Perancangan dan Karakterisasi Sistem Pemanas Partikulat Udara Terkendali

(1)

PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM PEMANAS PARTIKULAT UDARA TERKENDALI

SKRIPSI

Oleh :

RAMADIAN FAIZUL MUSAFFAK NIM. 135090801111002

PRODI INSTRUMENTASI JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA


(2)

PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM PEMANAS PARTIKULAT UDARA TERKENDALI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains dalam bidang Fisika

Oleh :

RAMADIAN FAIZUL MUSAFFAK NIM. 135090801111002

PRODI INSTRUMENTASI JURUSAN FISIKA


(3)

(4)

(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM PEMANAS PARTIKULAT UDARA TERKENDALI

Oleh :

RAMADIAN FAIZUL MUSAFFAK NIM. 135090801111002

Setelah dipertahankan didepan Majelis Penguji Pada tanggal ……

dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Sains dalam bidang Fisika Telah diperiksa dan disahkan oleh : Pembimbing I

Drs. Arinto Yudi P. W., M.Sc, Ph.D

Pembimbing II

Gancang Saroja, S.Si, M.T NIP. 196407021989031001 NIP. 197711182005011001

Mengetahui, Ketua Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya


(6)

(7)

LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ramadian Faizul Musaffak

NIM : 135090801111002

Program Studi : Instrumentasi Penulis skripsi berjudul :

PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM PEMANAS PARTIKULAT UDARA TERKENDALI

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini adalah benar-benar karya saya sendiri, dan bukan hasil plagiat dari karya orang lain. Karya-krya yang tercantum dalam Daftar Pustaka, semata-mata digunakan sebagai acuan atau refrenasi.

2. Apabila di kemudian hari ternyata Skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran. Malang, 24 November 2017

Yang menyatakan,

(Ramadian Faizul Musaffak) NIM. 135090801111002


(8)

(9)

PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM PEMANAS PARTIKULAT UDARA TERKENDALI

ABSTRAK

Telah dibuat sistem pemanas udara terkendali dengan menggunakan temperature controller. Penelitian ini bertujuan untuk mereduksi sifat higroskopis partikulat yang ada di udara serta mengetahui karakteristik sistem pemanas. Temperatur dan kelembaban relatif (RH) dari sistem pemanas dipantau dengan sensor SHT11 berbasis mikrokontroler arduino uno. Pengukuran konsentrasi partikulat dengan ukuran 0.1 µm dilakukan dengan metode micro-enviromental chamber sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas dengan instrument pengukur TSI P-TRAK 8525 Ultrafine Particle Counter. Hasil penelitian menunjukkan adanya penambahan jumlah konsentrasi partikulat setelah dipanaskan. Semakin besar kecepatan flowrate, maka semakin besar gain konsentrasi partikulat PM0.1.


(10)

(11)

DESIGN AND CHARACTERIZATION OF A PARTICULATE HEATING SYSTEM IN AIR CONTROL

ABSTRACT

The Controlled Heating System has been made using temperature controller. This study aims to reduce the nature of hygroscopic particulate in the air and to know characteristics of the heating system. The temperature and relative humidity (RH) of the heating system is monitored by SHT11 sensor based on Arduino Uno Microcontroller. The Measurenments of particulate concentration with 0.1 µm size was done by micro-enviromental chamber method before and after passing the heating system with measuring instrument TSI P-TRAK 8525 Ultrafine Particle Counter. The results of the study showed that the addition of particulate concentration after heating. The greater the flowrate velocity, the greater the concentration of particulate PM0.1.


(12)

(13)

KATA PENGANTAR Bismillahirohmanirrohim,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Nikmat kepada penulis. Serta solawat serta salam kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun kita ke jalan yang penuh dengan kebenaran. Akhirnya tugas akhir penulis dapat selesai dengan lancar yang berjudul “PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM PEMANAS PARTIKULAT UDARA TERKENDALI”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains dalam bidang Fisik. Pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan orang-orang yang mendukung pelaksanaan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah banyak memberikan Rahmat-Nya,

2. Ayahanda dan Ibunda ku tercinta, Salman Al-Farisi dan Nur Malikha yang telah memberikan motivasi moral dan moril,

3. Ketiga adikku yang aku sayangi, Ari, Najwa dan Syahrur yang selalu memberikan dorongan semangat dan doa,

4. Prof. Dr. Muhammad Nurhuda, Rer.nat, selaku Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya yang banyak memberikan fasititas-fasilitas di lingkungan Jurusan Fisika,

5. Dr.Eng. Didik Rahadi Santoso, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan nasehat dan masukan,

6. Drs. Arinto Yudi Ponco Wardoyo, M.Sc, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu kepada penulis dalam menampung masalah-masalah dalam pembuatan Tugas Akhir ini,

7. Gancang Saroja, S.Si, M.T, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dalam


(14)

8. Mas Fio, Mbak Mia, Mas Arsyal dan Mas Eko, yang rela meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan memberi pengarahan selama pembuatan Tugas Akhir ini,

9. Rijal, Anas, Aldo, dan Aini, sebagai teman seperjuangan dalam menulis skirpsi,

10. Keluarga Instrumentasi 2013, yang tidak bisa disebutkan semuanya,

11. Tiara dan Fegi sebagai tim penelitian,

12. Keluarga kontrakan perumahan poltek no.10 (Haris, Somad, Daniel, Almo, Harun) yang telah menghibur penulis dikala senang dan duka,

13. Sahabat terbaikku Ratih Nur Kusumaningati dan Lailatur Rofiqoh, yang telah memberikan segala motivasi,

14. Dan laptop Compaq ku yang senantiasa menemani aku dalam suka maupun duka.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran agar skripsi ini dapat dikembangkan. Dan penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Malang, 24 November 2017


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI...iii

LEMBAR PERNYATAAN...v

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...ix

KATA PENGANTAR...xi

DAFTAR ISI...xiii

DAFTAR GAMBAR...xvi

DAFTAR TABEL...xviii

DAFTAR LAMPIRAN...xix

BAB I ……...1

PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...2

1.3. Tujuan...3

1.4. Batasan Masalah...3

1.5. Manfaat Penelitian...3

1.6. Tempat...3

BAB II ……...5

TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1. Udara …...5

2.2.Particulate Matter (PM)...6

2.2.1. Partikel Ultrafine (UFP)...8


(16)

2.4.1. Adsorpsi...10

2.4.2. Absorsi...12

2.5. Modul SHT11...13

2.4.1. Kemampuan Sensor...14

2.6. Arduino Uno...16

2.6.1. Spesifikasi Arduino Uno...17

2.7. Termokopel...19

2.8. P-Trak Ultrafine Particles Counter ...20

2.9. Kanomax A031 Anemomaster...22

2.10. TOS-B4RK4C...23

BAB III …...25

METODOLOGI...25

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian...25

3.2. Peralatan Penelitian...25

3.3. Bahan...31

3.4. Metode Penelitian...32

3.4.1. Perancangan Sistem Pemanas...33

3.4.2. Pembuatan Alat SHT11...34

3.4.3. Pengujian sensor SHT11...37

3.5. Metode Pengumpulan dan Analisis Data...40

3.5.1. Metode Pengumpulan Data...40

3.5.2. Gain (Penguat)...42

BAB IV …...43

HASIL DAN PEMBAHASAN...43


(17)

4.1.3. Pengukuran Flowrate...45

4.1.5. Hubungan kelembaban relatif terhadap temperatur sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas.. .53

4.2. Pembahasan...55

BAB V ……...59

PENUTUP ...59

5.1. Kesimpulan...59

5.2. Saran...59

DAFTAR PUSTAKA...61


(18)

DAFTAR GAMB

Gambar 2. 1. Kandungan udara di atmosfer ...5

Gambar 2. 2. Perbandingan ukuran PM dengan rambut dan pasir ...7

Gambar 2. 3. Distribusi massa particulate matter di dalam atmosfer...8

Gambar 2. 4. Proses Terjadinya Adsorpsi...10

Gambar 2. 5. Skema Adsorbat dan Adsorben...10

Gambar 2. 6. Skema Proses Absorpsi...13

Gambar 2. 7. SHT11 dengan dimensi mm ...13

Gambar 2. 8. Modul SHT11...14

Gambar 2. 9. Toleransi Maks. RH pada suhu 25°C tiap jenis sensor...15

Gambar 2. 10. Toleransi maksimal temperatur tiap jenis sensor ...16

Gambar 2. 11. Modul Arduino Uno beserta keterangan...17

Gambar 2. 12. Software Arduino...19

Gambar 2. 13. P-Trak Ultrafine Particle Counter...21

Gambar 2. 14. Prinsip kerja P-trak Ultrafine Counter...22

Gambar 2. 15. Kanomax A031 Anemomasters...23

Gambar 2. 16. Temperatur Controller TOS-B4RK4C...23Y Gambar 3. 1. P-Trak UPC Ultrafine 8525...25

Gambar 3. 2. Kanomax A031 Anemomaster...25

Gambar 3. 3. Heating plat,...26

Gambar 3. 4. Temperature Controller tipe B4RK4C...26

Gambar 3. 5. Modul SHT11...27

Gambar 3. 6. Modul Arduino Uno...27

Gambar 3. 7. Termokopel tipe K...28

Gambar 3. 8. Kabel USB...28

Gambar 3. 9. Adaptor tegangan 5V...29

Gambar 3. 10. LCD ukuran 2x16...29

Gambar 3. 11. Multimeter Digital...30

Gambar 3. 12. Pompa hisap...30

Gambar 3. 13. Selang anti-panas...30


(19)

Gambar 3. 17. Rangkaian Sistem Pemanas dengan menggunakan TOS-B4RK4C...34 Gambar 3. 18. Diagram blok perancangan alat ukur SHT11....34 Gambar 3. 19. Alat ukur SHT11...37 Gambar 3. 20. Perilaku pengambilan udara ambien...40

Gambar 3. 21. Skema Sistem Pengukuran 41

Gambar 4. 1. Sistem Pemanas Partikulat Terkendali...43 Gambar 4. 2. Grafik Proses Pemanasan dan Pendinginan Sistem Pemanas Terhadap Waktu...44 Gambar 4. 3. Grafik Hasil Rata-rata Kecepatan Pompa Hisap. 47 Gambar 4. 4 Hubungan konsentrasi partikulat terhadap temperatur sebelum dan sesudah melewati sistem...47 Gambar 4. 5. Hubungan antara gain dan temperatur...48 Gambar 4. 6. Hubungan konsentrasi partikulat terhadap temperatur sebelum dan sesudah melewati sistem...49 Gambar 4. 7. Hubungan antara gain dan temperatur...49 Gambar 4. 8. Hubungan konsentrasi partikulat terhadap temperatur sebelum dan sesudah melewati sistem...50 Gambar 4. 9. Hubungan antara gain dan temperatur...50 Gambar 4. 10. Grafik hubungan antara gain dan kecepatan flowrate52

Gambar 4. 11. Perbandingan %RH terhadap Temperatur ...54 Gambar 4. 12. Adanya serbuk korosi di heating plat...57


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Komposisi udara kering dan bersih...6

Tabel 2. 2. Kemampuan sensor pada relatif kelembaban...14

Tabel 2. 3. Kemampuan sensor pada temperatur...15

Tabel 2. 4. Spesifikasi arduino uno...17


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Perbandingan SHT11 dengan Q-Trak...65 Lampiran 2. Data Proses Pemanasan dan Pendinginan Sistem Pemanas Terhadap Waktu...69 Lampiran 3. Data Kosnetrasi Partikel Sebelum dan Setelah Melewati Sistem...70 Lampiran 4. Data Penelitian Suhu dan Kelembaban Sebelum dan Setelah melewati Sistem...73 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian...76


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, udara menjadi hal yang penting untuk dibahas seiring dengan berjalannya waktu. Dalam PPRI No.41 Tahun 1999 mendefinisikan udara sebagai campuran gas yang bergerak bebas di wilayah yurisdika Republik Indonesia yang sangat dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur yang lainnya.

Pada dasarnya, udara yang ada di alam tidak pernah bebas dari namanya polutan. Polutan ini terdiri dari berbagai jenis gas dan zat berbahaya salah satunya yakni partikulat (PM).

Partikulat (PM) merupakan campuran dari berbagai komponen dalam bentuk padatan atau likuid yang tersuspensi di udara. Dari hasil laporan Badan Kesehatan Dunia atau (WHO, 2003) menyatakan bahwa tingkat kandungan udara yang ada di wilayah perkotaan memiliki nilai konsentrasi partikulat yang tinggi sekitar 23 – 311 µg/m3 per 2 jam. Meningkatnya nilai konsentrasi partikulat disebabkan adanya sifat adsorbsi partikulat tersebut. Menurut (Wang dkk, 2014) partikulat yang ada di atmosfer cenderung mengikat molekul air yang ada disekitarnya dalam bentuk droplet. Sehingga molekul air yang terikat menyebabkan bertambanya ukuran partikulat. Dari berbagai penelitian, ukuran partikulat dikelompokkan dalam ultrafine particle atau PM0,1 dengan diameter kurang dari 0,1µm (Sabaliauskas dkk, 2012), fine particle atau PM2,5 dengan diameter diantara 0,1 hingga 2,5µm (Pandey, 2014), dan coarse particle atau PM10 dengan diameter 2,5 hingga 10µm (Prashant dkk, 2014).

Higroskopis adalah suatu kemampuan yang dimiliki zat atau partikel dalam menyerap molekul air dari lingkungan. Menurut (Villani dkk, 2013) bahwa penyerapan molekul air yang dilakukan oleh partikel di atmosfer dapat mengubah massa partikel, bertambahnya ukuran partikel dan dengan kemampuannya tersebut mampu menyebarkan radiasi matahari.


(23)

bahwa kayu yang baru dipotong memiliki kandungan air sebesar 50%, dan untuk kayu yang sudah dikeringkan masih menyisahkan air sekitar 15-20%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan air biomassa berperan penting dalam proses pembakaran.

Menurut (Li dkk, 2016) menyimpulkan bahwa pembakaran biomassa melepaskan sebagian besar partikel ultrafine dengan ukuran diameter sekitar 100 sampai 300. Partikel ultrafine dalam jumlah banyak dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi kesehatan manusia (Yamamoto, 2006), karena dapat mengendap di paru-paru hingga ujung alveolus serta mengikuti aliran darah (Oberdorster dkk, 2005). Lebih lanjut, partikel ultrafine yang tersimpan dalam sistem pernapasan manusia dapat menimbulkan beberapa penyakit diantaranya seperti asma, brongkitis, kanker paru-paru, dan faringtis kronis (Chen, 2017).

Berbagai tekonologi telah dikembangkan untuk meminimalisir sifat higroskopis partikulat seperti yang dilakukan oleh (Li dkk, 2016) telah merancang sebuah sistem pemanas dengan ukuran 4,5 m3. Namun sistem tersebut belum terkendali. Untuk penelitian lainnya juga dilakukan oleh (Chen, 2017) dengan merancang sistem pemanas dengan dimensi p x l x t = 0.8 m x 0.4 m x 0.4 m dengan inlet dan outlet berukuran 0.04 m x 0.04 m.

Berbagai kajian dari banyak literature yang mengacu dari penelitian sebelumnya muncul ide untuk merancang sistem pemanas dengan dimensi yang tidak besar dan temperatur dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu sistem pemanas partikulat ini dibuat untuk tugas akhir.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana desain sistem pemanas partikulat tekendali? 2. Bagaimanakah konsentrasi partikulat PM0.1 setelah melewati


(24)

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Merancang sistem pemanas partikulat terkendali,

2. Mengkarakterisasi konsentrasi partikulat PM0.1 setelah melewati sistem pemanas terhadap suhu dan laju udara.

1.4. Batasan Masalah

1. Alat yang dikarakterisasi hanya alat Sistem Pemanas Partikulat tidak menggunakan alat lain,

2. Hanya membahas %RH dan konsentrasi partikel ultrafine tidak ada variable lain,

3. Hanya menggunakan Mikrokontroler Arduino Uno dan sensor SHT11,

4. Hanya menggunakan partikulat PM0.1 yang ada di udara.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukan penelitian ini adalah merancang sebuah piranti yang dapat meminimalisir sifat higroskopis dari partikulat PM0.1.

1.6. Tempat

Penelitian ini dilakukan di Laboraturium Air Quality and Astro Imaging Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya.


(25)

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udara

Udara merupakan suatu unsur dari berbagai campuran gas yang ada di permukaan bumi dengan komposisi yang tidak selalu konstan. Menurut (Iswantoro, 2013) udara ambien atau biasanya disebut udara bebas yang ada di lingkungan sekitar memiliki mutu udara yang mudah berubah. Hal itu disebabkan oleh faktor cuaca dan suhu. Kandungan udara terdiri dari berbagai komponen salah satunya H2O dalam bentuk uap dan partikulat yakni padatan (solid) atau likuid yang tersuspensi di udara (Wardoyo, 2016). Udara kering cenderung memiliki komposisi yang relatif tetap ketika molekul uap air dihilangkan. Untuk total kandungan gas dan partikulat di udara, umumnya dinyatakan dalam persen (%) atau ppm. Berikut kandungan gas yang terdapat di udara dapat dilihat pada gambar 2.1 dan tabel 2.1.

Nitrogen; 78.00% Oksigen;

21.00%

Gas Lain; 1.00%

Udara

Gambar 2. 1. Kandungan udara di atmosfer (dimodifikasi dari Sforza, 2016).


(27)

Tabel 2. 1. Komposisi udara kering dan bersih (dimodifikasi dari Wardoyo, 2016)

Komponen Formula Volume % Ppm

Nitrogen N2 78,08 780,840

Oksigen O2 21,95 209,460

Argon Ar 0,93 9,340

Karbondioksida CO2 0,03 384

Neon Ne 0,008 18,18

Helium He 0,0005 5,24

Metana CH4 0,0002 1,774

Kripton Kr 0,0001 1,14

2.2. Particulate Matter (PM) Particulate Matter (PM) merupakan suatu campuran dari berbagai komponen dalam bentuk padatan (solid) dan cairan (liquid) yang tersuspensi di udara. Partikel yang tersuspensi di udara tersebut memiliki variasi dalam bentuk, ukuran, dan komposisinya. Ukuran partikel dalam udara atmosfer memiliki besaran dari yang terkecil dengan ukuran nanometer hingga sepuluh mikrometer ukuran terbesarnya (WHO, 2003). Partikel dengan ukuran yang besar biasanya disebut partikel kasar (coarse) yakni partikel dengan ukuran kurang dari 10µm yang dihasilkan dari proses pembakaran dalam mesin. Partikel dengan ukuran sedang disebut partikel halus (fine) dengan ukuran kurang dari 2,5µm yang dihasilkan dari emisi primer, proses kondensasi dan koagulasi. Dan ukuran partikel kurang dari 0,1µm biasanya disebut partikel ultrafine yang terbentuk dari proses nukleasi yakni proses gas menjadi partikel (Air Quality Science, 2011). Berikut ukuran partikel dengan perbandingan ukuran rambut dan debu pada Gambar 2.3.


(28)

Gambar 2. 2. Perbandingan ukuran PM dengan rambut dan pasir (Barulich dkk, 2013).

Partikulat dibagi menjadi dua satuan yakni nilai konsentrasi dan konsentrasi massa. Nilai konsentrasi merupakan total nilai dari partikel per satuan volume udara dengan satuan partikel/cm3 (pt/ cm3) atau partikel/m3 (pt/m3). Dan konsentrasi massa merupakan berat partikel per volume udara dengan satuan µg/m3, ug/cm3, atau ng/m3 (Barulich dkk, 2013).

Berikut merupakan gambaran distribusi massa particulate matter di dalam atmosfer yang ditampikan pada gambar 2.3. Secara teoritis, distribusi massa partikel ultrafine (UFP) di atmosfer dapat diabaikan, hal itu dikarenakan UFP memiliki ukuran partikel yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan particulate matter jenis lainnya. Dari jumlah seluruh partikel yang ada di atmosfer dapat disebut dengan TSP (Total Suspended Particles) (Sabaliauskas dkk, 2012). Dalam laporan (Air Quality Science, 2011) bahwa partikel dengan ukuran yang kecil (0,001µm hingga 10µm) cenderung tetap berada di atmosfer dalam jangka waktu yang lama, sedangkan partikel dengan ukuran besar (100µm) cepat menguap di udara.


(29)

Gambar 2. 3. Distribusi massa particulate matter di dalam atmosfer (Sabaliauskas dkk, 2012).

2.2.1. Partikel Ultrafine (UFP)

Partikel ultrafine (UFP) merupakan partikel dengan ukuran kurang dari 0,1µm. Meskipun UFP bukan faktor utama dalam massa particulate matter yang dikarenakan ukurannya sangat kecil, namun nilai konsentrasi UFP sangat dominan dibandingkan dengan particulate matter jenis lainnya (Barulich dkk, 2013; Kumar dkk, 2016).

Partikel yang tersuspensi di udara akan berinterkasi dengan partikel lainnya sehingga menghasilkan partikel baru. Menurut (Sogacheva, 2008), interaksi parikel yang berada diudara dikelompokkan menjadi tiga antara lain sebagai berikut:

1. Koagulasi

Koagulasi merupakan suatu proses untuk mereduksi konsentrasi partikel kecil yang diakibatkan tumbukkan antar partikel yang ada di udara. Peristiwa antar tumbukan partikel tersebut akan menghasilkan partikel baru dengan ukuran yang besar.


(30)

2. Nukleasi

Nukleasi merupakan suatu proses pembentukan partikel kecil dengan ukuran diameter kurang dari 30nm. Partikel dari proses ini terbentuk akibat proses pembakaran yang ada di atmosfir.

3. Deposisi

Deposisi merupakan suatu proses pengurangan jumlah partikel yang ada di udara dengan melalui deposisi basah dan deposisi kering. Deposisi basah terjadi akibat pengendapan partikel yang terdoposisi oleh air hujan, embun dan awan. Sedangkan untuk deposisi kering terjadi akibat transfer partikel secara lansung menuju tanah melalui sedimentasi.

2.3. Higroskopis

Higroskopis merupakan kemampuan suatu zat atau partikel yang dapat menyerap molekul air di lingkungan (Boreddy dkk, 2016). Sifat higroskopis pada partikel yang ada di atmosfer dapat memodifikasi massa parikel, bertambahnya ukuran partikel, dan dengan kemampuannya dapat menyebarkan radiasi matahari (Villani dkk, 2013), serta dapat merubah komposisi kimia dari partikel tersebut (Boreddy dkk, 2016). Menurut (Liu dkk, 2016) bahwa kontribusi sifat higroskopis pada partikel ukuran 150nm perlu diperhitungkan. Dikarenakan sifat higroskopis memiliki hubungan yang relevan dengan polusi kabut dan campuran partikelnya yang dapat meningkatkan RH. Contoh bahan yang memiliki sifat higroskopis seperti kayu, kertas dinding, dan bahan yang mengandung mineral anorganik (Zhang dkk, 2017). Menurut (Williams dkk, 2012) bahwa kayu yang baru dipotong memiliki 50% kandungan air dan disamping itu ketika dikeringkan pun kandungan air masih ada sekitar 15 – 20%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan air biomassa berperan penting dalam proses pembakaran.


(31)

2.4. Proses Adsorpsi dan Absorbsi

2.4.1. Adsorpsi

Adsoprsi merupakan suatu proses yang terjadi ketika fluida (likuid maupun gas) terikat dengan padatan dan pada

permukaannya tersebut akan terbentuk lapisan tipis (Robert, 1981).

Gambar 2. 4. Proses Terjadinya Adsorpsi

Didalam proses adsopsi terdapat suatu istilah yakni adsorbat dan adsorban. Adsorbat adalah suatu substansi yang terperangkap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya. Untuk adsorban adalah suatu media penyerap yang berupa senyawa karbon (Webar, 1972). Berikut merupakan skema dari adsorbat dan adsorban seperti Gambar 2.5.


(32)

Dilihat dari Gambar 2.5 bahan yang teradsopsi dan bahan yang adsorben yakni dua fasa yang berbeda, oleh karena itu dalam proses terjadinya adsorpsi, materi yang teradsorpsi akan terkumpul dan menempel di permukaan adsorben (Underwood, 1986).

Sesuai dengan prosesnya, adsorpsi dibagi menjadi 2 macam:

1. Adsorpsi Kimia

Adsropsi Kimia merupakan reaksi antara molekul-molekul adsorbat dan adsorben yang terbentuk dengan ikatan kovalen dengan ion. Adsorpsi memiliki sifat yang reversible dan hanya membentuk satu lapisan (monolayer). Biasanya proses adsropsi terjadi pada temperature yang tinggi, sehingga panas adsopsi tinggi. Proses adsorpsi terjadi dengan pembentukan senyawa kimia hingga ikatan yang lebih kuat. Contoh : adsopsi O2 pada Hg, HCl, Pt, dan C (Sukardjo, 1985).

2. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika merupakan proses terjadinya apabila gaya intermolekuler lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang lebih lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben. Gaya tersebut dapat disebut dengan gaya Van Der Waals, sehingga adsorbat dapat berpindah dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lainnya dari adsorben. Proses adsorpsi fisika memiliki sifat panas yang rendah, berlangsung cepat dan reversible (bereaksi balik), dan dapat membentuk lapisan jamak (multilayer). Contoh : proses adsorpsi gas pada choncosl (Sukardjo, 1985).

Faktor – faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi: a) Adsorben

Tiap-tiap absorben memiliki karakteristik tersendiri, artinya sifat dasar dari absorben berperan penting.

b) Adsorbat

Dapat juga berupa zat elektrolit maupun non-elektrolit. Untuk zat elektrolit memiliki adsopsi yang besar karena mudah


(33)

yang kecil, sehingga tidak ada reaksi tarik menarik antar molekul.

c) Konsentrasi

Semakin tinggi konsentrasi partikel, maka kontak antara adsorben dan absorbat juga semakin besar. Sehingga proses adsorpsinya semakin besar pula.

d) Luas Permukaan

Semakin luas permukaan adsorbennya, maka akan terjadi gaya adsorpsi yang besar. Sebab zat yang diapsorpsi juga semakin luas. Sehingga semakin halus suatu adsorben, maka adsorpsinya nya juga semakin besar.

e) Temperatur

Temperatur yang tinggi mengakibatkan molekul atau partikel akan bergerak cepat. Sehingga kemungkinan menangkap atau mengadsorpsi partikel-partikel semakin sulit.

2.4.2. Absorsi

Absorpsi merupakan suatu proses pemisahan materi dari suatu campuran gas dengan cara mengikat materi tersebut pada permukaan absorben cair yang diikuti dengan pelarutan. Gas yang melarut akan diserap sehingga terjadi suatu gaya fisik (absorpsi fisik) atau selain gaya tersebut juga terdapat ikatan kimia (absorpsi kimia). Komponen gas yang berikatan akan dilarutkan terlebih dahulu dengan kecepatan yang tinggi. Oleh karena itu, absorpsi kimia lebih tinggi dari absorpsi fisik. Contoh : absopsi gas CO, H2S

Absorpsi adalah proses pemisahan bahan dari suatu campuran gas dengan cara pengikatan bahan tersebut pada permukaan absorben cair yang diikuti dengan pelarutan. Kelarutan gas yang akan diserap dapat disebabkan hanya oleh gaya-gaya fisik (pada absorpsi fisik) atau selain gaya tersebut juga oleh ikatan kimia (pada absorpsi kimia). Komponen gas yang dapat mengadakan ikatan kimia akan dilarutkan lebih dahulu dan juga dengan kecepatan yang lebih tinggi. Karena itu


(34)

Gambar 2. 6. Skema Proses Absorpsi 2.5. Modul SHT11

Modul SHT11 merupakan salah satu sensor kelembaban dan temperatur yang diproduksi oleh Sensirion Corp, di Zurich, Switzerland. Sensor ini telah terintegrasi dengan elemen sensor pemroses sinyal pada kaki-kakinya dan keluaran digitalnya sudah terkalibrasi penuh. Untuk masalah daya, SHT11 mengkonsumsi daya yang rendah sekitar 3 mikroWatt. Stabilitas sensor ini sangat baik digunakan untuk jangka yang waktu yang lama. Berikut ukuran SHT11 yang dapat dilihat pada gambar 2.7 (Sensirion, 2011).

Gambar 2. 7. SHT11 dalam dimensi mm (1mm = 0,039inc). Koneksi yang bekerja seperti berikut, 1:GND, 2:Data, 3:SCK,


(35)

Gambar 2. 8. Modul SHT11 2.4.1. Kemampuan Sensor

Kemampuan sensor dibagi menjadi dua parameter, yaitu kemampuan pada relatif kelembaban dan temperatur. Berikut kemampuan sensor dapat dilihat pada tabel 2.2 dan tabel 2.3 (Sensirion, 2011).

Tabel 2. 2. Kemampuan sensor pada relatif kelembaban (dimodifikasi dari Sensirion, 2011)

Parameter Kondisi Min Tipe Maks Satuan

Resolusi 0,4 0,05 0,05 %RH

8 12 12 bit

Akurasi SHT11

Tipikal ±3,0 %RH

Maks Lihat gambar 2.6

Repeatabilty ±0,1 %RH

Histerisis ±1 %RH

Jarak operasi 0 100 %RH

Gambar 2. 9. Toleransi Maks. RH pada suhu 25°C tiap jenis sensor


(36)

Tabel 2. 3. Kemampuan sensor pada temperature (dimodifikasi dari Sensirion, 2011).

Parameter Kondisi Min Tipe Maks Satuan

Resolusi 0,04 0,01 0,01 °C

12 14 14 bit

Akurasi SHT11

Tipikal ±0,4 °C

Maks Lihat gambar 2.7

Repeatabilty ±0,1 °C

Histerisis ±1 °C

Jarak operasi -40 123,8 °C


(37)

Gambar 2. 10. Toleransi maksimal temperatur tiap jenis sensor

Akurasi pengukuran kelembaban : Untuk tipe SH11:

 Pada 0%RH < H < 20%RH eror pengukuran ±5%RH

 Pada 20%RH < H < 80%RH eror pengukuran ±3%RH

 Pada 80%RH < H < 100% eror pengukuran ±5%RH

Akurasi pengukuran suhu : Untuk tipe SHT11:

 Pada -40°C < T < 25°C eror pengukuran ±2,25°C

 Pada 25°C < T < 123,8°C eror pengukuran ±3°C

2.6. Arduino Uno


(38)

keluaran (I/O) digital (yang mana 6 pin dapat digunakan sebagai keluaran pwm), 6 pin masukan analog, terdapat 16 MHz resonator keramik, dapat dihubungkan dengan konektor USB, power jack, header ICSP, dan tombol reset. Berikut keterangan mikrokontroler arduino uno dapat dilihat pada gambar 2.8 (Arduino, 2017).

Arduino Uno memiliki perbedaan pada semua board terdahulu dalam hal menghubungkan USB ke Serial yakni dengan menggunakan fitur Atmega8U2 yang diprogram sebagai pengubah (converter) USB ke Serial. Pada board terdahulu masih menggunakan chip FTDI driver USB ke Serial (Arduino, 2017).

Istilah “Uno” yang dapat diartikan satu dalam bahasa italia. Peluncuran Arduino 1.0 Uno dan versi 1.0 sebagai penanda bahwa akan menjadi versi refrensi atau acuan dari Arduino (Arduino, 2017).

Gambar 2. 11. Modul Arduino Uno beserta keterangan (dimodifikasi dari Arduino, 2017).

2.6.1. Spesifikasi Arduino Uno

Arduino uno memiliki spesifikasi yang dapat dilihat pada tabel 2.4 dibawah ini.


(39)

Parameter Kondisi

Mikrokontroler Atmega328

Beroperasi pada tegangan 5V Masukan tegangan (rekomendasi) 7 – 12V Masukan tegangan (batas) 6 – 20V

Pin I/O digital 14 (6 pin dapat digunakan sebagai keluaran PWM)

Pin masukan analog 6

Arus DC tiap pin I/O 40mA

Arus DC untuk pin 3.3V 50mA

Flash memori 32Kb (Atmega328) yang mana

0,5Kb digunakan oleh bootloader

SRAM 2Kb (Atmega328)

EEPROM 1Kb (Atmega328)

Clock speed 16MHz

Pemrograman pada arduino uno bisa dibilang lebih mudah, dikarenakan bahasa yang ada di Arduino uno menggunakan bahasa program sendiri yang diproses di software arduino. Software arduino merupakan sebuah software yang berfungsi meng-upload koding dari PC ke mikrokontroler yang dapat dilihat pada gambar 2.9.


(40)

Gambar 2. 12.

Software Arduino (Sumber : foto pribadi). 2.7. Termokopel

Termokopel dikembangkan berdasarkan prinsip yang pertama kali ditunjukkan pada tahun 1882 oleh fisikawan Jerman Thomas Seebeck (Acromag, 2015). Termokopel dibuat apabila dua logam yang berbeda disentuh pada satu ujung dan diukur disisi lain akan menciptakan tegangan kecil rangkaian terbuka sebagai fungsi dari suhu yang berbeda antara titik kontak dan titik pengukuran logam. Tegangan yang terukur dari termokopel merupakan selisih antara tegangan Seebeck pada masing-masing konduktor (National Instruments, 2011). Berikut adalah persamaan Seebeck yang akan di tunjukkan dibawan ini :

∆V=S∆T Keterangan :


(41)

∆T adalah perubahan suhu

Berikut ini merupakan jenis-jenis termokopel berdasarkan campuran bahannya seperti tablel dibawah ini :

Tabel 2. 5. Komposisi dari jenis-jenis termokopel (dimodifikasi dari National Instruments, 2011)

2.8. P-Trak Ultrafine Particles

Counter (TSI, Model 8525)

P-Trak Ultrafine Particle Counter merupakan instrumen pencacah partikel ultrafine dengan konsentrasi partikelnya diukur dalam unit partikel per centimeter kubik (pt/cc). instrumen ini dapat mencacah dari 0 sampai 5x105 pt/cc. P-Trak memiliki tiga mode operasi utama yaitu survey, sample dan data log (Manual, 2013).

1. Survey mode, ketika pertama kali dinyalakan, P-Trak langsung masuk ke dalam Survey mode yang digunakan untuk menunjukkan pembacaan dari konsentrasi partikel


(42)

banyak dioperasikan dan digunakan untuk melacak sumber partikel ultrafine.

2. Sample mode, digunakan untuk mengambil rata-rata konsentrasi partikel dalam 10 detik.

3. Data log, digunakan untuk menyimpan konsentrasi partikel yang dibaca setiap periode sekali dan pembacaannya ini di simpan dalam memori instrumen.

Gambar 2. 13. P-Trak Ultrafine Particle Counter Prinsip kerja dari P-trak Ultrafine Particle Counter seperti Gambar 2.14 yaitu alat ini memiliki sebuah pompa didalamnya, sehingga partikel yang ada diluar alat (lingkungan) di hisap masuk melalui inlet. Beberapa partikel yang berhasil masuk akan melewati tabung saturator yakni salah satu bagian dari P-trak. Didalam tabung saturator, partikel akan bercampur dengan uap alkohol. Partikel yang sebelumnya sudah bercampur dengan uap alkohol akan masuk ke dalam tabung kondenser dimana alkohol berkondesasi pada partikel yang mengakibatkan partikel menjadi sebuah droplet (tetesan) sehingga dapat dihitung dengan mudah. Kemudian droplet melewati sinar laser yang menghasilkan kilasan. Kilasan cahaya tersebut dideteksi oleh photodetektor dan konsentrasi partikel yang ditentukan dapat dihitung.


(43)

Gambar 2. 14. Prinsip kerja P-trak Ultrafine Counter (dimodifikasi dari TSI, 2013).

2.9. Kanomax A031 Anemomaster

Kanomax A031 merupakan instrumen yang mampu mengukur kecepatan udara dan temperatur secara bersamaan


(44)

mengartikulasinya. Dapat menyimpan data pengukuran di dalam memori yang tersedia pada kanomax A031 yang memudahkan untuk pengukuran data selanjutnya. Memiliki keluaran RS-232c yang dapat mengirim data ke computer.

Gambar 2. 15. Kanomax A031 Anemomasters

2.10. Temperature Controller

TOS-B4RK4C

Temperature Controller merupakan suatu piranti pengendali temperatur yang dapat diatur set pointnya. Piranti ini berbentuk persegi panjang yang terdapat cakra angka ditengah-tengahnya. Cakra angka tersebut dapat diputar-putar. Sesuai dengan tipenya TOS-B4RK4C memiliki mode keluaran relay (saklar otomatis) dengan sensor masukan termokper jenis K yang bekerja pada range temperatur hingga 400°C (Autonic, 2016).


(45)

(46)

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai pada hari Senin tanggal 17 April 2017 setiap pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai. Tempat penelitian di Laboratorium of Air Quality and Astro Imaging Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Brawijaya.

3.2. Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. 1 set P-Trak Ultrafine Particle Counter model 8525 merek TSI

Gambar 3. 1. P-Trak UPC Ultrafine 8525 2. 1 set Anemomaster A031 merek Kanomax


(47)

3. Heating Plat

[a] [b]

Gambar 3. 3. Heating plat, [a]. Gambar dari atas, [b]. Gambar dari bawah

4. 1 buah Temperature Controller tipe TOS- B4RK4C merek Autonic


(48)

5. 2 buah modul SHT11

Gambar 3. 5. Modul SHT11 6. 2 buah Mikrokontroler Arduino Uno


(49)

7. Termokopel tipe K

Gambar 3. 7. Termokopel tipe K 8. 2 Kabel USB


(50)

9. 2 buah adaptor dengan tegangan 5V

Gambar 3. 9. Adaptor tegangan 5V 10. 2 buah LCD 2x16

Gambar 3. 10. LCD ukuran 2x16 11. Multimeter Digital


(51)

Gambar 3. 11. Multimeter Digital 12. Pompa Hisap

Gambar 3. 12. Pompa hisap 13. Selang anti-panas


(52)

14. 2 buah chamber dengan ukuran p x l x t : 30cm x 20cm x

20cm

Gambar 3. 14. Chamber

Adapun beberapa alat penunjang sebagai berikut: 15. Mistar ukur

16. Laptop / PC 17. Kabel Jumper 18. Selotip 19. Gunting 20. Solder 21. Timah 22. Akrilik

3.3. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, udara ambient, dan isopropyl alcohol (IPA, 99% absolut).


(53)

3.4. Metode Penelitian


(54)

3.4.1. Perancangan Sistem Pemanas

Sistem pemanas dibuat dengan bahan besi yang berdimensi p x l x t : 0,35m x 0,14m x 0.135m sesuai pada Gambar 3.16. Bahan ini dipilih karena memiliki kelebihan yakni tahan terhadap temperatur tinggi ataupun dengan RH tinggi. Selanjutnya dipasang valve disamping kiri dan kanan dari sistem pemanas yang digunakan sebagai inlet dan outlet dari udara seperti pada Gambar 3.16.

Untuk pembungkus sistem pemanas digunakan kotak akrilik yang sebelumnya diisi kertas anti-panas dan busa ditiap sisinya. Manfaat dari kertas anti-panas dan busa tersebut berfungsi sebagai isolator. Kemudian dipasang heating plat ditengah-tengah kotak pemanas yang berfungsi sebagai sumber pemanasnya yang dapat dilihat pada Gambar 3.16. Panas yang ada didalam sistem dikendalikan oleh temperature controller dengan memasang sensor termokopel didalam sistem. Selanjutnya sumber tegangan 220V dihubungkan ke saklar dan dari saklar dihubungkan lagi ke temperature controller seperti Gambar 3.17.

Gambar 3. 16. Sistem Pemanas Terkendali

f e d a b c g

c 0,135 m

0,14 m


(55)

Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa: a. kotak besi, b. katup inlet, c. kotak akrilik, d. temperature controller, e. saklar, f. heating plat, g. sensor termokopel.

Gambar 3. 17. Rangkaian Sistem Pemanas dengan menggunakan TOS-B4RK4C 3.4.2. Pembuatan Alat SHT11

Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat suatu sensor yang dapat mendeteksi suhu dan kelembaban. SHT11 merupakan sensor yang dapat mengukur suhu sekaligus kelembaban. Pemilihan sensor SHT11 dikarenakan memiliki resolusi dan senstivitas yang baik. Untuk pengontrolnya digunakan mikrokontroler arduino uno merupakan mikrokontroler single-board yang mudah dipelajari karena pemrogramannya memakai bahasa arduino sendiri. Setelah itu, diperlukan suatu interface yang dapat membaca data dari suhu dan kelembaban. Maka digunkananlah LCD 2x16 yang berguna untuk menampilkan data dari suatu objek yang telah diproses sebelumnya. Berikut diagram blok dari pembuatan instrumennya pada gambar dibawah ini.

H e a ti n g p la t Sensor

SHT11 Arduino uno LCD 2x16


(56)

Pada diagram blok diatas dapat dijelaskan prinsip kerjanya yakni, input berupa suhu atau kelembaban disekitar dideteksi oleh sensor SHT11. Kemudian dari sensor SHT11 akan mengirimkan data digital ke mikrokontroler. Mikrokontroler yang dipakai yaitu Arduino uno. Data yang diterima Arduino Uno akan langsung ditampilkan oleh interface LCD 2x16. Setelah itu output suhu dan kelembaban dapat diketahui nilainya.

Adapun coding dari pembuatan instrumen dengan sensor SHT11 sebagai berikut.

#include <LiquidCrystal.h> #include <SHT1x.h> #define dataPin 10 #define clockPin 9

LiquidCrystal lcd(12, 11, 5, 4, 3, 2); SHT1x sht11(dataPin, clockPin); void setup() {

pinMode(6, OUTPUT); pinMode(7, OUTPUT); pinMode(8, OUTPUT); pinMode(13, OUTPUT); lcd.begin(16, 2); lcd.setCursor(1, 0); lcd.print("ARDUINO SHT11"); delay(1000); }

void loop() {

digitalWrite(6, HIGH); digitalWrite(7, LOW); digitalWrite(8, HIGH); digitalWrite(13, LOW); float temp_c; float humidity;


(57)

humidity = sht11.readHumidity(); lcd.clear();

lcd.setCursor(0, 0); lcd.print("Suhu: "); lcd.setCursor(5, 0); lcd.print(temp_c); lcd.setCursor(11, 0); lcd.print("'C"); lcd.setCursor(0, 1); lcd.print("RH : "); lcd.setCursor(5, 1); lcd.print(humidity); lcd.setCursor(11, 1); lcd.print("%"); delay (1000);}


(58)

Dari hasil coding diatas, hal pertama yang perlu dilakukan yaitu mengunduh library dari SHT11 dan LCD. Library

merupakan suatu kumpulan subrutin yang didalamnya memiliki banyak fungsi tertentu. Kemudian data dari sensor ditentukan di pin 9 dari Arduino uno, sedangkan untuk clock ditentukan di pin 10. Arduino Uno memiliki sedikit kaki pin untuk keluaran 5V dan ground, oleh karena itu pada pin 6 dan pin 7 diset Mode OUTPUT dengan perintah masing-masing HIGH dan LOW. Perintah HIGH tersebut memiliki nilai 1 dalam bilangan digital yang memiliki arti bahwa pin tersebut terdapat tegangan. Sedangkan perintah LOW memiliki arti bahwa pin tersebut dalam mode ground atau bernilai 0. Setelah itu, untuk menampilkan nilai suhu pada LCD ditulis perintah setCursor (0,0) yang berarti baris 0 dan kolom 0 akan diisi dengan teks Suhu, sedangkan untuk kelembaban pada LCD ditulis perintah setCursor (0,1) dengan arti baris 0 dan kolom 1 akan muncul teks RH. Berikut merupakan alat ukurnya yang ditampilkan pada Gambar 3.19.


(59)

Pengujian sensor SHT11 dilakukan di dalam ruang Laboratorium Air Quality and Astro Imaging dengan menggunakan alat pembanding Q-Trak.

Pengujian sensor SHT11 dan Q-Trak diletakkan sejajar didalam chamber yang berisi udara panas dari hembusan blower melalui sistem pemanas. Suhu akan meningkat perlahan-lahan dan dicatat hasil pengukuran suhu dari kedua sensor. Sedangkan untuk kelembaban akan menurun seiring meningkatnya suhu dan dicatat hasil pengukuran kelembaban dari kedua sensor. Hasil dari pengujian suhu dan kelembaban dari kedua sensor dibandingkan. Pembandingan dilakukan dengan membuat grafik perbandingan antara kedua output sensor.

Gambar 3. 20. Skema kalibrasi sensor SHT11

Suhu dan kelembaban mula-mula didalam chamber pada saat pengujian:


(60)

25 35 45 55 65 25 35 45 55 65

f(x) = 1.06x - 1.69 R² = 1

Suhu Q-Trak °C

S u h u S H T 1 1 ° C SHT1 1 = 69,5%RH; Q-Trak = 70,2%RH.Hasil pengukuran suhu dari kedua sensor dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut grafik hasil pengukuran suhu didalam chamber dari kedua sensor :

Gambar 3. 21. Grafik perbandingan output suhu dari SHT11 dan Q-Trak.

Seperti yang ditunjukkan grafik pada Gambar 3.21 bahwa hasil pengukuran suhu antara SHT11 dan Q-trak memiliki nilai yang relatif sama. Pada SHT11 suhu yang diukur merupakan suhu aliran udara didalam chamber yang kemudian masuk kedalam sensor sehingga sensor ini sensitif terhadap aliran udara. Karena output SHT11 berupa data digital, maka eror tergantung pada internal chip sensor. Besarnya eror tersebut didapatkan dari pabrik pembuat SHT11 yakni SENSIRION. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada Gambar 2.10. Akurasi temperature SHT11.

Dari hasil pengukuran kelembaban dari kedua sensor dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut grafik hasil pengukuran kelembaban didalam chamber dari kedua sensor.


(61)

40 45 50 55 60 65 70 40.0 45.0 50.0 55.0 60.0 65.0 70.0 75.0

f(x) = 0.91x + 7.5 R² = 1

Q-Trak %RH S H T 1 1 % R H

Gambar 3. 22. Grafik perbandingan output %RH dari SHT11 dan Q-Trak.

Pada Gambar 3.22 dapat dilihat grafik perbandingan %RH dari SHT11 dan Q-Trak yang tidak jauh beda nilainya. Perbedaan hasil dari pengukuran kelembaban disebabkan pada SHT11 kelembaban diukur dengan memperhitungkan kompensasi dari suhu ruang, selain itu untuk alat Q-Trak sensornya sudah terbungkus oleh probe, sehingga untuk memasukan kedalam chamber diperlukan selang yang dihubungkan ke probe sensor Q-Trak. Sehingga sensor dari SHT11 dan Q-Trak dapat disejajarkan.

SHT11 berfungsi untuk mengukur kelembaban ruang. Karena output-nya yang digital, maka eror tergantung internal chip sensor. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada Gambar 2.9. Akurasi kelembaban SHT11.

3.5. Metode Pengumpulan dan Analisis Data 3.5.1. Metode Pengumpulan Data


(62)

dapat diatur. Kecepatan yang diinginkan yakni ±5m/s, ±10m/s, dan ±15m/s. Nilai tersebut merupakan batas kecepatan minimal dan maksimal dari pompa hisap. Kemudian udara dihisap dimasukkan kedalam chamber 1 dengan kecepatan minimal terlebih dahulu selama 1 menit atau 60 detik. Udara yang dimasukkan ke chamber berfungsi agar udara dapat terisolasi. Hal yang sama juga diterapkan untuk kecepatan ±10m/s, dan ±15m/s seperti Gambar 3.20.

Gambar 3. 23. Perilaku pengambilan udara ambien Dengan waktu yang sama sistem pemanas partikulat dinyalakan dan diset point ke suhu 200°C. Untuk memantau suhu didalam sistem, dimasukkan sensor termokopel yang sebelumnya sudah terintegrasi dengan multimeter. Termokopel dimasukkan melalui inlet valve dan ditutup. Sembari menunggu suhu dari sistem mencapai 200°C, persiapkan rangkaian penelitian seperti Gambar 3.21. Kemudian disiapkan alat PTrak UPC 8525 yang sebelum itu catridge isopropyl dimasukkan kedalam alat ukur dengan memutar 1/8 searah jarum jam untuk menutupnya. Selanjutnya fitting dipasang dibagian inlet. Setelah siap semuanya, adaptor AC dihubungkan kedalam jack dan ditekan tombol on/off untuk menyalakannya. Ketika alat dalam keadaan menyala, dilakukan pengkalibrasian dengan memasang HEPA-ZERO filter di fitting. Partikel yang masuk ke p-trak dicacah hingga menunjukkan nilai nol.

Konsentra si udara ambient

Sea l


(63)

Keterangan: 1. Chamber 1 2. Sensor SHT11 3. Pompa Hisap

4. Sistem Pemanas Partikulat 5. Chamber 2

6. Termokopel dan Multimeter 7. P-Trak UPC 8525

Gambar 3. 24. Skema Sistem Pengukuran

Sebelum suhu sistem mencapai nilai ±200°C, mula-mula suhu dan kelembaban (RH) yang ada di chamber 1 dan chamber 2 diukur dengan melihat sensor SHT11 yang sudah terpasang di chamber dan konsentrasi udara ambient juga diukur dengan p-trak. Ketika suhu sistem pemanas mencapai nilai ±200°C, maka pemanas akan otomatis mati. Pengambilan data dimulai dari suhu 200°C hingga 60°C. Hal tersebut diasumsikan bahwa suhu yang turun tidak langsung fluktuasi secara drastis yang mana nantinya pengambilan data mudah diamati.

Konsentrasi awal (Ci) yang ada di chamber 1 diukur dengan p-trak terlebih dahulu dengan interval 60 detik tiap pergantian suhu. Kemudian pompa dinyalakan dengan kecepatan berurutan mulai v1; v2; dan v3. Selanjutnya udara yang keluar dari sistem diukur konsentrasi akhirnya (Co) dengan p-trak serta dicatat juga perubahan suhu dan kelembaban (RH) yang ada di chamber 2. Tidak lupa juga suhu sistem juga dicatat tiap penurunan 20°C.


(64)

3.5.2. Gain (Penguat)

Besar penguatan sistem pemanas untuk PM0,1 dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

G

(

t

)=

y

(

t

)

x

(

t

)

(3.5)

Keterangan : G (t) = Penguatan y (t) = Output x (t) = Input

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Hasil Perancangan Sistem Pemanas

Dari hasil penelitian, telah dibuat suatu sistem pemanas partikulat terkendali. Sistem pemanas tersebut berbasis temperature controller serta dapat dimonitoring suhu dan kelembabannya dengan sensor SHT11. Berikut merupakan hasil


(65)

Gambar 4. 1. Sistem Pemanas Partikulat Terkendali

Berdasarkan Gambar 4.1, diketahui bahwa a). Heating Plat diletakkan ditengah-tengah kotak; b). Kotak yang terbuat dari besi; c). Temperature Controller; d). Saklar yang menghubungkan sumber tegangan dengan temperature controller; e). Sistem Keseluruhan dengan dibungkus kotak akrilik.

(e)

(d) (c)

(b) (a)


(66)

Pengujian sistem pemanas dilakukan dengan mengatur set point dari temperature controller ke angka 200°C. Untuk melihat perubahan temperatur dari sistem pemanas, maka dimasukkan sensor termokopel yang sudah terintegrasi dengan multimeter sebagai pembaca temperatur. Ketika sistem pemanas dinyalakan, temperatur sistem pemanas dicatat dari angka 60°C sampai 200°C dengan interval 20°C. Sedangkan saat pendinginan sistem pemanas, temperatur sistem pemanas dicatat dari angka 200°C hingga 60°C. Berikut grafik hasil pengujian sistem pemanas terhadap waktu.

0 10 20 30 40 50 60

60 80 100 120 140 160 180 200

Proses Pemanasan Proses Pendinginan Waktu (Menit) Te m p e ra tu r (° C )


(67)

Pada grafik diatas menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan saat proses pemanasan sekitar 29 menit, waktu tersebut dapat dibilang cukup cepat dibandingkan saat proses pendinginan yang membutuhkan waktu lama sekitar 48 menit. Untuk lebih jelas data dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari perbandingan tersebut bahwa untuk pengambilan data lebih baik saat proses pendinginan sistem. Hal tersebut dikarenakan perubahan temperatur yang lambat dapat memudahkan proses pencatatan data.

4.1.3. Pengukuran Laju Udara

Dalam penelitian ini digunakan pompa hisap yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar kecepatannya dapat diatur. Sebelum pompa digunakan lebih baiknya dilakukan pengkalibrasian. Kalibrasi bertujuan untuk memeriksa stabilitas kecepatan pompa, sehingga bila terjadi perubahan kecepatan yang tidak diinginkan selama pengukuran dapat dihindari. Kecepatan pompa diusahakan stabil karena untuk kecepatan yang berbeda akan menghasilkan nilai konsentrasi partikulat yang berbeda pula. Kalibrasi dilakukan selama 10 detik dengan kecepatan v1, v2, dan v3 berturut-turut sebesar: ±5; ±10; dan ±15 m/s. Berikut diberikan hasil kalibrasi untuk kecepatan pompa seperti Tabel 4.1.


(68)

Tabel 4. 1. Hasil Rata-rata Kecepatan Pompa Hisap Perulang

an

Kecepatan Pompa Hisap (m/s)

v1 v2 v3

1 5.93 10.1 14.7

2 5.91 10.2 14.6

3 5.95 10.2 14.8

4 5.89 10.4 14.7

5 5.9 10.4 14.8

6 5.86 10.4 14.7

7 5.76 10.3 14.5

8 5.89 10.5 14.8

9 5.93 10.5 14.9

10 5.91 10.6 14.8

Mean 5.89 10.36 14.73

STD 0.02 0.05 0.03

Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa kecepatan pompa yang berbeda dapat ditentukan selama 10 detik. Untuk kecepatan pompa dengan nilai v1 didapatkan kecepatan minimum 5,76 m/s dan kecepatan maksimum 5,93 m/s. Kemudian untuk kecepatan pompa dengan nilai v2 didapatkan kecepatan minimum 10,1 m/s dan kecepatan maksimumnya 10,6 m/s. Dan yang terakhir untuk kecepatan v3 didapatkan kecepatan minimum 14,5 m/s dan kecepatan maksimumnya 14,9 m/s. Dengan fluktuasi yang kecil dari ketiga kecepatan pompa dapat dikatakan cukup stabil.


(69)

v1 v2 v3 0.00 5.00 10.00 15.00 5.89 10.36 14.73

Kecepatan Pompa Hisap

K e ce p a ta n P o m p a m /s

Gambar 4. 3. Grafik Hasil Rata-rata Kecepatan Pompa Hisap

Gambar 4.5 menunjukkan grafik rata-rata kecepatan pompa hisap dengan tiga kecepatan v1, v2, dan v3 dengan nilai secara berurutan 5,89±0,02; 10,36±0,03; dan 14,73±0,06 m/s. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecepatan pompa hisap sesuai yang diinginkan.

4.1.4. Karakteristik Sistem Pemanas

a. Pengukuran konsetrasi PM0.1 sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas

Untuk mengetahui karakteristik sistem pemanas tersebut, maka diperlukan adanya pengukuran konsentrasi PM0.1 sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas terhadap fungsi suhu dan laju udara. Suhu yang digunakan memiliki variasi sebesar 200, 180, 160, 140, 120, 100, 80, dan 60°C. Sedangkan untuk laju udaranya memiliki variasi sebesar v1 = 5,89; v2 = 10,36; dan v3 = 14,73 m/s. Untuk waktu pengukuran konsentrasi PM0.1 mengikuti penurunan suhu, karena tiap perubahan suhu waktu yang dibutuhkan tidak sama deangan waktu pada suhu sebelumnya. Dari hasil pengukuran konsentrasi PM0.1 sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas, maka didapatkan data yang terbaik seperti pada Tabel


(70)

Tabel 4. 2. Hasil pengukuran konsentrasi PM0.1 sebelum melewati sistem pemanas

T

(°C) v1 Ci (pt/cc)v2 v3

200 10133

±33 10233 ± 33 14100 ± 0 180 21333 ±

333 20833 ± 33 23100 ± 0 160 18733 ±

67 20333 ± 33 29700 ±100 140 15567 ±

33 19700 ± 58 29767 ± 88 120 13733 ±

33 14667 ± 33 21367 ± 67 100 11767 ±

33

10667 ± 33 14767 ± 88 80 9450 ± 6 11600 ±

173 10333 ± 67 60 8987 ± 9 9133 ± 49 10133 ± 33

Tabel 4. 3. Hasil pengukuran konsentrasi PM0.1 setelah melewati sistem pemanas

T

(°C) v1 Co (pt/cc)v2 v3

200 21800 ±

58 25000 ±100 104000 ±577 180 48767 ±

33 57533 ±33 133333 ±1333 160 90167 ±

33 113667 ±333 172667 ±333 140 134333 ±

333

157000 ± 0

173667 ± 333


(71)

100 112667 ±

333 129000 ±577 166000 ±577 80 58067 ±

33 65000 ±58 113667 ±333 60 44633 ±

296 53200 ±115 107667 ±882 *) Warna kuning peningkatan maksimum konsentrasi PM0.1 Warna merah peningkatan minimum konsentrasi PM0.1

Dari Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa konsentrasi PM0.1 setelah melewati sistem pemanas mengalami sebuah peningkatan jumlah konsentrasi PM0.1. Peningkatan maksimal jumlah konsentrasi PM0.1 terjadi pada suhu 140°C untuk kecepatan v1 dan v2 beruturut-turut sebesar 134333 ± 333 ; dan 157000 ± 0, sedangakan untuk peningkatan maksimal pada kecepatan v3 terjadi pada suhu 120°C sebesar 179000 ± 0. Peningkatan minimal terjadi pada suhu 200°C untuk kecepatan v1, v2, dan v3 berturut-turut sebesar 21800 ± 58; 25000 ± 100; dan 104000 ± 577. Dari hasil ini, diketahui bahwa terjadi sebuah peningkatan maksimum konsentrasi PM0.1 pada suhu 60 hingga 140°C, sedangkan terjadi peningkatan minimum konsentrasi PM0.1 pada suhu antara 140 hingga 200°C. Hubungan antara konsentrasi PM0.1 dengan suhu sebelum dan setelah melewati


(72)

60 80 100 120 140 160 180 200 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 v 1 Temperatur 'C K o n se tr a si P M 0 .1 ( p t/ cc )

ditunjukkan pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5.

Gambar 4. 4. Konsentrasi PM0.1 sebelum melewati sistem pemanas


(73)

Gambar 4. 5

60 80 100 120 140 160 180 200 0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000 v 1 Temperatur 'C K o n se n tr a si P a rt ik u la t (p t/ cc )

. Konsentrasi PM0.1 setelah melewati sistem pemanas

Dari gambar diatas, diketahui bahwa laju udara dan suhu memiliki pengaruh secara langsung terhadap peningkatan konsentrasi PM0.1 yang dihasilkan. Gambar 4.5 didapatkan beberapa trend untuk laju aliran v1, v2, dan v3. Persamaan numerik dari laju aliran v1, v2, dan v3 didapatkan persamaan garis polynomial berturut-turut sebesar y = -20.089x2 + 5063.7x – 196743; y = -23.136x2 + 5857x – 228981; dan y = -15.635x2 + 4117.1x – 94405. Untuk koefisien determinasinya, berturut-turut sebesar 0.8982; 0.8974; dan 0.8984.

b. Gain sistem pemanas

Hasil konsentrasi PM0.1 setelah melewati sistem pemanas mengalami adanya sebuah gain (penguatan). Gain merupakan perbandingan Output (Co) konsentrasi PM0.1 terhadap input (Ci) konsentrasi PM0.1, seperti ditunjukan pada persamaan 3.5. Gain ini berhubungan erat dengan suhu dan laju aliran. Untuk hubungan gain dengan suhu dapat ditunjukkan pada Gambar


(74)

Gambar 4. 6

60 80 100 120 140 160 180 200 0 2 4 6 8 10 12 14 v1 v2 v3 Temperatur 'C G a in

. Gain konsentrasi PM0.1 terhadap suhu

Dari gambar diatas, diketahui bahwa suhu mempengaruhi besar gain konsentrasi PM0.1. Konsentrasi PM0.1 mengalami gain maksimum pada suhu 100°C, seperti gambar diatas yang ditandai dengan kotak warna merah. Pada suhu 100°C konsentrasi PM0.1 mengalami penguatan masing-masing v1; v2; dan v3 berturut-turut sebesar 9.58; 12.09; dan 11.24 kali. Kemudian penguatan minimum terjadi pada suhu 200°C dengan masing-masing v1 dan v2 beruturut-turut sebesar 2.15 dan 2.44 kali. Namun untuk konsentrasi PM0.1 laju udara v3 penguatan minimum terjadi pada suhu 180°C sebesar 5.77 kali. Anomali yang terjadi pada laju udara v3 dikarenakan adanya faktor random error yakni besaran-besaran yang tidak dapat dikendalikan. Kemudian setelah diketahui hubungan gain konsentrasi PM0.1 terhadap fungsi suhu, maka perlu diketahui hubungan gain konsentrasi PM0.1 terhadap fungsi laju udara. Hubungan antara gain konsentrasi PM0.1 dengan laju udara seperti yang ditunjukkan Gambar 4.7.


(75)

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 T 2 0 0

Laju udara (m/s)

G

a

in

Gambar 4. 7. Gain konsentrasi PM0.1 terhadap laju udara Dari gambar diatas, dapat diketahui bahwa laju udara mempengaruhi besarnya gain PM0.1. Dimana untuk laju udara pada suhu 200°C didapatkan gain PM0.1 semakin besar setiap kenaikan nilai laju udara. Gain konsentrasi tersebut didapatkan masing-masing berturut-turut sebesar 2.15; 2.44; dan 7.38 kali. Kemudian gain maksimum konsentrasi PM0.1 terjadi pada suhu 100°C. Gain konsentrasi PM0.1 didapatkan berturut-turut sebesar 9.58; 12.09; dan 11.24 kali. Namun hal tersebut berbeda ketika laju udara pada suhu 140 dan 120°C. Pada suhu tersebut gain konsentrasi PM0.1 mengalami penurunan tiap kenaikan laju udara. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa adanya random error yang terjadi saat laju udara v3. Karena besaran-besaran seperti suhu dan kelembaban diudara tidak dapat dikendalikan. Untuk selanjutnya, perlu perbanyak pengulangan data agar didapatkan hasil data yang akurat.


(76)

4.1.5. Hubungan kelembaban relatif terhadap temperatur sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas. a.

60 80 100 120 140 160 180 200 60

65 70 75 80

f(x) = - 0.02x + 68.75 R² = 0.88

f(x) = 0.02x + 73.5 R² = 0.89

In Linear (In) Out Linear (Out)

Temperatur 'C

%

R

H

Kecepatan v1: 5 m/s b.

60 80 100 120 140 160 180 200 60

65 70 75 80

f(x) = - 0.02x + 68.57 R² = 0.66

f(x) = 0.01x + 74.24 R² = 0.95

In Linear (In) Out Linear (Out)

Temperatur 'C

R

H


(77)

c.

60 80 100 120 140 160 180 200

60 62 64 66 68 70 72 74 76 78

f(x) = - 0.02x + 69.94 R² = 0.71

f(x) = 0.02x + 73.97 R² = 0.87

In Linear (In) Out Linear (Out) Kecepatan v3: 15 m/s

Gambar 4. 8. Perbandingan %RH terhadap Temperatur (a: v1; b: v2; dan c: v3).

Pendekatan numerik yang dilakukan yaitu menggunakan persamaan garis liner, dimana untuk kecepatan v1 sampai v3 inputnya berturut-turut didapatkan y = 0.0194x + 73.497, y = 0.012x + 74.24, dan y = 0.0152x + 73.971. Koefisien determinasinya berturut-turut sebesar 0.8903, 0.9473, dan 0.8707. Untuk outputnya persamaan trendlinenya berturut-turut adalah y = -0.0228x + 68.754, y = 0.012x + 74.24, dan y = 0.0152x + 73.971. Untuk koefisien determinasinya sebesar 0.8812, 0.6581, dan 0.7066.


(78)

4.2. Pembahasan

Alat ini dibuat dengan tujuan mengurangi kandungan higroskopis dari udara bebas (ambient). Keluaran dari alat ini ialah partikulat dengan konsentrasi air yang lebih rendah daripada input. Alat ini memanfaatkan properti termal dari logam sebagai sumber panas yang digunakan untuk meningkatkan suhu udara input hingga melebihi titik didih dari droplet. Droplet yang memiliki suhu melebihi titik didihnya akan berubah fasenya menjadi gas. Sumber panas diproduksi dengan menggunakan konsep induksi thermal dengan mengalirkan arus listrik ke dalam heating plat. Sistem dibuat dengan memanfaatkan sensor SHT11 untuk pemantauan kelembaban relatif (relative humidity: RH). RH dipantau untuk melihat penurunan kelembaban pada input.

Gain atau penguatan merupakan perbandingan antara output konsentrasi PM0.1 akhir (Co) terhadap input konsentrasi PM0.1 mula-mula (Ci). Sehingga jika semakin besar outputnya, maka gain sistem juga semakin besar. Hasil konsentrasi PM0.1 setelah melewati sistem pemanas ternyata mengalami sebuah penguatan jumlah konsentrasi PM0.1. Namun penguatan konsentrasi PM0.1 mengalami kenaikan ketika suhu sistem sebesar 60 hingga 100°C, dan penguatan konsentrasi PM0.1 mengalami penurunan ketika suhu sistem sebesar 100 hingga 200°C. Penguatan konsentrasi PM0.1 hasil perhitungan berdasarkan data penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.4.


(79)

Tabel 4. 4. Data gain konsentrasi PM0.1 terhadap fungsi suhu

T Gain

v1 v2 v3

200 2.15 2.44 7.38 180 2.29 2.76 5.77 160 4.81 5.59 5.81 140 8.63 7.97 5.83 120 9.34 9.70 8.38 100 9.58 12.09 11.24

80 6.14 5.60 11.00 60 4.97 5.82 10.63 *) Gain maksimum


(80)

60 80 100 120 140 160 180 200 0 2 4 6 8 10 12 14 v1 v2 v3 Temperatur 'C G a in

Dari tabel diatas didapatkan plot grafik seperti Gambar 4.9 sebagai berikut:

Gambar 4. 9. Proses terjadinya gain konsentrasi PM0.1 terhadap fungsi suhu

Dari gambar diatas, dapat diketahui bahwa pada suhu antara 60 hingga 100 mengalami peningkatan gain konsentrasi PM0.1. Terjadinya peningakatan tersebut dikarenakan adanya proses nukleasi pada partikulat.

Hasil konsentrasi PM0.1 setelah melewati sistem pemanas seperti Gambar 4.4, 4.6 dan 4.8 menunjukkan adanya penambahan jumlah konsentrasi partikulat. Bertambahnya jumlah konsentrasi partikulat disebabkan karakteristik properti suatu sumber pemanas yang berbahan logam alumunium memiliki titik didih suhu tertentu, sehingga akan terbentuk serbuk korosi disisi elemen pemanas seperti Gambar 4.12. Dan ketika aliran udara masuk ke dalam sistem, serbuk korosi elemen pemanas akan ikut terbawa keluar. Hal itu sesuai dengan pernyataan (Jones, 1992) bahwa korosi yang terjadi pada logam alumunium adalah korosi sumuran. Korosi sumuran tersebut membentuk lubang-lubang kecil yang kasat mata pada awalnya. Korosi ini berlangsung ketika logam alumunium bereaksi


(81)

diasumsikan dapat mempengaruhi bertambahnya jumlah konsentrasi partikulat. Sifat partikulat tersebut yakni sifat higroskopis. Sesuai dengan pernyataan (Boreddy, 2016) bahwa Sifat higroskopis merupakan kemampuan suatu zat atau partikel yang dapat menyerap molekul air di lingkungan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh (Villani, 2013) bahwa sifat higroskopis pada partikel yang ada di atmosfer dapat memodifikasi massa parikel dan menyebabkan bertambahnya ukuran partikel. Hal tersebut yang menyebabkan bertambahnya jumlah konsentrasi partikulat ultrafine.

Hasil pembacaan kelembaban oleh sensor SHT11 yang diintegrasikan pada sistem menunjukkan adanya penurunan RH sebesar 13% pada kecepatan v1: 5 m/s, 10% pada kecepatan v2: 12 m/s dan 10% pada kecepatan v3: 15 m/s. Hal ini menunjukkan jika pengurangan kelembaban (RH%) dipengaruhi laju udara. Sesuai dengan studi literatur, laju udara mempengaruhi distribusi termal yang diradiasikan oleh sistem terhadap udara. Semakin rendah laju udara, maka panas akan di distribusikan pada volume yang lebih besar. Sebagai hasilnya ialah peningkatan jumlah droplet yang berubah fase menjadi gas.

Selain faktor-faktor diatas, terdapat beberapa hal lain yang mempengaruhi meningkatnya jumlah konsetrasi partikulat. Hal yang mempengaruhi disini dimaksudkan hal-hal yang mempengaruhi meningkatnya jumlah konsetrasi partikulat setelah melewati sistem pemanas. Random error dan systematic error adalah dua hal yang dapat muncul dalam sebuah pengambilan data penelitian. Kedua istilah diatas merupakan penyebab adanya nilai ketidakpastian dalam hasil pengukuran yang sulit untuk dihindari secara ideal. Temperature dan kelembaban relatif ruangan tempat dilakukannya pengujian sistem pemanas merupakan faktor random error, dimana besaran-besaran yang tidak dapat dikendalikan. Untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengukuran akibat temperatur dan kelemababan relatif ruangan, maka dilakukan observasi


(82)

dimasukkan ke dalam chamber dengan maksud agar udara ambient tidak bercampur dengan udara di luar. Cara lain yang telah dilakukan untuk meminimalisir adanya ketidakpastian hasil pengukuran yaitu dengan melakukan pengulangan pengambilan data.


(83)

(84)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan:

a. Telah berhasil dirancang sebuah sistem pemanas partikulat terkendali dengan menggunakan temperature controller yang dipantau dengan mengukur suhu dan kelembaban. b. Karakter dari alat tersebut menunjukkan perubahan

konsentrasi PM0.1 sebagai fungsi suhu yang ada di dalam sistem pemanas. Semakin besar suhu (100 - 200°C) sistem pemanas, maka didapatkan gain konsentrasi PM0.1 semakin kecil. Namun semakin kecil suhu (60 - 100°C), maka semakin besar gain konsentrasi PM0.1.

c. Karakter dari alat tersebut menunjukkan perubahan konsentrasi PM0.1 sebagai fungsi laju udara yang melewati sistem pemanas mempengaruhi konsentrasi dari partikulat. Semakin besar laju udara, maka semakin besar gain konsentrasi partikulat PM0.1.

5.2. Saran

Adapun beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

a. Perlu penggunaan alat SMPS untuk melihat distribusi partikulat sebelum dan sesudah melewati sistem pemanas,


(85)

b. Perlu ditambahkan temperature controller dalam bentuk digital, sehingga dapat memudahkan saat pemantauan suhu sistem.

c. Untuk penelitian yang akan datang perlu dibuat sistem pemanas dengan temperatur diatas 200°C.


(86)

(87)

Acromag. (2015). How to prevent temperature measurement errors when installing thermocouple sensors and transmitters: White Paper, 1–14.

AQC. (2011). Ultrafine Particles, Why All The Concern About Something So Small? Journal of Aerosol Science, 30067(770), 6.

Arduino. (2017). Arduino Uno. Retrieved from https://store.arduino.cc/usa/arduino-uno-rev3

Autonic. (2016). datasheet TOS-B4RK4C.

Barulich, A. H., Kassel, R., Couch, P., & Conolly, M. (2013). Ultrafine Particulate Matter and the Benefits of Reducing Particle Numbers in the United States, (July), 74.

Boreddy, S. K. R., Kawamura, K., Bikkina, S., & Sarin, M. M. (2016). Science of the Total Environment Hygroscopic growth of particles nebulized from water-soluble extracts of PM 2 . 5 aerosols over the Bay of Bengal : In fl uence of heterogeneity in air masses and formation pathways. Science of the Total Environment, The, 544, 661–669.

Chen, X. (2017). Effect of heat-source geometry on distribution and deposition of particulates in a ventilated chamber. Particuology. Iswantoro, S. (2013). Sampling dan preparasi sampel polutan udara di lingkungan pltu paiton probolinggo, (ISSN 1410-8178), 129– 133.

Jones, D. A. (1992). Principles And Prevenion Of Corrosion. New York: Macmillan Publishing Company.

Kumar, P., Morawska, L., Birmili, W., Paasonen, P., Hu, M., Kulmala, M., … Britter, R. (2014). Ultra fi ne particles in cities, 66, 1–10.

Kumar, P., Wiedensohler, A., Birmili, W., & Quincey, P. (2016). Ultrafine Particles Pollution and Measurements. Comprehensive Analytical Chemistry (Vol. 73). Elsevier Ltd. Li, C., Hu, Y., Chen, J., Ma, Z., Ye, X., Yang, X., … Mellouki, A.

(2016). Physiochemical properties of carbonaceous aerosol from agricultural residue burning : Density , volatility , and


(88)

Hygroscopicity of internally mixed multi-component aerosol particles of atmospheric relevance. Atmospheric Environment, 125, 69–77.

Manual, S. (2013). Particle Counter Model 8525. USA: TSI.

National Instruments. (2011). Temperature Measurements with Thermocouples : How-To Guide, 1–6.

Oberdorster, G., & Oberdorster, O. (2005). Review Nanotoxicology: An Emerging Discipline Evolving from Studies of Ultrafine Particles, 113, 823–840.

Pandey, A., & Venkataraman, C. (2014). Estimating emission from the Indian transport sector with on-road fleet composition and traffic volume. Atmospheric Environment, 98, 41–45.

Robert. (1981). Physical Chemistry. USA: Academic Press.

S, Y., S, A., & T, K. (2006). Effect of ultrafine carbon black particles on lipoteichoic acid-induced early pulmonary inflammation in BALB/c mice. Toxicology Application Pharmacol, 203, 256– 266.

Sabaliauskas, K., Evans, G., & Jeong, C. (2012). Source Identification of Traffic-Related Ultrafine Particles Data Mining Contest, 13,

Sensirion. (2011). Datasheet SHT1x (SHT10, SHT11, SHT15) Humidity and Temperature Sensor IC, (December), 1–12. Sforza, P. M. (2016). Manned Spacecraft Design Principles. Manned

Spacecraft Design Principles. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-804425-4.00001-5

Sogacheva, L. (2008). Aerosol Particle Formation: Meteorological and Synoptic Processes Behind The Event. Atmospheric Science and Geophysics, 100(Germany), 7–9.

Sukardjo. (1985). Kimia Anorganik. Yogyakarta: Bina Aksara. TSI. (2013). P-TRAKTM Ultra Fine Particle Counter Model 8525

-for indoor air quality solutions.

Underwood. (1986). Analisa Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. Villani, P., Sellegri, K., Monier, M., & Laj, P. (2013). Influence of

semi-volatile species on particle hygroscopic growth. Atmospheric Environment, 79, 129–137.


(89)

Wardoyo, A. Y. P. (2016). Emisi Partikulat Kendaraan Bermotor dan Dampak Kesehatan. Malang: UB Press.

WHO. (2003). Health Aspects of Air Pollution with Particulate Matter , Ozone and Nitrogen Dioxide, (January).

Williams, A., Jones, J. M., Ma, L., & Pourkashanian, M. (2012). Pollutants from the combustion of solid biomass fuels, 38. Zhang, H., Yoshino, H., Hasegawa, K., Liu, J., & Zhang, W. (2017).

Practical moisture buffering effect of three hygroscopic materials in real-world conditions. Energy & Buildings, 139, 214–223.


(90)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Perbandingan SHT11 dengan Q-Trak

SHT11 Q-Trak

Temperat

ure ('C) Humidity(%RH) Temperature ('C) Humidity (%RH)

28.01 68 28.0 69.9

28.67 68.46 28.1 69.9

28.06 68.47 28.1 69.9

28.07 68.47 28.1 69.8

28.08 68.47 28.1 69.8

28.09 68.47 28.1 69.7

28.1 68.5 28.2 69.7

28.13 68.48 28.2 69.7

28.13 68.51 28.2 69.6

28.14 68.48 28.3 69.6

28.16 68.51 28.3 69.5

28.2 68.49 28.3 69.5

28.22 68.5 28.4 69.5

28.25 68.5 28.4 69.5

28.29 68.48 28.4 69.5

28.33 68.46 28.6 69.4

28.39 68.47 28.7 69.4

28.45 68.42 28.7 69.4

28.52 68.4 28.7 69.4

28.59 68.36 28.8 69.3

28.69 68.32 28.8 69.3

28.78 68.27 28.9 69.2

28.89 68.18 28.9 69.1


(91)

29.27 67.92 29.2 69.1

29.46 67.84 29.6 69.0

29.59 67.72 29.8 69.0

29.77 67.63 30.0 68.9

29.99 67.44 30.1 68.9

30.19 67.32 30.2 68.8

30.41 67.18 30.5 68.7

30.65 67 30.9 68.6

30.88 66.76 31.2 68.5

31.12 66.62 31.7 68.3

31.42 66.37 31.8 67.0

31.73 66.17 31.9 67.8

32.02 65.9 32.4 67.6

32.31 65.65 32.5 67.4

32.66 65.32 32.7 67.0

32.99 65.05 33.1 66.7

33.32 64.71 33.6 66.4

33.72 64.45 34.0 65.8

34.14 64.09 34.5 65.3

34.51 63.79 35.3 65.1

34.88 63.43 35.4 64.9

35.36 63.09 35.8 64.5

35.84 62.7 36.2 64.2

36.25 62.33 36.7 63.7

36.7 61.96 37.0 63.6

37.22 61.54 37.5 63.0

37.69 61.14 37.9 62.6

38.22 60.77 38.3 62.4

38.7 60.28 38.9 61.9


(92)

40.46 58.88 41.0 60.5

40.91 58.38 42.4 60.2

41.46 58.03 43.2 59.3

41.99 57.47 43.3 59.0

42.66 57.14 43.5 58.6

43.32 56.61 44.8 57.9

44 56.08 45.8 57.6

44.58 55.57 46.6 57.1

45.79 54.53 47.3 56.3

46.51 54.09 48.9 56.0

47.34 53.51 49.0 55.6

47.97 53.05 49.2 55.2

48.62 52.55 50.1 54.7

49.26 52.05 51.4 54.2

49.92 51.46 52.3 53.9

50.69 50.96 53.5 53.2

51.48 50.3 53.7 53.1

52.26 49.79 54.0 52.9

52.83 49.24 55.9 52.3

53.01 48.78 56.2 51.7

54.31 48.17 56.3 51.5

54.88 47.55 57.1 51.1

56.01 46.33 57.6 50.0

57.36 45.76 58.1 49.4

57.91 45.18 58.9 49.1

58.8 44.57 59.6 48.8

59.57 44.06 60.2 48.3


(93)

(94)

Lampiran 2. Data Proses Pemanasan dan Pendinginan Sistem Pemanas Terhadap Waktu

Waktu (meni

t)

Proses Pemanasan

Waktu (Menit

)

Proses Pendinginan

1 60 1 200

5 80 4 180

8 100 7 160

12 120 10 140

17 140 16 120

21 160 21 100

25 180 36 80


(95)

Lampiran 3. Data Konsentrasi Partikel Sebelum dan Setelah Melewati Sistem A. V1 = 5 m/s


(96)

(97)

(98)

Lampiran 4. Data Penelitian Suhu dan Kelembaban Sebelum dan Setelah melewati Sistem A. V1

Time

(m) RH% (°C)T

5m/s Tim

e (m)

RH

% (°C)T

5m/s

Ci SD Co SD

1 77 200 10133 33 1 64 200 21800 58

4 77 180 21333 333 4 64 180 48767 33

7 77 160 18733 67 7 66 160 90167 33

10 76 140 15567 33 10 65 140 134333 333

16 76 120 13733 33 16 66 120 128333 333

21 76 100 11767 33 21 66 100 112667 333


(99)

33 76 85 9520 6 33 68 85 66033 353

36 75 80 9450 6 36 67 80 58067 33

40 75 75 9213 9 40 67 75 48833 67

42 75 70 9110 6 42 67 70 44333 186

45 74 65 9063 9 45 67 65 47133 67

48 74 60 8987 9 48 67 60 44633 296

B. V2 Time

(m) RH% (°C)T

10m/s Tim

e

(m) RH%

T (°C)

10 m/s

Ci SD Co SD

1 77 200 10233 33 1 65 200 25000 100

5 76 180 20833 33 5 65 180 57533 33


(1)

33 76 85 9520 6 33 68 85 66033 353

36 75 80 9450 6 36 67 80 58067 33

40 75 75 9213 9 40 67 75 48833 67

42 75 70 9110 6 42 67 70 44333 186

45 74 65 9063 9 45 67 65 47133 67

48 74 60 8987 9 48 67 60 44633 296

B. V2 Time

(m) RH% (°C)T

10m/s Tim e (m) RH% T (°C) 10 m/s

Ci SD Co SD

1 77 200 10233 33 1 65 200 25000 100 5 76 180 20833 33 5 65 180 57533 33 7 76 160 20333 33 7 67 160 113667 333 11 76 140 1970 58 11 66 140 1570 0 74


(2)

0 00

17 76 120 14667 33 17 66 120 142333 333 23 76 100 10667 33 23 66 100 129000 3055 26 75 95 10600 115 26 66 95 102667 333 28 75 90 10300 58 28 67 90 98700 58 32 75 85 10300 115 32 67 85 65667 33 36 75 80 11600 173 36 67 80 65000 58 39 75 75 10400 0 39 68 75 63567 33 41 75 70 9333 23 41 68 70 57300 153 45 75 65 9097 35 45 68 65 53833 120 47 75 60 9133 49 47 68 60 53200 115


(3)

C. V3


(4)

77 Time

(m) RH% (°C)T

15 m/s Time

(m) RH% (°C)T

15m/s

Ci SD Co SD

2 77 200 14100 0 2 67 200 104000 577 5 77 180 23100 0 5 67 180 133333 1333 7 76 160 29700 100 7 66 160 172667 333 11 76 140 29767 88 11 67 140 173667 333 15 76 120 21367 67 15 68 120 179000 0 22 76 100 14767 88 22 68 100 166000 577 24 76 95 10120 331 24 69 95 153000 577 26 75 90 10333 33 26 69 90 137667 882 29 76 85 10333 67 29 68 85 113667 333 31 75 80 11100 58 31 68 80 102333 333 34 75 75 12833 88 34 69 75 83967 145 38 75 70 11033 33 38 69 70 74200 173 41 75 65 8647 75 41 69 65 103333 882 46 75 60 10133 33 46 69 60 107667 882


(5)

(6)

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Pengukuran dimensi selang Pembuatan alat SHT11

Set up Penelitian 76