Mencari Makna di Balik Rencana Mundurnya Ratu Beatrix.

MENCARI MAKNA DI BALIK RENCANA MUNDURNYA RATU BEATRIX
Oleh GPB Suka Arjawa
Di Bali cukup banyak hal kontroversial terjadi tetapi kurang dirasakan oleh masyarakat
umum. Misalnya pada bidang pariwisata, alih fungsi tanah dan serbuan investor
membuat lahan pertanian berkurang. Masyarakat kurang sadar bahwa banyaknya tikus
dan burung yang menyerbu padi di sawah berkorelasi dengan eksistensi kepariwisataan.
Sebab semakin banyak lahan yang dijadikan perumahan, membuat tikus dan burung
berebutan mencari makanan di lahan yang telah sempit. Pada bidang sosial, persaingan
desa adat dalam mengincar modal ekonomi, memancing konflik dan pertentangan.
Masyarakat kurang tahu bahwa sejarah desa pakraman muncul justru untuk saling
memadukan diri dalam persembahyangan. Di bidang upacara, muncul komersialisasi
banten yang celakanya sebagian dipegang oleh pendeta. Banyak yang tidak tahu bahwa
sebesar apapun jenis banten, sesungguhnya itu bisa diwakili oleh daksina yang biayanya
tidak sampai 10.000 rupiah. Bahkan kalau mau belajar memahami, inti dari bebantenan
lebih sederhana lagi yaitu porosan karena disinilah Tuhan itu disimbolikkan dalam
wujud Brahma, Wisnu. Siwa.
Secara sosial budaya, telah lama kelihatan kembali gejala-gejala feodal dengan
munculnya raja-raja baru yang berasal dari trah lama. Meski dia tidak mempunyai
kekuasaan formal, namun cukup banyak yang kritis terhadap kemunculan mereka. Yang
suka dengan klangenan, merasakan bahwa fenomena itu merupakan kebangkitan masa
lalu. Tetapi ada yang mengkhawatirkan, di jaman politik praktis seperti sekarang rajaraja baru muncul itu akan mudah dipengaruhi unsur politik. Perdebatan lain yang sering

terdengar adalah pencarian silsilah. Ini adalah persoalan klasik yang sering
menimbulkan pertentangan. Bayangkan sejarawan saja masih kebingunan menelusuri
asal usul secara ilmiah, alangkah hebatnya kalau orang-orang awam secara berani
mengklaim diri atau kelompok berasal dari keturunan tertentu.
Fenomena seperti yang dilukiskan diatas adalah fakta yang ada di dalam kehidupan
sosial, khususnya di Bali. Tetapi hal seperti ini tidak tertutup kemungkinan terjadi juga
di tempat lain di Indonesia. Jadi, bisa dikatakan bahwa betapapaun kemerdekaan
Indonesia telah diplokamirkan sejak 67 tahun yang lalu, gejala dan praktik feodalistradisionalis itu masih tetap kelihatan. Menjadi pelajaran yang menariklah untuk
ditelusuri bagaimana seharusnya pola pembangunan yang seharusnya dilakukan
Indonesia dengan adanya fenomena-fenomena seperti yang disebutkan diatas. Pola dan
perencanaan itu menjadi penting agar tidak muncul bebagai persoalan di kemudian hari.
Dalam konteks itulah penting untuk mempelajari apa yang ada di balik turun takhtanya
Ratu Beatrix dari Belanda. Betapapaun Belanda merupakan negara yang pernah
menjajah Indonesia (ada yang mengatakan 350 tahun, tetapi juga ada yang menyebut
tidak lebih dari sekitar 45 tahun), namun makna dari turun takhtanya Ratu dari Kerajaan
Belanda ini cukup penting untuk dilihat.

Secara umum, raja atau ratu baru akan digantikan oleh ahli warisnya setelah yang
bersangkuitan meninggal/wafat. Karena ia merupakan simbolis untuk pemersatu rakyat,
maka simbol yang melekat pada individu itu tetap akan dipakai dan dipercaya mampu

menciptakan persatuan selama jiwa di dalam simbol itu masih ada. Jiwalah yang
kemudian menggerakkan simbol itu sehingga ”turun” untuk dipercayai. Masyarakat akan
melepaskan kekuasaan pribadinya kepada sang simbol itu karena percaya akan kekuatan
simbol dan berdasarkan hal itulah kemudian berhasil diciptakan stabilitas negara.
Stabilitas negara jelas penting karena dengan kondisi seperti itulah pembangunan (dalam
bentuk apapun) bisa dilakukan dengan baik.
Dihubungkan dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat Indonesia, apa yang
terlihat pada turun takhtanya Ratu Beatrix, menjadi sesuatu yang cukup berarti. Lukisan
beberapa hal yang disebutkan pada awal paragraf diatas, boleh dikatakan bahwa kita di
Indonesia sering melakukan sikap yang ngotot, namun kurang menyadari bahwa
kengototan itu sering membebani, bahkan dalam beberapa hal merugikan. Katakanalah
soal pariwisata. Sektor ini selalu dipuja-puja sebagai biang pembangunan Bali (negara).
Namun, secara tidak disadari konflik yang terjadi di desa pakraman, rebutan lahan di
pantai, sampai dengan terkikisnya berbagai lahan pertanian mempunyai temali dengan
pariwisata itu. Mungkin benar menggerakkan ekonomi, tetapi secara tersembunyi justru
mengikis kesempatan kepada generasi penerus dalam menikmati kemurnian alam dan
berkreasi. Rencana turun takhtanya Ratu Beatrix, justru memperlihatkan hal
sebaliknya. Ia tidak ngotot mempertahankan kekuasaan dengan tujuan lebih
menyederhanakan persoalan dan tidak menimbulkan beban bagi generasi berikut. Bukan
tidak mungkin apabila ratu ngotot tetap berkuasa sampai meninggal/wafat, akan bisa

menimbulkan perebutan pengaruh.
Keputusan Ratu Belanda itu untuk turun tahta dalam beberapa bulan mendatang, banyak
mendapatkan simpati dan inspirasi dari masyarakat internasional, dan juga simpati dari
masyarakat Belanda sendiri. Simpati ini mungkin juga mengandung makna tersembunyi.
Banyak kerajaan di dunia yang masih memelihara tradisi mempertahankan kekuasaan
sampai wafatnya sang raja. Sehingga apa yang dilakukan oleh Ratu Beatrix itu
merupakan terobosan dan menjadi model baru di negara yang memakai sistem kerajaan.
Terobosan-terobosan seperti ini sangatlah penting di jaman globalisasi sekarang karena
akan memberikan inspirasi. Rakyat di negara-negara yang menganut sistem kerajaan
menginginkan hal demikian juga terjadi di negaranya sehingga dinamika kenegaraan
menjadi lebih bervariasi, tidak menimbulkan krisis kenegaraan di masa mendatang. Atau
mungkin juga langkah Ratu Beatrix tersebut akan memberikan inspirasi kepada para
pemegang kekuasaan. Bagaimanapun, turun tahtanya seorang ratu atau raja, juga berkait
dengan politik kenegaraan.
Maka, bagi Indonesia pelajaran lain yang bisa dipetik dari Belanda adalah bahwa politisi
yang sudah berumur, sebaiknya secara legowo bersedia mengundurkan diri dari dunia
politik. Salah satu alasan dari Ratu Beatrix untuk mengundurkan diri dari jabatan adalah
faktor usia. Beliau telah berusia 75 tahun. Dalam sebuah pidatonya, tidak lupa beliau
mengucapkan banyak terima kasih atas kepercayaan rakyat Belanda yang diberikan
kepadanya. Jadi, politisi Indonesia haruslah benar-benar melihat faktor kelegowoan itu


untuk bermain politik. Indonesia banyak memerlukan politisi muda yang lebih segar agar
lebih mengerti perkembangan jaman. Kembali harus dikemukakan, sikap ngotot belum
tentu membawa kebenaran dan menguntungkan. Rasionalitas dan rasa sadar diri yang
sesuai dengan perkembangan jaman, akan jauh lebih memnatu memperingan kehidupan
sosial dan lebih bisa menghadapi perubahan jaman. ****
Penulis adalah staf pengajar Fisip Universitas Udayana.