BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Hidrograf Satuan Sintetik di DAS Wampu Kab. Langkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hidrologi

  Hidrologi merupakan tahapan awal perecanaan suatu rancang bangunnan dalam suatu DAS untuk memperkirakan besarnya debit banjir yang terjadi didaerah tersebut. Pada saat air hujan jatuh ke bumi, sebagian air jatuh langsung ke permukaan bumi dan ada juga yang terhambat oleh vegetasi (Intersepsi). Intersepsi memiliki 3 macam, yaitu interception loss,

  

through fall , dan stem flow. Interception loss adalah air yang jatuh ke vegetasi tetapi belum

  sampai mencapi tanah sudah menguap. Through fall adalah air hujan yang tidak langsung jatuh ke bumi, tetapi terhambat oleh dedaunan terlebih dahulu. Stem flow adalah air hujan yang jatuh ke vegetasi dan mengalir melalui batang vegetasi tersebut.

  Air hujan yang terhambat vegetasi sebagian ada yang menguap lagi atau mengalami evaporasi ada juga yang kemudian jatuh ke permukaan tanah (through fall). Air hasil through fall ini mengalir di permukaan dan berkumpul di suatu tempat menjadi suatu run off seperti sungai, danau, dan bendungan apabila kapasitas lengas tanah sudah maksimal yaitu tidak dapat menyerap air lagi. Dalam lengas tanah, ada zona aerasi yaitu zona transisi dimana air didistribusikan ke bawah (infiltrasi) atau keatas (air kapiler). Semakin besar infiltrasi, tanah akan semakin lembab dan setiap tanah memiliki perbedaan kapasitas penyimpanan dan pori- pori tanah yang berbeda-beda. Vegetasi mengalami fotosintesis pada saat siang hari dan mengalami transpirasi. Peristiwa berkumpulnya uap air di udara dari hasil evaporasi dan transpirasi disebut evapotranspirasi. Evapotranspirasi dikontrol oleh kondisi atmosfer di muka bumi. Evaporasi membutuhan perbedaan tekanan di udara. Potensi evapotranspirasi adalah kemampuan atmosfer memindahkan air dari permukaan ke udara, dengan asumsi tidak ada batasan kapasitas.

  Air yang jatuh di permukaan sebagian ada yang mengalami infiltrasi atau diserap oleh tanah. Kapasitas infiltrasi tergantung dari tekstur tanah, vegetasi, lengas tanah, kemiringan lereng, dan waktu. Air tersebut memasuki celah-celah batuan yang renggang di dalam bumi atau mengalami perkolasi untuk mengisi persediaan air tanah. Air tanah dapat muncul ke permukaan tanah karena air memiliki kapilaritas yang tinggi. Dalam air tanah ada zona aquifer (zona penahan air) yaitu menyediakan simpanan air yang besar yang mengatur siklus hidrologi dan berpengaruh pada aliran air. Air tanah juga dapat menyuplai debit air sungai apabila jalur air tanah terputus oleh jalur sungai. Air tanah dapat berkurang apabila digunakan manusia untuk keperluan sehari-hari.

  Selain itu, air yang langsung jatuh ke permukaan tanah langsung mengisi channel storage contohnya sungai, danau, dan bendungan lalu menjadi run off. Tipe-tipe aliran adalah over land flow, through flow, dan base flow. Over land flow terjadi apabila ketika kapasitas presipitasi melebihi batas infiltrasi. Through flow adalah air perkolasi yang bergerak di zona perkolasi yang bergerak pada horizon tanah. Baseflow adalah air yang bergerak di atas aliran air untuk pengukuran muka air. Channel storage ini mengalami infiltrasi untuk mengisi persediaan air tanah apabila dasar suatu channel storage jaraknya jauh dari tempat persediaan air tanah. Sebagian air pada channel storage mengalami evaporasi kembali karena pengaruh panas matahari.

  Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi-penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh- tumbuhan di mana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah. Gambar (2.1) berikut merupakan gambar siklus hidrologi.

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi

2.1.1 Curah Hujan

  Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian diramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu. Berikut dijabarkan tentang cara menentukan tinggi curah hujan arel. Dengan melakukan penakaran atau pecatatan hujan, kita hanya mendapat curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Jika di dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka dapat diambil nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah hujan areal.

  Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rata-rata pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar atau pencatat.

  1. Rata-rata aljabar

  Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (arithmatic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di dalam areal studi. d1+d2+d3+ … + dn di n d = = i=1 (2.1) n n ∑ di mana d = tinggi curah hujan rata-rata, d

  1 , d 2 . . . d n = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, 2, . . . , n, dan n = banyak pos penakaran.

  Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal.

  2. Cara Poligon Thiessen

  Cara ini berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung di antara dua buah pos penakar. Gambar (2.2) menunjukkan contoh posisi stasiun 1, 2, dan 3 dari skema poligon Thiessen dalam Daerah Aliran Sungai (DAS).

Gambar 2.2 Poligon Thiessen pada DAS

  Curah hujan pada suatu daerah dapat dihitung dengan persamaan berikut: 1 1 2 2 n n + + + A . d A . d ..... A . d (2.2) d = 1 2 n + + + A A ..... A

  • A . d A . d ..... A . d (2.3)

  1

  1

  2 2 n n

  d = A dimana d = tinggi curah hujan rerata daerah (mm), d n = hujan pada pos penakar hujan (mm),

  2

  2 A = luas daerah pengaruh pos penakar hujan (km ), dan A = luas total DAS (km ). n

3. Cara isohyet

  Dalam hal ini kita harus menggambarkan dulu kontur dengan tinggi curah hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada Gambar (2.3) berikut.

Gambar 2.3 Peta Isohyet

  Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yeng berdekatan diukur, dan nilai rata- ratanya dihitung sebagai berikut: 1 1 2 n − 1 n

  • d d A d d d d

  (2.4)

  • n A A ... A

  2

  2

  2 = d 1 2 n

  • A A ...A i − 1 i
  • d d
  • i

      (2.5)

      A ∑

      2 d = i A

      ∑

      di mana d = tinggi curah hujan rata-rata areal, A = luas areal total = A + A + A + ...+ A ,

      1

      2 3 n dan d 0, d 1, ..., d n = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, ..., n.

      Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet.

      Pada waktu menggambar garis-garis isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik).

      2.1.2 Distribusi Frekuensi Curah Hujan

      Untuk menganalisis probabilitas curah hujan biasanya dipakai beberapa macam distribusi yaitu: (A) Distribusi Normal, (B) Log Normal, (C) Gumbel, (D) Log Pearson Type

      III.

      A. Distribusi Normal

      Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Normal, dengan persamaan sebagai berikut:

      X T = X + k.Sx (2.6)

      Dimana:

      X T : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun.

      n

      X i1

      =

      X : Harga rata–rata dari data

      n

      K : Variabel reduksi n n 2 X − i i

      X ∑ ∑ 1 1 Sx : Standard Deviasi = n −

      1 Tabel 2.1 Nilai Variabel Reduksi Gauss B.

      Distribusi Log Normal Sumber : Buku Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan hal 37

      Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log Normal, dengan persamaan sebagai berikut: Log X T = Log X + k.Sx Log X (2.7)

      Dimana: Log X : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan

      T rancangan untuk periode ulang T tahun. n log (X ) i

      ∑

    1

    Log X : Harga rata – rata dari data = n n 2 n (LogX − Log i i X ) ∑ ∑ 1 1 SxLog X : Standard Deviasi = n −

      1 K : Variabel reduksi

    Tabel 2.2 Nilai K untuk Distribusi Log Normal

      Sumber : Buku Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan hal 37

    C. Distribusi Log Person III

      Untuk analisa frekuensi curah hujan dengan menggunakan metode Log Person Type

      III, dengan persamaan sebagai berikut: Log X = + Ktr. S1 (2.10)

      T Log

      X Dimana:

      Log X T : Variate diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang T tahun. n Log

      X ii = 1 Log X : Harga rata – rata dari data, Log X = n n 2 Log X − Log

      X

      ( i ) ∑ i

    1

      =

      S

      1 : Standard Deviasi, S 1 = n n −

      1 3

      n . Log X − Log

    i

      X ( )

      ∑ i = 1

      dengan periode ulang T Cs = 3

      ( n −

    1 ) ( n − 2 ) . S i Dimana: Cs = Koefisien kemencengan

    Tabel 2.3 Nilai K untuk distribusi Log Pearson III

      Sumber : Buku Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan hal 43

    2.1.3 Uji Distribusi Frekuensi Curah Hujan

      Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran teoritis yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut:

      1. Uji Chi Kuadrat Uji Chi Kuadrat digunakan untuk menguji apakah distribusi pengamatan dapat disamai dengan baik oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan berikut: k 2

      (2.11) 2 (EF OF ) -

      X hit = ∑ i = 1 EF di mana k = 1 + 3,22 Log n, OF = nilai yang diamati, dan EF = nilai yang diharapkan.

      2

      2 Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X hitung < X Cr .

      2 Harga X Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikan α dengan derajat kebebasan.

      2 Batas kritis X tergantung pada derajat kebebasan dan α. Untuk kasus ini derajat kebebasan

      mempunyai nilai yang didapat dari perhitungan sebagai berikut: DK = JK - (P + 1)

      (2.12) Dimana : DK = derajat kebebasan JK = jumlah kelas P = faktor keterikatan (untuk pengujian Chi-Square mempunyai keterikatan 2)

    D. Distribusi Gumbel

      Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode E.J. Gumbel, dengan persamaan sebagai berikut: X = X + K.Sx

      (2.8)

      T

      Dimana:

      X T : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T (tahun). n

      X i1

      =

      X : Harga rata – rata dari data

      n Sx : Standard Deviasi

      1 n

      

    X

    X n 1

    i

    n 1 2 i − − =

      ∑ ∑

      K : Variabel reduksi Untuk menghitung variabel reduksi E.J. Gumbel mengambil harga:

      K n T n S Y Y

      − =

      (2.9) Dimana: Y

      T

      : Reduced variate sebagai fungsi dari periode ulang T Yn : Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (N) Sn : Reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyak data N

    Tabel 2.4 Standar Deviasi (Yn) untuk Distribusi GumbelTabel 2.5 Reduksi Variat

      (YTR) sebagai fungsi periode ulang Gumbel

      Sumber : Buku Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan hal 51 Sumber : Buku Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan hal 52

    Tabel 2.6 Reduksi Standard Deviasi (Sn) untuk Distribusi Gumbel

      Sumber : Buku Sistem Drainas

    2.1.4 Uji Smirnov Kolmogorof

      Tahap-tahap pengujian Smirnov Kolmogorof adalah sebagai berikut:

      a. Plot data dengan peluang agihan empiris pada kertas probabilitas, dengan menggunakan persamaan Weibull: m

      P = x 100% (2.13)

      ( n

    • 1 ) Dimana: m = nomor urut dari nomor kecil ke besar n = banyaknya data

      b. Tarik garis dengan mengikuti persamaan: X = log

      T d

      X G . S + Log (2.14) Dari grafik ploting diperoleh perbedaan perbedaan maksimum antara distribusi teoritis dan empiris: ∆ = Pe - Pt

      (2.15)

      max

      Dimana: = selisih maksimum antara peluang empiris dengan teoritis, Pe =

      ∆ max

      peluang empiris, dan Pt = peluang teoritis c. Taraf signifikan diambil 5% dari jumlah data (n), dari tabel. didapat Δ Cr

      Cr , maka data dapat

      Dari tabel Uji Smirnov Kolmogorof, bila Δ maks < Δ diterima.

    2.2 Hidrograf Satuan Sintetik

      Di daerah di mana data hidrologi tidak tersedia untuk menurunkan hidrograf satuan, maka dibuat hidrograf satuan sintetis yang didasarkan pada karakteristik fisik dari DAS.

      Berikut ini diberikan beberapa metode yang biasa digunakan dalam menurunkan hidrograf banjir.

    2.2.1. Hidrograf satuan Sintetik Snyder

      Dalam permulaan tahun 1938, F.F. Snyder dari Amerika Serikat telah mengembangkan rumus empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran. Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan :

    2 A= Luas daerah pengaliran (km )

      L= Panjang aliran utama (km) LC= Jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang diukur sepanjang aliran utama

      Dengan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumusnya sebagai berikut :

      t p = C t (L . L c )

      (2.28)

      5, 5 p r t t =

      (2.29)

      .A 2, 78 p p p C Q t

      =

      (2.30)

      72 3 b p T t

      = +

      (2.31) dimana: t p : Waktu mulai titik berat hujan sampai debit puncak dalam jam t r : Lama curah hujan efektif Qp : Debit maksimum total Tb : Waktu dasar hidrograf Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

       Keterlambatan DAS (basin lag) (2.32)

      0,3 t = C (L.L ) p c t dimana : C t : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah yang sama

       Menghitung debit puncak per satuan luas dari hidrograf satuan standar : 2, 75.Cp q =

      (2.33) p tp dimana :

      C p : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah yang sama Harga L dan Lc diukur dari peta DAS untuk menghitung Ct dan Cp pada DAS yang terukur. Berdasarkan hidrograf satuan yang diturunkan dapat diperolrh durasi efektif t R dalam jam, t = 5, 5 t kelambatan DAS t dalam jam. Jika maka :

      pR

      p r t r = t R t t dan q q

      p = pR p = pR

      Jika t jauh dari 5,5 t , maka kelambatan DAS standar adalah :

      pR

      R

      t t r- R t = t R +

      (2.34)

      p p

    4 Dan persamaan (2.29) dan (2.33) diselesaikan untuk mendapatkan nilai tr dan tp. Nilai Ct dan Cp kemudian dihitung dari persamaan (2.32) dan (2.33).

      Lamanya hujan efektif t r ‘=t p /5,5 dimana t r diasumsi 1 jam. Jika tr’ > tr ( asumsi), dilakukan koreksi terhadap tp

      ' 0, 25( ' ) p p r R t t t t

      (2.38) dimana : 2 (1 )

      λ = (2.42) dimana:

      Q T h A

      ( . ) p R

      (2.41) ( . )

      (2.40) 2 1, 32 0,15 0, 045 a = λ + λ +

      X T =

      R t

      = (2.39)

      Y − −

      10 x a x

      . Q Y Qp =

      = + −

      (2.37) Menentukan grafik hubungan antara Qp dan t (UH) berdasarkan persamaan Alexseyev sebagai berikut :

      2 r p p t T t = +

      (2.36) Jika tr’ < tr (asumsi), maka :

      = +

      P p 2 r t T t

      '

      maka :

      2 tr Tp t p = +

      '

      (2.35)

      Q : Debit dengan periode hidrograf

      Perhitungan debit banjir rancangan menggunakan metode Nakayasu. Persamaan umum Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut: ) T T (0,3 3,6

      Y : Perbandingan debit periode hidrograf dengan debit puncak X : Perbandingan waktu periode hidrograf dengan wktu mencapai puncak banjir Setelah λ dan a dihitung, maka nilai y untuk masing-masing x dapat dihitung (dengan membuat table), dari nilai-nilai tersebut diperoleh t=xT p dan Q=y.Q p , selanjutnya dibuat grafik hidrograf satuan.

    2.2.2 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

      R . A . C Q 0,3 P p

      (2.43) T

    • =

      = tg + 0,8 tr (2.44) t g = 0,21 x L

      0,7

      (L < 15 km) (2.45) t g = 0,4 + 0,058 x L (L > 15 km) (2.46) T

      p

      (2.47)

      p 4 , 2 p t Q x T t Q

         

         

      =

      (2.48) dimana: Q p = debit puncak banjir (m

      3

      /det) C = koefisien pengaliran R = hujan satuan (mm)

      0,3 = α x tg

    2 A = luas DAS (km )

      T = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)

      p

      T 0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30% dari debit puncak, t g = waktu konsentrasi (jam), t r = satuan waktu hujan, diambil 1 jam, α = parameter hidrograf, bernilai antara

      3 1.5 – 3.5, Q = debit pada saat t jam (m /det), dan L = panjang sungai (m). t

      Gambar (2.5) merupakan contoh gambar hidrograf nakayasu berupa hubungan antara waktu dengan debit puncaknya.

      Tr 0,8 Tr tg Qp LengkungNaik Lengkung Turun

      Q 2 0,3 Qp 0,3 Qp

      t

      Tp T 1,5 T 0,3 0,3

      (j )

    Gambar 2.4 Model Hidrograf Nakayasu Persamaan-persamaan yang digunakan dalam hidrograf nakayasu adalah:

      a. Pada kurva naik, 0 p , ≤ t ≤ T maka: 2 , 4

      

     

    t

     

    =

      

    Q x Q

    t p

     

    T

    p

     

      b. Pada kurva turun, T p < t p + T 0,3 ), ≤ (T maka:

        - t Tp   T  0,3   

      Q = Q x 0,3 , untuk (T p + T 0,3 ) p + T 0,3 + 1,5T 0,3 ), t p ≤ t ≤ (T

       Tp - t 

    • 0,5T 0,3   1,5T  0,3   

      maka: Q = Q x 0,3 , dan untuk t > (T p + T 0,3 + 1,5T 0,3 ), t p

    • -   t Tp 1,5T 0,3

    •  
    • 2T  0,3   

        maka Q = Q x 0,3 t p .

        3

        di mana Q t = debit pada saat t jam (m /det)

      2.2.3 Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I

        Kajian sifat dasar Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gamma I adalah hasil penelitian 30 buah daerah aliran sungai di Pulau Jawa. Sifat-sifat daerah aliran sungai dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut:

        a. Faktor sumber (source factor, SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.

        b. Frekuensi sumber (source frequency, SN) ditetapkan sebagai perbandingan antara jumlah pangsa sungai semua tingkat. c. Faktor simetri (symmetry factor, SIM), ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas relatif DPS sebelah hulu (RUA).

        d. Faktor lebar (width factor, WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¾ L dan lebar DPS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¼ L dari tempat pengukuran.

        e. Luas relatif DPS sebelah hulu (relative upper catchment area), yaitu perbandingan antara luas DPS sebelah hulu garis yang ditarik terhadap garis yang mengubungkan titik tersebut dengan tempat pengukuran dengan luas DPS. Jumlah pertemuan sungai (number of junction, JN). Gambar (2.4) berikut merupakan model parameter karakteristik DAS Metode Gamma I. Untuk X ~ A = 0,25 L, X ~ B = 0,75 L, dan WF = WU/WL

      Gambar 2.5 Model Parameter Karakteritik DAS Metode Gamma I

        Rumus-rumus yang digunakan dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut: B = 1,5518 N

      • 0,14991
      • 0,2725
        • –0,0259

      • 0,0733

        A

        SIM

        S

        (2.49) dimana : N = jumlah stasiun hujan, A = luas DAS (km

        2

        ) A B WL WU

        X

      • 1.0665 SIM + 1.277 (2.50) dimana : t

        t r

        0,2574

        RUA

        0,7344

        SN

        S

        ,1457

        Menghitung waktu dasar pada metode HSS Gamma I (t b ) dengan rumus berikut: t b = 27,4132 t r

        3 /det), dan JN = jumlah pertemuan sungai.

        = debit puncak (m

        p

        (2.51) dimana : Q

        0,2381

      • 0,4008

        JN

        A0,5884

        Menghitung debit puncak banjir HSS Gamma I (Q p ) dengan rumus berikut: Q p = 0,1836

        = waktu naik (jam) L = panjang sungai induk (km) SF = faktor sumber SIM = faktor simetri.

        r

        3

        ) dengan rumus berikut: t r = 0.43 ( L/ 100 SF)

        r

        Menghitung waktu puncak HSS Gamma I (t

        SIM = faktor simetri, S = landai sungai rata-rata B = koefiesien reduksi.

      • 0,0986

        (2.52) dimana : S = landai sungai rata-rata SN = frekuensi sumber

      • 0,1446
      • 1,0897

        

      2

      ).

        

      2

      ).

        ) D = kerapatan jaringan kuras (km/km

        2

        /det) A = luas DPS (km

        3

        (2.54) dimana : Q B = aliran dasar (m

        0,9430

        D

        0,6444

        Menghitung aliran dasar sungai dihitung dengan rumus: Q B = 0,4751 A

        ) D = kerapatan jaringan kuras (km/km

        RUA = luas relatif DPS sebelah hulu (km

        2

        ) S = landai sungai rata-rata SF = faktor sumber (km/km

        2

        (2.53) dimana : K = koefisien tampungan (jam) A = luas DPS (km

        0,0452

        D

        SF

        S

        0,1798

        Menghitung koefisien tampungan (K) pada metode ini dihitung dengan rumus: K = 0,5671 A

        2 ).

        Selanjutnya hasil akhir dari masing-masing metode Hidrograf Satuan Sintetik dibandingkan dengan data debit Daerah Aliran Sungai Wampu yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai Sumatera II untuk menentukan metode Hidrograf Satuan Sintetik yang paling sesuai dari ketiga metode yang digunakan.

Dokumen yang terkait

Analisis Respon Masyarakat Terhadap Eksistensi Pos Keadilan Peduli Umat (Pkpu) Di Kota Medan

0 0 8

Analisis Respon Masyarakat Terhadap Eksistensi Pos Keadilan Peduli Umat (Pkpu) Di Kota Medan

0 0 7

Analisis Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Kepatuhan Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak (Studi Empiris Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Medan/Sumatera Utara I)

0 1 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kewajiban Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2.1.1 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) - Analisis Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Kepatuhan Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak (

0 0 38

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Kepatuhan Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak (Studi Empiris Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Medan/Sumatera Utara

0 2 9

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH KEWAJIBAN KEPEMILIKAN NPWP, KEPATUHAN WAJIB PAJAK, PEMERIKSAAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah MedanSumatera Utara I)

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Kelapa Sawit Pt Perkebunan Nusantara Iv (Studi Kasus : Pks Kebun Ptpn Iv Kecamatan Sosa)

0 0 27

KATA PENGANTAR - Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Kelapa Sawit Pt Perkebunan Nusantara Iv (Studi Kasus : Pks Kebun Ptpn Iv Kecamatan Sosa)

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Modifikasi Perencanaan Lantai Gedung Pasar Sakti Kota Tebing Tinggi dengan Menggunakan Flat slab dan Drop panel

1 4 31

KATA PENGANTAR - Modifikasi Perencanaan Lantai Gedung Pasar Sakti Kota Tebing Tinggi dengan Menggunakan Flat slab dan Drop panel

1 4 22