Index of /ProdukHukum/kehutanan
ISSN: 1858-3261
G
PLAN
LO
BULETIN
Oleh : Iman Santosa Tj. *)
esuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan, salah satu tugas BPKH adalah penyajian data dan informasi di bidang kehutanan sesuai dengan wilayah kerjanya. Untuk dapat menjalankan tugas tersebut, BPKH tentunya melakukan pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya. Namun demikian sampai saat ini belum ada ketentuan atau prosedur standar mengenai pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan pada BPKH, sehingga untuk kelancaran dan ketertiban pengelolaan data perlu ditelaah beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan data/informasi. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas beberapa aspek dasar dalam pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan pada BPKH yang tentu saja dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing BPKH.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tersebut di atas maka penanggungjawab langsung pengelolaan data pada BPKH ialah Kepala Seksi Informasi Sumberdaya Hutan. Tugas dan tanggungjawab tersebut antara lain mencakup : Mengidentifikasi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan data/informasi BPKH sesuai tupoksinya, Memeriksai kelengkapan dan keutuhan data/infromasi, Melaksanakan pemutakhiran, validasi, sinkronisasi dan rekonsiliasi data/informasi, menjaga kerahasiaan data/informasi yang perlu dirahasiakan, mengontrol pemberian dan/atau peminjaman data/informasi dan pengembaliannya, mengoptimalkan pelayanan data/informasi kepada institusi lain dan masyarakat umum. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab tersebut perlu dilaporkan kepada Kepala BPKH baik secara periodic maupun insidentil. Kewenangan yang dimiliki antara lain : Memberi dan/atau meminjamkan data kepada pihak luar atas persetujuan Kepala BPKH. serta memberikan saran kepada kepala BPKH dalam pengelolaan data.
Seluruh Data/Informasi yang berkaitan dengan SDH pada BPKH perlu dibuat kalsifikasinya berdasarkan sifat transparansinya atau kerahasiannya, yaitu : (1) Terbuka untuk umum (public domain)/Tidak rahasia dan (2) Tidak terbuka untuk umum (bukan public domain)/Rahasia.
Data yang bersifat terbuka untuk umum pada prinsipnya adalah semua data teknis sumberdaya hutan kecuali yang karena sifatnya telah diklasifikasikan sebagai Rahasia. Pada umumnya semua data yang ada pada BPKH bersifat untuk umum.
Data yang bersifat rahasia adalah data yang karena sifatnya perlu dirahasiakan, misalnya data yang terkait dengan keamanan Negara atau data dari analisis yang akan digunakan dalam suatu proses hukum. Beberapa contoh data yang perlu diklasifikasikan sebagai rahasia antara lain ialah data spasial berupa peta topografi wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur atau perbatasan Indonesia Timor Leste di Provinsi Nusa Tenggara Timur, daftar koordinat pal batas negara Indonesia dan negara tetangga khususnya yang terletak dalam kawasan hutan serta data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaraan dalam kawasan hutan.
Klasifikasi ini sangat penting untuk dibuat dan dipahami oleh seluruh pegawai BPKH karena jika tidak diperhatikan dapat berakibat buruk bagi institusi dan atau pegawai.
Format data, baik spasial maupun numerik sedapat mungkin perlu dibuat dalam format digital atau berbasis komputer, sehingga mudah dalam penyimpanan, pengaksesan, pemutakhiran, dan pengolahan lainnya. Hasil penataan batas dan/atau rekonstruksi batas perlu didigitasi sehingga tersimpan juga dalam format digital.
S
1. Penanggungjawab
2. Klasifikasi
3. Format
DARI REDAKSI
K
R
ejelasan Tujuan, subjek dan objek pembangunan merupakan wujud hakiki dan untuk apa suatu rencana disusun dan ditetapkan. Kejelasan suatu rencana selain memudahkan sosialisasi dan implementasinya, juga membuat evaluasi menjadi bermakna bagi umpan balik penyempurnaan langkah langkah pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.Berangkat dari runtut fikir di atas, mudah-mudahan Pembaca setia, setuju bila Buletin kita mulai saat ini akan mempunyai tema khusus setiap edisinya.
Semoga upaya pencerahan yang dinamis dapat mewarnai motivasi kita sekarang dan kedepan. Selamat membaca
(2)
4. Perolehan
5. Pengolahan
6. Pemeliharaan/penyimpanan a. Data berupa hardcopy
b. Data berupa softcopy
7. Pemutakhiran dan validasi,
8. Rekonsiliasi dan sinkronisasi
9. Pelayanan
Data dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Data yang diperoleh secara langsung merupakan data yang diperoleh melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh BPKH, misalnya inventarisasi potensi, enumerasi PSP/TSP, penataan batas, penfasiran citra satelit untuk memperoleh data penutupan lahan dll. Data yang diperoleh secara tidak langsung merupakan data yang berasal dari pemberian pihak lain atau pembelian oleh BPKH. Data yang diperoleh dari pembelian tentunya memerlukan perhatian yang lebih besar, karena harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administrasi pertanggungajwaban anggaran, maupun dari aspek kesesuaian teknisnya.
Pengolahan data terutama dilakukan sesuai dengan tujuan pengumpulan data itu sendiri, yang tentunya didasarkan pada pedoman atau petunjuk yang telah dikeluarkan secara resmi. Pengolahan data dapat juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan pihak luar sebagai salah satu bentuk pelayanan oleh BPKH.
Data yang berupa hardcopy dapat berupa peta cetak, lemabaran data, laporan dan arsip lainnya yang nyata secara fisik.. Standar pemeliharaan/ penyimpanannya adalah :
(1). Disimpan dalam lemari/rak khusus.
(2). Secara periodik diperiksa kebersihan, keutuhan dan kelengkapannya.
(3). Dibuat catatan indeks koleksi data/peta secara lengkap dengan sejarah data yang keluar-masuk. (4). Data/peta yang rusak/robek/hilang harus segera diperbaiki/diganti.
Data berupa softcopy adalah data yang masih tersimpan dalam hardddisk computer atau disket/CD/USB (flash disk). Penyimpanannya adalah :
(1). Dibuat back up pada 2 atau lebih computer (hard disk) dan atau floppy disk/CD/ USB (flash disk). (2). Dibersihkan dari virus secara periodic/insidentil.
(3). Dibuat kode/penamaan yang disepakati bersama, misalnya kode/nomor disk yang digunakan, nama folder, nama file dst. Dengan demikian data akan lebbih mudah untuk ditemukan.
Penyimpanan data/informasi yag bersifat rahasia tentunya perlu diatur tersendiri, misalnya dengan menunjuk petugas yang betul-betul dapat dipercaya atau disimpan oleh Kepala Seksi ISDH atau disimpan langsung oleh Kepala BPKH dengan pengamanan yang maksimal.
Pemutakhiran data sekaligus validasinya merupakan upaya untuk memperbaharui data sehingga akurasinya dapat ditingkatkan sehingga tetap valid. Pemutakhiran data perlu dilakukan berdasarkan perkembangan data baru yang diperlukan dan tersedia, misalnya pemekaran administrasi pemerintahan, review RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota, pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi/ Lindung/Produksi, penunjukan/penetapan kawasan konservasi yang baru, survei potensi, reenumerasi PSP/TSP dll. Pemutakhiran data dapat dilakukan secara periodik atau insidentil. Pemutakhiran ini sangat penting, mengingat cepatnya perubahan kondisi kawasan hutan di lapangan serta sulitnya memonitor perijinan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah khususnya kabupaten. Selain itu pemutakhiran data juga perlu dilakukan sebagai akibat kemajuan teknologi atau perubahan kebijakan.
Rekonsiliasi data, yaitu menyepakati suatu nilai data yang akan digunakan bersama oleh berbagai instansi produsen/konsumen data secara konsekuen dan konsisten. Data yang diutamakan untuk diacu adalah data yang dikeluarkan oleh instansi atau unit kerja yang paling berkompeten mengenai data yang bersangkutan.
Sinkronisasi data merupakan proses penyelarasan data, sehingga tidak terjadi redundansi (pengulangan yang tidak perlu), kesenjangan dan inkonsistensi data.
Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam rekonsiliasi/sinkronisasi data antara lain ialah : istilah, dasar dan tema (khususnya untuk data spasial), jenis data (spasial dan numerik), cakupan data, waktu data diperoleh/diproses/dikeluarkan, konsistensi data antar berbagai dokumen yang disusun oleh BPKH, kesesuaian data pusat daerah serta di dalam lingkup wilayah kerja BPKH.
Pelayanan data yang baik antara lain dicirikan oleh kelengkapan dan akurasi data yang diberikan serta kecepatan pelayanannya. Walaupun pada dasarnya setiap pihak harus dilayani dengan baik, pelayanan data/informasi sumberdaya hutan tetap perlu dilakukan secara selektif, sehingga tidak sampai memberikan data/informasi yang mungkin dapat digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kebijakan resmi Departemen Kehutanan. Terkait dengan hal tersebut, perlu dibedakan pelayanan untuk data yang bersifat terbuka untuk umum dan data yang bersifat rahasia, baik berupa peminjaman maupun pemberian. Demikian pula perlu diatur pelayanan untuk internal BPKH, antar instansi pemerintah pusat/daerah serta untuk pihak swasta/Lembaga Swadaya Masyarakat/masyarakat umum. Pelayanan data dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : pemberian langsung kepada peminta, melalui korespondensi/ surat menyurat serta melalui koneksi jaringan internet/SIAPHUT.
Pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan perlu benar-benar diperhatikan, mengingat sampai saat ini BPKH tetap akan diproyeksikan sebagai pusat data kehutanan di tingkat regional sesuai wilayah kerjanya masing-masing.. Hal ini semakin diperkuat lagi dengan adanya rencana pengembangan jumlah BPKH di berbagai provinsi yang disertai dengan pengembangan tugas pokok dan fungsinya.
*) Kepala Bidang Statistik Kehutanan pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan
(3)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Halaman
3
Oleh : Ali Djajono *)
A
da banyak penyebab mengapa bangsa Indonesia terpuruk seperti saat ini, salah satu yang paling mendasar adalah tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi “penyumbang” timbulnya KKN tersebut. Aparat birokrasi di Indonesia sangat terkenal dengan keterlambatan, malas, tidak efisien, kurang tanggap, tidak inovatif, rendah moral, budaya minta dilayani dll. Intinya sangat minim dengan profesionalisme. Selama bertahun-tahun masyarakat yang sadar bahwa birokrasi Indonesia tidak profesional hanya bisa “bermimpi” memperoleh pelayanan birokrasi yang profesional. Bisakah mimpi masyarakat diwujudkan?, nampaknya perlu langkah plus tindakan radikal yang harus dilakukan oleh unsur penyelenggara negara untuk mewujudkannya. Walaupun disadari langkah dan tindakan tersebut tetap berpotensi menghadapi implikasi-implikasi sosial politik yang sangat tinggi khususnya dari lingkungan birokrasi.Langkah radikal yang perlu diambil akan menyangkut antara lain: perubahan peraturan perundangan menyangkut segala pengaturan mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI; Perombakan dalam sistem administrasi pengelolaan penganggaran khususnya yang mengatur penggunaan APBN/APBD; Pegurangan jumlah PNS untuk memperoleh jumlah PNS yang proporsional dan sesuai dengan tugasnya. Langkah-langkah tersebut bukannya berdiri sendiri-sendiri tetapi sangat terkait satu dengan lainnya.
Peraturan perundangan yang menyangkut mengenai pengaturan birokrasi lebih banyak merupakan produk-produk selama orde baru, dimana pada masa itu PNS telah dijadikan alat politik kekuasaan untuk dapat dijadikan mesin politik dan sekaligus untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu pengaturan tersebut tidak mencerminkan penyelenggaraan birokrasi yang profesional. Walaupun semenjak reformasi telah dicanangkan untuk melakukan perombakan birokrasi, namun upaya tersebut tidak dilakukan menyeluruh sehingga hasilnya belum tampak secara signifikan.
Kelemahan pengaturan yang menghambat menuju ke taraf birokrasi profesional meliputi antara lain:
Belum adanya sistem yang akurat dalam menilai “kinerja” masing-masing aparat birokrasi sesuai dengan kompetensinya. Contoh: lemahnya penerapan sistem “reward and punishment”. Sampai saat ini masih terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kerja dan malas, karena tetap berpenghasilan sama.
Belum jelasnya sistem pola karir dalam menjaring aparat-aparat yang berkualitas sesuai kompetensinya, dengan tujuan akhir mendapatkan pimpinan-pimpinan yang berkualitas.
Masih lemahnya penerapan penegakan hukum disiplin aparat. Contoh: sangat sulit untuk memecat PNS, walaupun yang bersangkutan katakanlah telah ingkar kerja beberapa hari dalam setiap minggunya. Aturan yang ada membuat senang “aparat malas kerja” sekaligus menyulitkan para atasan yang ingin menegakkan disiplin.
Maka langkah perubahan peraturan perundangan birokrasi yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan aturan yang memuat ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Aturan baru yang tercipta harus mampu membuat jera para birokrat, misal: a) menciptakan kemudahan untuk dapat memberi sanksi kepada aparat yang ingkar kerja tanpa alasan jelas, kalau perlu diciptakan kemudahan untuk dapat memecat, atau b) aparat yang sudah jadi minimal tersangka kasus tindak pidana kejahatan (korupsi, narkoba, pungli, memeras dll) langsung dilakukan pemecatan. Disamping itu aturan baru juga dapat menggairahkan birokrat yang berkinerja bagus malalui kemudahan untuk memperoleh insentif-insentif yang konkret misal: naik pangkat, naik gaji, promosi, beasiswa untuk keluarganya dsb. Tentu saja pengaturan yang ketat dan tegas ini harus diiringi dengan gaji yang memadai, yang salah satunya dapat diperoleh melalui perombahakan dalam sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD.
Sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD yang berlaku saat ini (walaupun menurut Departemen Keuangan telah dilakukan beberapa perbaikan) masih menampakkan celah-celah bagi para birokrat melakukan manipulasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD. Ditinjau dari struktur masih menampakkan item-item kegiatan yang sangat boros menggunakan biaya, misal: kemudahan pengadaan sarana/prasarana yang tidak prioritas (pengadaan kendaraan dinas, pembangunan gedung, pembelian alat-tulis kantor), masih dominannya biaya untuk perjalanan dinas para birokrat yang tumpang tindih bahkan ada anekdot “1 bulan bisa mencapai 40 hari”, kemudahan mengadakan seminar/lokakarya atau rapat pembahasan yang dibiayai oleh negara. Ditinjau dari sisi pelaksanaan kegiatan dan administrasi pertanggungjawaban masih menggunakan cara-cara lama, misal: aparat yang melakukan perjalanan dinas keluar kota akan memperoleh penggantian ongkos transport dan lumpsum harian dengan bukti “visum” pada surat perintah perjalanan dinas (SPPD), padahal bisa saja dipraktekkan ybs tidak melakukan perjalanan tapi cukup “mengirim” SPPDnya.
Praktek pengelolaan penggunaan dana APBN/APBD seperti beberapa contoh di atas baik secara struktur maupun praktek harus dirubah total, dengan menggunakan misalnya sistem yang dipraktekkan dalam perusahaan-perusahaan swasta. Contoh kecil yang mungkin efektif dapat digambarkan sebagai berikut: aparat yang akan melakukan perjalanan dinas sudah disediakan tiket tranportnya sekaligus tempat ybs menginap dengan dibekali uang harian sekadarnya. Perombakan dalam sistem pengelolaan penganggaran APBN/APBD akan sangat menghemat anggaran, sekaligus penghematan tersebut dapat dipergunakan untuk memperbaiki struktur gaji birokrat sehingga layak untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Yang terakhir terkait dengan banyaknya jumlah birokrat di jajaran pusat maupun daerah. Secara kasat mata akan nampak bahwa birokrasi kita sangat gemuk namun miskin kinerja dan pelayanan prima kepada masyarakat. Gemuknya birokrasi merupakan warisan “orde baru”, pada masa itu rekruitmen pegawai sangat kental diwarnai kepentingan politis (termasuk salah satunya tindakan populis melalui penyerapan tenaga kerja) dan bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), sehingga terjadi pengabaian terhadap uji kompetensi terhadap calon birokrat yang bersangkutan. Kesalahan dalam sistem rekruitmen seperti itu telah melahirkan sebagian besar birokrat yang tidak sadar bahwa dia sebenarnya adalah “abdi negara”, palayan masyarakat yang dalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh uang rakyat. Yang terjadi adalah minimnya kreatifitas, efektivitas dalam melaksanakan pekerjaan.
(4)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Oleh karena itu, tindakan pengaturan jumlah birokrat sangat urgen untuk dilaksanakan, dengan konsekwensi pengurangan secara besar-besaran terhadap para birokrat yang tidak produktif serta yang kerjanya hanya mengganggu pelayanan kepada masyarakat.
Pengurangan secara radikal tersebut harus dilandasi oleh kajian, argumentasi serta dukungan peraturan perundangan yang jelas, transparan dan berkeadilan, termasuk mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat (misal: guru, dosen, perawat, dokter). Hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerapan kebijakan tersebut. Pengurangan ini harus secara significan menjaring para birokrat yang potensial untuk bekerja efektif serta layak untuk mendukung birokrasi yang profesional. Bagaimana dengan birokrat yang tersingkir ?, untuk para birokrat disediakan beberapa alternatif pilihan yang dirancang untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintah sengaja ingin menciptakan pengangguran baru dan harus ada penyadaran pada semua pihak bahwa pengurangan para birokrat tersebut semata-mata untuk menyelamatkan uang rakyat, serta bahwa para birokrat tersebut apabila digaji maupun tidak digaji tidak merpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat. Alternatif-alternatif yang dapat diajukan antara lain: pensiun dini dengan pesangon beberapa kali gaji (ingat bahwa birokrat tersebut masih mendapatkan uang pensiun walaupun sudah tidak bekerja).
Tindakan-tindakan radikal tersebut harus didahului dengan sosialisasi dan kalau perlu semacam gerakan nasional kepada para pihak yang terkait untuk mendapatkan respon sekaligus untuk mengetes sampai seberapa jauh reaksi ekonomi-politik berbagai pihak terhadap kebijakan dimaksud. Respon dan reaksi ekonomi-politik dapat untuk memperkaya kajian dan analisis lebih lanjut terhadap tindakan radikal itu, sehingga kebijakan yang akan diambil dapat meminimalisir resistensi beberapa pihak serta mendapatkan dukungan publik yang luas.
Mendambakan birokrasi profesional memang seolah “mimpi di siang bolong”, dia termasuk barang langka di negeri ini. Tapi kalau ada tindakan radikal yang dapat mewujudkan mimpi tersebut, mengapa tidak dicoba?.
*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan
#
BAGAIMANA WUJUD NYATA TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
(
) ?
PRINSIP-PRINSIP
TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
Berwawasan ke Depan (Visioner)
Transparan
Cepat Tanggap (Responsif)
Bertanggung Gugat (Akuntabel)
Profesional dan Kompeten
Efisien dan Efektif
Desentralistis
Demokratis
Mendorong Partisipasi Masyarakat (Partisipatif)
Mendorong Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat
Menjunjung Supremasi Hukum
Berkomitmen pada Pengurangan Kesenjangan
Berkomitmen pada Pasar
Berkomitmen pada Lingkungan Hidup
GOOD GOVERNANCE
Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik ( ) membutuhkan komitmen kuat, 'stamina', dan waktu yang cukup lama karena diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai tata kepemerintahan yang baik secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk oleh para aparatur pemerintah dan masyarakat luas. Di samping itu, perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
good governance
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
(5)
Halaman
5
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
P
erencanaan merupakan kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap orang bahkan mengetahui maksud dari perencanaan tersebut. Namun jika kita kaji lebih mendalam lagi, maka hanya sebagian orang saja yang mungkin mengetahui arti ”Perencanaan” yang dimaksud. Dengan tulisan ini kita coba gali segala sesuatu tentang perencanaan secara umum dengan harapan kita menjadi lebih mengenal dekat kedudukan perencanaan dalam suatu manajemen secara umum.Manajemen adalah proses yang terdiri dari tindakan-tindakan planning, organizing, actuating dan controlling. Bahkan kita lebih dekat dengan kata penyingkatan dari arti tersebut yaitu POAC. Uraian dari setiap tidakan tersebut adalah sebagai berikut :
Planning (perencanaan) : merupakan proses penetapan apa yang harus dilakukan seluruh komponen/ anggota organisasi/ lembaga/ perusahaan di masa yang akan datang.
Organizing (pengorganisasian) : merupakan pendistribusian atau pengalokasian tugas dan menetapkan hubungan kerja kepada para anggota kelompok/ anggota organisasi/ lembaga/ perusahaan.
Actuating (penggerakan) : kegiatan menggerakan kelompok-kelompok secara efisien dan efektif menuju arah pencapaian tujuan.
Controlling (pengawasan) : kegiatan pengendalian agar jalannya organisasi tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Sebelum kita mengenal lebih jauh kedudukan perencanaan dalam manajemen secara umum, cobalah kita ingat bahwa dalam mencapai tujuan manajemen terdapat beberapa unsur seperti man, material, machines, methods, money dan market. Sehingga jika digambarkan secara jelas maka akan terlihat pola penggunaan unsur-unsur manajemen dalam pencapaian sasaran tersebut adalah sebagai berikut.
Sedangkan proses manajemen sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :
Dengan demikian berdasarkan gambar tersebut, maka sedikit demi sedikit kita sudah bisa meraba-raba arti dari perencanaan. Berdasarkan definisi manajemen di atas, maka perencanaan merupakan tindakan pertama dalam mencapai suatu tujuan.Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu perencanaan adalah proses persiapan-persiapan yang teratur dari setiap usaha yang akan mewujudkan/ mencapai tujuan.Unsur-unsur perencanaan yang harus dipenuhi meliputi unsur tujuan, kebijakan, prosedur, progress dan program.
Agar perencanaan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tingkatan manajemen, maka suatu perencanaan yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Tujuan harus dirumuskan secara jelas b. Sifatnya harus sederhana
c. Memuat analisis, penjelasan dan penggolongan ”tindak usaha” yang direncanakan untuk dilakukan, kegiatan-kegiatan yang hendak dilaksanakan dan memuat pedoman-pedoman
d. Bersifat luwes (flexible)
e. Ada keseimbangan ke luar dan ke dalam.
R
R
R
R
(6)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Dalam menyusun perencanaan didasarkan kepada data atau fenomena yang terjadi sebelumnya, sehingga melalui analisis akan diperoleh gambaran kecenderungan arah kondisi di masa yang akan datang. Namun demikian dalam pelaksanaanya seringkali dihadapkan pada kondisi yang berbeda dari kondisi pada saat perencanaan dibuat. Oleh karena itu, pada setiap periode tahapan perencanaan tersebut dievaluasi, apakah dapat diimplementasikan dan sesuai dengan target-target (standar) yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi tersebut diharpkan akan menjadi bahan penyempurnaan (umpan-balik) perencanaan tersebut.
Sedikit berbicara tentang hutan, kita semua sepakat bahwa hutan Indonesia yang merupakan sumber kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi perlu dikelola dengan bijaksana agar bisa digunakan secara lestari. Untuk itu dalam mengelola hutan juga langkah yang paling awal yaitu melakukan perencanaan hutan.
Perencanaan hutan adalah pola tentang peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; serta penyusunaan pola kegiatan-kegiatan pelaksanaannya menurut ruang dan waktu, dengan tujuan agar dengan segala kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara rasional, dalam rangka pemanfaatan hutan yang sebesar-besarnya secara lestari.
Berdasarkan definisi di atas maka dalam perencanaan hutan terdapat dua kegiatan utama yaitu perencanaan kawasan hutan dan perencanaan kegiatannya. Perencanaan kawasan hutan ini ditujukan untuk mengalokasikan kawasan hutan berdasarkan : a. Statusnya yakni hutan negara dan hutan hak
b. Fungsi pokok hutan yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi c. Wilayah pengelolaannya yakni tingkat propinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan.
Perencanaan kegiatan dibedakan atas rencana makro, rencana bidang, rencana regional/propinsi/kabupaten dan rencana mikro. Rencana makro (master plan) merupakan rencana arahan (kebijakan) Departemen Kehutanan sebagai arahan kegiatan nasional jangka panjang. Rencana makro ini dijabarkan dalam rencana bidang yang menyangkut rencana kegiatan masing-masing bidang kehutanan seperti Badan Palnologi Kehutanan (BAPLAN), Perlindungan hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS), Badan Penelitian dan Pengembangan serta Bina Produksi Kehutanan (BPK). Rencana regional/wilayah pengelolaan adalah rencana kegiatan di tingkat wilayah pengelolaan propinsi/kabupaten yang mengacu kepada rencana makro dan rencana bidang. Rencana mikro merupakan rencana implementasi di masing-masing bidang kegiatan dan wilayah pengelolaan berupa program dan proyek.
Tujuan disusunnya rencana tersebut agar segala kegiatan yang akan dilaksanakan terpadu, memiliki sequence (secara berurut-urutan) dan dapat diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan manajemen hutan yakni untuk kesejahteraan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
#
(7)
Halaman
7
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
engenaan provisi sumber daya hutan (PSDH) saat ini didasarkan pada harga patokan jual kayu hasil tebangan dari hutan alam dan/atau hutan tanaman industri. Dasar pengenaan PSDH adalah PP 34 Tahun 2002. Penetapan harga patokan jual kayu tersebut ditentukan oleh Departemen Perdagangan. Nilainya adalah 10% dari harga patokan jual kayu, khususnya kayu-kayu yang berasal dari hutan alam. Misalnya harga patokan jual kayu dari Hutan Alam (HPH) sebesar Rp650.000 per m3, maka PSDH-nya sebesar Rp65.000 per m3. Sedangkan kayu yang berasal dari hutan tanaman, PSDH-nya ditetapkan sebesar Rp2.800 per m3.
Pembagian porsi PSDH adalah 20% untuk pemerintah (pusat), 16% untuk pemerintah provinsi, 32% untuk pemerintah kabupaten penghasil, dan 32% untuk pemerintah kabupaten bukan penghasil di daerah tersebut. Dengan porsi yang demikian, jelas akan merugikan desa-desa yang berada di dalam atau sekitar hutan, karena pengalokasiannya oleh kabupaten daerah tersebut. Kalau pun mendapatkan jatah tersebut, akan sangat kecil bahkan terabaikan. Ini menjadi benar karena pemerintah kabupaten melihatnya masih ada perusahaan di lokasi itu yang 'harus' bertanggung-jawab kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dengan demikian, akan muncul opini bahwa kehutanan tidak ada kontribusinya kepada daerah/masyarakat desa.
Di sisi lain, pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan kepada kawasan produktif, juga belum menyentuh pembangunan desa secara signifikan. Dasar pengenaan PBB untuk kawasan hutan yang produktif adalah UU Nomor 12 Tahun 1994. Jadi, baik kawasan hutan produksi di hutan alam maupun hutan tanaman tetap dikenakan PBB. Perhitungannya adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dan, perhitungan besarnya nilai tarif lahan produktif yang dikenakan PBB adalah PP 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya NJOP untuk Perhitungan PBB. Kisaran PBB pada kawasan hutan yang produktif adalah Rp 60.000 per hektar. Pajak ini pun pada akhirnya akan dibagikan menurut proporsi tersebut di atas, sehingga masyarakat di desa-desa di dalam dan sekitar hutan akan tetap berada dalam kemiskinan.
Sebelum adanya UU No 12 Tahun 1994 tentang PBB, dan revisi peraturan pemerintah di bawahnya, yang saat ini diatur dengan PP Nomor 25 Tahun 2002, seluruh kawasan hutan tidak dikenakan PBB. Dengan dikenakannya PBB pada kawasan hutan produktif, maka perusahaan saat itu terkena beban pajak ganda. Saat kawasan hutan belum dikenakan PBB, provisi (kala itu Iuran Hasil Hutan 'IHH') tersebut telah lebih dahulu dikenakan. Tarif PSDH tidak dikurangi, namun PBB tetap dikenakan, sehingga banyak di antara perusahaan-perusahaan HPH maupun HTI yang menunggak karena beratnya biaya/pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Saat itu harga kayu sedang anjlok akibat maraknya tebangan liar. Namun, dengan berbagai upaya maka perusahaan mendapattkan keringanan setelah dilakukan beberapa perhitungan yang wajar. Bayangkan saja, jika luas areal HPH rata-rata luas 100.000 hektar (luas efektif 70.000 hektar), maka dalam satu tahun perusahaan HPH akan membayar sebesar 40% kali Rp4.2 milyar = Rp1.68 milyar setahun. Jika perusahaan memproduksi rata-rata per tahun 100 000 m3, maka setara dengan Rp16.800 per m3 untuk membayar PBB. Oleh karenanya banyak perusahaan-perushaan HPH yang keberatan atas pengenaan pajak tersebut.
PBB yang dikenakan untuk HPHTI rata-rata sebesar Rp48.000 per hektar. Jika rata-rata luas HTI adalah 150.000 hektar (efektif tanaman), maka besarnya PBB sekitar Rp2.88 miliar, atau setara dengan Rp2.880 per m3, dengan asumsi perusahaan memproduksi rata-rata 1 juta m3 setiap tahunnya. Pengenaan PBB untuk HTI lebih rendah dari HPH untuk memberikan insentif pada pengusaha HTI, karena pada umumnya areal HTI berada di lahan-lahan marjinal.
Di lain pihak, perusahaan masih dikenakan lagi Dana Reboisasi (DR) untuk hasil hutan kayu di hutan alam yang besarnya US$16 per m3 dan PSDH sebesar 10% dari harga patokan jual kayu. Saat ini PSDH untuk kayu alam diameter > 30 cm (logs) sebesar Rp 65.000 per m3 dan kayu bulat kecil (bila dimanfaatkan) sebesar US$ 2 per m3. Untuk kayu-kayu bulat kecil ini konon akan dinaikkan menjadi US$ 5 per m3. Hal ini jelas tidak memberikan insentif (disinsentive) kepada perusahaan yang diharuskan untuk tidak melakukan pembakaran hasil land clearing. Jika kayu-kayu kecil ini dimanfaatkan, misalnya untuk bahan bakar boiler, dijual sebagai kayu untuk bahan baku kilang penggergajian, partikel, dan pulp, maka akan memberikan insentif.
Dengan jenis pajak, dana reboisasi dan provisi ini saja, perusahaan HPH dikenakan sebesar Rp235.400, terdiri atas DR sebesar Rp147.200 per m3, PSDH-kayu bulat kecil sebesar Rp18.400 per m3, PSDH-kayu bulat besar Rp65.000 per m3, dan PBB setara dengan Rp4.800 per m3. Belum lagi masih dikenakan iuran, dan pungutan-pungutan, bahkan biaya sosial lainnya yang menimbulkan higt cost economy. Oleh karena itu, tidak jarang kemudian perusahaan HPH melakukan operasi yang tidak legal. Ini semua akibat dari lemahnya pengawasan, dan tingginya biaya ekonomi perusahaan.
Untuk HPHTI tidak dipungut DR, namun masih dipungut PSDH dan PBB, serta iuran IUPHHK-HT. Provisi tersebut ditetapkan sebesar Rp2.800 per m3 dan PBB setara dengan Rp48.000 per hektar. Jika luas HTI 150.000 hektar (efektif tanaman), maka PBB-nya sebesar Rp2.88 miliar atau berkisar Rp 2.880 per m3, jika HPHTI memproduksi rata-rata 1 juta m3
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kawasan hutan seyogyanya digabung saja dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).. PBB ini seharusnya tidak tepat pengenaannya pada kawasan hutan karena tidak ada 'property
right' atau hak yang melekat tentang hukum keagrariaan, karena hanya merupakan izin usaha. PBB setelah digabung dengan PSDH, perhitungannya didasarkan pada persentase nilai instriksik yang dapat dilakukan melalui pendekatan nilai tegakan (stumpage value). Pembagian hasilnya harus sampai menyentuh pedesaan,
khususnya di dalam dan sekitar hutan. Porsi (persentase) pembagian PSDH untuk desa paling tidak 25% dari penerimaan provisi tersebut untuk daerah penghasil. Dengan ini maka akan nyata kontribusi kehutanan
terhadap pembangunan daerah (kabupaten dan desa).
P
Pengenaan PBB di Kawasan Hutan
Pengenaan DR dan PSDH pada Hutan Alam
Pengenaan PSDH dan Iuran lainnya di Hutan Tanaman
PBB di Kawasan Hutan Gabung Saja dengan PSDH
Dr. Ir. Bambang Widyantoro,
MMAgr.
(8)
dalam setahun.
Dengan pengenaan pajak dan provisi tersebut, perusahaan HPHTI berkewajiban membayar kedua pungutan tersebut sebesar Rp5.680 per m3, belum termasuk iuran IUPHHK-HT dan pungutan-pungutan lain atau biaya sosial lainnya, seperti untuk community development (CD) dan royalty fee untuk masyarakat. Biaya-biaya ini berkisar Rp12.500 per m3, terdiri atas biaya CD sebesar Rp2.000 per m3, iuran IUPHHK-HT sebesar Rp2.800 per hektar, dan royalty fee sebesar Rp7.500 per m3.
Dengan demikian, total biaya setiap tahunnya untuk pungutan dan iuran-iuran tersebut berkisar Rp18.180 per m3. Ini jelas akan memberatkan perusahaan HPHTI, dimana seharusnya investor mendapatkan insentif.
PBB atau PSDH Saja ?
Pengenaan PBB di kawasan hutan sebenarnya tidak tepat, karena untuk hutan tidak ada property right (hak) yang melekat pada perusahaan. Perusahaan hanya sebagai pengelola hutan atas lahan yang diberi izin usaha pemanfaatan oleh Pemerintah (Cq. Departemen Kehutanan). Hutan menurut UU 41 Tahun 1999 dikuasai oleh negara, sehingga hutan merupakan state property, bukan private property seperti layaknya hak guna usaha (HGU), atau hak-hak lainnya.
Oleh karena itu, biarkan untuk kawasan hutan produksi mengatur dirinya dengan hanya membayar PSDH, dan tidak dikenakan PBB. Namun, untuk mengkompensasikan PBB ini akan dilakukan perhitungan yang lebih memiliki dasar yang lebih kuat dalam pengenaan pungutan di kawasan hutan produksi, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Pendekatan pada hutan alam dilakukan melalui harga sewa lahan, sedangkan hutan tanaman melalui harga perolehan.
Perhitungan PSDH di Hutan Alam
Untuk menghitung PSDH yang dikenakan pada hasil hutan kayu dari hutan alam dapat dilakukan melalui pendekatan nilai tegakan (stumpage value) dari harga patokan jual kayu. Ini dilakukan karena nilai intrinsik yang merupakan asupan (faktor input) sangat sedikit yang diberikan oleh perusahaan HPH. Perhitungannya dapat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 tampak bahwa PSDH yang diusulkan menurut hitungan adalah Rp103.200 per m3, dengan perimbangan alokasi untuk PSDH-murni sebesar Rp48.750 per m3 dan PBB-murni sebesar Rp54.400 per m3. Sedangkan yang berlaku saat ini adalah sejumlah Rp81.200 per m3, terdiri atas Rp65.000 untuk PSDH dan sekitar Rp16.000 per m3 untuk PBB. Dengan demikian terdapat tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari PSDH (termasuk PBB) sebesar Rp22.000 per m3.
Tabel 1. Perhitungan pengenaan PSDH (setelah digabung dengan PBB) pada Hutan Alam Produksi.
No. Uraian Nilai/Harga
(Rp/M3)
Keterangan 1 Harga sewa lahan (10% dari sewa lahan) 1.380.000
2 Biaya eksploitasi 550.000
3 Selisih (1 2) 830.000
4 Laba perusahaan (30% dari harga jual) 414.000
5 Selisih (3 4) 416.000 Rente ekonomi
6 Pengenaan DR 147.200
7 Selisih (5 6) 268.800 PSDH (+)
8 Biaya Pembinaan Hutan US$ 18/m3 165.600 Termasuk biaya sosial
9 PSDH (7 9) menurut hitungan 103.200 Termasuk PBB
10 PSDH yang berlaku 65.000
11 Selisih (9 10) 38.200 Kompensasi untuk PBB
12 PBB yang berlaku (kisaran) 16.200 25% dari PSDH berlaku
Perhitungan PSDH di Hutan Tanaman
Berbeda dengan ide perhitungan PSDH pada hutan alam, perhitungan PSDH pada hutan tanaman lebih sederhana. Yaitu, melalui pendekatan nilai intrinsik yang merupakan nilai asupan (faktor input) atau harga perolehan tegakan HTI per hektarnya atau nilai per m3 kayu yang dihasilkan setelah satu daur. Pendekatan lain juga bisa dilakukan melalui penetapan harga patokan jual kayu, sebagimana yang berlaku saat ini. Tabel 2 di bawah ini menyajikan perhitungan PSDH dengan pendekatan nilai perolehan. Asumsi dasar potensi minimum pada hutan tanaman adalah 100 m3 per hektar. Pendekatan ini sudah mempertimbangkan risiko kegagalan tanaman.
Harga perolehan sebesar Rp7.5 juta terdiri atas seluruh biaya pembangunan HTI, sejak tanam hingga siap tebang), termasuk biaya-biaya berupa pajak bumi dan bangunan, iuran izin pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan tanaman, biaya masyarakat (community development), dan royalty fee.
Tabel 2. Perhitungan Pengenaan PSDH (Sebagai Pengganti Nilai Intrinsik atau Nilai Perolehan) pada Hutan
No. Uraian Nilai/Harga
(Rp/M3)
Keterangan
1 Harga perolehan tanaman per hektar 7.500.000
2 Nilai perolehan per m3 (1 daur) 75.000 Potensi
100 m3/ha3 Nilai perolehan per m3/ tahun
(Usulan PSDH baru) 9.375 Daur 8 tahun
4 PSDH berlaku 2.800
5 PBB (setara per m3) 2.880
6 Iuran IUPHHK-HT (setara per m3) 2.800
7 Biayacommunity development(CD) 2.000 Biaya Sosial
8 Royalty feeuntuk masyarakat 7.500
9 Beban biaya perush. (4 s/d 8) 18.180
G
P
L
A
N
L
O
(9)
Halaman
9
.
Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai perolehan tanaman adalah Rp9.375 per m3 yang merupakan nilai intrinsik setara dengan nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman. Ini merupakan ide PSDH baru, yaitu gabungan dari pungutan PSDH dan PBB pada hutan tanaman. Jika dibandingkan dengan pungutan yang berlaku saat ini, PSDH + PBB sebesar Rp5.680 per m3 (Rp2.800 + Rp2.880), maka pungutan PSDH baru tersebut lebih besar (naik 65%).
Kenaikan tersebut untuk menjawab tuntutan daerah, khususnya kabupaten penghasil karena menganggap bahwa pungutan PSDH untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman saat ini masih rendah. Daerah penghasil juga melihat bahwa kayu-kayu dari hutan tanaman dapat digunakan untuk bahan baku kilangplywood dan kayu-kayu gergajian, sehingga harganya dapat lebih tinggi daripada jika hanya untuk bahan baku kilangpulp.
Pembagiannya diusulkan secara proporsional, yaitu untuk pemerintah (Pusat) 18%, pemerintah provinsi 14%, kabupaten penghasil 44%, dan kabupaten bukan penghasil 24%. Alokasi untuk kabupaten penghasil memiliki porsi yang paling besar, dimana kabupaten penghasil berkewajiban harus memasukkan program pembangunan desa-desa di dalam dan sekitar hutan. Dengan demikian, beban perusahaan akan berkurang dalam pelaksanaan program community development, termasuk social cost lainnya karena sebagian akan diambil oleh pemerintah kabupaten setempat atau daerah penghasil.
Konsekuensi dari perhitungan ini adalah melakukan perubahan PP Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pengenaan PBB, atau peraturan turunan di bawahnya, khususnya terkait dengan pengenaan PBB pada kawasan hutan produktif. Di sisi lain, pemerintah harus mampu menjaga harga ideal tersebut di atas jika tetap ingin mempertahankan closed market untuk komoditas bahan baku kayu untuk pengolahan industri primer di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa perhitungan-perhitungan masih dengan angka-angka kasar. Di samping itu, pendekatan yang dilakukan memungkinkan masih menjadi berdebatan, khususnya bagi penentu kebijakan karena pada pungutan PSDH saja (PBB sudah termasuk di dalamnya) hanya didasarkan satuan hasil per m3. Bagaimana jika hutan tersebut tidak ada atau gagal menghasilkan kayu? Jika pendekatan harga patokan jual kayu tetap dilpertahankan, maka kebijakan closed market akan menemui kesulitan karena Pemerintah harus tetap menjaga harga pasar pada kondisi ideal. Pada sisi lain, pasar akan melaju dengan hukum pasar yang hampir tidak bisa didikte.
Diskusi selanjutnya akan mengarah pada perubahan Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan berikut peraturan turunannya, terkait dengan pengenaan obyek pajak dan proporsi pembagian hasil. Ini harus dilakukan terobosan jika tidak menemui kesulitan melakukan perubahan peraturan dan perundang-undangannya. Dengan pendekatan perhitungan ini sebenarnya Pemerintah (baca Negara) sangat diuntungkan, maka perubahan peraturan seharusnya tidak menjadi penghambat.
Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebaiknya digabung dengan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH). Pengenaan PBB di kawasan hutan tidak tepat karena hutan berstatus state property bukan private property sehingga hanya merupakan izin usaha pemanfaatan saja, dan tidak terkait dengan hukum keagrariaan. Penggabungan tersebut merupakan bentuk kompensasi pungutan PBB ke dalam PSDH, dan besarnya pungutan PSDH baru lebih tinggi daripada PSDH + PBB yang berlaku.
Pendekatan hitungan PSDH dengan harga patokan hanya cocok untuk hasil hutan yang berasal dari hutan alam, sedangkan untuk hutan tanaman sebaiknya digunakan pendekatan nilai intrinsik (nilai perolehan tegakan dari seluruh asupan 'input' biaya-biaya dan kapital atau setara dengan stumpage value. Nilai asupan yang diberikan oleh pengusaha terhadap hutan alam sangat rendah, oleh karenanya pendekatan hitungan PSDH dapat dilakukan selain melalui harga patokan jual kayu, juga dapat melalui harga sewa lahan. Untuk hutan tanaman karena investor harus memperoleh insentif, maka pendekatan harga patokan menjadi kurang tepat, karena nilainya pasti akan lebih tinggi.
Hitungan-hitungan tersebut perlu dipertajam dengan melalukan kajian pertimbangan kebijakan yang mengarah pada pemberian insentif namun tidak mengorbankan kepentingan perusahaan, pemerintah dan masyarakat setempat.
Tanaman
Proporsi Pembagian Hasil dan Konsekuensinya
Diskusi Pendekatan
Kesimpulan dan Saran
#
G
P
L
A
N
L
O
(10)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Untuk mendukung revitalisasi Industri Kehutanan, salah satunya adalah melalui usaha pengembangan hutan tanaman industri rakyat yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas industri kehutanan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat/rakyat terutama masyarakat sekitar hutan. Berbagai dinamika dan problematika yang terus berkembang seputar hutan tanaman industri rakyat dan prospek kedepan telah dilakukan pengkajian oleh para pakar
dibidangnya. Hasil kajian telah merumuskan berbagai formulasi untuk mengembangkan Hutan Tanaman Industri Rakyat di Indonesia yang sekaligus sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk merumuskan dan
menetapkan kebijakan bertalian pembangunan industri kehutanan di Indonesia.
I Latar Belakang
II. Faktor Penentu
II. Permasalahan
IV. Pelaksanaan
.
Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini dilakukan oleh pengusaha besar di bidang kehutanan. Usaha HTI skala kecil praktis belum ada, kecuali usaha hutan rakyat yang telah berkembang pada beberapa wilayah di luar kawasan hutan, di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Usaha hutan rakyat merupakan contoh usaha kecil, dimana pada awalnya rakyat menanam pohon lebih ditujukan untuk konsumsi sendiri, namun dalam perkembangannya kemudian beralih menjadi komoditi komersial, bersamaan dengan tumbuhnya pasar.
HTI Rakyat belum memiliki istilah baku, sehingga pengertian HTI Rakyat setidaknya dapat diartikan sebagai HTI yang dilaksanakan oleh rakyat pada kawasan hutan; disamping itu dapat juga diartikan sebagai HTI yang dilaksanakan oleh rakyat baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Selanjutnya yang dimaksud rakyat lebih diartikan sebagai rakyat yang tinggal di daerah setempat. Lebih lanjut, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan yang mengatur HTI Rakyat, sehingga diharapkan kajian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka kebijakan dan pelaksanaan pembangunan HTI Rakyat. Dengan demikian lingkup kajian ini mencakup seluruh aspek yang secara umum meliputi aspek: finansial-ekonomi, sosial-budaya, dan sistem pengusahaan.
Keberhasilan pengusahaan hutan rakyat sangat ditentukan oleh (1) persepsi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian nilai-nilai atau budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya, (2) kepekaan masyarakat untuk memahami masalah sosial ekonomi, (3) kepekaan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian sumberdaya alam bagi, (4) kemampuan masyarakat untuk melihat peluang dan mengupayakan pemecahan masalah yang diupayakan, (5) efektifitas dorongan, rangsangan dan dukungan serta kesempatan yang diberikan pihak luar.
I
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia (Supriadi, 2002): (1) data dan informasi mengenai hutan rakyat belum sepenuhnya dikuasai, (2) sosialisasi pelaksanaan program hutan rakyat belum berjalan semestinya, (3) belum ada rencana pengembangan hutan rakyat untuk setiap kabupaten, (4) pembuatan rancangan unit percontohan pengelolaan hutan rakyat di beberapa daerah masih belum mantap, (5) kurangnya perhatian terhadap unit percontohan hutan rakyat, (6) kualitas SDM petani yang masih belum mencukupi, (7) pemasaran hasil produksi kayu hutan rakyat masih bersifat perorangan, (8) masih terdapat penyimpangan bersifat administratif dalam penyelenggaraan KUHR (Kredit Usaha Hutan Rakyat), (9) kelembagaan petani peserta KUHR masih lemah, (10) keterbatasan peraturan perundangan tentang hutan rakyat masih terbatas baik di tingkat pusat maupun daerah, dan (11) kesiapan aparat daerah dalam menyelenggarakan KUHR masih belum memadai.
Pelaksanaan pembangunan HTI Rakyat diharapkan dapat memenuhi beberapa kondisi sebagai berikut:
HTI Rakyat sebagai salah satu sumber bahan baku industri, reboisasi lahan kosong, dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan lapangan kerja.
Pembangunan HTI Rakyat melalui pendekatan lintas sektoral, multidisiplin, stakeholders yang beragam dan pendekatan sistem.
HTI Rakyat mampu memberikan keuntungan ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya.
Pengembangan HTI Rakyat mampu mewujudkan keseimbangan dinamis antara pertumbuhan ekonomi-bisnis dengan peningkatan kelestarian ekologi dan kestabilan sosial-budaya.
HTI Rakyat memiliki sistem penguasaan dan tata guna lahan yang mantap, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. HTI Rakyat dibangun sebaiknya menerapkan sistem Agroforestry yang memanfaatkan keunggulan komparatif dari berbagai
jenis komoditi yang dikelola.
HTI Rakyat dibangun berdasarkan kemitraan sejajar antara pengusaha dengan masyarakat di sekitar hutan, yang menuju ke bentuk kontrak kerja pada kelompok masyarakat yang adil dan berimbang.
Jenis tanaman HTI tidak terpaku pada jenis cepat tumbuh saja tetapi juga perlu pengaturan jenis yang seimbang dengan jenis kayu campuran lainnya.
Pengusahaan HTI Rakyat diarahkan pada kawasan hutan produksi yang berupa tanah kosong, padang alang-alang, dan semak belukar.
Usaha HTI Rakyat merupakan suatu penerapan model usaha tani.
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
Oleh : Tedi Setiadi, S.Hut.
*)
PROSPEK PENGEMBANGAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI RAKYAT
(
Intisari Hasil Kajian Para Pakar untuk Menyusun Kebijakan)
1)(11)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Halaman
11
V. Estimansi Biaya Pembangunan HTI Rakyat
Uji Petik Pembangunan HTI Rakyat di Propinsi Kaltim.
Kebutuhan biaya pembangunan tanaman:
Kebutuhan tenaga kerja dan pendapatan petani:
VI. Prasyarat Penentu
TENURIAL
Hitungan ekonomi secara kasar dalam pembangunan hutan tanaman secara kolaboratif: Asumsi-asumsi:
1. Jenis tanaman adalah fast growing species, dengan daur 8 tahun ditujukan untuk kayu perkakas
2. Kemampuan seorang petani mengelola lahan seluas 0,75 ha/tahun. Dalam 1 KK diasumsikan terdiri dari 2,5 HOK. Jadi 1 KK mempunyai kemampuan 1,875 ha/tahun.
3. Biaya pembangunan tanaman per hektar adalah Rp. 7,5 juta. 4. Produksi minimal adalah 150m3/ha.
5. Harga pasar minimal Rp. 200.000/m3 di TPN atau TPK. 6. Tidak terjadi force major hingga saat panen dan seterusnya.
7. Kucuran subsidi maupun pemodalan akan diterima dalam 5 tahun ke depan.
Propinsi Kaltim diasumsikan sebagai daerah contoh dengan 8 Kabupaten akan membangun secara serentak hutan tanaman kolaboratif.
Luas tanaman yang harus dibangun:
1. Untuk ukuran propinsi Kaltim, kebutuhan industri 4,5juta m3/tahun, maka luas tebangan per tahun mencapai 30.000 ha (asumís 150m3/tahun)
2. Jika dibagi ke dalam 8 Kabupaten, maka setiap Kabupaten menebang 3.750 ha/tahun.
3. Dengan daur 8 tahun, maka diperlukan luas tanaman: 8x30.000 ha = 240.000 ha efektif tanaman (netto). Dibutuhkan areal sarana prasarana dan konservasi sejumlah 25%, sehingga total kebutuhan lahan adalah 320.000 ha, maka tiap Kabupaten membutuhkan 40.000 ha (sangat kecil dibandingkan luas areal tidak produktif di tiap Kabupaten).
1. Dengan asumsi biaya pembangunan sebesar Rp. 7,5juta/ha, maka setiap Kabupaten menyediakan biaya sebesar Rp. 7,5 juta x 40.000 ha = Rp. 300 Milyar.
2. Distribusi saham dengan komposisi penyertaan modal: Pemkab: 40% atau Rp. 120 Milyar; Pemprov: 10% atau Rp 30 Milyar; dan pemegang industri sebesar 50% atau Rp. 150 Milyar.
1. Dengan asumsi kemampuan 1 KK seluas 1,875 ha/tahun, maka 1 daur (8 tahun) kebutuhan lahan untuk 1 KK adalah 1,875 ha x 8 = 15 ha. Dengan demikian untuk luasan 30.000 ha/tahun diperlukan 16.000 KK, bila dibagi 8 Kabupaten, maka setiap unit pembangunan hutan di Kabupaten diperlukan 2.000 KK (jumlah yang cocok untuk padat karya).
2. Pendapatan petani per KK berasal dari (a) tenaga kerja harian = 2,5 HOK x Rp. 30.000 = Rp. 75.000; (b) hasil panen tanaman padi atau jagung (tanaman tumpangsari); (c) hasil produksi tanaman pokok per tahun = 2/3 x 1,875 ha x 150 m3 x Rp. 200.000 = Rp. 37.499.999,- atau dibulatkan sebesar Rp. 37,5 juta atau rata-rata per bulan sebesar Rp. 3,125 juta.
Dengan berbagai hambatan dan kendala, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa HTI Rakyat memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan, namun harus memperhatikan berbagai persyaratan sebagai berikut:
Untuk tahap awal sebaiknya diterapkan di wilayah penduduk atau masyarakatnya telah memiliki budaya menanam pepohonan kehutanan dan juga sangat membutuhkan program itu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. I Keberadaan dan kesanggupan industri-industri yang akan menampung hasil hutan kayu, sehingga HTI Rakyat benar-benar terintegrasi dengan konsumen atau pasar.
·Keterlibatan para pihak dalam pengembangan HTI Rakyat sangat diperlukan. Sistem pembangunan HTI Rakyat mengikuti sequential system dan sistem suksesi yang dikelola. HTI Rakyat tidak dibangun dalam bentuk monokultur.
Kebijakan insentif perlu diberikan kepada para petani HTI Rakyat sebelum mereka memetik hasil hutan.
Sejak awal sebelum HTI Rakyat itu dibangun harus sudah dilakukan penguatan kelembagaan petani HTI Rakyat.
Pembangunan HTI Rakyat harus terintegrasi dengan berbagai program pembangunan hutan yang ada (GERHAN, DAK DR, CDM, dsb)
Tersedia pendamping lapangan yang tangguh, bisa dari sarjana kehutanan yang diangkat menjadi pegawai tidak tetap (PTT) dan ditempatkan di lapangan.
Kebijakan yang menyangkut biaya retribusi hasil hutan dari HTI Rakyat, sebaiknya pada tahap awal dilakukan seringan mungkin, hal ini untuk memberi insentif kepada para petani agar lebih bergairah dalam membangun hutan.
HTI Rakyat sebaiknya tidak dikembangkan sebagai gerakan nasional, tetapi sebaiknya diprioritaskan bagi daerah yang telah siap dari berbagai aspek, seperti petani, SDM kehutanan, kelembagaan, teknik-biofisik.
Sosialisasi HTI Rakyat kepada petani khususnya, harus dilakukan secara intensif, meliputi aspek teknis-biofisik, sosial-budaya, ekonomi dan finansial.
Monitoring dan evaluasi yang bersifat multipihak terhadap kegiatan HTI Rakyat harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan, agar dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan secara dini, jika ditemukan kelemahan atau penyimpangan. Prosedur, aturan dan proses untuk pembangunan HTI Rakyat harus bersifat sederhana dan biaya murah.
Inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan HTI Rakyat harus menjadi prioritas utama. Jenis-jenis pohon yang ditanam memiliki harapan kepastian pasar.
Adanya program pendampingan lapangan yang berkelanjutan.
Sistem pewarisan terhadap hak mengelola HTI Rakyat harus jelas dan mampu mencegah terjadinya fragmentasi lahan. Adanya kepastian status lahan hutan sebagai lokasi HTI Rakyat, sehingga memberikan kepastian usaha bagi petani.
*
SOSIAL BUDAYA : NFRASTRUKTUR : KELEMBAGAAN :
) Perencana Pertama pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
R
#
(12)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Pendahuluan
Sekilas Penataan Ruang
P
engaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan ruang ini secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan UU ini. Disebutkan antara lain bahwa letak dan kedudukan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumberdaya alam (SDA) yang perlu dikelola dan dilindungi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, untuk itu pengelolaan SDA yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.Kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah dalam bentuk sulitnya ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain: Interest ekonomi politik terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan, Konflik lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan, belum sinkronnya kewenangan pengelolaan ruang oleh berbagai sektor terhadap ruang yang sama. Salah satu persoalan pelik adalah berlarutnya permasalahan tenurial dalam kawasan hutan. Tulisan ini mencoba menelaah salah satu kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang khususnya ruang kehutanan (Kawasan Hutan) dalam perencanaan tata ruang dengan Persoalan tenurial, dengan urutan penyajian sbb: memahami sekilas penataan ruang, kawasan hutan sebagai bagian dari tata ruang nasional, tenurial dalam kawasan hutan.
Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terdapat pengertian yang berkaitan dengan ruang, antara lain: Ruang, Tata Ruang, Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang, Wilayah dan Kawasan.
Ruang adalah wadah yag meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya Rencana Tata Ruang adalah adalah hasil perencanaan tata ruang.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan, Kawasan Tertentu.
Penjabaran kawasan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, detailnya diuraikan dibawah ini:
a Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya Kawasan hutan lindung (HL)
Kawasan bergambut Kawasan resapan air
b. Kawasan perlindungan setempat Sempadan pantai
Sempadan sungai
Kawasan sekitar danau/waduk Kawasan sekitar mata air
Kawasan terbuka hijau kota termasuk didalmnya hutan kota c. Kawasan Suaka Alam
Cagar Alam (CA) Suaka Margasatwa (SM) d. Kawasan Pelestarian Alam
Taman Nasional (TN) Taman Hutan Raya (Tahura) Taman Wisata Alam (TWA) e. Kawasan Cagar Budaya f. Kawasan Rawan Bencana Alam g. Kawasan Lindung lainnya
Taman Buru (TB) Cagar biosfir
Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah 1. Kawasan Lindung
¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡ ¡
¡ ¡ ¡
KOMPLEKSITAS PERSOALAN TENURIAL DALAM
PERENCANAAN RUANG KEHUTANAN
(1)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Sektor BBS dan kertas tidak banyak terpengaruh dengan adanya pemboikotan pulp dan kertas, karena baik konsumsi dan produksi produk ini masih memperoleh manfaat dengan naiknya masing-masing ukuran kesejahteraan tersebut.
Pengaruh stimulatif pada produksi dan suplai domestik BBS, kertas tidak cukup untuk menutupi pengaruh negatif dalam penurunan harga domestik, walaupun terjadi ekspor pulp dan kertas ke negara selain Jepang dan Korea Selatan. Indonesia menderita kerugian penerimaan devisa dari sektor pulp dan kertas atas pemboikotan pulp.
Distribusi pendapatan tertinggi masih diterima oleh produsen BBS, namun kesejahteraan konsumen pulp umumnya menurun. Dalam hal nilai, jumlah bersih kerugian yang diperoleh konsumen lebih kecil daripada manfaat yang diperoleh produsen dan pemerintah.
Model selanjutnya dapat dikembangkan dengan memasukkan produsen pulp dan kertas negara-negara North-Scan (Amerika Serikat, Kanada, Swedia, dan Finlandia) sebagai variable endogen dalam model. Dengan demikian, model tersebut memungkinkan dapat menganalisa lebih tajam terhadap hubungan antar Negara-negara produsen dalam hubungannya dengan tindakan kebijakan unilateral dan multilateral.
Penelitian ini menyarankan bahwa karena industri tersebut rentan terhadap tekanan internasional, maka Pemerintah Indonesia harus mampu mengkontrol seluruh aktivitas, termasuk praktik-praktik dan pengkelolaan industri bahan baku serpih, pulp dan kertas. Pemerintah harus memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan kelola peduli sosial dan lingkungan. Dorong terus pembangunan HTI, termasuk HTI-Rakyat untuk percepatan pembangunan hutan tanaman hingga mencapai 5 juta hektar.
Latar belakang terjadinya aksi boikot ini antara lain (1) adanya pengelolaan industri pulp di Indonesia yang tidak memperhatikan lingkungan sesuai standar ISO 140001, (2) asal bahan baku (input produksi) berupa kayu-kayu kecil ( ) dari HTI dan HA belum/tidak mengikuti pengelolaan hutan lestari ( ), dan (3) persaingan bisnis internasional. Kita tidak perlu berdalih ini hanya persaingan bisnis. Oleh karenanya, kita harus berbenah untuk menghadapi setiap perubahan yang menjadi tuntutan global berupa ekolabel.
Tahun 2009 mereupakan batas akhir dimana pabrik pulp di Indonesia akan memperoleh bahan baku berupa kayu-kayu kecil dari hutan alam (Departemen Kehutanan, 2005). Artinya, bahwa seluruh bahan baku pabrik pulp akan dipenuhi dari hutan tanaman. Untuk hutan tanaman ini pun diharuskan memperoleh sertifikat 'SFM'. Adanya sertifikat hutan yang dikelola secara lestari akan menuntun perusahaan ke arah yang lebih kokoh (handal) karena mendapat dukungan dari berbagai pihak ( ) dan lingkungannya.
Terdapat beberapa sebab mengapa sertifikasi SFM di Indonesia macet, yaitu antara lain (1) para pengusaha HTI dan Hutan Alam (HA) enggan mengurus sertifikasi karena persyaratan yang bertele-tele, (2) perusahaan yang memperoleh sertifikasi belum memperoleh penghargaan ( ) atau insentif apapun dari Pemerintah, (3) beberapa negara pengimpor pulp dan kertas dari Indonesia memperlakukan sama antara yang tidak ada sertifikat dan yang memperoleh sertifikat, dan (4) masalah mendasar terhadap aspek sosial dan lingkungan sudah sejak lama belum teratasi.
Lihat saja, dari sekitar 150-an HPH baru 5 HPH yang bersertifikat SFM dari LEI dan/atau FSC. Untuk perusahaan HTI yang berjumlah 23 HTI-pulp di Indonesia baru terdapat 1 perusahaan yang memperoleh sertifikasi dari LEI. Selain itu, terdapat 3 pengelola hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) yang mendapatkan sertifikat FSC dan/atau LEI. Hal ini tentu saja memprihatinkan sistem pengelolaan hutan di Indonesia, yang menyaratkan tiga pilar kelola, yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, dan (3) lingkungan. Ini yang dipersyaratkan dalam proses menuju sertifikasi 'SFM'. Sedangkan pada industri/kilangpulp dan kertas harus memiliki ekolabel, misal ISO 14001. Unttuk masa yang akan datang, tuntutan global demikian tidak bisa dihindari lagi. Oleh karenanya, perusahaan yang ingin mengekspor produknya ke negara-negara peduli lingkungan harus sudah memiliki sertifikasi dari lembaga yang berkompeten.
Beberapa perusahaan HPH dan HPHTI lainnya ada yang memperoleh sertifikat bukan dari lembaga independen tersebut, sehingga tidak mempunyai pengaruh positif terhadap perolehan harga premium. Ini jelas merugikan perusahaan tersebut, karena biaya untuk itu tidak sedikit. Untuk kasus ini, seharusnya Pemerintah menjembatani kemudahan tanpa mengabaikan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses sertifikasi tersebut.
(gains)
(consumers' gains)
illegal logging
small logs sustainable forest management 'SFM'
stakeholders
reward
4.2. S a r a n
4.3. Implikasi Kebijakan: Sertifikasi dan Kendalanya
Daftar Pustaka
Asian Development Bank. 2000. Microeconamic Foundation for Indonesian Competition Law and Policy. ADB, Manila.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APPI). 2005. Dictionary 2005. The Indonesian Pulp and Paper Association (IPPA) Secretariat, Jakarta.
FAO. 2003. Yearbook of Forest Products. FAO, Rome.
Ibnusantoso, G. 1999. Prospek dan Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta.
Koutsoyiannis. A. 1977. Theory of Econemetrics. Happer and Row Publishers, Inc, London. Maddala, G.S. 1977. Econometrics International Student Edition. McGraw-Hill Kogakusha, Tokyo.
Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis, PhD Dissertation, University of the Philippines, Los Banos.
#
(2)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
KAJIAN PENYEDERHANAAN SISTEMATIKA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
(SISTEM KEHUTANAN)
Oleh : Ir. H. Syaiful Ramadhan, MM *)
LATAR BELAKANG
MAKSUD DAN TUJUAN
PANDANGAN TENTANG POLA PENGELOLAAN PRA-REFORMASI
Pada era di mana populasi manusia masih di bawah ambang batas daya dukung sumberdaya alam, baru dikenal pemanfaatan terbatas (subsistence) sekedar memenuhi kebutuhan untuk survive atau dengan kata lain kebutuhan manusia masih pada tingkat yang terendah pada hierarki sesuai dengan teori Maslow, namun secara bertahap kebutuhan manusia meningkat ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi dan beragam.
Kondisi tersebut di atas berlaku umum dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan serta unsur-unsur penunjang kebutuhan, sehingga termasuk juga pada berkembangnya disiplin ilmu pengelolaan sumberdaya alam termasuk ilmu kehutanan. Berdasarkan sejarah perkembangan ilmu kehutanan, sumberdaya hutan sebagaimana yang didefinisikan Undang-Undang dan kita kenali sebagai ekosistem, pada mulanya dikenal sebagai wild land yang bersiklus secara alami dalam memberikan kemanfaatan pada hidup dan kehidupan makhluk lainnya. Pertumbuhan populasi penduduk tersebut, ternyata secara naluriah berkonsekuensi pada meningkatnya tuntutan keragaman dan jumlah serta mutu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh utamanya manusia. Kondisi yang berkembang tersebut secara kodrat memaksa umat manusia untuk menggunakan sumberdaya akal dan tenaga yang ada pada dirinya untuk mengadakan eksplorasi manfaat berbagai sumberdaya hutan yang tersedia di sekitarnya, baik di daratan maupun di perairan.
Pengertian Kehutanan per-definisi adalah pengelolaan sumberdaya hutan untuk mengambil manfaatnya, sehingga terminasi Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada hakekatnya sama dengan sistem Kehutanan.
Persepsi dan terminasi Stakeholder (pihak-pihak yang berkepentingan) atas sumberdaya, atas Daya Dukung Sumber Daya ( dan keseimbangan ( ) merupakan kata-kata kunci (keywords) yang harus difaham, dihayati dan diterapkan dalam mengantisipasi kondisi paradoks antara tekanan kebutuhan manusia yang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya populasi dengan sediaan sumberdaya yang makin menipis. Terbukti sejalan dengan persepsi tersebut, gelombang reformasi yang terjadi sebagai salah satu dampak arus globalisasi pun secara mutlak menuntut penerapan norma-norma keadilan (just), kesetaraan ( , kelestarian ( ), keterbukaan dan kejujuran (transparancy and fairness) dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tuntutan-tuntutan tersebut sangatlah wajar dan layak, karena sebagai komoditi sumberdaya hutan digolongkan sebagai ”Public Goods (Hak penggunaan bersama) bukan Private Goods (Hak kepemilikan pribadi)”.
Dilatar belakangi oleh uraian pemikiran di atas, maka mutlak dibutuhkan alternatif pola pengelolaan yang sistematis dan efisien yang mengakomodir secara proporsional seluruh unsur teknis/norma yang dipersyaratkan oleh stakeholder.
Maksud dan tujuan penulisan kajian ini adalah dalam rangka mencari bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang diharapkan lebih berhasil guna dan berdaya guna secara nyata bagi pemberdayaan ekonomi rakyat di masa mendatang.
UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dengan peraturan-peraturan derivasinya, ternukti belum dapat secara ketat mengarahkan pengelolaan sumberdaya hutan yang efisien dan adil, sehingga masih diperlukan langkah penyusunan penyempurnaannya yang Alhamdulillah pada saat ini telah disempurnakan menjadi UU No. 41 Tahun 1999.
Kondisi perekonomian RI di akhir dekade 60-an dan awal 70-an memang berkonsekuensi logis pada semua sektor pengelola sumberdaya untuk memprioritaskan upaya peningkatan kontribusi pemasukan/penerimaan negara dalam hal ini harus kita terima dengan penuh kesadaran sebagai bentuk perjuangan pembangunan demi eksisnya republik yang kita cintai ini.
Keterbatasan pengenalan secara teknis ekonomis atas segala sesuatu tentang sumberdaya hutan mengkondisikan terciptanya pola pengelolaan sumberdaya hutan yang menitikberatkan pada eksploitasi kayu (timber extracts) saja, sehingga manfaat-manfaat lain dari fungsi hutan cenderung terabaikan. Di lain fihak eksploitasi hutan secara besar-besaran dan mekanis membutuhkan investasi yang besar dan mahal, sehingga berakibat pada terpusatnya pengelolaan sumberdaya hutan pada segelintir pemodal besar dan terbatas sampai tidak ada/hilangnya akses masyarakat setempat terhadap sumberdaya hutan. Sangatlah rasional akibat dari akumulasi penerapan pola yang berkepanjangan tersebut sudah barang tentu akhirnya bermuara pada satu pihak derasnya laju degradasi sumberdaya hutan baik kuantitatif dan di lain pihak, dampak nyata pemanfaatan sumberdaya hutan terhadap khususnya masyarakat sekitar hutan serta umumnya daerah yang minim.
Tanpa mengkesampingkan kenyataan kontribusi pengelolaan sumberdaya hutan pada perekonomian nasional secara makro, yaitu sebagai sumber penerimaan devisa nomor dua setelah ekspor migas, berbagai kajian tentang pola pengelolaan sumberdaya hutan era pre-reformasi menunjukkan kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut :
1. Definisi SISTEM dan batas sistem pengelolaan sumberdaya hutan belum pernah ditetapkan secara tegas dan jelas. Hal ini berakibat pada tidak jelasnya penetapan batasan sub-sistem, padahal batasan tersebut sangat penting dalam rasionalisasi kebijaksanaan dan dampak kebijaksanaan antar sub-sistem maupun sistem secara keseluruhan. Sebagai contoh : Keterlibatan terlampau jauh sampai dengan sub-sistem industri hulu/hilir mengakibatkan terkondisikannya sub-sistem bahan baku/budidaya yang kurang tergarap secara baik (ctt : ungkapan keprihatinan yang sering dicetuskan bapak mantan Menhut RI Ir. H. Djamaluddin S)
2. Sebagai dampak dari kondisi pada butir 1. seringkali kebijaksanaan pengelolaan yang dikeluarkan Eselon I sebagai struktur yang mewakili sub sistem kurang memperhitungkan ekses kebijaksanaan pada sub-sistem (baca : Eselon I) yang lain, baik dari segi kesiapan, sinerjisitas.
3. Kondisi minimnya telaah/kajian kebijaksanaan dalam rangka penyempurnaannya, malah yang terjadi adalah penggantian kebijaksanaan pengelolaan tanpa dasar hasil evaluasi yang layak dari kebijaksanaan yang sedang berjalan, contoh : TPTI, TUK, TU-DR IHH.
4. Kebijaksanaan yang dikeluarkan belum mengacu pada kesimpulan hasil-hasil penelitian, sehingga penerapannya cenderung tersendat, karena kelayakan operasionalnya secara teknis masih seringkali diperdebatkan.
Carrying Capacity of Resources) equilibrium
(3)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
5. Kerancuan kebijaksanaan juga terjadi pada tumpang tindih/ketidakjelasan pemilahan pola pengeloaan, yaitu tidak jelas antara pola investasi, pola pengusahaan, dan pola budidaya. Hal ini berdampak pada banyaknya istilah seperti HPHTI, HKM, TPTI, 5 pola kerjasama dan sebagainya yang mencerminkan kondisi tidak sistematisnya pengelolaan SDH.
6. Peraturan-peraturan yang ada, khususnya beratnya persyaratan bagi sebagian besar masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan manfaat sumberdaya hutan sangat kecil atau kalaupun ada terbatas pada kegiatan konservasi yang bersifat keproyekan seperti reboisasi dan penghijauan, dimana itupun masih didominasi oleh pola top down (aspirasi/kebutuhan riel masyarakat tidak terwakili).
7. Pembuatan rencana dan atau rancangan yang kurang memperhatikan aspek keterpaduan dan keragaman (local specific) serta aspek sosial budaya sehingga cenderung membuka peluang pemborosan uang Negara. Hal ini terlihat nyata dari kegiatan penatagunaan, penata batasan kawasan hutan, pembuatan pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah serta derivasi rencananya seperti Rancangan Teknik Lima Tahunan dan Rencana Teknik Tahunnya yang seakan tanpa akhir, padahal setiap tahun dialokaskan anggaran negara yang relatif besar untuk kegiatan-kegiatan tersebut.
8. Kurangnya perhatian terhadap sediaan SDM yang berkualitas dan relevan dengan kegiatan yang dibutuhkan, baik dari pengadaan, pengembangan maupun penempatan, padahal di awal tahun 90-an Dephut melalui Pusdiklat telah melakukan kerjasama dengan konsultan PT. Hobase Delta perihal kebutuhan diklat yang salah satu butir kesimpulannya adalah belum optimalnya pendayagunaan SDM yang tersedia akibat kelalaian dalam penempatannya.
9. Asepek yang paling akhir yang tidak kalah pentingnya adalah system tata nilai kinerja/prestasi yang cenderung menampilkan arogansi Eselon I secara intern dan arogansi sektoral secara ekstern dan berdampak pada pada rendahnya sinerjisitas pencapaian tujuan. Hal ini dapat dijelaskan secara kronologis sebagai berikut :
a. Ketika prioritas-prioritas sasaran untuk pencapaian tujuan Departemen yang ditetapkan, seharusnya sudah jelas terkondisi unit kerja/sub-sistem yang menjadi leader dan penunjang dan prioritas dan kondisi tersebut menjadi komitmen dan harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
b. Untuk menjamin terselanggaranya secara tertib/sistematis dan optimal pencapaian prioritas oleh leader dan penunjang, maka selayaknya tolok ukur penilaian kinerja leader dan penunjang harus dilihat sebagai satu kesatuan sistem yang utuh (baca : pendekatan sistem), sedangkan yang berbeda adalah indikator kinerja pada setiap sub-sistem/unit kerja. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ketika sasaran prioritas tercapai 100 % seharusnya seluruh bagian sistem mendapat apresiasi/reward yang setara pula, sebaliknya apabila sasaran prioritas tidak tercapai maka hanya sub-sistem penyebab pokok hambatan sajalah yang terkena sanksi agar menjadi proseden dalam penerapan sistem nilai secara konsisten.
c. Sistem tata nilai yang terkondisikan, ternyata tidak sebagaimana halnya pada butir 2, namun ketika sasaran prioritas tercapai, hanya sub-sistem/Unit Kerja leader saja yang mendapat reward, sedangkan penunjang seakan tidak mempunyai peran sama sekali. Kondisi ini tidak pelak lagi memacu kompetisi yang tidak sehat antar sub-sistem, dimana tanpa mengacu pada realitas yang ada, semua pihak berebut untuk menjadi leader, hal ini barang tentu sangat merugikan proses sinergisitas pencapaian tujuan secara keseluruhan, karena demi menjadi yang ”paling utama”, proses keterpaduan terabaikan (non visional situation).
Kalaulah boleh kita menarik kesimpulan secara makro, maka pengelolaan sumberdaya hutan pra-reformasi ”belum sistematis”, sehingga berdampak pada hilang dan rusaknya beragam fungsi dan manfaat yang seharusnya dapat lebih dinikmati untuk peningkatan harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Jadi pertanyaan yang paling mendasar yang harus dijawab saat ini adalah :
”Bagaimana kita memberdayakan pengelola (stakeholder) dan pengelolaan sumberdaya hutan secara optimal secara sistematis dan adil, sehingga fungsi alaminya dapat termanfaatkan sepenuhnya secara proporsional bagi kesejahteraan pengelola di masa kini dan masa mendatang”.
Sejujurnya momentum gema reformasi merupakan ”trigger” sangat diharapakan untuk dapat menjadi momentum perubahan yang mendasar pada pola pengelolaan sumberdaya pengelolaan hutan. Harapan perubahan yang digambarkan oleh kondisi saat ini ternyata memberikan selain fenomena yang diharapkan juga fenomena yang kurang mendukung perubahan mendasar. Secara menyeluruh fenomena tersebut, yaitu antara lain :
a. Tumbuhnya kesadaran bersama untuk kembalinya kita kepada khittah paradigma pengelolaan sebagai interest dan cara pandang yang objektif kepada sumberdaya hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola kemanfaatannya secara penuh tanggung jawab serta memenuhi norma-norma keadilan, kesetaraan, nilai tambah, keberagaman dan kelestarian baik keberadaan sumberdata maupun kemanfaatannya.
b. Perubahan paradigma di atas berkonsekuensi pada perubahan pendekatan penguasaan/pemilikan menjadi pendekatan optimalisasi manfaat ekonomis, ekologis dan sumberdaya hutan secara simultan dan berkelanjutan.
c. Saat ini sosialisasi pergeseran paradigma (metanoia/shifting of mind) pengelolaan sumberdaya hutan dari Timber Extraction ke Nature Resources Based Management sedang berproses, malah cenderung pada situasi Revolusi dibanding situasi Pembelajaran (learning process), hal ini terlihat sejalan dengan paradigma baru, maka muncullah percepatan berbagai kebijaksanaan baru yang belum terdukung secara hukum oleh aturan-aturan dalam pelaksaannya, di lain fihak terhadap serta aturan yang tidak sejalan dengan paradigma lama atau didasarkan kebijaksanaan lama belum sepenuhnya dicabut.
d. Banyaknya pola pengelolaan yang ditawarkan dan akan diterapkan, yang cenderung menimbulkan kerancuan, karena tidak tersistematikan secara baik, sebagai contoh nyata adalah :
· Kebijaksanaan Restrukturisasi penatagunaan dan penataan lahan kawasan hutan serta pemanfaatan sumberdaya hutan tidak jelas hubungannya dengan pola KPHP dan atau pola RLKT yang juga tetap diacu sebagai dasar luasan pengelolaan. · Kebijakan Land Grant Collage sebagai upaya intensifikasi pengembangan IPTEK dan SDM, paling tidak di tingkat praktisi
masih menimbulkan persepsi bersayap antara peluang kerjasam pengelolaan sebatas fee demi menambah penghasilan institusi Perguruan Tinggi melalui pembukaan akses pemanfaatan sumberdaya saja (catt : fenomena kegagalan HPH PT. Sylva Gama dan Sylva IPB serta Unmul berulang) yang dalam hal ini bisa disebut LHC adalah wahana pembiayaan saja atau akan menjadi suatu pengkondisian Institusi Perguruan Tinggi menjadi Kampus Terpadu sepenuhnya melalui LGC. Ketidaktegasan kebijaksanaan sangat berdampak luas pada pertimbangan arahan kawasan peruntukan LGC, baik dari segi ekotype dominan di suatu wilayah, maupun kondisi berhutan atau tidaknya kawasan.
· Variabel pembeda kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan melalui restrukturisasi BUMN, HPH besar, sedang,
(4)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
kecil, HPH masyarakat adat, HPH koperasi, HPH swasta, HPHKM (hutan kemasyarakatan), pola PIR, pola koperasi-investor, investor-koperasi, pola BTN, pola BOT yang hanya sebatas pada limitasi luasan (KPHP/RLKT/RTRWP/kriteria lain ???), besaran modal kerja/investasi (apakah masyarakat/koperasi mampu memenuhi porsi kewajiban setor investasi yang menjadi bagiannya sudahkah masuk dalam pertimbangan ???)
Tidak dapat disangkal, bahwa sekelumit fenomena di atas yang belum lagi ditambah dengan penyelarasan kebijaksanaan untuk mendukung otonomi/desentralisasi yang lebih luas ke Dati I/II bukanlah suatu hal yang mudah untuk diupayakan. Hal penting yang harus digaris bawahi adalah kecenderungan terjadinya masalah yang paling mendasar di kondisi pra reformasi khususnya point ”sistematis” sebagaimana tersebut di atas relatif belum terjawab.
Berangkat dari kenyataan di atas, menurut hemat kami yang paling mendesak untuk diantisipasi dalam rangka penyempurnaan salah satunya adalah pembenahan pola pengelolaan dengan pendekatan sistem sebagai berikut :
1. Pada prinsipnya pada syarat layak kelola, pada setiap pengelolaan harus ada pembatasan/pendefinitifan jelas terhadap obyek kelola.
2. Berkaitan dengan butir 1 di atas, tanpa batasan yang jelas tidak akan bisa kita menetapkan pola pengelolaan secara uth dan hal tersebut sudah barang tentu sangat tidak menguntungkan bagi sinerjisitas pencapaian tujuan pengelolaan. Hal ini membuka peluang tidak sinkronnya kebijaksanaan antar unsur pengelola, karena tidak ada kajian sensitifitas dampak kebijaksanaan terhadap aspek pengelolaan lainnya baik sebelum maupun ketika kebijaksanaan tersebut diterpakan.
3. Ketiadaan batasan sistem berkonsekuensi pada ketidakjelasan subsistem, memepersulit penetapan indikator untuk pengukuran pencapaian dan pengawasan/pengendalian pelaksanaan guna penyempurnaan pola, karena sulit untuk mendeteksi unsur/elemen mana dari sistem yang menyebabkan terjadinya hambatan pencapaian.
4. Dari runtut berfikir di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa mutlak pendefinisian sistem kehutanan beserta sub-sistemnya sebelum merancang pola pengelolaan yang mendekati efisien dan efektif sesuai tuntutan sistem dan visi pengelolaan.
Pertama-tama perlu dipahami sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan merupakan ”komoditas Umum/Public Goods Bukan Komoditas Pribadi/Privat” tidak ada seorangpun yang boleh/dapat yang mengklaim manfaat keberadaannya hutanb bagi individu atau kelompoknya (UUD 1945 Pasal 33). Filosofi dari pemanfaatan tersebut sangat penting untuk dasar pemikiran maupun norma dasar pengelolaan sumberdaya hutan ditekankan bukan pada status kepemilikan sumberdaya sebagai diatur dalam UU Pokok Kehutanan, bahwa hutan terdiri dari Hutan Negara dan Hutan Milik, namun pada optimalisasi pemenfaatan akibat keberadaan sumberdaya hutan tersebut.
Berangkat dari pemahaman definisi Undang-Undang di atas maupun Ilmiah, bahwa hutan adalah suatu bentukan ekosistem berupa lapangan yang ditumbuhi pepohonan dengan segala isinya dan atau yang ditetapkan dengan peraturan per UU an sebagai hutan.
Sedangkan definisi sistem adalah kumpulan dari berbagai unsur/elemen dan subsistem yang berinteraksi serta tergantung satu sama lain, mempunyai batas sistem dan merupakan bagian sistem yang lebih besar.
Dari definisi-definisi tersebut di atas bolehlah kita katakan, bahwa hutan diakui dan dapat berfungsi sebagai sumberdaya apabila adanya pengakuan secara hukum sebagai hutan dan dapat dikatakan sebagai sistem apabila ada kejelasan unsur/elemen, subsistem dan batas sistemnya.
Pengelolaan sumberdaya sebagai terjemahan dari istilah resource management, mengandung pengertian pemberian perlakuan dalam batas-batas tertentu terhadap suatu sumberdaya untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapatlah kita mendefinisikan, bahwa Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan adalah : ”Kumpulan perlakuan terhadap sumberdaya hutan yang saling berinteraksi dan saling bergantung baik antar unsur di dalam maupun dengan unsur di luar batas sistem”.
Secara lebih jelas dan sederhana sistem pengelolaan sumberdaya hutan dapat diuraikan dalam gambaran sebagai berikut :
SUMBANGAN PEMIKIRAN PENYEDERHANAAN POLA PENGELOLAAN
DASAR PEMIKIRAN
SUMBANGAN PEMIKIRAN
(5)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN
Keterangan :
Sub-Sistem Hulu (produksi Bahan Baku)
SS I : SubSistem Budidaya (Terdiri dari elemen/Subsistem Penetaan dan Pembukaan Lahan, Pembibitan, Penanaman, Rehabilitasi, Peremajaan, Perluasan, Penjarangan, dan Pemanenan bagi produk jasa wisata, tata air dan pelestarian plasma nutfah bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan).
SS II : SubSistem Pemasaran I (pemasaran produk fisik ; bahan baku ex hasil penjarangan dan pemanenan serta pemasaran produk : jasa)
SS III : SubSistem Pengolahan (Industri Hulu dan Industri Hilir) SS IV : SubSitem Pemasaran II (Pemasaran Ex Industri)
: Batas Sistem
Batas sistem akan ditentukan oleh luas otoritas Departemen, yaitu dapat saja cakupan sistem hanya meliputi SS I dan SS II (SS I sebagai SubSistem hulu sedangkan SS II SubSistem Hilir) yang berarti orientasi Sistem Pengelolaan dititik beratkan pada tanggung jawab terpenuhinya demand bahan baku industri baik hasil hutan kayu maupun non kayu (termasuk pangan) dari aspek ekonomi dan pemenuhan fungsi hutan lainnbya seperti tata air, rekreasi dan ilmu pengetahuan, cadangan pangan maupun pertahanan.
Selain dari definisi sistem dan segala keterkaitannya dengan faktor internal dan eksternal, aspek yang sangat penting dikenal pula dalam rangka menerapkan pola pengelolaan, adalah pemahaman yang sama dari sifat komoditi yang akan dikelola yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Sifat Teknis Produk Kehutanan dan Perkebunan : a. Produk sangat dominan dipengaruhi iklim b. Membutuhkan waktu relatif lama
c. Irreversible (apabila sudah ditolak tidak dapat dibentuk lagi). d. Membutuhkan lahan yang relatif luas.
e. Membutuhkan sarana transportasi yang cukup besar/banyak untuk pengangkutannya. f. Relatif mudah rusak/tidak tahan lama
Implikasi sifat produk terhadap resiko ekonomis :
a. Adanya faktor iklim yang tidak dapat dikendalikan dan waktu yang lama untuk berproduksi berakibat pada resiko pengembalian modal tinggi.
b. Sifat mudah rusak dan tidak dapat dibentuk ulang berdampak pada resiko tinggi dalam angkutan dan pemenuhan order baru. c. Prasyarat lahan yang luas untuk ekstensifikasi di samping saprodi/teknologi tanam dan oleh produk untuk ekstensifikasi dan
diverifikasi serta sarana transportasi dan kepastian pasar membutuhkan investasi modal sekaligus labor/naker yang relatif besar, sehingga jangka waktu pengembalian investasi secara menyeluruh relatif lama.
Potensi peluang partisipasi kemandirian rakyat dalam setiap sub sistem : a. Sektor Jasa : Tenaga kerja, lahan, modal dan ketrampilan.
b. Sektor Barang : Produk kerajinan rakyat ex limbah, produk pangan ex tumpangsari dan hutan kemasyarakatan. c. Sektor Sosbud : Budaya tanam/kultur pertanian merupakan sebagian besar mata pencaharian rakyat ( ) Berdasarkan pertimbangan berbagai aspek di atas, maka dalam rangka optimalisasi berjalannya sistem dalam mendukung tercapainya output dan outcome yang ditetapkan, mutlak diberlakukan pola atau sistem kerja yang jelas. Setiap kerancuan sistem/pola mekanisme akan berakibat pada gangguan jalannya sistem sampai dengan tidak berjalannya sistem secara menyeluruh. Selama ini sebagai akibat ketidakjelasan pendefinisian sistem kehutanan, wajar terjadi tumpang tindih sistem antara elemen/unsur/subsistem mulai dari arahan kebijaksanaan sampai dengan pelaksanaan tugas/kegiatan yang sangat tidak mendukung sinerjisitas pelaksanaan dan bermuara pada rendahnya pencapaian tujuan baik kualitas maupun kuantitas.
Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa dengan adanya kejelasan definisi sistem serta batas sistem, maka akan dapat secara mudah diidentifikasi subsistem yang sekaligus berfungsi sebagai simpul-simpul vital dari kegiatan yang berguna sebagai dasar pemikiran solusi pengelolaan sumberdaya yang paling efisien dan produktif.
Sebagaimana suatu sistem, kehutanan baru dapat dikatakan berjalan baik apabila memenuhi persyaratan, antara lain :
a. Manajemen aliran input dan aliran besaran keluaran antar subsistem tepat biaya (dihasilkan tanpa pemborosan biaya dan tenaga), tepat jumlah (pemenuhan demand apat terpenuhi) tanpa pemborosan sumberdaya dan tepat waktu (sesuai musim, sesuai waktu pemenuhan pemesanan) serta tepat mutu (sesuai selera/kebutuhan konsumen/user) dan terjamin kontinuitasnya (keserasian akselerasi pembangunan hutan dengan eksploitasunya).
b. Sistem/cara pengelolaan yang digunakan maupun output sistem memenuhi aspirasi stakeholder dan stakeholder (ekologi, ekonomis dan keragaman sosial budaya) sebagai Faktor Lingkungan Sistem yang Internal dan Eksternal.
c. Kebijaksanaan, peraturan per UU an pendukung sistem, sinerjis dan tidak berdampak negatif terhadap kinerja sistem dan subsistem dalam rangka pencapaian misi, tujuan bersama.
Berangkat dari uraian berbagai kriteria menyangkut sistem dan komoditi, akhirnya kita tiba pada alternatif sistematika pola yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang kami beri nama Tri-Pola dan mudah-mudahan layak untuk mendukung komoditi sumberdaya hutan baik produk fisik maupun jasa serta memberikan peluang akses yang besar bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menikmati hikmah keberadaan hutan, yaitu antara lain :
2. Pola Pengelolaan
(6)
G
P
L
A
N
L
O
BULETIN Pelindung Pengarah :Pemimpin Redaksi : Ketua : Sekretaris :
Redaksi Pelaksana :
Editor : Ketua :
Anggota :
Desain Grafis :
Kontributor :
: Kepala Badan Planologi Kehutanan
Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan Sekretaris Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan Kepala Bidang StatistikKehutanan
Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.
Yuliarsyah, SP.,BSc.F.
Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism Ade Wahyu, S.Hut. Efsa Caesariantika, A.Md.
Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan dan Mitra Badan Planologi Kehutanan Tedi Setiadi, S.Hut.
Ir. Ali Djajono, M.Sc. Ir. Watty Karyati Ir. Euis Fatimah Ir. Joko Kuncoro Ir. Lilit Siswanty
Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM.
Ir. Herman Kustaryo,MM. Ir. Endang Mahfud Drs. Sunuprapto,MSc.
John Piter G. Lubis, S.Hut Popi Susan ,S.Hut
DEWAN REDAKSI
MENU BULETIN
ALAMAT REDAKSI
Gd. Manggala Wanabakti, Blok VII Lantai 5Jl. Jenderal Gatot Subroto, P.O.BOX 6506 JAKARTA - 10065
Telp. (021) 5720216 - Fax (021) 5730319 E-mail : [email protected]
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
Pengeloaan Data/Informasi Sumberdaya Hutan Pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Langkah Radikal Untuk Sebuah Profesionalisme Birokrasi Mengenal Lebih Dekat Kedudukan Perencanaan PBB di Kawasan Hutan Gabung Saja dengan PSDH
Pelaksanaan dan Hasil Rumusan : Dialog dan Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan
Dampak Aksi Boikot Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia : Analisa Simulasi Tekanan Internasional
Kajian Penyederhanaan Sistematika Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Sistem Kehutanan)
Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Industri Rakyat Kompleksitas Persoalan Tenurial dalam Perencanaan Ruang Kehutanan
Proses Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Dalam dan Di Sekitar Kawasan Hutan
a.. Sistem Pembudidayaan Sumberdaya Hutan (Pola Budidaya)
· Penerapan kombinasi silvikultur dan budidaya antar berbagai komoditi yang layak secara teknis, sosial budaya dan ekologis, contoh : Tumpang sari/Wana tani, Silvofishery, Hutan Kemasyarakatan, TPTI, TJTI, THPA dan THPB, Penangkaran Satwa, Pengelolaan Zonasi Inti Taman Nasional, Pengelolaan Kawasan Lindung, Budidaya Hutan Rakyat (Lahan Milik), Sistem mekanis/non mekanis
b. Sistem Pengusahaan Sumberdaya Hutan (Pola Pengusahaan) · Penerapan bentuk hukum usaha pengelolaan hutan dan hasil hutan
yang layak secara ekonomis, tata ruang, sosial budaya dan ekologis, contoh : Hak Pengusahaan Hutan Alam BUMN, Swasta, Koperasi, Masyarakat Adat, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman, Hak Pengusahaan Hutan Besar, Sedang dan Kecil, Hutan Cadangan Pangan, Pengusahaan Padat Karya/Padat Modal
c. Sistem Permodalan (Pola Investasi)
· Penerapan distribusi pemilikan/saham barang modal (Capital
Goods) yang mendukungkebijaksanaan ,
seperti lahan, investasi uang, komoditas TKA dan TK lLokal antara ; PMDN-PMA, Investor Swasta/BUMN-Koperasi, Koperasi-Investor, Murni Koperasi, Murni BUMN, Murni Swasta yang akan berpengaruh pada
· Penerapan pola bagi hasil keuntungan secara proporsional dari berbagai kerjasama permodalan dan ”
dari permodalan murni kepada
o Komoditi lahan dan sumberdaya hutan adalah komoditi umum
( )
o Pemanfaatan nilai tambah sebaiknya dilakukan secara simultan dengan pemerataan kesempatannya.
o Monopoli pola pengusahaan sumberdaya hutan yang merupakan komoditi agribisnis mulai subsistem hulu sampai dengan pengolahan ( adalah alternatif paling efisien dalam menjamin setiap nilai tambah setiap sub-sistem akan diterima secara proporsional oleh setiap pelaku sub-sistem melalui bagi hasil secara transparan.
o Monopoli Permodalan (Pola Investasi Murni) merupakan alternatif terakhir apabila kerjasama permodalan sama sekali tidak mungkin diselenggarakan, namun dengan kompensasi kontribusi hasil
berupa dari pemodal dengan
berupa ”
o Dalam penerapan pola permodalan tetap harus ada dispensasi tahap subsidi silang dari modal mayoritas kepada modal minoritas. o Unutk menjamin kesetaraan, permodalan dan sekaligus menutup
kesenjangan kemampuan teknik, manajemen dan mutu SDM juga perlu dispensasi (masa tenggang) pengembalian kredit yang layak serta peran pro aktif Pemerintah dan Swasta dalam pembinaan serta bimbingan dan sosialisasi pengembangan teknik serta manajemen.
Penulis berharap kajian ini dapat berkontribusi dalam penyederhanaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dan atau setiap orang akan dapat melihat sistem pengelolaan hutan secara lebih sistematis, sehingga setiap hambatan kinerja sistem dapat segera diketahui secara dini sekaligus juga elemen/sub-sistem penyebab hambatan. Apapun pola yang diterapkan, menurut hemat kami kembali pada niat baik semua pihak untuk konsisten dan konsekuen berorientasi pada kepentingan bersama bukan interes kelompok atau individu yang terbukti malah cenderung menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi serta kerusakan sumberdaya tanpa terkendali.
*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan
retribusi asset secara adil
Kewajiban social cost dan
opprunity cost” stake holder
(masyarakat/pemerintah
3. Paradigma Penerapan Sistem Pengelolaan Hutan (Tri-Pola)
Public Goods
Integrasi Vertikal)
social cost dan opportunity cost reward
goodwill” dalam kolom Debit Neraca Perusahaan/Pemodal tersebut.
grace period
PENUTUP