Analisis Karakterisasi Partikulat Udara Abient Di Surabaya.

ANALISIS KARAKTERISASI PARTIKULAT UDARA ABIENT DI SURABAYA
Eka Fitriani Ahmad1), Muhayatun Santoso2) ,Anni Anggraeni1)
1) Program Studi Magister Kimia FMIPA UNPAD
Jl. Singaperbangsa No.2 Bandung 40133, e-mail: ekafitrianiahmad@gmail.com
2) PSTNT BATAN-Bandung
Jl. Taman Sari No. 71 Bandung 40132
Abstract

Pencemaran udara merupakan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya
bagi manusia tapi juga akan berdampak buruk bagi ekosistem hewan dan
tumbuhan. Pada penelitian ini akan mengkaji pencemaran udara dari Oktober
2012 hingga Februari 2014 melalui Karakterisasi partikulat udara ambien yang
meliputi konsentrasi PM 2,5 μ m, konsentrasi PM 10 μ m, konsentrasi black
carbon dan konsentrasi unsur logam yang terkandung di dalam partikulat. Hasil
dalam percobaan ini adalah konsentrasi PM 2.5 telah melebihi nilai baku mutu
tahunan yaitu sebesar 15.05 μ g/m3, konsentrasi PM 10 sebesar 30.41 μ g/m3
sehingga tidak melebihi nilai ambang baku, dan Konsentrasi Pb telah melebihi
nilai baku mutu USEPA yatu sebesar 0.28 μ g/m3
Kata kunci: Particulate matter, Black Carbon, Unsur Logam, Surabaya.
1. Pendahuluan
Pencemaran udara didefinisikan sebagai masuknya suatu komponen lain kedalam udara

ambien dengan jumlah tertentu sehingga kualitas udara menurun yang akan berdampak
membahayakan bagi kesehatan manusia dan ekosistem alam (Cooper et al, 2014).
Pencemaran udara dapat menyebabkan ganguan pada kesehatan manusia, kehidupan flora
dan fauna ataupun kerusakan material sehingga terjadinya gangguan atau penurunan
kualitas hidup dan kenyamanan dalam melaksanakan kegiatan (Foster, 1994). Parameter
utama pencemaran udara yang memiliki dampak signifikan pada kesehatan adalah
particulate matter (PM). Jenis dari PM bervariasi tergantung dengan ukuran partikulat.
Semakin kecil partikulat udara semakin mudah masuk kedalam route of exposure melalui
pernafasan, dimana efek dampak yang ditimbulkan tergantung pada komposisi kimia
durasi paparan dan kerentanan individu (Crawford, 2006). Ukuran partikulat merupakan
faktor penentu pada efisiensi deposisi paru (Laden et al, 2000). Menurut Marshall (2013),
ukuran PM dengan diameter < 2,5 μ m dapat menembus ke wilayah alveolar dari paru-paru
dan dapat masuk kedalam siklus aliran darah sehingga dapat sebagai pemicu peradangan
serta menyebabkan kerusakan oksidatif (pembentukan plak di pembuluh darah). Selain itu,
Masalah pencemaran udara juga dapat sebagai pemicu timbulnya peningkatan kematian
yang terkait dengan pernapasan, penyakit jantung dan kanker paru-paru (Ostro, 1994).
Pope et al (2011) juga menyatakan dampak kesehatan yang diakibatkan oleh pemajanan
PM akan mengakibatkan premature mortality, meningkatnya penyakit respirasi kronik, dan
terjadi perubahan fungsi paru. Selain dapat merusak kesehatan pada manusia, efek
pencemaran udara akibat PM dapat menyebabkan perubahan ekologi dan juga

menyebabkan hamburan cahaya sehingga dapat mengurangi visibilitas yang dapat
mempengaruhi keselamatan transportasi, nilai properti, dan estetika (Fierro, 2000).
Surabaya merupakan salah satu kota kedua terbesar kepadatan penduduk setelah
jakarta di Indonesia. Aktifitas penduduk di dominasi oleh kendaraan bermotor dan kegiatan
industri sehingga aktifitas tersebut menghasilkan polutan termasuk emisi polutan ke udara
1

yang menimbulkan pencemaran udara, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan
manusia serta menimbulkan penyakit-penyakit yang salah satunya berhubungan dengan
saluran pernafasan.
Selain PM, penentuan komponen senyawa kimia perlu dilakukan analisis karena
logam-logam yang terkandung akan masuk ke dalam tumbuh sehingga berdampak pada
kesehatan (Crawford, 2006). Logam Pb merupakan salah satu dari beberapa komponen
senyawa yang ada pada PM. Efek toksisitas dari Pb jika terakumulasi dapat meracuni
sistem pembentukan darah merah, gangguan tekanan darah tinggi, serta keracunan jaringan
lainnya. Pada anak kecil, timbal dapat menimbulkan penurunan kemampuan otak setiap
kenaikan 1 mikrogram/m3 darah, Pb dapat menurunkan 0,975 skor IQ (intelligent Quotient)
seorang anak (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, 1999).
2. Metodelogi Penelitian
Metode pengambilan sampel menggunakan sistem Gent Sampler yang berada di

atap gedung tersebut selama 24 jam dengan laju alir ± 18 L/min. Prinsip kerja dari
penggunaan Gent Sampler adalah untuk mengumpulkan sampel partikulat udara dengan
menggunakan dua filter (fine dan coarse) yang terhubung dengan pompa vaccum. Material
filter yang digunakan berjenis polycarbonate dengan diameter 47 mm, dengan ukuran pori
8 μ m untuk coarse partikel dan 4 μ m untuk fine partikel. Tujuan penggunaan fine filter
untuk mengumpulkan PM 2.5 sedangkan pada coarse filter untuk mengumpulkan PM 2.510.
Analisis pengukuran partikulat menggunakan metode gravimetri dilakukan di
Laboratorium Teknik Analisis Radiometri PSTNT-BATAN Bandung. Tujuan dari analisis
gravimetri adalah untuk menentukan berat massa dari sampel PM dengan mengukur selisih
berat massa dari berat jenis sebelum dan sesudah dilakukan proses sampling, dimana
kondisi ruangan diatur pada suhu 18-23 oC dan kelembapan 45-55. Hal ini dilakukan
supaya kadar air dalam debu tersebut stabil. Selisih berat massa yang diperoleh sebelum
dan sesudah dilakukan sampling merupakan besaran konsetrasi dari PM tersebut.
Pengukuran black carbon menggunakan alat EEL 43D Smoke Stain Reflactometer.
Prinsip dari penggunaan reflektansi pada dasarnya ditentukan dengan hukum Lambert-Beer
dimana sumber cahaya yang dipancarkan kefilter akan mengalami reflektansi yang
kemudian akan diukur oleh Reflectometer Optical Unit. Selain itu, analisis unsur logam
pada penelitian ini menggunakan EDXRF 3D Epsilon 5. Keuntungan penggunaan EDXRF
adalah multiunsur, non destruktif, memiliki sensitivitas dan selektivitas yang tinggi serta
memiliki batas deteksi pada tingkat ng. Selain itu, keuntungan penggunaan EDXRF dapat

mendeteksi unsur seperti Si, S dan Pb.
3. Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini pengambilan sampel partikulat udara berlokasi di UPT
Laboratorium Uji Kualitas Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa timur
yang beralamat di Jl. Wisata Menanggal No. 38 Surabaya dimana proses pengambilan data
yaitu mulai Oktober 2012 hingga Februari 2014.
Konsentrasi PM 2.5 diperoleh dari filter fine partikel sedangkan untuk konsentrasi
PM 10 diperoleh dengan menjumlahkan filter fine dan filter coarse. Setelah itu,
membandingkan dengan standar untuk menentukan apakah konsentrasi dari PM udara
ambient di Surabaya telah melebihi ambang batas. Hasil pengukuran PM 2.5 berdasarkan
time series di Surabaya ditunjukkan pada Gambar 3.1. Sedangkan, hasil pengukuran PM 10
berdasarkan time series di Surabaya ditunjukkan pada Gambar 3.2.

60.00
PM 2.5

50.00

Baku Mutu PM 2.5
Harian


40.00
30.00
20.00
10.00

4-Feb-14

4-Jan-14

4-Dec-13

4-Nov-13

4-Oct-13

4-Sep-13

4-Aug-13


4-Jul-13

4-Jun-13

4-May-13

4-Apr-13

4-Mar-13

4-Feb-13

4-Jan-13

4-Dec-12

4-Nov-12

0.00
4-Oct-12


Konsentrasi massa PM 2,5 ( g/m 3 )

70.00

Waktu Sampling

Gambar 3.1 Konsentrasi Massa PM 2.5 di Surabaya

Gambar 3.2 Konsentrasi Massa PM 10 di Surabaya
Pada Gambar 3.1 terlihat bahwa fluktuatif harian PM 2,5 di Surabaya telah
melebihi baku mutu harian yang telah di tetapkan PP No. 41 Tahun 1999. Sedangkan
fluktuatif PM 10 di Surabaya masih di bawah nilai baku mutu yang telah ditetapkan.
Fluktuatif tinggi rendahnya konsentrasi pada PM 2.5 dan PM 10 sangat dipengaruhi oleh
musim. Berdasarkan data meteorologi, pada awal tahun 2013 diawali dengan musim hujan,
sehingga konsentrasi partikulat di udara menjadi rendah karena partikulat di udara akan
tertangkap oleh butiran-butiran air hujan. Sedangkan musim kemarau 2013 diawali dibulan
Juli namun masih dalam kategori kemarau bulan basah dengan curah hujan lebih besar dari
100 tetapi kurang 150 mm perbulan sehingga masih terjadi hujan dengan intensitas
bervariasi. Pada bulan Agustus musim kemarau dengan curah hujan 0. Sehingga bila

dikaitkan dengan pattern partikulat berdasarkan tanggal sampling, konsentrasi tinggi di
bulan Juli dan Agustus dikarenakan telah memasuki musim kemarau yang mengakibatkan
konsentrasi sangat tinggi.Secara umum, Ringkasan Hasil Pengukuran Konsentrasi PM 2.5
dan PM 10 pada sampel partikulat udara di Surabaya ditunjukkan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Konsentrasi PM (PM 2,5 dan PM 10)
Parameter
Rerata
Rentang
Standar Deviasi
(μ g/m3)
(μ g/m3)
(μ g/m3)
PM 2,5
15.05
8.53 - 26.38
4.77
PM 10
30.41
18.35 – 50.65
9.37

3

Berdasarkan PP 41 tahun 1999 tentang baku mutu udara ambien pada partikulat
matter, PM 2,5 μ g/m3 telah melebihi baku mutu tahunan yaitu 15.05 μ g/m3 sedangkan baku
mutu yang telah di standarkan yaitu 15 μ g/m3. Namun pada Gambar 4.2 menunjukkan
terdapat kenaikan dua kali kondisi normal konsentrasi PM 2.5. Pada PM 10 belum
melebihi ambang batas yang telah ditentukan karena untuk PM 10 yaitu 150 μ g/m 3.
Apabila merujuk pada standar US EPA (PM 2.5 berkisar 35 μ g/m3 dan PM 10 berkisar 150
μ g/m3), konsentrasi partimulat matter (PM 2.5 dan PM 10) di Surabaya dan Sekitarnya
belum melebihi nilai ambang batas yang ditentukan. Namun bila merujuk pada standar
yang telah ditetapkan WHO, dimana standar untuk PM 2,5 dan PM 10 berkisar 25 μ g/m 3
dan 50 μ g/m3 maka kota Surabaya telah melebihi ambang batas dimana PM 2,5 memiliki
rentang konsentrasi 8.53 - 26.38 μ g/m3 dan PM 10 memiliki rentang konsentrasi 18.35 –
50.65 μ g/m3. Apabila melihat Rasio antara PM 2.5 dan PM 10 memberikan nilai rerata
sebesar 0.49 yang menunjukkan bahwa PM 2.5 memberikan konstribusi 0.49 dari total
massa PM 10 serta mengidentifikasikan bahwa pencemaran dari sumber atropogenik
mencapai 49%. Tingginya konstribusi konsentrasi PM 2.5 disebabkan oleh oleh
peningkatan jumlah kendaraan bermotor, maupun konsumsi bahan bakar fosil untuk
kegiatan perindustrian. Rasio antara PM 2.5 dan PM 10 ditunjukkan oleh Gambar 3.3


Gambar 3.3 Korelasi PM 2,5 dan PM10 Di Surabaya
Selain konsentrasi, kajian perhitungan komposisi dalam konsentrasi patikulat dapat
ditentukan dengan menggunakan teknik constructed mass (RCM). RCM merupakan suatu
metoda penjumlahan dari konsentrasi berbagai macam faktor yang berdistribusi pada
konsentrasi PM. Lima faktor utama yang terdapat pada komposisi pembentuk partikulat
diantaranya black carbon (BC), material organik (MO), sulfat, garam laut (seasalt), debu
tanah (soil), dan asap (smoke). Perhitungan dari penjumlahan RCM adalah sebagai berikut:
RCM = Sulfat + Seasalt + Smoke + Soil + BC + MO
Setiap faktor merupakan hasil jumlah konsentrasi massa unsur-unsur penanda,
seperti:
Sulfat
= 4.125 X S
Seasalt
= 2.54 X Na
Smoke
= K – 0.6 Fe
Soils
= 2.2 Al + 2.49 Si + 1.63 Ca + 1.94 Ti + 2.42 Fe

Berdasarkan perhitungan diatas, maka konsentrasi massa RCM pada partikulat

matter PM 2.5 dan PM 10 di deskripsikan pada Tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel 3.2 Perbandingan Komposisi Fine Partikulat dan Coarse Partikulat
Faktor
Fine
Coarse
Konsentrasi
Faktor/PM 2.5
Konsentrasi Faktor/PM 2.5-10
(μ g/m3)
(%)
(μ g/m3)
(%)
BC
3.20
20.95
0.71
4.36
Sulfur
2.19
14.36
0.78
4.78
Sea salt
0.71
4.67
0.64
3.90
Smoke
0.20
1.33
0.13
0.80
Soil
1.70
11.13
5.14
31.47
RCM
8.01
7.40
PM
15.27
16.34
RCM/PM
52.44
45.31
Pada Tabel 3.2 terlihat perbandingan komposisi pada RCM fine partikulat dan
coarse partikulat maka dapat dianalisa bahwa komposisi fine partikulat didominasi oleh
black carbon yang umumnya berasal dari kegiatan antropogenik dan pada coarse partikulat
di dominasi oleh soil yang umumnya berasal dari biogenik. Konsentrasi massa total RCM
pada Oktober 2012 – Januari 2014 adalah 8.01 μ g/m3 pada fine partikel dan 7.40 μ g/m3
pada coarse partikel. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Hopke (2008)
bahwa semakin kecil ukuran aerodinamik suatu partikulat, maka semakin besar efesiensi
pengumpulan pada filter. Untuk ukuran diameter partikulat 2 μ m dan 10 μ m masingmasing mempunyai efesiensi pengumpulan konstanta 1.0 dan 0.5. Rasio komposisi RCM
terhadap pengukuran konsentrasi massa partikulat untuk fine partikel sebesar 52.44% ,
sisanya 47,56 % merupakan konsentrasi dari organik. Untuk coarse partikulat sebesar
45.31% sisanya 54,69 % merupakan konsentrasi dari organik.

4.36%
BC

20.95%

soil
31.47%

11.13%

seasalt

1.33%
4.67%

14.36%
Fine

smoke

sulfat
0.80%

3.90%
4.78%
coarse

Gambar 3.4 Perbandingan Komposisi Fine Partikulat dan Coarse Partikulat
Pengukuran black carbon dilakukan karena black carbon merupakan komponen
utama dari partikulat metter yang bersifat toksis sehingga ditetapkan sebagai regulated
pollutant. Selain itu, black carbon merupakan unsur ke dua penyebab global warning yang
diakibatkan oleh pembakaran yang tidak sempurna. Hasil pengukuran black carbon dengan

5

reflektansi menggunakan alat EEL 43D Smoke Stain Reflactometer terdeskripsikan pada
Tabel 3.3
Tabel 3.3 Parameter Black Carbon
Parameter
Rerata
Rentang Standar Deviasi Rasio BC/PM
(μ g/m3)
(μ g/m3)
(μ g/m3)
(%)
BC (PM 2.5)
3.20
1.56 – 5.69
0.84
22
BC (PM 2.5 – PM 10)
0.71
0.31 – 1.30
0.23
5
Berdasarkan Tabel selama periode Oktober 2012 hingga Februari 2014, konsentrasi
black carbon pada PM 2.5 di Surabaya berada di rentang konsentrasi 1.56 – 5.69 μ g/m3
dengan rerata konsentrasi 3.20 μ g/m3 sedangkan black carbon pada PM 2.5-10 berada di
rentang konsentrasi 0.31 – 1.30 μ g/m3 dengan rerata konsentrasi 0.71μ g/m3. Konsentrasi
black carbon pada PM 2.5 lebih besar konsentrasinya bila dibandingkan dengan black
carbon pada PM 2.5-10. Hal ini dikarenakan, black carbon merupakan jelaga hitam yang
dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna sehingga sebagian besar berasal
dari sumber antropogenik seperti biomass dan aktivitas di jalan raya yang umumnya
terabsorb kedalam PM 2.5. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Ibrahim et al (2013) yang menyatakan bahwa konsentrasi BC pada PM 2.5 lebih tinggi
daripada konsentrasi BC pada PM 2.5-10 Konstribusi black carbon dalam PM 2.5 adalah
22% dan konstribusi black carbon dalam PM 2.5-10 adalah 5 %.
Selain black karbon, faktor-faktor lain yang terdapat pada partikulat matter
merupakan finger print dari berbagai logam pembentuknya. Setiap wilayah memiliki
logam-logam yang khas sebagai contoh apabila wilayah tersebut dekat dengan pantai
kemungkinan logam Na akan terkadung kedalam partikulat. Pengukuran komposisi unsur
logam adalah faktor utama dalam penggunaan data untuk menentukan kemungkinan
sumber pencemar, dimana proses identifikasi dan pengelompokkan polutan ke sumbernya
adalah langkah yang sangat penting pada management kualitas udara. Untuk wilayah
Surabaya pada periode Oktober 2012 hingga Januari 2014, partikulat mengandung logamlogam sebagai berikut (Tabel 3.4)
Tabel 3.4 Logam-logam yang Terkadung pada Fine dan Coarse Partikel.
Unsur
PM 2,5 (ng/m3)
PM 2,5-10 (ng/m3)
Min
Max
Mean St. Dev Min
Max
Mean St. Dev
Na
21.87
597.45 280.57 119.95
29.07
585.71 250.79
137.44
Al
137.23
514.74 185.14
54.76 213.96
886.51 437.28
150.66
Si
55.64
1245.08 167.29 165.13 241.35
1827.99 772.89
337.39
S
5.67
955.31 531.33 176.17
1.90
665.02 189.23
127.53
K
11.14
442.78 203.50
87.81
46.42
323.94 130.18
60.35
Ca
27.64
267.85 85.36
38.88 199.75
1438.41 507.49
240.06
Ti
3.91
23.10
9.12
3.00
12.40
82.04 32.13
14.16
Mn
3.38
30.42 13.05
6.04
6.20
43.84 18.26
8.74
Fe
212.04
475.16 320.74
63.23 304.05
1174.97 609.72
181.60
Cu
15.16
991.76 317.33 204.99
15.98
803.06 270.80
178.17
Zn
8.11
1910.85 324.64 400.83
2.09
835.42 118.66
159.83
Pb
21.87
597.45 280.57 119.95
29.07
585.71 250.79
137.44
Berdasarkan tabel 4.5 unsur-unsur logam yang terkandung pada fine maupun coarse
partikel terdapat 12 unsur logam yaitu unsur Na, Al, Si, S, K, Ca, Ti, Mn, Fe, Cu, Zn dan
Pb. Unsur logam Pb menjadi fokus penelitian ini karena konsentrasi logam Pb merupakan
logam yang bersifat toksik. Selain itu, berdasarkan National ambient air Quality Standards
(NAAQS) terdapat enam kajian parameter kualitas udara diantaranya Pb. Standar

konsentrasi Pb berdasarkan NAAQS sebesar 0.15 μ g/m3 sedangkan konsentrasi Pb di
Surabaya untuk fine partikulat sebesar 0.28 μ g/m3 dan untuk coarse patikel sebesar 0.25
μ g/m3 sehingga unsur logam Pb telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Namun
bila dibandingkan dengan standar baku mutu PP 41 tahun 1999 untuk Pb sebesar 2 μ g/m 3
(24 jam) atau 1 μ g/m3 (1 hari) maka Surabaya belum melebihi baku mutu yang telah
ditetapkan.
4. Kesimpulan





Kualitas Udara di Surabaya:
Konsentrasi PM 2.5 telah melebihi nilai baku mutu tahunan yaitu sebesar 15.05 μ g/m3
Konsentrasi PM 10 sebesar 30.41 μ g/m3 sehingga tidak melebihi nilai ambang baku
Konsentrasi Pb telah melebihi nilai baku mutu USEPA yatu sebesar 0.28 μ g/m3

Daftar Pustaka

Breu, F., Guggenbichler, S., & Wollmann, J. (2013). World Health Statistics 2013. Vasa.
doi:978 92 4 156458 8
Chamidha, 2004, Policy for Air Pollution Control Strategy By Using the Air Pollutant
Dispersion Model (PM10) in Surabaya, Clean Air Asia Center, Philippines.
Cooper, C.D., Alley, F.C. (1994), Air Pollution Control a Design Approach second edition,
Waveland Press Inc, Illionis, 2-3.
Paatero, P., and U. Taaper., 1997, Positive Matrix Factorization: A Non-Negative Factor
Model With Optimal Utization of Error Estimates of Data Value. Enviromentric5,111126
Santoso, M., P.K Hopke, A Hidayat, D.D Lestiani, 2008, Sources Identification of The
Atmospheric Aerosol at Urban and Suburban Sites in Indonesia by Positive
Matrix Factorization, J. Science of The Total Environment
Santoso, M, D.D Lestiani, A. Markwitz, and P.K Hopke, 2010, Nuclear Analytical
Techniques INAA and PIXE Application for Characterization of Airborne
Particulate Matter in Indonesia, J. of Applied Sciences in Enviromental
Sanitation, Vol. 5, No.2
Santoso, M, D.D Lestiani, A. Markwitz, Rita, Esrom, Halimah and P.K Hopke, 2011,
Preliminary Study of the Source of Ambient Air Pollution in Serpong,
Indonesia, J Air Pollution Research
Santoso, M, D.D Lestiani, and A. Markwitz, 2013, Characterization of Airborne Particulate
Matter Collected at Jakarta Roadside of an Arterial Road, J. of Radioanalytical
and Nuclear Chemistry, Vol.297, No.2

7