MAKNA VISUAL FILM “OPERA JAWA” KARYA GARIN NUGROHO.

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagai karya seni hasil cipta manusia, film tidak luput dari kontroversi. Di satu pihak film dianggap sebagai hasil temuan setan yang mampu menjerumuskan manusia ke jurang neraka dan lain pihak menganggapnya sebagai penemuan yang paling hebat dalam sejarah manusia, terlepas dari itu tentunya ini merupakan karunia Tuhan (Siagian, 2006: 2). Membaca paparan tersebut, terlihat jelas bahwa film berada di antara dua titik ekstrim. Seniman, sutradara, dan produser dengan tanggung jawab moral tinggilah yang mampu mengarahkan film menjadi jalan kebaikan dan surga bagi manusia. Film merupakan media yang sifatnya sangat tergantung pada siapa yang mengendalikannya, apakah dengan tujuan baik atau jahat.

Dalam sejarah tokoh politik pertama yang menyadari fungsi film sebagai sarana komunikasi massa dan alat revolusi paling dinamis adalah Lenin di Jerman (Ismail, 1986: 48). Hal tersebut makin disadari oleh seluruh dunia, hingga pada akhirnya pada 1946 dibentuk Film and Visual Information UNESCO, direkturnya Benoit Levy dalam Siagian (2006: 35) menyatakan bahwa:

"Misi dari sinema adalah untuk membuat orang sadar bahwa mereka bersaudara. Tanpa semangat persahabatan yang mencakup seluruh umat manusia, persatuan tidak akan mungkin dan tanpa persatuan semua akan musnah. Film masa kini menghadapi suatu tugas besar, dia dapat menciptakan nilai-nilai abadi ."


(2)

Sejak kehadirannya film telah menjadi barang industri. Karena lahir sebagai barang industri, tentunya tema dan jenis film sangat tergantung oleh selera pasar atau masyarakat mayoritas. Dalam sebuah acara infotainment, produser Ram Punjabi menyatakan alasannya memilih film horor sebagai film yang ia jual karena masyarakat Indonesia masih butuh dan film bertema horor lebih jelas pasarnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Siagian (2006: 169) bahwa sebagain besar publik terdiri dari rakyat biasa, sehingga mau tidak mau para produser harus memperhatikan selera mayoritas dan memenuhinya. Jadi pada dasarnya publik ikut bersalah, apabila produser membuat film yang sering dikecam oleh publik sendiri.

Menurut Ismail (1986: 46) pada hakikatnya penonton enggan menonton film yang tidak mereka mengerti, tidak terdapat tujuan yang nyata, dan sukar diterima oleh akal. Ketika menonton, publik merasa tidak perlu membagi pikiran menjadi beberapa cabang. Mereka hanya menerima apa yang disuguhkan di depan matanya. Semakin cepat frame-frame gambar bergerak mencekam dadanya, maka semakin kecil kemungkinan mereka untuk memberikan pendapat melalui fikirannya sendiri.

Pada perkembangannya film telah menyebar ke berbagai belahan dunia melalui bioskop. Bioskop ini merupakan tempat masyarakat untuk menonton imaji yang diciptakan sutradara. Siagian (2006: 167) menyatakan bahwa sebelum berangkat ke bioskop masyarakat awam sering tidak mengetahui film apa yang akan ia tonton, mereka kadang masuk ke gedung bioskop tanpa rencana dan setelah keluar, komentar mereka hanya terbatas pada bagus dan


(3)

jelek, tanpa adanya argumentasi. Lain hal dengan golongan terpelajar, mereka biasanya memilih film dan bioskop yang sudah mereka tentukan karena favorit. Begitupun ketika menentukan tema dan genre film yang akan ditonton, ada yang tertarik karena resensi yang mereka baca, mereka dengar dari percakapan orang, ataupun merasa sebagai tuntutan gaya hidup.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas pendidikannya rendah dan miskin, tentu memiliki arah apresiasi yang dapat terbaca jika penilaian film bergantung dari tingkat intelektual penikmatnya. Masalah film Indonesia tidak sebatas publik saja, namun seniman atau sutradara sebagai pelaku dan kreator harus memiliki tanggungjawab moral pada masyarakat.

Ismail (1986: 25) menjelaskan bahwa karya seorang Indonesia haruslah bersumber pada pemikiran tentang kemerdekaan, hak asasi manusia, amanat penderitaan rakyat, kebenaran dan keadilan yang hakiki bagi rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia, semuanya itu terbalut dalam perasaan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Senimanlah yang sepanjang zaman menjadi pemberi bentuk dan penetap nilai-nilai luhur yang baru, serta penyadar terhadap bentuk dan nilai-nilai yang lama.

Pernyataan di atas merupakan pandangan yang menempatkan film sebagai media pendidikan dan pembangunan. Sebagai manusia yang memiliki iman, memang sepatutnya kita melandaskan karya kita untuk pembentukkan nilai luhur yang hakiki. Sutradara sebagai kreator film selayaknya memberikan penyadaran dan makna yang mendalam pada setiap karyanya bagi masyarakat luas.


(4)

Pada dasarnya banyak kalangan yang berharap bahwa film mampu menjadi media edukasi bagi publik. Tujuan dan fungsi film sebagai salah satu media massa populer ini masih jauh dari harapan, padahal Smith (2003: 12) menyatakan bahwa struktur yang dimiliki film itu mampu memanipulasi emosi seseorang. Walau film tidak bisa membuat penonton merasakan emosi, namun ia menawarkan alternatif. Mereka yang menerima undangan atau alternatif yang disuguhkan film akan menemukan banyak hal lain dibanding yang menolak alternatif tersebut. Salah satu cara agar pendekatan emosi pada film bisa berhasil adalah dengan mengangkat isu yang fenomenal baik di tingkat internasional atau lokal.

Kemampuan menawarkan ragam emosi pada film memang selayaknya dikendalikan dan disadari oleh setiap manusia yang menikmatinya. Hal positif yang bisa kita ambil adalah menjadikan film sebagai media aktualisasi dan eksistensi bangsa. Para sineas Indonesia bisa mengenalkan keragaman bangsa pada khalayak dunia dengan mengangkat isu global serta memadukan beberapa unsur budaya lain agar penerimaan masyarakat bisa lebih longgar. Selain makna film tersebut bisa diterima masyarakat secara luas dan global, film bisa dimanfaatkan sebagai media promosi bagi bangsa Indonesia.

Usaha memadukan beberapa budaya dunia atau transkultur ini sudah dilakukan oleh Tarantino. Buckland (2009: 176) menyatakan bahwa Quentin Tarantino merupakan sineas yang menghadirkan globalisasi dengan memadukan budaya Eropa, Amerika, dan Asia. Kill Bill Vol 1 (2003) dan Kill Bill Vol 2 (2004) merupakan karyanya yang sukses dan makin mengangkat


(5)

namanya. Selain film Kill Bill yang menceritakan perempuan samurai Amerika berbaju Bruce Lee, Tarantino juga membuat Sukiyaki Western Django yang menggambarkan cowboy Jepang dengan kostum yang Western (barat) tidak, Jepang pun tidak.

Di Indonesia sineas yang berani bereksperimen seperti ini adalah Garin Nugroho. Pada awal karirnya pada tahun 1994 film “Surat untuk Bidadari” mendapat penghargaan film terbaik pada Young Competition di Tokyo International Film Festival, dan film terbaik Festival Film di Taormina dengan juri Quentine Tarantino. Kini nama Garin Nugroho sudah tidak asing lagi bagi para pecinta film. Ia adalah sutradara yang paling dikenal di kalangan internasional (Krishna Sen, 2002: 22). Pada LA Movie Indie Fest 2009 yang dilaksanakan di Dago Tea House Bandung, Garin menyatakan bahwa filmnya bukalah film komersil. Ia selalu berniat membuat film Indonesia bergaya Eropa, dan dengan ciri kesenirupaan yang kuat.

Garin tidak hanya berkeinginan untuk bicara dalam karyanya, namun ini telah menjadi bagian ritual dalam hidupnya. Ia berusaha melihat sesuatu dengan sudut yang berbeda. Karyanya banyak yang ditargetkan untuk mengikuti festival di luar negeri dan mendapat dukungan yang cukup dari beberapa pihak asing (gemarnonton.wordpress.com).

Salah satu film Garin yang dianggap masterpiece dan monumental oleh dirinya sendiri adalah “Opera Jawa”. Film ini merupakan satu-satunya film di dunia yang menggunakan full musik gamelan sebagai pengiringnya. Selain itu, film ini banyak diputar di berbagai negara dan festival. Pada tahun 2006 film ini


(6)

diputar di Official Selection Venice Film Fest: Orizontti, Toronto IFF, Vancouver IFF, Pusan IFF, London IFF, Tapei Golden Horse FF, Filmex FF Japan, Black Nights IFF (Estonia). Dan di tahun 2007 film ini diputar di Goteborg IFF, Rotterdam IFF, Belgrade IFF, Cinema Novo FF (Belgium), Cleveland IFF, Alba IFF, Vilnius IFF, Hong Kong IFF Best Music award, Buenos Aires IFF, D.C. IFF, San Francisco IFF, Asian Film Society NYC, Seattle IFF, Cine Del Sur, Art FF, L.A. IFF, Sydney IFF, Jerusalem IFF, Melbourne IFF, Brisbane IFF, Museum of Fine Arts (Boston), Rio IFF, Berlin Babylon 14, Osian Cinefan IFF (India), dan Brooklyn Academy of Music.

Jenkins (2007: 151) menyatakan bahwa film “Opera Jawa” adalah satu dari tujuh film yang disponsori Peter Sellars dan didedikasikan untuk korban kekerasan dan bencana alam. Ia juga merupakan sineas dunia yang memiliki visi yang unik. Pernyataan ini juga didukung Susanto (2007: 14) yang menjelaskan bahwa film “Opera Jawa” ini adalah sebuah proyek untuk memperingati 250 tahun Mozart yang didukung sutradara kenamaan Amerika Peter Sellars yang nantinya akan digelar di Wina, Austria. Selain Garin, terdapat pula sutradara lain yang menjadi bagian proyek ini, yaitu Tsai Mi Liang (Taiwan), Apichatpong Weerasethakul (Thailand), Mohammad Saleh Haroun (Chad), Bahman Ghobadi (Iran), dan Paz Encina (Paraguay). Film yang mengisahkan epos Ramayana ini merupakan tafsir pribadi Garin terhadap tokoh Sinta yang digambarkan dengan kemenduaan hati.

Garin Nugroho dengan karyanya “Opera Jawa” mencoba terobosan dengan mempertemukan opera dan film. Hal ini bisa menjadi penting dalam konteks


(7)

sejarah perfilman khususnya Indonesia. Film ini merupakan film opera Indonesia pertama dan film pertama di dunia yang menggunakan dialog berupa singing text. Tidak hanya itu, film ini tidak menggunakan partitur yang ada dan singing text tidak berasal dari libretto, sehingga film ini bukan termasuk film opera dalam pengertian tradisional. “Opera Jawa” lebih dekat pada genre film musikal, terutama sub-genre Broadway-musical yang sering menggabungkan unsur musik dengan tarian dalam cara tuturnya. Sekalipun begitu, film ini tidak bersetting realis seperti pada film musikal dan opera pada umumnya. “Opera Jawa” menghadirkan setting nonrealis. Di beberapa sisi, film ini menggunakan simbol yang dijadikan pengganti dari benda nyatanya dan menggunakan sinematografi yang bersetting realis. Dari penggabungan ini kita bisa menyaksikan kekhasan Garin sebagai sineas yang senang bereksperimen. Sebuah ramuan seni, idealisme, dan penjelajahan yang patut dianalisis bagaimana film tersebut bisa meraih perhatian masyarakat dunia (gemarnonton.wordpress.com).

Penggabungan yang terdapat pada film “Opera Jawa” tidak sebatas dari cerita maupun settingnya saja. Film ini memiliki artistik yang khas dan memiliki simbol dengan makna yang mendalam. Jika kesuksesan film semacam ini terus berulang dan dilakukan oleh para sutradara, tentu Indonesia akan lebih dikenal sehingga dunia akan mengapresiasi lebih luas lagi kekayaan budaya kita. Selain itu makna dan estetika film Garin merupakan hal penting yang pernah dimiliki bangsa ini. Atas beberapa data dan ulasan tersebut, penulis tertarik meneliti bagaimana tanda dan makna visual yang terdapat pada film “Opera Jawa”.


(8)

Krishna Sen (2002: 22) menjelaskan bahwa sineas Garin Nugroho adalah manusia cerdas dan berbakat yang lahir dari bangku sekolah. Filmnya yang pertama, “Cinta Sepotong Roti” tahun 1991 langsung mendapat respon baik dari banyak pemirsa di Indonesia maupun mancanegara. Tahun 1992 ia mendapat penghargaan sebagai sutradara muda terbaik di Festival Asia Pacific, Korea Selatan karena keapikannya dalam karya “Bulan Tertusuk Ilalang”. Garin merupakan sineas Indonesia yang paling sering bereksperimen.

Dari pemaparan di atas, nama Garin Nugroho sangatlah penting dalam konteks film Indonesia. Dalam filmnya Garin tidak sebatas ingin mengungkapkan sesuatu, namun lebih dalam dari itu. Garin dengan cita rasa artistiknya yang tinggi membawa nama film Indonesia menjadi layak diperhitungkan.

Tjasmadi (2008: 1) menyatakan bahwa pandangan yang menempatkan film sebagai imaji sutradara terhadap alam mimpi para penontonnya dalam keadaan sangat sadar adalah pandangan yang sangat dalam atau extreme close up. Hal ini merupakan salah satu tolok ukur, bahwa sineas yang menggunakan pendekatan semacam ini adalah seorang maestro. Film bukanlah sebagai alat propaganda semata, dan orang yang berpendapat demikian adalah orang yang memiliki pandangan generalis serta melihat dari jauh saja.

Menurut seorang sutradara muda Joko Anwar, Garin Nugroho termasuk sutradara for hire yang artinya berkarya merupakan bagian ritual dan jati dirinya, lain hal dengan mantan asistennya Riri Riza yang termasuk have something to say yang bermaksud bahwa ia berkarya karena hendak mengungkapkan sesuatu. Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Opera Jawa”, Garin memberi identitas


(9)

budaya multikultur dan eksistensi dirinya sebagai seniman berdaya artistik tinggi (gemarnonton.wordpress.com).

Apapun pandangan kita tentang film, baik hanya untuk media propaganda, alat komunikasi massa, maupun tampilan imaji yang dinikmati penonton secara sadar, tidak melepaskan film sebagai karya yang banyak memuat tanda dan makna. Tanda-tanda yang mengandung makna ini tentunya akan lebih banyak ditemui pada film yang memiliki cara bertutur dengan gambar.

Tjasmadi (2008: 147) menjelaskan bahwa Garin Nugroho merupakan sineas yang mengikuti gaya Umar Ismail. Sineas ini termasuk ke dalam kategori cineaste atau artist yang artinya seniman. Mereka adalah seniman bidang film yang menganut dasar-dasar sinematografi secara teguh. Sebagian menitikberatkan cara bertutur tulisan menjadi bahasa gambar atau visual. Penuturan ini bisa melalui visual teaterikal atau gambar bercerita seperti gaya film Prancis dan Rusia. Cara lain untuk menuturkan bahasa gambar ini adalah melalui seni painting with light (melukis dengan cahaya) yang menonjolkan keindahan gambar seperti gaya Amerika.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Darmawan (2011) bahwa Garin selalu menekankan estetika gambar pada filmnya. Gayanya lebih dekat pada estetika dokumenter dan gambar puitis dari New Wave Perancis. Dalam film “Opera Jawa”, Garin lebih menggali estetika tari, teater, musik, dan seni rupa. Uniknya film ini tetap bisa dinikmati oleh pedagang angkringan dan tukang becak di Jogyakarta, para pemuda di desa Chiang Mai Thailand, dan para intelektual di Eropa.


(10)

Garin Nugroho sebagai seniman film yang menggunakan bahasa gambar tentunya akan memuat banyak tanda untuk dimasukkan ke dalam visual filmnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan mengingat ia telah memindahkan komunikasi dalam bentuk tulisan ke dalam gambar. Tanda-tanda visual ini perlu diketahui dan dideskripsikan maknanya guna memudahkan proses komunikasi antara seniman dengan penonton.

Fokus utama penelitian seni rupa adalah pada aspek visualnya. Tanda-tanda yang terdapat pada film Garin Nugroho yang berjudul “Opera Jawa” ini akan diklasifikasikan, diidentifikasi, dan dikupas maknanya. Tanda-tanda visual tersebut dibagi menjadi tiga yaitu ikon, indeks, dan simbol, sesuai dengan pengklasifikasian Pierce. Hal ini bisa membantu tanda-tanda komunikasi visual yang selama ini menjadi hambatan agar tersalurkan lebih baik. Selain itu dengan mengupas tanda dan makna film “Opera Jawa”, kita bisa mengetahui bagaimana sesungguhnya film tersebut, berikut alam fikiran Garin Nugroho sebagai sineas Indonesia yang paling dikenal di dunia.

Peneliti merasa perlu membuat karya tulis yang menggali tanda dan makna film. Hal ini bisa menjadi sebuah dasar konsep pendidikan seni melalui media film. Selain itu menggali tanda dari karya film multiseni semacam “Opera Jawa”, memberikan banyak makna dan pengetahuan yang multidisiplin mengingat film ini memiliki keterkaitan antara teori budaya, semiotika, komunikasi, dan estetika. Dasar penafsiran atas makna yang terkandung dalam tanda visual film “Opera Jawa” ini menggunakan budaya Jawa. Sekalipun Darmawan (2011) beranggapan


(11)

bahwa film ini meleburkan diri antara yang lokal dan global, namun judul film yang menggunakan kata Jawa pasti berkaitan erat dengan budaya jawa itu sendiri.

Penelitian mengenai film ini akan menjadi penelitian yang pertama di Universitas Pendidikan Indonesia baik di jenjang strata satu maupun magister seninya. Tentunya penelitian ini diharap bisa menambah referensi dan pengembangan ilmu bagi lembaga pendidikan yang konsentrasinya di bidang seni khususnya seni rupa. Selain untuk ilmu pengetahuan, penelitian makna film ini diharapakan menjadi sebuah kajian yang membantu masyarakat perihal makna komunikasi yang terselubung dalam sebuah film. Saat ini banyak tersebar film yang tidak kita ketahui makna dan tujuannya, kadang beberapa hal negatif terselip baik itu secara tersurat maupun tersirat. Hal semacam ini bisa mempengaruhi persepsi masyarakat dan merupakan ancaman bagi sistem nilai yang sudah ada di masyarakat.

Sesuai dengan uraian di atas, pantas apabila peneliti memilih film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho sebagai subjek penelitian. Karya tulis ilmiah ini merupakan syarat akhir dalam menempuh program magister Pendidikan Seni (konsentrasi Seni Rupa), di Universitas Pendidikan Indonesia. Oleh sebab itu penulis menggunakan judul "Makna Visual Film “Opera Jawa” Karya Garin Nugroho.”

B. BATASAN DAN FOKUS MASALAH

Mengingat banyaknya yang bisa dikaji dan digali dalam sebuah karya film “Opera Jawa” penelitian ini membatasi masalah dengan dua pokok besar yaitu:


(12)

1. Bagaimanakah tanda-tanda visual pada film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho?

2. Bagaimanakah makna dari tanda-tanda visual film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho?

C. VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI ISTILAH

Penelitian kualitatif menempatkan peneliti sebagai pelaksana, pengumpul data, analis, penafsir data, dan pelapor penelitian (Moleong, 2005: 168). Dalam konteks ini peneliti bisa dianggap sebagai salah satu variabel penelitian selain makna film dan film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho. Penelitian ini mengambil film “Opera Jawa” sebagai subjek dan instrument penelitian yang hendak dicari makna visualnya melalui tanda-tanda visual yang dikemukakan Pierce. Atas dasar ini peneliti menggunakan judul “Makna Film “Opera Jawa” Karya Garin Nugroho”.

1. Makna menurut Danesi (2010: 17) hanya dapat diuraikan dengan

memperhatikan makna lainnya. Makna merupakan sesuatu yang tidak dapat didefinisikan secara mutlak, karena berelasi dengan tanda lainnya. Makna merupakan hasil dari beberapa relasi tanda tersebut dan tergantung pada siapa yang menafsirkannya.

2. Film menurut Peransi (1997: 29) adalah karya yang lahir dari klasifikasi seni rupa. Film sendiri merupakan gambar ilusi yang bergerak dan sebuah perkembangan dari teknologi fotografi. Secara kolektif film sering disebut sinema (cinema) atau kinematik yang artinya gerak.


(13)

3.

“Opera Jawa” (2006) merupakan film karya Garin Nugroho. Film ini

mengadaptasi cerita Ramayana yang menyoroti kesetiaan Shinta dan peperangan yang terjadi antara Rama dan Rahwana. Garin menafsirkan kembali cerita epik dari India ini dengan interpretasinya dan tidak menggunakan nama tokoh yang sama dengan ceritanya.

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan pada batasan dan fokus masalah di atas yang meliputi:

1. Mendeskripsikan ikon, indeks, dan simbol pada film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho.

2. Menginterpretasikan makna dari ikon, indeks, dan simbol dalam film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi lembaga diharapkan keilmuan ini dapat menunjang profesi dan kompetensi sebagai lulusan program Magister Pendidikan Seni.

2. Bagi mahasiswa dan pembaca secara umum, hasil penelitian ini dapat menambah referensi dan wawasan, bagi perkembangan pengetahuan di bidang film terkait makna yang terkandung di dalamnya.

3. Bagi industri perfilman, analisis ini dapat memberikan informasi pentingnya pengendalian peranan film sebagai media komunikasi yang idealnya sebagai


(14)

sarana edukasi, kemanusiaan, multikultur, dan pembentuk nilai-nilai luhur bangsa.

4. Bagi pecinta film, analisis ini dapat memberikan referensi tentang bagaimana cara berkomunikasi dan memaknai tanda visual film.

5. Bagi dunia pendidikan di sekolah, penelitian ini bisa sebagai data rujukan dan media pembelajaran mengenai materi film, baik dari struktur, komponen visual, dan tanda-tanda visual film. Guru dan lembaga sekolah juga bisa mengembangkan konsep pendidikan seni melalui tanda dan makna pada film. Selain itu penelitian ini bisa dilanjutkan oleh peneliti atau pengajar lain karena keterkaitannya dengan seni tari dan musik.

6. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini mampu menunjang kompetensi dan profesi sebagai lulusan Magister Pendidikan Seni Rupa dan awal yang baik untuk membudayakan menulis demi ilmu pengetahuan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini disusun berdasarkan pengelompokan pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam bab-bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teoritik. Pada bab ini berisi uraian beberapa teori mengenai makna, kebudayaan, semiotika, komunikasi, dan film. Agar lebih terfokus, pembahasan dipersempit pada aspek visual dengan menggunakan tanda-tanda visual dalam klasifikasi semiotika Pierce.


(15)

Bab III Metode Penelitian. Pada bab ini dijelaskan secara rinci tentang metode penelitian, desain penelitian, subjek penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, teknik analisis, dan prosedur penelitian.

Bab IV Analisis Makna Film “Opera Jawa”. Pada bab ini dilakukan analisis makna dari tanda-tanda visual film “Opera Jawa”. Selain itu film tersebut digali komponen visualnya untuk memperkaya penelitian. Analisis visual ini mengacu pada adegan yang dicapture menjadi beberapa gambar.

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi. Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan dan rekomendasi penulis, berdasarkan data-data teoritik dan temuan empirik pada saat analisis berlangsung.


(16)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN

Penelitian yang hendak peneliti buat merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini bermaksud untuk mencari pengertian atau pemahaman mengenai fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus melalui cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moleong (2000: 5) bahwa penelitian kualitatif ini biasa juga disebut dengan metode kualitatif sebab data-data yang dikumpulkan berupa data yang bersifat kualitatif seperti kata-kata dan gambar.

Karya tulis ini ingin mengetahui makna visual dibalik karya film “Opera Jawa” yang dibuat oleh Garin Nugroho. Dalam proses penafsirannya, penulis tidak hanya melihat potongan visual dari film sebagai subjek yang diteliti, namun juga memperhatikan siapa pembuatnya. Hal ini dilakukan karena sifat film yang sangat bergantung dari kreatornya, apakah ia berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat yang penuh makna atau sebagai media penghancur nilai budaya yang telah terbangun. Selain itu gaya film sineas bisa terlihat dari cara tutur imajinya ke dalam bahasa visual.

Terlepas dari golongan mainstream atau sidestreamkah film “Opera Jawa”, kehadirannya tentu memiliki makna yang hendak disampaikan. Terlebih Garin sering dianggap sebagai sutradara yang senang menggunakan simbol dalam karya


(17)

filmnya. Dalam hal ini, peneliti berusaha mencari makna dari tanda-tanda visual yang ditampilkan dalam film Garin yang berjudul “Opera Jawa”.

Sebelumnya peneliti telah mengamati film “Opera Jawa” ini secara sekilas, dan nampak perbedaan yang sangat mencolok dari visual, bahasa, serta tata suaranya. Jika dikaitkan dengan gaya film saat ini, “Opera Jawa” karya Garin Nugroho ini termasuk ke dalam film sidestream yang memiliki pasar penikmat lebih spesifik dan cenderung sulit dimengerti.

Seperti yang telah dibahasa pada latar belakang penelitian, Tjasmadi mengemukakan bahwa karya Garin dapat dimasukkan ke dalam golongan cineaste, bukan tipe pedagang. Cineaste menganut sinematografi yang kuat, cara bertutur lewat gambar atau teaterikal, dan bertutur lewat keindahan gambar.

Menilik pernyataan di atas, pantaslah jika peneliti hendak mencari jawaban bagaimana tanda dan makna visual dalam film “Opera Jawa”. Makna visual ini perlu digali, sebab sutradara yang tergolong cineaste memindahkan cara bertutur kata tulisan ke dalam bahasa visual atau gambar. Upaya pemecahan makna dari tanda visual ini digunakan model kajian semiotika.

B. DESAIN PENELITIAN

Dalam penelitian ini diperlukan keterlibatan langsung antara peneliti dengan subjek yang diteliti. Lebih dari itu, peneliti harus bisa memahami makna dari ikon, indeks, dan simbol yang terdapat pada objek penelitian, serta mengadakan penafsiran terhadap sumber data. Desain penelitian yang hendak peneliti gunakan tidak terlepas dari semiotika sebagai salah satu pendekatan


(18)

dalam penelitian seni rupa. Sachari (2005: 63) menyatakan bahwa desain memiliki bahasanya sendiri yaitu visual, dan visual tersebut memiliki sistem tanda. Tanda yang terdapat pada karya visual tersebut merupakan ciri adanya komunikasi yang hendak disampaikan. Kini usaha untuk menerjemahkan tanda-tanda tersebut diakomodir dengan semiotika. Penelitian dengan menggunakan teori semiotika telah banyak dilakukan oleh peneliti dan akademis. Budiman (2003: 12) menyatakan semiotika merupakan suatu pendekatan teoritis yang berdasar pada kode (sistem) dan pesan (tanda-tanda dan maknanya), berikut dengan memperhatikan konteks serta audiens atau pembacanya.

Banyak hal yang bisa dikaji dengan semiotika. Teori semiotikapun mengurai banyak pendapat dan rumusan-rumusan tersendiri karena cakupannya yang luas. Penelitian ini termasuk penelitian semiotika yang meliputi ranah komunikasi visual. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sachari (2005: 67) yang menyatakan bahwa semiotika bisa digunakan untuk mengamati berbagai tanda yang bersifat empiris dan indrawi. Salah satu tanda yang bersifat indrawi adalah komunikasi visual yang kajiannya meliputi tanda-tanda ikon, indeks, simbol, fenomena visual dalam komunikasi massa, film, iklan, komik, arsitektur, dan lain-lain.

Sesuai dengan pernyataan di atas, film termasuk karya komunikasi visual. Penelitian ini hanya membatasi pada kajian visual yang nampak tanda-tanda visualnya. Tanda visual yang digunakan sesuai dengan pengklasifikasian menurut Pierce yang membagi tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol. Ketiga tanda tersebut kemudian akan diinterpretasikan maknanya.


(19)

Selain semiotika, dasar teori bagaimana makna dari tanda visual itu lahir digunakan disiplin ilmu budaya yang menitikberatkan pada kebudayaan Jawa. Untuk mendapat kajian utuh dalam sebuah karya film yang multidisiplin peneliti menggunakan juga estetika film, semiotika film, dan disiplin ilmu komunikasi.

C. SUBJEK PENELITIAN

Subjek yang penulis kaji adalah film “Opera Jawa” berdurasi 120 menit, karya sutradara Garin Nugroho yang diproduksi pada tahun 2006 dengan menggunakan film 35 mm dan aspect ratio widescreen atau layar panjang 1.85: 1. Film yang diprakarsai oleh sutradara kenamaan Amerika bernama Peter Sellars ini dibuat untuk memperingati 250 tahun kematian Amadeus Wolfgang Mozart. Sutradaranya sendiri mendedikasikan film ini untuk korban kekerasan dan bencana alam. Film ini banyak diputar di banyak festival dan negara. “Opera Jawa” juga masuk dalam salah satu daftar dari buku World Cinema dengan kategori sineas yang memiliki visi unik, otomatis di dalamnya terdapat nama Garin Nugroho.

“Opera Jawa” merupakan film yang mengadaptasi cerita dari epik pewayangan Ramayana. Poespaningrat (2005: 51) menyatakan bahwa cerita pewayangan Ramayana memiliki beberapa nilai inti yang salah satunya ialah kesetiaan seorang isteri. Garin Nugroho menggarisbawahi masalah kesetiaan ini dengan penafsirannya sendiri pada film “Opera Jawa”. Walau ceritanya merupakan adaptasi dari Ramayana, “Opera Jawa” tidak menggunakan nama yang sama dengan tokoh dalam cerita Ramayana. Dengan latar belakang ini, “Opera


(20)

Jawa” menyajikan kisah peperangan batin cinta segitiga antara Siti yang dipersonifikasikan sebagai Shinta dengan Setyo (Rama) dan Ludiro (Rahwana). Peperangan ini berujung kepada peperangan fisik yang melibatkan banyak korban. Dibahas sebelumnya bahwa film terdiri dari unsur sinematik dan naratif. Film yang terdiri dari ribuan gambar yang tersusun rapi sehingga terlihat bergerak ini akan diambil beberapa capture (potongan) saja. Capture ini diambil berdasarkan pola pengembangan naratif yang membagi film ke dalam tiga bagian, yakni permulaan, pertengahan, dan penutup.

1. Tahap permulaan

Tahap permulaan berisi hal-hal yang mengenai intrik cerita dalam film. Pemeran utama dan pendukung sudah ditentukan, protagonis dan antagonis, masalah dan tujuan, serta berisi aspek ruang dan waktu cerita. Pada tahap ini, masalah film “Opera Jawa” dimulai dengan ketakutan Siti sebagai isteri Setyo terhadap kondisi perekomonomian suaminya yang tidak lagi tinggal di keraton. Di luar sana Ludiro yang dipersonifikasikan sebagai Rahwana adalah penguasa yang kejam dan memiliki hasrat terhadap Siti.

Setiap saat melihat makanan, hati Siti goncang dan merasa khawatir dengan kehidupan yang seadanya. Pada saat itu, munculah godaan dari Ludiro yang meminta Siti untuk meninggalkan suaminya dan hidup bersama dengan Ludiro. Godaan tersebut awalnya ditepis oleh Siti, namun bayang-bayang kekuasaan

Ludiro yang menjanjikan kemakmuran membuat Siti tidak berdaya

mempertahankan kesetiaannya. Diam-diam Siti mulai memikirkan Ludiro. Pada saat Setyo semakin kehilangan kepercayaan dirinya, Siti malah makin membuka


(21)

hati agar Ludiro masuk ke dalam jiwanya. Dari sinilah masalah film “Opera Jawa” lahir.

2. Tahap pertengahan

Tahap pertangahan berisi usaha dari tokoh utama untuk menyelesaikan masalah yang diperkenalkan pada tahap permulaan. Alur cerita akan mulai berubah seiring dengan tindakan pemeran utama yang tidak terduga, hal ini yang memicu adanya konflik.

Semakin hari Setyo merasa tidak percaya diri dan merasa seperti perempuan. Jiwanya serasa tidak lagi utuh layaknya laki-laki. Sementara itu Sukesi sebagai ibu Ludiro membela dan mendukung hasrat cinta anaknya terhadap Siti. Sukesi membuat bentangan kain merah yang dimaksudkan sebagai ajakan dari dirinya untuk Siti. Walau telah dihalangi adik iparnya Sura, Siti tetap bergegas mengikuti ke mana arah bentangan kain merah itu berakhir.

Setelah tergoda masuk dalam kediaman Ludiro, Siti tergoda hasratnya dan sudah tidak bisa dikatakan sebagai isteri yang setia lagi. Siti sudah masuk dalam genggaman Ludiro sehingga memancing kekecewaan yang mendalam bagi Setyo suaminya. Di sinilah latar belakang masalah yang ke dua sehingga bisa memancing timbulnya konflik atau masalah lebih besar.

3. Tahap penutupan

Tahap penutupan berisi mengenai puncak dari konflik atau konfrontasi akhir. Pada tahap ini cerita film menemui titik tertinggi dalam ketegangan. Karena cemburu atas perselingkuhan isterinya dengan Ludiro, Setyo memerintahkan anak buahnya untuk membakar bentangan kain merah yang dibuat oleh Sukesi. Dari


(22)

sini perang terjadi dan pengerahan massa tidak bisa dihindari. Peperangan antara Setyo dan Ludiro dimenangkan oleh Setyo yang dipersonifikasikan sebagai Rama.

Setelah menang dan berhasil membunuh Ludiro, hati Siti tidak juga berubah terhadap Ludiro. Siti malah membenci sikap Setyo yang tega membunuh dan merasa dirinya paling benar. Kenyataan tersebut membuat Setyo makin kecewa dan akhirnya Setyo membunuh Siti dengan tusuk kondenya. Tidak hanya dibunuh, Setyo mengeluarkan hati Siti sebagai rasa kekecewaannya atas perselingkungan yang isterinya lakukan. Pada akhirnya Setyo ditangkap pihak yang berwajib, dan kedua kubu baik Setyo serta Ludiro sama-sama mengalami kedukaan dan belasungkawa atas musibah yang terjadi.

D. SUMBER DATA

Data atau informasi yang dikaji dalam penelitian ini digali dari beragam sumber data. Sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi: 1. Informan yang merupakan budayawan Jawa. Hal ini bisa membantu upaya

penafsiran tanda visual menjadi lebih valid dan logis. Dalam mengkaji makna visual film, tentu peneliti tidak bisa mengabaikan budaya yang mempengaruhi sineasnya. Hal ini penting, karena timbulnya makna merupakan hasil kesepakatan dan nilai budaya yang berlaku baik secara lokal maupun universal. Informan selanjutnya merupakan pengamat di bidang film yang diharap bisa memberikan kekuatan pada penelitian ini dari segi mise-en-scene, sinematografi maupun informasi mengenai kiprah Garin sebagai sutradara dan “Opera Jawa” sebagai karya masterpiece yang patut diperhitungkan.


(23)

2. Literatur berupa arsip dan dokumen mengenai kebudayaan, semiotika, komunikasi, film, dan beberapa catatan tentang Garin Nugroho sebagai sutradara. Peneliti juga tidak mengabaikan beberapa forum diskusi dalam blog atau jejaring sosial di internet yang memperbincangkan tentang film “Opera Jawa” dan kiprah Garin dalam dunia perfilman.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data merupakan suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian. Agar dapat diformulasikan dengan mudah, data-data yang telah dikumpulkan itu haruslah memenuhi standar validasi. Sesuai dengan sumber data yang penulis tentukan sebelumnya, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Menurut Moleong (2002: 186) interviu atau wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dan terwawancara (yang memberikan jawaban atas pertanyaan). Maksud dari proses wawancara tersebut yaitu untuk mendapatkan keterangan yang berpijak pada tujuan penelitian.

Wawancara penulis lakukan baik melalui media elektronik maupun bertemu secara langsung dengan pakar-pakar atau ahli yang konsen dibidang komunikasi visual berupa film serta budayawan. Wawancara berlangsung secara informal untuk membangun suasana yang wajar, luwes dan santai, namun tetap berdasar pada pedoman wawancara yang memuat garis besar pertanyaan.


(24)

Ahli budaya yang akan peneliti wawancara untuk penelitian ini ialah Prof. Drs. Jakobus Sumardjo. Ia dulu merupakan sastrawan asal Klaten yang sekarang menekuni artefak dan kebudayaan di Indonesia. Penulis mewawancarainya langsung pada 14 dan 16 Mei 2011 dikediamannya yang terletak di Jl. Pasir Layung No XI Padasuka Bandung.

Pengamat film yang peneliti wawancara adalah Hikmat Darmawan. Ia seorang pengamat film dan redaktur di www.rumahfilm.org, sebuah situs yang menjadi wadah diskusi para sineas dan insan film lainnya. Ia mengawali karirnya dengan menjadi pengamat komik dan kini menulis serta mengamati beberapa budaya populer dan film. Ia tinggal di Jakarta, namun pada saat wawancara berlangsung, ia sedang dalam lawatan ke Jepang dan Thailand. Wawancara ini berlangsung melalui jejaring sosial facebook pada Sabtu, 30 April dan Selasa, 24 Mei 2011.

2. Observasi langsung

Observasi yang dilakukan merupakan studi analisis tanda yang terdapat pada visual film “Opera Jawa”. Tanda-tanda yang dianalisis merupakan tanda visual yang telah dikelompokkan menurut Pierce yakni, ikon, indeks,dan simbol. Peneliti sebelumnya mengamati film “Opera Jawa” secara keseluruhan, kemudian mencari beberapa data yang mengungkap tentang film ini. Setelah dirasa cukup kuat alasan mengapa peneliti menjadikannya sebagai subjek penelitian, peneliti menetapkan akan mengkaji film “Opera Jawa” ini dari segi visual melalui kajian semiotika.

Film yang terdiri dari urutan gambar-gambar tersebut dicapture (potongan) menjadi beberapa gambar statis. Potongan gambar ini di kelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu pendahuluan, pertengahan, dan tahap penutupan. Dari tiga


(25)

golongan ini, peneliti menentukan gambar mana saja yang akan diambil sesuai dengan scene atau adegannya. Gambar yang telah terbagi ini kemudian ditelaah ikon, indeks, dan simbolnya, lalu ditafsirkan makna dari ketiga tanda tersebut. Selain itu, peneliti juga mengupas sekilas mengenai komponen visual film menurut Block pada setiap scenenya yang meliputi space, line and shape, tone, color, movement, dan rhythm.

3. Studi Pustaka

Agar diperoleh data dan analisis yang valid, maka penulis memperhatikan literatur berupa dokumen maupun bukti-bukti catatan yang terkait dengan film “Opera Jawa” dan Garin Nugroho. Untuk mendapatkan hasil pengamatan yang kuat, peneliti mempertimbangkan data-data berupa materi kebudayaan, Jawa, semiotika, komunikasi, film, dan estetika film. Selain itu informasi mengenai latar belakang dan kiprah Garin Nugroho sebagai sutradara “Opera Jawa” tidak bisa terlewatkan. Data-data tersebut diyakini peneliti saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga proses penasfiran makna bisa lebih diterima dan disepakati. Peneliti juga menyimak catatan mengenai diskusi film “Opera Jawa” dan Garin di blog-blog maupun situs jejaring sosial.

F. TEKNIK ANALISIS

Karya tulis ini mengangkat film ‘Opera Jawa” karya Garin Nugroho sebagai subjek penelitian. Sebagai karya tulis seni rupa, tentulah peneliti membatasi diri pada aspek visual saja. Film tersebut kemudian diambil potongan gambarnya untuk dianalisis tanda-tanda visualnya yang berupa ikon, indeks, dan simbol.


(26)

Selain itu, penulis juga akan mencermati bagaimana komponen visual yang terdapat pada potongan gambar tersebut. Unsur visual ini seakan menjadi syarat wajib bagi penelitian viusal seperti yang dijelaskan oleh Barnet (1985: 38) bahwa menelaah gambar seperti foto tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan seputar gelap terang, warna, komposisi, setting, gestur badan, dan cerita apa yang terkandung di dalamnya. Karena penelitian ini mengambil film sebagai subjek penelitian, maka peneliti perlu menambahkan aspek gerak yang terjadi dalam film. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Block yang membagi komponen visual film menjadi enam bagian, yaitu space, line and shape, tone, color, movement, dan rhythim.

Pada bahasan subjek penelitian di atas, peneliti telah menjelaskan pembagian gambar didasari dengan tiga pola pengembangan cerita, yaitu pendahuluan, pertengahan, dan tahap penutupan. Dari tiga golongan ini, peneliti menentukan sendiri scene mana yang akan diambil. Sesuai dengan pernyataan Block (2008: 222) yang menyatakan sebelum menguasai struktur visual dalam film, seseorang harus mengerti struktur konsep bercerita dalam film. Hal ini akan menunjang pendefinisian hubungan antara tanda-tanda visual. Tidak perduli seberapa lama dan pendeknya sebuah cerita, struktur naratif ini pasti akan selalu ada.

Sesuai dengan pernyataan di atas, peneliti membagi pola peradegan ini ke dalam beberapa scene karena proses penafsiran atau pendefinisian hubungan tanda-tanda visual perlu memperhatikan cerita. Sedangkan dijelaskan sebelumnya pada landasan teori bahwa adegan atau scene merupakan rangkaian shot yang berhubungan, karena terikat oleh kesinambungan ruang, waktu, cerita, tema,


(27)

karakter, atau motif. Rangkaian gambar yang berkesinambungan ini akan memudahkan peneliti untuk menentukan proses penafsiran nantinya.

Merujuk pada pernyataan Block di atas yang menyatakan setiap cerita baik panjang maupun pendek memiliki struktur naratif. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah scene yang terkandung dalam film tidaklah menjadi ukuran. Setiap bagian struktur itu memiliki definisi dan cirinya sendiri.

Dari banyaknya scene yang dihasilkan film Opera Jawa, peneliti hanya mengambil 15 scene untuk dijadikan instrumen atau alat penelitian. Jumlah ini peneliti dapatkan sesuai dengan ciri tiga pola struktur naratif. Pada bagian pendahuluan terdapat 6 scene, pertengahan terdapat 4 scene, dan bagian penutup terdapat 5 scene. Scene yang berjumlah 15 ini diambil oleh peneliti karena dianggap mewakili ciri struktur naratif masing-masing golongan dan memiliki bahasa visual yang kuat. Scene yang telah ditentukan tersebut diambil beberapa capture (potongan gambar), dengan tetap memperhatikan pergerakan gambar sehingga ceritanya tetap mudah dipahami. Beberapa gambar yang dicapture ini ditampilkan agar mampu menunjukkan hubungan antara shot-shot lain dalam satu setting yang mungkin saling melengkapi visualisasi film, sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian dengan utuh.

G. PROSEDUR PENELITIAN

Agar efisien dan memudahkan proses kerja, sebuah karya tulis memerlukan prosedur penelitian. Selain itu prosedur penelitian ini juga untuk memudahkan proses evaluasi. Prosedur kerja yang peneliti lakukan meliputi beberapa hal yakni:


(28)

1. Pengumpulan Data

Sebelum menyusun proposal, peneliti sudah terlebih dahulu mengumpulkan data. Data ini erat kaitannya dengan ketertarikan peneliti terhadap film dan komunikasi di dalamnya. Dari data tersebut ditemukan sebuah fenomena yang menarik yang patut dijadikan karya tulis, yaitu film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho.

Data yang dikumpulkan adalah hal yang terkait dengan judul karya tulis, baik berupa teori budaya, makna, semiotika, komunikasi visual, film, dan beberapa catatan mengenai Garin Nugroho. Data ini diperoleh melalui teknik wawancara maupun studi kepustakaan dari catatan maupun rekaman. Data rujukan awal yang peneliti gunakan sebagai dasar adalah buku Membaca Film Garin, Pesan, Tanda, dan Makna, serta Memahami Film.

2. Penyajian Data

Agar tidak ditemukan bahasan dengan tema yang berulang-ulang, data yang diperoleh perlu diatur dan disajikan dengan baik. Data yang diperoleh peneliti dikelompokkan sesuai dengan konsentrasinya, kemudian dijelaskan dalam sebuah pemaparan yang memiliki alur menuju pembahasan tanda visual dan makna dibalik tanda tersebut. Data-data yang disajikan tersebut beberapa dilengkapi dengan gambar agar memudahkan pemahaman.

3. Pengelompokan Data

Agar terjalin kesatuan dan konsistensi dalam penelitian, peneliti mengaitkan semua data dengan proses komunikasi manusia yang mengandung makna. Rangkaian kalimat yang alurnya sengaja dibuat mengikuti pola komunikasi,


(29)

tanda, dan makna ini terjadi karena data yang diperoleh telah dikelompokkan dan terpisah sesuai dengan klasifikasi dan kategorinya masing-masing.

Data yang disajikan tersusun atas teori makna yang di dalamnya terkait budaya dan tanda visual sebagai hasil dari kebudayaan. Hal selanjutnya tersaji data mengenai komunikasi sebagai suatu proses yang sering dilakukan manusia sebagai mahkluk berbudaya. Wujud dari komunikasi yang sering dijadikan fokus karya tulis ini adalah komunikasi visual yang akan menyempit pada pembahasan film beserta unsur-unsur pembentuknya. Hal selanjutnya yang perlu diketahui sebagai kelompok data terakhir adalah teori tentang film beserta ulasan mengenai perjalanan Garin, sehingga kita mampu menangkap ciri khas dari film “Opera Jawa” sebagai karya Garin Nugroho. Ulasan tersebut akan membantu peneliti untuk menentukan nilai dan makna yang dimaksud Garin pada karyanya.

4. Pengolahan Data

Data berupa dokumen atau catatan yang telah didapatkan oleh peneliti dijadikan acuan dalam menelaah makna visual film “Opera Jawa”. Karya tulis ini sendiri menggunakan rekaman video atau file film “Opera Jawa” sebagai data pokoknya, yang kemudian diamati, dikelompokkan menjadi beberapa scene menonjol. Scene tersebut ditafsirkan makna dari tanda-tanda visualnya sesuai dengan rujukan dokumen dan wawancara terhadap pakar budaya dan pemerhati film.

5. Penganalisaan

Tahap penganalisaan ini merupakan tahap yang paling menentukan. Dalam tahap ini akan diketahui bagaimana peneliti menjawab semua pertanyaan


(30)

penelitian. Sesuai dengan jenis penelitian yang peneliti ambil, maka bentuk penganalisaan yang dilakukan peneliti berupa deskripsi hasil temuan dan tafsiran sesuai dengan tanda visual yang ada. Setelah didapat hasil tafsiran dan analisa dari capture film “Opera Jawa”, peneliti membuat benang merah dari keseluruhan capture, agar makna film tersebut bisa didapat secara utuh. Jika terdapat data yang kurang lengkap maka peneliti akan mengumpulkan data kembali agar diperoleh analisis yang tajam dan memperkaya penelitian. Selain menjawab bagaimana ikon, indeks, dan simbol, peneliti akan mengulas sedikit mengenai komponen visual dalam film “Opera Jawa”.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pada tahap kesimpulan ini, peneliti menyajikan simpulan. Simpulan tersebut merupakan paduan antara teoritik dan temuan-temuan pada proses penganalisaan. Selain itu, penulis juga memberikan rekomendasi bagi penelitian lanjut pada pihak terkait.

H. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen atau alat penelitian karya tulis ini melibatkan peneliti sebagai alat pengumpul datanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moleong pada bahasan sebelumnya yang menegaskan penelitian kualitatif menempatkan peneliti sebagai pelaksana, pengumpul data, analis, penafsir data, dan pelapor penelitian. Dalam konteks ini peneliti bisa dianggap sebagai salah satu variabel penelitian. Selain peneliti sendiri, film “Opera Jawa” merupakan salah satu instrumen pokok yang memediai pembahasan tanda dan makna dalam penelitian ini.


(31)

Sutopo (1996: 47) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dilandasi strategi berfikir fenomenologis yang selalu bersifat lentur serta terbuka. Data penelitian bukanlah alat dasar pembuktian, namun merupakan modal dasar pemahaman. Penelitian kualitatif yang menekankan pada makna, harus mengerucutkan diri pada data kualitas dengan analisis kualitatifnya. Atas dasar tersebut, maka data penelitian ini bisa berupa informan melalui hasil wawancara maupun dokumen atau arsip mengenai kebudayaan, makna, semiotika, komunikasi visual, film dan estetika.

Data tidak datang begitu saja, peneliti perlu memperhatikan beberapa teknik pengumpulan data agar peneliti benar-benar mengerti sejauh mana perannya. Sutopo (1996: 55) menyatakan bahwa terdapat dua strategi pengumpulan data yaitu metode interaktif dan noninteraktif. Metode interaktif ini meliputi observasi berperan dan wawancara yang mendalam. Dan metode noninteraktif meliputi catatan dokumen atau arsip (content analysis), observasi tidak berperan, serta kuesioner. Pengamatan terhadap rekaman video adalah salah satu contoh observasi langsung yang tidak berperan sama sekali, karena kehadirannya tidak diketahui dan disadari oleh subjek yang diamati.

Merujuk pernyataan di atas, penelitian ini mengambil cara observasi tidak berperan terhadap film “Opera Jawa”. Untuk menghadirkan visual ke dalam bentuk karya tulis atau buku, tentu peneliti harus mengcapture gambar-gambar film “Opera Jawa” agar mudah diidentifikasi tanda visualnya.

Penentuan jumlah capture atau potongan gambar ini diawali dengan penetuan pola struktur naratif sesuai dengan ciri dan karakternya. Masing-masing


(32)

karakter tahap pembuka, pertengahan, dan penutup telah dibahas pada bahasan subjek penelitian. Ketiga golongan atau struktur naratif ini nantinya akan ditentukan dalam beberapa scene. Setelah didapat beberapa scene yang mewakili masing-masing karakter struktur naratif, peneliti mengcapture beberapa gambar dengan tetap memperhatikan pergerakan gambar antara satu sama lain, agar kesinambungan cerita tetap terjaga.

Tahap permulaan berisi hal-hal yang mengenai intrik cerita dalam film. Pemeran utama dan pendukung sudah ditentukan, protagonis dan antagonis, masalah dan tujuan, serta berisi aspek ruang dan waktu cerita.

1. Ketakutan awal. Pada scene ini digambarkan Siti merasa dibayang-bayangi dan ditakut-takuti oleh sesosok mahkluk aneh bertopi kukusan. (00:03:00-00:04:55).

2. Kemunculan Ludiro. Scene ini mengenalkan siapa Ludiro dan bagaimana wataknya. Ia muncul secara perlahan di balik daging sapi yang digantung pada tempat pemotongan hewan. (00:09:58-00:11:55).

3. Siti kegerahan. Siti dari awal hingga akhir adegan digambarkan kegerahan sambil kipasan dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu. (00:16:37-00:19:48).

4. Labirin serabut kelapa. Pada adegan ini Sura mendoakan Siti dalam labirin spiral yang terbuat dari serabut kelapa. (00:24:40-00:28:32).

5. Bayang-bayang kelincahan di dapur. Adegan ini memperlihatkan kegerahan Siti untuk yang ke dua kalinya. Kali ini ia sendiri yang menghadirkan


(33)

bayangan mengenai sosok yang menggunakan topi kukusan dan bokong dengan kukusan. (00:31:00-00:33:35).

6. Ranjang merah. Berulang kali Siti berusaha memeluk, suaminya menolak. Setyo merasa malu dan hilang kepercayaan dirinya, sehingga sulit baginya untuk menghadirkan kehangatan yang diminta Siti. (00:33:35-00:39:05).

Tahap pertengahan berisi usaha dari tokoh utama untuk menyelesaikan masalah yang diperkenalkan pada tahap permulaan. Alur cerita akan mulai berubah seiring dengan tindakan pemeran utama yang tidak terduga, hal ini yang memicu adanya konflik. Konflik sering diartikan sebagai konfrontasi (fisik) antara pihak protagonis dengan antagonis.

7. Topeng perempuan. Setyo mulai hilang kepercayaan dirinya dan merasa sebagai perempuan karena tidak berdaya menguasai hati Siti. (00:50:19-00:52:24).

8. Bentangan kian merah. Suketi membuat kain merah panjang sebagai bujukan

bagi Siti agar mau menerima anaknya Ludiro. (01:07:24-01:12:30).

9. Tergoda birahi. Adegan ini merupakan kelanjutan adegan sebelumnya

mengenai bentangan kain merah dari ibu Ludiro. Siti mengintip alam kekuasaan Ludiro dan tergoda masuk ke dalamnya. (01:12:35-01:15:55). 10. Mandi tanah. Setyo membasuh Siti dengan tanah atas perselingkuhan yang

dilakukannya. (01:17:05-01:17:20).

Tahap penutupan berisi mengenai puncak dari konflik atau konfrontasi akhir. Pada tahap ini cerita film menemui titik tertinggi dalam ketegangan. Dalam


(34)

film action, biasanya klimaks berisi tentang pertarungan atau duel antara tokoh protagonis dan antagonis.

11. Pengerahan massa. Pada scene ini digambarkan para pendukung dari ke dua kubu yang bertikai. (01:25:47-01:27:50).

12. Peperangan Rama dan Rahwana. Adegan ini memiliki tampilan yang

sederhana. Diperlihatkan bahwa Setyo adalah Rama dan Ludiro adalah Rahwana. Setyo muncul di posisi kanan untuk mengalahkan Ludiro. (01:30:35-01:30:46).

13. Patung kematian. Singkat kata, adegan ini merupakan simbol dari

berkabungnya pihak Ludiro. Terdapat para penari yang memegang patung kepala emas, sedang para pengawal setia Ludiro berada di belakangnya. (01:31:30-01:32:46).

14. Siti berkabung. Adegan ini menampilkan Siti di dalam kain kuning berbentuk segitiga. (01:40:55-01:47:26).

15. Doa Sura. Adegan ini menampilkan Sura yang menyimpan sesaji. Sesaji itu disimpannya di atas televisi. (01:47:27-01:47:48).

Scene yang seluruhnya berjumlah 15 ini akan diambil beberapa gambarnya untuk dianalisis. Gambar-gambar yang nantinya didapat, akan dianalisis maknanya dengan memperhatikan tanda visual seperti ikon, indeks, dan simbol. Untuk lebih jelasnya, analisis visual ini diharapkan mampu menjawab beberapa aspek pertanyaan yang meliputi durasi, komposisi, framing, komponen visual, dan tanda visual yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.


(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Jelas sudah bahwa film “Opera Jawa” memiliki ikon, indeks, dan simbol yang melimpah. Sebagai karya visual yang tata bahasa gambarnya disengaja, film memiliki tanda yang bermakna denotatif maupun konotatif. Hal tersebut menjadi alasan mengapa ikon dan indeks dalam film ini sering berfungsi ganda menjadi simbol. Jika diamati secara seksama, tanda-tanda visual tersebut hadir pada dua tema dominan yaitu tanda kematian dan kesuraman, serta tanda godaan, hasrat, dan pertentangan batin.

Film yang memiliki kecenderungan estetika New Wave ini merupakan film multimedia yang menggabungkan rupa, tari, dan musik. Garin menempatkan diri sebagai dalang yang mengolah unsur naratif filmnya dengan kisah Ramayana. Sekalipun film ini memiliki ciri multimedia sebagaimana pertunjukkan wayang, keterbatasan film sebagai karya dua dimensi tidak mampu menyamai pengalaman estetik yang ditawarkan pertunjukan wayang.

Cerita film ini mencerminkan pemikiran Garin yang sekuler, logis serta berani. Beberapa properti tidak digunakan sebagaimana umumnya dan mampu melahirkan persepsi dan makna baru. Cerita Ramayana merupakan mitos dari agama Hindu yang harus diimani. Sebagai sineas yang lahir di bangku sekolah dan mengecap banyak pengalaman di luar negeri, pantas jika Garin berusaha melogiskan cerita mitos ini menurut pemikirannya. Hal ini pulalah yang melatari


(36)

pilihan estetika film Garin serta kemampuannya untuk meleburkan sesuatu menjadi paradoks dan multidisiplin.

“Opera Jawa” merupakan film yang memiliki banyak makna. Terdapat tiga nilai besar yang dapat digali dalam film ini yaitu setiap orang memiliki kebenarannya sendiri. Hanya Tuhan pemiliki kebenaran, sehingga hanya Dialah yang berhak menghukum yang bersalah. Selanjutnya mencintai adalah hak setiap manusia. Setiap individu layak memperjuangkan dan mempertanggungjawabkan haknya tersebut. Hal terakhir adalah ketika terjadi musibah atau konflik, rakyat kecil sering menjadi korban dan bahkan yang paling menderita. Mereka adalah korban sia-sia yang tidak berdosa, dari ambisi dan konflik para penguasa.

B. Rekomendasi

1. Peneliti berharap gaya estetik “Opera Jawa” dan kedudukannya sebagai film multimedia dapat menjadi inspirasi serta memicu sutradara film Indonesia lainnya untuk mengeksplorasi bentuk estetik film yang berhubungan erat dengan tanda dan makna.

2. Film “Opera Jawa” tidak hanya kaya unsur visualnya, lembaga perguruan tinggi bisa mengembangkan konsep pendidikan seni visual melalui film. Selain itu film ini bisa dikaji lebih lanjut pada aspek tari dan musiknya.

3. Semua hasil penelitian ini bisa mendukung proses pendidikan seni budaya di sekolah. Film hendaknya mulai diterapkan sebagai pembelajaran di sekolah. Tidak hanya sekedar memahami unsur-unsur film, namun lebih penting dari itu siswa bisa belajar menginterpretasi budaya melalui tanda-tanda visual. Tanda


(37)

visual ini memiliki makna dan bisa menjadi bahan kajian, sehingga tercipta apresiasi sebagai salah satu esensi pendidikan seni di sekolah umum.

4. Opera Jawa termasuk film multimedia. Ini adalah bentuk nyata yang membuktikan bahwa seni rupa, tari, dan musik memiliki hubungan yang erat, dan bisa disajikan pada meja yang sama. Hal tersebut diharapkan menjadi stimulus bagi para praktisi film dan guru seni, agar selalu berkarya melalui penggalian nilai tradisi.

5. Setiap film memiliki makna yang hendak disampaikan baik itu secara tersurat maupun tersirat. Kemampuan mengidentifikasi makna ini perlu dipelajari oleh masyarakat khususnya pelajar. Tidak jarang sebuah film yang mengusung tema positif sebetulnya memiliki muatan negatif sebagai alat propaganda atau sekedar merusak sistem nilai yang berlaku. Jeli mengamati tanda dan makna ini tidak hanya berguna bagi yang mengkaji film, namun juga penting bagi kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu diharapkan penelitian ini mengilhami para orang tua, masyarakat, dan pelajar agar bersikap bijak dalam mengambil keputusan. Dengan memperhatikan tanda-tanda lain kita diharap lebih dewasa dan mapan dalam memandang persoalan.


(1)

karakter tahap pembuka, pertengahan, dan penutup telah dibahas pada bahasan subjek penelitian. Ketiga golongan atau struktur naratif ini nantinya akan ditentukan dalam beberapa scene. Setelah didapat beberapa scene yang mewakili masing-masing karakter struktur naratif, peneliti mengcapture beberapa gambar dengan tetap memperhatikan pergerakan gambar antara satu sama lain, agar kesinambungan cerita tetap terjaga.

Tahap permulaan berisi hal-hal yang mengenai intrik cerita dalam film. Pemeran utama dan pendukung sudah ditentukan, protagonis dan antagonis, masalah dan tujuan, serta berisi aspek ruang dan waktu cerita.

1. Ketakutan awal. Pada scene ini digambarkan Siti merasa dibayang-bayangi dan ditakut-takuti oleh sesosok mahkluk aneh bertopi kukusan. (00:03:00-00:04:55).

2. Kemunculan Ludiro. Scene ini mengenalkan siapa Ludiro dan bagaimana wataknya. Ia muncul secara perlahan di balik daging sapi yang digantung pada tempat pemotongan hewan. (00:09:58-00:11:55).

3. Siti kegerahan. Siti dari awal hingga akhir adegan digambarkan kegerahan sambil kipasan dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu. (00:16:37-00:19:48).

4. Labirin serabut kelapa. Pada adegan ini Sura mendoakan Siti dalam labirin spiral yang terbuat dari serabut kelapa. (00:24:40-00:28:32).

5. Bayang-bayang kelincahan di dapur. Adegan ini memperlihatkan kegerahan Siti untuk yang ke dua kalinya. Kali ini ia sendiri yang menghadirkan


(2)

bayangan mengenai sosok yang menggunakan topi kukusan dan bokong dengan kukusan. (00:31:00-00:33:35).

6. Ranjang merah. Berulang kali Siti berusaha memeluk, suaminya menolak. Setyo merasa malu dan hilang kepercayaan dirinya, sehingga sulit baginya untuk menghadirkan kehangatan yang diminta Siti. (00:33:35-00:39:05).

Tahap pertengahan berisi usaha dari tokoh utama untuk menyelesaikan masalah yang diperkenalkan pada tahap permulaan. Alur cerita akan mulai berubah seiring dengan tindakan pemeran utama yang tidak terduga, hal ini yang memicu adanya konflik. Konflik sering diartikan sebagai konfrontasi (fisik) antara pihak protagonis dengan antagonis.

7. Topeng perempuan. Setyo mulai hilang kepercayaan dirinya dan merasa sebagai perempuan karena tidak berdaya menguasai hati Siti. (00:50:19-00:52:24).

8. Bentangan kian merah. Suketi membuat kain merah panjang sebagai bujukan bagi Siti agar mau menerima anaknya Ludiro. (01:07:24-01:12:30).

9. Tergoda birahi. Adegan ini merupakan kelanjutan adegan sebelumnya mengenai bentangan kain merah dari ibu Ludiro. Siti mengintip alam kekuasaan Ludiro dan tergoda masuk ke dalamnya. (01:12:35-01:15:55). 10. Mandi tanah. Setyo membasuh Siti dengan tanah atas perselingkuhan yang

dilakukannya. (01:17:05-01:17:20).

Tahap penutupan berisi mengenai puncak dari konflik atau konfrontasi akhir. Pada tahap ini cerita film menemui titik tertinggi dalam ketegangan. Dalam


(3)

film action, biasanya klimaks berisi tentang pertarungan atau duel antara tokoh protagonis dan antagonis.

11. Pengerahan massa. Pada scene ini digambarkan para pendukung dari ke dua kubu yang bertikai. (01:25:47-01:27:50).

12. Peperangan Rama dan Rahwana. Adegan ini memiliki tampilan yang sederhana. Diperlihatkan bahwa Setyo adalah Rama dan Ludiro adalah Rahwana. Setyo muncul di posisi kanan untuk mengalahkan Ludiro. (01:30:35-01:30:46).

13. Patung kematian. Singkat kata, adegan ini merupakan simbol dari berkabungnya pihak Ludiro. Terdapat para penari yang memegang patung kepala emas, sedang para pengawal setia Ludiro berada di belakangnya. (01:31:30-01:32:46).

14. Siti berkabung. Adegan ini menampilkan Siti di dalam kain kuning berbentuk segitiga. (01:40:55-01:47:26).

15. Doa Sura. Adegan ini menampilkan Sura yang menyimpan sesaji. Sesaji itu disimpannya di atas televisi. (01:47:27-01:47:48).

Scene yang seluruhnya berjumlah 15 ini akan diambil beberapa gambarnya untuk dianalisis. Gambar-gambar yang nantinya didapat, akan dianalisis maknanya dengan memperhatikan tanda visual seperti ikon, indeks, dan simbol. Untuk lebih jelasnya, analisis visual ini diharapkan mampu menjawab beberapa aspek pertanyaan yang meliputi durasi, komposisi, framing, komponen visual, dan tanda visual yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.Kesimpulan

Jelas sudah bahwa film “Opera Jawa” memiliki ikon, indeks, dan simbol yang melimpah. Sebagai karya visual yang tata bahasa gambarnya disengaja, film memiliki tanda yang bermakna denotatif maupun konotatif. Hal tersebut menjadi alasan mengapa ikon dan indeks dalam film ini sering berfungsi ganda menjadi simbol. Jika diamati secara seksama, tanda-tanda visual tersebut hadir pada dua tema dominan yaitu tanda kematian dan kesuraman, serta tanda godaan, hasrat, dan pertentangan batin.

Film yang memiliki kecenderungan estetika New Wave ini merupakan film multimedia yang menggabungkan rupa, tari, dan musik. Garin menempatkan diri sebagai dalang yang mengolah unsur naratif filmnya dengan kisah Ramayana. Sekalipun film ini memiliki ciri multimedia sebagaimana pertunjukkan wayang, keterbatasan film sebagai karya dua dimensi tidak mampu menyamai pengalaman estetik yang ditawarkan pertunjukan wayang.

Cerita film ini mencerminkan pemikiran Garin yang sekuler, logis serta berani. Beberapa properti tidak digunakan sebagaimana umumnya dan mampu melahirkan persepsi dan makna baru. Cerita Ramayana merupakan mitos dari agama Hindu yang harus diimani. Sebagai sineas yang lahir di bangku sekolah dan mengecap banyak pengalaman di luar negeri, pantas jika Garin berusaha melogiskan cerita mitos ini menurut pemikirannya. Hal ini pulalah yang melatari


(5)

pilihan estetika film Garin serta kemampuannya untuk meleburkan sesuatu menjadi paradoks dan multidisiplin.

“Opera Jawa” merupakan film yang memiliki banyak makna. Terdapat tiga nilai besar yang dapat digali dalam film ini yaitu setiap orang memiliki kebenarannya sendiri. Hanya Tuhan pemiliki kebenaran, sehingga hanya Dialah yang berhak menghukum yang bersalah. Selanjutnya mencintai adalah hak setiap manusia. Setiap individu layak memperjuangkan dan mempertanggungjawabkan haknya tersebut. Hal terakhir adalah ketika terjadi musibah atau konflik, rakyat kecil sering menjadi korban dan bahkan yang paling menderita. Mereka adalah korban sia-sia yang tidak berdosa, dari ambisi dan konflik para penguasa.

B. Rekomendasi

1. Peneliti berharap gaya estetik “Opera Jawa” dan kedudukannya sebagai film multimedia dapat menjadi inspirasi serta memicu sutradara film Indonesia lainnya untuk mengeksplorasi bentuk estetik film yang berhubungan erat dengan tanda dan makna.

2. Film “Opera Jawa” tidak hanya kaya unsur visualnya, lembaga perguruan tinggi bisa mengembangkan konsep pendidikan seni visual melalui film. Selain itu film ini bisa dikaji lebih lanjut pada aspek tari dan musiknya.

3. Semua hasil penelitian ini bisa mendukung proses pendidikan seni budaya di sekolah. Film hendaknya mulai diterapkan sebagai pembelajaran di sekolah. Tidak hanya sekedar memahami unsur-unsur film, namun lebih penting dari itu siswa bisa belajar menginterpretasi budaya melalui tanda-tanda visual. Tanda


(6)

visual ini memiliki makna dan bisa menjadi bahan kajian, sehingga tercipta apresiasi sebagai salah satu esensi pendidikan seni di sekolah umum.

4. Opera Jawa termasuk film multimedia. Ini adalah bentuk nyata yang membuktikan bahwa seni rupa, tari, dan musik memiliki hubungan yang erat, dan bisa disajikan pada meja yang sama. Hal tersebut diharapkan menjadi stimulus bagi para praktisi film dan guru seni, agar selalu berkarya melalui penggalian nilai tradisi.

5. Setiap film memiliki makna yang hendak disampaikan baik itu secara tersurat maupun tersirat. Kemampuan mengidentifikasi makna ini perlu dipelajari oleh masyarakat khususnya pelajar. Tidak jarang sebuah film yang mengusung tema positif sebetulnya memiliki muatan negatif sebagai alat propaganda atau sekedar merusak sistem nilai yang berlaku. Jeli mengamati tanda dan makna ini tidak hanya berguna bagi yang mengkaji film, namun juga penting bagi kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu diharapkan penelitian ini mengilhami para orang tua, masyarakat, dan pelajar agar bersikap bijak dalam mengambil keputusan. Dengan memperhatikan tanda-tanda lain kita diharap lebih dewasa dan mapan dalam memandang persoalan.