MULTIKULTURALISME DALAM FILM OPERA JAWA SUTRADARA GARIN NUGROHO
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72
MULTIKULTURALISME DALAM FILM OPERA JAWA SUTRADARA
GARIN NUGROHO
Wahyu Novianto
Prodi Teater, Institut Seni Indonesia - Surakarta
Abstrak
Film “Opera Jawa” menghadirkan berbagai warna lokal budaya daerah di
Indonesia. Warna lokal tersebut tampak pada koreografi, pemeranan, setting,
property, ilustrasi musik, kostum, dan make up yang digunakan. Kehadiran
warna lokal tersebut tidak lepas dari masing-masing individu yang terlibat
dalam film “Opera Jawa” yang berasal dari berbagai latar belakang budaya
yang beragam, seperti Miroto, Eko Supriyanto, Retno Maruti, dan Rahayu
Supanggah yang berlatar belakang budaya Jawa; I Nyoman Sura berlatar
belakang budaya Bali; Jecko Siompo berlatar belakang budaya Papua;
Slamet Gundono berlatar belakang budaya Banyumas, dan dukun Sumba,
Preng Marapu yang didatangkan langsung dari Sumba (NTT). Garin Nugroho
sengaja menghadirkan langsung pemilik asli berbagai budaya daerah itu.
Berbagai warna lokal budaya daerah itu kemudian direlasikan dengan produk-
produk budaya modern. Relasi itu tidak untuk mempertentangkan atau
membuat sebuah perlawanan, tetapi menghadirkanya secara selaras dan
seimbang. Dalam konteks inilah film “Opera Jawa” menghadirkan semangat
multikulturalisme.Kata Kunci: Opera Jawa, warna lokal, dan multikulturalisme
A. Pendahuluan
Film-film karya Garin Nugroho menampilkan warna lokal kebudayaan daerah. Garin Nugroho melihat bahwa setiap budaya daerah memiliki cara bertutur sendiri yang berkosekuensi pada tingkah laku dan sistem berfikirnya. Dalam setiap film-filmnya, Garin Nugroho sengaja menggunakan pemain-pemain lokal pemilik asli kebudayaan tersebut. Pemain lokal itu diberikan kebebasan untuk menggunakan bahasa daerahnya. Dalam hal ini, Garin Nugroho memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Ada perbedaan besar antara akting pakai bahasa Indonesia dan akting pakai bahasa lokal. Dengan bahasa lokal, bahasa tubuh terbawa. Padahal, bahasa tubuh adalah budaya. Ketika itu diungkapkan dengan bahasa Indonesia, budaya lokalnya hilan
.” Garin Nugroho menyadari bahwa setiap budaya daerah yang ada, seperti bahasa, property, dan kostum, tidak dapat dilepaskan keberadaannya dengan unsur-unsur budaya daerah yang lain.
Unsur-unsur budaya daerah tersebut saling berelasi dan memiliki keterikatan. Garin Nugroho menjadikan setiap budaya daerah yang hadir di dalam film-filmnya, dibiarkan hadir murni apa adanya sebagaimana realitasnya sehari- hari. Budaya daerah tersebut kemudian disejajarkan dengan budaya modern. Hal itu tampak di dalam film yang berjudul
Surat Untuk Bidadari. Film Surat Untuk Bidadari mengambil lokasi di Sumba
sehingga banyak bermunculan ikon-ikon budaya Sumba. Garin Nugroho kemudian menyejajarkan ikon-ikon budaya Sumba, seperti kostum, adat-istiadat, dan bahasa dengan ikon-ikon budaya modern, seperti
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72
potret Madonna, Elvis Presley, Batman, dan Parabola.
Benturan budaya modernitas versus tradisi, individualitas versus komunalitas, sejarah dan masa depan, serta berbagai telikung dalam soal-soal identitas dan globalisasi sering ditampilkan Garin Nugroho di dalam film-filmnya. Garin dengan rajin menjelajahi persoalan- persoalan identitas lokal dan global, menampilkannya dalam paradoks- paradoks cerdas yang multitafsir dan multidimensi (Swastika, 2006). Hal itu tampak pada film-filmnya, seperti Surat
Untuk Bidadari, Bulan Tertusuk Ilalang, Daun di Atas Bantal, dan Opera Jawa.
Film-film tersebut menunjukkan suatu kehidupan yang multikultur. Multikulturalisme adalah gerakan dalam memperjuangkan hubungan yang harmonis, berkesinambungan, dan berkeadilan di antara kebudayaan mayoritas dan minoritas (Piliang, 2004: 474-475). Mendudukkan kebudayaan lokal dan global secara sama. Dominasi budaya yang satu terhadap budaya yang lain tidak berlaku. Kedudukannya adalah selaras dan seimbang. Perbedaan dari masing-masing kebudayaan daerah dihormati dan dinilai secara sama. Multikulturalisme bertujuan untuk merayakan perbedaan (Barker, 2006: 379). Keberagaman budaya bukan dijadikan pertentangan, tetapi menjadi kekayaan budaya bangsa. Keberagaman interaksi antarbudaya yang demokratis dan terbuka.
Ashadi Siregar menyebut Garin Nugroho sebagai seorang film-maker yang menjadikan filmnya sebagai teks kultural. Begitu pula, proses kerja dan teknikalitas sinematografisnya pada hakikatnya adalah suatu praktik kultural (Nugroho, 2006: xiv). Garin Nugroho adalah seorang pembuat film, ia tidak hanya sebagai sutradara, tetapi juga penulis skenario, bahkan produsernya.
Hal itu yang membedakan seorang film-
maker dengan seorang sutradara pada
umumnya. Sutradara, pada umumnya dikontrak oleh rumah produksi film dan berkarya sesuai dengan tuntutan skenario yang telah disodorkan. Film yang diciptakan lebih untuk memenuhi kebutuhan pasar semata, berupaya menarik jumlah penonton sebanyak- banyaknya.
Teks kultural adalah film yang berorientasi kepada makna sebagai rohnya (Nugroho, 2006: ix). Makna film dari sebuah teks kultural merupakan ungkapan ekspresi pribadi sutradara. Sutradara besar selalu menciptakan karakteristik pada setiap film-film garapannya, maka dalam hal ini film diamati bukan sebagai sebuah karya seni objektif, tetapi sebagai pantulan diri pribadi yang menciptakannya, terutama dalam hubungan dengan pendirian dan gaya artistiknya (Boogs, 1992 : 293). Film yang tercipta atas ideologi, filsafat, dan pandangan hidup dari sutradara. Film tidak hanya sekedar tuntutan skenario dan permintaan sutradara semata. Semua pendukung adalah kreator yang bersama-sama mencipta sebuah teks kultural.
Film cerita garapan Garin Nugroho yang dengan kuat menampilkan kehidupan multikultural bangsa Indonesia adalah Opera Jawa (2006). Film Opera
Jawa terilhami dari berbagai bentuk ekstrimitas kekerasan. Garin Nugroho
mengdaptasi lakon Sinta Obong dalam kisah Ramayana untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Jadilah Opera
Jawa sebuah film requiem duka untuk
berbagai pembantaian yang lahir dari bentuk-bentuk kekerasan di seluruh pelosok bumi. Sebuah requiem untuk berbagai duka, duka bencana, duka
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72
konflik, duka kecemasan, dan duka bumi yang penuh dengan darah. Inilah requiem lewat gamelan, tembang dan tari, seni kostum, acting, visual serta instalasi dari pusat kebudayaan Jawa yang tumbuh di tengah multikultur ekspresi.
Film Opera Jawa setidaknya berbeda dengan film-film garapan Garin Nugroho yang lain karena menyajikan beragam seni, dari koreografi tari, tembang, akting, dan instalasi seni. Film Opera Jawa berangkat dari cerita Ramayana. Cerita Ramayana oleh Garin Nugroho diolah kembali didekatkan dengan konteks zaman sekarang. Setio (Miroto) ditampilkan sebagai laki-laki desa yang mencoba tetap setia dan bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga. Siti (Artika Sari Devi) adalah wanita desa yang rapuh di saat ekonomi keluarga tidak menentu, sedangkan Ludiro (Eko Supriyanto) adalah laki-laki dengan segala kemewahan dan kekuasaan. Kisah dalam film Opera Jawa berjalan pararel dengan tokoh Rama, Sita, dan Rahwana dalam dunia pewayangan Ramayana. Tokoh Setio dianalogikan sebagai Rama, Siti dianalogikan sebagai Sita, dan tokoh Ludiro dianalogikan sebagai Rahwana. Terdapat juga tokoh lain Anom (Jecko Siompo) yang dianalogikan berperan sebagai Hanoman, Sura (I Nyoman Sura) yang dianalogikan berperan sebagai Lesmana, dan tokoh Sukesi yang dimainkan oleh Retno Maruti. Pemain yang terlibat dalam film Opera
Jawa adalah para penari yang telah
diakui kemampuannya, baik dalam taraf nasional maupun internasional. Latar belakang budaya masing-masing aktor itu telah memberikan warna lokal pada penggunaan gerak-gerak simbolik, kata, dan nada yang digunakan. Dari berbagai warna lokal budaya yang dihadirkan itulah, film Opera Jawa menunjukkan semangat multikulturalisme.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dan akan didukung oleh data, baik yang meliputi aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Kegiatan penelitian ini difokuskan pada penilaian variabel yang berlaku ditinjau dari aspek sosial ekonomi, dan budaya dalam rangka mengungkap nilai-nilai multikulturalisme yang dihadirkan Garin Nugroho dalam film Opera Jawa.
Data akan dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu melalui pengamatan (observasi), wawancara, kuesioner, diskusi kelompok terarah, dan studi dokumen. Untuk
validitas data, uji keabsahan data akan
dilakukan melalui triangulasi sumber, baik responden/informan, kondisi lapangan, peserta diskusi kelompok terarah maupun data-data eksisting yang terkait. Metode
analisis data dengan menggunakan
metode analisis interaktif, analisis stakeholder, analisis hirarki proses (AHP) dan analisis SWOT.
C. Pembahasan
M.H. Abrams mengemukakan bahwa warna lokal atau local colour merupakan lukisan yang cermat mengenai setting, dialek, adat kebiasaan, cara berpakaian, cara berfikir, dan merasa yang khas dari suatu daerah tertentu yang terdapat dalam sebuah cerita rekaan (Sahid, 1992: 31). Warna lokal yang hadir menjadi identitas kultural yang tampak pada karya seni. Warna lokal tersebut tidak hanya sekedar merepresentasikan berbagai setting penceritaan dan dialek pengucapannya, tetapi juga melukiskan berbagai konflik dan cara pandang hidupnya. Warna lokal tersebut tidak hanya sekedar menjadi warna, tetapi juga menyediakan tempat untuk merasakan lokalitas itu berhubungan dengan konsep
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72
Jawa. Tarian tersebut diambil dari prosesi Tinggalan Dalem Jumenengan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Ingkang Kaping XIII di
hubungan, baik dengan berlangsungnya upacara kesuburan maupun kesejahteraan raja dan istana. Kelima
Bedhaya menggambarkan adanya
Tarian Bedhaya Ketawang dalam film Opera Jawa tersebut hadir dalam komposisi atau pola lantai dasar rakit dua, lima, dua. Makna dua dalam komposisi
menjadi bagian dalam acara prosesi Jumenengan tersebut.
abdi dalem keraton Surakarta yang lain
Setio dengan busana adat Jawa gaya Surakarta, terlihat bersama dengan para
Opera Jawa. Digambarkan bahwa Setio merupakan abdi dalem keraton Surakarta.
Sitihinggil Keraton Surakarta Hadiningrat, pada tanggal 30 Agustus 2005. Garin Nugroho melakukan peliputan terhadap prosesi Jumenengan tersebut, kemudian hasil peliputannya digabung menjadi satu rangkaian peristiwa dengan film
Tarian Bedhaya Ketawang menjadi adegan pembuka dalam film Opera
berfikir masyarakatnya. Dalam karya tersebut, penonton dapat mengetahui cara orang menyelesaikan persoalan dan konflik secara lokal.
(Dok: Wahyu Novianto)
Gambar 1 Penari Eko Supriyanto (Ludiro) merepresentasikan budaya Jawa melalui gerak tari klasik gaya Surakarta.
Penggunaan motif-motif gerak tari klasik Jawa yang dipresentasikan oleh Miroto (gaya Ngayogyakarta), Eko Supriyanto dan Retno Maruti (gaya Surakarta). Selain itu, juga dialek bahasa Banyumasan yang dipresentasikan oleh Slamet Gundono yang berperan sebagai dalang di setiap babak dalam film Opera Jawa. Latar belakang budaya tradisi yang melingkupi dari masing-masing seniman yang terlibat di dalamnya diberikan kebebasan untuk diekspresikan.
iringan gamelan Jawa garapan Rahayu Supanggah, busana yang digunakan garapan dari Samuel Wattimena, setting tempat yang digunakan seperti pendopo, senthong, dan rumah limasan.
Srimpet, Srimpi Gendhong, tari Bondan,
Warna lokal budaya Jawa dalam film Opera Jawa tampak dalam bentuk tarian Bedhaya Ketawang, Srimpi
tanda-tanda yang biasanya disebut sebagai “konsep” (Budiman, 1999: 93).
petanda merupakan aspek mental dari
Warna lokal yang hadir dalam film Opera Jawa adalah sebuah simbol. Simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu (Herusatoto, 2005: 10). Dalam pandangan Saussurean, simbol adalah sejenis tanda yang menyatakan hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan arbitrer (Berger, 2005: 23). Substansi penanda senantiasa bersifat material, yakni bunyi-bunyi, objek-objek, imaji-imaji, dan sebagainya, sedangkan
1. Warna Lokal Budaya Jawa
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72
Rambutnya dikesankan tidak terawat dan beruban. Kostum yang dipakai adalah kain kebaya compang-camping dengan warna yang telah memudar, tubuh bongkok menggendong tikar pandan di punggung, dan selendang tua yang menggantung di dada. Gerakan tarinya menunjukkan sosok perempuan yang bawel, genit dan selengekan. Gerakan mereka tidak segan-segan untuk menungging-
Wahyu Novianto)
Gambar 2 Tarian Srimpi Srimpet oleh kelompok Sahita sebagai representasi budaya Jawa (Dok:
adalah sama, film Opera Jawa menyikapi tentang berbagai kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran. Manusia dalam film Opera Jawa digambarkan dapat meramal kehidupan dengan membaca hati babi, tetapi manusia tidak dapat membaca kebenaran hati manusia dengan cara mencongkel hati dari dada manusia karena memahami kebenaran dengan membunuh manusia adalah cara binatang.
Opera Jawa. Esensi dari keduanya
Melihat esensi dari tari Srimpi Srimpet di atas, maka tari tersebut sesuai dengan tema yang terkandung di dalam film
(ragu-ragu)
“kala” (jaman) dan “tidha”
ledekan terhadap perilaku manusia yang menyerupai binatang. Serat Kalatidha sendiri mengandung arti surat tentang zaman yang penuh keragu-raguan, ditilik dari
Kalatidha karya pujangga Ranggawarsita, Srimpi Srimpet memperlihatkan sebuah
Tarian ini terilhami dari Serat
nungging dan menggoyangkan pinggul.
dalam film Opera Jawa pada adegan Setio menunggu barang daganganya di pasar yang tidak laku-laku, nasibnya semakin terasing dan terpuruk. Enam penari Srimpi Srimpet menari mengelilingi Setio dengan menembangkan kehidupan Para penari itu hadir dalam karakter perempuan tua yang sudah uzur.
penari Bedhaya tengah disebut sebagai
Srimpi Gendhong ditarikan oleh sanggar Sahita dari Solo. Srimpi Srimpet hadir
tari Bondan. Tarian Srimpi Srimpet dan
Srimpi Srimpet, Srimpi Gendhong, dan
Bentuk tarian lain yang hadir dalam film Opera Jawa selain Bedhaya adalah
Sri yang tampak di setting dan property yang dipergunakan.
Jawa sarat dengan anasir-anasir Dewi
Dewi kesuburan yang dipercaya oleh para petani menjaga tanah. Film Opera
dengan tokoh Siti. Dalam film Opera Jawa, Siti yang disimbolkan sebagai tanah yang digaru sekaligus diperebutkan. Tanah tersebut dalam kebudayaan Jawa erat kaitanya dengan keberadaan Dewi Sri.
Jawa mempunyai hubungan yang erat
Sebagai sebuah simbol kesuburan, kehadiran tari Bedhaya dalam film Opera
(Suharto, 1999: 39). Pada dasarnya, raja memang merupakan saksi tunggal dalam pergelaran Bedhaya yang secara langsung saling berhadapan. Dalam pengertian ini, akan terlihat keduanya bagai lingga dan yoni, yang tentu pula mengandung makna untuk kesuburan (Suharto, 1999: 38-39).
lajur sebagai simbol keseimbangan hidup
Tarian Srimpi lain yang hadir dalam film Opera Jawa adalah Srimpi Gendhong. Tarian ini hadir pada adegan Setio (Miroto) dan Anom (Jecko) pergi ke kota dengan
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72
menaiki gerobak yang ditarik oleh sapi untuk berjualan gerabah. Enam penari
Srimpi Gendhong melenggak-lenggok di tengah jalan mengiringi kepergian Setio.
Tarian ini ditarikan oleh enam orang penari dengan menggendong tenggok. Kostum yang dikenakan selayaknya ibu-ibu desa di Jawa, kebaya, jarik, dan kain penutup kepala dengan warna yang sudah memudar.
Koreografi lain yang hadir dalam film
Opera Jawa adalah tari Bondan. Tarian
ini hadir dalam film Opera Jawa, pada adegan anak-anak kecil yang menarikan tarian Bondan di depan rumah Setio, tampak beberapa pembantu Setio yang masih tersisa bertahan membuat gerabah, meskipun mereka tahu bahwa apa yang dikerjakannya adalah sebuah kesiasiaan. Tari Bondan tersebut ditarikan di atas kendi dengan hati-hati agar kendinya tidak pecah. Penarinya mengenakan kain wiron, kemben, rambut digelung atau dikelabang dengan menggendong boneka bayi dan memegang sebuah payung.
Tari Bondan menjadi penting pada bagian akhir tarian yang para penarinya kemudian memecah kendi. Dalam film Opera Jawa, hal tersebut dimaksudkan bahwa tanah sudah tidak bisa memberikannya hidup, usaha gerabah sebagai satu-satunya mata pencaharian untuk menghidupi keluarga sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kendi ibu yang menjadi tumpuan hidup telah terpecah. Oleh sebab itu, kemudian perempuan tua satu-satunya yang masih tersisa mengundurkan diri dari bekerja di tempat Setio. Mulai saat itulah kemudian Setio memutuskan untuk menjual sendiri gerabah-gerabahnya ke kota.
Tari Bondan secara esensi yang sebenarnya adalah melambangkan pentingnya asuhan lembut dari seorang ibu kepada anaknya. Kendi yang dinaiki menjadi simbol susu ibu, yakni susu ibu merupakan sumber bagi kehidupan. Tarian ini mencoba meletakkan posisi wanita, khususnya ibu menjadi sosok yang penting dalam kehidupan manusia. Sosok ibu dalam pandangan Ludiro adalah sebagai tumpuhan hidup. Hal itu tampak pada adegan, di saat rumahnya dibakar oleh Anom (Hanoman) dan para anak buahnya, Ludiro (Rahwana) jatuh menangis di pelukan ibunya sambil berkata ingin balik ke dalam perut ibunya. Sukesi dapat memahami tentang segala hal yang dipikirkan oleh anaknya, dan berusaha keras memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang diderita oleh anaknya, meskipun Sukesi tahu bahwa pilihan anaknya itu adalah salah.
Warna lokal budaya Jawa juga tampak dalam setting dan property yang digunakan, seperti rumah Setio yang berbentuk Limasan dan rumah Ludiro yang berbentu Pendopo. Rumah Setio di dalamnya terbagi menjadi ruang- ruang yang lengkap dari sebuah rumah Jawa pedesaan. Salah satu ruang yang digunakan menjadi setting dalam film
Opera Jawa adalah senthong. Senthong
tersebut menjadi setting pada adegan Siti mengajak bercinta dengan Setio, tetapi Setio menolaknya kemudian pergi meninggalkan Siti. Senthong di dalamnya terdapat tempat tidur berkelambu
(kerobongan) lengkap dengan kasur dan bantal.
Senthong dalam kebudayaan Jawa
diyakini sebagai tempat yang suci dan sakral. Ruang ini biasa digunakan untuk memberikan sesaji kepada Dewi Sri (mbok Sri), dewi kesuburan yang diyakini para petani sebagai pelindung pertanian. Bagi masyarakat yang masih menjalankan ritual sesaji, biasaya dilakukan tiga puluh lima hari sekali dengan meletakkan sesaji berupa pelita, kembang setaman, dan
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72
membakar kemenyan. Para petani di Jawa meyakini bahwa senthong sebagai titik penghubung antara rumah, sawah, dan nenek moyang (Santoso, 2000 : 51).
Dewi Sri dalam agama Hindu dipercaya sebagai saktinya (istrinya) Dewa Wisnu. Dewa Wisnu tersebut terlahirkan kembali di bumi sebagai manusia berwujud Rama. Rama dan Krisna adalah sinonim bagi Wisnu: dan Wisnu, pada sebaliknya, berarti Rama atau Krisna (Rajagopalachari, 2007: x) sehingga secara otomatis Dewi Sita juga merupakan sinonim dari Dewi Sri. Dewi Sita dalam film Opera Jawa, disimbolkan melalui tokoh Siti. Berbagai property yang dihadirkan dalam film Opera Jawa juga memiliki keterkaitan dengan budaya kesuburan atau Dewi Sri, seperti beras,
kukusan, pincuk, alu, dan tanah. Property
yang digunakan Siti bersumber dari dunia asal-usulnya yaitu, padi dan beras. Tanah dalam film Opera Jawa dipahami sebagai dunia asal-usul Siti, yang sebutan Siti adalah sebutan tanah dalam bahasa Jawa.
Sementara property lain yang dihadirkan sebagai representasi dari budaya Jawa adalah instalasi karya perupa Nindityo S Purnomo. Instalasi Nindityo berupa instalasi konde dan serabut kelapa. Karya-karya instalasi Nindityo menunjukkan nilai-nilai Jawa, dengan menggunakan bahan-bahan dari alam. Konsep instalasi Nindityo adalah penuh doa, sekaligus rapuh. Konsep ini tertuang dalam sebuah instalasi konde. Konde dimaknai bukan hanya sebagai gaya berpakaian wanita Jawa, tetapi konde menjadi suatu budaya yang telah mengakar pada tradisi Jawa. Sesuatu yang sudah menjadi aturan pada masyarakat Jawa. Instalasi lainnya yang diciptakan oleh Nindityo adalah lima pohon kelapa dan tumpukan serabut kelapa yang melingkar di halaman rumah Siti. Instalasi ini menjadi simbol sebuah penjagaan Lesmana terhadap Sita.
2. Warna Lokal Budaya Bali
Kehadiran warna lokal budaya Bali juga dipresentasikan oleh seniman yang memiliki latar belakang budaya Bali. Seniman tersebut adalah I Nyoman Sura yang dalam film Opera Jawa berperan sebagai Sura (Lesmana).
Warna lokal budaya Bali itu tampak dalam penggunaan kostum, motif-motif gerak tari Bali, dan sesaji-sesaji yang dilakukan. Kostum yang dikenakan oleh Sura menggunakan tradisi budaya Bali yaitu berupa, kain putih beras yang ujung bawahnya berwarna hitam. Kain tersebut dipakai seperti halnya memakai sarung. Pada bagian perutnya diikat dengan kain poleng seperti halnya juga memakai
stagen, kemudian menggunakan
selendang warna hitam, di bagian kepala menggunakan udeng berwarna putih.
Gambar 3 Penari I Nyoman Sura (Lesmana) merepresentasikan budaya Bali melalui gerak- gerak tari Bali. (Dok: Wahyu Novianto)
Motif gerak tari Bali yang dihadirkan oleh Sura tampak pada adegan penjagaan Siti berupa sledet, malpal, dan
agem kiri gagah. Sledet adalah melempar
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72
pandangan secara cepat ke samping kanan atau kiri lurus dan kembali ke posisi awal, dibarengi aksi dagu searah.
Malpal adalah gerakan berjalan sebelum
kaki melangkah diawali dengan piles atau jalan, tetapi mengangkat kakinya agak disendal. Gerakan agem kiri gagah dilakukan disaat adegan penjagaan Siti terhadap godaan Ludiro dan anak buahnya. Adegan berlangsung di halaman rumah Setio dengan melingkari instalasi pematang sawah. Instalasi yang dihadirkan berupa tanah yang dibuat seperti aliran air kemudian di dalamnya ditaruh blarak (daun pohon kelapa), di samping ditancapi dengan sapu lidi. Sapu lidi sebagai sebuah penanda untuk tolak
bala berfungsi mengusir roh-roh jahat yang masuk.
Warna lokal budaya Papua dalam film Opera Jawa dihadirkan oleh Anom (Jecko Siompo). Jecko Siompo adalah seorang koreografer yang berasal dari Papua (Irian Jaya) kemudian belajar tari secara akademis di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Jecko juga pernah belajar
break dance dan hip-hop dari seorang
penari jalanan Queens dan Manhattan New York, USA. Warna lokal budaya papua itu tampak dalam penggunaan rias dan motif gerak tari tradisi Papua. Rias yang digunakan oleh para anak buah Anom adalah seluruh tubuhnya dicat hitam kemudian dikasih goresan dan
tutul-tutul cat warna putih selayaknya kostum adat Papua.
Gambar 4 Penari Jecko Siompo (Hanuman) merepresentasikan budaya Papua melalui gerak- gerak tari Papua. (Dok: Wahyu Novianto)
Motif gerak tari tradisi Papua yang tampak dalam film Opera Jawa adalah gerak tari Etai. Etai merupakan gerak tari tradisional Papua yang memadukan antara gerak dan suara. Gerak dalam tari
3. Warna Lokal Budaya Papua
Etai itu kemudian oleh Jecko dipadukan
dengan motif-motif gerak break dance dan hip-hop. Gerakan berupa kedua tangan di taruh di depan kemudian pergelangan tangan ditekuk ke bawah. Gerakan tangan disertai dengan menekuk kedua kaki ke depan. Kedua tangan selalu mendekap dada dengan tubuh setengah terbungkuk. Bentuk tubuh seperti itu mengingatkan pada patung- patung primitif dari Asmat, mengingatkan juga pada bentuk burung Kasuari. Gerakan patah-patah sambil berjalan dengan diiringi suara rawe-rawe rantas binatang juga tampak di saat Anom melakukan pengintaian terhadap Siti di rumah Ludiro. Dalam pengintaiannya tersebut, Anom mengambil gerak kera sebagai representasi tokoh Hanoman.
4. Warna Lokal Budaya Banyumas
Penampilan dalang suket Slamet Gundono dalam film Opera Jawa juga mampu menghadirkan warna yang
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72
5. Warna Lokal Budaya Sumba
Opera Jawa dengan memainkan wayang
mengantarkan sebuah cerita. Pada awal adegan, seorang pewarta membuka kisah
Jawa berfungsi menjadi narator yang
Dukun Sumba didampingi oleh seorang pewarta (Slamet Gundono), mereka digambarkan adalah rombongan pengamen keliling dari kampung ke kampung. Pewarta dalam film Opera
Tokoh adat Sumba tersebut sudah dua kali terlibat dalam film karya Garin Nugroho. Keterlibatannya yang pertama adalah pada film Surat Untuk Bidadari, dengan cerita dan setting budaya di Sumba.
Sumba adalah bagian dari wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Warna lokal budaya Sumba dalam film Opera Jawa dihadirkan oleh seorang dukun Adat Sumba Timur, Preng Marapu. Dukun tersebut ahli membaca hati babi untuk mengetahui nasib manusia. Tokoh adat itu tampil dengan pakaian adat Sumba di awal adegan, di mana Setio dan Siti diramal cinta dan kesetiaanya dengan membaca hati babi. Membaca hati babi merupakan adat budaya Sumba, dimana orang yang minta diramal terlebih dahulu harus memegang hati babi, kemudian guratan-guratan yang ada di tangan akan dibaca nasibnya oleh seorang dukun.
Tembang-tembang yang dilantunkan oleh Slamet Gundono menggunakan dialek Banyumas dengan penggunaan bahasa campur aduk dari bahasa Jawa Timuran, Banyumasan, dan Indonesia. Tembang tersebut dilantunkanya dengan gaya musik blues yang penuh dengan improvisasi. Salah satu tembang yang dilantunkannya pada adegan, Slamet Gundono bernyanyi di kedai kopi mengiring Ludiro menari di atas meja.
lain. Slamet Gundono dengan tembang banyumasannya dengan diiringi alat musik ukelele mampu menghadirkan nuansa parodi. Suasana parodi tersebut juga tercipta dari bentuk tubuhnya yang gemuk dengan berat badan mencapai 150 kg. Saat asyik bernyanyi kadang tubuhnya yang dibiarkan telanjang dada bergerak-gerak sehingga menjadi tontonan tersendiri yang menarik.
Adam Smitt...”.
ini dengan dialog, “inilah kisahe dewi Sinta, ati sing pada direbutna laki- laki nang seluruh donya, wiwit nabi Adam sampai
Jawa
Dalam film Opera Jawa, Slamet Gundono berperan sebagai seorang pewarta yang tampil pada awal adegan mengantarkan cerita. Slamet Gundono telanjang dada dengan menggunakan topi koboi sambil duduk di atas televisi yang terbuat dari batu (karya Teddy S), Slamet Gundono kemudian bercerita tentang kisah percintaan Siti dan Setio, di tengah-tengah rombongan itu tampak tokoh adat Sumba sedang meramal Setio dan Siti dengan membaca hati babi. Dukun Sumba itu menyusuri guratan hati babi, seolah sedang membaca nasib cinta Setio dan Siti, Rama dan Sinta. Slamet Gundono mengawali film Opera
(Dok: Wahyu Novianto)
Gambar 5 Slamet Gundono melantunkan tembang melalui dialek budaya Banyumasan
Beber. Dialog yang diucapkanya dalam bentuk tembang, perpaduan antara blues
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1- 72
dan Banyumasan. Syair tembangnya adalah sebagai berikut.
“Akulah Pewarta dari kampung ke kampung. Tugasku bercerita. Tanpa satelit. Aku pewarta yang bercerita dengan hati babi.
Yang telah diupacarakan di seluruh negeri...Tugasku membaca hati. Hati kehidupan. Di sini tertulis yang benar dan yang tidak. Yang baik dan yang buruk.”
Berbagai warna lokal budaya daerah (Jawa, Bali, Papua, dan Sumba) yang dihadirkan tersebut kemudian direlasikan dengan produk-produk budaya modern, seperti TV, patung
fiberglasss, dan logam. Produk-produk
budaya modern itu sebagai sebuah citraan atas budaya kekerasan. Relasi tersebut tidak untuk mempertentangkan atau membuat sebuah perlawanan, tetapi menghadirkanya secara selaras dan seimbang. Antara yang lokal dan global, tradisi dan modern semua didudukkan secara sama.
Berbagai budaya yang dihadirkan di dalam film Opera Jawa itu menunjukkan suatu sikap multikulturalisme di dalam diri Garin Nugroho. Karya-karya Garin Nugroho cenderung menampilkan multikultural. Keragaman budaya daerah dihadirkan tidak untuk melakukan perlawanan atas budaya modern, tetapi menyejajarkannya secara selaras dan seimbang. Hal itu sudah menjadi ciri khas
Garin Nugroho dalam berkarya dengan merelasikan antara budaya lokal dan global, tradisi dan modern. Film Opera
Jawa menampilkan karakter dari masing-
masing budaya daerah untuk dihargai dan dinilai secara sama. Salah satu budaya daerah tidak lebih tinggi atau pun lebih rendah nilainya dari budaya daerah yang lain. Oleh karena itu, berbagai budaya daerah ditampilkan oleh Garin Nugroho sebagaimana realitasnya sehari-hari, semua dihadirkan secara demokratis dan terbuka.
Kekuatan film karya Garin Nugroho justru terletak pada berbagai budaya daerah yang ditampilkannya.
Penggunaan pemain-pemain lokal dengan bahasa daerahnya. Penggunaan bahasa daerah tersebut akan berkorelasi dengan seluruh unsur-unsur kebudayaan yang lain, sistem religi, mata pencaharian, adat istiadat, dan lain sebagainya. Unsur- unsur itu saling berkaitan, jika dihilangkan salah satu maka yang lain juga akan ikut hilang. Garin Nugroho merelasikan berbagai budaya Jawa, Sumba, Bali, dan Papua. Budaya Jawa meliputi seni istana, seni rakyat, seni pesisiran, dan seni gunung. Berbagai bentuk budaya yang dihadirkan itu mewakili karakter dari masing-masing tokohnya. Seni istana mewakili sifat lembut (Siti), seni pesisiran mewakili sifat religius (Setio), seni gunung mewakili sifat keras (Ludiro), dan seni rakyat mewakili spontanitas (massa). Antara yang lembut, religius, keras, dan spontanitas dihadirkan secara serentak tidak untuk saling menguasai, tetapi untuk saling menghargai, menghormati, dan toleransi.
D. Penutup
ETNOGRAFI / Vol. XV / No. 1 / 2015/ 1-72
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2006. Cultural Srudies, Teori Dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi wacana.Budi, Revianto Santosa. 2000. Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Bentang. M. Boogs, Joseph. 1992. Cara Menilai Sebuah Film terjemahan Asrul Sani. Jakarta: Yayasan Citra. Nugroho, Garin. 2005. Seni Merayu Massa, Jakarta: Kompas. Rajagopalachari, C. 2007. Ramayana. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Fajar Puataka Baru. Sahid, Nur. 1992. Warna Lokal Jawa dalam Beberapa Novel Tahun 80-an: Sebuah
Tinjauan Sosiologi Sastra. Penelitian atas biaya The Toyota Foundation Tahun 1991/1992 dalam Program Bantuan Dana bagi Peneliti Muda Indonesia.
Suharto, Ben. 1999. Tayub Pertunjukan dan Ritus Kesuburan. Bandung: MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia). Swastika, Alia. 1999.
“Reportoar Kolaborasi dan Gagasan yang Berceceran” dalam Media Indonesia, Minggu, 19 November 2006.
Sumber Referensi Lain :
www.wikipediindonesia.com