PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU DI LINGKUNGAN KERJA Penyesuaian Diri Penyandang Tunarungu Di Lingkungan Kerja.
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU
DI LINGKUNGAN KERJA
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
Winda Puji Utami
F 100070169
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
1
2
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU
DI LINGKUNGAN KERJA
Winda Puji Utami
Zahrotul Uyun
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
E-mail: [email protected]
Abstraksi
Penyesuaian diri merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia untuk
mencapai kesuksesan baik dalam dunia akademis maupun pekerjaan, termasuk
penyandang tunarungu. Penyandang tuna rungu sebagai bagian dari masyarakat pada
kenyataannya masih ada yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri di
lingkungan kerja, karena keterbatasan fisiknya. Di sisi lain penyandang tunarungu
perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, penyandang
tunarungu perlu memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri di lingkungan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana cara
dan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada penyandang tunarungu di lingkungan
kerja.
Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive sampling. Informan
dalam penelitian ini antara lain : (1) Penyandang tunarungu yang telah bekerja
sebanyak tiga orang yang hanya dirinya sendiri sebagai penyandang tunarungu. (2)
Penyandang tunarungu yang telah bekerja dan pegawai lainnya normal
(berpendengaran baik). Informan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Guna
memudahkan dalam interpretasi, masing-masing informan dibantu oleh informan
pendukung. Jadi informan dalam penelitian ini ada 6 orang, 3 orang informan inti
dan 3 orang informan pendukung. Metode pengumpulan data dengan wawancara
dan observasi.
Kesimpulan hasil penelitian: (1) Cara penyesuaian diri tunarungu : Subjek
dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek sudah
memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek
mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah subjek
memahami kelemahan fisik dan menerima kelemahan tersebut, cara selanjutnya
yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima
masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja melalui
komunikasi verbal. (2) Bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja :
Cara subjek dengan introspeksi diri (pengukuran individual) dan feedback dari
teman dekat membentuk penyesuaian diri positif, karena tanda-tanda yang terdapat
pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, memiliki
pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai
pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.
Kata kunci: Penyesuaian diri di lingkungan kerja, penyandang tunarungu.
3
PENDAHULUAN
Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena
adanya keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat individu umumnya
kurang mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Adanya kecacatan
pendengaran otomatis berpengaruh langsung terhadap kemampuan tuna rungu dalam
berkomunikasi belum mendapat diperhatikan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dapat terjadi karena individu yang tuna rungu hidup hidup pada dua dunia, dunia
dalam dirinya dan dunia pada umumnya. Individu cenderung mengadakan kegiatan
internal dalam komunitas tuna rungu itu sendiri. Masyarakat umum tak bisa
mengakses informasi kegiatan tunarungu, sehingga tunarungu terkesan kelompok
yang eksklusif.
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2010
diperkirakan mencapai 234,2 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk pada
tahun 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa. Data dari sensus penduduk dan jumlah
penyandang tunarungu diperkirakan mencapai 1,25 % dari total jumlah penduduk
indonesia di tahun 2010 (Moh, 2011). Untuk wilayah Di kota Surakarta tahun 2010
dapat diketahui bahwa penyandang cacat tuna rungu di kota Surakarta sebanyaknya
225 orang, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyandang tuna mental yang
hanya 196 orang. Jumlah penyandang tuna rungu tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan penyandang tuna daksa dan tuna netra. Penjelasan tersebut dapat diketahui
melalui tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Jumlah penyandang cacat menurut jenisnya Di kota surakarta tahun 2010
Kecamatan Tuna Daksa Tuna Netra
Tuna Mental
Tuna Rungu
Laweyan
141
16
8
51
Serengan
52
36
34
17
Pasar
60
40
50
41
Kliwon
Jebres
104
111
43
73
Banjarsari
77
50
61
43
Jumlah
434
253
196
225
Sumber : Dinas Sosial Tenaga Kerjadan Transmigrasi kota Surakarta
Tuna dalam kehidupannya seperti manusia normal lainnya, yaitu bekerja
untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sesuai dengan pasal 14 UU nomor
1
4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, “Perusahaan negara dan swasta
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan
mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan
jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.”
Atas dasar bunyi pasal pasal 14 UU nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat, penyandang tuna netra berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan
pendidikan. Data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bahwa jumlah
tenaga kerja penyandang disabilitas pada tahun 2010 mencapai 7.126.409 orang
terdiri dari tuna netra 2.137.923 orang, tuna daksa 1.852.866 orang, tuna rungu
1.567.810 orang, cacat mental 712.641 orang dan cacat kronis sebanyak 855.169
orang (Sas, 2012)
Angka tersebut di atas membuktikan bahwa penyandang tuna rungu sudah
banyak yang yang memperoleh kesempatan kerja, Seperti halnya pada subjek
penelitian yang bekerja di perusahaan swasta.
Penyandang tunarungu yang telah memasuki dunia kerja, lebih di tuntut
untuk mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan barunya (kerja),
dimana hampir seluruh pekerja adalah orang dengar. Penyesuaian diri merupakan
faktor penting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesuksesan baik dalam
dunia akademis maupun pekerjaan. Penyandang tuna rungu yang bekerja diharapkan
memiliki penyesuaian diri tinggi, mengingat penyandang tuna rungu mempunyai
kesempatan yang sama dengan orang normal lainnya. Penyandang tuna rungu
memiliki kelemahan-kelemahan rangsang pendengaran, kemiskinan berbahasa,
ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi di dalam pergaulannya
memerlukan penyesuaian diri. Dengan penyesuaian diri, kepincangan berinteraksi
dengan
lingkungannya
tidak
akan
terjadi,
yang
pada
gilirannya
akan
mengembangkan kepribadian seseorang. Penyesuaian diri yang baik pada individu
akan berdampak penyesuaian sosial yang baik pula, dalam hubungan sosial ada
kemungkinan individu dapat menyesuaikan diri dengan yang lain atau sebaliknya.
Dijelaskan oleh Sobur (2003) bahwa individu yang mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan diawali dari kemampuan individu dalam menerima keadaan
dirinya, mampu menjalin komunikasi dengan orang lain, dan mampu mengatasi
2
konflik yang terjadi sehubungan dengan orang lain. Kemampuan penyesuaian diri
yang dilakukan individu mampu membuat individu merasa nyaman di
lingkungannya. Haber dan Runyon (dalam Ulfatusholiat, 2010) berpendapat bahwa
penyesuaian diri ditandai dengan seberapa baik individu mampu menghadapi situasi
serta kondisi yang selalu berubah, dimana seseorang merasa sesuai dengan
lingkungan dan merasa mendapatkan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya.
Terdapat lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif, yaitu: persepsi yang akurat
tentang realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, memiliki citra diri (self
image) yang positif, mampu mengekspresikan kenyataan, memiliki hubungan
interpersonal yang baik
Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua penyandang tuna runggu yang
bekerja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini juga terjadi pada
sujek penelitian yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
kerja. Dari hasil wawancara diketahui bahwa individu mengalami kesulitan dalam
melakukan komunikasi dengan teman kerja, individu menarik diri dari pergaulan
dengan teman kerja, dan individu merasa rendah diri saat bekerja. Akibat dari sikap
dan perilaku tersebut berdampak pada subjek kurang mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan kerjanya, sehingga subjek hanya memiliki sedikit teman di
tempat kerja. Dari kenyataan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa secara
nyata penyandang tunarungu perlu bersosialisasi dengan lingkungan, khususnya di
lingkungan kerja.
Dampak dari ketunarunguannya menghambat berkomunikasi, sehingga
mempengaruhi psikologi dan sosialnya. Aspek psikologis dan sosial, semua ini akan
muncul apabila penyandang
tunarungu telah berinteraksi dengan lingkungan,
sehingga didalam menghadapi hidup ini penyandang tunarungu merasa asing dari
lingkungan sosialnya. Ini disebabkan karena penyandang tunarungu kurang atau
tidak dapat merespon perintah-perintah secara verbal yang meliputi kepada
kekurangan dalam penguasaan bahasa sehingga fokus pemikirannya juga terbatas,
sehingga semua ini dapat mengakibatkan kemunduran untuk bersoialisasi (Sutjihati
2006)
Sutjihati (2006) menjelaskan bahwa penyandang
tuna rungu terhambat
perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara individu tuna
3
rungu dengan orang lain. Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau
perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor individu sendiri.
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri penyandang tuna rungu yaitu
ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan tuna rungu
berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan
sikap lingkungan terhadap individu menghambat perkembangan kepribadiannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Delphie (2006) bahwa penyandang-penyandang
tuli lebih banyak memiliki masalah dalam kehidupan. Hal ini tergantung pada sejauh
mana lingkungan dapat menerima keadaan individu, terutama respon orang tua dan
keluarga guna mendukung anggota keluarganya yang menyandang tuna rung untuk
memasuki dunia kerja.
Penelitian ini dilakukan karena masih jarang penelitian tentang penyandang
tunarungu yang termasuk dalam psikologi sosial, kemudian agar masyarakat dan
tunarungu mampu melakukan penyesuian diri, dengan demikian pentingnya
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tunarungu dapat menyesuaikan
diri dengan lingkunganya terutama dalam lingkungan kerja, agar tunarungu
mendapat kesempatan kerja yang sama dengan orang dengar lain.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana cara
dan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada penyandang tunarungu di lingkungan
kerja.
PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam studi ini dan sekaligus
menjadi pokok persoalan atau fokus penelitian ini yaitu:
1.
Bagaimanakah cara penyesuaian diri tunarungu baik pribadi maupun di
lingkungan kerja ?
2.
Bagaimanakah bentuk-bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja?
METODE PENELITIAN
Gejala penelitian yang menjadi fokus pembahasan dan hendak diungkap
dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri penyandang tunarungu di lingkungan
kerja yang pegawai lain adalah normal (berpendengaran baik).
4
Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive sampling yaitu
pemilihan informan dengan menggunakan kriteria ataupun ciri-ciri yang telah
ditentukan sebelumnya. Informan dalam penelitian ini antara lain :
1.
Penyandang tunarungu yang telah bekerja.
2.
Lama bekerja minimal 1 tahun di lingkungan kerja yang pegawai lainnya
normal (berpendengaran baik).
Berdasarkan pada kedua karakteristik tersebut, informan dalam penelitian ini
berjumlah 3 orang. Guna memudahkan dalam interpretasi, masing-masing informan
dibantu oleh informan pendukung. Jadi informan dalam penelitian ini ada 6 orang, 3
orang informan inti dan 3 orang informan pendukung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyesuaian diri merupakan keharusan bagi setiap manusia yaitu suatu
proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan
individu
berusaha
menanggulangi
kebutuhan-kebutuhan,
tegangan-tegangan,
frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan
batin dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakannya di dunia. Kegagalan dalam
menyesuaikan diri seringkali ditentukan oleh hubungan kapasitas individu dalam
menyesuaikan diri dan kualitas dari tuntutan yang dikenakan padanya (Seimun,
2006).
Penyandang tunarungu adalah bagian dari kesatuan sosial. Karena adanya
keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat mereka umumnya kurang
mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Secara umum, aspek
perkembangan manusia dapat dibedakan menjadi aspek psikologis dan fisik. Aspek
fisik merupakan aspek yang paling berkembang dan perlu dikembangkan oleh
individu, bagi penyandang tunarungu, potensi tersebut tidak utuh karena ada bagian
tubuh yang tidak sempurna (Sutjihati, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh 3 penyandang tunarungu
yang menjadi subjek dalam penelitian ini diketahui mampu menyesuaikan diri
pribadi. Wasito dkk., (2010) menjelaskan bahwa individu yang mampu
menyesuaikan diri pribadinya ada beberapa cara yang mencerminkan penyesuaian
diri efektif, yaitu : (1) Mampu melihat kenyataan yang sebagaimana adanya, (2)
5
Mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas, (3) Mempunyai konsep diri yang
positif, (4) Mampu mengekspresikan emosi secara positif, (5) Mempunyai hubungan
antar pribadi yang baik.
Berdasarkan pada pendapat tersebut, cara yang ada pada ketiga subjek dalam
penyesuaian dirinya pribadi, yaitu:
1.
Cara subjek pertama dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi
diri. Subjek sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami
pekerjaan, subjek mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan
pembeli. Setelah memahami keadaan, cara kedua yang dilakukan subjek yaitu
mampu melakukan feedback, subjek mau menerima masukan dan saran dari
rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja. Dari penjelasan dapat
diketahui bahwa subjek memiliki bentuk penyesuaian diri positif, karena tandatanda yang terdapat pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi
pribadi, memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam
belajar, menghargai pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.
2.
Cara penyesuaian diri di lingkungan kerja dilakukan oleh subjek kedua dengan
cara introspeksi diri, subjek mampu melihat kenyataan bahwa dirinya tuli,
mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas dengan bersikap seperti orang
normal (dengar), mempunyai konsep diri yang positif dalam bekerja, mampu
mengekspresikan emosi secara positif dengan bercanda bersama rekan kerja.
Cara kedua melakukan feddback dengan rekan kerja dengan cara bertanya
tentang pekerjaan yang belum dipahami. Kemampuan kedua penyesuaian
tersebut berpengaruh terhadap bentuk penyesuaian diri subjek sebagai individu
yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif.
3.
Cara subjek ketiga dalam penyesuaian diri di lingkungan kerja dengan cara
mampu melihat kenyataan yang sebagaimana adanya bahwa dirinya tuli,
mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas dengan cara melalui usahausaha memahami pekerjaan, mempunyai konsep diri yang positif dalam bekerja
(mampu introspeksi diri). Cara kedua yang dilakukan subjek ketiga yaitu
mampu menjalin hubungan antar pribadi yang baik dengan teman dan rekan
kerja dengan cara belajar untuk memahami pekerjaan (feedback dengan teman
6
kerja). Kemampuan kedua penyesuaian tersebut berpengaruh terhadap bentuk
penyesuaian diri subjek bersifat positif.
Menurut Seimun (2006) kegagalan dalam menyesuaikan diri seringkali
ditentukan oleh hubungan kapasitas individu dalam menyesuaikan diri. Hal yang
paling dasar adalah penyandang tunarungu harus terlebih dahulu mampu menerima
ketulian mereka, karena dengan mampu menerima ketulian yang mereka alami
mereka mampu menyadari potensi yang dimiliki, sehingga menghilangkan rasa
minder dan mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik. Ini sesuai dengan
pernyataan Wall (1999) bahwa kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri
sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan
sekitarnya. Hal ini disebabkan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik
adalah orang yang memiliki respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan
sehat.
Kemampuan subjek dalam menyesuaikan diri pribadi karena subjek menilai
dirinya secara positif. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa individu dengan penilaian
positif terhadap dirinya akan menyukai dan menerima keadaan dirinya sehingga
akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi
sosial secara tepat. Rasa percaya diri dan harga diri yang tumbuh seiring dengan
adanya keyakinan terhadap kemampuan dirinya membuat individu cenderung tampil
lebih aktif dan terbuka dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Relasi
sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan melakukan apa
yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan
dengan keadaan lingkungan. Sebaliknya, individu dengan konsep diri negatif adalah
individu yang mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya, ia menilai dirinya
sebagai figur yang mengecewakan. Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan
mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan cenderung mengembangkan
perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang percaya diri. Individu merasa tidak
percaya diri ketika harus berpartisipasi dalam suatu aktivitas sosial dan memulai
hubungan baru dengan orang lain. Penolakan diri juga dapat memicu munculnya
sikap agresif dan perilaku negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang
tertarik untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
7
Selain penilaian positif terhadap diri subjek sendiri, subjek mampu
mengatasi ketegangan dan konflik yang ada dalam diri. Schneider (dalam Wasito
dkk, 2010) berpendapat bahwa penyesuaian diri adalah usaha individu untuk
berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi yang dialami
didalam dirinya. Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan
dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungan. Individu mampu menjalin hubungan dengan orang lain karena mampu
mengatasi ketegangan yang muncul dan mampu menyelesaikan permasalahan.
Ketiga subjek yang mampu instrospeksi dengan memahami kelemahan yang
dimiliki, mampu menekan atau mengontrol emosi, dan memiliki konsep diri positif
berpengaruh terhadap penyesuaian diri di lingkungan tempat kerja. Ada dua yang
mendukung ketiga subjek dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan kerja,
yaitu dukungan dari pimpinan dan dukungan dari rekan kerja.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yusuf (2008) menunjukkan
bahwa individu dengan tingkat inteligensi tinggi akan menunjukkan penyesuaian
sosial yang lebih baik tanpa melihat perbedaan jenis kelaminnya. Sependapat
dengan pernyataan di atas, Schneiders (dalam Wasito, 2010) menyatakan bahwa
individu dengan tingkat inteligensi tinggi cenderung akan bereaksi secara tepat
terhadap situasi sosial yang dihadapi (lingkungan kerja), sebab inteligensi
berhubungan dengan pengaturan diri (self-regulation) dan realisasi diri (selfrealization). Pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengatur diri dan
mengarahkan diri dalam menghadapi situasi sulit, konflik, dan frustrasi, sehingga
dapat mencari jalan keluar secara tepat, efektif, dan efisien.
Kemampuan subjek untuk menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang
cukup besar pada keadaan subjek untuk memberikan respon pada setiap keadaan
yang dihadapi. Subjek yang memiliki penyesuaian yang baik akan mampu
menghadapi keadaan yang sulit dengan penyelesaian yang positif di lingkungan
tempat kerja.
Subjek tunarungu mempunyai persepsi yang realistis tentang dunia kerja,
misalnya, subjek tunarungu sudah bisa menentukan pilihan yang dianggap baik bagi
dirinya, subjek tunarungu dapat menghubungkan dengan dunia kerja dengan
keadaan dirinya. Sikap subjek-subjek tunarungu sangat baik terbukti dapat bergaul,
8
berpartisifasi mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial dan
lingkungan
tempat
kerja,
serta
dapat
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilan kerja.
Ketiga subjek dalam penyesuaian diri melalui cara instrospeksi diri dan
feedback dengan teman kerja atau pimpinan berpengaruh terhadap bentuk
penyesuaian diri subjek sebagai individu yang memiliki yang mampu melakukan
penyesuaian diri secara positif.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Richardson dan McCabe (2001) bahwa
penyesuaian diri positif, yaitu saat seseorang berhasil menyesuaikan dirinya secara
positif, maka akan muncul beberapa tanda-tanda: Tidak menunjukkan ketegangan
emosi, Tidak menujukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis,
menunjukkan adanya frustasi pribadi,
Tidak
Memiliki pertimbangan rasional dan
pengarahan diri, Mampu dalam belajar, Menghargai pengalaman, dan Bersikap
realistik dan obyektif.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan data dari hasil analisis dan pembahasan penelitian maka dapat
disimpulkan:
a.
Cara penyesuaian diri tunarungu
Subjek dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek
sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek
mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah subjek
memahami kelemahan fisik dan menerima kelemahan tersebut, cara selanjutnya
yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima
masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja melalui
komunikasi verbal.
b. Bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja
Cara subjek dengan introspeksi diri (pengukuran individual) dan feedback
dari teman dekat membentuk penyesuaian diri positif, karena tanda-tanda yang
terdapat pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, memiliki
9
pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai
pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.
2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran penelitian ini
adalah :
a.
Untuk informan
Bagi informan tunarungu diharapkan mempertahankan cara-cara yang telah
digunakan
untuk
melakukan
menyesuaian
diri.
Adapun
cara
untuk
mempertahankannya yaitu informan disarankan belajar tentang bahasa tulisan
(SPOK), sehingga mampu menulis dan membaca dengan baik agar penyandang
tunarungu mampu melakukan komunikasi dengan orang lain sebagai salah satu
faktor dalam penyesuaian diri.
b. Untuk Perusahaan Tempat Kerja Informan
Bagi perusahaan yang menerima karyawan dengan kelemahan fisik
tunarungu diharapkan mampu memberikan masukan dan saran yang mudah
dipahami oleh karyawan penyandang tunarungu dengan cara sering mengajak
berbicara pada karyawan penyandang tuli tentang pekerjaan, menghargai kerja
penyandang tunarungu yang berprestasi
dengan memberikan pujian, memberi
kesempatan kepada karyawan penyandang tunarungu untuk mengemukakan ideidenya.
DAFTAR PUSTAKA
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda . Jakarta: Grasindo.
Delphie, B. 2006. Pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Bandung Refika
Aditama.
Hurlock, B.E. 1999. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang
rentang Kehidupan) Edisi keempat. Jakarta : Erlangga.
Moh. 2011. Penyandang Cacat Di Indonesia. www.kompas.com, diakses tanggal 211-2012
10
Sas. 2012. Pemerintah Perlu Memperhatikan Penyandang Cacat Tubuh dalam Dunia
Kerja. http://ekonomi.inilah.com, diakses tanggal 20-12-2012
Seimun, Y. 2006. Kesehatan Mental (Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian
Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-teori yang Terkait). Yogyakarta:
Kanisius.
Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung : Alfabeta.
Sutjihati, S. 2006. Psikologi anak luar biasa . Bandung: PT. Refika Aditama
Wasito, D.R., Dwi Sarwindah S, dan Sulistiani, W. 2010. Penyesuaian Sosial
Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum. INSAN Vol. 12
No. 03, Hal. 138-152.
Wall, W.D. 1999. Pendidikan Konstruktif Bagi Kelompok Khusus: Anak-anak Cacat
dan yang Menyimpang. Jakarta: Balai Pustaka.
11
DI LINGKUNGAN KERJA
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
Winda Puji Utami
F 100070169
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
1
2
PENYESUAIAN DIRI PENYANDANG TUNARUNGU
DI LINGKUNGAN KERJA
Winda Puji Utami
Zahrotul Uyun
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
E-mail: [email protected]
Abstraksi
Penyesuaian diri merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia untuk
mencapai kesuksesan baik dalam dunia akademis maupun pekerjaan, termasuk
penyandang tunarungu. Penyandang tuna rungu sebagai bagian dari masyarakat pada
kenyataannya masih ada yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri di
lingkungan kerja, karena keterbatasan fisiknya. Di sisi lain penyandang tunarungu
perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu, penyandang
tunarungu perlu memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri di lingkungan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana cara
dan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada penyandang tunarungu di lingkungan
kerja.
Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive sampling. Informan
dalam penelitian ini antara lain : (1) Penyandang tunarungu yang telah bekerja
sebanyak tiga orang yang hanya dirinya sendiri sebagai penyandang tunarungu. (2)
Penyandang tunarungu yang telah bekerja dan pegawai lainnya normal
(berpendengaran baik). Informan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Guna
memudahkan dalam interpretasi, masing-masing informan dibantu oleh informan
pendukung. Jadi informan dalam penelitian ini ada 6 orang, 3 orang informan inti
dan 3 orang informan pendukung. Metode pengumpulan data dengan wawancara
dan observasi.
Kesimpulan hasil penelitian: (1) Cara penyesuaian diri tunarungu : Subjek
dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek sudah
memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek
mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah subjek
memahami kelemahan fisik dan menerima kelemahan tersebut, cara selanjutnya
yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima
masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja melalui
komunikasi verbal. (2) Bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja :
Cara subjek dengan introspeksi diri (pengukuran individual) dan feedback dari
teman dekat membentuk penyesuaian diri positif, karena tanda-tanda yang terdapat
pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, memiliki
pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai
pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.
Kata kunci: Penyesuaian diri di lingkungan kerja, penyandang tunarungu.
3
PENDAHULUAN
Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena
adanya keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat individu umumnya
kurang mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Adanya kecacatan
pendengaran otomatis berpengaruh langsung terhadap kemampuan tuna rungu dalam
berkomunikasi belum mendapat diperhatikan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dapat terjadi karena individu yang tuna rungu hidup hidup pada dua dunia, dunia
dalam dirinya dan dunia pada umumnya. Individu cenderung mengadakan kegiatan
internal dalam komunitas tuna rungu itu sendiri. Masyarakat umum tak bisa
mengakses informasi kegiatan tunarungu, sehingga tunarungu terkesan kelompok
yang eksklusif.
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2010
diperkirakan mencapai 234,2 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk pada
tahun 2000 yang mencapai 205,1 juta jiwa. Data dari sensus penduduk dan jumlah
penyandang tunarungu diperkirakan mencapai 1,25 % dari total jumlah penduduk
indonesia di tahun 2010 (Moh, 2011). Untuk wilayah Di kota Surakarta tahun 2010
dapat diketahui bahwa penyandang cacat tuna rungu di kota Surakarta sebanyaknya
225 orang, lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penyandang tuna mental yang
hanya 196 orang. Jumlah penyandang tuna rungu tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan penyandang tuna daksa dan tuna netra. Penjelasan tersebut dapat diketahui
melalui tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Jumlah penyandang cacat menurut jenisnya Di kota surakarta tahun 2010
Kecamatan Tuna Daksa Tuna Netra
Tuna Mental
Tuna Rungu
Laweyan
141
16
8
51
Serengan
52
36
34
17
Pasar
60
40
50
41
Kliwon
Jebres
104
111
43
73
Banjarsari
77
50
61
43
Jumlah
434
253
196
225
Sumber : Dinas Sosial Tenaga Kerjadan Transmigrasi kota Surakarta
Tuna dalam kehidupannya seperti manusia normal lainnya, yaitu bekerja
untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sesuai dengan pasal 14 UU nomor
1
4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, “Perusahaan negara dan swasta
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan
mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan
jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.”
Atas dasar bunyi pasal pasal 14 UU nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang
cacat, penyandang tuna netra berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan
pendidikan. Data dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bahwa jumlah
tenaga kerja penyandang disabilitas pada tahun 2010 mencapai 7.126.409 orang
terdiri dari tuna netra 2.137.923 orang, tuna daksa 1.852.866 orang, tuna rungu
1.567.810 orang, cacat mental 712.641 orang dan cacat kronis sebanyak 855.169
orang (Sas, 2012)
Angka tersebut di atas membuktikan bahwa penyandang tuna rungu sudah
banyak yang yang memperoleh kesempatan kerja, Seperti halnya pada subjek
penelitian yang bekerja di perusahaan swasta.
Penyandang tunarungu yang telah memasuki dunia kerja, lebih di tuntut
untuk mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan barunya (kerja),
dimana hampir seluruh pekerja adalah orang dengar. Penyesuaian diri merupakan
faktor penting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kesuksesan baik dalam
dunia akademis maupun pekerjaan. Penyandang tuna rungu yang bekerja diharapkan
memiliki penyesuaian diri tinggi, mengingat penyandang tuna rungu mempunyai
kesempatan yang sama dengan orang normal lainnya. Penyandang tuna rungu
memiliki kelemahan-kelemahan rangsang pendengaran, kemiskinan berbahasa,
ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi di dalam pergaulannya
memerlukan penyesuaian diri. Dengan penyesuaian diri, kepincangan berinteraksi
dengan
lingkungannya
tidak
akan
terjadi,
yang
pada
gilirannya
akan
mengembangkan kepribadian seseorang. Penyesuaian diri yang baik pada individu
akan berdampak penyesuaian sosial yang baik pula, dalam hubungan sosial ada
kemungkinan individu dapat menyesuaikan diri dengan yang lain atau sebaliknya.
Dijelaskan oleh Sobur (2003) bahwa individu yang mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan diawali dari kemampuan individu dalam menerima keadaan
dirinya, mampu menjalin komunikasi dengan orang lain, dan mampu mengatasi
2
konflik yang terjadi sehubungan dengan orang lain. Kemampuan penyesuaian diri
yang dilakukan individu mampu membuat individu merasa nyaman di
lingkungannya. Haber dan Runyon (dalam Ulfatusholiat, 2010) berpendapat bahwa
penyesuaian diri ditandai dengan seberapa baik individu mampu menghadapi situasi
serta kondisi yang selalu berubah, dimana seseorang merasa sesuai dengan
lingkungan dan merasa mendapatkan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya.
Terdapat lima karakteristik penyesuaian diri yang efektif, yaitu: persepsi yang akurat
tentang realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, memiliki citra diri (self
image) yang positif, mampu mengekspresikan kenyataan, memiliki hubungan
interpersonal yang baik
Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua penyandang tuna runggu yang
bekerja mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini juga terjadi pada
sujek penelitian yang kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
kerja. Dari hasil wawancara diketahui bahwa individu mengalami kesulitan dalam
melakukan komunikasi dengan teman kerja, individu menarik diri dari pergaulan
dengan teman kerja, dan individu merasa rendah diri saat bekerja. Akibat dari sikap
dan perilaku tersebut berdampak pada subjek kurang mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan kerjanya, sehingga subjek hanya memiliki sedikit teman di
tempat kerja. Dari kenyataan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa secara
nyata penyandang tunarungu perlu bersosialisasi dengan lingkungan, khususnya di
lingkungan kerja.
Dampak dari ketunarunguannya menghambat berkomunikasi, sehingga
mempengaruhi psikologi dan sosialnya. Aspek psikologis dan sosial, semua ini akan
muncul apabila penyandang
tunarungu telah berinteraksi dengan lingkungan,
sehingga didalam menghadapi hidup ini penyandang tunarungu merasa asing dari
lingkungan sosialnya. Ini disebabkan karena penyandang tunarungu kurang atau
tidak dapat merespon perintah-perintah secara verbal yang meliputi kepada
kekurangan dalam penguasaan bahasa sehingga fokus pemikirannya juga terbatas,
sehingga semua ini dapat mengakibatkan kemunduran untuk bersoialisasi (Sutjihati
2006)
Sutjihati (2006) menjelaskan bahwa penyandang
tuna rungu terhambat
perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara individu tuna
3
rungu dengan orang lain. Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau
perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor individu sendiri.
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri penyandang tuna rungu yaitu
ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan tuna rungu
berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan
sikap lingkungan terhadap individu menghambat perkembangan kepribadiannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Delphie (2006) bahwa penyandang-penyandang
tuli lebih banyak memiliki masalah dalam kehidupan. Hal ini tergantung pada sejauh
mana lingkungan dapat menerima keadaan individu, terutama respon orang tua dan
keluarga guna mendukung anggota keluarganya yang menyandang tuna rung untuk
memasuki dunia kerja.
Penelitian ini dilakukan karena masih jarang penelitian tentang penyandang
tunarungu yang termasuk dalam psikologi sosial, kemudian agar masyarakat dan
tunarungu mampu melakukan penyesuian diri, dengan demikian pentingnya
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tunarungu dapat menyesuaikan
diri dengan lingkunganya terutama dalam lingkungan kerja, agar tunarungu
mendapat kesempatan kerja yang sama dengan orang dengar lain.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana cara
dan bentuk-bentuk penyesuaian diri pada penyandang tunarungu di lingkungan
kerja.
PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam studi ini dan sekaligus
menjadi pokok persoalan atau fokus penelitian ini yaitu:
1.
Bagaimanakah cara penyesuaian diri tunarungu baik pribadi maupun di
lingkungan kerja ?
2.
Bagaimanakah bentuk-bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja?
METODE PENELITIAN
Gejala penelitian yang menjadi fokus pembahasan dan hendak diungkap
dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri penyandang tunarungu di lingkungan
kerja yang pegawai lain adalah normal (berpendengaran baik).
4
Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive sampling yaitu
pemilihan informan dengan menggunakan kriteria ataupun ciri-ciri yang telah
ditentukan sebelumnya. Informan dalam penelitian ini antara lain :
1.
Penyandang tunarungu yang telah bekerja.
2.
Lama bekerja minimal 1 tahun di lingkungan kerja yang pegawai lainnya
normal (berpendengaran baik).
Berdasarkan pada kedua karakteristik tersebut, informan dalam penelitian ini
berjumlah 3 orang. Guna memudahkan dalam interpretasi, masing-masing informan
dibantu oleh informan pendukung. Jadi informan dalam penelitian ini ada 6 orang, 3
orang informan inti dan 3 orang informan pendukung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyesuaian diri merupakan keharusan bagi setiap manusia yaitu suatu
proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan
individu
berusaha
menanggulangi
kebutuhan-kebutuhan,
tegangan-tegangan,
frustasi-frustasi, dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan
batin dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakannya di dunia. Kegagalan dalam
menyesuaikan diri seringkali ditentukan oleh hubungan kapasitas individu dalam
menyesuaikan diri dan kualitas dari tuntutan yang dikenakan padanya (Seimun,
2006).
Penyandang tunarungu adalah bagian dari kesatuan sosial. Karena adanya
keterbatasan atau kekurangan pada fisiknya, membuat mereka umumnya kurang
mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar. Secara umum, aspek
perkembangan manusia dapat dibedakan menjadi aspek psikologis dan fisik. Aspek
fisik merupakan aspek yang paling berkembang dan perlu dikembangkan oleh
individu, bagi penyandang tunarungu, potensi tersebut tidak utuh karena ada bagian
tubuh yang tidak sempurna (Sutjihati, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh 3 penyandang tunarungu
yang menjadi subjek dalam penelitian ini diketahui mampu menyesuaikan diri
pribadi. Wasito dkk., (2010) menjelaskan bahwa individu yang mampu
menyesuaikan diri pribadinya ada beberapa cara yang mencerminkan penyesuaian
diri efektif, yaitu : (1) Mampu melihat kenyataan yang sebagaimana adanya, (2)
5
Mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas, (3) Mempunyai konsep diri yang
positif, (4) Mampu mengekspresikan emosi secara positif, (5) Mempunyai hubungan
antar pribadi yang baik.
Berdasarkan pada pendapat tersebut, cara yang ada pada ketiga subjek dalam
penyesuaian dirinya pribadi, yaitu:
1.
Cara subjek pertama dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi
diri. Subjek sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami
pekerjaan, subjek mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan
pembeli. Setelah memahami keadaan, cara kedua yang dilakukan subjek yaitu
mampu melakukan feedback, subjek mau menerima masukan dan saran dari
rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja. Dari penjelasan dapat
diketahui bahwa subjek memiliki bentuk penyesuaian diri positif, karena tandatanda yang terdapat pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi
pribadi, memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam
belajar, menghargai pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.
2.
Cara penyesuaian diri di lingkungan kerja dilakukan oleh subjek kedua dengan
cara introspeksi diri, subjek mampu melihat kenyataan bahwa dirinya tuli,
mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas dengan bersikap seperti orang
normal (dengar), mempunyai konsep diri yang positif dalam bekerja, mampu
mengekspresikan emosi secara positif dengan bercanda bersama rekan kerja.
Cara kedua melakukan feddback dengan rekan kerja dengan cara bertanya
tentang pekerjaan yang belum dipahami. Kemampuan kedua penyesuaian
tersebut berpengaruh terhadap bentuk penyesuaian diri subjek sebagai individu
yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif.
3.
Cara subjek ketiga dalam penyesuaian diri di lingkungan kerja dengan cara
mampu melihat kenyataan yang sebagaimana adanya bahwa dirinya tuli,
mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas dengan cara melalui usahausaha memahami pekerjaan, mempunyai konsep diri yang positif dalam bekerja
(mampu introspeksi diri). Cara kedua yang dilakukan subjek ketiga yaitu
mampu menjalin hubungan antar pribadi yang baik dengan teman dan rekan
kerja dengan cara belajar untuk memahami pekerjaan (feedback dengan teman
6
kerja). Kemampuan kedua penyesuaian tersebut berpengaruh terhadap bentuk
penyesuaian diri subjek bersifat positif.
Menurut Seimun (2006) kegagalan dalam menyesuaikan diri seringkali
ditentukan oleh hubungan kapasitas individu dalam menyesuaikan diri. Hal yang
paling dasar adalah penyandang tunarungu harus terlebih dahulu mampu menerima
ketulian mereka, karena dengan mampu menerima ketulian yang mereka alami
mereka mampu menyadari potensi yang dimiliki, sehingga menghilangkan rasa
minder dan mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik. Ini sesuai dengan
pernyataan Wall (1999) bahwa kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri
sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan
sekitarnya. Hal ini disebabkan orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik
adalah orang yang memiliki respon-respon yang matang, efisien, memuaskan, dan
sehat.
Kemampuan subjek dalam menyesuaikan diri pribadi karena subjek menilai
dirinya secara positif. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa individu dengan penilaian
positif terhadap dirinya akan menyukai dan menerima keadaan dirinya sehingga
akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi
sosial secara tepat. Rasa percaya diri dan harga diri yang tumbuh seiring dengan
adanya keyakinan terhadap kemampuan dirinya membuat individu cenderung tampil
lebih aktif dan terbuka dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Relasi
sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan melakukan apa
yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan
dengan keadaan lingkungan. Sebaliknya, individu dengan konsep diri negatif adalah
individu yang mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya, ia menilai dirinya
sebagai figur yang mengecewakan. Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan
mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan cenderung mengembangkan
perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang percaya diri. Individu merasa tidak
percaya diri ketika harus berpartisipasi dalam suatu aktivitas sosial dan memulai
hubungan baru dengan orang lain. Penolakan diri juga dapat memicu munculnya
sikap agresif dan perilaku negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang
tertarik untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
7
Selain penilaian positif terhadap diri subjek sendiri, subjek mampu
mengatasi ketegangan dan konflik yang ada dalam diri. Schneider (dalam Wasito
dkk, 2010) berpendapat bahwa penyesuaian diri adalah usaha individu untuk
berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi yang dialami
didalam dirinya. Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan
dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungan. Individu mampu menjalin hubungan dengan orang lain karena mampu
mengatasi ketegangan yang muncul dan mampu menyelesaikan permasalahan.
Ketiga subjek yang mampu instrospeksi dengan memahami kelemahan yang
dimiliki, mampu menekan atau mengontrol emosi, dan memiliki konsep diri positif
berpengaruh terhadap penyesuaian diri di lingkungan tempat kerja. Ada dua yang
mendukung ketiga subjek dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan kerja,
yaitu dukungan dari pimpinan dan dukungan dari rekan kerja.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Yusuf (2008) menunjukkan
bahwa individu dengan tingkat inteligensi tinggi akan menunjukkan penyesuaian
sosial yang lebih baik tanpa melihat perbedaan jenis kelaminnya. Sependapat
dengan pernyataan di atas, Schneiders (dalam Wasito, 2010) menyatakan bahwa
individu dengan tingkat inteligensi tinggi cenderung akan bereaksi secara tepat
terhadap situasi sosial yang dihadapi (lingkungan kerja), sebab inteligensi
berhubungan dengan pengaturan diri (self-regulation) dan realisasi diri (selfrealization). Pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengatur diri dan
mengarahkan diri dalam menghadapi situasi sulit, konflik, dan frustrasi, sehingga
dapat mencari jalan keluar secara tepat, efektif, dan efisien.
Kemampuan subjek untuk menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang
cukup besar pada keadaan subjek untuk memberikan respon pada setiap keadaan
yang dihadapi. Subjek yang memiliki penyesuaian yang baik akan mampu
menghadapi keadaan yang sulit dengan penyelesaian yang positif di lingkungan
tempat kerja.
Subjek tunarungu mempunyai persepsi yang realistis tentang dunia kerja,
misalnya, subjek tunarungu sudah bisa menentukan pilihan yang dianggap baik bagi
dirinya, subjek tunarungu dapat menghubungkan dengan dunia kerja dengan
keadaan dirinya. Sikap subjek-subjek tunarungu sangat baik terbukti dapat bergaul,
8
berpartisifasi mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial dan
lingkungan
tempat
kerja,
serta
dapat
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilan kerja.
Ketiga subjek dalam penyesuaian diri melalui cara instrospeksi diri dan
feedback dengan teman kerja atau pimpinan berpengaruh terhadap bentuk
penyesuaian diri subjek sebagai individu yang memiliki yang mampu melakukan
penyesuaian diri secara positif.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Richardson dan McCabe (2001) bahwa
penyesuaian diri positif, yaitu saat seseorang berhasil menyesuaikan dirinya secara
positif, maka akan muncul beberapa tanda-tanda: Tidak menunjukkan ketegangan
emosi, Tidak menujukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis,
menunjukkan adanya frustasi pribadi,
Tidak
Memiliki pertimbangan rasional dan
pengarahan diri, Mampu dalam belajar, Menghargai pengalaman, dan Bersikap
realistik dan obyektif.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan data dari hasil analisis dan pembahasan penelitian maka dapat
disimpulkan:
a.
Cara penyesuaian diri tunarungu
Subjek dalam melakukan penyesuaian diri diawali instrospeksi diri. Subjek
sudah memahami kelemhan fisik yang dimiliki. Untuk memahami pekerjaan, subjek
mampu melakukan komunikasi dengan rekan kerja dan pembeli. Setelah subjek
memahami kelemahan fisik dan menerima kelemahan tersebut, cara selanjutnya
yang dilakukan subjek yaitu mampu melakukan feedback, subjek mau menerima
masukan dan saran dari rekan kerja dan pimpinan tempat subjek bekerja melalui
komunikasi verbal.
b. Bentuk penyesuaian diri tunarungu di lingkungan kerja
Cara subjek dengan introspeksi diri (pengukuran individual) dan feedback
dari teman dekat membentuk penyesuaian diri positif, karena tanda-tanda yang
terdapat pada subjek yaitu tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi, memiliki
9
pertimbangan rasional dan pengarahan diri, mampu dalam belajar, menghargai
pengalaman, dan bersikap realistik dan obyektif.
2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran penelitian ini
adalah :
a.
Untuk informan
Bagi informan tunarungu diharapkan mempertahankan cara-cara yang telah
digunakan
untuk
melakukan
menyesuaian
diri.
Adapun
cara
untuk
mempertahankannya yaitu informan disarankan belajar tentang bahasa tulisan
(SPOK), sehingga mampu menulis dan membaca dengan baik agar penyandang
tunarungu mampu melakukan komunikasi dengan orang lain sebagai salah satu
faktor dalam penyesuaian diri.
b. Untuk Perusahaan Tempat Kerja Informan
Bagi perusahaan yang menerima karyawan dengan kelemahan fisik
tunarungu diharapkan mampu memberikan masukan dan saran yang mudah
dipahami oleh karyawan penyandang tunarungu dengan cara sering mengajak
berbicara pada karyawan penyandang tuli tentang pekerjaan, menghargai kerja
penyandang tunarungu yang berprestasi
dengan memberikan pujian, memberi
kesempatan kepada karyawan penyandang tunarungu untuk mengemukakan ideidenya.
DAFTAR PUSTAKA
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda . Jakarta: Grasindo.
Delphie, B. 2006. Pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Bandung Refika
Aditama.
Hurlock, B.E. 1999. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang
rentang Kehidupan) Edisi keempat. Jakarta : Erlangga.
Moh. 2011. Penyandang Cacat Di Indonesia. www.kompas.com, diakses tanggal 211-2012
10
Sas. 2012. Pemerintah Perlu Memperhatikan Penyandang Cacat Tubuh dalam Dunia
Kerja. http://ekonomi.inilah.com, diakses tanggal 20-12-2012
Seimun, Y. 2006. Kesehatan Mental (Pandangan Umum Mengenai Penyesuaian
Diri dan Kesehatan Mental serta Teori-teori yang Terkait). Yogyakarta:
Kanisius.
Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung : Alfabeta.
Sutjihati, S. 2006. Psikologi anak luar biasa . Bandung: PT. Refika Aditama
Wasito, D.R., Dwi Sarwindah S, dan Sulistiani, W. 2010. Penyesuaian Sosial
Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum. INSAN Vol. 12
No. 03, Hal. 138-152.
Wall, W.D. 1999. Pendidikan Konstruktif Bagi Kelompok Khusus: Anak-anak Cacat
dan yang Menyimpang. Jakarta: Balai Pustaka.
11