Mencari Makna Pertemuan Dalam Puisi Toet
Mencari Makna Pertemuan Dalam Puisi Toeti Heraty
Berjudul dialog
Puisi Toeti Heraty berjudul Dialog yang dipetik dari kumpulan puisi berjudul Mimpi
dan Pretensi cukup menarik untuk dibincangkan. Bukan hanya dari bentuk topografinya yang
unik, akan tetapi situasi yang coba diungkapkan melalui baris-baris kata menggugah emosi
pembaca (baca: penulis) untuk turut larut dalam situasi itu. Terlebih apabila puisi itu
diperbandingkan dengan puisi lain dari buku yang sama. Akan nampak betapa sebuah
pertemuan menghadirkan makna yang berbeda bagi mereka yang saling bertemu. Berikut
petikan pusi tersebut:
Dialog
di atas meja
antara mereka berdua
vas besar dengan kembang-kembang
kembang kertas menutupi pandang
belum ada yang menyisihkannya
kata dan pandanglah
yang melintasi kembang
sementara itu sembumyi diam karena
pertemuan yang terlampau telanjang
dan tiba-tiba
harus diatasi
tak ada malam tapi bulan turut bicara
dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena
kapal terlalu lancar tahu benar
apa yang dituju
asing dari kegagalan –
di atas meja kini terang
dengan kelangsungan kata dan pandang
bunga-bunga,
telah disingkirkan olehnya
juni ‘67
(sumber: Toeti Heraty. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: PT Balai Pustaka, 1982.)
Bagaimana makna sebuah pertemuan nampak misalnya pada puisi berjudul
Pertemuan misalnya terungkap bagaimana arti sebuah pertemuan bagi si aku lirik melalui
baris-baris “Sebenarnya lucu baru kini kita bertemu./lucu? sampai hati benar mengatakan
ini!/ini, adalah suatu tragedi –“. Melalui baris-baris itu terungkap paradoks pertemuan di
mana kawan temu aku lirik menganggap pertemuan itu lucu, yang bagi aku lirik adalah
tragedi. Pertemuan dengan siapa gerangan yang dapat menjadi tragedi? pertemuan yang
dinanti-nanti, pertemuan yang lupa untuk disadari, atau juga pertemuan yang terjadi dengan
tak disengaja. Pertemuan seperti itulah yang bagi si aku lirik merupakan tragedi. Sosok yang
selalu dinanti itu ternyata membawakan kegelisahan tersendiri bagi si aku lirik.
Tulisan ini bukanlah karangan yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu penulis tidak
mempergunakan acuan-acuan yang bersifat teoretis. Akan tetapi lebih merupakan hasil
pembacaan penulis atas puisi yang dimaksud. Dengan menuliskan pengalaman yang telah
diperoleh ini, penulis berharap dapat membagikan pengalamannya kepada pembaca. Juga
sebaliknya, kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam memahami puisi yang
dimaksud. Dengan begitu pengalaman yang didapat bisa semakin luas. Jadi mari sekarang
ijinkan penulis memulai pembahasan ini.
Pada bait pertama baris pertama puisi Dialog si aku lirik menghadirkan sebuah objek
ruang yang akan menjadi simpul dalam puisi ini, yaitu di atas meja. Dikatakan menjadi
sebuah simpul karena objek ini dihadirkan di awal bait pertama yang menjadi pembuka bagi
puisi ini dan bait terakhir yang menjadi penutup. Juga nuansa yang dihadirkan di bagian awal
sangat berbeda dengan bagian akhir. Sebab meja yang diungkap pada baris pertama ternyata
nanti bukanlah meja yang sama seperti yang terungkap pada bait terakhir.
Penggunaan kata tempat ‘di’ dimaksudkan untuk mengajak pembaca agar
mengarahkan perhatiannya pada tempat yang ditunjuk. Frasa di atas meja dalam hal ini lebih
menyaran makna yang bersifat denotatif, bukan merupakan lambang atau metafora tertentu.
Dengan kata lain di atas meja mesti dipahami sebagaimana bentuk referen meja dan di atas
sebagaimana wujudnya pada benda yang ada di dunia objek nyata dan ruang yang terletak di
atas nya.
Baris pertama ini seolah menjadi pintu masuk bagi bait pertama. Sebab baris-baris
berikutnya yang oleh aku lirik diletakkan dengan indensi yang lebih dalam seolah-olah
menunjukkan bahwa baris-baris tersebut merupakan turunan dari induknya di baris pertama.
Penyusunan topografi seperti ini tentu bertujuan untuk menciptakan efek puitik tertentu, yang
dalam hal ini dapat dimaknai sebagai turunan dari fokus perhatian yang hendak diungkap
oleh aku lirik.
Hal ini terasa tepat karena pada baris berikutnya aku lirik menulis antara mereka
berdua. Pada baris ini ada pergerakan dari dunia benda ke dunia yang bernyawa yang
diwakili oleh frasa mereke berdua. Objek pada baris pertama rupa-rupanya terletak antara
subjek yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik dalam puisinya. Kemudian juga terungkap
adanya dua orang yang yang sama-sama bersinggungan dengan objek di atas meja. Yang
patut menjadi pertanyaan pada baris ini adalah kata antara; seperti apakah ruang yang hendak
diungkap dengan kata antara?
Pemahaman yang langsung ditangkap adalah situasi di mana terdapat dua orang
duduk berseberangan dalam satu meja yang sama. Mungkin di sebuah restoran atau cafe.
Tentunya sebuah tempat di mana seseorang dimungkinkan duduk di depan sebuah meja. Ini
bentuk pemahaman awal dan dapat dijadikan sebagai acuan awal. Akan tetapi pemahaman
tersebut harus ditinggalkan nantinya, karena justru pada situasi seperti inilah si aku lirik
hendak menyembunyikan pertemuan yang dialami mereka berdua.
Baris ketiga terungkap objek lain yang masih berhubungan dengan objek meja, yaitu
vas besar dengan kembang-kembang. Baris ini juga mesti dipahami berdasarkan makna
denotatifnya. Artinya vas kembang dengan kembang-kembang lebih merujuk pada sebuah
benda yang dimaksudkan sebagai jambangan tempat bunga untuk hiasan di atas meja. Begitu
juga kembang-kembang mesti dipahami berdasarkan makna denotatifnya. Meski demikian,
terasa ada yang aneh jika kita memahami baris kedua ini merupakan bentuk makna yang
denotatif. Sebab jika kita kembali kepada bentuk pemahaman awal seperti telah disebutkan,
terasa ada yang janggal dengan penataan yang ada: mungkinkah sebuah vas besar diletakkan
di atas meja yang mana dapat mengganggu aktifitas orang yang akan menggunakan meja itu?
Seandainya itu meja restoran, barangkali yang lebih tepat diletakkan di atas meja adalah vas
kecil karena vas besar berpotensi mengganggu kenyamanan. Begitu juga seandainya itu meja
cafe, tentu vas besar dapat mengganggu peruntukannya bercakap-cakap dengan kawan
bicara. Tapi vas besar itu terletak di atas meja, dan penggambaran itu tidak dapat dimaknai
secara langsung. Artinya, si aku lirik hendak menyampaikan sesuatu dengan meletakkan
objek di tempat yang kurang semestinya.
Setelah pada baris-baris sebelumnya perhatian diarahkan kepada objek-objek yang
diungkap oleh aku lirik, pada baris keempat perhatian diarahkan kepada hubungan antar
objek tersebut. Pada baris ini terdapat objek kembang kertas yang dapat merujuk pada frasa
kembang-kembang sebagai atributnya. Kini diketahui ciri objek yang disebut pada baris
sebelumnya: kembang-kembang. Pemilihan objek kembang kertas mengesankan adanya
sesuatu yang tidak alami dalam puisi ini. Barangkali di tempat yang hendak diungkap dalam
puisi ini memang terdapat kembang kertas, tapi dengan mengangkat objek tersebut ke dalam
sebuah puisi dapat menghadirkan asosiasi makna yang berbeda: sebuah pemandangan yang
artifisial tengah hadir di hadapan.
Lebih jauh digambarkan bahwa kembang kertas ini memiliki daya hidup karena
keberadaannya digambarkan mampu menutupi pandang. Pada baris keempat ini terungkap
hubungan yang ada di antara subjek yang diwakili dengan kata mereka, yaitu adanya dua
orang saling berhadapan akan tetapi pandang mereka saling terhalang. Hubungan antara dua
subjek itu seolah-olah terpisah, padahal mereka bersama-sama di atas meja. Aneh, kenapa
pelayan restoran meletakkan vas besar di antara mereka? Lebih aneh lagi, dua subjek itu pada
akhir bait pertama digambarkan belum ada yang menyisihkannya. Bukankah seharusnya
mereka terganggu oleh keberadaan vas besar itu? Baris terakhir ini mengesankan keengganan
masing-masing subjek untuk menyisihkan sesuatu yang menghalangi mereka berdua.
Dalam hubungan antar objek yang ada pada baris pertama, keberadaan benda-benda
seperti meja dan vas bunga mengungkapkan letak atau posisi dari subjek-subjek yang
diwakili oleh kata mereka. Objek-objek tersebut seolah menjadi penanda jarak dalam
hubungan interaksi mereka. Penanda jarak ini dipertegas lagi pada baris kelima, di mana
masing-masing subjek enggan meniadakan jarak dengan tidak bertindak menyisihkannya.
Pada baris kedua perhatian bergeser pada masing-masing subjek. Katakanlah pada
bait pertama telah diketahui bahwa ada mereka di suatu tempat yang oleh aku lirik hendak
diungkap dalam puisinya. Pada bait kedua kita akan dibawa pada situasi interaksi yang
terjalin antara mereka berdua. Baris pertama kata dan pandanglah menunjukkan objek yang
digunakan oleh mereka untuk berinteraksi.
Sebagaimana halnya sebuah pertemuan antara dua orang di mana percakapan sangat
mungkin terjadi, kata dan pandang menjadi sarana untuk bangun percakapan. Akan tetapi
kalau bait pertama dipahami bahwa antara mereka berdua terdapat penanda jarak melalui
objek vas besar yang diletakkan di antara mereka, bagaimana kata dan pandang dapat
dijalin? Jika pandang bisa saja terjadi meski antara mereka tidak berada dalam jarak yang
berdekatan, lain halnya dengan kata; kata yang diucapkan seperti apa yang dapat meniadakan
jarak antara keduanya? Kata pada baris ini mesti dipahami sebagai kata yang lahir dari
sebuah percakapan, ataukah sebagai ungkapan lain dari bukankah setiap kali gelisah
kita/bicara tentang apa saja sebagaimana terungkap pada puisi Toeti Heraty lain yang
berjudul Pertemuan?
Sepertinya makna kata pada baris ini lebih dekat maknanya sebagaimana terungkap
dalam puisi berjudul Pertemuan, bukan sebagai kata yang lahir dari percakapan. Sebab pada
bagian ini percakapan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Mereka masih berada pada
situasi sebagaimana terungkap pada bait pertama.
Hal ini juga terungkap pada baris berikutnya yang menghadirkan lagi penanda jarak
yang ada pada bait pertama yang melintasi kembang. Jika diperhatikan baris-baris
sebelumnya, terdapat objek yang melakukan tindakan aktif positif seperti menutupi yang
dilakukan oleh kembang kertas; sedangkan subjek cenderung melakukan tindakan aktif
negatif menyisihkan karena tindakan itu diikuti oleh frasa belum ada. Dikatakan negatif
karena tindakan itu hadir tapi tidak terlaksana atau belum terlaksana, sebagai kebalikan dari
tindak positif.
Pada bait kedua baris kedua ini juga terdapat tindakan aktif positif yang dilakukan
oleh objek kata dan pandang. Objek-objek itu bergerak yang melintasi kembang. Sedang
mereka sebagai subjek sementara itu sembunyi diam karena/pertemuan yang terlampau
telanjang. Jika bait pertama tidak dipahami sebagaimana yang telah diungkapkan, maka
baris-baris sementara itu sembunyi diam akan terkesan janggal. Bukankah kata dan pandang
sudah melintasi kembang yang berarti memang percakapan itu sedang berlangsung? Ya, tapi
bagaimana dengan sementara itu sembunyi diam?
Keberadaan kembang kertas bagi mereka rupanya selain menutupi pandang juga
menjadi semacam tempat untuk sembunyi diam. Kita dapat bertanya, mengapa begitu alot
pertemuan yang terjadi? Tapi memang itulah yang hendak diungkap oleh Toeti Heraty.
Pertemuan antara siapa dengan siapa sebenarnya yang terjadi?
Situasi pertemuan yang meliputi mereka terungkap pada baris keempat bait kedua
pertemuan yang terlampau telanjang. Kata pertemuan sudah dapat diterka maknanya, tapi
bagaimana dengan kata telanjang yang mendapat penekanan lagi melalui kata terlampau.
Seperti apakah kata telanjang ini harus dimaknai? Pertemuan di mana masing-masing tidak
lagi merasa ada sesuatu yang perlu ditutupi untuk berdialog, atau pertemuan di mana
masing-masing akan saling mengungkap isi hati tanpa merasa malu?
Untuk dapat memaknai kata telanjang yang mendapat tekanan terlampau perlu
ditelusuri puisi lain yang juga mengangkat pertemuan sebagai tema. Hal ini dirasa perlu agar
kata telanjang itu mendapat tempat yang semestinya sebagai lambang tertentu yang
dihadirkan oleh Toeti Heraty. Sebab pertemuan seperti sudah disebutkan, mempunyai
tragedinya sendiri. Seperti pada puisi berjudul Saat-saat Gelap terungkap baris saat-saat
gelap pertemuan yang dapat menyaran pada situasi adanya pertemuan yang (dalam tanda
kutip) ‘disembunyikan’. Atau pada puisi berjudul Impasse pada larik kedua bayangan gelap
dalam kamar/amboi, tak ‘kan sampai pada pertemuan.
Pada petikan puisi-puisi tersebut menyiratkan bahwa pertemuan bagi aku lirik Toeti
Heraty bernuansa gelap dan tersembunyi. Oleh sebab itu harus dirahasiakan, ditutupi, dan
dikeramatkan. Tapi kini pada puisi berjudul Dialog yang terjadi sebaliknya, pertemuan itu
berlangsung secara telanjang bahkan ketelanjangan itu berada pada tingkatan terlampau.
Nampaknya situasi terlampau telanjang inilah yang menyebabkan mereka belum
berbuat menyisihkan objek-objek yang menutupi pertemuan mereka. Mungkin mereka merasa
malu atas pertemuan itu. Malu karena pertemuan itu tidak berlangsung pada kegelapan
malam yang dapat menyembunyikannya.
Ironis tersebut lebih kentara dengan mensejajarkan frasa dan tiba-tiba pada baris
kelima bait kedua. Sebab selain keterbukaannya, pertemuan itu juga terjadi secara tiba-tiba.
Atau meminjam istilah Toeti Heraty “inilah pertemuan yang dinanti-nanti/akhirnya lupa
untuk disadari” seperti terungkap pada puisi berjudul Pertemuan. Pensejajaran frasa dan tibatiba dengan terlampau telanjang memiliki hubungan makna yang dekat dengan baris-baris
pada puisi Pertemuan seperti yang telah disebutkan. Mereka terjekut dan malu. Akan tetapi
pertemuan itu harus diatasi oleh mereka berdua sebagaimana terungkap pada baris terakhir
bait kedua.
Bait ketiga menghadirkan nuansa berbeda dengan dua bait sebelumnya. Secara umum,
bait ketiga ini memiliki perbedaan bentuk dengan bait-bait lain dalam puisi ini. Bait ini ditulis
mulai dari lajur kiri tanpa ada indensi pada baris-baris sesudah baris pertama seperti pada bait
lain. Perbedaan bentuk ini dapat dipahami bahwa si aku lirik pada bait ini tengah
mengungkapkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak lalu hadir di antara mereka.
Baris pertama tak ada malam tapi bulan turut bicara mengungkap bahwa situasi di
mana pertemuan itu berlangsung di siang hari. Kata malam dan bulan pada baris ini mesti
dimaknai sebagaimana malam dan bulan pada pengalaman di dunia nyata, yaitu waktu di
mana matahari tak bersinar dan objek satelit bumi yang berada di angkasa pada waktu itu.
Makna ini merupakan makna yang ada pada teks puisi tersebut. Akan tetapi jika kita
baca puisi lain yang mengangkat tema pertemuan, akan tampak bahwa malam merupakan
simbol dari semacam tempat persembunyian. Baris pertemuan yang terlampau telanjang/dan
tiba-tiba/ ini segera harus diatasi dengan cara menyembunyikan pertemuan itu lewat
kegelapan malam. Nuansa malam yang dibangun melalui baris ini lebih mengungkap
fungsinya sebagai ‘penyembunyi’ daripada sebagai penanda waktu.
Baris berikutnya dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena mengungkap kehadiran
atribut lain dari malam. Pada baris ini terdapat sebuah kata kerja meluncur yang merupakan
tindakan dari subjek kerlap-kerlip bintang. Pertanyaannya adalah: meluncur ke mana subjek
dalam baris ini? Meluncur pergi yang mana berakibat pada ketiadaan eksistensinya ataukah
meluncur datang yang berakibat pada kehadiran eksistensinya? Tidak diungkap ke mana
meluncur nya. Akan tetapi jika dihubungkan dengan baris sebelumnya di mana nuansa
malam dihadirkan, maka meluncur pada baris ini dapat dimaknai sebagai meluncur hadir
bersama bulan. Nuansa malam yang dibangun menghadirkan objek-objek yang hanya
nampak pada malam hari, yaitu bulan dan kerlap-kerlip bintang.
Baris berikutnya kapal terlalu lancar tahu benar memiliki sebab-akibat dengan baris
sebelumnya. Kehadiran objek-objek pada baris sebelumnya merupakan akibat dari
keberadaan kapal pada baris ini. Kapal sebagai sarana untuk menjelajah lautan digambarkan
terlalu lancar. Tidak diketahui apakah kapal di sini menggunakan tenaga mesin ataukah
tenaga angin dengan layar terkembangnya, akan tetapi penggunaan kapal menunjukkan
adanya tingkat teknologi baru pada sarana penjelajah lautan ini. Ini berarti kapal pada baris
ini lebih dekat pada sebuah kapal motor ketimbang perahu layar. Sebuah kapal motor tentu
saja tidak lagi bergantung pada alam untuk mendorong lajunya. Dengan kata lain kecepatan
laju bergantung sepenuhnya pada diri kapal ini. Maka alam tidak lagi menjadi penghalang
bagi kapal ini, kecuali badai.
Tapi tidak ada badai dalam baris ini, juga pada puisi ini keseluruhan. Laut yang
tersirat dalam baris ini adalah laut yang tengah tenang. Yang menggelitik pertanyaan saya
adalah: kenapa tidak dipilih kata perahu yang dapat membawa asosiasi makna yang lebih
sendu? Karena baris-baris ini mencoba memutar estetika yang digaungkan oleh Chairil
Anwar. Secara sepintas akan dibahas hubungan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog dengan
puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.
Pembahasan ini dirasa perlu mengingat kedua puisi tersebut sama-sama mengangkat
tema tentang pertemuan. Selain itu kedua puisi tersebut juga menghadirkan nuansa kapal atau
perahu dan laut, juga bulan. Hubungan kedua puisi tersebut mengandaikan hubungan
intertekstual, di mana puisi Chairil dapat dianggap sebagai hipogram dari puisi Toeti Heraty.
Berikut akan dikutip sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh di Pulau.
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
(sumber: Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007).
Puisi Chairil di atas mengungkapkan kerinduan si aku lirik pada sosok gadis manis,
yang pada baris lain disebut sebagai si pacar. Rindu akan sebuah pertemuan. Kalau kita
perhatikan pada puisi Chairil di atas terdapat frasa seperti peralu melancar, bulan memancar,
angin membantu, laut terang pada bait kedua. Frasa-frasa tersebut mengungkap nuansa laut
yang tenang dan tepat untuk berlaut. Perlu diperhatikan pula, dalam sajak ini Chairil
menggunakan kata perahu yang berbeda dengan kapal seperti pada sajak Senja di Pelabuhan
Kecil di mana disebutkan Kapal, perahu tiada berlaut. Penggunaan kata perahu menyaran
pada adanya ketergantungan objek tersebut pada alam untuk melajukannya.
Akan tetapi keadaan yang tepat buat berlaut itu ternyata membawa kegelisahan pada
si aku lirik Chairil. Karena ternyata badai justru berlangsung di dalam batin aku lirik sebab
ternyata Ajal memanggil dulu. Pertemuan yang diandaikan melalui laju perahu di laut yang
terang dan tenang ternyata tidak terjadi.
Kebalikannnya, pada puisi Toeti Heraty kontras ditunjukkan melalui penggunaan kata
kapal di mana tidak lagi perlu angin membantu. Kata kapal ini mesti dipahami sebagai
kebalikan dari kata perahu pada sajak Chairil. Hal tersebut juga terungkap lewat penekanan
terlalu lancar. Jadi di sini angin membantu bukan lagi pertimbangan untuk melangsungkan
sebuah pertemuan. Seolah penekanan itu hendak meninggalkan perahu pada Sajak Chairil.
Kontras lain antara kedua puisi di atas adalah akhir dari pertemuan yang diandaikan.
Pada Chairil pertemuan yang diandaikan rupa-rupanya tidak pernah berlangsung. Sebab Ajal
memanggul dulu,/Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!. Sedangkan bagi Toeti Heraty
kapal dalam puisinya asing dari kegagalan. Dengan kata lain kapal tersebut selalu berhasil
mencapai maksudnya, yaitu melangsungkan sebuah pertemuan.
Demikian sepintas pembahasan intertekstual antara Sajak Chairil Anwar dan Toeti
Heraty. Mestinya pembahasan ini ditulis terpisah. Namun untuk kali ini, pembahasan ini
diselipkan dalam pembahasan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog khususnya bait ketiga
dengan harapan dapat tergali makna yang utuh dalam pembahasan kali ini. Untuk selanjutnya
fokus pembahasan akan kembali pada puisi Toeti Heraty.
Bait keempat merupakan bait terakhir dalam puisi ini. Setelah pada baris ketiga
bentuk topografi awal ditinggalkan, bentuk topografi pada bait keempat ini kembali
menggunakan pola seperti pada bait pertama dan kedua. Persamaan bentuk ini menyiratkan
bahwa yang hendak diungkap dalam bait ini adalah mereka yang sama seperti pada bait
pertama dan kedua. Akan tetapi keadaan kini telah berbeda seperti sebelumnya. Bait ketiga
seolah-olah menjadi pemisah. Ada sesuatu yang bergerak di bait ketiga, yang menyebabkan
nuansa pertemuan itu berubah pada bait keempat.
Baris pertama dimulai dengan di atas meja kini terang. Baris ini mengungkap frasa
yang sama dengan awal puisi. Akan tetapi sekarang telah menjadi terang. Kalau sebelumnya
disebutkan bahwa meja yang ada pada awal dan akhir ini bukanlah meja yang sama, kini
terbukti sudah. Entah meja siapa yang ditinggalkan, yang pasti sekarang kata dan pandang
tidak lagi terhalang oleh sebuah objek seperti pada bait kedua, tapi kini terang/dengan
kelangsungan kata dan pandang sebagaimana terungkap.
Begitu juga dengan baris-baris berikutnya bunga-bunga,/telah disingkirkan olehnya
menunjukkan nuansa yang berbeda dengan bait-bait awal. Akan tetapi yang patut
dpertanyakan adalah kata olehnya: siapakah yang dimaksud dengan –nya pada kata ini?
Kalau kita membayangkan pertemuan ini berlangsung antara seorang lelaki dan
perempuan¸siapakah di antara keduanya yang telah menyingkirkan bunga-bunga itu?
Saya lebih suka memaknainya sebagai keduanya. Sebagaimana judul puisi ini Dialog,
mengandaikan adanya percakapan antara dua orang, maka mereka dalam puisi ini diandaikan
saling menyingkirkan penghalang yang menutupi dialog mereka.
Surabaya, 23 maret 2016
Berjudul dialog
Puisi Toeti Heraty berjudul Dialog yang dipetik dari kumpulan puisi berjudul Mimpi
dan Pretensi cukup menarik untuk dibincangkan. Bukan hanya dari bentuk topografinya yang
unik, akan tetapi situasi yang coba diungkapkan melalui baris-baris kata menggugah emosi
pembaca (baca: penulis) untuk turut larut dalam situasi itu. Terlebih apabila puisi itu
diperbandingkan dengan puisi lain dari buku yang sama. Akan nampak betapa sebuah
pertemuan menghadirkan makna yang berbeda bagi mereka yang saling bertemu. Berikut
petikan pusi tersebut:
Dialog
di atas meja
antara mereka berdua
vas besar dengan kembang-kembang
kembang kertas menutupi pandang
belum ada yang menyisihkannya
kata dan pandanglah
yang melintasi kembang
sementara itu sembumyi diam karena
pertemuan yang terlampau telanjang
dan tiba-tiba
harus diatasi
tak ada malam tapi bulan turut bicara
dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena
kapal terlalu lancar tahu benar
apa yang dituju
asing dari kegagalan –
di atas meja kini terang
dengan kelangsungan kata dan pandang
bunga-bunga,
telah disingkirkan olehnya
juni ‘67
(sumber: Toeti Heraty. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: PT Balai Pustaka, 1982.)
Bagaimana makna sebuah pertemuan nampak misalnya pada puisi berjudul
Pertemuan misalnya terungkap bagaimana arti sebuah pertemuan bagi si aku lirik melalui
baris-baris “Sebenarnya lucu baru kini kita bertemu./lucu? sampai hati benar mengatakan
ini!/ini, adalah suatu tragedi –“. Melalui baris-baris itu terungkap paradoks pertemuan di
mana kawan temu aku lirik menganggap pertemuan itu lucu, yang bagi aku lirik adalah
tragedi. Pertemuan dengan siapa gerangan yang dapat menjadi tragedi? pertemuan yang
dinanti-nanti, pertemuan yang lupa untuk disadari, atau juga pertemuan yang terjadi dengan
tak disengaja. Pertemuan seperti itulah yang bagi si aku lirik merupakan tragedi. Sosok yang
selalu dinanti itu ternyata membawakan kegelisahan tersendiri bagi si aku lirik.
Tulisan ini bukanlah karangan yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu penulis tidak
mempergunakan acuan-acuan yang bersifat teoretis. Akan tetapi lebih merupakan hasil
pembacaan penulis atas puisi yang dimaksud. Dengan menuliskan pengalaman yang telah
diperoleh ini, penulis berharap dapat membagikan pengalamannya kepada pembaca. Juga
sebaliknya, kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam memahami puisi yang
dimaksud. Dengan begitu pengalaman yang didapat bisa semakin luas. Jadi mari sekarang
ijinkan penulis memulai pembahasan ini.
Pada bait pertama baris pertama puisi Dialog si aku lirik menghadirkan sebuah objek
ruang yang akan menjadi simpul dalam puisi ini, yaitu di atas meja. Dikatakan menjadi
sebuah simpul karena objek ini dihadirkan di awal bait pertama yang menjadi pembuka bagi
puisi ini dan bait terakhir yang menjadi penutup. Juga nuansa yang dihadirkan di bagian awal
sangat berbeda dengan bagian akhir. Sebab meja yang diungkap pada baris pertama ternyata
nanti bukanlah meja yang sama seperti yang terungkap pada bait terakhir.
Penggunaan kata tempat ‘di’ dimaksudkan untuk mengajak pembaca agar
mengarahkan perhatiannya pada tempat yang ditunjuk. Frasa di atas meja dalam hal ini lebih
menyaran makna yang bersifat denotatif, bukan merupakan lambang atau metafora tertentu.
Dengan kata lain di atas meja mesti dipahami sebagaimana bentuk referen meja dan di atas
sebagaimana wujudnya pada benda yang ada di dunia objek nyata dan ruang yang terletak di
atas nya.
Baris pertama ini seolah menjadi pintu masuk bagi bait pertama. Sebab baris-baris
berikutnya yang oleh aku lirik diletakkan dengan indensi yang lebih dalam seolah-olah
menunjukkan bahwa baris-baris tersebut merupakan turunan dari induknya di baris pertama.
Penyusunan topografi seperti ini tentu bertujuan untuk menciptakan efek puitik tertentu, yang
dalam hal ini dapat dimaknai sebagai turunan dari fokus perhatian yang hendak diungkap
oleh aku lirik.
Hal ini terasa tepat karena pada baris berikutnya aku lirik menulis antara mereka
berdua. Pada baris ini ada pergerakan dari dunia benda ke dunia yang bernyawa yang
diwakili oleh frasa mereke berdua. Objek pada baris pertama rupa-rupanya terletak antara
subjek yang hendak dikisahkan oleh si aku lirik dalam puisinya. Kemudian juga terungkap
adanya dua orang yang yang sama-sama bersinggungan dengan objek di atas meja. Yang
patut menjadi pertanyaan pada baris ini adalah kata antara; seperti apakah ruang yang hendak
diungkap dengan kata antara?
Pemahaman yang langsung ditangkap adalah situasi di mana terdapat dua orang
duduk berseberangan dalam satu meja yang sama. Mungkin di sebuah restoran atau cafe.
Tentunya sebuah tempat di mana seseorang dimungkinkan duduk di depan sebuah meja. Ini
bentuk pemahaman awal dan dapat dijadikan sebagai acuan awal. Akan tetapi pemahaman
tersebut harus ditinggalkan nantinya, karena justru pada situasi seperti inilah si aku lirik
hendak menyembunyikan pertemuan yang dialami mereka berdua.
Baris ketiga terungkap objek lain yang masih berhubungan dengan objek meja, yaitu
vas besar dengan kembang-kembang. Baris ini juga mesti dipahami berdasarkan makna
denotatifnya. Artinya vas kembang dengan kembang-kembang lebih merujuk pada sebuah
benda yang dimaksudkan sebagai jambangan tempat bunga untuk hiasan di atas meja. Begitu
juga kembang-kembang mesti dipahami berdasarkan makna denotatifnya. Meski demikian,
terasa ada yang aneh jika kita memahami baris kedua ini merupakan bentuk makna yang
denotatif. Sebab jika kita kembali kepada bentuk pemahaman awal seperti telah disebutkan,
terasa ada yang janggal dengan penataan yang ada: mungkinkah sebuah vas besar diletakkan
di atas meja yang mana dapat mengganggu aktifitas orang yang akan menggunakan meja itu?
Seandainya itu meja restoran, barangkali yang lebih tepat diletakkan di atas meja adalah vas
kecil karena vas besar berpotensi mengganggu kenyamanan. Begitu juga seandainya itu meja
cafe, tentu vas besar dapat mengganggu peruntukannya bercakap-cakap dengan kawan
bicara. Tapi vas besar itu terletak di atas meja, dan penggambaran itu tidak dapat dimaknai
secara langsung. Artinya, si aku lirik hendak menyampaikan sesuatu dengan meletakkan
objek di tempat yang kurang semestinya.
Setelah pada baris-baris sebelumnya perhatian diarahkan kepada objek-objek yang
diungkap oleh aku lirik, pada baris keempat perhatian diarahkan kepada hubungan antar
objek tersebut. Pada baris ini terdapat objek kembang kertas yang dapat merujuk pada frasa
kembang-kembang sebagai atributnya. Kini diketahui ciri objek yang disebut pada baris
sebelumnya: kembang-kembang. Pemilihan objek kembang kertas mengesankan adanya
sesuatu yang tidak alami dalam puisi ini. Barangkali di tempat yang hendak diungkap dalam
puisi ini memang terdapat kembang kertas, tapi dengan mengangkat objek tersebut ke dalam
sebuah puisi dapat menghadirkan asosiasi makna yang berbeda: sebuah pemandangan yang
artifisial tengah hadir di hadapan.
Lebih jauh digambarkan bahwa kembang kertas ini memiliki daya hidup karena
keberadaannya digambarkan mampu menutupi pandang. Pada baris keempat ini terungkap
hubungan yang ada di antara subjek yang diwakili dengan kata mereka, yaitu adanya dua
orang saling berhadapan akan tetapi pandang mereka saling terhalang. Hubungan antara dua
subjek itu seolah-olah terpisah, padahal mereka bersama-sama di atas meja. Aneh, kenapa
pelayan restoran meletakkan vas besar di antara mereka? Lebih aneh lagi, dua subjek itu pada
akhir bait pertama digambarkan belum ada yang menyisihkannya. Bukankah seharusnya
mereka terganggu oleh keberadaan vas besar itu? Baris terakhir ini mengesankan keengganan
masing-masing subjek untuk menyisihkan sesuatu yang menghalangi mereka berdua.
Dalam hubungan antar objek yang ada pada baris pertama, keberadaan benda-benda
seperti meja dan vas bunga mengungkapkan letak atau posisi dari subjek-subjek yang
diwakili oleh kata mereka. Objek-objek tersebut seolah menjadi penanda jarak dalam
hubungan interaksi mereka. Penanda jarak ini dipertegas lagi pada baris kelima, di mana
masing-masing subjek enggan meniadakan jarak dengan tidak bertindak menyisihkannya.
Pada baris kedua perhatian bergeser pada masing-masing subjek. Katakanlah pada
bait pertama telah diketahui bahwa ada mereka di suatu tempat yang oleh aku lirik hendak
diungkap dalam puisinya. Pada bait kedua kita akan dibawa pada situasi interaksi yang
terjalin antara mereka berdua. Baris pertama kata dan pandanglah menunjukkan objek yang
digunakan oleh mereka untuk berinteraksi.
Sebagaimana halnya sebuah pertemuan antara dua orang di mana percakapan sangat
mungkin terjadi, kata dan pandang menjadi sarana untuk bangun percakapan. Akan tetapi
kalau bait pertama dipahami bahwa antara mereka berdua terdapat penanda jarak melalui
objek vas besar yang diletakkan di antara mereka, bagaimana kata dan pandang dapat
dijalin? Jika pandang bisa saja terjadi meski antara mereka tidak berada dalam jarak yang
berdekatan, lain halnya dengan kata; kata yang diucapkan seperti apa yang dapat meniadakan
jarak antara keduanya? Kata pada baris ini mesti dipahami sebagai kata yang lahir dari
sebuah percakapan, ataukah sebagai ungkapan lain dari bukankah setiap kali gelisah
kita/bicara tentang apa saja sebagaimana terungkap pada puisi Toeti Heraty lain yang
berjudul Pertemuan?
Sepertinya makna kata pada baris ini lebih dekat maknanya sebagaimana terungkap
dalam puisi berjudul Pertemuan, bukan sebagai kata yang lahir dari percakapan. Sebab pada
bagian ini percakapan yang sesungguhnya belumlah berlangsung. Mereka masih berada pada
situasi sebagaimana terungkap pada bait pertama.
Hal ini juga terungkap pada baris berikutnya yang menghadirkan lagi penanda jarak
yang ada pada bait pertama yang melintasi kembang. Jika diperhatikan baris-baris
sebelumnya, terdapat objek yang melakukan tindakan aktif positif seperti menutupi yang
dilakukan oleh kembang kertas; sedangkan subjek cenderung melakukan tindakan aktif
negatif menyisihkan karena tindakan itu diikuti oleh frasa belum ada. Dikatakan negatif
karena tindakan itu hadir tapi tidak terlaksana atau belum terlaksana, sebagai kebalikan dari
tindak positif.
Pada bait kedua baris kedua ini juga terdapat tindakan aktif positif yang dilakukan
oleh objek kata dan pandang. Objek-objek itu bergerak yang melintasi kembang. Sedang
mereka sebagai subjek sementara itu sembunyi diam karena/pertemuan yang terlampau
telanjang. Jika bait pertama tidak dipahami sebagaimana yang telah diungkapkan, maka
baris-baris sementara itu sembunyi diam akan terkesan janggal. Bukankah kata dan pandang
sudah melintasi kembang yang berarti memang percakapan itu sedang berlangsung? Ya, tapi
bagaimana dengan sementara itu sembunyi diam?
Keberadaan kembang kertas bagi mereka rupanya selain menutupi pandang juga
menjadi semacam tempat untuk sembunyi diam. Kita dapat bertanya, mengapa begitu alot
pertemuan yang terjadi? Tapi memang itulah yang hendak diungkap oleh Toeti Heraty.
Pertemuan antara siapa dengan siapa sebenarnya yang terjadi?
Situasi pertemuan yang meliputi mereka terungkap pada baris keempat bait kedua
pertemuan yang terlampau telanjang. Kata pertemuan sudah dapat diterka maknanya, tapi
bagaimana dengan kata telanjang yang mendapat penekanan lagi melalui kata terlampau.
Seperti apakah kata telanjang ini harus dimaknai? Pertemuan di mana masing-masing tidak
lagi merasa ada sesuatu yang perlu ditutupi untuk berdialog, atau pertemuan di mana
masing-masing akan saling mengungkap isi hati tanpa merasa malu?
Untuk dapat memaknai kata telanjang yang mendapat tekanan terlampau perlu
ditelusuri puisi lain yang juga mengangkat pertemuan sebagai tema. Hal ini dirasa perlu agar
kata telanjang itu mendapat tempat yang semestinya sebagai lambang tertentu yang
dihadirkan oleh Toeti Heraty. Sebab pertemuan seperti sudah disebutkan, mempunyai
tragedinya sendiri. Seperti pada puisi berjudul Saat-saat Gelap terungkap baris saat-saat
gelap pertemuan yang dapat menyaran pada situasi adanya pertemuan yang (dalam tanda
kutip) ‘disembunyikan’. Atau pada puisi berjudul Impasse pada larik kedua bayangan gelap
dalam kamar/amboi, tak ‘kan sampai pada pertemuan.
Pada petikan puisi-puisi tersebut menyiratkan bahwa pertemuan bagi aku lirik Toeti
Heraty bernuansa gelap dan tersembunyi. Oleh sebab itu harus dirahasiakan, ditutupi, dan
dikeramatkan. Tapi kini pada puisi berjudul Dialog yang terjadi sebaliknya, pertemuan itu
berlangsung secara telanjang bahkan ketelanjangan itu berada pada tingkatan terlampau.
Nampaknya situasi terlampau telanjang inilah yang menyebabkan mereka belum
berbuat menyisihkan objek-objek yang menutupi pertemuan mereka. Mungkin mereka merasa
malu atas pertemuan itu. Malu karena pertemuan itu tidak berlangsung pada kegelapan
malam yang dapat menyembunyikannya.
Ironis tersebut lebih kentara dengan mensejajarkan frasa dan tiba-tiba pada baris
kelima bait kedua. Sebab selain keterbukaannya, pertemuan itu juga terjadi secara tiba-tiba.
Atau meminjam istilah Toeti Heraty “inilah pertemuan yang dinanti-nanti/akhirnya lupa
untuk disadari” seperti terungkap pada puisi berjudul Pertemuan. Pensejajaran frasa dan tibatiba dengan terlampau telanjang memiliki hubungan makna yang dekat dengan baris-baris
pada puisi Pertemuan seperti yang telah disebutkan. Mereka terjekut dan malu. Akan tetapi
pertemuan itu harus diatasi oleh mereka berdua sebagaimana terungkap pada baris terakhir
bait kedua.
Bait ketiga menghadirkan nuansa berbeda dengan dua bait sebelumnya. Secara umum,
bait ketiga ini memiliki perbedaan bentuk dengan bait-bait lain dalam puisi ini. Bait ini ditulis
mulai dari lajur kiri tanpa ada indensi pada baris-baris sesudah baris pertama seperti pada bait
lain. Perbedaan bentuk ini dapat dipahami bahwa si aku lirik pada bait ini tengah
mengungkapkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bergerak lalu hadir di antara mereka.
Baris pertama tak ada malam tapi bulan turut bicara mengungkap bahwa situasi di
mana pertemuan itu berlangsung di siang hari. Kata malam dan bulan pada baris ini mesti
dimaknai sebagaimana malam dan bulan pada pengalaman di dunia nyata, yaitu waktu di
mana matahari tak bersinar dan objek satelit bumi yang berada di angkasa pada waktu itu.
Makna ini merupakan makna yang ada pada teks puisi tersebut. Akan tetapi jika kita
baca puisi lain yang mengangkat tema pertemuan, akan tampak bahwa malam merupakan
simbol dari semacam tempat persembunyian. Baris pertemuan yang terlampau telanjang/dan
tiba-tiba/ ini segera harus diatasi dengan cara menyembunyikan pertemuan itu lewat
kegelapan malam. Nuansa malam yang dibangun melalui baris ini lebih mengungkap
fungsinya sebagai ‘penyembunyi’ daripada sebagai penanda waktu.
Baris berikutnya dan kerlap-kerlip bintang meluncur karena mengungkap kehadiran
atribut lain dari malam. Pada baris ini terdapat sebuah kata kerja meluncur yang merupakan
tindakan dari subjek kerlap-kerlip bintang. Pertanyaannya adalah: meluncur ke mana subjek
dalam baris ini? Meluncur pergi yang mana berakibat pada ketiadaan eksistensinya ataukah
meluncur datang yang berakibat pada kehadiran eksistensinya? Tidak diungkap ke mana
meluncur nya. Akan tetapi jika dihubungkan dengan baris sebelumnya di mana nuansa
malam dihadirkan, maka meluncur pada baris ini dapat dimaknai sebagai meluncur hadir
bersama bulan. Nuansa malam yang dibangun menghadirkan objek-objek yang hanya
nampak pada malam hari, yaitu bulan dan kerlap-kerlip bintang.
Baris berikutnya kapal terlalu lancar tahu benar memiliki sebab-akibat dengan baris
sebelumnya. Kehadiran objek-objek pada baris sebelumnya merupakan akibat dari
keberadaan kapal pada baris ini. Kapal sebagai sarana untuk menjelajah lautan digambarkan
terlalu lancar. Tidak diketahui apakah kapal di sini menggunakan tenaga mesin ataukah
tenaga angin dengan layar terkembangnya, akan tetapi penggunaan kapal menunjukkan
adanya tingkat teknologi baru pada sarana penjelajah lautan ini. Ini berarti kapal pada baris
ini lebih dekat pada sebuah kapal motor ketimbang perahu layar. Sebuah kapal motor tentu
saja tidak lagi bergantung pada alam untuk mendorong lajunya. Dengan kata lain kecepatan
laju bergantung sepenuhnya pada diri kapal ini. Maka alam tidak lagi menjadi penghalang
bagi kapal ini, kecuali badai.
Tapi tidak ada badai dalam baris ini, juga pada puisi ini keseluruhan. Laut yang
tersirat dalam baris ini adalah laut yang tengah tenang. Yang menggelitik pertanyaan saya
adalah: kenapa tidak dipilih kata perahu yang dapat membawa asosiasi makna yang lebih
sendu? Karena baris-baris ini mencoba memutar estetika yang digaungkan oleh Chairil
Anwar. Secara sepintas akan dibahas hubungan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog dengan
puisi Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau.
Pembahasan ini dirasa perlu mengingat kedua puisi tersebut sama-sama mengangkat
tema tentang pertemuan. Selain itu kedua puisi tersebut juga menghadirkan nuansa kapal atau
perahu dan laut, juga bulan. Hubungan kedua puisi tersebut mengandaikan hubungan
intertekstual, di mana puisi Chairil dapat dianggap sebagai hipogram dari puisi Toeti Heraty.
Berikut akan dikutip sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh di Pulau.
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
(sumber: Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007).
Puisi Chairil di atas mengungkapkan kerinduan si aku lirik pada sosok gadis manis,
yang pada baris lain disebut sebagai si pacar. Rindu akan sebuah pertemuan. Kalau kita
perhatikan pada puisi Chairil di atas terdapat frasa seperti peralu melancar, bulan memancar,
angin membantu, laut terang pada bait kedua. Frasa-frasa tersebut mengungkap nuansa laut
yang tenang dan tepat untuk berlaut. Perlu diperhatikan pula, dalam sajak ini Chairil
menggunakan kata perahu yang berbeda dengan kapal seperti pada sajak Senja di Pelabuhan
Kecil di mana disebutkan Kapal, perahu tiada berlaut. Penggunaan kata perahu menyaran
pada adanya ketergantungan objek tersebut pada alam untuk melajukannya.
Akan tetapi keadaan yang tepat buat berlaut itu ternyata membawa kegelisahan pada
si aku lirik Chairil. Karena ternyata badai justru berlangsung di dalam batin aku lirik sebab
ternyata Ajal memanggil dulu. Pertemuan yang diandaikan melalui laju perahu di laut yang
terang dan tenang ternyata tidak terjadi.
Kebalikannnya, pada puisi Toeti Heraty kontras ditunjukkan melalui penggunaan kata
kapal di mana tidak lagi perlu angin membantu. Kata kapal ini mesti dipahami sebagai
kebalikan dari kata perahu pada sajak Chairil. Hal tersebut juga terungkap lewat penekanan
terlalu lancar. Jadi di sini angin membantu bukan lagi pertimbangan untuk melangsungkan
sebuah pertemuan. Seolah penekanan itu hendak meninggalkan perahu pada Sajak Chairil.
Kontras lain antara kedua puisi di atas adalah akhir dari pertemuan yang diandaikan.
Pada Chairil pertemuan yang diandaikan rupa-rupanya tidak pernah berlangsung. Sebab Ajal
memanggul dulu,/Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!. Sedangkan bagi Toeti Heraty
kapal dalam puisinya asing dari kegagalan. Dengan kata lain kapal tersebut selalu berhasil
mencapai maksudnya, yaitu melangsungkan sebuah pertemuan.
Demikian sepintas pembahasan intertekstual antara Sajak Chairil Anwar dan Toeti
Heraty. Mestinya pembahasan ini ditulis terpisah. Namun untuk kali ini, pembahasan ini
diselipkan dalam pembahasan puisi Toeti Heraty berjudul Dialog khususnya bait ketiga
dengan harapan dapat tergali makna yang utuh dalam pembahasan kali ini. Untuk selanjutnya
fokus pembahasan akan kembali pada puisi Toeti Heraty.
Bait keempat merupakan bait terakhir dalam puisi ini. Setelah pada baris ketiga
bentuk topografi awal ditinggalkan, bentuk topografi pada bait keempat ini kembali
menggunakan pola seperti pada bait pertama dan kedua. Persamaan bentuk ini menyiratkan
bahwa yang hendak diungkap dalam bait ini adalah mereka yang sama seperti pada bait
pertama dan kedua. Akan tetapi keadaan kini telah berbeda seperti sebelumnya. Bait ketiga
seolah-olah menjadi pemisah. Ada sesuatu yang bergerak di bait ketiga, yang menyebabkan
nuansa pertemuan itu berubah pada bait keempat.
Baris pertama dimulai dengan di atas meja kini terang. Baris ini mengungkap frasa
yang sama dengan awal puisi. Akan tetapi sekarang telah menjadi terang. Kalau sebelumnya
disebutkan bahwa meja yang ada pada awal dan akhir ini bukanlah meja yang sama, kini
terbukti sudah. Entah meja siapa yang ditinggalkan, yang pasti sekarang kata dan pandang
tidak lagi terhalang oleh sebuah objek seperti pada bait kedua, tapi kini terang/dengan
kelangsungan kata dan pandang sebagaimana terungkap.
Begitu juga dengan baris-baris berikutnya bunga-bunga,/telah disingkirkan olehnya
menunjukkan nuansa yang berbeda dengan bait-bait awal. Akan tetapi yang patut
dpertanyakan adalah kata olehnya: siapakah yang dimaksud dengan –nya pada kata ini?
Kalau kita membayangkan pertemuan ini berlangsung antara seorang lelaki dan
perempuan¸siapakah di antara keduanya yang telah menyingkirkan bunga-bunga itu?
Saya lebih suka memaknainya sebagai keduanya. Sebagaimana judul puisi ini Dialog,
mengandaikan adanya percakapan antara dua orang, maka mereka dalam puisi ini diandaikan
saling menyingkirkan penghalang yang menutupi dialog mereka.
Surabaya, 23 maret 2016