oma (A ni ne year s exper i ence). The Jour nal of Lar yngology and Otology 1988; 102:805-9.
17. Miller Rh, neoplasma of t he nose, thr oat, ear , head and neck. Eds Ball angger jj, 14thed. 1991;212-3.
18. Spector JG, Louis S. Management of juvenile angiofibr oma. Lar ingoscope 1988;98;1016-26.
19. Fagan JJ, Synder man CH, Car r au RL, Janecka IP. Nasophar i ngeal angiofibr oma : Selecti ng a sur gical appr oach. Head and Neck 1997:113:885-7
20. Lloyd G, How ar d D, Phelps P, Cheesman A. Juvenile angiofibr oma: the lesson of 20 year s of moder n i maging. The Jour nal of Lar yngology and Otology 1999; 113:127-34
21. Scoltz AW, Appenr ot h E, Jolly KK, Scoltz LU et al. Juvenile nasophar yngeal angiofi br oma: management and ther apy. Lar yngoscope 2001; 111: 681-7
22. Kalifa MA. Endonasal endoscopic sur ger y for nasophar yngeal angiofibr oma. Otolar yngol Head and Neck Sur g 2001; 124:336-7
23. Halbach VV, Hieshi ma GB, Higashida, David DF, Endovascul er Ther apy of Head and Neck Tumor . In:Inter ventional Neur ology Endovascular Ther apy of the Centr al Ner vous System. Vi nuelz F et al. Reven pr ess. New Yor k. 1992:17-28.
24. Geofer t H, Cangir A, Lee YY. Chemoter apy for aggr essive juvenile nasophar yngeal angiofibr oma. Ar ch Otolar yngol 1985; 111:285-9
25. Siniluoto TM, Luotonen JP, Ti kkakoski TA, Leinonen AS, et al. Value of pr eoper at ive embolization i n sur ger y for nasophar yngeal angiofibr oma. The Jour nal of Lar yngology and Otology 1993; 107:514-21
26. Gates GA, Rice DH, Koopman CF, Sculler DE. Flut amide-Induce Regr essien of angiofi br oma. Lar yngoscope, 1992; 102;641-44
27.
Kar mel RH. Tr ansnasal endoscopic sur ger y in juvenille nasophar yngeal angiofibr oma. The Jour nal of lar yngology and otology. 1996; 113:885-7(1)
perdar ahan berasal dar i pembuluh darah kar otis bilateral8,15
Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah per darahan hebat, yang dapat mencapai 2000-3000 cc dalam w aktu yang singkat. Per dar ahan saat oper asi dapat disebabkan karena hanya sebagian tumor yang terangkat atau tumor sudah ter dapat di intrakranial. Per dar ahan hebat selain mengganggu jalannya oper asi sehingga sulit untuk melihat asal tumor , juga dapat ter jadi syok hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengur angi perdar ahan hebat, Pandi mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain: penggunaan anastesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. kar otis ekster na, terapi hormonal, r adiasi, dan tindakan embolisasi pr eoper asi.5,10,16
GEJALA KLINIS
Keluhan paling ser ing dijumpai adalah hidung ter sumbat yang ber sifat pr ogr esif, epistaksis ber ulang dan r inore kr onik. Epistaksis biasanya hebat dan jar ang berhenti spontan. Keluhan lain berupa r inolalia, anosmia, sefalgia, tuli konduktif, deformitas w ajah, pr optosis dan diplopia. Sumbatan ostium sinus dapat menyebabkan sinusitis. Per luasan tumor ke or ofar ing menimbulkan disfagia, dan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura or bitalis superior timbul pr optosis, dan dapat diser tai gangguan visus ser ta deformitas w ajah penderita. Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa pterigopalatina, lalu ke fossa infr a tempor al, kemudian menyusuri rahang atas bagian belakang dan ter us masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan businator . Hal ter sebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus. Per luasan tumor ke r ongga intra kranial akan menimbulkan gejala neur ologis.6,10,13,17,18
HISTOPATOLOGIS
Secar a makr oskopis mer upakan tumor yang konsistensinya kenyal ker as, w ar nanya ber var iasi dar i abu-abu sampai merah muda. Ter dapat banyak pembuluh dar ah pada mukosa dan tak jar ang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tidak ber kapsul, ber lobus-lobus, tepinya ber batas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan sekitar nya.19
Secar a mikr oskopik gambaran daerah vaskuler bervar iasi, baik bentuk maupun ukur annya dalam jaringan fibr osa. Sebagian terdir i dari jaringan pembuluh darah dengan dinding yang tipis dalam str oma kolagen yang lebih seluler . Sebagian lagi ter dir i dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya, ter letak dalam str oma yang kur ang seluler.4,10,17,18
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan ber dasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan r adiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemer iksaan histopatologis jar ingan tumor pasca operasi. Sebaiknya tindakan biopsi dihindar i atau dilakukan dalam kamar operasi dengan peralatan siap operasi, mengingat bahaya per darahan yang biasanya sukar di kontr ol9.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan r adiologik dapat banyak membantu dalam menegakkan diagnosis dan r encana tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan radiologik konvensional akan ter lihat gambaran klasik angiofibr oma nasofar ing dini. Gambaran ini di sebut sebagai tanda “Holman Miller ” (1965), yaitu pendor ongan ke depan dinding poster ior sinus maksila dan pendor ongan ke belakang pr osesus pterigoideus, sehingga fisura pter igo palatina melebar . Dar i pemer iksaan ini juga akan ter lihat adanya massa jaringan lunak di daer ah nasofar ing, atau er osi dinding or bita, ar kus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring
9,10,20
Pada pemer iksaan CT-Scan dengan potongan kor onal dan aksial, akan memberikan gambaran yang lebih jelas. Dengan pemeriksaan ini diketahui lokasi tumor dan per luasaan ke str uktur sekitar nya serta melihat adanya invasi ke tulang.
Pemeriksaan magnet ik r esonance imaging dapat dilakukan dan ber manfaat untuk melihat per luasan tumor ke intr akaranial dan hubungannya dengan pembuluh darah utama ser ta str uktur neur ologik disekitar nya.20,21,22
Pada pemeriksaan ar ter iografi ar teri karotis akan member ikan gambar an yang khas yaitu :
a. Pendor ongan ar ter i maksila inter na ke depan sebagai akibat per tumbuhan tumor dar i nasofar ing ke arah fossa pter igomaksila. b. Massa tumor terisi oleh kontras pada fase
kapiler dan akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiogr afi bertujuan untuk melihat pembuluh dar ah pemasok utama, mengevaluasi besar dan per luasan ser ta residu tumor . Suplai darah dapat dari kedua sisi leher .
STADIUM TUMOR
Sistem penderajatan angiofibr oma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh Sessions dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan Chandler.
Klasifikasi menurut Session adalah :
Stadium IA : Tumor terbatas di nar es posterior dan atau nasofar ingeal voult . Stadium IB : Tumor meliputi nar es posterior
dan atau nasofar ingeal voult dengan meluas setidaknya satu sinus paranasal.
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pter igomaksila.
Stadium IIB : Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa menger osi tulang orbita. Stadium IIIA : Tumor telah menger osi dasar
tengkor ak dan meluas sedikit ke intrakranial.
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus kaver nosus. Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:
Stadium I : Tumor terbatas di r ongga hidung, nasofar ing tanpa mendestruksi tulang. Stadium II : Tumor menginvasi fossa pter igomaksila, sinus paranasal dengan destr uksi tulang.
(2)
Stadium III : Tumor menginvasi fossa infr atemporal, or bita dengan atau r egio paraselar .
Stadium IV : Tumor menginvasi tumor kaver nosus, regio kiasma optik dan atau fossa pitultar y.
Chandler seper ti dikutip oleh Ungkanont6
membagi pender ajatan ter sebut menjadi sebagai ber ikut:
Stadium I : Tumor ter batas di nasofar ing Stadium II : Meluas ke kavum nasi dan atau sinus
sfenoid.
Stadium III : Meluas ke salah satu atau lebih sinus maksila dan etmoid, fossa pter igomaksila dan infr atemporal, or bita dan atau pipi
Stadium IV : Meluas ke r ongga intr a kranial. PENATALAKSANAAN
Berbagai jenis pengobatan dikembangkan sejak ditemukannya tumor ini. Penatalaksanaan tumor ini yaitu:
1. Oper asi
Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan angiofibr oma nasofaring. Hingga tahun 1960-an pendekatan dasar bedah pada angiofibr oma nasofar ing adalah tr anspalatal, yang mana dapat dikombinasikan dengan insisi sublabial atau suatu pendekatan Caldw ell-Luc. Efektifitas operasi tergantung dari lengkapnya pengangkatan masa tumor. Beber apa pendekatan dikemukakan oleh para ahli sebagai usaha mengekstir pasi selur uh jaringan tumor pada daer ah yang r elatif sempit.8,10,12,15,16 Tandon16 menganjurkan untuk
menggunakan pendekatan operasi secara tr anspalatal untuk tumor yang ter dapat pada nasofar ing, koana, r ongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa infratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secar a tr ansmaksila dengan insisi Weber Fer guson atau dikombinasikan dengan pendekatan tr anspalatal.
Spector21 mengemukakan pilihan operasi
secara transpalatal pada tumor yang ter batas di nasofar ing, hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang meluas ke lateral melalui fisura pterigomaksila, dapat dikombinasikan pendekatan Caldw el-Luc dan tr anspalatal. Bila tumor meluas ke pipi, sinus maksila dan fosa pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi tr anspalatal dan tr ansantr al atau transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral dilakukan bila per luasannya kearah sinus etmoid dan r etr o or bita. Bila tumor meluas ke fossa infra temporal bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan labiomandibulotomi medial. Bila tumor meluas ke fossa infra tempor alis bagian inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga parafar ing) dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan tr ansmandibula anter ior . Pada tumor yang meluas ke intrakranial, dilakukan operasi kombinasi tr anspalatal dan kr aniotomi fr ontotemporal.
Kamel, seperti dikutip Khalifa23
mengungkapkan bahwa pendekatan endoskopi tr ansnasal dapat digunakan untuk tumor stadium I-II.
Spector21 menganjurkan untuk melakukan
ekstir pasi melalui :
a. Faringotomi suprahioid untuk tumor yang ter batas di nasofar ing dan atau r ongga hidung.
b. Peningkapan bila tumor telah meluas ke sinus sfenoid, etmoid dan maksila, fossa pter igomaksila dan infratempor al, pipi, r ongga mata dan palatum.
c. Operasi kombinasi peningkapan dan kraniotomi fr ontotemporal bila tumor telah meluas ke intrakranial. Bila tumor mengenai sinus kaver nosus, kiasma optik atau kelenjar hipofisis, maka eksisi tumor akan sangat membahayakan. Pada keadaan ini dianjurkan untuk melakukan r eseksi par tial dan sisa tumor diberikan radioterapi dan atau terapi hormonal.
2. Radioter api
Gr ybauskas15 melapor kan angka kesembuhan
80% pada terapi radiasi dengan dosis 3.000-3.500 cGy. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200 r ads adanya penur unan vaskularisasi tumor tetapi tidak adanya pengecilan bermakna ukuran tumor17.
Dhar mabakti13 mengutip bahwa r adiasi
eksterna banyak dilakukan di Kanada oleh Br iant dkk. Dengan dosis 3.000-3.500 cGy, memper oleh angka kesembuhannya mencapai 70-80%.
Terapi radiasi biasanya digunakan sebagai ter api paliatif untuk mengur angi per darahan pada saat operasi, sebagai ter api tambahan pada tumor yang r ekuren, dan pada tumor dengan per tumbuhan intrakranial. Radiasi pada usia r emaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang w ajah, r adionekr osis dan perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien yang menolak operasi dan pada tumor yang tidak mungkin untuk di operasi lagi.10,12,13
3. Hormonal
Pengobatan hormonal pada kasus angiofibr oma, per tama kali dilakukan oleh Boedts (1940) dikutip oleh Pandi5 dengan pemberian preparat
pr ogester on dan ternyata tumor mengecil.
Mar tin menyatakan bahw a ketidakseimbangan hor monal dapat merangsang pertumbuhan tumor ini. Shciff mengemukakan suatu tr ilogi ter jadinya tumor ini. Per tama tumor ini ter jadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estr ogen. Kedua, aktivitas ber lebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang ber lebihan dari jaringan pembuluh darah ter sebut. Schiff memberikan estr ogen pada angiofibr oma nasofar ing selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan ter sebut adalah ber upa perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan estr ogen sebelumnya. Estr ogen memberikan efek pematangan jaringan fibr osa dan pembuluh dar ah. Estr ogen ter masuk hormon ster oid kelamin, yang fungsi utamanya ber hubungan erat dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder , terutama pada w anita. Hormon ini mer upakan sintesis dari kolester ol, ter utama di ovar ium dan di kelenjer lain, misalnya kor teks adrenal, testis dan plasenta. Estr ogen dibentuk dari andr ostenedion maupun testoster on yang mempunyai 4 cincin siklik dengan 19 atom C. Estr ogen
(3)
endogen pada manusia paling banyak ter diri dar i estradiol dan potensi estr ogeniknya juga paling kuat. Oksidasi estradiol menjadi estr on dan hidr asi estr on menjadi estriol, ter utama ter jadi di hepar . Dietilstilbesterol mer upakan senyaw a estr ogen sintetik per tama dan potensi estrogenik yang cukup kuat. Reseptor estr ogen dapat ditemukan pada alat r epr oduksi w anita, kelenjar payudara, hipofisis, pr ostat dan hipotalamus. Estr ogen ter ikat dengan afinitas tinggi pada reseptor pr otein di sitoplasma. Setelah mengalami modifikasi, kompleks reseptor estrogen ini ditranslokasi ke inti sel yang akan ber ikatan dengan kr omatin. Ikatan ini memicu sintesis RNA dan beber apa pr otein spesifik lain. Sintesis pr otein oleh estr ogen ini dihambat oleh penghambat sintesis RNA (daktinomisin), dan penghambat sintesis pr otein (sikloheksimid). Penggabungan estr ogen dengan reseptor nya dihambat oleh obat golongan anti estrogen, misalnya klomefin atau tamoksifen. Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring ber tujuan untuk mengecilkan masa tumor dan mengur angi perdar ahan. Pember ian estr ogen dapat meningkatkan matur asi kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor , sehingga per darahan ber kurang dan tumor mengecil. Estr ogen dapat menimbulkan efek samping ber upa penurunan kadar testoster on plasma, atr ofi testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan Mackay memberikan dietilstilbestrol selama 30 har i. Ter lihat peningkatan jaringan ikat fibr osa dan penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis ter api yang dianjurkan tidak lebih dari 15 mg/ hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang per nah diber ikan adalah 3.000 mg.8,12,13,17,23
Di Indonesia seper ti yang dikutip oleh Dhar mabakti13 melapor kan bahwa setelah pemberian
estrogen, ter nyata tumor mengecil tetapi setelah pemberian dihentikan tumor tumbuh lagi.
4. Sitostatika
Geopfer t dkk24 (1985) per tama kali
memberikan sitostatika terhadap 5 kasus angiofibr oma nasofaring yang mengalami r esidif dengan memberikan kombinasi deksor ubisin dan dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil yang diperoleh ter nyata cukup memuaskan dan tumor mengalami r egresi secar a per lahan-lahan, tanpa menimbulkan komplikasi. Sitostatika diber ikan pada tumor rekuren yang besar , pasca tindakan pembedahan, tumor dengan pertumbuhan intrakr anial dan tumor yang mendapat perdar ahan utama dari pembuluh darah intr akranial. Obat yang diber ikan antara lain doksor ubisin dan dacar bazine atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid.8,12,24
5. Embolisasi
Tindakan embolisasi sebelum operasi dilakukan untuk mengur angi per darahan dan mencegah komplikasi akibat per darahan. Untuk melakukan embolisasi diper lukan angiogr afi ter lebih dahulu untuk mengetahui ar ter i mana yang member i perdar ahan tumor, sehingga sering disebut angiografi embolisasi pr aoperasi. Pada pemer iksaan angiografi secara rutin, ar ter i kar otis inter na, ar ter i faringeal asenden, ar teri maksilar is inter na pada kedua sisi kanan dan kiri diper iksa. Setelah menentukan tar get
ar ter i yang akan dilakukan oklusi kemudian dilakukan embolisasi. Embolisasi pra operasi dapat mengur angi perdar ahan saat operasi, tetapi per darahan pasca embolisasi saat oper asi masih mungkin ter jadi ter gantung dari der ajat tumor.10,12,20,25
6. Ligasi arteri kar otis eksterna.
Salah satu cara untuk mengur angi perdar ahan selama operasi adalah dengan melakukan tindakan ligasi arter i kar otis eksterna. Tindakan ini pertama kali dilakukan oleh Par e (1652) pada pasien dengan luka tusuk yang luas di leher akibat pedang. Pada tahun 1857 Mott melakukan tindakan ligasi untuk tumor kepala. Waston (1939) melapor kan 20 kasus yang dilakukan ligasi a.kar otis pada kasus tumor kepala. Tandon16 pada tahun 1986 melakukan
tindakan ligasi ar teri kar otis ekster na pada 3 pasien. Pandi4 melakukan ligasi a.kar otis ekster na pada 2
pasien dan ter nyata dapat mengurangi per dar ahan selama oper asi. Wilson mengemukakan bahw a perdar ahan utama angiofibr oma nasofaring hampir semuanya unilateral, berasal dar i a.maksilaris inter na dan a.faringeal asenden, yang mer upakan cabang dar i a.kar otis ekster na. Ligasi a.kar otis eksterna dapat mengurangi per darahan saat oper asi. Menur ut Wilson, beberapa penulis menyatakan bahwa dengan ligasi ar ter i kar otis ekster na ipsilateral hanya sedikit menurunkan per darahan, tetapi ligasi kedua arter i kar otis ekster na dilaporkan sangat berguna pada beberapa kasus.15,16
KEKAMBUHAN
Gullane et al (1992)20 melapor kan angka
kekambuhan 36% pada pasien yang menjalani operasi dan 57% pada pasien yang menjalani r adioter api. Harma (1959) melapor kan angka kekambuhan 46,5%. Laffargue (1947) seper ti dikutip oleh Lloyd20
melapor kan tidak adanya kekambuhan sama sekali. Lee KJ11 menulis angka kekambuhan sekitar 6-20%
pada pasien yang menjalani operasi. Hor isson8
melapor kan angka kekambuhan 27,5%. Pandi dan Rifki5 melapor kan timbulnya kekambuhan 6,4%.
Dhar mabakti13 melaporkan angka kekambuhan
penderita angiofibr oma yang telah dilakukan pembedahan 21,8%. Fagan26 melapor kan angka
kekambuhan 37,5%. Besar nya angka kekambuhan sangat tergantung kepada luasnya tumor, teknik pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.
KOMPLIKASI
Teknik operasi dengan menggunakan tr anspalatal yang dilakukan Rifki untuk tumor stadium I dan II dapat mengakibatkan gangguan fungsi palatum. Pendekatan rinotomi later al member ikan lapangan pandang operasi yang lebih baik, tetapi dapat mengakibatkan sikatrik yang mengganggu kosmetik.8,12,26,27.
LAPORAN KASUS
Seor ang remaja laki-laki, ber usia 17 tahun dengan nomor rekam medik 645335 datang ke sub-bagian tumor THT RSUP pada tanggal 10 Juni 2009 dengan keluhan keluar dar ah dari lobang hidung kanan sejak 1 minggu yang lalu, kira-kir a 3 sendok makan dengan frekwensi 2-3 kali sehari. Sejak 2 har i
(4)
yang lalu per dar ahan dari hidung kanan makin banyak, kira-kira setengah gelas dengan frekwensi 2 kali sehari. Aw alnya 1 minggu yang lalu pasien mengeluh hidung ter sumbat dan merasa ada ingus, kemudian pasien ber usaha membuang ingus dengan keras tetapi malah keluar dar ah. Riwayat ingus kental, keluhan telinga ber dengung dan penciuman ber kur ang tidak ada. Keluhan penglihatan ganda, sakit kepala, mual, muntah tidak ada. Pasien dir awat di RSUD Solok selama 4 har i dan dirujuk ke RSUP M.Djamil tanggal 9 Juni 2009 ke IGD M.Djamil dengan diagnosis epistaksis. Pada pemeriksaan didapatkan per darahan sudah ber henti dan dari rinoskopi posterior ter lihat masa w ar na putih kemer ahan di atap nasofaring dengan hasil labor atorium Hb 12,1g%, leukosit 6.900/ mm, haematokrit 35%, tr ombosit 206.000/ mm3, PT 13,0,
APTT 38,1. Pasien dipulangkan dengan diagnosis ker ja suspect angiofibr oma nasofarimg dengan anjur an kontr ol poliklinik THT besok har inya (10 Juni 2009) dan diberikan ter api t r anexamic acid 3x500mg, vit K 1x10mg, vit C 1x200mg.
Di poliklinik THT dilakukan pemer iksaan, dan didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, tanda vital dalam batas nor mal. Pada pemeriksaan THT, telinga dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung dengan pemeriksaan rinoskopi anter ior , kavum nasi dextra sempit, tampak massa dengan permukaan licin war na keputihan di bagian poster ior kavum nasi. Pada pemeriksaan tenggor ok ar kus far ing simetr is, uvula di tengah, palatum dur um simetris, palatum mole tidak ter dor ong ke bawah, tidak tampak massa di or ofar ing, pada pemeriksaan r inoskopi poster ior , ter lihat massa di nasofar ing ber war na putih kecoklatan. Dilanjutkan dengan nasoendoskopi dan ter lihat massa ber war na putih pucat dengan hiper vaskular isasi yang telah menutupi koana dextra, muara tuba ter tutup. Pasien dir encanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT-Scan (jadw al tanggal 18 Juni 2009).
Pada tanggal 15 Juni 2009 pasien kembali masuk ke IGD RSUP M.Djamil dengan keluhan keluar darah dari hidung kanan kira-kira setengah gelas, dengan fr ekuensi 2 kali sehar i sejak 2 hari yang lalu. Dari pemeriksaan labor atorium didapatkan Hb 11,8g%, leukosit 11.700/ mm, tr ombosit 170.000/ mm3. Dilakukan pemasangan tampon
anterior pada kavum nasi dextra. Kemudian diber i ter api Amoksisilin 3x500mg, t r anexamic acid
3x500mg, vitamin K 2x10mg. Dua hari kemudian tampon diangkat dan tidak terdapat per dar ahan mengalir pada hidung dan tenggor ok.
Pada tanggal 18 Juni 2009 dilakukan CT-Scan nasofar ing dengan hasil: Tampak massa menonjol ke r ongga nasofar ing dari dinding atap nasofaring sisi kiri, batas tegas, tepi regular, meluas ke r ongga kavum nasi, ukur an ± 2x3,5 cm. Tak tampak pembesaran KGB. Sinus paranasal ber sih. Tampak penebalan mukosa kavum nasi. Osteomeatal komplek ter buka. Kesan: angiofibr oma nasofaring.
Ditegakkan diagnosis angiofibr oma nasofar ing stadium I. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan dalam anastesi umum dengan teknik hipotensi. Untuk itu dilakukan pemer iksaan darah rutin, per setujuan operasi, cukur bulu hidung, per siapan darah w hole blood 2000 cc, adona drip 1 ampul dalam dextr ose 5% dan konsul anastesi. Dar i hasil laborator ium didapatkan hasil Hb 12,2 g% dan hasil lainnya dalam batas normal. Dar i jaw aban konsul dari anastesi adalah: Sedia darah sesuai TS, post oper asi per siapan ICU.
Pada tanggal 29 Juni 2009 dilakukan operasi ekstir pasi angiofibr oma melalui pendekatan tr anspalatal dalam anastesi umum anestesi umum dengan teknik hipotensi. Laporan operasi:
o Pasien telentang di meja operasi dalam narkosis.
o Dilakukan septik dan aseptik pada lapangan operasi.
o Kavum nasi dievalusi dengan nasoendoskopi dan ter lihat massa tumor menutupi koana kanan dan belum memasuki kavum nasi o Dilakukan insisi pada palatum mole dan
palatum durum, ter lihat massa tumor. o Setelah itu dilakukan pengangkatan tumor
pada daerah nasofaring dextr a. Massa tumor ber hasil diangkat selur uhnya dan dikirim ke bagian Patologi Anatomi RSUP Dr .M Djamil. o Di pasang tampon belloq.
o Dilanjutkan dengan pemasangan tampon anterior pada kedua kavum nasi, per dar ahan ber henti.
o Palatum mole dijahit lapis demi lapis. o Per darahan ± 300 cc.
o Operasi selesai.
Pada follow up hari per tama: tidak terdapat perdar ahan dan luka oper asi baik. Pasien di terapi dengan ceftazidin 2x1gr (IV) dan diet makanan cair . Hasil laboratorium post oper asi adalah : Hb 11,4g%, leukosit 6900/ mm3. Rencana buka tampon 2 hari lagi.
Pada tanggal 3 Juli 2009, dilakukan pengangkatan tampon anter ior tetapi ter jadi perdar ahan, sehingga diputuskan untuk memasang kembali tampon anterior dan menunda pembukaan tampon poster ior . Penyembuhan luka tempat insisi palatum baik dan pemeriksaan otoskopi dalam batas nor mal.
(5)
Pada tanggal 6 Juli 2009 dilakukan pengangkatan tampon anterior dan belloq tampon di kamar operasi dengan anastesi umum. Tidak ter jadi perdar ahan, nasofaring dievaluasi dan tidak ter lihat sisa tumor . Tanggal 7 Juli 2009 pasien dipulangkan dengan anjuran kontr ol poliklinik THT 1 minggu lagi untuk evaluasi.
Hasil dari bagian Patologi Anatomi nomor PJ-996-09 tanggal 7 Juli 2009 adalah:
Makr oskopis:
Sepotong jar ingan 3 x 0,5 x 1 cm penampang putih kecoklatan.
Mikr oskopis:
Dalam sedian ter diri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak kapiler-kapiler sebagian melebar di permukaan tampak jaringan ikat tipis.
Kesimpulan:
Sesuai untuk angiofibroma.
Tanggal 13 Juli 2009 pasien kontr ol ke poliklinik THT. Keluhan tidak ada, dilakukan evaluasi dengan nasoendoskopi dan tidak ter lihat per darahan, fossa r osenmuller nasofaring tidak ter lihat sisa rumor , muara tuba terbuka dan defek pada palatum tidak ada. Pasien dianjur kan untuk kontr ol 3-4 bulan lagi untuk dilakukan CT Scan kontr ol.
DISKUSI
Angiofibr oma nasofaring mer upakan tumor jinak yang jarang, diper kirakan hanya 0,05% dar i semua tumor jinak yang tumbuh di kepala dan leher8,9.
Pada kasus ini pasien ber jenis kelamin laki-laki dan ber usia muda yaitu 17 tahun. Hal ini sesuai dengan kar akteristik usia dan jenis kelamin8,9,10,11 Ungkanont
dkk12 dalam penelitiannya melapor kan 43 pasien
ter dir i dar i 42 orang laki-laki dan 1 orang per empuan dengan rata-r ata berumur 16 tahun (9-32 tahun). Dhar mabakti13 dalam penelitiannya menemukan 41
kasus angiofibr oma semuanya laki-laki dengan usia 10-29 tahun. Figi dkk seper ti dikutip oleh Lee DA14
melapor kan 144 kasus angiofibroma nasofar ing di Amer ika Serikat dengan insiden pada wanita 4,4%. Gejala klinis pada pasien ini riw ayat epistaksis masif diser tai dengan hidung ter sumbat, ingus kental dan belum disertai dengan gangguan penciuman. Pada pemer iksaan fisik ter lihat kavum nasi dextr a sempit, tampak massa dengan permukaan r ata ber war na putih kemerahan yang menutupi poster ior kavum nasi, pemer iksaan r inoskopi posterior ter lihat massa tumor memenuhi nasofar ing. Hal ini sesuai dengan kepustakaan mengenai gejala angiofibr oma dimana gejalanya antara lain: obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (r hinor r hea). Ini mer upakan gejala yang paling sering, ter utama pada permulaan penyakit. Sering mimisan (epist axis) atau keluar cairan dar i hidung yang ber w ar na darah (blood-t inged nasal discharge). Epistaksis, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilater al) dan berulang (r ecur r ent ). Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus par anasal ter halang. Pembengkakan di wajah (facial sw elling), kejadiannya sekitar 10-18%. Jika dari gejala klinis belum ditemukan gejala telinga berdenging, penglihatan ganda, mual, muntah dan sakit kepala hebat, menandakan bahwa tumor ini masih terbatas di nasofar ing. Dar i pemeriksaan laborator ium r utin dapat disingkirkan penyebab epistaksis dar i kelainan darah
dan infeksi. kadar haemoglobin masih dalam toleransi nor mal untuk tidak dilakukan transfusi darah.
Pemeriksaan biopsi pada pasien ini tidak dilakukan, mengingat bahaya per darahan yang ter jadi akibat biopsi. Pemer iksaan CT-Scan dengan potongan kor onal dan aksial dilakukan untuk mengetahui lokasi tumor dan melihat per luasan tumor. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan CT-Scan dengan hasil tampak massa menonjol ke r ongga nasofar ing dari dinding atap nasofaring sisi kir i, batas tegas, tepi r egular , meluas ke r ongga kavum nasi, ukuran ± 2x3,5 cm. Tak tampak pembesaran KGB. Sinus par anasal ber sih. Tampak penebalan mukosa kavum nasi. Osteomeatal komplek ter buka, Ber dasar kan klasifikasi session stadium penyakit pasien ini adalah stadium I.
Terapi pilihan untuk stadium ini adalah pembedahan dengan pendekatan transpalatal. Tandon16 menganjurkan untuk menggunakan
pendekatan operasi secar a transpalatal untuk tumor yang ter dapat pada nasofar ing, koana, r ongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa intratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secara transmaksila dengan insisi Weber Fer guson atau dikombinasikan dengan pendekatan transpalatal. Spector21
mengemukakan pilihan operasi secara tr anspalatal pada tumor yang ter batas di nasofar ing, hidung, sinus sfenoid. Pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan ekstir pasi massa angiofibroma nasofaring secar a tr anspalatal dengan alasan lainnya seper ti: usianya masih muda dan alasan kosmetik.
Pandi mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasi per darahan intraoperatif, antara lain : penggunaan anestesi dengan teknik hipotensi, tindakan ligasi a. kar otis ekster na, ter api hor monal, r adiasi, atau tindakan embolisasi praoperatif.5,10,16
Tindakan embolisasi praoperatif dapat dilakukan untuk mengurangi per darahan dan mencegah komplikasi akibat per darahan. Sebelum tindakan embolisasi diper lukan angiografi ter lebih dahulu untuk mengetahui ar teri mana yang member ikan vaskularisasi pada tumor .10,12,20,25 Pada pasien ini
tindakan ini tidak dilakukan oleh karena tindakan ini belum bisa diker jakan di RSUP M.Djamil. Terapi hormonal dan radiasi tidak dilakukan kar ena pasien masih stadium I dan dalam pelaksanaan operasinya memakai teknik hipotensi.
Vaskular isasi angiofibr oma ber sifat homolateral, sebagian besar arter i pemasok tumor ini mer upakan cabang ar teri kar otis ekster na. Bila tumor melewati gar is tengah biasanya per darahannya berasal dari pembuluh darah kar otis bilateral. Pada tumor yang tumbuh intrakr anial sumber per darahan utama juga didapatkan dari sistim ar teri karotis inter na. Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdar ahan hebat yang dapat mencapai 2000 cc sampai 3000 cc dalam w aktu singkat yang dapat disebabkan oleh hanya sebagian tumor yang ter angkat atau tumor sudah meluas ke intr akranial. Pada pasien ini massa tumor dapat diangkat selur uhnya dengan perdar ahan minimal (300 cc).
Pada follow up har i ke empat dir encanakan untuk membuka tampon anter ior dan belloq tampon, tetapi pada saat tampon anterior dibuka, ter jadi perdar ahan dari hidung. Diputuskan untuk memasang
(6)
kembali tampon anterior dan menunda pelepasan tampon belloq 3 hari kemudian.
Hasil pemer iksaan dar i bagian Patologi Anatomi adalah sesuai angiofibr oma nasofar ing dimana secar a makr oskopis ter lihat sepotong jaringan 3 x 0,5 x 1 cm penampang putih kecoklatan dan secara mikr oskopis ter lihat jar ingan ikat longgar yang mengandung banyak kapiler-kapiler sebagian melebar di permukaan tampak jar ingan ikat tipis. Sesuai dengan kepustakaan dimana menurut Fagan11 makr oskopis
massa angiofibr oma nasofaring mer upakan tumor yang konsistensinya kenyal keras, war nanya ber var iasi dari abu-abu sampai merah muda. Ter dapat banyak pembuluh dar ah pada mukosa dan tak jar ang dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tak ber kapsul, ber lobus-lobus, tepinya berbatas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan sekitar nya.26 Secara mikr oskopik gambaran daerah
vaskuler bervar iasi, baik bentuk maupun ukur annya dalam jaringan fibr osa. Sebagian terdir i dari jaringan pembuluh darah dengan dinding yang tipis dalam str oma kolagen yang lebih seluler . Sebagian lagi ter dir i dari pembuluh darah yang agak tebal dindingnya, ter letak dalam str oma yang kurang seluler .4,10,17,18
Pada pasien ini kemungkinan kambuh kecil. Lloyd20 melapor kan tidak adanya kekambuhan sama
sekali. Lee KJ11 menulis angka kekambuhan sekitar
6-20% pada pasien yang menjalani operasi. Hor isson8
melapor kan angka kekambuhan 27,5%. Pandi dan Rifki5 melapor kan timbulnya kekambuhan 6,4%.
Dhar mabakti13 melaporkan angka kekambuhan
penderita angiofibr oma yang telah dilakukan pembedahan 21,8%. Besar nya angka kekambuhan sangat tergantung kepada luasnya tumor, teknik pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Kemungkinan pasien pada kasus ini memiliki pr ognosis yang baik dan angka kekambuhan yang rendah kar ena masih stadium awal dan massa tumor bisa diekstir pasi keselur uhan.
Komplikasi fungsi palatum tidak ter jadi pada pasien ini dan juga tidak ter lihat residu massa tumor pada pemeriksaan nasoendoskopi pada saat kontrol poliklinik THT satu minggu setelah pulang.
Pasien dianjur kan untuk kontr ol 3-6 bulan lagi, untuk dilakukan CT-Scan ulang yang ber tujuan untuk evaluasi ulang kekambuhan massa tumor 5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cansi s Har un, Guvenc M, Seker ciogl u N. Sur gical Appr oachesto juvenil e nasopar yngeal angiofibr oma. Jour nal of Cr anio-Maxillofacial sur ger y 2006;34:3-8 2. Wylie J.P, Slevian N.J, Johnson R.J, Intr acr anial Juvenille
Nasophar i ngeal Angiofi br oma. Cli nical Oncology 1998; vol 10:330-3
3. Lee J T, Chen P, Safa A, Juil lar d G, Calcat er r a TC. The r ole of r adiat ion in the tr eatment of advanced juvenil e angiofibr oma. Lar yngoscope 2002;112:1213-20 4. Neel HB, Whicker JH, Devi ne KD, Welland LH. Juvenile
angiofibr oma. A r eview of 120 cases. Am J Sur g 1973; 126:546-6
5. Pandi PS, Rifki N. The sur gical management of nasophar yngeal angiofibr oma. 3r d Asia congr ess of ORL
1975; 274-82
6. Fr iedber g S.A : Vascular Fibr oma of Nasophar ing Ar ch Otolar yngol 1940; 31;313-15
7. Becar e Y, Ghr ayeb MD. Endoscopic contr ol of poster ior epistaxi s. Diakses dar i: w w w .ghor ayeb.com
Epistaxi sPoster ior EndoscopicView .htmll ast updat e august 21, 2004
8. Har ison DFN. The nat ur al histor y, pathogenesi s and tr eat ment of juvenile angiofibr oma. Ar ch Otolar yngol Head and Neck Sur g 1978;113;936-42
9. Roezin A, Dhar mabakti US. Angiofi br oma Nasofar i ng Belia. Dalam: Soepar di EA, Iskandar N, editor . Hidung dan Tenggor ok, edisi ke-5, Jakar ta, Balai Pener bi t FKUI, 2001; 151-2
10. Br emer J.W, Nell HB, De Santo LW and Jones Gc; Angiofibr oma, tr eatment and tr en i n 150 pati ent dur ing 40 year s. Lar yngoscope, 1986; 96;1321-29
11. Lee KJ. The nose and par anasal si nuses. I n Essensial Otolar yngology: Head and Neck Sur ger y 2003; 8:708-9 12. Unkanont K, Byer s RM, Weber RS, Callender DL, et al.
Juvenile nasofar i ngeal angiofibr oma: an up dat e of ther apeut ic management. Head and neck 1996; 18:60-6 13. Dhar mabakti US. Angiofibr oma nasofar i ng di bagian THT
FKUI/ RSCM Jakar ta. Evaluasi Kli ni k Penatalaksanaan dalam per iode tahun 1983-1988 ORL Indonesi a 1990; 21;117-30
14. Lee Da, Rao BR, Meyer JS, Pr ioleau PG, et all. Hor monal r eceptor deter mi nat ion juvenile nasophar yngeal angiofibr oma. Cancer 1980;46:547-51
15. Gr ybauskas V, Par ker J, Fr i edman M. Juvenile nasophar yngeal angiofibr oma. Otolar yngologic Clinics of Nor th Amer ica 1986; 19:647-57.
16. Tandon DA, Bahadur S, Kacker SK, Goulatias. Nasophar i ngeal angiofi br oma (A ni ne year s exper i ence). The Jour nal of Lar yngology and Otology 1988; 102:805-9.
17. Miller Rh, neoplasma of t he nose, thr oat, ear , head and neck. Eds Ball angger jj, 14thed. 1991;212-3.
18. Spector JG, Louis S. Management of juvenile angiofibr oma. Lar ingoscope 1988;98;1016-26.
19. Fagan JJ, Synder man CH, Car r au RL, Janecka IP. Nasophar i ngeal angiofibr oma : Selecti ng a sur gical appr oach. Head and Neck 1997:113:885-7
20. Lloyd G, How ar d D, Phelps P, Cheesman A. Juvenile angiofibr oma: the lesson of 20 year s of moder n i maging. The Jour nal of Lar yngology and Otology 1999; 113:127-34
21. Scoltz AW, Appenr ot h E, Jolly KK, Scoltz LU et al. Juvenile nasophar yngeal angiofi br oma: management and ther apy. Lar yngoscope 2001; 111: 681-7
22. Kalifa MA. Endonasal endoscopic sur ger y for nasophar yngeal angiofibr oma. Otolar yngol Head and Neck Sur g 2001; 124:336-7
23. Halbach VV, Hieshi ma GB, Higashida, David DF, Endovascul er Ther apy of Head and Neck Tumor . In:Inter ventional Neur ology Endovascular Ther apy of the Centr al Ner vous System. Vi nuelz F et al. Reven pr ess. New Yor k. 1992:17-28.
24. Geofer t H, Cangir A, Lee YY. Chemoter apy for aggr essive juvenile nasophar yngeal angiofibr oma. Ar ch Otolar yngol 1985; 111:285-9
25. Siniluoto TM, Luotonen JP, Ti kkakoski TA, Leinonen AS, et al. Value of pr eoper at ive embolization i n sur ger y for nasophar yngeal angiofibr oma. The Jour nal of Lar yngology and Otology 1993; 107:514-21
26. Gates GA, Rice DH, Koopman CF, Sculler DE. Flut amide-Induce Regr essien of angiofi br oma. Lar yngoscope, 1992; 102;641-44