Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

Wiliam Wiersma (dalam Sugiyono, 2006: 58) menyatakan bahwa, teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. Selanjutnya, Cooper and Schindler dalam Sugiyono (2006: 59) mengatakan, teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Kerangka teoritis merupakan landasan pemikiran yang membantu peneliti dalam menentukan tujuan penelitian, arah penelitian, pemilihan konsep dan perumusan hipotesa (Koentjaraningrat: 1993: 21). Dalam penelitian kualitatif, karena permasalahan yang dibawa peneliti masih bersifat sementara, maka teori yang digunakan dalam penyusunan proposal juga bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki lapangan. Teori dalam penelitian kualitatif akan membantu peneliti dalam memahami konteks sosial secara luas dan mendalam (Sugiono: 2006: 240).

2.1 Multikulturalisme

Ada beberapa pandangan yang telah dikemukakan oleh beberapa penulis sebelumnya mengenai multikulturalisme, seperti Suparlan (2004:117) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi tentang perbedaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme sendiri mempunyai fondasi kebudayaan dalam masyarakat yang bersangkutan, yang terwujud sebagai sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan yang dipunyai oleh masyarakat multikultural. Sebagai sebuah ideologi yang menekankan perbedaan dalam kesederajatan, multikulturalisme juga didukung oleh ideologi demokrasi yang di dalamnya menganut persamaan dan kebersamaan. Multikulturalisme dikembangkan dari


(2)

konsep pluralisme budaya (cultural pluralism) dengan menekankan kesederajatan kebudayaan yang ada pada sebuah masyarakat. Oleh sebab itu, ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi tersebut, yaitu politik dan demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, dan prinsip-prinsip etika moral. Karena dalam konteks sebuah masyarakat ternyata persoalan tersebut tidak akan lepas dari sebuah perbedaan.

Scott Lash (2002) juga berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti ―keberagaman budaya‖. Dia berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku, budaya dan bahasa yang berbeda-beda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ―ketidaktunggalan‖. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan.

Menurut Bikhu Parekh (2001), istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni, pertama; konsep ini terkait dengan kebudayaan. Kedua, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan. Dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespon pluralitas itu. Oleh sebab itu, multikulturalisme bukan doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideologi dalam kehidupan manusia.

2.1.1 Etnis

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, sehingga bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang sangat kaya akan kebudayaan. Keragaman budaya, bahasa, suku, ras dan agama yang dimiliki oleh bangsa ini


(3)

bisa diamati dari wilayah Sabang sampai Merauke dan bisa diamati melalui produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat yang pluralistik yang berasal dari kata ―pluralisme ” (Soekanto, 1984 : 48). Sebenarnya istilah ini pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongan-golongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan dan diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam suku bangsa. Dan keaneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai Kelompok/ komunitas etnis (ethnic-group) yang masing-masing mempunyai kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan sistem sosial dan kebudayaan (yang selalu didukung oleh bahasa dan pola komunikasi tertentu dalam komunitas–komunitas etnis dan suku bangsa tersebut).

J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu.

2.1.2 Kebudayaan

Menurut bahasa Antropologi, ―kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar‖. Dengan demikian, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan dengan


(4)

belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses yang panjang).

Kata ―budaya‖ berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti ―budi‖ atau ―akal‖ (Koentjaraningrat 2003: 73-74). Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai ― hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal‖. Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata ―colere‖ yang artinya adalah ―mengolah atau mengerjakan‖, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai ―segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam‖. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu ―kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat‖.

Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto menambahkan bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan tertentu, akan sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan seperti rumah-rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu sendiri (Soekanto, 1974 : 40). Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa kebudayaan yang merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat , selalu mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat (Soekanto, 1984 : 158).

Pola hidup yang ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih


(5)

masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Definisi lain yang mendukung penjelasan sebelumnya adalah Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-sombol yang mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya (Liliweri, 2007 : 8).

Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (Samovar & Porter 2003 : 8):

Culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs, values, attitudes, meanings, social hierarchies, religion, notions of time, roles, spatial relationships, concepts of the universe, and material objects and possessions acquired by a group of people in the course of generations through individual and group striving (Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi).

2.2 Teori Konflik dan Manajemen Konflik 2.2.1 Konflik

Sebuah pepatah Cina mengatakan, ―Jika anda tidak pernah bertikai dengan orang lain, maka anda tidaklah akan mengenal satu sama lain‖. Jika dimaknai dengan benar, pepatah Cina tersebut tentunya tidaklah mengajarkan kita untuk bertikai, akan tetapi adakalanya juga dengan bertikai kita akan dapat mengenal karakter, budaya, kehebatan dan kemampuan orang lain.

Perspektif konflik pertama kali dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883). Dasar pemikirannya adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi ekploitasi kelas besar-besaran sebagai penggerak utama dalam kekuatan-kekuatan sejarah. Ketika berbicara mengenai konflik, maka akan ada banyak definisi dan


(6)

pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan sebagai pertentangan, peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi definisi mengenai konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk pada definisi Park dan Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik merupakan perjuangan untuk mendapatkan status. Status yang dimaksudkan disini adalah status sosial yang terdapat dalam klasifikasi masyarakat tertentu. Status ini tentu saja berkaitan dengan kedudukan dan prestise seseorang dalam masyarakat.

Namun Mack dan Snyder menambahkan bahwa Ia tidak hanya memperjuangkan status tetapi juga memperoleh sumber daya yang langka dan mewujudkan perubahan sosial yang signifikan. Dengan demikian maka konflik digambarkan disini sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang bertentangan dan atau untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini tidak dibatasi pada individual saja, melainkan pada kelompok atau pun dalam penelitian ini adalah komunitas (Bartos, 2002 : 13). Ketika berbicara mengenai konflik, maka perlu diperhatikan hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik. Pada awal tulisan ini, sudah dijelaskan secara singkat bahwa persoalan ekonomi sering menjadi faktor pemicu terjadinya konflik. Widarto, (2003: 30-31) mengemukakan bahwa konflik adalah pertentangan dan terdapat empat faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin menyebabkan bentrokan antar orang per orang.

2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antar kelompok manusia.


(7)

3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang maupun kelompok manusia merupakan sumber lain dari konflik atau pertentangan. Wujud dari kepentingan tersebut misalnya kepentingan dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya.

4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya berbagai golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi dari sistem nilai.

Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian ini pada persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian yang utama terhadap proses komunikasi antar budaya. Para psikolog berpendapat bahwa konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antara nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu, maupun dalam hubungannya dengan orang lain (Killman & Thomas,1978, dalam Haryati 2001 : 9). Selanjutnya Scuyth (dalam Haryati 2001 : 9) melihat konflik dari sisi hukum, mengemukakan bahwa konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri.

Menurut Simmel, konflik berguna untuk membentuk dan mempertahankan identitas dan garis batas masyarakat dalam kelompok. Konflik dengan kelompok lain mendukung pembentukan dan penegasan identitas kelompok tersebut terhadap dunia sosial disekitarnya.

Sedangkan menurut Webster 1996 (dalam Prurit, 2004) dikatakan bahwa istilah konflik ―conflict‖ di dalam bahasa aslinya berarti suatu ―perkelahian, perperangan atau perjuangan‖--- yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Akan tetapi nampaknya kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ―ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan


(8)

lain-lain‖. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi, istilah ―conflict‖ menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

2.2.2 Teori Konflik

Wirawan (2010), mengatakan bahwa konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama dan kepercayaan, aliran politik serta budaya dan tujuan hidupnya. Dan dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Dan konflik merupakan proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai obyek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.

Sedangkan Fisher dkk (2001) mengatakan bahwa konflik adalah suatu kenyataan hidup yang tidak terhindarkan dan konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Fisher dkk, ada 6 (enam) teori yang dapat digunakan untuk memahami penyebab konflik, yang diantaranya:

1. Teori hubungan masyarakat, teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. 2. Teori negoisasi prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik

disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. 3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang

berakar dapat disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia—fisik, mental dan sosial—yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering menjadi inti pembicaraan.


(9)

4. Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di massa lalu yang tidak terselesaikan.

5. Teori kesalah-pahaman antar budaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak-cocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori transormasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Dalam hal tersebut, Fisher juga berpendapat bahwa ada beberapa hal yang melatar belakangi sebuah konflik, diantaranya:

1. Kekuasaan. Kekuasaan adalah unsur penting dalam setiap masalah manusia: suatu konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar atau kekawatiran akan kehilangan kekuasaan.

2. Budaya. Budaya sangat menentukan cara seseorang dalam berfikir dan bertindak. Masyarakat menghormati budayanya sendiri, dan sering mempertahankan dalam menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar. Konflik bisa terjadi karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

3. Identitas. Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Dalam konflik, apa yang dirasakan orang mengenai siapa diri mereka dapat berubah dan menjadi sumber kekuatan untuk melakukan peningkatan. Pada waktu yang sama, cara pandang orang lain terhadap satu individu lain atau kelompok dapat berubah menjadi sebuah cara pandang serangan.


(10)

4. Hak-hak. Merupakan dimensi konflik sosial dan politik yang vital. Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran ini, merupakan dasar dari berbagai konflik kekerasan.

William Hendricks (1996) berpendapat bahwa konflik biasanya dilatar-belakangi oleh perbedaan-perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satupun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kolompok masyarakat yang lainnya. Dan konflik hanya akan hilang bersama dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Menurut Liliweri (2005), konflik yang terjadi antar etnis ada beberapa definisi yang diantaranya:

1. Suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan individu atau kelompok yang berbeda etnis (suku, agama, ras, dan golongan) karena memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai kebutuhan. 2. Hubungan antar dua etnis atau lebih (individu/kelompok) yang

memiliki/ merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.

3. Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu/kelompok etnis baik intra etnis maupun antar etnis yang memiliki perbedaan sikap, norma, dan kepercayaan.

4. Pertikaian antar etnis yang disebabkan karena perbedaan kebutuhan nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya.

5. Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua etnis /lebih secara antagonis.

Liliweri juga menambahkan bahwa ada empat unsur-unsur konflik yang diantaranya adalah sebagai berikut:


(11)

1. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat. Ada interaksi antar personal maupun antar kelompok diantara mereka yang terlibat.

2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik antar etnis, tujuan itu yang menjadi sumber konflik.

3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar etnis dalam kerangka konflik untuk mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.

4. Ada situasi konflik antara dua etnis atau lebih yang bertentangan, meliputi situasi antar pribadi, kelompok dan antar organisasi.

Webster (dalam Pruit dan Rubin, 2009) mengatakan bahwa istilah ―conflict‖ di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, perjuangan, yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.

Sehingga, dari beberapa penjelasan mengenai konflik oleh beberapa penulis seperti yang telah dikatakan diatas, peneliti dalam hal ini dapat menyimpulkan bahwa konflik merupakan sebuah persoalan yang timbulnya disebabkan oleh karena pemahaman yang tidak sejalan, ego diri yang terlalu tinggi, watak adat isitadat yang keras dan latar belakang individu atau kelompok yang dalam kondisi tertentu melakukan persinggungan dan melukai, rasa dan perasaan sehingga menyebabkan masing-masing pihak tidak dapat menerima kondisi yang dialami dan memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan watak, karakter, budaya dan cara yang mereka miliki masing-masing.

2.2.3 Manajemen Konflik

Dalam hal persoalan konflik, sangat perlu sekali dilakukan manajemen, seperti yang dikatakan oleh Alice Pescuric (dalam Wirawan, 2010), mengelola konflik merupakan urutan ke-7 dari 10 prioritas kegiatan seorang manajer dalam sebuah kepemimpinananya. Dalam menjalankan kehidupan pasti akan menghadapi konflik, dan konflik tersebut dapat terjadi yang disebabkan oleh beragam hal, seperti konflik antar anggota organisasi, atau konflik dengan pihak luar. Sehingga sangat diperlukan sebuah manajemen konflik dalam berkehidupan.


(12)

Menurut P3PK UGM (1997) seperti yang dikutip oleh Ali Imron, untuk dapat memanajemen konflik diperlukan beberapa pendekatan seperti salah satunya adalah pendekatan multikultural, karena pendekatan multikultural lebih mengakui hak individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-masing, termasuk jender, dengan bebas. Selain itu, dalam pendekatan multikultral terdapat tiga perspektif dalam pengembangannya, yaitu: Pertama, Perspektif Cultural Assimilation, model yang menunjukan pada proses asimilasi warga masyarakat subnational kedalam suatu core culture atau core society. Kedua, Perspektif Cultural Pluralisme, perspektif yang menekankan pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnational untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing dan Ketiga, Perspektif cultural Synthesis, dimana perspektif ini merupakan sintesis dari perspektif asimilationis dan pluralis, yang lebih menekanan pentingnya proses terjadinya sintesis di dalam diri warga masyarakat dan terjadinya perubahan dalam berbagai kebudayaan masyarakat subnational.

Adapun maksud dari pendekatan multikultural dalam kajian tersebut adalah pendekatan yang menggunakan matra yang berbasis pada pluralitas budaya dalam kehidupan masyarakat yang memberikan kebebasan kepada berbagai budaya untuk hidup berdampingan dan saling menghargai satu dengan lainnya. Gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari dalam setiap analisis masalah dan dalam mencari resolusi konflik. Dengan pendekatan demikian diharapkan kultur etnik dan agama, bahkan golongan semuanya dapat berinteraksi secara wajar tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya.

Penanganan terhadap konflik dengan pendekatan represif ataupun keamanan (security approach) tidaklah tepat, terlebih pada masa pascareformasi. Bahkan, pada masa-masa mendatang penanganan konflik social dengan menggunakan senjata sama sekali tidak populer. Karena, di samping sering membawa korban jiwa, juga sering tidak menyelesaikan permasalahan. Misalnya, fenomena yang


(13)

terjadi di Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun lalu, penyelesaian konflik dengan senjata ternyata justru banyak membawa bencana sosial seperti banyak kekerasan seksual dan/ atau pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh oknum militer yang bertugas berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun di wilayah serambi Mekkah itu. Perjanjian perdamaianlah yang akhirnya menyelesaikan konflik di provinsi Indonesia paling barat itu. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan memerhatikan issue yang melatari konflik (Ali Imron, 2006). Oleh karenanya penanganan terhadap konflik tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan kekerasan, namun perlu dilakukan dengan mengedepankan pendekatan yang mengetahui latar belakang persolan atau terjadinya konflik tersebut.

Lebih lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik sebagai masalah dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus dibasmi, terlebih memandangnya sebagai pemberontakan atau makar yang harus diberangus sampai ke akar-akarnya, tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih memfokuskan perhatian bukan hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlakukan tidak adil, dan seterusnya. Juga, pendekatan konflik memfokuskan pada kondisi dan situasi yang melatari konflik yang terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik harus dilakukan secara multidimensi atau dengan pendekatan holistik, di antaranya dengan perspektif multikultural (Ali Imron, 2002). Seperti dipaparkan di atas, bahwa pemahaman akan keberadaan konflik perlu dilakukan dengan penyelesaian secara holistik/menyeluruh dengan memandang dari berbagai aspek konflik tersebut. Hal itu merupakan salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk toleran dan terbuka untuk memasuki dan dimasuki.

Dalam beberapa pemaparan mengenai manajemen konflik diatas, dapat disimpulkan bahwa perlunya sebuah konflik dalam lingkungan multikulturalisme dikelola atau dimanajemeni dengan baik sehingga konflik-konflik yang terjadi


(14)

dapat diminimalisir. Sedangkan dalam pendekatan-pendakatan yang digunakan juga terdapat beberapa seperti dengan cara tindakan menghindar, kompromis, berkolaborasi yang tentunya tidak meninggalkan pendekatan kultural dimana setiap hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing etnis dikelola dan diakui dengan baik.

2.3 Argumentasi Teoritis

Dari kajian pustaka diatas pada intinya merupakan bekal peneliti sebagai frame berpikir peneliti dalam upaya untuk berdialog secara kritis dengan fakta empiris. Dengan konsep dasar yang digunakan seperti Multikulturisme, Konflik dan konsep manajemen konflik diharapakan akan menjadi frame berpikir dalam menganalisis penegelolaan konflik dalam pergaulan multikultur. Oleh karena dalam penelitian kualitatif, sifat dari realitas bersifat holistik maka akan lebih baik jika peneliti sebagai human instrument dalam penelitian kualitatif mempunyai bekal teori yang cukup banyak, akan tetapi tentunya peneliti harus bersifat ―perspektif emic‖ dimana ―memperoleh data yang tidak hanya tersirat, tapi juga yang tidak tersirat‖.

Dalam hal ini tidak semua teori akan digunakan untuk menganalisis masalah, teori mana yang akan digunakan, akan dipilih berdasarkan tujuan penelitian dan temuan fakta empiris di lapang. Argumentasi yang dibangun disini adalah disisi lain konsep yang ada akan membantu kita memahami realitas secara lebih baik, akan tetapi disisi lain akan mendistorsi pemahaman kita akan realitas.Akan tetapi sesuai tujuan dari penelitian bahwa penelitian ini ditujukan untuk menganalisis pengelolaan konflik dalam hal ini konflik-konflik etnis yang ada dalam lingkungan UKSW. Dimana lebih ditekankan terhadap pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penanganan (pengelolaan) konflik antar etnis, dalam hal ini mahasiswa UKSW.


(1)

4. Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di massa lalu yang tidak terselesaikan.

5. Teori kesalah-pahaman antar budaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak-cocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

6. Teori transormasi konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Dalam hal tersebut, Fisher juga berpendapat bahwa ada beberapa hal yang melatar belakangi sebuah konflik, diantaranya:

1. Kekuasaan. Kekuasaan adalah unsur penting dalam setiap masalah manusia: suatu konflik sering berpusat pada usaha untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar atau kekawatiran akan kehilangan kekuasaan.

2. Budaya. Budaya sangat menentukan cara seseorang dalam berfikir dan bertindak. Masyarakat menghormati budayanya sendiri, dan sering mempertahankan dalam menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar. Konflik bisa terjadi karena ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.

3. Identitas. Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Dalam konflik, apa yang dirasakan orang mengenai siapa diri mereka dapat berubah dan menjadi sumber kekuatan untuk melakukan peningkatan. Pada waktu yang sama, cara pandang orang lain terhadap satu individu lain atau kelompok dapat berubah menjadi sebuah cara pandang serangan.


(2)

4. Hak-hak. Merupakan dimensi konflik sosial dan politik yang vital. Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran ini, merupakan dasar dari berbagai konflik kekerasan.

William Hendricks (1996) berpendapat bahwa konflik biasanya dilatar-belakangi oleh perbedaan-perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satupun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kolompok masyarakat yang lainnya. Dan konflik hanya akan hilang bersama dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Menurut Liliweri (2005), konflik yang terjadi antar etnis ada beberapa definisi yang diantaranya:

1. Suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan individu atau kelompok yang berbeda etnis (suku, agama, ras, dan golongan) karena memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai kebutuhan. 2. Hubungan antar dua etnis atau lebih (individu/kelompok) yang

memiliki/ merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.

3. Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu/kelompok etnis baik intra etnis maupun antar etnis yang memiliki perbedaan sikap, norma, dan kepercayaan.

4. Pertikaian antar etnis yang disebabkan karena perbedaan kebutuhan nilai, motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya.

5. Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua etnis /lebih secara antagonis.

Liliweri juga menambahkan bahwa ada empat unsur-unsur konflik yang diantaranya adalah sebagai berikut:


(3)

1. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat. Ada interaksi antar personal maupun antar kelompok diantara mereka yang terlibat.

2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik antar etnis, tujuan itu yang menjadi sumber konflik.

3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar etnis dalam kerangka konflik untuk mendapatkan atau mencapai tujuan atau sasaran.

4. Ada situasi konflik antara dua etnis atau lebih yang bertentangan, meliputi situasi antar pribadi, kelompok dan antar organisasi.

Webster (dalam Pruit dan Rubin, 2009) mengatakan bahwa istilah ―conflict‖ di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, perjuangan, yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak.

Sehingga, dari beberapa penjelasan mengenai konflik oleh beberapa penulis seperti yang telah dikatakan diatas, peneliti dalam hal ini dapat menyimpulkan bahwa konflik merupakan sebuah persoalan yang timbulnya disebabkan oleh karena pemahaman yang tidak sejalan, ego diri yang terlalu tinggi, watak adat isitadat yang keras dan latar belakang individu atau kelompok yang dalam kondisi tertentu melakukan persinggungan dan melukai, rasa dan perasaan sehingga menyebabkan masing-masing pihak tidak dapat menerima kondisi yang dialami dan memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan watak, karakter, budaya dan cara yang mereka miliki masing-masing.

2.2.3 Manajemen Konflik

Dalam hal persoalan konflik, sangat perlu sekali dilakukan manajemen, seperti yang dikatakan oleh Alice Pescuric (dalam Wirawan, 2010), mengelola konflik merupakan urutan ke-7 dari 10 prioritas kegiatan seorang manajer dalam sebuah kepemimpinananya. Dalam menjalankan kehidupan pasti akan menghadapi konflik, dan konflik tersebut dapat terjadi yang disebabkan oleh beragam hal, seperti konflik antar anggota organisasi, atau konflik dengan pihak luar. Sehingga sangat diperlukan sebuah manajemen konflik dalam berkehidupan.


(4)

Menurut P3PK UGM (1997) seperti yang dikutip oleh Ali Imron, untuk dapat memanajemen konflik diperlukan beberapa pendekatan seperti salah satunya adalah pendekatan multikultural, karena pendekatan multikultural lebih mengakui hak individu untuk tetap mengekspresikan identitas budayanya sesuai dengan latar belakang masing-masing, termasuk jender, dengan bebas. Selain itu, dalam pendekatan multikultral terdapat tiga perspektif dalam pengembangannya, yaitu: Pertama, Perspektif Cultural Assimilation, model yang menunjukan pada proses asimilasi warga masyarakat subnational kedalam suatu core culture atau core society. Kedua, Perspektif Cultural Pluralisme, perspektif yang menekankan pentingnya hak bagi semua kebudayaan dan masyarakat subnational untuk memelihara dan mempertahankan identitas kultural masing-masing dan Ketiga, Perspektif cultural Synthesis, dimana perspektif ini merupakan sintesis dari perspektif asimilationis dan pluralis, yang lebih menekanan pentingnya proses terjadinya sintesis di dalam diri warga masyarakat dan terjadinya perubahan dalam berbagai kebudayaan masyarakat subnational.

Adapun maksud dari pendekatan multikultural dalam kajian tersebut adalah pendekatan yang menggunakan matra yang berbasis pada pluralitas budaya dalam kehidupan masyarakat yang memberikan kebebasan kepada berbagai budaya untuk hidup berdampingan dan saling menghargai satu dengan lainnya. Gagasan dan semangat pluralistik terasa mendasari dalam setiap analisis masalah dan dalam mencari resolusi konflik. Dengan pendekatan demikian diharapkan kultur etnik dan agama, bahkan golongan semuanya dapat berinteraksi secara wajar tanpa harus dipertentangkan, masing-masing memiliki eksistensinya.

Penanganan terhadap konflik dengan pendekatan represif ataupun keamanan (security approach) tidaklah tepat, terlebih pada masa pascareformasi. Bahkan, pada masa-masa mendatang penanganan konflik social dengan menggunakan senjata sama sekali tidak populer. Karena, di samping sering membawa korban jiwa, juga sering tidak menyelesaikan permasalahan. Misalnya, fenomena yang


(5)

terjadi di Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun lalu, penyelesaian konflik dengan senjata ternyata justru banyak membawa bencana sosial seperti banyak kekerasan seksual dan/ atau pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh oknum militer yang bertugas berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun di wilayah serambi Mekkah itu. Perjanjian perdamaianlah yang akhirnya menyelesaikan konflik di provinsi Indonesia paling barat itu. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan memerhatikan issue yang melatari konflik (Ali Imron, 2006). Oleh karenanya penanganan terhadap konflik tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan kekerasan, namun perlu dilakukan dengan mengedepankan pendekatan yang mengetahui latar belakang persolan atau terjadinya konflik tersebut.

Lebih lanjut, pendekatan pemecahan masalah memperlakukan konflik sebagai masalah dan bukan sebagai tindak kerusuhan dan kekerasan yang harus dibasmi, terlebih memandangnya sebagai pemberontakan atau makar yang harus diberangus sampai ke akar-akarnya, tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pendekatan konflik semestinya lebih memfokuskan perhatian bukan hanya pada perilaku konflik melainkan juga rasa tidak puas, rasa diperlakukan tidak adil, dan seterusnya. Juga, pendekatan konflik memfokuskan pada kondisi dan situasi yang melatari konflik yang terjadi. Ringkasnya, pendekatan konflik harus dilakukan secara multidimensi atau dengan pendekatan holistik, di antaranya dengan perspektif multikultural (Ali Imron, 2002). Seperti dipaparkan di atas, bahwa pemahaman akan keberadaan konflik perlu dilakukan dengan penyelesaian secara holistik/menyeluruh dengan memandang dari berbagai aspek konflik tersebut. Hal itu merupakan salah satu jalan yang memungkinkan kita untuk toleran dan terbuka untuk memasuki dan dimasuki.

Dalam beberapa pemaparan mengenai manajemen konflik diatas, dapat disimpulkan bahwa perlunya sebuah konflik dalam lingkungan multikulturalisme dikelola atau dimanajemeni dengan baik sehingga konflik-konflik yang terjadi


(6)

dapat diminimalisir. Sedangkan dalam pendekatan-pendakatan yang digunakan juga terdapat beberapa seperti dengan cara tindakan menghindar, kompromis, berkolaborasi yang tentunya tidak meninggalkan pendekatan kultural dimana setiap hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing etnis dikelola dan diakui dengan baik.

2.3 Argumentasi Teoritis

Dari kajian pustaka diatas pada intinya merupakan bekal peneliti sebagai frame berpikir peneliti dalam upaya untuk berdialog secara kritis dengan fakta empiris. Dengan konsep dasar yang digunakan seperti Multikulturisme, Konflik dan konsep manajemen konflik diharapakan akan menjadi frame berpikir dalam menganalisis penegelolaan konflik dalam pergaulan multikultur. Oleh karena dalam penelitian kualitatif, sifat dari realitas bersifat holistik maka akan lebih baik jika peneliti sebagai human instrument dalam penelitian kualitatif mempunyai bekal teori yang cukup banyak, akan tetapi tentunya peneliti harus bersifat ―perspektif emic‖ dimana ―memperoleh data yang tidak hanya tersirat, tapi juga yang tidak tersirat‖.

Dalam hal ini tidak semua teori akan digunakan untuk menganalisis masalah, teori mana yang akan digunakan, akan dipilih berdasarkan tujuan penelitian dan temuan fakta empiris di lapang. Argumentasi yang dibangun disini adalah disisi lain konsep yang ada akan membantu kita memahami realitas secara lebih baik, akan tetapi disisi lain akan mendistorsi pemahaman kita akan realitas.Akan tetapi sesuai tujuan dari penelitian bahwa penelitian ini ditujukan untuk menganalisis pengelolaan konflik dalam hal ini konflik-konflik etnis yang ada dalam lingkungan UKSW. Dimana lebih ditekankan terhadap pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penanganan (pengelolaan) konflik antar etnis, dalam hal ini mahasiswa UKSW.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB IV

0 7 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB V

0 0 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB VI

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)

0 1 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simulasi Autonomous Vehicle di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga T1 612010705 BAB II

0 0 10

T1__Full text Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Spedagi: Studi Sosiologis Peran Aktor dalam Memfasilitasi Pembangunan Pasar Papringan Melalui Modal Sosial pada Masyarakat Desa Carubanabupaten Temanggung T1 Full text

0 1 28

T1 Abstract Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Spedagi: Studi Sosiologis Peran Aktor dalam Memfasilitasi Pembangunan Pasar Papringan Melalui Modal Sosial pada Masyarakat Desa Carubanabupaten Temanggung

0 0 1

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pergaulan Multikultural di Kota Salatiga: Studi Peran Forum Persaudaraan antar Etnis Salatiga dalam Pengelolaan Pergaulan Multikultural di Kota Salatiga T1 BAB II

0 1 9